Peranan Interpol Dalam Pemberantasan Jaringan Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Ditinjau Dari Hukum Internasional

(1)

PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING) DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: NIM: 090200176 SAYYID MUHAMMAD

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERANAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 090200176 SAYYID MUHAMMAD

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

NIP. 196403301993031002 (Arif, S.H., M.H)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum Bachtiar Hamzah, S.H., M.H NIP. 195612101986012001 NIP. 195010081979021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PERANAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING) DITINJAU DARI

HUKUM INTERNASIONAL

Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam konvensi internasional pada dasarnya memiliki tiga karakteristik yaitu: kejahatan yang membahayakan umat manusia, kejahatan yang mana pelakunya dapat diekstradisi, dan kejahatan yang dianggap bukan kejahatan politik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional.Bagaimana perspektif hukum internasional dalam mengatur perdagangan manusia (human trafficking).Bagaimana peranan Interpol dalam memberantas perdagangan manusia (human trafficking) menurut hukum internasional.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (legal research), yakni dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum internasional yang terdapat dalam berbagai sumber dan pernagkat hukum internasional yang berkaitan dengan Interpol serta peranannya dalam pemberantasan narkotika.

Kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional telah diakui oleh masyarakat internasional. Interpol merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB dengan 190 negara anggota. Interpol adalah organisasi internasional yang bersifat permanen, dibentuk oleh negara-negara secara sukarela yang memiliki anggaran dasar atau konstitusi yang memuat mengenai tujuan dan struktur organisasi tersebut. Interpol juga memiliki badan perwakilan dan sekretariat permanen yang melaksanakan fungsi administratif, penelitian dan informasi yang berkesinambungan. Perspektif hukum internasional terhadap perdagangan manusia (human trafficking, mencegah mengurangi penyelundupan migrant dengan cara meningkatkan kerja sama antar negara peserta dengan melindungi hak-hak dari migran yang diselundupkan (The purpose of this Protocol is to prevent and combat the smuggling of migrant, as well as to promote coorperation among State Parties to that end, while protecting the rights of smuggled migrants).Peranan Interpol dalam memberantas perdagangan manusia (human trafficking) menurut hukum internasional, melalui perjanjian ekstradisi kerjasama internasional dalam masalah pidana, pada dasarnya haruslah dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut :asas resiprositas, asas persamaan kedaulatan, asas non intervensi dan asas mutual benefit.


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan kerendahan hati penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Peranan Interpol Dalam Pemberantasan Jaringan Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Ditinjau dari Hukum Internasional

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Ok Saidin, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, SH., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional 6. Bapak Chairul Basriah, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis


(5)

7. Bapak Bachtiar Hamzah, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Kedua orang tua penulis Abah Hasyim Aljufri dan Mama Efli Syahrainiza yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

10.Adik – adik penulis Zainab Farhana dan Zein Hasyim yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi sampai selesai.

11.Keluarga Mozasa yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu membantu dan mengingatkan penulis dalam pembuatan skripsi.

12.Teman – teman penulis yang selalu mensupport dan memberikan bantuan dalam mengerjakan skripsi penulis Jean, Chintami, Ilham, Aubertus, Gabriel, Hotman, Sumanggam, Haposan, Zaky, Raja, Iqbal, Tesa, Rizky, Riady, Wahyu, Dirgan, Randa, Mulkan, Doan, dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih


(6)

sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, April 2014 Hormat Saya


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan BAB II KEDUDUKAN INTERPOL SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL .... ... 16

A. Ruang lingkup hukum organisasi internasional ... ... 16

B. Tugas dan fungsi Interpol ... ... 33

C. Kedudukan interpol sebagai organisasi internasional ... ... 43

BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)... ... 52

A. Latar belakang munculnya perdagangan manusia (human trafficking) ... ... 52

B. Perangkat Hukum Internasional yang mengatur Perdagangan Manusia (human Trafficking) ... ... 53


(8)

C. Jenis – jenis perdagangan manusia (human trafficking) .... .... 70 D. Faktor – faktor penyebab terjadinya perdagangan manusia

(human trafficking) ... ... 71 BAB IV PERANAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN

JARINGAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN

TRAFFICKING) ... ... 82 A. Kerjasama antara Kepolisian Internasional di bidang

Informasi ... ... 82 B. Permintaan Penerbitan Notices ... ... 88 C. Peranan Interpol Dalam Pemberantasan Kejahatan

Perdagangan Manusia (Human Trafficking) .... ... 97 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... ... 107 B. Saran ... ... 108 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

PERANAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING) DITINJAU DARI

HUKUM INTERNASIONAL

Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam konvensi internasional pada dasarnya memiliki tiga karakteristik yaitu: kejahatan yang membahayakan umat manusia, kejahatan yang mana pelakunya dapat diekstradisi, dan kejahatan yang dianggap bukan kejahatan politik. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional.Bagaimana perspektif hukum internasional dalam mengatur perdagangan manusia (human trafficking).Bagaimana peranan Interpol dalam memberantas perdagangan manusia (human trafficking) menurut hukum internasional.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (legal research), yakni dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum internasional yang terdapat dalam berbagai sumber dan pernagkat hukum internasional yang berkaitan dengan Interpol serta peranannya dalam pemberantasan narkotika.

Kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional telah diakui oleh masyarakat internasional. Interpol merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB dengan 190 negara anggota. Interpol adalah organisasi internasional yang bersifat permanen, dibentuk oleh negara-negara secara sukarela yang memiliki anggaran dasar atau konstitusi yang memuat mengenai tujuan dan struktur organisasi tersebut. Interpol juga memiliki badan perwakilan dan sekretariat permanen yang melaksanakan fungsi administratif, penelitian dan informasi yang berkesinambungan. Perspektif hukum internasional terhadap perdagangan manusia (human trafficking, mencegah mengurangi penyelundupan migrant dengan cara meningkatkan kerja sama antar negara peserta dengan melindungi hak-hak dari migran yang diselundupkan (The purpose of this Protocol is to prevent and combat the smuggling of migrant, as well as to promote coorperation among State Parties to that end, while protecting the rights of smuggled migrants).Peranan Interpol dalam memberantas perdagangan manusia (human trafficking) menurut hukum internasional, melalui perjanjian ekstradisi kerjasama internasional dalam masalah pidana, pada dasarnya haruslah dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut :asas resiprositas, asas persamaan kedaulatan, asas non intervensi dan asas mutual benefit.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini, secara faktual batas antar negara semakin kabur meskipun secara yurisdiksi tetap tidak berubah. Namun para pelaku kejahatan tidak mengenal batas wilayah maupun batas yurisdiksi, mereka beroperasi dari satu wilayah negara ke wilayah negara lain dengan bebas. Bila era globalisasi baru muncul atau berkembang beberapa tahun terakhir, para pelaku kejahatan telah sejak lama menggunakan konsep globalisasi tanpa dihadapkan pada rambu-rambu hukum, bahkan yang terjadi di berbagai negara di dunia saat ini, hukum dengan segala keterbatasannya menjadi pelindung bagi para pelaku kejahatan tersebut.1

Sampai saat ini belum ada suatu definisi yang akurat dan lengkap tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional, namun demikian pengertian tentang kejahatan internasional telah diterima secara universal dan merupakan pengertian yang bersifat umum. Dalam kenyataannya, terdapat suatu pengertian yang diakui secara umum yaitu bahwa kejahatan internasional adalah kejahatan yang telah disepakati dalam konvensi-konvensi internasional serta kejahatan yang beraspek internasional. 2

Beberapa kejahatan yang telah diatur dalam konvensi internasional antara lain : perdagangan manusia (human trafficking), kejahatan narkotika, kejahatan

1

R. Makbul Padmanagara, Kejahatan Internasional, Tantangan dan Upaya Pemecahan, Majalah Interpol Indonesia, 2007, hal. 58.

2

Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 132.


(11)

terorisme, kejahatan uang palsu, kejahatan terhadap penerbangan sipil dan lain-lain.3

Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam konvensi internasional pada dasarnya memiliki tiga karakteristik yaitu kejahatan yang membahayakan umat manusia, kejahatan yang mana pelakunya dapat diekstradisi, dan kejahatan yang dianggap bukan kejahatan politik. 4

Istilah transnasional sendiri dalam kepustakaan hukum internasional pertama sekali diperkenalkan oleh Philip C. Jessup. Jessup menjelaskan bahwa selain istilah hukum internasional atau international law, digunakan pula istilah hukum transnasional atau transnational law yang dirumuskan, semua hukum yang

.

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kejahatan-kejahatan yang beraspek internasional yang lebih sering disebut sebagai kejahatan transnasional. Pengertian istilah transnational crime digunakan dalam salah satu Keputusan Kongres PBB ke VIII, tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap para Pelanggar Hukum tahun 1990, dan digunakan dalam Konvensi Wina tentang Pencegahan dan Pemberantasan Lalu Lintas Ilegal Narkotika dan Psikotropika tahun 1988. Pengertian istilah tersebut terakhir digunakan dalam Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000. yang diartikan, sebagai kejahatan yang memiliki karakteristik (1) melibatkan dua negara atau lebih; (2) pelakunya atau korban WNA; (3) sarana melampaui batas territorial satu atau dua Negara.

3

R. Makbul, Op.Cit. hal 79

4


(12)

mengatur semua indakan atau kejadian yang melampaui batas teritorial suatu negara.5

Ketika pelaku kejahatan seperti pembunuh, pencuri, teroris berhasil kabur ke luar negeri, dan hampir mustahil untuk ditangkap karena melewati yurisdiksi penegak hukum negara asal tersangka, kerja sama para penegak hukum negara asal dengan pihak berkompeten di luar negeri merupakan salah satu solusi paling memungkinkan untuk menangkap para buronan tersebut. Para pihak yang berkompeten tersebut antara lain seperti International Criminal Police Organisation (ICPO-Interpol) sebagai organisasi kepolisian nasional negara-negara di dunia. Dalam skala regional ada Europol di kawasan benua Eropah, di kawasan Asia Tenggara dalam kerangka Asean ada Aseanapol. Kedua organisasi yang belakangan ini merupakan organisasi kepolisian yang sifatnya regional. Sebagai organisasi kepolisian, tentulah peranannya lebih tampak dalam bidang

Kejahatan-kejahatan internasional tersebut mempunyai kecenderungan untuk mengikuti setiap jenis komunikasi antar manusia, barang maupun modal, sehingga perkembangan komunikasi, transportasi dan informatika sebagai produk kemajuan teknologi akan diikuti oleh perkembangan kejahatan internasional. Meningkatnya kejahatan internasional akibat perkembangan era globalisasi ini bahkan memunculkan new dimension of crime yaitu jenis-jenis kejahatan baru yang belum dikenal sebelumnya.

5

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, hal 27.


(13)

pengimplementasian dari kaidah-kaidah hukum pidana internasional terutama yang merupakan hukum pidana internasional dalam arti formal-prosedural.6

Untuk dapat bertindak cepat dalam memberantas kejahatan yang sering tidak mengenal batas-batas negara, mau tidak mau negara asal melalui National Central Bureau (NCB) akan sering berhubungan dengan Internasional Criminal Police Organization (ICPO/Interpol). Misalnya dalam usaha memberantas kejahatan. Interpol sering mengedarkan perintah penangkapan ke seluruh Negara anggota sehingga memungkinkan seluruh Negara anggota Interpol untuk mencari tertuduh atau penjahat yang dicari dan menangkapnya.7

Bergabungnya Indonesia dengan Interpol membuat negara anggota wajib memiliki kantor Interpol yang dinamakan NCB-Interpol (National Central Bureau-Interpol). NCB-Interpol merupakan kantor cabang Interpol di masing-masing negara anggota.

Kerjasama antar negara melalui keterlibatan Interpol dapat memainkan peran penting untuk menangkap dan memulangkan para buronan tersebut. Dengan segala langkah yang luar biasa dan semangat kerja sama antar negara dalam memerangi kejahatan upaya perburuan pelaku kejahatan yang kabur ke luar negeri meski pelan tapi pasti akan membuahkan hasil yang diharapkan. Saat ini masyarakat tinggal menunggu, mendesak, dan melihat pelaku tindak pidana yang kabur dapat ditangkap dan dipenjara di negara asal.

8

Masalah perdagangan manusia (human trafficking) di dunia bila diamati

6

I. Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006.,hal. 24

7

Damian, Edy, Kapita Selekta Hukum Internasional, Alumni, Bandung,1991., hal. 78

8


(14)

menunjukkan adanya peningkatan. Berbagai latar belakang dapat dikaitkan dengan meningkatkan masalah perdagangan tersebut, misalnya lemahnya penegakan hukumnya, peran pemerintah dalam penaganannya maupun minimnya informasi tentang trafficking, khususnya di pelosok-pelosok pedesaan.

Adapun yang paling rentan untuk menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking) adalah perempuan dan anak dari keluarga miskin, anak di pedesaan, anak putus sekolah, dan yang mencari pekerjaan.9

PBB dalam sidang umum tahunan 1994 menyetujui adanya suatu revolusi yang menentang adanya perdagangan manusia dengan memberikan defenisi sebagai berikut: Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan dari negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk kedalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti kerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap, dan adopsi paksa demi kepentingan pengrekrutan, perdagangan, dan sindikat kejahatan.10

Perdagangan manusia (human trafficking) dengan alasan apapun juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan manusia (human trafficking) merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak asasi manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan anak merupakan suatu jenis perbudakan di era modern.

9

Rahmat Syafaat, Dagang Manusia- Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak diJawa Timur, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002.hal 10

10


(15)

Pendefenisian perdagangan manusia (human trafficking) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk- bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atau orang lain dengan tujuan eksploitasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional?

2. Bagaimana perspektif hukum internasional terhadap perdagangan manusia (human trafficking)?

3. Bagaimana peranan Interpol dalam memberantas perdagangan manusia (human trafficking) menurut hukum internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini antara lain : 1. Untuk mengetahui kedudukan dari organisasi Interpol dalam hukum


(16)

2. Untuk mengetahui pengaturan perdagangan manusia (human trafficking) di dalam hukum internasional

3. Untuk mengetahui peranan Interpol terhadap pemberantasan perdagangan manusia (human trafficking)

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: a. Manfaat teoritis

Untuk menambah wawasan bagi masyarakat dan akademisi, maupun praktisi hukum pada umumnya dan terutama hukum internasional yang berkaitan dengan peranan Interpol dalam pemberantasan perdagangan manusia (human trafficking).

b. Manfaat praktis

Untuk menjadi bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara terutama pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan kajian bagi para pihak akademisi dalam menambah pengetahuan terutama di bidang hukum internasional.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan di fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya bagian Departemen Hukum Internasional dan penulis, merasa tertarik dengan perlawanan dunia terhadap kejahatan kemanusiaan, khususnya perdagangan manusia (human trafficking). Di dalam kasus pidana internasional Interpol adalah organisasi internasional yang paling berwenang dalam menyelesaikan


(17)

permasalahan kejahatan internasional.Dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas bagaimana cara Interpol memberantas perdagangan manusia (human trafficking) yang semakin lama semakin marak terjadi. Interpol juga berkoordinasi dengan National Central Bureau (NCB) di tiap negara anggota agar lebih memudahkan dalam proses pemberantasan perdagangan manusia (human trafficking).

Pengajuan judul skripsi ini terlebih dahulu melalui pendaftaran judul tersebut ke bagian hukum internasional dan setelah diperiksa pada arsip yang ada pada bagian hukum internasional, belum ada yang membahas Judul yang sama.Atas dasar pemeriksaan tersebut, bahwa judul yang diangkat beserta pembahasannya belum pernah ada pada bagian arsip hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sehingga keaslian penulisan dalam tugas akhir ini dapat pertanggungjawabkan .

E. Tinjauan Kepustakaan

Skripsi ini berjudul“Peranan Interpol Dalam Pemberantasan Jaringan Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Ditinjau dari Hukum Internasional “ Untuk menghindari keragu-raguan pada bab-bab selanjutnya maka terlebih dahulu ditegaskan pengertian judul di atas secara umum Interpol adalah organisasi kerjasama untuk penanganan tindak kejahatan lintas negara.

Ekstradisi adalah adalah penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan atas hubungan baik secara timbal balik, atas seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (tersangka, tertuduh, atau terdakwa)


(18)

atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat yang pasti atas kejahatan yang telah dilakukannya, oleh negara tempatnya berada kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari negara yang memiliki yurisdiksi kepada negara tempat orang yang bersangkutan berada, dengan tujuan untuk mengadilinya ataupun melaksanakan hukuman atau sisa hukumannya.11

Kejahatan Internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi-konvensi multilateral dan diakui oleh sejumlah tertentu negara-negara peserta, sekalipun di dalamnya terkandung salah satu kesepuluh karakteristik pidana.

Ekstradisi merupakan suatu bentuk dari aspek formal procedural dari hukum internasional. Secara sederhana, ekstradisi merupakan bentuk kerjasama antar negara berkaitan dengan pemberantasan kejahatan lintas batas negara dengan cara pengembalian tersangka, terdakwa atau terpidana kepada negara yang memiliki yurisdiksi terhada tersangka, terdakwa maupun terpidana tersebut. Kejahatan lintas batas negara melalui mekanisme ekstradisi yang dimaksud dalam penulisan selanjutnya adalah kejahatan nasional yang memiliki dimensi internasional, maupun kejahatan yang bersifat terorganisir.

12

Transnational Crime adalah tindakan yang memiliki dampak lebih dari satu negara, melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih

11

I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya: Bandung. 2009, hal 38.

12

Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional.Rafika Aditama.Bandung 2000, hal 49.


(19)

dari satu negara, sarana dan prasarana serta metode yang digunakan melampaui batas territorial suatu negara.13

Transnational Organized Crime adalah kejahatan terorganisir yang dilakukan lintas batas negara dimana kejahatan tersebut dilakukan lebih dari satu negara; dilakukan di satu negara namun bagian penting seperti persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengendalian dilakukan melibatkan kelompok criminal dari Negara lain di lebih dari satu negara atau dilaksanakan di satu negara tetapi berdampak pada negara lain.14

Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.15

Organisasi Internasional adalah suatu proses, organisasi internasional juga menyangkut aspek-aspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada waktu tertentu. Organisasi internasional diperlukan dalam rangka kerjasama, menyesuaikan dan mencari kompromi untuk meningkatkan kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama, serta mengurangi pertikaian yang timbul.16

Lahirnya organisasi-organisasi internasional sangat didorong oleh situasi saling ketergantungan bangsa-bangsa di dunia. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada satu negara pun yang mampu bertahan tanpa membuka akses dalam tata pergaulan internasional. Dari perkembangan organisasi internasional ini dapat

13

Abdussalam, Hukum Pidana Internasional, Restu Agung: Jakarta, 2006. hal 32.

14

Ibid, hal 38

15

Eddy Damian, Kapita Selekta Hukum Internasional, Alumni : Bandung.1991, hal 42

16

Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hal. 9


(20)

diketahui bahwa dalam membentuk organisasi internasional, negara-negara melalui organisasi itu akan berusaha untuk mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan tersebut menyangkut bidang kehidupan internasional yang sangat luas.

D.W. Bowwet menyatakan bahwa perkembangan organisasi internasional lebih merupakan jawaban terhadap kebutuhan yang nyata, yang diakibatkan oleh pergaulan internasional. 17Pertumbuhan atau peningkatan internasional dalam arti perkembangan hubungan-hubungan antara bangsa-bangsa yang berbeda-beda, adalah gejala konstan tentang matangnya peradaban-peradaban, kemajuan-kemajuan dalam mekanisme komunikasi yang secara bersamaan melahirkan suatu tingkat pergaulan yang pada akhirnya menuntut pengaturan melalui jalan-jalan institusional.18

Mengenai perdagangan manusia (human trafficking), ada beberapa definisi perdagangan manusia (human trafficking) diantaranya menurut UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPO) definisi perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, Dengan adanya kesamaan visi dan misi serta kebutuhan masyarakat atas suatu organisasi internasional yang mengkoordinasikan kerjasama di bidang kepolisian dalam rangka memberantas kejahatan-kejahatan yang bersifat lintas batas negara maka lahirlah International Criminal Police Organization atau Interpol. Salah satu kejahatan transnasional yang menjadi agenda dalam tugas Interpol adalah pemberantasan perdagangan manusia (human trafficking).

17

D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 1.

18


(21)

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan tereskploitasi. Perdagangan manusia merupakan salah satu perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

Menurut dari MTV EXIT (End Exploitation and Trafficking), definisi perdagangan manusia (human trafficking) ialah praktek ilegal jual beli manusia dan penggunaannya oleh para criminal untuk menghasilkan uang. Hal ini bisa berarti menipu dan/atau memaksa orang lain untuk masuk ke dalam dunia prostitusi, pembantu rumah tangga, atau buruh kasar. Kegiatan ini praktek jual beli ilegal terbesar kedua setelah narkoba.19

F. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research), yakni dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum internasional yang terdapat dalam berbagai sumber dan pernagkat hukum internasional yang berkaitan dengan Interpol serta peranannya dalam pemberantasan narkotika. Yang dimaksud dengan

19


(22)

metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu, menggunakan serta mengolah data-data sekunder.

2. Sumber data penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder, Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang tindak pidana narkotika dan peraturannya, buku-buku tentang Interpol, jurnal-jurnal, majalah, dan surat kabar serta media internet seperti www.google.com, www.wikipedia.com

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan bahan hukum akan dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan menginventarisir peraturan Perundang-Undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian, makalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan materi yang menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. Data yang merupakan bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian akan disajikan dalam bentuk display secara sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

4. Analisis data

Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, akan dipergunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang telah ada sebagai


(23)

nor ma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi maupun fakta-fakta hukum yang bersifat ungkapan monografis dan responden.20

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka penulisan penelitian ini harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan penelitian ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang yang memberikan alasan mengapa penulis memilih permasalahan yang tercakup dalam skripsi ini. Dalam bab ini juga dikemukakan tujuan dari penulisan yang dimaksud sebagai suatu sasaran yang hendak dicapai dari skripsi ini, di samping itu juga penulis mengemukakan metode penulisan yang kemudian diakhiri dengan sistematika dari penulisan skripsi ini secara keseluruhan.

BAB II KEDUDUKAN INTERPOL SEBAGAI ORGANISASI

INTERNASIONAL

Bab ini penulis menguraikan sejarah pembentukan Interpol, tugas dan fungsi Interpol serta Interpol dalam kedudukannya sebagai organisasi internasional.

20


(24)

BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL TERJADAP PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)

Pada bab ini menguraikan tentang perdagangan manusia (human trafficking), perangkat hukum internasional yang mengatur tentang permasalahan perdagangan manusia (human trafficking). jenis-jenis perdagangan manusia (human trafficking), faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan manusia (human trafficking)

BAB IV PERANAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN

JARINGAN PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFFICKING)

Bab ini merupakan bab yang berisi tentang kerjasama antara kepolisian internasional di bidang infromasi, permintaan penerbitan notices dan peranan Interpol dalam pemberantasan jaringan perdagangan manusia (human trafficiking)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir, dimana pada bagian kesimpulan akan dipaparkan jawaban-jawaban dari permasalahan di dalam penulisan ini. Pada bagian saran, akan memaparkan gagasan yang dimiliki penulis berdasarkan dari fakta-fakta yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya.


(25)

KEDUDUKAN INTERPOL SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL

A. Ruang Lingkup Hukum Organisasi Internasional

Berdasarkan suatu publikasi resmi PBB (1950) telah terdapat 200 organisasi internasional dan diantaranya 60 organisasi internasional yang sangat penting untuk di pelajari. Oleh D.A.Maryan Green pada akhir 1969 terdapat lebih kurang 2400 lembaga internasional dan di antaranya 229 organisasi internasional dalam arti sempit (IGO), sedangkan selebihnya dalam arti luas (NGO).

G.I.Tunkin menyebut nama lain bagi organisasi internasional dalam arti sempit (IGO) dengan istilah ISO (Interstate Organization) yaitu organisasi antar negara.Penggunaan istilah ini mudah di pahami mengingat negara-negara blok timur dibawah pimpinan Uni Soviet memiliki sistem pemerintahan yang bercorak demokrasi sendiri, dimana segalagalanya berpusat pada negara dan menjadi peserta perjanjian .

Penggolongan pengertian organisasi internasional merupakan alat untuk keperluan praktis penyajian dan uraian semata-mata.Penggolongan manapun sudah pasti tidak akan dapat memuaskan semua pihak karena menurut kenyataannya memang terdapat banyak pendapat yang saling berbeda mengenai pengertian yang dimaksud.

1. Batasan hukum organisasi internasional

Didalam memahami batasan hukum organisasi internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan organisasi internasional itu sendiri yang sudah lama timbul sejarah beberapa negara mengadakan hubungan internasional


(26)

secara umum dan masing-masing negara itu mempunyai kepentingan hubungan internasional secara umum itu melibatkan banyak negara (lebih dari 2 negara), berbeda dengan hubungan antar 2 negara yang telah dirintis sejak abad ke-16 melalui pertukaran utusan masing masing atas dasar persetujuan bersama.

Timbulnya hubungan internasional secara umum tersebut pada hakekatnya merupakan proses perkembangan hubungan antar negara, karena kepentingan dua negara saja tidak dapat menampung kehendak banyak negara.Dalam membentuk organisasi internasional, negara-negara melalui organiasi itu akan berusaha untuk mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan ini menyangkut bidang kehidupan internasional yang sangat luas. Karena bidang-bidang tersebut menyangkut kepentingan banyak negara, maka diperlukan peraturan internasional (international regulation) agar kepentingan masing-masing negara dapat terjamin.

Sejak pertengahan abad ke-17 perkembangan organisasi internasional tidak saja diwujudkan dalam berbagai konferensi internasional yang kemudian melahirkan persetujuan-persetujuan, tetapi lebih dari itu telah melembaga dalam berbagai variasi dari komisi (commission), serikat (union), dewan (council), liga (league), persekutuan (association), perserikatan bangsa-bangsa (united nation), persemakmuran (commonwealth), masyarakat (community), kerjasama (cooperation) dan lain-lain.

Pembahasan hukum organisasi internasional ini hanya menyangkut pada organisasi-organisasi internasional tingkat pemerintah karena lebih melibatkan pada pemerintahan negara-negara anggotanya sebagai pihak, oleh sebab itu


(27)

organisasi internasional dalam pengertian ini dapat disebut sebagai organiasi internasional publik (public international organization).

Organisasi-organisasi internasional yang terbentuk mempunyai banyak kesamaan karena dipengaruhi oleh factor-faktor politik dalam hubungan internasional yang semuanya ini membawa banyak perkembangan yang sejalan dengan organisasi internasional. Banyak juga organisasi internasional yang satu sama lain saling berpengaruh, tidak saja dari segi kelembagaan tetapi juga dari segi tata cara, apakah hal itu menyangkut syarat-syarat keanggotaan, sususan badan-badannya maupun prinsip-prinsip hukum internasional dalam rangka menajalankan tugas dan fungsi organisasi internasional di forum internasional.

Perkembangan kegiatan organisasi internasional itu tidak cukup diwujudkan dalam kegiatan organisasi internasional itu tidak cukup diwujudkan dalam konferensi-konferensi internasional, melainkan lebih didalam bentuk lembaga-lembaga (institutions). Cabang dari hukum internasional yang memusatkan pada masalah lembaga-lembaga tersebut lebih disukai dengan nama hukum institusi internasional (International Institutional Law) daripada dengan nama hukum organisasi internasional (The Law of International Organization) karena hal itu hanya terbatas pada aspek-aspek kelembagaan saja.Sebaliknya hukum oranisasi internasional menyangkut lebih banyak prinsip-prinsip hukum yang dirumuskan oleh organisasi internasional.

Ada juga, seperti Brierly, yang tidak menyebut sebagai hukum organisasi internasional atau hukum institusi internasional. Tidak saja karena ia melihat


(28)

bahwa organisasi internasional itu mempunyai fungsi legislative, tetapi juga fungsi eksekutif dan administratif sebagaimana juga terdapat dalam suatu negara.

Legislatif internasional pada hakekatnya merupakan proses perkembangan organisasi internasional yang menyangkut bidang yang sangat luas, misalkan kemudahan-kemudahan dibidang pengangkutan dan perhubungan, pengawasan penyakit, pengendalian harga dalam bidang komoditif pertanian dan lain-lain.

Fungsi eksekutif dalam suatu sistem organisasi internasional menyangkut masalah pelaksanaan keputusan yang mengikat secara hukum terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional itu sendiri bukan sebagai badan yang oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam Convenant Liga Bangsa-Bangsa. Demikian pula pada waktu Convenant itudirumuskan melalui konferensi perdamaian Paris, ketentuan-ketentuan mengenai hal yang sama banyak dipengaruhi oleh usul-usul pokok yang dicetuskan Wodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat pada masa itu. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa ketentuan mengenai “sistem mandat” yang dianut oleh Liga Bangsa-Bangsa memberikan dorongan serta dukungan berakhirnya sistem penjajahan yang kemudian merupakan salah satu asas dan tujuan dari piagam PBB seperti yang ada sekarang ini.

Dari uraian-uraian terdahulu tiba pada satu kesimpulan bahwa hukum organisasi internasional merupakan bagian atau cabang dari hukum organisasi internasional yang dipersatukan oleh badan PBB dan terdiri dari perangkat norma-norma hukum yang berhubungan dengan organisasi internasional tersebut termasuk badan-badan yang berada dibawah naungannya.21

21

Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hal 1


(29)

2. Organisasi internasional dan perkembangannya

Dalam hukum internasional positif, tidak ada satu pasalpun yang memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan organisasi internasional itu. Pada umumnya, bagaimanapun juga organisasi internasional adalah organisasi permanen, yang didirikan atas dasar perjanjian internasional, yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral daripada perjanjian bilateral dan dengan tujuan tertentu.

Selanjutnya Starke dalam bukunya An Introduction to International Law, yang membahas secara terpisah. Ia hanya membandingkan fungsi, hak dan kewajiban serta wewenang berbagai organ lembaga internasional dengan negara modern, bahwa lembaga internasional mempunyai beberapa persamaan dengan negara modern, meskipun tidak selalu mengikuti garis yang sama dengan konstitusi negara modern.22

“Organisasi internasional mempunyai arti dan ciri khusus, berbagai hubungan internasional dilakukan melalui badan permanen yang diserahi tanggung jawab dan wewenang tertentu. Melalui badan ini, setiap pemerintah

Ada beberapa analogi, misalnya adanya beberapa organ dengan fungsi legislative, eksekutif, dan yudkatif, dimana organ lemabga internasional ini didirikan berdasarkan perjanjian internasional yang diadakan oleh negara yang bersekutu didalamnya. Sarjana lain bernama Leonard, secara tidak langsung memberikan definisi dengan hanya mengungkapkan ciri-ciri khusus organsasi internasional, sebagai berikut:

22


(30)

negara anggota dapat menjalankan berbagai kebijaksanaannya dan maksudnya untuk kepentingan nasionalnya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa definisi ini memberikan tekanan kepada organisasi-organisasi internasional sebagai alat negara nasional dan mengakui batas-batas organisasi tersebut. Dengan alat ini para ahli kenegaraan dapat memikirkan dan mengatasi semua persoalan yang kompleks hubungan internasional”.

Bila ditinjau dari sudut pertumbuhannya, organisasi internasional itu tumbuh berkembang untuk pertama kalinya disebabkan oleh dua hal yang penting. Pertama, karena pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi, sehingga timbul pula keinginan mengatur kegunaannya secara kolektif. Kedua, karena meluasnya hubungan internasional diseluruh permukaan planet bumi, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan dari kekomplekan hubungan tersebut.

Tidak mungkin lagi pengaturannya diselesaikan dengan hanya melalui perjanjian bilateral atau melalui saluran diplomatik yang tradisional saja. Maka timbullah pikiran para ahli untuk mendirikan organisasi internasional dan disamping itu disadari pula betapa pentingnya pemngaturan organisasi internasional tersebut. Untuk mencapai cita-cita perdamaian dunia yang mengandung keadilan dan kesejahteraan seluruh umat mnusia caranya ialah dengan jalan persatuan negara-negara guna memelihara perdamaian.

Titik perkembangan organisasi internasional dapat dianggap tumbuh sejak kongres Wina 1815 (The Congress of Vienna and the concero of Europe System) yang berhasil mengadakan suatu deklarasi yang antara lain berbunyinya:

“It was considered by it’s leading participant as the forerunner of a series of regular consultions among the great power which would serve as board meeting for the Europeans Community of Nations”.


(31)

Dari deklarasi tersebut, jelas di ketahui bahwa negara-negara sekutu yang menang perang, sepakat mengadakan pertemuan teratur yang diadakan dalam waktu dekat yang akan datang. Sebagai realisasinya antara tahun 1818-1822 telah diadakan 4 kali kongres “Aix-la-Chapple” di Troppau dan Laibach tahun 1820-1821 dan di Verona tahun 1822. Ide mengadakan pertemuan internasional ini telah membuktikan bahwa negara-negara telah menyadari akan perlunya lembaga permanen untuk menyelenggarakan persetujuan multilateral. Walaupun Aliansi Suci telah bubar, tetapi Congress Concero of Europe ini diadakan sampai timbul Perang Dunia I

Beberapa kesulitan dari sistem konferensi ad-hoc semacam ini ialah; Pertama, konferensi ini harus selalu diadakan setiap timbul persoalan baru. Umumnya inisiatif ini diprakasai oleh salah satu negara bersangkutan. Setiap kali konferensi yang selalu harus diadakan ini selalu menimbulkan pula berbagai kesulitan baru dan akibatnya memperlambat kerjasama internasional dalam masalah tersebut. Kedua, para anggota delegasi dari negara bersangkutan dalam membicarakan beberapa persoalannya tidak sebagaimana yang kita kenal dalam Liga Bangsa-Bangsa ataupun PBB, mereka lebih banyak mengemukakan pernyataan kebijaksanaan negaranya masing-masing. Hal ini mengakibatkan konferensi tersebut kaku. Hal ini tampak pula dalam beberapa majelis permanen dalam Liga Bangsa-Bangsa ataupun PBB.

Ketiga, konferensi ini diadakan oleh negara yang mengundang, sehingga disini tidak ada prinsip keanggotaan tertentu yang secara otomatis memeberi hak perwakilan. Keempat, konferensi berpegang teguh secara kaku pada aturan persamaan kedaulatan negara-negara anggota dengan konsekuensinya yaitu semua


(32)

negara mempunyai hak suara yang sama dan semua keputusan ditetapkan berdasarkan prinsip unanimity (kesepakatan bulat). Sebagaimana diketahui, ada beberapa persoalan yang seharusnya memeperhatikan suara minoritas apabila kemajuan ini dicapai.

Konferensi semacam ini sering tidak dapat memecahkan persoalan hukum yang diajukan. Banyak persoalan hukum yang bersifat politis, menyangkut segi hak dan kewajiban negara menurut hukum internasional. Karena tidak mungkin suatu masalah akan demikian saja dikesampingkan hanya dikarenakan persoalan tersebut mengandung segi hukum.

Pada hakekatnya organisasi internasional dapat dikatakan berkembang dengan pesat mulai abad ke-19. Hal ini terutama ditandai dengan adanya kebutuhan akan lembaga permanen yang fungsi menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dari berbagai hubungan internasional yang bersifat politis, hukum, maupun ekonomi dan sosial. Organisasi yang pertama sekali berdiri sebagai realisasi akan kebutuhan baik secara individu maupun kolektif, ialah organisasi swasta internasional (Privat International Union), misalnya”The World Anti Slavery Convention” tahun 1840

Organisasi swasta internasional yang terkenal diantara lainnya ialah International of Red Cross (1863), International Paliamentary Union (1873), International Dental Federation (1900), International Literary and Artistic Association (1878) dan International Chamber of Commerce (1919). Pertumbuhan yang padat ini diawali pada tahun 1910 dengan terbentuknya Union of International Association. Organisasi ini terutama bertugas mengkoordinasi


(33)

berbagai aktivitas dan menetapkan kondisi para anggotanya. Kondisi ini tidak aka nada, tanpa kepentingan dna pengaturan sebagai berikut:

i. Mempunya organ permanen

ii. Objeknya harus untuk kepentingan semua orang/negara, bukan untuk mencari keuntungan

iii. Keanggotaannya terbuka untuk setiap individu atau kelompok dari setiap negara

Dari organisasi yang bersifat ini ada juga yang kemudian berkembang menjadi organisasi yang bersifat publik, walaupun tidak secara keseluruhannya, yang akibatnya mendorong pemerintah mengambil tindakan, misalnya mengadakan traktat. Sebagai contoh ialah International of Red Cross yang mensponsori Konvensi Jenewa tahun 1864, 1906, 1929 dan 1947 yang akibatnya dewasa ini dikenal sebagai Konvensi Perlindungan Korban Perang atau dapat pula disebut sebagai Konvensi Palang Merah Internasional. Kemudian International Maritime Comitee mensponsori Konvensi Keamanan di Laut tahun 1914, 1929. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa suksesnya organisasi yang sebelumnya masih bersifat privat internasional, kemudian menjurus kepada organisasi public internasional dalam bidang yang sama.23

3. Klasifikasi organisasi internasional

Penggolongan organisasi internasional dimaksudkan untuk mengetahui fungsi dan tujuan serta ruang lingkup aktivitas lembaga tersebut. Penggolongan ini perlu dikaji meskipun pada hakekatnya sukar dilakukan, terutama disebabkan karena dalam perkembangannya dewasa ini berbentuk rangkap atau mengandung

23


(34)

wewenang teramat luas. Disamping itu antara organisasi internasional yang satu dengan yang lain mempunyai fungsi dan tujuan rangkap, bahkan ada kalanya fungsinya saling tumpang tindih (overlapping). Dilihat dari tiga kategri besar yaitu fungsi politis, fungsi administratif dan fungsi yudisial. Dalam hal ini Starke menambahkan fungsi lain yaitu fungsi ekonomi, sosial serta fungsi legislatif.

Suatu bukti bahwa penggolongan itu tidak mudah dilaksanakan jelas terdapat dalam organisasi internasional PBB yang pada kenyataannya bersifat politis, selain Trusteeship Council berfungsi administratif dan Court of Justice berfungsi yudisial serta ditemui Economic and Social Council, dilengkapi dengan organ bawahan lainnya (Specialized Agencies) yang memiliki perbedaan fungsi. Selanjutnya penggolongan berdasarkan ruang lingkup dapat dibedakan dalam organisasi global atau universal dan organisasi regional.

Bowett mengklasifikasikan organisasi internasional berdasarkan pada kompetensinya, yaitu organization of limited competence dan organization of general competence. Baik organisasi global maupun regional dibagi atas kompetensinya.

Schwarzenberger menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya, organisasi internasional dibagi dalam lima klasifikasi, yaitu sesuai dengan:24

1. Lamanya yang diharapkan, ad hoc, provisional dan lembaga yang permanen.

2. Sifat kekuasaannya: Judicial, conciliatory, governmental, administrative, co-opertaive dan lemabaga legislatif. Jika lembaga memberikan bantuan secara menyeluruh atau sebagian dari kekuasaannya, maka lembaga

24


(35)

tersebut adalah comprehensive, sebaliknya apabila tidak disebut non-comprehensive.

3. Sifat homogen atau heterogen sasarannya, yakni lembaga memiliki satu atau beberapa maksud dan tujuan sejalan dengan sifat sesungguhnya, juga tujuannya adalah politis dan fungsional yang disebutkan dalam ekonomi, sosial serta kemanusiaan dan kelembagaan.

4. Bidang Yuridiksinya:

a. Personal Scope (ratione persone) menyangkut universal, universalist dan sectional. Terhadap lembaga yang bertujuan hidup bersama-sama, tetapi tidak cukup mencapai objeknya, keadaan negara ini bersama-sama, tetapi tidak cukup mencapai objeknya, keadaan negara ini diistilahkan dengan universalist. Sedangkan apabila negara-negara anggota termasuk diuji kebenaran lembaga-lembaga terbatas tersebut saling berlawanan jajarannya, maka mereka adalah sectional group. b. Geographical Scope (ratione loci) berupa: global, regional dan lokal. c. Substantive Scope (ratione materie), berbentuk general dan limited. d. Temporal Scope (ratione temporis), dimana yuridiksi lembaga

pengadilan internasional fungsinya terbatas pada perselisihan yang timbul setelah diadakan perjanjian tertentu.

5. Tingkat integrasi: yang mliputi lembaga internasional dan lembaga supra-nasional.

Penggolongan yang patut pula dikemukakan disini ialah organsasi internasional yang memiliki dan atau yang tidak memiliki kekuasaan


(36)

supra-nasional. Organisasi Internasional yang memiliki kekuasaan supra-nasional, mampu mengeluarkan keputusan maupun peraturan yang langsung mengikat baik individu, perusahaan negara maupun pemerintah.25

4. Organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional

Masalah mengenai apakah organisasi internasional merupakan subjek hukum atau bukan, telah timbul pada waktu lampau. Dalam sejarah dikenal adanya berbagai tuntutan terhadap status hukum dari beberapa organisasi internasional.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pendapat beberapa ahli maupun dalam beberapa konvensi internasional. Mochtar Kusumaatmaja26

25

Ibid. hal 73

26

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hal 8

mengatakan bahwa organisasi internasional mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam beberapa konvensi internasional, hal tersebut merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat dikatakan bahwa organisasi internasional semacamnya merupak subjek hukum internasional yang bersumber pada konvensi internasional.

Selanjutnya dikatakan, dalam hal ini penting sekali “Advisory Opinion” yang diberikan oleh Mahkamah Internasional pada kasus “Reparation of Injures”. Berdasarkan pendapat itu diatas kedudukan organisasi internasional badan-badan khusus (Specialized Agencies) sebagai subjek hukum menurut hukum internasional. Starke dengan tegas mengakui bahwa subjek hukum internasional itu bukan hanya negara saja, tetapi organisasi internasional pun sebagai subjek hukum internasional.


(37)

Hal ini di perbuat dengan mengutip pendapat International Court of Justice mengenai status hukum organisasi internasional. Kutipan tersebut dimuat dalam bukunya sebagai berikut :

“That is not the same thing as saying that it is a state which is certainly is not or that its legal personality and rights and duties are the same as those State. What it does mean is that it is a subject of rights and duties, and that it has capacity to maintain its right by bringing international claims..”

Selanjutnya Starke mengatakan bahwa lembaga internasional tunduk pada sekumpulan peraturan hukum yang dapat dianggap sebagai peraturan atau hukum dasar internasional.27

Berdasarkan beberapa pandangan serta ketentuan yang diuraikan diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa organisasi internasional badan-badan khusus (Specialized Agencies), merupakan subjek hukum internasional, dimana kedudukannya tidak dapat diganggu gugat lagi sebagai pribadi internasional, juga memiliki hak dan kedudukan sama seperti semua subjek hukum internasional lain dalam tindakannya dalam hukum internasional.28

5. Sejarah Pembentukan Interpol

Awal berdirinya Interpol adalah pada saat diselenggarakannya kongres internasional pertama Polisi Kriminil di Monaco dari tanggal 14 sampai dengan 18 April 1914. Kongres tersebut diprakarsai oleh Pangeran Albert I dari Monaco

27

J.G. Starke, Op.Cit, ha 3

28

Syahrin, Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1986, hal 89


(38)

dan dihadiri oleh para perwira polisi, hakim-hakim, sarjana-sarjana hukum dari 14 negara.29

a. Metode mempercepat dan mempermudah pelaku tindak pidana. Adapun masalah yang didiskusikan adalah :

b. Penyempurnaan teknik identifikasi.

c. Pusat pengumpulan data tingkat internasional. d. Unifikasi prosedur ekstradisi.

Kongres ini menghasilkan 12 resolusi, namun dengan meletusnya Perang Dunia I, apa yang telah direncanakan dalam resolusi tidak dapat dilaksanakan. Pada tahun 1919 setelah Perang Dunia I, Kolonel M.C. Van Houten, dari Kepolisian Kerajaan Belanda, mengulangi cita-cita kerjasama kepolisian tersebut dengan mengusulkan agar diadakan konferensi lagi.

Pada tahun 1923 atas prakarsa Dr. Johanes Schober, Kepala Kepolisian Australia diadakan Kongres II pada tanggal 3 sampai dengan 7 September 1923. Dalam konferensi tersebut hadir 138 utusan dari 20 negara antara lain Austria, Denmark, Mesir, Perancis, Jerman, Yunani dan Hongaria. Pada Kongres II ini berhasil disusun Anggaran Dasar ICPC (International Criminal Police Commission) dan Wina ditetapkan sebagai markas besar.30

Pada awal permulaan berdirinya ICPC, telah dijelaskan apakah ICPC yang didirikan atas anggaran dasar 1923 merupakan suatu panitia yang dibentuk oleh para utusan yang menghadiri kongres tersebut atau sudah berbentuk organisasi antar pemerintah.31

29

Sardjono., ,hal. 8

30

Ibid., 8

31

Ibid., hal 9


(39)

ditandatangani oleh para utusan, yang mungkin mereka tidak mempunyai mandat sebagai wakil pemerintah. Namun anggaran dasar telah menetapkan bahwa pemerintah dari negara anggota di kemudian hari dapat campur tangan. Pasal 33 Anggaran Dasar menetapkan bahwa pemerintah yang tidak terwakili dalam kongres telah diminta untuk mengajukan wakil-wakil mereka. Di samping itu, anggaran dasar juga belum menentukan prosedur penerimaan anggota baru. Memang harus diakui, masih banyak masalah-masalah yang bersifat samar, namun demikian kebiasaan-kebiasaan telah mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Suatu negara yang akan menjadi anggota baru, biasanya akan menyerahkan dokumen resmi dan membayar uang iuran yang pada umumnya dibayar oleh pemerintah negara anggota.

Dalam sidang Umum ke-14 di Bukarest bulan Juni 1938, tidak lama setelah pendudukan Jerman, untuk menghindari pengaruh politik, muncul suatu pendapat agar markas besar ICPC dipindahkan ke negara netral. Namun pendapat tersebut tidak diterima oleh Majelis Umum. Sebenarnya Kepala Kepolisian Jerman Yedrich merencanakan untuk mengambil alih ICPC dan memindahkan markas besarnya dari Wina ke Berlin. Untuk melaksanakan maksudnya tersebut, Yedrich telah mengadakan pemungutan suara secara paksa dengan cara surat-menyurat dan anggota-anggota ICPC diberi waktu selama 3 (tiga) minggu untuk memberikan jawaban yang justru pada saat itu Perang Dunia II telah berkobar. Negara-negara yang tidak memberikan jawaban telah dianggap memberikan


(40)

persetujuan secara diam-diam. Dokumen-dokumen ICPC telah hilang selama jatuhnya kota Berlin beberapa tahun kemudian.32

Segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, Inspektur Jenderal F.E. Louwage, dari Kepolisian Belgia, memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil negara anggota. Undangan untuk mengadakan pertemuan tersebut dikirim melalui saluran diplomatik.33

32

Ibid,, hal. 9.

33

Ibid., hal 11

Pertemuan tersebut merupakan Sidang Umum ICPC ke-XV dan para utusan dari 19 negara yang menghadiri sidang tersebut mengatakan siap untuk menerima anggota baru. Dalam agenda sidang umum tercantum suatu gagasan untuk merencanakan anggaran dasar yang baru dan memilih kota sebagai markas besar yang baru dan untuk pelaksanaannya dibentuk panitia. Majelis umum akhirnya memilih kota Paris sebagai markas besar ICPC. Presiden ICPC akan didampingi oleh suatu badan eksekutif yang benar-benar merupakan Dewan Internasional. Baik presiden maupun badan eksekutif harus sama sekali terlepas dari negara tempat kedudukan organisasi. Pada Sidang Umum ke-XVI di Brussel tahun 1946 dihadiri oleh 19 negara anggota. Keanggotaan organisasi ternyata meningkat dari tahun ke tahun. Sampai tahun 1956, ICPC telah beranggotakan 55 negara dan sampai dengan tahun 1977 menjadi 127 negara. ICPC dalam sejarahnya sampai dengan tahun 1956 dapat dikatakan tidak pernah mengalami kesulitan dan perselisihan yang berarti, kecuali selama masa peperangan. Kenyataan ini terutama disebabkan oleh tujuan ICPC yang jelas dan yang dinyatakan dengan tegas dalam anggaran dasarnya. Bahaya-bahaya yang mengancam keruntuhan ICPC telah mampu dicegah dengan adanya


(41)

Pasal 1 Anggaran Dasar 1946 yang berisi larangan untuk mencampuri atau melakukan kegiatan dalam bidang politik, agama dan rasial.

Anggaran Dasar 1946 merupakan suatu revisi dari Anggaran Dasar 1923, yang memungkinkan ICPC memulai dengan suatu rencana baru dan menempatkan diri dalam suatu forum internasional secara lebih penting.34

Akhirnya muncul pendapat-pendapat dari sebagian negara anggota tentang perlu adanya perubahan secara menyeluruh dari anggaran dasar 1946, sehingga pada tahun 1956, nama ICPC berubah menjadi ICPO ( International Criminal Police Organization), dimana sebelumnya pada tahun 1955 di Istambul telah dibicarakan konsep perubahan anggaran dasar yang baru dan pada Sidang Umum ke-XXVI di Wina, anggaran dasar baru diterima dan disahkan. Anggaran dasar yang baru tersebut terdiri dari 50 pasal dan peraturan yang bersifat umum. Tujuan ICPO yang dinyatakan dalam Pasal 2 sama dengan tujuan organisasi yang ditetapkan sebelumnya, sedangkan markas besarnya tetap berkedudukan di Paris.

Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, ternyata bahwa anggaran dasar inipun dianggap belum dapat mengikuti perkembangan terhadap kebutuhan yang semakin meningkat. Dalam perkembangan ini, kerjasama internasional antar badan-badan kepolisian menjadi semakin penting, sehingga organisasi memerlukan lebih dari persetujuan secara diam-diam dari negara anggota. Di samping itu, pengeluaran-pengeluaran yang diperlukan oleh organisasi ternyata tidak dapat dipenuhi oleh peraturan-peraturan keuangan yang diadakan pada tahun 1946.

34


(42)

Ketika Sekretariat jenderal ICPO dipindahkan ke Paris pada tahun 1946, maka timbul kebutuhan alamat telegrap dan kata “Interpol” telah dipilih dan didaftarkan pada kantor pos di Paris, sehingga menjadi bagian dari nama resmi organisasi.

Pada tahun 1966, Sekretariat jenderal ICPO kembali dipindahkan dari Paris ke Saint Cloud dan pada tahun 1989, tepatnya pada tanggal 27 November 1989 Markas Besar ICPO-Interpol ditempatkan di Lyon. Sejak saat itu banyak negara yang masuk menjadi anggota menurut prosedur yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar, sehingga ICPO saat ini adalah benar-benar merupakan suatu organisasi internasional yang resmi diakui oleh dunia. Sampai dengan tahun 2010, Interpol telah memiliki 190 negara anggota, Semua adalah negara ke-190 yang menjadi anggota Interpol.35

Dalam penanganan kejahatan internasional, seperti yang telah diuraikan pada bab pendahuluan, diperlukan kerjasama internasional karena tidak ada satupun negara di dunia yang dapat memerangi kejahatan internasional sendirian. Hal ini disebabkan banyaknya permasalahan yang timbul dalam hal penanggulangan kejahatan berdimensi internasional, antara lain :

.

B. Tugas dan Fungsi Interpol 1. Prinsip Dasar Interpol

36

Kewenangan aparat penegak hukum didalam melakukan kegiatan penegakan hukum dibatasi oleh suatu wilayah yang berdaulat penuh sebagai batas 1) Keterbatasan kewenangan sesuai batas negara dan yurisdiksi.

35

Annual Report of Interpol tahun 2009, hal. 12

36

Upaya Polri dalam Menanggulangi Kejahatan Transnasional, Mabes Polri,Jakarta, 2006, hal 7


(43)

dari yurisdiksi hukum yang dimilikinya. Sedangkan di sisi lain, para pelaku kejahatan dapat bergerak dengan lebih bebas melewati batas negara sepanjang didukung dengan dokumen keimigrasian yang memadai. Pada umumnya kecepatan gerak penegak hukum jauh tertinggal dari kegesitan pelaku baik dalam upaya melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Karena meskipun telah ada kesepakatan kerjasama untuk menangani kejahatan, namun dalam pelaksanaannya harus melalui proses birokrasi yang sulit.

2) Perbedaan sistem hukum

Kendala yuridis lebih disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum pidana di antara negara anggota. Ada negara yang menganut sistem kontinental dan ada pula yang menganut sistem anglo saxon. Perbedaan besar terutama terdapat dalam sistem peradilan pidana yaitu ada yang menganut due process model (lebih menitikberatkan pada perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka, sehingga menimbulkan birokrasi yang cukup panjang dalam peradilan pidana) dan ada yang memilih crime control model (menekankan efisiensi dan efektifitas peradilan pidana dengan berlandaskan asas praduga tak bersalah) lebih menitikberatkan pada proses yang lebih praktis.

Dalam perspektif criminal procedure (hukum acara pidana), Hebert L Packer dalam The Limited of the Criminal Sanction mengemukakan dua model dalam beracara. Kedua model itu adalah crime control model dan due process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt (praduga bersalah) sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang


(44)

melakukan perlawanan. Crime control model ini diumpamakan seperti sebuah bola yang digelindingkan dan tanpa penghalang. Sementara due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent (praduga tidak bersalah) sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah.

Persoalan yuridis lain adalah berkenaan dengan masalah kriminalisasi jenis-jenis kejahatan internasional. Belum semua negara sudah mampu menerapkan undang-undang untuk memerangi kejahatan internasional.

3) Perjanjian antara negara belum memadai. a. Perjanjian ekstradisi

Perjanjian ekstradisi diantara negara-negara masih sangat terbatas. Upaya untuk mengembangkan perjanjian ekstradisi dengan negara lain tidaklah mudah, karena sering terbentur dengan adanya konflik interest dari masing-masing negara. Selain itu, sekalipun sudah ada perjanjian ekstradisi, dalam kenyataannya proses penyerahan seorang pelaku kejahatan dari satu negara ke negara lain, biasanya melalui suatu proses yang sangat lama, bahkan sampai lebih dari satu tahun. Oleh karenanya faktor perjanjian ekstradisi memerlukan kecermatan dalam penanganannya sehingga tidak krusial sebagai penghambat proses penanganan kejahatan yang berlingkup lintas negara.

b. Perjanjian bantuan timbal balik dibidang proses pidana

Bagi negara-negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi, masih terbuka kemungkinan terjadinya penyerahan seorang pelaku kejahatan dari satu negara ke negara lain dapat melalui apa yang dinamakan mutual legal assistance


(45)

in criminal matters, yaitu upaya memberikan bantuan kerjasama penerapan hukum dalam penanganan kasus kriminal yang biasanya dilakukan dengan asas resiprositas (timbal balik). Namun penerapan dengan cara ini terkadang dikritik sebagai suatu tindakan yang menyalahi aturan hukum lainnya misalnya tentang perlindungan HAM. 37Kerjasama kepolisian internasional dalam wadah Interpol selalu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :38

1) Menghormati kedaulatan negara. Kerjasama didasarkan pada tindakan yang diambil oleh kepolisian negara anggota, dilaksanakan dalam batas dan undang-undang negara masing-masing.

2) Penegakan hukum dari undang-undang kejahatan. Bidang kegiatan organisasi dibatasi pada pencegahan kejahatan dan penegakan hukum yang berhubungan dengan kejahatan hukum. Inilah satu-satunya yang menjadi dasar perjanjian di antara semua negara anggota.

3) Universalitas. Setiap negara anggota dapat bekerjasama dengan negara anggota lainnya dan faktor geografi atau bahasa tidak boleh menghalangi kerjasama.

4) Persamaan di antara semua negara anggota. Semua negara anggota diberikan pelayanan yang sama dan mempunyai hak yang sama, tanpa mengindahkan kontribusi keuangan kepada organisasi.

5) Kerjasama dengan badan-badan lain. Kerjasama diperluas melalui NCB (National Central Bureau) dengan badan badan yang bertugas dibidang penanganan kejahatan negara masing-masing.

37

Supt. Budiman Parangin-angin, Mutual Legal Assistance (MLA), Majalah Interpol, 2006, hal. 59..

38


(46)

6) Metode kerja fleksibel. Walaupun telah diatur oleh prinsip-prinsip untuk menjamin keteraturan dan kelanjutan kerjasama, namun Interpol bekerja secara fleksibel dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan struktur dan situasi suatu negara anggota.

Berdasarkan prinsip-prinsip ini berarti Interpol tidaklah merupakan tim yang mempunyai kekuasaan supranasional yang dapat bergerak keliling dunia untuk mengadakan penyidikan di setiap negara anggotanya. Kerjasama kepolisian internasional tergantung pada kegiatan koordinasi diantara kepolisian negara-negara anggota, dimana semua negara-negara dapat saling meminta atau memberikan informasi atau pelayanan lain dalam masalah-masalah yang diperlukan.39

1) Menjamin dan mengembangkan kerjasama yang seluas-luasnya antara semua polisi reserse, dalam batas undang-undang suatu negara dan dengan semangat Declaration of Human Rights yang universal.

Setiap organisasi yang dibentuk pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu. Menurut Pasal 2 Anggaran Dasar ICPO-Interpol, maka yang menjadi tujuan didirikannya Interpol adalah :

2) Membangun dan mengembangkan lembaga-lembaga yang memberikan kontribusi efektif dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan.

Pembatasan dari kegiatan Interpol terdapat dalam Pasal 3 anggaran dasar yaitu :

39


(47)

“ Dilarang keras bagi organisasi untuk ikut campur atau melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan politik, militer, agama atau rasial” Pasal 2 ICPO-Interpol Constitution.

Sesuai dengan interpretasi yang diberikan oleh Pasal 3, kejahatan politik adalah sesuatu yang dipertimbangkan sebagai keadaan kekuasaan politik karena keadaan dan motif yang melingkupinya, bahkan jika kejahatan tersebut telah tercakup dalam undang-undang kejahatan suatu negara, dimana kejahatan itu terjadi. Interpretasi ini, didasarkan pada aspek yang dominan dari kejahatan, selanjutnya disahkan dalam resolusi Sidang Umum Interpol tahun 1951. Sebagai tambahan, resolusi tahun 1984 menyatakan bahwa secara umum kejahatan tidak dipertimbangkan sebagai kejahatan politik jika kejahatan terjadi di luar daerah konflik dan jika korban tidak ada hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku kejahatan.

2. Tugas-tugas dasar Interpol

Sebagai suatu organisasi internasional, ICPO menjalankan fungsi-fungsinya sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasarnya atau konstitusi yang mendirikannya, yang menjadi tugas-tugas Interpol adalah :

1) Sebagai alat penyampaian informasi dan penemuan-penemuan baru, dengan menerbitkan :

a. Interpol Review (majalah bulanan).

b. Counterfeit and Forgery Index, yaitu berupa informasi dan ciri-ciri uang palsu dan yang dipalsukan.


(48)

c. Brosur-brosur hasil riset yang dilakukan oleh Interpol baik tentang metode pencegahan dan pemberantasan kejahatan maupun modus operandi kejahatan internasional.

d. Interpol Notices

2) Memberikan pelatihan kepada badan kepolisian dari negara-negara anggotanya.

Interpol membantu dengan memberikan latihan-latihan kepada polisi-polisi negara anggota. Dalam hal ini unit latihan di lakukan di Sekretariat Jenderal. Unit pelatihan ini bertanggung jawab untuk mengatur dan mengadakan, mengkoordinasikan dan memberi petunjuk tentang seminar latihan tahunan bagi pejabat maupun NCB negara-negara anggota. Secara periodik, Sekretariat Jenderal juga mengadakan simposium untuk para kepala-kepala pendidikan dan latihan kepolisian untuk mendiskusikan berbagai aspek latihan kepolisian seperti kode etik dan kerjasama internasional.

3) Menyiapkan dan mengedarkan studi-studi dan laporan di bidang hukum serta permasalahan teknis yang berhubungan dengan aktifitas kepolisian di negara masing-masing.

4) Dalam pra ekstradisi, Interpol dapat menyebarluaskan permintaan pencarian, penahanan tersangka dan mengeluarkan surat penangkapan dan selanjutnya tersangka akan diekstradisi. Dalam hal ini, sesuai dengan yang tercantum dalam European Extradition Convention tahun 1957, instansi terkait dapat menggunakan sarana Interpol untuk mengirimkan permintaan penahanan sementara. Divisi III akan mengirimkan kepada setiap negara anggotanya


(49)

surat edaran yang menggambarkan langkah-langkah kepolisian yang harus diambil dalam mencari tersangka.

5) Menerbitkan laporan berkala tentang kecenderungan terhadap kejahatan baru dan langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya. 6) Mengadakan simposium forensik untuk keperluan penyidikan seperti

identifikasi orang dan barang-barang bukti.

Kerjasama kepolisian internasional ini meliputi semua jenis aktivitas kejahatan dengan cabang-cabang internasional yang penting seperti :40

Perampokan bank atau pencurian kendaraan, perdagangan kendaraan bermotor curian, pencurian dokumen identitas dan dokumen perjalanan, pencurian karya seni, perdagangan satwa yang dilindungi. Kejahatan ini sering dilakukan oleh sindikat pencuri yang beroperasi di beberapa negara atau para spesialis internasional yang berkemampuan tinggi. Pencurian karya-karya seni diberikan perhatian khusus karena efek yang ditimbulkan oleh pencurian-pencurian seperti itu. Oleh karena itu, Interpol memiliki file khusus untuk pencurian benda-benda seni dan mengedarkannya kepada negara-negara anggota. Sebagai tambahan, 1) Kejahatan terhadap orang.

Seperti pembunuhan, penganiayaan berat, perkosaan, penculikan, penyanderaan dan kejahatan terhadap anak sering menjadi kejahatan yang bersifat lintas negara karena seingkali penjahat melakukan pelanggaran dalam suatu negara namun berlindung di negara lain.

2) Kejahatan terhadap harta benda.

40


(50)

setiap 2 tahun sekali Sekretariat Jenderal menerbitkan poster dengan foto dan penjelasan dari benda-benda seni yang dicari agar mendapat perhatian dari masyarakat internasional.

3) Kejahatan terorganisir dan terorisme, serta kaitannya dengan peredaran narkotika dan senjata. Pada bulan Januari 1990, Interpol membentuk kelompok khusus yang bertujuan untuk menangani berbagai aspek kejahatan terorganisir secara lebih cermat. Dalam hal pemberantasan terorisme internasional, telah diterbitkan pedoman untuk penanggulangan terorisme internasional yang hanya diedarkan untuk negara anggota saja.

4) Peredaran gelap senjata api, yang digunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan. Interpol memiliki database yang berisi informasi-informasi tentang perdagangan dan peredaran senjata api. Database ini bernama Interpol Trafficking Arms System dan Interpol Explosive Incident System.

5) Perdagangan manusia dan eksploitasi seksual terhadap wanita dan anak-anak, yang sudah menjadi pelanggaran yang berskala internasional.

6) Kejahatan penerbangan sipil yang membahayakan penerbangan, seperti yang tercantum dalam Konvensi Hague 1970. Demikian juga seperti yang tercantum dalam Konvensi Montreal 1971 mengenai pengaturan untuk menjaga keamanan penerbangan.

7) Pemalsuan uang. Pencegahan dan penanggulangan pemalsuan uang telah dibahas oleh Interpol sejak didirikan pada tahun 1923. Interpol telah memainkan peranan yang penting dalam konvensi internasional 1929 tentang pencegahan uang palsu. Interpol juga pernah menyelenggarakan konferensi


(51)

baik internasional maupun regional tentang uang palsu dan dokumen palsu yang dihadiri oleh kepolisian dan pihak-pihak swasta.

8) Identifikasi, pelacakan dan penyitaan aset yang berasal dari kejahatan. Informasi tentang perpindahan aset kejahatan, perdagangan obat terlarang, kejahatan terorisme dan kejahatan di bidang perdagangan adalah tanggungjawab kelompok khusus Interpol yaitu Sub Divisi I. Kelompok ini dilibatkan dalam Dewan Konvensi Eropa mengenai pencucian uang, penangkapan dan penyitaan hasil-hasil kejahatan. Setiap bulan diterbitkan buletin yang berisi informasi tentang pencucian uang yang berasal dari kegiatan ilegal.

9) Kasus perdagangan barang-barang berharga (emas, permata, dan lain-lain) atau pemalsuannya dapat ditanggulangi oleh kerjasama internasional ini. 10)Penipuan merupakan suatu masalah yang meliputi pelanggaran ekonomi

secara luas dan mempunyai aspek-aspek internasional. Contohnya seperti penjualan saham fiktif, pemalsuan cek dengan menggunakan identitas palsu, pembajakan hak cipta dan lain-lain.

11)Perdagangan narkotika. Sub Divisi Narkotika mengoperasikan suatu sistem pelaporan intelijen yang efektif dan menguntungkan negara anggota, menyoroti kasus-kasus penyitaan narkotika dalam jumlah besar dan mempelajari kecenderungan-kecenderungan baru dari penyalur, jenis narkotika yang disita, modus operandi yang digunakan dan jalur yang dilalui peredaran gelap narkotika.


(52)

C. Kedudukan Interpol sebagai Organisasi Internasional

Interpol adalah salah satu organisasi internasional. Kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional telah diakui oleh masyarakat internasional. Interpol merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB dengan 190 negara anggota. Sesuai dengan persyaratan yang dikemukakan oleh Leroy Bennet, maka Interpol adalah organisasi internasional yang bersifat permanen, dibentuk oleh negara-negara secara sukarela yang memiliki anggaran dasar atau konstitusi yang memuat mengenai tujuan dan struktur organisasi tersebut. Interpol juga memiliki badan perwakilan dan sekretariat permanen yang melaksanakan fungsi administratif , penelitian dan informasi yang berkesinambungan.

Kekuasaan tertinggi dalam organisasi Interpol terletak pada Majelis Umum dan Komite Eksekutif, organ ini memberikan pertimbangan dan mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan dan melaksanakan pengawasan. Selain itu juga mengadakan pertemuan secara berkala. Departemen-departemen terdapat pada Sekretariat Jenderal yang bertanggung jawab untuk melaksanakan keputusan-keputusan dan rekomendasi yang telah disahkan oleh organ tertinggi tersebut serta mempunyai hubungan yang erat dengan masing-masing NCB dari negara anggota dalam rangka melaksanakan kerjasama kepolisian. NCB merupakan badan nasional yang bertanggung jawab sebagai penghubung antara negara anggota dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan Pasal 5 Anggaran Dasar, maka struktur organisasi Interpol adalah sebagai berikut :

1) Majelis Umum (General Assembly)

Majelis Umum terdiri dari delegasi-delegasi yang ditunjuk oleh pemerintah negara-negara anggota. Majelis umum adalah badan tertinggi dari


(53)

Interpol yang mengambil keputusan-keputusan utama seperti kebijaksanaan umum, sumber daya yang diperlukan untuk kerjasama internasional, metode kerja, keuangan dan program kegiatan. Majelis umum juga memilih pejabat-pejabat organisasi. Secara umum, Majelis Umum mengambil keputusan melalui mayoritas sederhana dalam bentuk rekomendasi atau resolusi. Setiap negara anggota memiliki satu suara. Untuk lebih memahami fungsi dari Majelis Umum, maka dapat kita lihat dalam Pasal 8 Anggaran Dasar ICPO-Interpol , yaitu : 41

41

www. interpol.int ,Constitution and General Regulations, diakses pada tanggal 2 Maret 2014

a. Untuk melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan dalam konstitusi.

b. Untuk menentukan prinsip-prinsip dan langkah-langkah umum yang sesuai untuk mencapai tujuan organisasi seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Anggaran Dasar.

c. Untuk memeriksa dan menyetujui program umum kegiatan yang disiapkan oleh Sekretariat Jenderal untuk tahun mendatang.

d. Untuk menentukan peraturan lain yang dianggap perlu.

e. Untuk memilih pejabat dalam melaksanakan tujuan seperti yang disebutkan dalam konstitusi.

f. Untuk mengambil keputusan dan membuat rekomendasi kepada negara-negara anggota tentang hal-hal yang merupakan fungsi dari organisasi. g. Untuk memeriksa dan menyetujui setiap perjanjian yang dibuat dengan


(54)

2) Komite Eksekutif (Executive Committee)

Komite eksekutif memiliki 13 anggota yang dipilih oleh Majelis Umum dari para delegasi negara-negara anggota. Presiden dari organisasi dipilih untuk masa jabatan 4 tahun. Ia memimpin Majelis Umum dan sidang Komite Eksekutif, menjamin pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh organisasi dan melaksanakan hubungan yang erat dengan Sekretariat Jenderal. 3 orang wakil presiden dan 9 anggota luar biasa, yang dipilih untuk masa jabatan 3 tahun. Ketiga belas anggota Komite Eksekutif tersebut dipilih berdasarkan keseimbangan geografi dan harus dari negara yang berbeda-beda. Komite Eksekutif mengadakan pertemuan tiga kali setahun untuk menjamin pelaksanaan keputusan organisasi, menyusun agenda sidang umum, menyetujui program kegiatan dan rencana anggaran sebelum diajukan kepada Majelis Umum dan mengadakan pengawasan terhadap manajemen Sekretariat Jenderal.

3) Sekretariat Jenderal (General Secretariat)

Sekretariat Jenderal adalah badan administratif dan teknik yang bersifat tetap dan melalui badan-badan inilah kegiatan Interpol dilaksanakan. Badan ini melaksanakan keputusan yang diambil dalam sidang umum dan Komite Eksekutif melaksanakan dan mengkoordinasikan kegiatan dalam rangka penanggulangan kejahatan internasional, membangun pusat informasi tentang penjahat dan kejahatan serta melaksanakan hubungan dengan lembaga-lembaga baik nasional maupun internasional.

Sekretariat Jenderal dipimpin oleh sekretaris jenderal dan dibantu oleh personil bidang teknik dan administratif, yang diperlukan untuk melaksanakan


(55)

pekerjaan organisasi. Sekretariat Jenderal terdiri dari Kantor Eksekutif dan empat bagian yang masing-masing bertanggungjawab terhadap tugas yang spesifik.42

a) Sub Divisi 1, yaitu menangani kejahatan umum (kejahatan terhadap orang dan harta benda, kejahatan terorganisir, terorisme).

a. Kantor eksekutif sekretariat jenderal

Merupakan unit bantuan teknik dan administratif yang membantu sekretaris jenderal dalam melaksanakan tugasnya.

b. Divisi I (administrasi umum)

Divisi ini bertanggung jawab terhadap pembukuan keuangan organisasi, memimpin staf, menyiapkan perlengkapan dan pelayanan umum serta menyiapkan Sidang Umum dan pertemuan-pertemuan lain yang diselenggarakan Interpol.

c. Divisi II (divisi polisi)

Divisi ini bertanggung jawab terhadap pusat informasi polisi dan penanganan kasus-kasus kejahatan internasional. Divisi ini juga mengatur proses komputerisasi informasi dan sistem arsip elektronik dan menjamin bahwa peraturan-peraturan penghapusan internal diterapkan terhadap file-file, draft pencarian internasional (draft international notice) dan ringkasan kasus-kasus kriminal. Divisi II terdiri dari 4 sub divisi, yaitu :

b) Sub Divisi 2, menangani kejahatan ekonomi dan keuangan (penipuan, pemalsuan uang).

42


(56)

c) Sub Divisi 3, menangani kejahatan peredaran gelap narkotika. d) Sub Divisi 4, menangani intelijen kriminal.

d. Divisi III (Divisi Pelatihan dan Pendidikan)

Divisi ini bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menerbitkan statistik kejahatan, menulis laporan kerja, menerbitkan majalah polisi reserse internasional, mewakili Interpol dalam konferensi-konferensi internasional, serta melakukan penelitian dan analisa terhadap prosedur yang digunakan oleh kepolisian negara anggotanya.

e. Divisi IV (Divisi Bantuan Teknik)

Divisi bertanggung jawab untuk mempelajari, mengembangkan dan menerapkan teknologi komputer dan telekomunikasi yang penting bagi kerjasama organisasi.

4) Biro Pusat Nasional (National Central Bureau)

Pengalaman memperlihatkan bahwa ada tiga faktor utama yang cenderung menghambat kerjasama internasional. Hambatan utama adalah perbedaan struktur kepolisian, yang sering mempersulit negara lain untuk mengetahui departemen manakah yang bertanggung jawab untuk memberikan informasi mengenai suatu kasus. Kedua, adanya perbedaan bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap negara. Hambatan yang ketiga adalah sistem-sistem resmi prosedur yang beraneka ragam.

Dalam usaha memecahkan masalah-masalah ini diputuskan bahwa pemerintah dari tiap-tiap negara anggota harus mengangkat suatu lembaga kepolisian permanen untuk bertindak sebagai NCB Interpol untuk melaksanakan kerjasama internasional.


(1)

114

tanpa perjanjian ekstradisi. Penyerahan ini dilakukan oleh badan yang berwenang dari suatu negara kepada badan yang berwenang dari negara lain atas diri seseorang yang sedang dicari karena melakukan kejahatan. Badan yang berwenang ini misalnya adalah kepolisian. Penyerahan semacam ini dilakukan berdasarkan kerjasama antara kepolisian negara-negara yang bersangkutan ataupun kerjasama melalui Interpol. 92

92


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional telah diakui oleh masyarakat internasional. Interpol merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB dengan 190 negara anggota. Interpol adalah organisasi internasional yang bersifat permanen, dibentuk oleh negara-negara secara sukarela yang memiliki anggaran dasar atau konstitusi yang memuat mengenai tujuan dan struktur organisasi tersebut. Interpol juga memiliki badan perwakilan dan sekretariat permanen yang melaksanakan fungsi administratif, penelitian dan informasi yang berkesinambungan. 2. Perspektif hukum internasional terhadap perdagangan manusia (human

trafficking, mencegah mengurangi penyelundupan migrant dengan cara

meningkatkan kerja sama antar negara peserta dengan melindungi hak-hak dari migran yang diselundupkan (The purpose of this Protocol is to prevent and combat the smuggling of migrant, as well as to promote coorperation among State Parties to that end, while protecting the rights of smuggled migrants)


(3)

116

3. Peranan Interpol dalam memberantas perdagangan manusia (human trafficking) menurut hukum internasional, melalui perjanjian ekstradisi kerjasama internasional dalam masalah pidana, pada dasarnya haruslah dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut :asas resiprositas, asas persamaan kedaulatan, asas non intervensi dan asas mutual benefit.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah :

1. Agar Kedudukan Interpol sebagai organisasi internasional Interpol memiliki badan perwakilan dan sekretariat permanen ditiap-tiap Negara yang melaksanakan fungsi administratif, penelitian dan informasi yang berkesinambungan.

2. Agar perspektif hukum internasional terhadap perdagangan manusia (human trafficking), meningkatkan kerja sama antar negara peserta dengan melindungi hak-hak dari migran yang diselundupkan.

3. Peranan Interpol dalam memberantas perdagangan manusia (human trafficking) menurut hukum internasiona, melalui perjanjian ekstradisi kerjasama internasional dalam masalah pidana, pada dasarnya haruslah dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut :Asas resiprositas, Asas persamaan kedaulatan, Asas non intervensi dan Asas mutual benefit.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdussalam, Hukum Pidana Internasional, Restu Agung : Jakarta,2006.

Bariah, Chairul, 2005 Aturan-aturan Hukum Trafficking (Perdagangan Permpuan dan Anak) USU.Press. Medan

Damian, Edy, Kapita Selekta Hukum Internasional,Alumni, Bandung,1991. D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1991. Eddy Damian, Kapita Selekta Hukum Internasional, Alumni : Bandung.1991

Francis T. Miko, Perdagangan Wanita dan Anak-anak, Artikel, Penerbit Progressia,Jakarta, 2001.

Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994.

I. Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung,2006. I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya

: Bandung. 2009

Irwanto, dkk. Perdagangan Anak Di Indonesia, Kantor Perburuhan Internasional, Program Internasional, Penghapusan Perburuhan Anak Kerja-sama FISIP-UI, Jakarta, 2001

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003.

Rahmat Syafaat, Dagang Manusia- Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak diJawa Timur, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002

Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional.Rafika aditama. Bandung 2000.

R. Makbul Padmanagara, Kejahatan Internasional, Tantangan dan Upaya Pemecahan, Majalah Interpol Indonesia, 2007.

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997


(5)

119

Syahrin, Pokok-Pokok Hukum Organisasi Internasional Oleh Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1986

Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996

Supt. Budiman Parangin-angin, Mutual Legal Assistance (MLA), Majalah Interpol, 2006.

Widya Susanty, S.Psi, Skripsi., Fenemena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan Annual Report of Interpol tahun 2009.

Upaya POLRI dalam Menanggulangi Kejahatan Transnasional,MABES POLRI,Jakarta, 2006

ICPO-Interpol Constitution.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang, (Trafficking in Persons) di Indonesia, 2003

TVPA (Trafficking Victims Protections Act) menyebutkan jenis-jenis perdagangan manusia terutama perempuan dan anak. Refina Aditama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Esktradisi.

Makalah

Sabriana, Makalah Upaya Pemerintah Sumatera Utara alam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Sinergitas dan Daerah Dalam Implementasinya, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Biro Pemberdayaan Perempuan SetdaProvsu, 2997, Medan.

Sabriana, Msi, Dkk, Pola Koordinasi Penanganan Korban Kekerasan – Perdagangan (Trafficking) di Sumatera Utara.

Agusmidah. Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Dan Upaya Penanggulangannya (Sudut Pandang Hukum Ketenagakerjaan, (Dialog Interaktif, “Tekad Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak Dengan Memberi Advokasi Penegakan Hukum Melalui UU No. 21 Tahun 2007”, Medan, 2007)


(6)

Thomson Siagian, Peranan Kejaksaan Agung Dalam Rangka Pencegahan Dan Penaggulanggan Kejahatan Transnasional, Jakarta, 2008

Internet

www. interpol.int ,Constitution and General Regulations. www.interpol.int , Interpol’s Structure

&aq=f&oq=

http:www.gugustugastrafficking.org.index.php?option=comcontent&viewarticle& id= 250:faktor-faktor-penyebab-gangguan-jiwa-pada-korban-trafficking &catid-89:info&Itemid=

www.interpol.int, INTERPOL Notices & Diffusions,

www.interpol.int, Interpol-United Nations Security Council Special Notices. www.interpol.go.id, Defenisi, Prosedur dan Implementasi Ekstradisi.

www.lawtherapy.blogspot.com, Ekstradisi dan Pendapat Umum.