Manfaat Penelitian Landasan Teoritis

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis Seluruh hasil penelitian ini dibuat untuk memperolehgelar sarjana srata satu S1 pada Fakultas Hukum Universitas Udayanadan dapat dijadikan sebagai bahan laporan bagi lembaga Fakultas HukumUniversitas Udayana serta dapat digunakan sebagai bahan refrensi pada perpustakaan. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan skripsi untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana di tahun-tahun berikutnya dan memberikan pengalaman belajar dan bekerja bagi mahasiswa sehingga mahasiswa mengetahui cara pembuatan skripsi dalam masalah hukum.

1.6 Landasan Teoritis

Pemikiran-pemikiran revolusioner menghendaki perhatian terhadap korban dalam suatu tindak pidana lebih proporsional, tidak saja mengenai peranannya dalam suatu tindak pidana tetapi juga tentang akibat tindak pidana tersebut bagi korban. 12 Pemikiran-pemikiran revolusioner akhirnya memunculkan adanya ilmu baru yang mempelajari tentang korban yang disebut dengan Viktimologi. Terpinggirkannya kepentingan korban dari suatu tindak pidana dalam penyelesaian perkara pidana melalui jalur hukum pidana penal tersebut tidak 12 Ibid, hal 142. terlepas dari dominasi paradigma retributif dalam pembentukan dan penerapan hukum pidana. Dalam paradigma retributif, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan melanggar aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan kehidupan masyarakat. 13 Konsep utama dari teori keadilan retributif adalah ganjaran atau hukuman balasan setimpal yang menunjukan prinsip bahwa pidana harus dijatuhkan kepada orang yang menurut rasa keadilan layak dipidana sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya, bukan tentang apa yang dianggap perlu untuk tujuan pencegahan atau rehabilitasi. Sedangkan paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban viktimisasi. 14 Persepsi tentang kejahatan menurut paradigma restoratif, mengandung konsekuensi harus dipertimbangkan juga aspek korban dalam penanggulangan kejahatan, sehingga sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban. Muladi, memberikan argumentasi untuk mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan berdasarkan argumen kontrak sosial social contract argument dan argumen solidaritas sosial social solidarity argument. “Yang pertama menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan 13 Ibid, hal 136. 14 Ibid, hal 138. yang bersifat pribadi.Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut.Argumen yang kedua menyatakan bahwa, negara harus menjaga warganegaranya dalam memenuhi kebutuhannya apabila warganegaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara.Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak”. 15 Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, Muladi secara mendasar memperkenalkan dua model, yakni Model Hak-hak Prosedural the procedural rights model dan Model Pelayanan the services model. “Pada model yang pertama penekanan diberikan pada dimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif didalam proses kriminal atau didalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan dimana kepentingannya terkait didalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata ”. 16 “Selanjutnya pada model pelayanan service model, penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasisebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain”. 17 Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan pendekatan dalam keadilan restoratif, yaitu: 15 Muladi, Op. Cit., hal 66. 16 Ibid, hal 67. 17 Ibid. a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan pidana secara umum merupakan rangkaian tindakan seperti mengidentifikasi pelaku, menangkap pelaku, menahan pelaku, mengadili dan lalu menghukum mereka. Padahal setelah Mirian melakukan riset kecil terhadap orang yang pernah menjadi korban dari suatu tindak pidana dan apa yang mereka inginkan, apa yang telah diambil oleh para pelaku tindak pidana dikembalikan kepada korban. Hal ini menandakan bahwa hukuman yang dijatuhi kepada pelaku tindak pidana tidak serta merta memulihkan perasaan para korban karena pada dasarnya yang diinginkan para korban dari penegak hukum adalah mendapat informasi dan pengertian apa yang sebenarnya terjadi, mendapat jawaban dari pertanyaan pertanyaan para korban dan mendapat barangnya kembali daripada penjatuhan hukuman kepada pelaku. b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa yang telah diperbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang menjadi tanggungjawab atas perbuatannya. Sering terdengar bahwa para pelaku merasa telah selesai dengan hukuman yang telah dijalaninya, padahal dalam kenyataan dampak perbuatannya telah mengakibatkan kerugian materiil terhadap masyarakat atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya.Hal yang patut ditanamkan dalam konsep keadilan restoratif adalah “Ya, saya telah melanggar hukum dan saya bertanggung jawab atas kerugian akibat perbuatan saya”.Itulah pandangan awal dari keadilan restoratif. c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu kesepahaman. Sejatinya, korban tindak pidana selalu dikelilingi oleh pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan perbuatan ini?apa tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? apakah pelaku akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitu pula dengan pelaku tindak pidana yang dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan ini. d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat dilakukan untuk bertanggung jawab atas kejahatan adalah dengan memulihkan kerugian yang di derita korban. e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas ada dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya adalah salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi. 18 Terkait dengan permasalahan yang diajukan diatas, maka landasan teoritis yang digunakan untuk menjawab permasalahan diatas adalah dengan melihat kejahatan dari paradigma restoratif.Paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban 18 Miriam Liebman, 2007, Restorative justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London, hal. 27 . viktimisasi.Sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban. Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, lebih ditekankan pada Model Pelayanan the services model yang diperkenalkan oleh Muladi. Pada Model Pelayanan service model, penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman aturan tersendiri dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.

1.7 Metode Penelitian