d. Resolusi Bandar Seri Begawan, 1994 : Rencana Aksi Strategis ASEAN
tentang Lingkungan Hidup e.
ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollutan, 1995 ASEAN CPTP : memuat 3 program dan salah satunya mengenai pencemaran
udara lintas batas .
63
B. Tanggung Jawab Negara dalam Masalah Kabut Asap dalam Hukum Internasional
Sering tindakan yang diambil oleh suatu negara menimbulkan luka terhadap atau penghinaan atas martabat atau kewibawaan negara lain. Kaidah-
kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan dimana, dan prinsip-prinsip dengan mana negara yang dirugikan menjadi
berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada “pertanggungjawaban negara-negara
bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah.
64
a. Tindakan yang terdiri atas suatu perbuatan atau kelalaian
dipersalahkan kepada negara berdasarkan hukum internasional; Berdasarkan teori tanggung jawab negara, yang dikatakan bahwa
munculnya tanggung jawab negara setidaknya dikarenakan beberapa hal :
b. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban
internasional;
63
Rully Syumanda.Negeri Seribu Asap. http:rullysyumanda.orgcomponentcontentarticle3-essay-corner780-negeri-seribu-asap.html,
diakses pada tanggal 24 Januari 2012 21:22
64
Ibid,hal.391.
Universitas Sumatera Utara
c. Setiap tindakan yang tidak sah secara internasional akan melahirkan
suatu tanggung jawab negara
65
Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dalam negara yang disebabkan karena kelalaian yang dilakukan oleh individu, badan hukum
dalam negara yang merugikan negara lainnya berdasarkan hukum internasional. Tindakan tersebut bersifat merugikan negara lainnya sehingga dapat dikatakan
sebagai pelanggaran sehingga secara langsung negara tersebut harus bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Hal ini terkait dengan adanya prinsip kedaulatan
negara dan prinsip saling hormat-menghormati wilayah negara lain.
66
a. Pelanggaran berat atas kewajiban internasional yang sangat penting
untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan melanggar hukum secara internasional timbul dari pelanggaran
suatu negara atas kewajiban internasional yang sangat esensial guna perlindungan terhadap kepentingan yang sangat fundamental bagi masyarakat internasional. Hal
tersebut dapat timbul karena beberapa hal :
b. Pelanggaran berat atas kewajiban internasional yang sangat penting
untuk menjamin hak menentukan nasib sendiri suatu bangsa. c.
Pelanggaran berat terhadap kewajiban internasional dalam skala luas, yakni perlindungan terhadap ummat manusia seperti kewajiban
melarang perbudakan, pembunuhan masal dan apartheid.
65
J.G. Starke, Op., Cit., hlm 112
66
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002 hal. 300.
Universitas Sumatera Utara
d. Pelanggaran berat atas kewajiban internasional untuk melindungi
lingkungan ummat manusia .
67
Pertanggungjawaban negara memang menyentuh banyak aspek, di dalamnya terdapat tindakan yang dipersalahkan menurut Hukum Internasional,
pelanggaran terhadap kewajiban internasional, tindakan kekerasan dan agresi terhadap negara lain. Bahwa apa yang harus dipertanggung jawabkan oleh negara
merupakan suatu kewajiban hukum yaitu bahwa suatu tingkah laku harus sesuai dengan apa yang diminta oleh hukum harus ditaati dan dilaksanakan.
Pertanggung jawaban negara lebih pada kesalahan yang dilakukan oleh negara yang kemudian menimbulkan dampak kerugian bagi negara lainnya.
Sehingga negara yang melakukan kesalahan wajib bertanggung jawab akan kesalahannya tersebut.
68
Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,
baik kewajiban tersebut berdasarkan atas suatu perjanjian maupun hukum kebiasaan internasional.
69
Pencemaran kabut asap lintas batas negara akibat kebakaran atau pembakaran hutan merupakan tindakan yang menyentuh kedaulatan suatu negara.
Dalam kaitan kasus pencemaran asap lintas batas negara ini, negara yang menjadi sumber pencemaran harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh
67
Chalid Muhammad, Beberapa Pokok Pikiran tentang Kejahatan Terhadap Aset-Aset Alam, Upaya Penanggulangan dan Dampak yang di Timbulkanya, yang dipresentasikan dalam
Seminar Sekolah “Penanggulangan Kejahatan Terhadap Kekayaan Alam: Harapan dan Kenyataan” Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, 12 Desember 2006, hlm 22
68
Abu Daud Busro, Ilmu Negara, cet. III, Bumi Aksara:Jakarta, 2005, hlm 34
69
Anonimous, Mencari Legalitas Internasional atas Agresi Amerika ke Irak, http:groups.yahoo.comgroupambonmessage26777, diakses 24 Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara
negara lain. Sebagaimana tercantum dalam prinsip Sic utere tuo ut alienum non laedas segala aktivitas yang terjadi dalam suatu negara, tidak boleh menimbulkan
kerugian pada negara lain. Prinsip ini juga tersirat dalam Deklarasi Stockholm 1972 yang menyatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk
mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Oleh karena itu, semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus
mengakui dan menghormati hal tersebut, karena kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di dalam kedaulatan itu,
terikat di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Sehingga jika suatu negara melanggar ketentuan-ketentuan internasional atau
melakukan suatu tindakan yang tidak sah secara internasional maka terhadapnya dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian injury
.
70
Sejauh ini memang belum ada instrumen hukum internasional yang mengatur pertanggungjawaban negara pada umumnya yang dapat diterapkan
terhadap persoalan lingkungan internasional, untuk itu International Law Commision ILC telah mencoba membuat rancangan ketentuan-ketentuan tentang
pertanggungjawaban negara, yaitu sebagai mana tertuang dalam I.L.C. Draft Articles on State Responsibility, di dalam draft ILC ini terdapat 5 lima prinsip
yang mengatur kegiatan yang dilakukan diwilayah suatu negara, atau wilayah yang berada dibawah yurisdiksinya, atau kegiatan yang berada dibawah
70
J.G. Starke, op.cit., hlm. 293-294.
Universitas Sumatera Utara
pengawasan negara yang bersangkutan, yang menyebabkan timbulnya ancaman atau akibat lintas batas.
71
Prinsip pertama menyatakan bahwa kedaulatan negara untuk melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan di wilyahnya “must be compatible with
the protection of the rights emanating from the sovereignty of other state. Harus sesuai dengan perlindungan hak-hak yang berasal dari kedaulatan negara lain”.
72
Prinsip ketiga dan keempat tertuang dalam Art 9, yaitu : suatu negara tempat kegiatan yang menyebabkan kerusakan berasal harus melakukan perbaikan
reparation terhadap kerusakan yang terjadi, dan perbaikan tersebut harus Prinsip yang dikembangkan dari Maxim hukum Romawi sic utere tuo ut alineum
non leades ini, dan sebagaimana telah tercermin pada prinsip 21 Deklarasi Stockhlom 1972 dan prinsip 19 Deklarasi Rio 1992. Dapat dijelaskan sebagai
berikut : setiap negara mempunyai kewajiban untuk tidak menggunakan atau mengijinkan digunakannya wilayahnya sedemikian rupa sehingga menyebabkan
timbulnya bahaya atau kerugian terhadap lingkungan orang, harta benda dan atau hak-hak negara lain, atau daerah diluar wilayahnya.
Prinsip kedua, yang tertuang dalam Art 7 dan 8, pada pokoknya berisi tentang kewajiban bagi negara untuk saling kerjasama untuk “take appropriate
measures to prevent or minimize the risk of transboundary effects”, “Mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah atau meminimalkan risiko efek lintas batas.
71
Marsudi Triatmodjo. “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Internasional”. Mimbar Hukum: vol 19 Nomor 3.hal.176.
72
Sebagaimana terdapat dalam Art 6
Universitas Sumatera Utara
memenuhi keseimbangan kepentingan-kepentingan balance of interests yang telah dirugikan.
73
Prinsip kelima adalah prinsip non diskriminasi non-discrimination yang mewajibkan negara untuk “treat the effects of an activity that arise in the territory
or under the jurisdiction or control of another state in the same way as effects arising in their own territory.
74
Selanjutnya dalan menetapkan adanya pertanggungjawaban negara tersebut dikenal adanya 4 empat kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar,
yaitu : subjective liability, objective fault criteria, strict liablity, dan absolute leability. Konsep subjective leability atau tanggung jawab atas dasar kesalahan
liability based on fault, yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan
itu, sedangkan konsep absolute liability atau strict liability atau tanggung jawab objektif objective responsibility, yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung
jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan harmful effects of untra-hazardous activities walaupun kegiatan itu sendiri
adalah kegiatan yang sah menurut hukum, untuk konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf sebagaimana konsep strict liability.
“ Mengobati efek dari kegiatan yang timbul di wilayah atau di bawah yurisdiksi atau kontrol negara lain dengan cara yang sama
sebagai efek yang timbul di wilayah mereka sendiri.”
75
73
Marsudi Triatmodjo, Ibid, hal.176.
74
Sebagaimana tertuang pada Art 11 dan 15 di dalam ketentuan International Low Commision ILC yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara.
75
Marsudi Triatmodjo, Ibid, hal. 177.
Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 Convention on International Liability for Damage
Universitas Sumatera Utara
caused by Space Objects of 1972 yang menyatakan bahwa negara peluncur launching state mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk
kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.
76
Intinya, berdasarkan ketentuan hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul apabila negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan
dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya
pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan maaf secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti
rugi material.
77
Goldie menyatakan bahwa istilah responsibility digunakan untuk menunjuk pada kewajiban duty, atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu
peran sosial yang ditetapkan oleh sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah liability digunakan untuk menunjuk pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau
kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah ditetapkan.
78
1. States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the
Area, whether carried out by States Parties, or state enterprises or natural or Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari
rumusan ketentuan Art. 139 1 2 KHL-1982, sebagai berikut:
76
Vivin Ryuk.Tanggung Jawab Negara State Responsibility, http:inspirasihukum.blogspot.com201104tanggungjawab-negara-state_23.html
, diakses 11 Februari 2012.
77
Marsudi Triatmodjo, Op.Cit, hal 172.
78
Ibid, hal.173.
Universitas Sumatera Utara
juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, shall be carried out in
conformity with this Part. The same responsibility applies to international organizations for activities in the Area carried out by such organizations
2.
Without prejudice to the rules of international law and Annex III, article 22, damage caused by the failure of a State Party or international organization to
carry out its responsibilities under this Part shall entail liability: States Parties or international organization acting together shall bear joint and
several liability. A State Party shall not however be liable for damage caused by any failure to comply with this Part by a person whom it has sponsored
under article 153, paragraph 2 b, if the State Party has taken all necessary and appropriate measures to secure effective compliance under article 153,
paragraph 4, and Annex III, article 4 paragraph 4.
79
“2. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional lampiran III pasal 22, kerugian yang disebabkan oleh kelalaian
suatu negara peserta atau organisasi internasional untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan bab ini akan mengakibatkan kewajiban untuk ganti
rugi. Negara-negara peserta atau organisasi-organisasi internasional bertindak “1. Negara-negara peserta harus bertanggung jawab untuk menjamin bahwa
kegiatan-kegiatan di kawasan, baik dilakukan oleh negara-negara peserta atau perusahaan-perusahaan atau badan hukum atau orang perorangan yang
memiliki kebangsaan negara-negara peserta atau yang dikuasai secera efektif oleh mereka atau oleh warganegara-warganegara mereka, harus dilaksanakan
sesuai dengan bab ini. Tanggung jawab yang sama berlaku bagi organisasi- organisasi internasional untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi tersebut di kawasan.
79
Termuat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum laut, yang termuat dalam article 139 responsibility to ensure compliance and liability for damage tanggung
jawab untuk menjamin pentaatan dan kewajiban membayar ganti rugi.
Universitas Sumatera Utara
bersama-sama harus memikul secara bersama dan secara tanggung renteng kewajiban untuk ganti rugi, akan tetapi suatu negara peserta tidak
berkewajiban menanggung kerugian yang disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh seorang yang disponsorinya berdasarkan pada pasal 153 ayat 2
b, apabila negara peserta tersebut telah mengambil segala tindakan yang perlu dan tepat untuk menjamin ditaatinya secara efektif menurut pasal 153
ayat 4, dan lampiran III, pasal 4 ayat 4.
Dalam konteks perlindungan lingkungan, untuk mengetahui ada tidaknya pertanggungjawaban negara responsibility dan atau liability dalam suatu
peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan penelitian terhadap empat aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang meliputi: akibat effect;
kegiatan activity; tempatruang lingkup space; serta sumber dan korban sources and victims.
80
Mengenai ada tidaknya akibat yang ditimbulkan dalam suatu peristiwa, pertama-tama perlu untuk dibedakan mengenai pengertian kerusakan damage
dan pengertian membahayakan harm, dalam hukum internasional, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Art. 1 a Liability Treaty-1972, pengertian
kerusakan didefinisikan sebagai berikut: the term damage means loss of life, personal injury or other impairment of health, or loss of or damage to property of
States or persons, natural or juridical, or property of international intergovernmental organizations. “kerusakan dapat diartikan sebagai hilangnya
80
Marsudi Triatmodjo, Op.Cit,.hal.174.
Universitas Sumatera Utara
nyawa, cedera atau kerusakan lain dari kesehatan, atau kehilangan atau kerusakan harta Negara atau orang, atau badan hukum, atau milik organisasi antar
pemerintah internasional. Dalam hal ini pengertian damage diberi batasan
sebagai kerugian pisik dan material.
81
81
Ibid, hal.174.
Terhadap kegiatan activity ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sabagai parameter dalam meneliti ada tidaknya
pertanggungjawaban negara dalam suatu peristiwa tertentu. Namun, pada pokoknya unsur kegiatan tersebut diteliti untuk mengetahui adanya hubungan
kausal dalam peristiwa yang bersangkutan, dimana hubungan kausal tersebut ada apabila suatu kegiatan menimbulkan akibat yang membahayakan deleterious
effects atau kerusakan damages lingkungan yang bersangkutan, untuk aspek tempat atau ruang lingkup space penting artinya untuk menentukan siapa yang
berhak mengajukan klaim terhadap suatu kerusakan atau menurunnya kualitas lingkungan yang terjadi. Bentuk yang paling sederhana mengenai ada tidaknya
pertanggungjawaban negara adalah apabila akibat suatu pencemaran itu hanya diderita negara-negara tetanga. Namun, persoalan akan timbul apabila akibat dari
pencemaran itu sampai kawasan the commons, seperti laut lepas, antartika ataupun ruang angkasa. Adapun aspek sumber dan korban berkaitan dengan subyek
hukum internasional atau pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan individu. Dalam praktek,
yang dapat mengajukan penyelesaian sengketa oleh Mahmakah Internasional adalah negara,
biasanya yang melakukan kegiatan sebagai sumber pencemar dalam suatu kegiatan adalah individu, sehingga dalam hukum internasional
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban negara tersebut didasarkan pada masalah pengawasan atau pengendalian control negara terhadap kegiatan yang dilakukan oleh warga
negaranya atau industri yang bersangkutan. Hal tersebut juga berkaitan terhadap masalah korban dari suatu pencemaran.
82
Sejarah kebakaran hutan di Indonesia setelah dalam dua dekade terakhir, trasnboundary haze pollution terjadi selama tiga periode yakni tahun 1982-1983,
1997-1998 dan 2005 dan 2006. Bahkan periode 1997-1998 tercatat sebagai kebakaran hutan terbesar diseluruh dunia. Dampak kebakaran hutan tidak hanya
dirasakan penduduk beberapa negara tetangga. Protes keraspun dialamatkan kepada Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang dianggap paling
bertanggungjawab untuk mengatasi masalah tersebut. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus
ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga transboundary pollution sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya
masalah ini.
83
Sejak tahun 2006 masalah kebakaran hutan mulai hangat kembali saat terjadi kebakaran hebat pada bulan Juli-November 2006 dikawasan Sumatera dan
Kalimantan yang menimbulkan Transboundary Haze Pollution. Negara-negara tetangga yang terkena Transboundary Haze Pollution memberikan reaksi keras
82
Ibid, hal 175.
83
Dinarjati Eka Puspitasari dan Agustina Merdekawati. Pertanggungjawaban Indonesia dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan Berdasarkan
Konsep State Responsibility. Mimbar Hukum:vol 19 Nomor 3.hal. 335-485.
Universitas Sumatera Utara
tidak hanya melalui negoisasi perwakilan diplomatiknya. Pertama, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengirim surat kepada Presiden Indonesia
Yudhoyono yang berisi kekecewaan negaranya terhadap kiriman asap yang hampir setiap tahun diterima oleh Singapura dari pembakaran hutan yang terjadi
diwilayah Indonesia. Kedua, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato’ Zainal Abidin Zain menyatakan negara malaysia memberikan peringatan warning
kepada Pemerintah Indonesia agar tidak mengekspor asap ke Malaysia tahun depan. Kabut asap akibat kebakaran hutan Indonesai telah membuat warga
Malaysia kesal dan meminta agar Indonesia serius menangani masalah kabut asap kebakaran hutan Indonesia sehingga tidak terjadi lagi pada tahun 2007. Ketiga
desakan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN agar Indonesia segera meratifikasi The Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution 2002.
84
Sebagaimana diketahui berdasarkan pada pertemuan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober
2006, Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi Indonesia tidak langsung setuju dengan permintaan Malaysia dan
Singapura. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat
dan pariwisata mereka. Tidak saja dari segi lingkungan hidup dan kesehatan, tetapi juga secara ekonomi. Seorang ahli ekonomi dari Nanyang Technological
University Singapura, misalnya, memperkirakan kerugian Singapura akibat asap
84
Dinarjati Eka Puspitasari dan Agustina Merdekawati. Ibid, hal.335-448.
Universitas Sumatera Utara
kita dalam satu bulan terakhir telah mencapai hampir Rp500 miliar
.
85
Kabut asap mengganggu Bandara Changi Singapura dan aktivitas di pelabuhan karena jarak
pandang menjadi sangat dekat. Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini
sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura.
86
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang telah meminta maaf kepada PM Singapura Lee Hsien Loong dan PM Malaysia.
Pemerintah juga berjanji segera menanggulangi persoalan itu dengan lebih terkoordinasi, dengan rencana pengeluaran dana lebih besar, dan dengan
penggunaan metode lebih terintegrasi. Namun, itu semua tidak mampu meyakinkan negara-negara tetangga bahwa kita mampu segera menyelesaikan
persoalan yang terus berlangsung setiap tahun tanpa ada solusi permanen dan negara tetangga juga belum merasa puas. Inti ketidakpuasan dari negara-negara
ASEAN terutama Malaysia dan Singapura adalah bahwa Indonesia hingga tahun 2007 belum meratifikasi The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution AATHP.
87
85
Media Indonesia, Sabtu, 14 Oktober 2006 Menarik Pelajaran Dari Masalah Asap, https:opini.wordpress.com20061014menarik-pelajaran-dari-masalah-asap
diakses pada tanggal 3 Januari 2012
86
Suara Merdeka, Sabtu, 14 Oktober 2006, Gangguan Asap Tanggung Jawab kita. http:www.suaramerdeka.comharian061014opi01.htm Diakses pada tanggal 3 Januari 2012
87
Soraya, Octavia Maya 2007, Pertanggungjawaban Negara Indonesia Terhadap Kasus Polusi Asap yang Melintas Batas Negara dalam Kaitannya dengan ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution. Undergraduate thesis, Perpustakaan Fakultas Hukum UNDIP. Diakses pada tanggal 2 januari 2012
Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi
yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus Transboundary Haze Pollution akibat kebakaran hutan ini dapat dilihat bahwa lahirnya pertanggungjawaban Indonesia adalah sebagai
konsekuensi dari kesalahan yakni kesalahan dalam mekanisme pengelolaan hutan di Indonesia atau dari kegagalan pemerintah Indonesia yang berdasarkan standar
yang ditetapkan bahwa Indonesia seharusnya melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mengetasi kebakaran hutan yang terjdi sehingga tidak sampai terjadi
kasus Transboundary Haze Pollution, yang menimbulkan kerugian baik yang dapat dinilai dengan materi ataupun tidak. Oleh karena itu, upaya pemulihan yang
menjadi tanggungjawab Indonesia tidak hanya permohonan maaf, melainkan harus diikuti dengan pemulihan yang berwujud pecunairy reparation mislanya
dengan pemberian ganti rugi secara material. Dengan demikian wujud pertanggungjawaban Indonesia adalah liability.
88
Tuntutan pertanggungjawaban Indonesia dalam kasus Transboundary Haze Pollution akibat kebakaran hutan dari negara-negara yang dirugikan
memang belum pernah ada sampai tahun 2007. Ketiadaan tuntutan ini bukanlah karena tidak adanya kewajiban untuk bertanggungjawab bagi Indonesia terkait
kasus Transboundary Haze Pollution, namun karena beberapa perwakilan kedutaan mereka di Indonesia lebih mendasarkan pada hubungan baik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi dalam organisasi ASEAN sendiri memang telah ada komitmen bersama untuk selalu bekerjasama dalam
menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi anggotan ASEAN secara damai.
88
Dinarjati Eka Puspitasari dan Agustina Merdekawati, op.cit.,h.481
Universitas Sumatera Utara
Saat ini sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah- langkah penanganan berupa Mekanisme Local Remedy yaitu suatu langkah dalam
tingkat nasional yang dilakukan dalam upaya penanganan kabut asap akibat kebakaran hutan dan Mekanisme Diplomatic Channel. Mekanisme Local Remedy
meliputi :
89
1. Membentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi
Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah melalui penetapan Surat Keputusan Direktur Jendral Perlindungan dan
Konservasi Alam No.22KPTDJ-IV2004. 2.
Menyiapkan anggaran sebesar Rp.100 Miliar untuk penanganan kebakaran hutan dan kabut asap.
3. Instruksi upaya penanganan lokal oleh Pemerintah Daerah yang di
daerahnya terjadi kebakaran hutan dengan memberdayakan seluruh sarana, prasarana dan dana dari aset daerah dan pemberdayaan
masyarakat. 4.
Menindak tegas para pemegang ijin HPH Hak Pengelolaan Hutan dan HTI Hutan Tanaman Industri yang terbukti melakukan
pembakaran hutan secara tidak bertanggungjawab sebagai upaya pembukaan lahan Land Clearing secara cermat.
5. Meratifikasi berbagai konvensi internasional yang terkait dengan
maslah asap dari kebakaran hutan diantaranya UNFCCC kerangka
89
Ibid, hal 482
Universitas Sumatera Utara
PBB tentang perubahan iklim secara global dan Protokol Kyoto sebagai pelaksanaannya.
Mekanisme Diplomatik Channel meliput i : 1.
Permintaan maaf Presiden RI atas asap kebakaran hutan Indonesia dan berjanji akan mengambil tindakan-tindakan progresif dalam
upaya menanggulangi masalah asap kebakaran hutan indonesia. 2.
Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia Asia Tenggara lain untuk membahas koordinasi penanganan kabut asap.
3. Pertemuan Menteri Kehutanan se-Asia Tenggara untuk membahas
masalah pengelolaan hutan yang baik.
C. Pengaruh ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Terhadap Kepentingan dan Kebijakan Nasional
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun dan seringkali mengakibatkan asap lintas batas yang merugikan negara tetangga
terdekat di lingkungan ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Oleh karena itu, maka Indonesia beserta negara ASEAN lainnya
sepakat untuk mengatasi kebakaran dan dampak asapnya tersebut melalui penandatanganan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution AATHP
pada tanggal 10 Juni 2002. Salah satu alasan perlunya mengatasi kebakaran hutan dan lahan beserta dampak asapnya tersebut secara bersama-sama adalah masalah
Universitas Sumatera Utara
lemahnya kelembagaan, AATHP telah berlaku pada tanggal 25 November 2003 sejak 6 enam negara anggota ASEAN meratifikasinya.
90
Tujuan dari konvensi ini adalah merumuskan implikasi kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution AATHP. Dengan
diketahuinya bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP khususnya yang dapat mendorong perbaikan persoalan kelembagaan
penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia maka diharapkan Indonesia dapat lebih mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan
berserta dampak asapnya. Untuk mengetahui hal ini, maka selain dilakukan kajian terhadap isi AATHP, juga diperlukan kesamaan pendapat dari para stakeholder
yang terkait dengan pemberlakuan AATHP.
91
1. Pasal 2 : Tujuan
AATHP terdiri dari 32 pasal dan sebuah lampiran. Berikut akan dibahas bagian-bagian terpenting dari kesepakatan tersebut yang memiliki pengaruh
terhadap Indonesia.
Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk mencegah dan memonitor transboundary haze pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang
sebaiknya dilakukan dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama regional dan internasional.
2. Pasal 3 : Prinsip
90
Titi Novitha Harahap. Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Lintas Batas. http:digilib.itb.ac.idgdl.php?mod=browseop=readid=jbptitbpp-gdl-titinovith-30419
. Diakses 13 Februari 2012.
91
Titi Novitha Harahap, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
a. Prinsip tanggung jawab negara
b. Prinsip pencegahan
c. Prinsip precautionary
d. Prinsip pembangunan yang aman
e. Prinsip kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat lokal,
NGO, petani dan perusahaan swasta. 3.
Pasal 4 : Kewajiban Umum a.
Bekerjasama dalam upaya pencegahan polusi udara lintas batas akibat kebakaran hutan termasuk didalamnya pengembangan upaya
monitor, adanya sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan teknologi dan saling memberi bantuan,
b. Ketika terjadi transboundary haze pollution dari suatu negara,
segera merespon dan menginformasikan negara atau negara-negara yang terkena atau akan terkena polusi udara tersebut untuk
meminimalisir akibatnya. c.
Melakukan upaya legislatif dan administratif untuk melaksanakan kewajiban dalam kesepakan ini.
4. Pasal 5 : adanya ASEAN center yang dibuat untuk memfasilitasi
kerjasama dan koordinasi antar pihak dalam mengelola dampak polusi asap. Ketika suatu negara menyatakan keadaan darurat, dapat meminta
bantuan kepada ASEAN Center 5.
Pasal 16 : Kerjasama secara teknis dan penelitian termasuk pertukaran informasi, para ahli, teknologi dan alat. Memberikan pelatihan, pendidikan
Universitas Sumatera Utara
dan kampanye pengembangan kesadaran tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan dan lingkungan.
6. Pasal 27 : Penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan konsultasi dan
negosiasi. Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal baik secara teori
maupun praktek.
92
Hukum internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan perdamaian. Keharusan untuk
menyelesaikan sengketa secara damai tercantum dalam Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang kemudian
dikukuhkan oleh pasal 23 Piagam PBB.
93
Berbagai aturan hukum internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai penyelesaian
sengketa internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan
memilih cara-cara penyelesaian sengketa, prinsip kesepakatan para pihak, dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan kemerdekaan
dan integritas wilayah Negara-negara.
94
Jadi dalam hukum internasional pada umunya, dan kasus kebakaran hutan ini pada khususnya,
penyelesaian sengketa terbaik adalah dengan jalur diplomatic secara langsung dan menghindari penggunaan ancaman kekerasan.
92
Andreas Pramudianto, Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan Internasional, Jakarta : Universita Indonesia,2009, hal
93
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni 2001, hlm.186
94
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta:Sinar Grafika, 2004, hlm.15-18
Universitas Sumatera Utara
Bila dilihat isi beberapa pasal terpenting dalam AATHP di atas, dapat dilihat bahwa dengan meratifikasi AATHP tersebut, Indonesia akan mendapatkan
banyak keuntungan. 1.
Indonesia dapat memanfaatkan SDM dan dana yang disediakan dalam kesepakatan ini. Transboundary haze pollution dianggap sebagai masalah
bersama oleh para anggota ASEAN. Bagi Indonesia tentunya menguntungkan mengingat keterbatasan dan ketidakmampuan untuk
menyelesaikan sendiri. 2.
Dari perspektif tanggung jawab negara, Indonesia akan terhindar dari potensi dimintai ganti rugi oleh negara tetangga. Hal ini karena masalah
asap merupakan masalah seluruh anggota ASEAN. Segala potensi yang ada di negara anggota ASEAN, termasuk dana yang dialokasi dapat
dimanfaatkan untuk menangani masalah asap. 3.
Melihat kondisi asap yang berasal dari Indonesia maka ratifiaksi akan menguntungkan karena negara ASEAN yang dari tahun ke tahun
mengalami masalah asap adalah Indonesia. 4.
Indonesia akan ada anggaran yang terkumpul dari berbagai sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi kebakaran hutan. Tanpa meratifikasipun
kita juga akan mengeluarkan dana untuk memadamkan kebakaran, namun dengan meratifikasi maka dana yang bisa digunakan akan menjadi lebih
besar. Dengan AATHP, penanggulangan kebakaran tersebut dapat
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan secara bersama-sama dengan negara ASEAN lainnya
95
Sudah sepatutnya, tindakan pertama pemerintah Indonesia adalah meratifikasi perjanjian tersebut, karena Indonesia sangat memerlukan bantuan dan
kerjasama negara negara ASEAN memadamkan kebakaran hutan. Dari awal sampai akhir penanggulangan kebakaran hutan, Indonesia memerlukan sumber
daya dan dana yang besar yang tidak bisa dia tanggung sendiri. Masalah ilegal logging dan isu lingkungan lainnya, sebaiknya dibicarakan nanti setelah
Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut. .
Indonesia diuntungkan juga karena akan menjadi tuan rumah bagi adanya pertemuan ASEAN tentang perjanjian tersebut serta menjadi pusat
kegiatan untuk penanggulangan polusi asap di ASEAN.
95
Www. Google.go.id Article Indonesia-AATHP. Diakses 13 Februari 2012.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERAN ASEAN DALAM MENGHADAPI KABUT ASAP AKIBAT