BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Globalisasi yang terjadi dalam satu dekade terakhir ini memiliki dampak yang begitu luas dalam kehidupan umat manusia. Shiraev dan Levy 2004 mengungkapkan bahwa
globalisasi yang terjadi pada abad ke-21 membawa pengaruh dalam bidang politik-ekonomi, seperti berkembangnya paham demokrasi dan terciptanya sistem pasar bebas. Bidang
budaya-psikologis pun tak luput dari pengaruh globalisasi, yaitu diakuinya kebebasan dalam menentukan pilihan, adanya sikap toleransi, dan keterbukaan akan pengalaman-pengalaman
baru. Selain itu, globalisasi juga membawa dampak dalam kehidupan sosial manusia, termasuk dalam kehidupan berorganisasi.
Globalisasi oleh Cummings dan Worley 1997 dipandang sebagai salah satu penyebab adanya perubahan dalam organisasi. Globalisasi mengubah pasar dan lingkungan
tempat organisasi beraktivitas serta cara organisasi menjalankan aktivitasnya tersebut. Cummings dan Worley juga menyatakan bahwa bersamaan dengan adanya perkembangan
teknologi informasi, globalisasi akan mendorong munculnya inovasi dalam sistem manajerial organisasi, yaitu terciptanya tren dalam bentuk organisasi yang akan banyak digunakan pada
abad 21 dan dipandang lebih efektif dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Bentuk organisasi yang mendominasi pada abad 19 dan 20, yang mengutamakan
produksi massal dan bentuk organisasi yang besar, akan segera menghilang. Kiechel Cascio, 1998 menyebutkan beberapa perubahan yang akan terjadi pada organisasi di abad
21, yaitu: a perusahaan menjadi lebih kecil dan mempekerjakan lebih sedikit orang, b perubahan pada hirarki, dari bentuk vertikal menjadi bentuk jaringan atau terdiri atas spesialis,
c teknisi, mulai dari tenaga perbaikan komputer sampai dengan terapis radiasi, akan berubah dari posisi sebagai operator manufaktur menjadi karyawan yang elit, d kompensasi
diberikan bukan lagi berdasar pada posisi yang dijabat atau lamanya masa kerja, namun lebih diserahkan pada mekanisme pasar untuk menilai kemampuannya, e perubahan
paradigma dalam menjalankan bisnis, dari sekedar menghasilkan suatu produk menjadi penyediaan jasa atau pelayanan, dan f adanya redefinisi kata “bekerja”, yaitu memudarnya
pengertian “pekerjaan” sebagai setumpuk tugas-tugas yang pasti, mengarah pada definisi pekerjaan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas yang kontinyu demi memenuhi tuntutan
konsumen yang terus berkembang. Sebagaimana perang mendominasi kancah geopolitik dunia pada abad 20, maka
ekonomi akan memegang kontrol kehidupan manusia pada abad 21 Cascio, 1998. Kompetisi antarnegara menjadi suatu hal yang normal dan tak terelakkan seiring
memudarnya batas-batas kenegaraan dalam era global. Nelan Cascio, 1998 menyatakan bahwa kompetisi ini akan ditunjukkan dengan adanya usaha meraih dominasi di bidang
ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan yang tinggi, investasi, embargo perdagangan, serta import dan eksport.
Seiring meluasnya dampak globalisasi dalam kehidupan kita dewasa ini, kompetisi datang tak hanya dari organisasi lain yang bertaraf nasional, namun juga organisasi bertaraf
internasional. Untuk itu, organisasi dituntut untuk mampu menunjukkan kinerja yang tinggi baik dalam hal proses kerja, produk yang dihasilkan, maupun layanan yang diberikan.
Peningkatan kinerja dalam suatu organisasi bukanlah satu hal yang mudah untuk dilakukan. Wood, dkk 1994 menyatakan ada tiga hal yang dapat digunakan organisasi dalam
meningkatkan kinerja organisasinya, yaitu atribut individu individual attributes, dukungan organisasi organisational support, dan motivasi kerja work effort.
Atribut individu dalam hal ini adalah berbagai karakteristik individu, seperti karakteristik demografis atau biografis jenis kelamin, usia, etnis, karakteristik kompetensi
bakat dan kemampuan, karakteristik kepribadian, nilai-nilai yang dianutnya, serta sikap dan persepsi dari individu. Sedangkan yang disebut sebagai dukungan organisasi adalah
berbagai usaha untuk meminimalkan adanya hambatan-hambatan situasional dalam mewujudkan kinerja organisasi yang tinggi. Beberapa hambatan yang disebutkan Wood, dkk.
terkait dengan penerapan struktur organisasi, yaitu kurangnya otoritas yang dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai bagian dari bentuk sentralisasi dimana terdapat hirarki
otoritas dalam organisasi. Selain itu, disebutkan pula bahwa prosedur yang tidak fleksibel akan menjadi hambatan bagi organisasi. Hal ini menunjukkan pengaruh tingkat formalisasi
dalam organisasi terhadap kinerjanya. Motivasi kerja menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dalam komitmen organisasi,
dimana terdapat identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kemauan untuk bekerja keras demi organisasi yang disebut juga sebagai motivasi kerja, dan yang terakhir adalah
kemauan untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi tersebut loyalitas. Komitmen menjadi kunci penting dalam mewujudkan kinerja organisasi yang tinggi.
Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasinya akan memberikan usaha yang maksimal demi mencapai tujuan organisasi dimana ia tergabung. Dengan kata lain,
karyawan dengan komitmen yang tinggi akan menunjukkan kinerja individu yang maksimal. Pada gilirannya, bila semua karyawan memiliki komitmen yang tinggi, akan terwujud kinerja
organisasi yang membuat organisasi tersebut dapat bertahan di tengah iklim kompetisi dewasa ini.
Arti penting komitmen karyawan ini juga diungkapkan oleh Mowday, dkk. Meyer, 2004 yang menyebutkan bahwa komitmen dapat digunakan sebagai prediktor yang baik bagi
turnover pada karyawan, yaitu keputusan untuk berhenti atau keluar dari organisasi secara sukarela. Keluarnya karyawan ini menjadi hal yang patut untuk mendapatkan perhatian
khusus dari pihak manajer organisasi karena besarnya kerugian yang diakibatkannya. Pinkovitz, dkk.
www.uwex.edu menyatakan terdapat 5 biaya utama yang harus dikeluarkan
organisasi bagi tiap karyawannya yang memutuskan untuk berhenti atau keluar. Biaya perpisahan adalah biaya yang pertama harus ditanggung organisasi, yaitu segala biaya yang
harus ditanggung organisasi selama proses pemutusan hubungan kerja, seperti biaya administrasi dan pesangon. Kedua, biaya lowongan, yaitu biaya yang harus diberikan pada
pekerja yang bekerja lembur untuk menggantikan tenaga karyawan yang berhenti demi memenuhi target yang telah ditetapkan. Biaya yang ketiga, biaya penggantian, meliputi biaya
iklan untuk menarik perhatian pelamar, biaya wawancara dan tes, biaya transportasi, biaya administrasi, biaya pemeriksaan kesehatan, serta biaya pengumpulan dan penyebaran
informasi. Keempat, biaya pelatihan yang harus dikeluarkan organisasi, baik dalam pelatihan formal maupun pelatihan non-formal. Terakhir adalah biaya yang disebut sebagai biaya
perbedaan kinerja, yaitu biaya yang muncul akibat adanya perbedaan tingkat produktivitas antara karyawan yang berhenti dengan karyawan penggantinya.
Biaya-biaya yang disebutkan di atas adalah biaya nyata yang harus dikeluarkan oleh organisasi jika ada karyawannya yang memutuskan untuk berhenti secara sukarela. Di luar
biaya-biaya tersebut, masih terdapat biaya yang menjadi tanggungan organisasi yang sifatnya tidak dapat dilihat secara langsung, seperti timbulnya stres dan ketegangan yang
diakibatkan adanya karyawan yang memutuskan untuk berhenti, menurunnya semangat juang karyawan yang masih tinggal, menurunnya produktivitas yang diakibatkan hilangnya
sinergi kerja kelompok pekerja, serta peningkatan beban kerja yang tak tergantikan oleh karyawan lain yang timbul sealama lowongan dibuka. Tingginya tingkat kerugian yang harus
ditanggung dari adanya turnover ini mendorong organisasi untuk terus berusaha meminimalkan kemungkinan munculnya keinginan karyawan untuk berhenti atau keluar dari
organisasi tersebut. Komitmen organisasi ini terutama dipengaruhi oleh 4 faktor. Pertama, adalah
karakteristik individu, seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, dan kebutuhan akan prestasi,atau yang dikenal sebagai need of achievement N-ach. Kedua,
karakteristik pekerjaan, seperti stres kerja, tantangan dalam pekerjaan, umpan balik, identifikasi tugas, kejelasan peran, serta perkembangan diri, karir, dan tanggung jawab.
Ketiga, karakteristik organisasi, yaitu struktur organisasi sentralisasi, formalitas, dan kompleksitas, gaya kepemimpinan dalam organisasi, dan dukungan sosial yang diciptakan
dalam organisasi. Terakhir, sifat dan kualitas pengalaman kerja. Penjelasan atas hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi
memunculkan perdebatan dalam menentukan manakah diantara keduanya yang muncul terlebih dahulu dan kemudian memicu munculnya variabel yang lain. Beberapa penelitian
seperti Price dan Mueler; Bateman dan Strasser; serta Vandenburg dan Lance Chen, 2004 menemukan bahwa kepuasan secara umum terhadap pekerjaan muncul dengan didahului
oleh adanya komitmen dalam diri karyawan pada organisasinya. Sedangkan komitmen tersebut muncul dari adanya kepuasan pada aspek-aspek dalam pekerjaan, seperti sifat-sifat
pekerjaannya, atasan, teman kerja, kebijakan atas kompensasi serta kesempatan promosi yang ada.
Sebaliknya, penelitian lain menemukan bukti bahwa kepuasan atas kebijakan organisasi, kompensasi, kondisi kerja, dan promosi berkorelasi positif secara signifikan
dengan komitmen terhadap organisasi Feinstein dan Vondrassek, 2000. Mereka juga menyebutkan penelitian yang dilakukan oleh Yousef pada tahun 2000 yang menemukan
bahwa perilaku pemimpin dipengaruhi oleh komitmen, dimana komitmen organisasi dipengaruhi oleh kepuasan kerja dan kinerja.
Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa kepuasan kerja akan memicu munculnya komitmen pada diri karyawan terhadap organisasi. Pemikiran ini didasarkan pada
pendapat Mowday, dkk. Miner, 1992 bahwa komitmen organisasi merupakan suatu konsep yang lebih luas daripada kepuasan kerja. Komitmen organisasi adalah suatu bentuk respon
umum yang berupa kecintaan terhadap organisasi secara keseluruhan, sedangkan kepuasan kerja merupakan respon yang lebih khusus terhadap suatu pekerjaan atau jabatan tertentu
dan aspek-aspek yang terkait dengannya. Selain itu, komitmen organisasi sifatnya lebih konsisten dan permanen dalam diri seseorang karena kejadian-kejadian sehari-hari dalam
organisasi tidak akan membawa dampak serius terhadap tingkat komitmen karyawan terhadap organisasi yang diikutinya. Berbeda dengan kepuasan kerja yang dapat berubah
sesuai pengalaman sehari-hari yang dihadapi karyawan dalam organisasi. Kepuasan kerja ini sendiri menurut Okpara 2004 dipengaruhi oleh karakteristik
pekerjaan yang ada dan juga tingkat keterlibatan karyawan terhadap proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Goh 2001 dalam penelitiannya menemukan bahwa atribut
yang menempel pada suatu organisasi pembelajaran learning organization, yaitu rendahnya tingkat formalisasi, akan meningkatkan kepuasan kerja.
Dari berbagai macam organisasi yang ada, peneliti memilih rumah sakit sebagai suatu organisasi atau lembaga usaha tempat penelitian diadakan. Bila dibandingkan dengan
lembaga usaha yang lain, rumah sakit memiliki beberapa sifat khusus, antara lain jenis jasa yang diberikan merupakan jasa di bidang kesehatan; keluhuran profesi pemberi jasa yang
bekerja di dalamnya, dimana segenap jajaran rumah sakit pada prinsipnya merupakan pelayan bagi para konsumennya; sifat konsumen yang dilayani, yang membutuhkan
penanganan yang bukan hanya cepat namun terutama pula tepat; serta muatan tanggung jawab moral, kemanusiaan, dan sosial yang diembannya. Rumah sakit memiliki tugas
membantu masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat, menyelamatkan nyawa seseorang melalui tindakan medis, dan juga tak jarang dituntut
memberikan pelayanan tanpa memungut biaya dari pasien sebagai konsumennya. Dalam era globalisasi yang kompetitif ini, rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan
secara profesional dengan harga yang terjangkau. Hal ini pula yang mendasari adanya pergeseran orientasi pengembangan rumah sakit, dari suatu lembaga sosial dengan sifat
kemanusiaan yang menonjol menuju lembaga usaha yang berorientasi bisnis dan mencari keuntungan.
Dalam memberikan pelayanan kepada pasien sebagai konsumen utama, rumah sakit mengandalkan tenaga perawat, baik dalam memberikan pelayanan medis yang sifatnya
ringan dan darurat maupun pelayanan non-medis, seperti memandikan da menyuapi pasien selama ia dirawat di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan perawat juga tidak mengenal
waktu. Mereka dituntut untuk siaga 24 jam dalam memberikan pelayanan bagi pasien. Tak jarang perawat dihadapkan pada situasi dimana ia harus melayani pasien, atau keluarga
pasien, yang memiliki banyak permintaan dan tuntutan, adanya gangguan interupsi terus- menerus dalam bekerja, keterbatasan waktu yang dimiliki untuk mempersiapkan pekerjaan,
serta adanya tanggung jawab dalam pekerjaan tanpa disertai kekuasaan dalam mengambil keputusan Demerouti, dkk. , 2000.
Selain menghadapi situasi yang memicu stres tersebut, perawat juga dituntut untuk memiliki kemampuan berhubungan dan berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya
maupun dengan tim kesehatan lainnya, mapu mengkaji kondisi kesehatan pasien – melalui
wawancara, pemeriksaan fisik, maupun interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, mampu menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan tindakan yang dibutuhkan pasien, serta
mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan dan menyesuaikan kembali perencanaan yang telah dibuat Nurachmach dalam Fatdina, 2005.
Berdasar uraian di atas, muncul beberapa pertanyaan yang akan berusaha dijawab oleh penelitian ini, yaitu:
1. Apakah persepsi perawat pada struktur organisasi yang meliputi tingkat formalisasi, sentralisasi, dan kompleksitas akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja dan komitmen
perawat terhadap rumah sakit tempat ia bekerja? 2. Apakah tingkat kepuasan kerja akan dapat mempengaruhi tingkat komitmen perawat
terhadap rumah sakit tempat ia bekerja? 3. Apakah persepsi perawar pada struktur organisasi akan dapat mempengaruhi komitmen
pada rumah sakit secara langsung tanpa mediasi kepuasan kerja? Maka penelitian ini diberi judul “Persepsi pada struktur organisasi, kepuasan kerja,
dan komitmen perawat pada Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
.”
B. Tujuan Penelitian