Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional

BAB III PERKEMBANGAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

A. Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional

1. Perkembangan Konvensi Internasional tentang Narkotika Konvensi internasional pertama yang mengatur tentang narkotika adalah The Hague Opium Convention 1912, dan selanjutnya berturut-turut adalah The Geneva Internasional Opium Convention 1925, The Geneva Convention for Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention for the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936, Single Convention on Narcotic Drugs 1961, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protokol 1972 dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988. 59 Uraian perkembangan Konvensi Internasional Narkotika dibatasi pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988, karena kedua konvensi ini, merupakan resultante dari konvensi terdahulu mengenai narkotika dan psikotropika serta merupakan konvensi terpenting dalam sejarah pengaturan internasional di bidang narkotika dan psikotropika, setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. 60 Konvensi Tunggal Narkotika 1961 merupakan hasil konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di New York, tanggal 24 – 25 Maret 1961, dan setelah konvensi tersebut berlaku efektif selama 11 tahun, pada tanggal 6 – 24 Maret 1972 di Jenewa, telah diselenggarakan konferensi, United Nations Conference to Consider 59 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 52. 60 Ibid, hal. 53. Universitas Sumatera Utara Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs 1961 yang menghasilkan Protokol yang mengubah Konvensi Tunggal 1961. 61 Tujuan dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut dijabarkan dalam enam sub tujuan yaitu : Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menitikberatkan kepada aspek pengaturan dan pengawasan sedangkan Konvensi Wina 1988 menitikberatkan kepada aspek penegakan hukum. Konvensi Wina 1988 merupakan pembaharuan secara mendasar terhadap konvensi internasional narkotika pada umumnya, dan terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961 khususnya, karena strategi Konvensi Wina 1988 ditujukan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika. Kedua konvensi internasional ini memiliki perbedaan mendasar sejalan dengan perkembangan tindak pidana narkotika pada masanya. Perbedaan-perbedaan ini meliputi perbedaan dari segi tujuan maupun dari substansinya. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 bertujuan melakukan konsolidasi terhadap perjanjian-perjanjian terdahulu tentang narkotika dan memudahkan mekanisme pengawasan terhadap narkotika. Protokol perubahan tahun 1972 terhadap Konvensi Tunggal Narkotika tersebut di atas, bertujuan menyempurnakan ketentuan-ketentuan konvensi tersebut sehingga meliputi ketentuan tentang perlakuan dan rehabilitasi pecandu- pecandu narkotika. 62 1 Kodifikasi perjanjian multilateral tentang narkotika yang telah ada; 2 Menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional; 61 Ibid. 62 Ibid, hal. 55. Universitas Sumatera Utara 3 Memperluas sistem pengawasan atas penanaman obat-obatan alamiah narkotika lain sebagai pelengkap candu dan yang menghasilkan akibat ketergantungan seperti ganja atau daun koka; 4 Membatasi perdagangan dan impor narkotika; 5 Mengawasi perdagangan narkotika ilegal; 6 Mengambil tindakan-tindakan yang layak untuk perlakuan dan rehabilitasi bagi pecandu-pecandu narkotika. Sedangkan lingkup, sasaran dan tujuan Konvensi Wina 1988 adalah meningkatkan kerjasama penegakan hukum di antara negara peserta terhadap lalu lintas perdagangan narkotika dan psikotropika ilegal, baik dari aspek legislatif, administratif maupun aspek teknis operasional. Di dalam menjalankan kewajiban tersebut diharapkan agar peserta konvensi mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu sesuai dengan hukum nasional masing-masing negara. Perwujudan lingkup, sasaran dan tujuan tersebut di atas, tampak dari beberapa ketentuan yang dimuat dalam Konvensi Wina 1988, antara lain : 63 1 Pasal 3, mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan sanksi; 2 Pasal 4, mengatur tentang yurisdiksi; 3 Pasal 5, mengatur tentang penyitaan atau confiscation; 64 4 Pasal 6, mengatur tentang ekstradisi; 63 Ibid, hal. 56. 64 Penyitaan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP dirumuskan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah pengawasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Siklus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal 97. Universitas Sumatera Utara 5 Pasal 7, mengatur tentang perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana; 6 Pasal 8, mengatur tentang alih prosedur atau transfer of proceedings; 65 7 Pasal 9, mengatur tentang bentuk-bentuk lain dan pelatihan; 8 Pasal 10, mengatur tentang kerjasama internasional dan bantuan untuk negara transit; 9 Pasal 11, mengatur tentang penyerahan yang diawasi atau controlled delivery. Sembilan ketentuan tersebut di atas, merupakan ciri utama yang membedakan Konvensi Wina 1988 dari konvensi-konvensi internasional narkotika sebelumnya, sehingga konvensi tersebut merupakan konvensi narkotika yang bersifat represif atau suppresive convention. Selain itu terdapat konvensi narkotika lain yang memiliki tujuan yang sama, sekalipun belum semaju dan selengkap Konvensi Wina 1988 yaitu The Convention for The Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936. Inisiatif pertama untuk melahirkan suatu konvensi narkotika yang bersifat represif, berasal dari International Criminal Police Organization ICPO atau Interpol yang berpendapat bahwa diperlukan suatu konvensi khusus yang bertujuan menetapkan langkah-langkah preventif dan represif terhadap peredaran gelap narkotika internasional sehingga diharapkan dapat mengatasi kesenjangan antara ketentuan konvensi-konvensi sebelumnya. 66 65 Transfer of proceedings merupakan suatu pilihan ketika ekstradisi tidak dapat dilakukan. Dalam melakukan alih prosedur harus ada permintaan dari negara yang satu ke negara yang lain untuk melalukan proses hukum atas suatu tindakan yang merupakan pelanggaran baik di negara yang diminta maupun negara yang meminta. Sejumlah konvensi internasional memuat tentang ketentuan transfer of proceedings ini, yaitu European Convention on Mutual Assistance in Criminal Matters, the European Convention on Extradition dan the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988. 66 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal 57. Universitas Sumatera Utara Perbedaan lain dan relevan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika berdimensi internasional adalah ketentuan mengenai yurisdiksi kriminal. Konvensi Tunggal Narkotika 1961, tidak mengatur secara khusus masalah ini, sedangkan Konvensi Wina 1988 telah mengatur dan menetapkan kemungkinan bagi setiap negara peserta untuk memperluas yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana narkotika internasional. 67 Negara peserta Konvensi Wina 1988 menyadari bahwa apabila penegakan hukum terhadap lalu lintas perdagangan narkotika tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan hukum internasional, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yurisdiksi antar negara-negara tersebut. 68 Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1988, telah menetapkan antara lain sebagai berikut : 69 a. Para pihak harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan konvensi ini dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dan integritas wilayah negara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain; b. Salah satu pihak tidak akan mengambil tindakan dalam wilayah pihak lain untuk menerapkan yurisdiksi dan kekuasaannya yang secara khusus dimiliki oleh pejabat berwenang dari pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya. Wujud penegakan hukum yang sejalan dengan ketentuan tersebut di atas, ialah pembentukan perjanjian kerjasama antara negara-negara yang berkepentingan. Di dalam Pasal 17 ayat 1 Konvensi Wina 1988 yang mengatur tentang perdagangan obat-obatan terlarang, ditetapkan bahwa, setiap peserta konvensi berkewajiban untuk bekerja sama 67 Ibid. 68 Ibid, hal. 59. 69 Ibid. Universitas Sumatera Utara semaksimal mungkin menanggulangi lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional. Kerjasama yang diharapkan dalam konvensi dimaksud ternyata tidak hanya semata- mata kerjasama dalam bentuk suatu penandatanganan perjanjian bilateral ataupun multilateral, melainkan suatu bentuk kerjasama yang lebih nyata dalam upaya menanggulangi atau memberantas lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui jalur pelayaran di laut. 70 1 Fasilitas ekstradisi dan penuntutan tertuduh dalam kasus lalu lintas perdagangan narkotika ilegal serta mendorong adanya bantuan kerjasama antara pemerintah negara-negara peserta dalam kasus-kasus narkotika. Dalam Pasal 17 ayat 2 ditetapkan bahwa apabila negara yang memiliki alasan untuk mencurigai bahwa suatu kapal berbendera atau tidak terlibat dalam peredaran gelap narkotika, maka negara tersebut dapat meminta bantuan kepada negara lain. Negara yang diminta bantuannya tersebut harus memberikan bantuan semaksimal mungkin. Pasal ini memberikan kemungkinan kepada negara-negara yang bersangkutan, atas dasar persangkaan yang kuat dan cukup beralasan meminta bantuan kepada negara lain mencegah penggunaan kapal laut untuk maksud-maksud perdagangan ilegal tersebut. Substansi penting lainnya yang diatur dalam Konvensi Wina 1988, adalah sebagai berikut: 2 Fasilitas pengiriman yang diawasi: penjejakan dan pengintaian terhadap pengapalan narkotika secara ilegal. 70 Ibid, hal. 60. Universitas Sumatera Utara 3 Meningkatkan kerjasama dengan negara transit atau transit state dan mencegah penyerahan secara ilegal melalui pos. 4 Penegasan tanggung jawab perusahaan pesawat penumpang dan perusahaan kapal angkutan laut. 5 Mewajibkan pemerintah negara peserta untuk menghapuskan produksi tanaman ilegal narkotika. 6 Menetapkan suatu sistem monitoring perdagangan internasional obat-obatan yang sering dipergunakan dalam proses lalu lintas narkotika ilegal. 2. Pengaturan tentang Narkotika dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropika Subtances 1988. Didukung oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa menentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988. 71 Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran antara lain, sebagai berikut : 72 1 Masyarakat internasional di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. 71 Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988. 72 Eugenia Liliawati Muljono, Peraturan Perundang-Undangan Narkotika dan Psikotropika, Harvarindo, Jakarta, 2006, hal. 307. Universitas Sumatera Utara 2 Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula. 3 Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas perdaran gelap narkotika dan psikotropika. 4 Perlunya memperkuat dan meningkatkan saran hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang pidana untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika. Yang menjadi pokok-pokok pikiran yang diatur dalam konvensi ini adalah sebagai berikut : 1 Ruang Lingkup Konvensi 73 Konvensi bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai dengan konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. 2 Kejahatan dan Sanksi 74 Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, negara-negara yang menjadi peserta dari konvensi ini akan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan peredaran gelap narkotika sebagai suatu kejahatan. Pengertian dari 73 Ibid. 74 Ibid,hal. 308. Universitas Sumatera Utara peredaran mencakup dari berbagai kegiatan yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya. Terhadap kejahatan tersebut di atas dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh dapat dibuktikan sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu, pelakunya dapat diberikan pembinaan, rehabilitasi atau reintegrasi sosial. Para pihak dalam konvensi ini harus dapat menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat yang berwenang yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 merupakan kejahatan serius, seperti : a Keterlibatan di dalam kejahatan dan kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota; b Keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara internasional; c Keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukannya kejahatan tersebut; d Penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku; e Kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabatannya; f Menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan; g Kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga permasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial atau tempat-tempat lain Universitas Sumatera Utara anak-anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga dan kegiatan sosial; h Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing negara. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini adalah kejahatan yang menurut sistem hukum nasional pigak-pihak dalam konvensi dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana. 3 Yurisdiksi 75 Negara yang menjadi pihak dalam konvensi ini harus mengambil tindakan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3 konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayahnya, di atas kapal atau di dalam pesawat udara dari negara yang bersangkutan, baik kejahatan itu dilakukan oleh warga negaranya maupun warga negara asing. Masing-masing negara juga harus mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini, jika tersangka berada di dalam wilayah negaranya dan tidak diekstradisi ke negara lain. 4 Penyitaan 76 Negara-negara dapat menyita narkotika serta peralatan lain yang merupakan hasil dari kejahatan. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dapat 75 Ibid, hal. 309. 76 Ibid. Universitas Sumatera Utara memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolak untuk memberikan informasi dengan alasan kerahasiaan bank. Kekayaan yang menjadi hasil kejahatan dapat disita, kecuali dapat dibuktikan oleh pelaku bahwa kekayaan tersebut tidak didapatnya dari hasil kejahatan. Apabila kekayaan tersebut telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka penyitaan hanya dapat dikenakan sebatas nilai yang ditaksir sebagai hasil kejahatan. Namun demikian, penyitaan itu hanya dapat dilakukan setelah diatur oleh hukum nasional dari negara yang bersangkutan. 5 Ekstradisi 77 Kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 konvensi ini termasuk kejahatan yang dapat diekstradisi sesuai dengan perjanjian ekstradisi yang diadakan antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila negara-negara tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum dilakukannya penyerahan pelaku bagi kejahatan yang menjadi ruang lingkup konvensi ini. 6 Bantuan Hukum Timbal Balik 78 Negara- negara dapat saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penuntutan dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini. Bantuan hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan : a. Mengambil barang bukti atau pernyataan dari orang; 77 Ibid, hal. 310. 78 Ibid. Universitas Sumatera Utara b. Memberikan pelayanan dokumen hukum; c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. Memeriksa benda dan lokasi; e. Memberikan informasi; f. Memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan, seperti cacatan bank atau catatan perusahaan; g. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, perlengkapan atau benda lain yang dapat digunakan dalam pembuktian. 7 Pengalihan Proses Acara Dalam konvensi ini juga diatur mengenai pengalihan proses acara. Hal ini memungkinkan bagi para pihak dalam konvensi untuk mengalihkan proses acara dari satu negara ke negara lain, jika pengalihan acara tersebut dianggap perlu untuk kepentingan pelaksanaan proses pengadilan yang lebih baik. 8 Kerjasama di Bidang Penegakan Hukum Dalam konvensi ini juga mengatur tentang kerjasama antar negara dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Negara dapat saling bekerja sama sesuai dengan sistem hukum masing-masing dalam rangka meningkatkan secara efektif penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini. Kerjasama yang dimaksud dapat berupa : a. Membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas masing-masing yang berwenang, untuk mempermudah pertukaran informasi; Universitas Sumatera Utara b. Kerjasama dalam pemeriksaan kasus berkaitan dengan kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini. c. Membentuk tim gabungan. d. Menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan; e. Mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau personil lainnya seperti kepolisian dan pabean yang bertugas memberantas kejahatan peredaran gelap narkotika. f. Merencakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang dirancang untuk meningkatkan keahlian. 9 Kerjasama Organisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara Transit. Negara dapat bekerja sama baik secara langsung maupun melalui organisasi internasional seperti Interpol atau organisasi regional seperti Aseanpol dan Europol yang berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit , khususnya negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan melalui program teknik guna mencegah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait. 10 Penyerahan yang diawasi Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini, negara dapat mengambil berbagai tindakan yang dianggap perlu dalam batas kemampuannya untuk melakukan penyerahan yang diawasi controlled delivery pada tingkat internasional berdasarkan persetujuan atau pengaturan yang disepakati oleh masing-masing negara, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya. Universitas Sumatera Utara Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya telah disetjui, atas persetujuan para pihak, dapat diperiksa dan diserahkan kepada negara yang bersangkutan. 11 Pemberantasan Penanaman Bahan-Bahan Pembuat Narkotika Dalam konvensi ini ditetapkan para pihak dalm konvensi harus mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan memberantas tanaman yang menjadi bahan pembuat narkotika yang ditanam di wilayah negaranya masing-masing. Selain itu konvensi ini juga mendorong dilakukannya kerjasama antar negara untuk meningkatkan efektifitas pemberantasan meliputi dukungan terhadap pembinaan terpadu yang mengarah kepada pembinaan alternatif ekonomi yang lebih baik daripada melakukan penanaman narkotika secara ilegal. 12 Pengangkutan Komersil Sehubungan dengan pengangkutan komersil, Konvensi Wina 1988 juga mengharuskan agar para pihak dapat menjamin pengangkutan komersil tidak digunakan untuk melakukan kejahatan peredaran gelap narkotika. 13 Lalu lintas Gelap Melalui Laut Di dalam konvensi ini ditetapkan bahwa para pihak harus bekerja sama untuk memberantas lalu lintas peredaran gelap narkotika melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional. Universitas Sumatera Utara

B. Peredaran Gelap Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional