9
2.3 Analisis Statistik
Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap RAL dengan empat perlakuan dan masing- masing diulang tiga kali. Data yang
diperoleh berupa parameter kepadatan sel dianalisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95. Jika terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan
dengan uji Tuke y. Hasil biomassa panen, laju pertumbuhan spesifik LPS, waktu penggandaan G, analisis proksimat, klorofil dan kualitas air dianalisis secara
deskriptif dengan menampilkan gambar dan tabel.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Kepadatan Sel
Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat
pada perlakuan cahaya merah p0,05 Gambar 1. Kepadatan puncak perlakuan tersebut terjadi pada hari ke-18 kultivasi sebesar 14,83 x 10
4
selml. Kepadatan puncak pada perlakuan biru-merah, ko ntrol da n biru juga terjadi saat 18 hari
kultivasi dengan masing- masing jumlah kepadatan 8,67 x 10
4
selml; 6,67 x 10
4
selml dan 3,89 x 10
4
selml.
Gambar 1. Kepadatan sel Spirulina fusiformis selama kultivasi dengan perlakua n cahaya putih P, cahaya biru B, cahaya merah M dan
cahaya biru merah BM.
Gambar 2. Kepadatan sel Spirulina fusiformis pada saat puncak populasi dengan perlakuan cahaya putih P, cahaya biru
B, cahaya merah
M
dan cahaya biru merah
BM.
11 Selanjutnya, pengaruh perlakuan terhadap pencapaian kepadatan populasi
maksimal dianalisis melalui kepadatan sel pada saat puncak populasi yaitu hari ke-18 masa kultivasi. Gambar 2 menunjukkan bahwa populasi pada perlakuan
merah memiliki kepadatan sel tertinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol, biru dan biru- merah. Hal tersebut bahwa perlakuan cahaya merah dan biru
memberikan pengaruh yang nyata terhadap puncak kepadatan populasi p0,05. Akan tetapi, perlakuan cahaya putih tidak berbeda nyata dengan biru- merah.
3.1.2 Biomassa
Biomassa merupakan bobot populasi spirulina yang ditimbang dalam keadaan kering. Hasil biomassa S. fusiformis selama 23 hari kultivasi dapat dilihat
dari Gambar 3 yang menunjukkan hasil fluktuatif. Bobot kering tertinggi diperoleh pada perlakuan merah dengan biomassa sebanyak 5,075 mgml pada
hari ke-18 kultivasi. Kemudian dilanjutkan dengan biomassa tertinggi hingga terenda h yaitu perlakua n biru-merah sebanyak 3,625 mgml, perlakuan kontrol
sebanyak 2,303 mgml dan perlakuan biru 1,453 mgml pada hari ke-18 kultivasi.
Gambar 3. Biomassa Spirulina fusiformis kultivasi dengan perlakuan cahaya putih P, cahaya biru B, cahaya merah M dan cahaya biru merah
BM.
12 Selain itu, terdapat hubungan antara kepadatan dan bobot kering. Semakin
bertambahnya kepadatan sel maka berkecenderungan semakin bertambah pula bobot kering dari S. fusiformis. Hubungan tersebut terlihat dari garis linear yang
terbentuk setiap perlakuan Gambar 4. Setiap garis linear perlakuan memiliki nilai regresi yang berbeda. N ilai regresi tertinggi terjadi pada perlakuan cahaya
merah sebesar 0,956. Semakin besar nilai regresi, maka semakin besar pula
hubungan antara kepadatan sel dengan nilai bobot keringnya.
Gambar 4. Hubungan antara kepadatan dan biomassa Spirulina fusiformis pada perlakuan cahaya putih P, cahaya biru B, cahaya merah
M da n cahaya biru merah BM.
3.1.3 Laju Pertumbuhan Spesifik
Laju pertumbuhan spesifik LPS merupakan parameter yang menggambarkan pertambahan sel S. fusiformis per satuan waktu. Hasil LPS
selama masa kultivasi selama 23 hari mengalami penurunan pada semua perlakuan pencahayaan Gambar 5. Akan tetapi, nilai LPS pada perlakuan merah
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan biru- merah, ko ntrol dan biru.
13 Gambar 5. Laju pertumbuhan spesifik Spirulina fusiformis dengan perlakuan
cahaya put ih P, cahaya biru B, caha ya merah M da n cahaya biru merah BM.
3.1.4 Waktu Penggandaan
Waktu penggandaan didefinisikan sebagai lama waktu yang dibutuhkan sel untuk menggandakan populasi. Waktu penggandaan pada semua perlakuan
terhadap kultur S. fusiformis selama 23 hari kultivasi dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil tersebut menunjukkan bahwa waktu penggandaan relatif terus bertambah
lama seiring bertambahnya masa kultivasi hingga tidak adanya lagi penggandaan pada populasi kultur tersebut.
Gambar 6. Waktu penggandaan Spirulina fusiformis de ngan perlakuan cahaya putih P, cahaya biru B, cahaya merah M dan cahaya biru
merah BM.
3.1.5 Analisis Proksimat
Kandungan nutrisi dari Spirulina diukur melalui analisis proks imat setelah pe manenan yaitu pada hari ke-23 kultivasi. Berdasarkan Tabel 1, protein pada
14 perlakuan merah menghasilkan nilai sebesar 65,77 yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jika ditinjau dari kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol yaitu dengan penggunaan pencahayaan lampu
putih yang umum digunakan. Nilai lemak tersebut sebesar 6,63 yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Selain itu, jika ditinjau dari
segi nilai serat dari masing- masing perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan merah menghasilkan nilai serat yang paling rendah.
Tabel 1. Hasil analisis proks imat Spirulina fusiformis
Jenis nutrisi Nilai nutrisi pada perlakuan pencahayaan per bobot kering
Putih Biru
Merah Biru-Merah
Protein 55,78
58,31 65,77
56,05 Lemak
6,63 5,00
4,94 3,78
Karbohidrat 6,91
7,01 3,60
16,48 Mineral
16,00 12,99
8,91 9,61
Serat 14,68
16,98 8,53
15,62
3.1.6 Analisis Klorofil
Tabel 2 menunjukkan ba hwa kadar klorofil relatif lebih tinggi pada perlakuan merah sebesar 1,605 mgl daripada perlakuan kontrol, biru- merah dan
biru memiliki nilai yang lebih rendah. Tabel 2. Analisis klorofil Spirulina fusiformis
Perlakuan Kadar mgl
Kontrol 0,987
Biru 0,356
Merah 1,605
Biru-Merah 0,935
3.1.7 Kualitas Air
Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kandungan nitrat, DO dan pH selama perlakuan. Akan tetapi berbeda dengan kandungan nitrit yang terjadi
penurunan dari 0,45 mgl menjadi 0.06 mgl hingga 0,27 mgl. Parameter kualitas air yang memiliki nilai fluktuatif antar perlakuan adalah TAN, fosfat dan suhu.
15 Tabel 3. N ilai parameter kualitas air selama kultivasi Spirulina fusiformis
Parameter Perlakuan
Satuan K
B M
BM Awal
Akhir Awal
Akhir Awal
Akhir Awal
Akhir Nitrat
mgl 0,91
2,06 0,91
1,91 0,91
3,00 0,91
1,91 Nitrit
mgl 0,45
0,06 0,45
0,08 0,45
0,21 0,45
0,27 TAN
mgl 0,26
0,19 0,26
0,26 0,26
0,49 0,26
0,40 Fosfat
mgl 0,59
0,49 0,59
1,01 0,59
0,53 0,59
0,38 DO
mgl 6,40
7,20 6,40
7,30 6,33
7,40 6,10
7,30 Suhu
27,10 C
26,97 27,57
27,17 27,80
27,17 28,77
27,07 pH
- 9,63
10,31 9,63
10,31 9,63
10,30 9,63
10,31
3.2 Pembahasan
Ditinjau dari parameter kepadatan sel Spirulina fusiformis Gambar 1, diketahui bahwa semua perlakuan menunjukkan adanya pertambahan kepadatan.
Perlakuan pe ncahayaan TL merah 1500 lux menunjukkan populasi tertinggi pada hari ke-18 kultivasi dengan kepadatan 14,83 x 10
4
selml. Sementara, untuk perlakuan pe ncaha yaan TL biru- merah, pe ncahayaan TL putih da n pe ncahayaan
dengan TL biru 1500 lux menunjukkan populasi masing- masing sebesar 8,67 x 10
4
selml; 6,67 x 10
4
selml dan 3,83 x 10
4
Selama kultivasi dapat terlihat beberapa fase pertumbuhan dari S.fusiformis
yang meliputi fase lag, fase eksponensial atau logaritma dan fase deklinasi atau fase kematian. Fase lag pada perlakuan pencahayaan relatif singkat
dibandingka n de ngan perlakuan lainnya sekitar 5 hari. Menurut Fogg 1975, fase selml pada hari ke-18 kultivasi. Park
dan Lee 2000 menjelaskan bahwa alga menyerap semua cahaya yang diterima walaupun tidak semua foton dapat dimanfaatkan. Selanjutkan Campbe ll et al.
2002 mengungkapkan bahwa spektrum cahaya yang paling efektif diserap oleh klorofil sebagai sumber energi dalam reaksi terang adalah spektrum merah dan
biru. Penggunaan cahaya merah selama kultur menampilkan hasil pertumbuhan yang berbeda nyata dengan perlakuan pencahayaan lainnya serta kepadatan
populasi puncak tertinggi Gambar 2. Hal tersebut menjelaskan bahwa cahaya merah lebih dimanfaatkan oleh klorofil spirulina dalam proses fotosintesis.
Sebaliknya, perlakuan cahaya biru tidak menunjukkan hasil pertumbuhan yang baik. Berdasarkan Gonvindjee dan Barbara 1974 dalam Pambudi 2001
menerangkan bahwa warna merah diserap sangat kuat oleh alga untuk melakukan proses fotosintesis.
16 ini terjadi pelambatan dalam pertumbuhan alga karena energi yang dimiliki
dipusatkan untuk penyesuaian diri terhadap media kultur yang baru dan untuk pemeliharaan sehingga sebagian kecil atau tidak ada energi yang digunakan dalam
pertumbuhan. Di samping itu, fakta yang membuktikan bahwa spektrum merah lebih efektif diserap dibanding dengan spektrum lain mengakibatkan energi yang
produksi untuk beradaptasipun lebih banyak Gonvindjee dan Barbara, 1974 dalam
Pambudi, 2001. Setelah fase lag berakhir, maka pertumbuhan alga memasuki fase
eksponensial atau fase logaritma yaitu fase pertumbuhan yang terjadi peningkatan jumlah sel secara cepat Fogg, 1975. S. fusiformis yang dikultur menggunakan
cahaya merah mengalami fase tersebut dari hari ke-5 hingga hari ke-18 masa kultivasi. Berbeda dengan perlakuan biru- merah dan kontrol yang mengalami fase
eksponensial pada hari ke-8 hingga ke-18 masa kultivasi, sedangkan untuk perlakuan cahaya biru tidak menunjukkan fase eksponensial. Pertumbuhan yang
terjadi pada perlakuan tersebut cenderung meningkat secara perlahan. Hal ini dikarenakan cahaya yang terpapar pada S. fusiformis yang dikultur tidak
dikonversi menjadi senyawa kimiawi atau energi untuk mereka tumbuh. Cahaya tersebut lebih cenderung dipantulkan dibandingkan untuk diserap oleh klorofil.
Menurut Campbell et al. 2002 klorofil akan mengkonversi cahaya yang memaparkannya menjadi energi, jika cahaya tersebut diserapnya. Kualitas cahaya
juga akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis, pertumbuhan, perkembangan dan morfogenesis alga Korbee, 2005.
Selama fase eksponensial berlangsung terjadi peristiwa yang disebut doubling time
atau waktu terjadinya peningkatan populasi atau generasi sel baru dua kali lipatnya secara cepat Lee dan Shen, 2004. Selama peristiwa tersebut
terjadi pembelahan yang serempak pada sel S. fusiformis. Sel-sel mati ya ng disebut nikr idia aka n putus de ngan segera, ke mudian trichoma akan
terfragmentasi menjadi koloni sel yang terdiri atas 2-4 sel yang disebut hormogonium. Setelah itu memisahkan diri da ri filament induknya untuk menjadi
sel trachoma baru Ciferri, 1983; Ali dan Saleh, 2012. Dengan demikian, ketika semua sel pada populasi tersebut bersamaan pada fase pembelahan dan didukung
17 dengan energi cahaya serta zat hara yang cukup, maka terjadilah peristiwa yang
disebut doubling time. Setelah berakhirnya fase puncak, populasi S. fusiformis yang dikultur pada
semua perlakuan langsung mengalami fase kematian. Fase ini terjadi pada hari yang sama yaitu hari ke-18 kultivasi. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya fase tersebut diantaranya adalah habisnya nutrisi dalam media dan energi cadangan di dalam sel, jenis mikroalga Fogg, 1975, suplai
cahaya yang be rkurang, umur sel yang suda h tua, ko ndisi lingk ungan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan dan kontaminasi oleh mikroorganisme lain
Becker, 1994 dalam Winarti 2003. Grafik biomassa menunjukkan bahwa bobot kering spirulina yang
dikultivasi selama 23 hari terjadi peningkatan pada awal kultivasi hingga hari ke- 18, serta langsung terjadi penurunan hingga akhir kultivasi. Hal ini berkorelasi
positif dengan kepadatan sel, yaitu turunnya kepadatan mengakibatkan penurunan biomassa. Pernyataan tersebut diperkuat dengan Gambar 4 yang menjelaskan
bahwa adanya korelasi positif antara biomassa dan kepadatan sel dengan nilai R
2
Waktu penggandaan spirulina cenderung meningkat dari awal periode kultur hingga hari ke-21. Hal tersebut ditunjukkan dari waktu penggandaan yang
mencapai lebih dari satu hari. Kondisi ini diduga terkait dengan fase lag yang terjadi pada awal kultur akibat adaptasi inokulan terhadap kondisi lingkungan
kultur. Waktu penggandaan tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pencahayaan TL merah de ngan nilai waktu pe nggandaan sekitar 5 hari. Perlakuan pe ncahayaan
sama dengan 90 persen. Oleh karena itu, dengan persamaan tersebut kita dapat memprediksi biomassa pada suatu kepadatan sel tertentu ataupun sebaliknya.
Laju pertumbuhan spesifik spirulina cenderung terus mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan daya dukung media untuk hidup semakin
berkurang seiiring bertambahnya waktu kultivasi. Faktor yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik adalah kandungan unsur hara yang
terdapat dalam media kultur. Hasil tersebut sesuai de ngan pernyataan Fogg 1975 yang menyatakan bahwa peningkatan populasi alga yang terjadi menyebabkan
nutrisi media berkurang sangat cepat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan.
18 putih, pe ncahayaan TL biru da n biru-merah memiliki waktu penggandaan lebih
dari 5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa selama 21 hari kultivasi tersebut merupakan fase peralihan dari stasioner menuju fase kematian. Waktu
penggandaan pada awal inokulan menunjukkan hasil yang baik dimana semua perlakuan memiliki waktu penggandaan di bawah 2 hari. Hal tersebut disebabkan
oleh media skala intermediet memiliki kondisi yang mendekati sama denga n kondisi skala laboratorium. Dengan demikian, ketika inokulan ditransfer tidak
terlalu mengalami penurunan yang cukup signifikan. Seiring dengan bertambahnya masa kultivasi mengakibatkan waktu untuk menggandakan
populasi dari semua perlakuan semakin lama. Hal ini berkolerasi dengan semakin berkurangnya unsur hara yang terdapat pada media kultur.
Kandungan nutrisi pada suatu bahan sangat penting untuk diketahui dalam berbagai aspek baik dalam pangan maupun pakan. Kandungan nutrisi utama yang
sering dicari oleh kebanyakan kalangan yaitu protein. Hal ini dikarenakan dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal dan memiliki manfaat besar bagi
yang mengkonsumsinya. Nilai protein pada perlakuan cahaya merah sebesar 65,77 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari penelitian Rafiqul et al. 2005
yang menghasilkan nilai protein sebesar 61,8. Ditinjau dari kadar lemak da n karbohidrat pada semua perlakuan memiliki nilai yang berbeda-beda. Nilai lemak
tertinggi terdapat pada perlakuan cahaya putih sebesar 6,63 dan kadar karbohidrat tertinggi pada perlakuan cahaya biru-merah sebesar 16,48. Akan
tetapi, nilai tersebut masih dibawah nilai hasil penelitian Rafiqul et al. 2005 yang menghasilkan kadar lemak sebesar 8,2 dan kadar karbohidrat sebesar
18,2 pada S. fusiformis yang dikultur. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan cahaya pada saat kultivasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Hu 2004, bahwa adanya faktor yang mempengaruhi fotosintesis akan mempengaruhi pula pertumbuhan, susunan biokimia dan genetik pada sel, serta
kondisi kultur seperti suhu, intensitas cahaya dan pH akan merubah kadar protein pada alga hijau-biru Ciferri, 1983.
Selain protein, kandungan klorofil pada mikroalga akan berubah dengan adanya perbedaan perlakuan cahaya baik intensitas, periode pemaparan maupun
gelombang cahayanya. Kandungan klorofil pada perlakuan cahaya merah
19 menghasilkan nilai terbaik dibandingkan dengan perlakuan cahaya lainnya. Hal
ini dapat berkorelasi dengan pertumbuhan karena dengan banyaknya cahaya merah yang ditangkap oleh klorofil dibandingkan cahaya lainnya, mengakibatkan
pertumbuhan sel semakin cepat dan begitu pula dengan semakin tingginya kandungan klorofil. Berdasarkan Campbell et al. 2002, cahaya yang terserap
akan memberikan keefektifan relatif panjang gelombang yang berbeda dalam menggerakkan fotosintesis, karena cahaya dapat melakukan kerja dalam kloroplas
hanya jika ia diserap. Oleh karena itu, semakin tinggi nilai klorofil menunjukk an bahwa cahaya tersebut diserap secara efektif oleh kloroplas.
Kisaran kualitas air pada penelitian ini masih dalam kondisi yang baik untuk pertumbuhan spirulina. Suhu selama penelitian mencapai kisaran 26 hingga
29
o
C. Payer et al. 1980 dalam Winarti 2003 mengungkapkan bahwa suhu 25- 30
o
C merupakan suhu optimal untuk pertumbuhan Spirulina dan dapat pula tumbuh pada suhu 20-40
o
C. Borowitzka dan Borowitzka 1988 mengungkapkan bahwa umumnya kisaran suhu untuk pertumbuhan mikroalga hijau-biru lebih
besar dibandingkan jenis mikroalga lainnya. Nilai derajat keasamaan atau pH selama penelitian berkisar antara 9,63 hingga 10,31. Nilai tersebut masih dalam
kisaran yang optimal untuk pertumbuhan spirulina yang dapat hidup pada kisaran pH 8-11 Ciferri, 1983. Kandungan fosfat selama penelitian terjadi penurunan
nilai. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi penyerapan fosfat oleh alga untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Fosfat tersebut dalam bentuk ortofosfat yaitu
bentuk fari forfor yang dapat langsung digunakan oleh tumbuhan Fatimah, 2007.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan