Peran Situs Keramat Alami terhadap Efektivitas Pengelolaan Cagar Alam Nusa Gede Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang mengalami perkembangan pesat terutama di bidang industri, perdagangan, dan jasa. Hal ini disebabkan oleh letak Kabupaten Sidoarjo berbatasan dengan Kota Surabaya yang menyebabkan Kabupaten Sidoarjo mendapat limpahan pengembangan ekonomi akibat hubungan kegiatan perekonomian antara Kabupaten Mojokerto, Malang, dan Pasuruan dengan Kota Surabaya. Kegiatan pembangunan dilakukan seiring perekonomian yang meningkat sehingga dapat menyebabkan peningkatan suhu. Selain itu, pembangunan yang terjadi dapat menyebabkan berubahnya iklim mikro kota yang berpengaruh terhadap kenyamanan setiap penduduk Kabupaten Sidoarjo.

Luas total wilayah Kabupaten Sidoarjo sebesar 71.424,25 ha. Pada akhir tahun 2009, berdasarkan data dari registrasi penduduk, jumlah penduduk di Kabupaten Sidoarjo sebanyak 1.964.761 jiwa. Jumlah penduduk yang padat akan mengakibatkan kegiatan pembangunan semakin meningkat serta dapat berakibat pada suhu yang semakin meningkat pula. Alikodra dan Syaukani (2004) menjelaskan bahwa kepadatan penduduk yang amat tinggi telah menekan lingkungan hidup yang amat mencemaskan. Hal ini akan berdampak pada lingkungan yang akan semakin terdegradasi, miskin hutan, pekat pencemaran dan hilangnya keanekaragaman jenis.

Kebutuhan ruang di Kabupaten Sidoarjo turut meningkat seiring dengan kegiatan pembangunan di bidang ekonomi dan meningkatnya pertambahan penduduk. Pemenuhan kebutuhan ruang bagi kegiatan perekonomian dan penduduk Kabupaten Sidoarjo kemungkinan besar dapat mengubah Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi areal perdagangan, industri maupun permukiman-permukiman penduduk. Dengan berkurangnya RTH akan dapat mengakibatkan semakin meningkatnya suhu udara kota. Rijal (2008), menyebutkan bahwa pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat, baik yang disebabkan oleh kelahiran maupun angka urbanisasi, serta pertambahan sarana dan prasarana


(2)

2

pendukung berakibat terhadap penggunaan lahan yang pada akhirnya akan menggeser daerah RTH kota.

Ruang Terbuka Hijau memiliki kemampuan untuk menurunkan suhu udara. Moniaga (2008) menyebutkan bahwa RTH memiliki fungsi secara ekologi dalam ameliorasi iklim. RTH dapat memodifikasi suhu, dimana daun-daun tanaman menyerap sinar matahari kemudian mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan O2. Vegetasi pada RTH menguapkan uap air sehingga suhu di bawah tegakan pohon menjadi rendah dibandingkan di luar tegakan pohon.

Keberadaan RTH yang penting ini kurang mendapat perhatian, terutama dalam tata letak penempatannya. Dengan diketahuinya lokasi-lokasi yang tepat dalam penempatan RTH, fungsi RTH dapat dimaksimalkan dalam memodifikasi suhu udara kota serta meredam panas. Penentuan jarak antar RTH perlu diketahui sehingga fungsi RTH dapat efektif dalam menciptakan iklim mikro.

Hubungan antara suhu permukaan dengan jarak ke RTH di Kabupaten Sidoarjo dilakukan dengan teknik penginderaan jauh. Pendugaan penentuan jarak antar RTH dilakukan, serta sebaran suhu permukaan dipetakan. Dengan diketahuinya hubungan antara suhu permukaan dengan jarak ke RTH di Kabupaten Sidoarjo, diharapkan dapat memberikan rekomendasi mengenai tata letak RTH yang akan direncanakan sehingga RTH di Kabupaten Sidoarjo mampu berperan maksimal dalam memodifikasi suhu udara kota.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membangun model hubungan jarak antara RTH terhadap suhu permukaan serta memberikan alternatif pengembangan RTH di Kabupaten Sidoarjo.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Ketika radiasi melewati permukaan suatu obyek, fluks energi tersebut akan meningkatkan suhu permukaan obyek. Hal ini akan meningkatkan fluks energi yang keluar dari permukaan benda tersebut. Energi panas tersebut akan dipindahkan dari permukaan yang lebih panas ke udara di atasnya yang lebih dingin. Sebaliknya, jika udara lebih panas dan permukaan lebih dingin, panas akan dipindahkan dari udara ke permukaan di bawahnya (Rosenberg 1974 diacu dalam Fajri 2011).

Vogt (1996) diacu dalam Prasasti (2004) mengatakan, suhu permukaan merupakan salah satu parameter kunci bagi neraca energi di permukaan dan juga merupakan parameter klimatologis yang utama. Suhu permukaan dapat mengendalikan fluks energi gelombang panjang yang kembali ke atmosfer dan sangat tergantung pada keadaan parameter permukaan lainnya, seperti albedo, kelembaban permukaan, kondisi dan tingkat penutupan vegetasi.

Respon suhu permukaan sangat ditentukan oleh radiasi matahari yang datang pada permukaan, dan oleh parameter-parameter yang berhubungan dengan kondisi permukaan serta atmosfer seperti kelembaban tanah, termal inersia dan albedo. Pada permukaan bervegetasi, suhu permukaan kanopi secara tidak langsung dikendalikan oleh ketersediaan air pada mintakat (zone) perakaran dan secara langsung oleh evapotranspirasi (Carlson 1986 diacu dalam Prasasti 2004).

Konsentrasi penduduk pada wilayah tertentu ditambah dengan adanya industri dan perdagangan serta transportasi kota yang padat menyebabkan terjadinya thermal pollution yang kemudian membentuk pulau panas atau heat island. Heat island terjadi karena adanya emisi panas yang direfleksikan dari permukaan bumi ke atmosfer (Setyowati 2008). Heat island merupakan suatu


(4)

4

fenomena atau kejadian peningkatan suhu udara di wilayah perkotaan dibandingkan dengan daerah di sekitarnya hingga mencapai 3-10 oC. Fenomena ini disebabkan oleh adanya perubahan tata guna lahan dari vegetasi menjadi daerah yang beraspal, beton dan lahan terbuka (Khomarudin 2004).

Heat island adalah suatu fenomena suhu udara di daerah yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara di sekitarnya, baik di desa maupun di pinggir kota. Fenomena heat island ditandai dengan adanya suatu daerah yang memiliki suhu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di sekitarnya (Givoni 1989 diacu dalam Adiningsih et al. 2001). Umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota (sub urban) sampai ke desa. Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3 oC dibandingkan dengan pinggir kota (Landsberg 1981 diacu dalam Adiningsih et al. 2001).

Khomarudin (2004) menyebutkan bahwa heat island terbentuk jika sebagian tumbuh-tumbuhan (vegetasi) digantikan oleh aspal dan beton untuk jalan, bangunan dan struktur lain diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi manusia. Permukaan yang tergantikan tersebut lebih banyak menyerap panas matahari dan juga lebih banyak memantulkannya, sehingga menyebabkan suhu permukaan dan suhu lingkungan naik.

2.2 Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, RTH Kawasan Perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 29 menyebutkan bahwa RTH terdiri dari RTH publik dan RTH privat dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat.


(5)

5

Moniaga (2008) menyebutkan bahwa RTH memiliki fungsi secara ekologi dalam ameliorasi iklim. RTH dapat memodifikasi suhu, pada siang hari daun-daun tanaman menyerap sinar matahari dalam proses asimilasi, yang mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan O2. Bersama vegetasi lain menguapkan uap air melalui proses evapotranspirasi, oleh karena itu suhu di bawah tegakan pohon menjadi rendah dibandingkan di luar tegakan pohon. Fracillia (2007) mengatakan, keberadaan vegetasi atau permukaan air dapat menurunkan suhu karena sebagian energi radiasi matahari yang diserap permukaan akan dimanfaatkan untuk menguapkan air dari jaringan tumbuhan (transpirasi) atau langsung dari permukaan air atau permukaan padat yang mengandung air (evaporasi).

Ruang Terbuka Hijau juga dapat berfungsi dalam merekayasa lingkungan. Polutan berupa gas atau partikel debu yang berasal dari industri antara lain karbon monoksida, dari kendaraan bermotor, atau dari rumah tangga, partikel-partikel tersebut dapat dijebak oleh daun-daun, cabang dan ranting melalui proses impaction yang berfungsi sebagai filter di udara (Moniaga 2008).

Keberadaan RTH pada wilayah perkotaan sangat diperlukan, untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang telah tercemar sehingga mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem kota. Hilangnya RTH merupakan pemicu munculnya heat island dan hilangnya pengendali emisi (gas buang) kota. Antara lain berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, perubahan sifat-sifat radioaktif termal, aerodinamik dan hidrologi, terjadi perubahan iklim setempat, sampai perubahan ekosistem alami (Setyowati 2008).

2.3 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera (sensor) yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lillesand & Kiefer 1990).


(6)

6

Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellites) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya (Lillesand & Kiefer 1990).

Isdiyantoro (2007) menyebutkan, Landsat 7 merupakan kelanjutan dari Landsat 4, 5, dan 6, mempunyai karakteristik yang sama dengan Landsat 5 yang masih bergenerasi. Pada Landsat 7 mempunyai 2 sensor yaitu ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) dan HRMSI (High Resolution Multispectral Stereo Image). Landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi spasial 15 m untuk pankromatik dan 30 m untuk multispektral, resolusi temporal 16 hari, resolusi spektral dan radiometrik 7 kanal. Sedangkan Landsat 7 HRMSI mempunyai resolusi spasial 4,5 m untuk pankromatik dan 10 m untuk multispektral, resolusi temporal 3 hari, resolusi spektral dan radiometrik 4 kanal.

Tabel 1 Aplikasi dan saluran spektral (band) thematic mapper Saluran Kisaran

Gelombang Kegunaan

1 0,45-0,52 µm Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. 2 0,52-0,60 µm Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum

hijau yang terletak di antara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan. 3 0,63-0,69 µm Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran

ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan non-vegetasi

4 0,76-0,90 µm Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan

pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air. 5 1,55-1,75 µm Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman,

dan kondisi kelembaban tanah. 6 2,08-2,35 µm Pemisahan formasi batuan

7 10,40-12,50 µm Saluran inframerah termal, bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pemisahan

kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.


(7)

7

2.4 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Studi Suhu Permukaan

Perubahan suhu udara pada dasarnya merupakan resultante dari berbagai proses yang terjadi dalam suatu kawasan. Banyak aspek yang terlihat di dalamnya, termasuk di antaranya adalah perubahan penggunaan lahan yang sering dianggap sebagai penyebab peningkatan suhu kawasan. Dampak dari perubahan penggunaan lahan itu adalah perubahan suhu yang meningkat dari waktu ke waktu (Fracillia 2007). Peningkatan suhu dipelajari untuk memahami dampak perubahan lingkungan terhadap iklim mikro. Fenomena ini akan mempengaruhi permintaan energi, kesehatan masyarakat dan kondisi lingkungan (Chen et al. 2001 diacu dalam Fracillia 2007).

Vazquet et al. (1997) diacu dalam Prasasti (2004) mengatakan hasil pengukuran kanal termal pada data satelit dapat digunakan dalam pemetaan pola suhu permukaan pada skala waktu dan spasial yang lebih luas. Suhu permukaan dapat diduga dari data kanal inframerah termal, dan khusus pada data NOAA-AVHRR dengan menggunakan algoritma Split Window. Sedangkan, pada data Landsat-ETM dapat diduga dari nilai digital (Digital Number) kanal 6 (radiasi inframerah panas) yang telah terkoreksi secara radiometris (Malaret et al. 1985 diacu dalam Prasasti 2004).

Baumann (2001) diacu dalam Khomarudin (2004), mengkaji heat island dengan data Landsat sensor 6 untuk mendeteksi daerah heat island di Washington DC, namun hasilnya tidak tergambar heat island yang luas tetapi kecil. Hal ini disebabkan oleh vegetasi yang masih mendominasi kota, sehingga sebaran heat island tidak mengumpul. Estes et al. (1999) diacu dalam Khomarudin (2004), mendeteksi heat island dengan data Landsat TM sensor 6 untuk dua kota sekaligus yaitu Atlanta dan Salt Lake City. Pada kedua hasil penelitiannya terlihat terjadi perubahan suhu permukaan di wilayah perkotaan dengan daerah perkampungan.

Adiningsih et al. (1994) diacu dalam Adiningsih et al. (2001), mengkaji heat island dan perkembangannya di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi berdasarkan analisis suhu udara permukaan harian dari satelit NOAA-AVHRR. Hasilnya menunjukkan, heat island berkembang cepat di musim kemarau dan sering terjadi di pusat kota.


(8)

8

Suhu udara permukaan di masing-masing penutup lahan umumnya meningkat setiap tahun karena adanya pertambahan luas penutup lahan yang banyak menghasilkan panas yaitu industri, lahan terbuka dan pemukiman. Sementara penutup lahan yang mampu meredam suhu seperti vegetasi tinggi, tanaman semusim dan badan air berkurang sehingga mengakibatkan peningkatan suhu (Adiningsih et al. 2001). Suhu permukaan DKI Jakarta tahun 1997 adalah sebesar 26,2 oC dan tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 0,4 oC yaitu menjadi 26,6 oC. Perubahan lahan menjadi wilayah pemukiman akan menyebabkan suhu yang tinggi (Fracillia 2007).

Tursilowati (2007a) menyatakan bahwa, secara analisa kuantiatif dengan statistik terhitung adanya perluasan daerah dengan suhu tinggi (30-35 oC) yang terletak pada kawasan terbangun yang terdiri dari pemukiman dan industri di pusat Kota Bandung per tahun kira-kira 12.606 ha atau 4,47%. Tursilowati (2007a) mengatakan, daerah penyebaran urban heat island terletak di pusat Kota Bandung. Tingginya laju urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya lahan terbangun (pemukiman dan industri) menjadi salah satu penyebab meluasnya urban heat island yaitu bertambah luasnya area yang bersuhu tinggi (di atas 30 oC).

Pada tahun 1994, Kota Surabaya masih memiliki suhu 25-28 oC di wilayah bagian selatan dan timur, namun pada tahun 2002 suhu ini terganti oleh suhu yang lebih tinggi (lebih dari 29 oC) hampir di semua wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa di Kota Surabaya, urban heat island telah menyebar di seluruh area (Tursilowati 2007b). Tursilowati (2007b) menyebutkan bahwa dampak perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada skala yang lebih besar di Surabaya yakni bergantinya variabel iklim. Perubahan variabel iklim yaitu suhu udara (urban heat island), kelembaban relatif (RH) dan Temperature Humidity Index (THI).


(9)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sumber: Peta RTRW Kab. Sidoarjo & Peta RBI (dengan modifikasi)

Gambar 1 Peta wilayah administrasi Kabupaten Sidoarjo.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan lunak) dengan software Erdas Imagine 9.1, ArcGIS 9.3, Minitab 14. Alat yang digunakan di lapangan meliputi Global Positioning System (GPS) receiver, kamera digital, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM path/row 118/065 Kabupaten Sidoarjo dengan tanggal akuisisi 28 Mei 2011, peta administrasi Kabupaten Sidoarjo dan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).


(10)

10

3.3 Pengolahan Citra Satelit Landsat 3.3.1 Perbaikan citra (image restoration)

Perbaikan citra perlu dilakukan terhadap data citra satelit, yang dimaksudkan untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi pada saat ditransmisikan ke bumi, ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan gambaran sebenarnya. Koreksi geometrik bertujuan untuk memulihkan citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi.

Hal pertama yang perlu dilakukan dalam koreksi geometrik adalah penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data-data ke dalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah dalam proses pengintegrasian data-data selama penelitian. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografik menggunakan garis latitude (garis barat-timur) dan garis longitude (garis utara-selatan).

3.3.2 Pemotongan citra (subset image)

Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi obyek penelitian, dimana peta administrasi Kabupaten Sidoarjo hasil digitasi (peta digital) dijadikan acuan pemotongan citra. Batas wilayah yang akan dipotong dibuat dengan area of interest (aoi), yaitu pada wilayah yang termasuk ke dalam Kabupaten Sidoarjo.

3.3.3 Klasifikasi citra (image classification)

Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pengklasifikasian adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit, kemudian membuat aturan penetapan klasifikasi setiap piksel ke dalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Pemilihan kelompok-kelompok piksel ke dalam kelas klasifikasi merupakan proses pemilihan obyek (feature selection).

Dalam penelitian ini, untuk klasifikasi citra menggunakan proses klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang prosesnya melalui pemilihan kategori informasi atau kelas yang diinginkan dan kemudian memilih


(11)

11

daerah latihan (training area) yang mewakili tiap kategori. Tahapan yang dilakukan dalam klasifikasi terbimbing menggunakan software Erdas Imagine 9.1 1. Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman pada titik kontrol yang diambil pada lokasi penelitian menggunakan GPS receiver.

2. Pemilihan daerah (area of interest) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra. 3. Proses klasifikasi citra yang dilakukan secara otomatis oleh komputer

berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan pada saat proses pemilihan daerah.

4. Menggabungkan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama (recode).

5. Pengkoreksian citra hasil klasifikasi dengan membandingkannya dengan citra sebelum diklasifikasi.

Setelah dilakukan pengoreksian terhadap citra hasil klasifikasi, dilakukan uji akurasi. Penutupan lahan di wilayah Kabupaten Sidoarjo dibedakan menjadi lahan terbuka, lahan terbangun, rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat, vegetasi jarang, badan air dan tidak ada data.

3.3.4 Pengolahan citra landsat band 6 untuk estimasi suhu permukaan Untuk estimasi nilai suhu permukaan, dibangun sebuah model pada model maker pada software Erdas Imagine 9.1 untuk mengkonversi nilai-nilai piksel pada band 6 Landsat 7 ETM. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai spektral radiansi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai spektral radiansi (USGS 2002, YCEO 2010).

��R1 = ��

(�)− � (�)

�� �� − �� � × �� − �� � + � (�)

keterangan:

CVR1 : the cell value as radiance QCAL : digital number

LMINi : spectral radiance scales to QCALMIN LMAXi : spectral radiance scales to QCALMAX QCALMIN : 1 (LGPS Products); 0 (NPLAS Products) QCALMAX : Maximum pixel value (255)


(12)

12

Dengan diketahuinya nilai spektral radiansi, selanjutnya nilai spektral radiansi tersebut dikoreksi dengan memasukkan faktor emisivitas.

�� 2 =

�� 1− ↑

�� −

1− �

� ↓

keterangan:

CVR2 : the atmospherically corrected cell value as radiance CVR1 : the cell value as radiance

L↑MINi : upwelling Radiance (0,50)

L↓MAXi : downwelling Radiance (0,84) ɛ : transmittance (0,93)

τ : emissivity (typically 0.95)

Kemudian dilakukan konversi spektral radiansi yang terkoreksi untuk mengetahui suhu permukaan (USGS 2002):

�= 2

ln(��1 2+1)

Tabel 2 Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM

Satelit K1 (W/(m2*ster*µm) K2 (Kelvin)

Landsat 5/TM 607.76 1260.56

Landsat 7/ETM 666.09 1282.71

Sumber : USGS (2002)

3.4 Penentuan Jarak dengan Metode Euclidean Distance

Euclidean distance merupakan teknik penghitungan jarak antara dua obyek dengan menggunakan teorema phytagoras. Dalam penelitian ini, kelas penutupan lahan yang meliputi rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat dan vegetasi jarang akan dihubungkan dengan penutupan lahan yang serupa.

Dengan demikian, akan dihasilkan fungsi jarak antar vegetasi rapat yang satu dengan vegetasi rapat yang lainnya dalam lokasi penelitian, begitupun dengan rumput dan semak, sawah, ladang serta vegetasi jarang. Jarak-jarak tersebut digunakan sebagai peubah penjelas yang selanjutnya akan digunakan sebagai penduga suhu permukaan di suatu titik amatan.

Keterangan :

T : Suhu Efektif (K) K2 : Konstanta Kalibrasi 2 K1 : Konstanta Kalibrasi 1 CVR2 : Nilai radiansi terkoreksi


(13)

13

3.5 Pembuatan Model

Data yang diperoleh dari hasil interpretasi pada citra, selanjutnya dijadikan sebagai peubah untuk menentukan atau menduga pengaruh jarak RTH terhadap suhu permukaan.

1. Penentuan Peubah

Penentuan peubah dilakukan untuk mengetahui jenis peubah yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh model. Dalam menentukan jenis peubah, terlebih dahulu perlu dilakukan analisa hubungan tiap peubah. Pada penelitian kali ini, peubah yang menjadi kajian penelitian yaitu suhu permukaan, rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat dan vegetasi jarang. Peubah penjelas berupa rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat dan vegetasi jarang merupakan fungsi jarak yang diperoleh dari tahap penentuan jarak dengan metode euclidean distance.

2. Penentuan Titik Amatan

Titik yang digunakan adalah titik pada penutupan lahan berupa lahan terbangun dan lahan terbuka pada wilayah kajian. Pada titik-titik tersebut akan ditentukan berbagai peubah penjelas yang selanjutnya akan diekstraksi sebagai suatu model.

3. Uji Asumsi

Dalam memodelkan dengan menggunakan analisis regresi, maka diharapkan data mengikuti asumsi sebagai berikut :

a. Galat dari peubah penjelas menyebar normal.

b. Ragam pada peubah penjelas homogen (homoskendastisitas).

c. Diantara peubah penjelas tidak terdapat multikolinieritas dan bila terdapat multikolinieritas, maka hanya digunakan peubah inti yang merupakan peubah utama yang paling berpengaruh terhadap suhu permukaan.

d. Galat pada model linier bersifat bebas antara satu observasi dengan observasi berikutnya atau yang biasa disebut dengan tidak ada autokorelasi antar galat pada model. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi, dapat dilakukan dengan menggunakan statistik uji Durbin-Watson. Apabila nilai D-W mendekati angka 2, maka tidak terjadi autokorelasi.


(14)

14

4. Analisis Regresi

Analisis regresi yang digunakan adalah dengan menghubungkan suhu permukaan, rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat dan vegetasi jarang yang diperoleh dari data yang telah diolah. Selanjutnya, kelima prediktor tersebut akan dihubungkan dengan suhu permukaan titik amatan yang didasarkan pada koordinat titik tersebut.

5. Penentuan Peubah yang Berpengaruh

Pada saat meregresikan suatu prediktor terhadap peubah respon, akan ada beberapa prediktor yang tidak berpengaruh terhadap peubah penjelas. Pada kondisi demikian, perlu adanya pemilihan prediktor yang berpengaruh dan selanjutnya dilakukan kembali analisis regresi.

6. Validasi Model

Proses validasi model dimaksudkan untuk menguji kelayakan model untuk menduga titik-titik lain di wilayah kajian. Pada penelitian ini diambil 336 titik amatan. Validasi dilakukan dengan menggunakan 50% dari titik amatan, sehingga data yang digunakan untuk validasi adalah sebanyak 168 data dengan titik tersebar secara acak dan mewakili seluruh wilayah kajian.

3.6 Survey Lapangan

Survey lapangan bertujuan untuk mengetahui kondisi lapangan dan perubahan penutupan lahan. Pengambilan titik kontrol dilakukan tidak secara menyeluruh, melainkan hanya beberapa tempat saja yang dianggap dapat mewakili masing-masing kelas klasifikasi penutupan lahan. Setiap lokasi survey yang mewakili masing-masing kelas penutupan lahan, diambil titik koordinatnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) receiver.


(15)

15

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian. Band 1,2,3,4,5,dan 7

Klasifikasi terbimbing Band 6

Landsat 7 ETM Perbaikan citra Pemotongan citra

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka Sawah

Rumput &Semak

Ladang Vegetasi

rapat

Vegetasi jarang Badan

Air

Euclidean distance

Uji Asumsi Titik amatan

Tidak

Tidak Nyata Terpenuhi

Analisis regresi Ya

Model Validasi Suhu


(16)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis

Sidoarjo merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur. Secara geografis letak Kabupaten Sidoarjo berada di antara 7o 3’ - 7o 5’ Lintang Selatan dan 112o 5’ - 112o 9’ Bujur Timur. Kabupaten Sidoarjo terdiri atas 18 kecamatan, 322 desa dan 31 kelurahan. Kabupaten Sidoarjo memiliki luas wilayah 71.424,25 ha dengan batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut:

1. Sebelah utara : Kotamadya Surabaya dan Kabupaten Gresik 2. Sebelah timur : Selat Madura

3. Sebelah selatan : Kabupaten Pasuruan 4. Sebelah barat : Kabupaten Mojokerto

4.2 Kondisi Fisik Lingkungan 4.2.1 Topografi

Wilayah Kabupaten Sidoarjo berada di dataran rendah. Ditinjau dari topografi, Kabupaten Sidoarjo merupakan dataran delta dengan ketinggian antara 0-25 m. Wilayah bagian timur memiliki ketinggian 0-3 m dengan luas 19.006 ha (29,99%) merupakan daerah pantai dan pertambakkan.

Wilayah bagian tengah, yang berair tawar (40,81%) dengan ketinggian 3-10 m dari permukaan laut merupakan daerah pemukiman, perdagangan dan pemerintahan. Wilayah bagian barat, meliputi 29,20%, dengan ketinggian 10-25 m dari permukaan laut merupakan daerah pertanian.

4.2.2 Kondisi iklim

Kabupaten Sidoarjo beriklim tropis dan mengenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai September dan musim penghujan berkisar di bulan Oktober sampai April. Kabupaten Sidoarjo memiliki suhu udara berkisar antara 20 °C hingga 35 °C. Kelembaban udara di Kabupaten Sidoarjo berkisar antara 51-89%, serta kecepatan angin sebesar 25 km/jam (BMKG 2011).


(17)

17

4.2.3 Geologi

Struktur tanah Kabupaten Sidoarjo terdiri atas lapisan tanah aluvial kelabu yang merata di 18 kecamatan seluas 47.017,64 ha. Asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat seluas 4.970,23 ha yang hanya terletak di Kecamatan Krembung, Balongbendo, Tarik dan Prambon. Lapisan tanah aluvial hidromart seluas 21.361,23 ha menyebar di 8 kecamatan. Lapisan tanah gromosol kelabu tua seluas 870,70 ha hanya terletak di Kecamatan Buduran dan Gedangan.

Kabupaten Sidoarjo memiliki beberapa lapisan batuan, untuk batuan alluvium seluas 24.602,07 ha yang tersebar di semua kecamatan. Lapisan batuan plistosen fasien sedimen seluas 2.736 ha terdapat di 6 kecamatan yakni Kecamatan Buduran, Taman, Sidoarjo, Waru, Gedangan dan Sedati. Daerah air tanah, payau, dan air asin mencapai luas 16.312,69 ha. Kedalaman air tanah rata-rata 0-5 m dari permukaan tanah.

4.3 Keadaan Penduduk

Penduduk Kota Sidoarjo pada akhir tahun 2009, berdasarkan data dari registrasi penduduk, sebanyak 1.964.761 jiwa dengan kepadatan penduduk Sidoarjo 2.751 jiwa/ km2. Penduduk laki-laki sebanyak 988.166 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 976.595 jiwa (BPS Sidoarjo 2010). Mata pencaharian penduduk Kabupaten Sidoarjo di sektor perikanan & kelautan, pertanian, industri dan jasa.


(18)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan

5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo

Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Berdasarkan pengolahan citra satelit Landsat 7 ETM path/ row 118/065 pada 28 Mei 2011, didapatkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM wilayah Kabupaten Sidoarjo. Hasil interpretasi dilakukan dengan klasifikasi terbimbing dengan luas penutupan lahan berdasarkan pengolahan citra sebesar 71.931,04 ha, yaitu dengan klasifikasi penutupan lahan sebagai berikut:

1. Lahan Terbuka

Lahan terbuka dalam tipe penutupan lahan ini merupakan lahan kosong tidak bervegetasi seperti tanah gundul, dan areal proyek pembangunan yang awalnya merupakan areal bervegetasi. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM, lahan terbuka menunjukkan warna merah muda. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka dicirikan dengan warna merah muda.

2. Lahan Terbangun

Lahan terbangun dalam tipe penutupan lahan ini berupa areal permukiman, kawasan industri, serta perkantoran. Selain itu, areal perdagangan, pusat perbelanjaan, pusat pemerintahan termasuk pula dalam lahan terbangun. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna merah muda gelap. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa lahan terbangun dicirikan dengan warna merah marun.

3. Rumput dan semak

Tipe penutupan lahan untuk rumput dan semak di lokasi penelitian berupa rerumputan serta semak-semak. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM, kelas rumput dan semak berwarna kuning kehijauan. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak dicirikan dengan warna kuning.


(19)

19

4. Sawah

Sawah dalam tipe penutupan lahan ini berupa pertanian lahan basah terutama yang ditanami padi. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna biru keunguan (untuk sawah basah) serta warna hijau kebiruan (untuk sawah dengan tanaman padi). Proses klasifikasi sawah dicirikan dengan warna hijau kekuningan.

5. Ladang

Tipe penutupan lahan berupa ladang merupakan areal pertanian lahan kering yang ditumbuhi oleh tanaman semusim. Sebagian besar ladang di Kabupaten Sidoarjo ditanami tebu dan jagung. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna hijau terang serta berwarna oranye. Proses klasifikasi tipe penutupan lahan berupa ladang dicirikan dengan warna oranye.

6. Vegetasi Rapat

Tipe penutupan lahan untuk vegetasi rapat di Kabupaten Sidoarjo berupa hutan kota yang kompak dan rapat. Pada citra Landsat 7 ETM, penutupan lahan berupa vegetasi rapat terinterpretasi berwarna hijau tua. Proses klasifikasi tipe vegetasi rapat dicirikan dengan warna hijau gelap.

7. Vegetasi Jarang

Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang di Kabupaten Sidoarjo berupa jalur hijau jalan. Penutupan lahan berupa vegetasi jarang, pada citra Landsat 7 ETM terinterpretasi berwarna abu-abu kehijauan, sedangkan proses klasifikasi tipe vegetasi jarang dicirikan dengan warna hijau terang.

8. Badan Air

Badan air dalam tipe penutupan lahan ini merupakan semua penampakan air yakni sungai, danau dan tambak. Hasil interpretasi citra menunjukkan tipe klasifikasi ini berwarna biru terang. Proses klasifikasi badan air dicirikan dengan warna biru. Warna biru secara umum juga digunakan sebagai ciri pada pengkelasan tipe penutupan lahan badan air dengan tujuan untuk mudah dipahami.


(20)

20

9. Tidak Ada Data

Tipe tidak ada data merupakan tipe penampakan permukaan bumi yang tertutup awan dan bayangan awan. Hasil interpretasi citra menunjukkan awan berwarna putih, bayangan awan berwarna abu-abu gelap. Citra yang terkena stripping (bergaris) termasuk ke dalam tipe tidak ada data. Stripping terjadi karena setelah tahun 2003 satelit perekaman citra mengalami kerusakan, sehingga citra satelit yang didapatkan pada 28 Mei 2011 mengalami stripping.

5.1.2 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011

Kabupaten Sidoarjo memiliki luas sebesar 71.931,04 ha berdasarkan pengolahan citra Landsat 7 ETM. Analisis hasil uji akurasi yang telah dilakukan untuk citra Landsat 7 ETM dengan tanggal akuisisi 28 Mei 2011, didapatkan nilai akurasi Overall Classification Accuracy sebesar 85,12% dan Overall Kappa Statistic 81,91%. Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) menetapkan tingkat ketelitian interpretasi minimum tidak kurang dari 85% dan ketelitian untuk beberapa kategori kurang lebih sama. Hasil uji akurasi kappa yang didapatkan adalah kurang dari 85%, hal ini dapat disebabkan karena titik ground check yang diperoleh kurang tersebar secara merata pada daerah penelitian. Data-data mengenai luas wilayah berbagai tipe penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011 dihasilkan dari proses klasifikasi citra Landsat 7 ETM.

Tabel 3 Distribusi tutupan lahan Kabupaten Sidoarjo

No Tutupan Lahan Luas

Hektar ( ha) Persen (%)

1 Lahan Terbuka 2.208,90 3,07

2 Lahan Terbangun 11.623,20 16,16

3 Rumput dan Semak 5.730,09 7,97

4 Sawah 10.915,42 15,17

5 Ladang 8.910,54 12,39

6 Vegetasi Rapat 1.330,84 1,85

7 Vegetasi Jarang 2.219,80 3,09

8 Badan Air 16.939,88 23,55

9 Tidak Ada Data 12.052,37 16,76


(21)

21

Penutupan lahan dengan luasan terbesar yang berada di Kabupaten Sidoarjo adalah tipe badan air (Tabel 3). Badan air sebagian besar merupakan tambak-tambak di wilayah timur Kabupaten Sidoarjo. Selain tambak, badan air di Kabupaten Sidoarjo juga terdiri dari sungai dan danau. Sungai Porong merupakan salah satu sungai yang mengalir melewati Kabupaten Sidoarjo (Gambar 3). Badan air memiliki luas wilayah mencapai 16.939,88 ha yang menempati 23,55% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo.

Penutupan lahan berupa badan air dengan luasan paling besar terdapat di Kecamatan Jabon yakni seluas 4.511,89 ha atau 54,90% luas wilayah kecamatan. Penutupan lahan berupa badan air dengan persentase luasan paling besar terdapat di Kecamatan Sedati yakni mencapai 56,00% luas wilayah kecamatan atau seluas 4.436,54 ha. Lokasi tambak di Kabupaten Sidoarjo sebagian besar terdapat di Kecamatan Jabon dan Sedati. Penutupan lahan berupa badan air dengan luasan paling kecil terdapat di Kecamatan Tulangan yakni seluas 54,49 ha atau 1,72% luas wilayah kecamatan.

Gambar 3 Tambak di wilayah Waru (kiri) dan Sungai Porong (kanan).

Tipe penutupan lahan berupa lahan terbangun menempati urutan kedua sebagai tipe penutupan lahan dengan luasan terbesar di Kabupaten Sidoarjo. Lahan terbangun memiliki luas sebesar 11.623,20 atau mencapai 16,16% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Lahan terbangun di Kabupaten Sidoarjo berupa permukiman, kawasan industri, perkantoran, pasar dan lain-lain (Gambar 4).

Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, lahan terbangun dengan luasan terbesar terdapat di Kecamatan Waru yakni seluas 1.166,22 ha atau sebesar 37,85% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Waru


(22)

22

merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar yaitu 210.592 jiwa atau 10,69% dari total penduduk Sidoarjo (BPS Sidoarjo 2010).

Lahan terbangun di Kecamatan Sidoarjo, yang merupakan wilayah pusat kota dan pusat aktivitas manusia baik kegiatan pemerintahan maupun kegiatan perdagangan, menempati 18,28% luas wilayah kecamatan atau seluas 1.136,73 ha.

Gambar 4 Lahan terbangun di Kecamatan Sedati.

Lahan terbangun dengan luasan terkecil terdapat di Kecamatan Krembung yakni seluas 347,30 ha atau menempati 12,05% dari luas kecamatan. Lahan terbangun dengan persentase luasan terkecil terdapat di Kecamatan Jabon, yakni sebesar 4,23% dari luas wilayahnya atau sebesar 347,69 ha. Hasil sensus yang dilakukan BPS Sidoarjo (2010) menyebutkan bahwa Kecamatan Jabon merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu 58.274 jiwa atau hanya 3,05% dari seluruh penduduk Sidoarjo.

Gambar 5 Sawah di Kecamatan Balongbendo (kiri) dan Prambon (kanan).

Sawah memiliki luas wilayah mencapai 10.915,42 ha atau sebesar 15,17% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo (Gambar 5). Berdasarkan pengolahan citra Landsat 7 ETM, kecamatan dengan luasan terbesar untuk tipe penutupan lahan berupa sawah terdapat di Kecamatan Jabon yakni seluas 1.458,27 ha atau sebesar


(23)

23

17,74% dari luas wilayahnya. Kecamatan Sukodono merupakan kecamatan dengan persentase luasan terbesar untuk penutupan lahan berupa sawah yakni sebesar 25,12% (824,93 ha) dari luas wilayahnya dijadikan lahan persawahan. Kecamatan dengan luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa sawah terdapat di Kecamatan Waru yakni seluas 243,66 ha atau sebesar 7,91% dari luas wilayah kecamatan.

Tipe penutupan lahan berupa ladang memiliki luas sebesar 8.910,54 ha. Luas ladang mencapai 12,39% dari luas Kabupaten Sidoarjo. Ladang di Kabupaten Sidoarjo kebanyakan ditanami oleh tanaman jagung dan tebu (Gambar 6). Kecamatan Krembung memiliki tipe penutupan lahan berupa ladang dengan luasan terbesar yakni mencapai 989,54 ha atau sebesar 34,34% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Jabon merupakan kecamatan dengan persentase terkecil untuk luasan penutupan lahan berupa ladang yakni sebesar 3,99% dari luas wilayah kecamatan atau sebesar 327,65 ha merupakan ladang.

Gambar 6 Ladang jagung di Kecamatan Balongbendo dan ladang tebu di Kecamatan Krian.

Tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak memiliki luas sebesar 5.730,09 ha. Luas ini setara dengan 7,97% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011 kecamatan dengan luasan terbesar untuk tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak terdapat di Kecamatan Wonoayu yakni seluas 480,52 ha atau sebesar 13,93% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Sedati merupakan kecamatan dengan luasan terbesar kedua untuk penutupan lahan berupa rumput dan semak, yakni sebesar 468,43 ha atau mencapai 5,91% dari luas wilayah Kecamatan Sedati (Gambar 7).


(24)

24

Kecamatan Gedangan merupakan kecamatan yang memiliki luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak, yakni sebesar 177,67 ha atau sebesar 7,47 % dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan yang memiliki persentase luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa rumput dan semak adalah Kecamatan Jabon, yakni menempatkan 3,00% dari luas wilayahnya atau sebesar 246,23 ha merupakan rumput dan semak.

Gambar 7 Rumput di kawasan Bandara Udara Juanda, Kecamatan Sedati.

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang memiliki luas mencapai 2.219,80 ha. Vegetasi jarang memiliki luas yang mencakup 3,09% dari luas Kabupaten Sidoarjo. Vegetasi jarang di Kabupaten Sidoarjo terdiri dari jalur hijau jalan (Gambar 8). Kecamatan dengan luasan terbesar untuk penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Jabon yakni sebesar 195,47 ha atau mencapai 2,38% luas wilayah kecamatan. Kecamatan dengan persentase luasan terbesar untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Balongbendo, vegetasi jarang di Kecamatan Balongbendo menempati 5,09% (160,71 ha) dari luas wilayah kecamatan.

Kecamatan dengan luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Porong. Vegetasi jarang di Kecamatan Porong tersebar pada lahan seluas 65,59 ha (2,10%). Kecamatan dengan persentase luasan terkecil untuk tipe penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah Kecamatan Sedati, vegetasi jarang di Kecamatan Sedati menempati 1,83% (144,92 ha) dari luas wilayah kecamatan.


(25)

25

Gambar 8 Jalur hijau jalan di Kecamatan Sidoarjo dan Kecamatan Buduran.

Lahan terbuka mencakup 3,07% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Lahan terbuka memiliki luas mencapai 2.208,90 ha yang merupakan lahan kosong tidak bervegetasi dan berupa areal proyek pembangunan yang awalnya merupakan areal bervegatasi. Kecamatan Porong merupakan kecamatan dengan lahan terbuka terluas yakni sebesar 336,93 ha atau mencapai 10,76 % dari luas wilayah kecamatan (Gambar 9).

Kecamatan dengan luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa lahan terbuka adalah Kecamatan Tarik, yakni seluas 50,14 ha atau sebesar 1,37% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan dengan persentase luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa lahan terbuka adalah Kecamatan Jabon. Lahan terbuka di Kecamatan Jabon menempati 1,03% dari luas wilayah kecamatan atau sebesar 84,90 ha.

Gambar 9 Kawasan lumpur Lapindo, Kecamatan Porong.

Vegetasi rapat merupakan tipe penutupan lahan dengan luasan terkecil di Kabupaten Sidoarjo. Vegetasi rapat memiliki luas sebesar 1.330,84 ha. Luasan ini mencakup 1,85% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Vegetasi rapat terdiri dari hutan kota yang kompak dan rapat serta arboretum (Gambar 10). Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011 tipe penutupan lahan berupa


(26)

26

vegetasi rapat dengan luasan terbesar terdapat di Kecamatan Tarik yakni seluas 140,51 ha atau sebesar 3,85% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan Sukodono memiliki tipe penutupan lahan berupa vegetasi rapat dengan persentase luasan terbesar, vegetasi rapat menempati 3,87% dari luas wilayahnya atau sebesar 126,96 ha.

Kecamatan dengan luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa vegetasi rapat adalah Kecamatan Waru, yakni seluas 31,04 ha atau sebesar 1,01% dari luas wilayah kecamatan. Kecamatan dengan persentase luasan terkecil untuk penutupan lahan berupa vegetasi rapat adalah Kecamatan Sidoarjo yakni menempati 0,73% dari luas wilayah kecamatan atau seluas 45,17 ha.

Gambar 10 Hutan rapat di Kecamatan Sidoarjo dan arboretum Balai KSDA Kementrian Kehutanan Jawa Timur di Kecamatan Sedati.

Tipe tidak ada data memiliki luas mencapai 16,76% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Kelas tidak ada data memiliki luas sebesar 12.052,37 ha. Kelas tidak ada data terdiri dari awan dan bayangan awan. Awan disebabkan kondisi cuaca pada saat pengambilan data. Bayangan awan dipengaruhi oleh adanya awan, serta luasannya dipengaruhi oleh sudut kemiringan matahari terhadap bumi, jenis awan dan ketinggian awan pada saat perekaman/ pengambilan citra dilakukan. Kelas tidak ada data juga disebabkan karena citra Landsat 7 ETM yang digunakan berbentuk stripping.


(27)

27


(28)

28

5.2 Distribusi Suhu Permukaan

5.2.1 Suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo

Suhu permukaan yang diperoleh merupakan suhu permukaan hasil pendugaan menggunakan satelit pada satu waktu, dan bukan merupakan suhu rataan dari berbagai waktu dan kondisi. Nilai suhu permukaan yang diperoleh merupakan dugaan nilai suhu permukaan yang terekam pada saat pencitraan satelit 28 Mei 2011.

Hasil interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM menunjukkan suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo pada 28 Mei 2011 berkisar di antara < 26 oC hingga mencapai ≥ 40 oC. Nilai suhu terendah tercatat pada selang < 26 oC. Suhu dengan selang ini mencapai 0,01% luas wilayah Kabupaten Sidoarjo atau sebesar 10,64 ha. Nilai suhu tertinggi tercatat pada selang ≥ 40 oC. Suhu dengan selang ini hanya mencapai luas 7,86 ha atau sebesar 0,01 % dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo dan merupakan suhu dengan luasan wilayah terkecil di Kabupaten Sidoarjo (Tabel 4).

Tabel 4 Suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011

No Selang (oC) Luas

Hektar (ha) Persen (%)

1 < 26 10,64 0,01

2 26 - <27 12,39 0,02

3 27 - <28 126,63 0,18

4 28 - <29 7.676,73 10,67

5 29 - <30 15.587,84 21,67

6 30 - <31 6.086,18 8,46

7 31 - <32 11.822,14 16,44

8 32 - <33 6.574,01 9,14

9 33 - <34 4.777,28 6,64

10 34 - <35 3.448,72 4,79

11 35 - <36 1.863,57 2,59

12 36 - <37 334,14 0,46

13 37 - <38 105,35 0,15

14 38 - <39 38,02 0,05

15 39 - <40 8,41 0,01

16 ≥ 40 7,86 0,01

17 Tidak ada data 13.451,10 18,70


(29)

29

Berdasarkan hasil perhitungan luasan distribusi spasial suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo pada citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, luasan wilayah terbesar nilai distribusi spasial suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo yaitu suhu dengan selang 29 - <30 oC. Suhu dengan selang ini mencapai luas 15.587,84 ha atau 21,67% dari luas wilayah Kabupaten Sidoarjo. Suhu di Kabupaten Sidoarjo tersebar dominan mulai dari selang 28 - <29 oC hingga 32 - <33oC, suhu pada masing-masing selang ini memiliki luasan lebih dari 6.000 ha.


(30)

30


(31)

31

5.2.2 Distribusi suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo tahun 2011

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, didapatkan nilai distribusi suhu permukaan Kabupaten Sidoarjo berada pada selang < 26 oC sampai dengan ≥ 40 oC. Pada pencitraan 28 Mei 2011, suhu dengan nilai < 26 oC terdistribusi menyebar secara acak pada lahan terbangun, lahan terbuka, rumput dan semak, sawah, ladang dan badan air, selain itu suhu juga terekam pada awan, sehingga masuk dalam kelas tidak ada data. Suhu dengan selang 26 - <27 oC menyebar secara acak pada semua kelas penutupan lahan yang sebagian besar terdapat pada lahan terbangun, selain itu, terekam pada awan sehingga masuk dalam kelas tidak ada data. Suhu dengan selang 27 - <28 oC tersebar di timur laut dan tenggara pada penutupan lahan berupa badan air serta di tengah Kabupaten Sidoarjo terdapat pada penutupan lahan berupa ladang.

Distribusi suhu permukaan dengan selang 28 - <29 oC sebagian besar berada pada penutupan lahan berupa badan air (tambak) di sepanjang timur Kabupaten Sidoarjo yang berbatasan dengan laut, serta sebagian lagi terdapat pada ladang di tengah kabupaten. Suhu dengan selang 29 - <30 oC terekam di timur Kabupaten Sidoarjo yakni pada badan air (tambak) yang terdapat di sepanjang laut, sebagian pada penutupan lahan berupa sawah dan ladang yang tersebar di barat dan barat daya kabupaten. Distribusi suhu permukaan dengan selang 30 - <31 oC tersebar di timur Kabupaten Sidoarjo pada penutupan lahan berupa badan air (tambak) yang mulai mengarah ke kawasan perkotaan, sebagian lagi terdapat pada sawah, ladang, vegetasi rapat, dan vegetasi jarang yang tersebar secara merata dari barat daya hingga barat laut Kabupaten Sidoarjo.

Suhu dengan selang 31 - <32 oC dan 32 - <33 oC terdistribusi merata dari barat hingga ke tengah menuju kawasan perkotaan Kabupaten Sidoarjo pada semua tipe penutupan lahan. Suhu dengan selang 33 - <34 oC tersebar merata dan mulai mengarah ke kanan dan kiri jalan utama di pusat kabupaten. Suhu dengan selang 34 - <35 oC terdistribusi sebagian di utara kabupaten yang berbatasan dengan Kota Surabaya, sebagian tersebar di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di pusat Kabupaten Sidoarjo yang merupakan lahan terbangun, sebagian lagi terdapat di sepanjang kanan dan kiri jalan utama dari utara menuju barat Kabupaten Sidoarjo.


(32)

32

Distribusi suhu permukaan pada selang 35 - <36 oC terdapat di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di pusat kabupaten, di utara kabupaten berupa kawasan permukiman dan industri yang berbatasan dengan Kota Surabaya, di barat kabupaten yang berupa kawasan industri PT Tjiwi Kimia, serta di kawasan Bandara Udara Internasional Juanda. Distribusi suhu permukaan pada selang 36 - <37 oC dan 37 - <38 oC memusat di barat kabupaten yang berupa kawasan industri PT Tjiwi Kimia, di kawasan Bandara Udara Internasional Juanda, serta di lokasi lumpur Lapindo-Porong.

Suhu permukaan dengan selang 38 - <39 oC dan 39 - <40 oC terdistribusi memusat, di barat kabupaten yang berupa kawasan industri PT Tjiwi Kimia, serta di lokasi lumpur Lapindo-Porong. Suhu dengan selang ≥40 oC terdistribusi semakin memusat ke arah pusat semburan lumpur Lapindo-Porong.

Hasil pengolahan citra satelit memperlihatkan, terdapat suatu gambaran bahwa suhu permukaan di kawasan perkotaan Kabupaten Sidoarjo khususnya di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di pusat kabupaten memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan perdesaan yang berada di barat daya kabupaten. Suhu permukaan di kawasan perdesaan tercatat mulai dari selang 29 - <30 oC, sedangkan suhu permukaan di kawasan perkotaan tercatat mulai dari selang 34 - <35 oC. Perbedaan nilai suhu permukaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena pulau panas atau heat island di Kabupaten Sidoarjo. Fenomena heat island merupakan suatu fenomena atau kejadian peningkatan suhu udara di wilayah perkotaan dibandingkan dengan daerah sekitarnya hingga mencapai 3-10 oC (Khomarudin 2004).

Bauman (2001) diacu dalam Khomarudin (2004) menyebutkan efek heat island pada kondisi perkotaan dengan didominasi oleh beton, aspal dan bangunan dapat menimbulkan peningkatan suhu udara permukaan kota karena kemampuan menyeimbangkan pemantauan dan penyerapan energi radiasi berkurang. Tursilowati (2007a) menyebutkan struktur buatan manusia seperti jalan dan bangunan biasanya mempunyai albedo rendah daripada permukaan natural dan menyerap lebih banyak radiasi tampak. Hal ini memperlihatkan bahwa vegetasi yang berkurang dan bertambahnya permukaan urban menimbulkan efek heat island.


(33)

33

5.2.3 Hubungan suhu permukaan dengan tutupan lahan

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM pada 28 Mei 2011, terdapat hubungan antara suhu permukaan dengan masing-masing penutupan lahan. Adiningsih et al. (2001) menyebutkan suatu pola interval suhu udara tinggi di permukaan kota khususnya pada penutupan lahan permukiman, lahan terbuka, dan industri dapat disebabkan oleh proses konveksi, yakni panas dipindahkan bersama-sama dengan molekul-molekul udara yang bergerak, sehingga udara dipanaskan oleh permukaan bumi akibat radiasi matahari, dan udara akan mengembang dan naik menuju tekanan yang lebih rendah. Sementara itu suhu akan menurun pada jenis lahan tanaman semusim, vegetasi tinggi dan tubuh air.

Hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM menunjukkan nilai suhu permukaan dominan pada lahan RTH (rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat, vegetasi jarang) di Kabupaten Sidoarjo lebih rendah dibandingkan dengan tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka dan lahan terbangun. Suhu permukaan dominan pada tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka dan lahan terbangun masing-masing berada pada selang 33 - <34 oC. Pada lahan RTH, suhu permukaan dominan berada diantara selang 29 - <32 oC (Tabel 5). Data ini menunjukkan pentingnya mempertahankan keberadaan lahan bervegetasi yakni RTH, sehingga pengembangan RTH lebih ke arah mempertahankan dan menambah yang sudah ada.

Tabel 5 Hubungan suhu permukaan dengan lahan RTH di Kabupaten Sidoarjo No Tutupan Lahan Suhu Permukaan Dominan (oC)

1 Lahan Terbuka 33 - <34

2 Lahan Terbangun 33 - <34

3 RTH

a. Rumput / Semak 31 - <32

b. Sawah 31 - <32

c. Ladang 29 - <30

d. Vegetasi rapat 29 - <30

e. Vegetasi jarang 31 - <32

4 Badan Air 29 - <30

Ruang terbuka hijau berperan penting dalam perkotaan karena setiap pengurangan luasan RTH akan berakibat naiknya suhu udara dengan nilai relatif lebih besar pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan kabupaten. Tipe penutupan lahan yang memiliki vegetasi yang rapat dengan jumlah pepohonan


(34)

34

yang banyak, dapat memberikan kesejukan pada daerah kota yang panas akibat pantulan panas matahari dari gedung bertingkat dan juga aspal (Effendy 2007 diacu dalam Heksaputri 2011).

Tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka memiliki suhu permukaan dominan pada selang 33 - <34 oC. Lahan terbuka pada selang ini mencapai luasan sebesar 453,32 ha. Fajri (2011) menyatakan bahwa karakteristik penutupan pada lahan terbuka, sebagian besar energi yang diterimanya digunakan untuk memanaskan udara sehingga banyak dari radiasinya digunakan untuk memanaskan atmosfer.

Lahan terbangun memiliki kisaran suhu permukaan dominan pada selang 33 - <34 oC. Luasan lahan terbangun pada selang ini mencapai 2.651,03 ha. Fajri (2011) menyebutkan bahwa lahan terbangun akan memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya berkaitan dengan albedo yang tinggi pada lahan terbangun menyebabkan radiasi gelombang pendek yang diterimanya akan lebih dominan untuk dipantulkan dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Selain itu kapasitas kalor pada perkerasan yang cenderung lebih rendah, sehingga kemampuan obyek dalam menyimpan energi yang diterima menjadi rendah dibanding energi yang dipantulkan. Adiningsih et al. (2001) menyebutkan penutup lahan berupa industri dan permukiman dengan bahan beton, permukaannya akan cepat menjadi panas dan suhunya cepat meningkat. Hal ini disebabkan oleh beton memiliki kapasitas kalor kecil dengan konduktivitas termal yang sangat besar.

Penutupan lahan berupa rumput dan semak, suhu permukaan dominan berada pada selang 31 - <32 oC. Rumput dan semak pada selang ini memiliki luasan sebesar 1.760,19 ha. Sawah memiliki kisaran suhu permukaan dominan pada selang 31 - <32 oC. Luasan sawah pada selang ini mencapai 4.909,98 ha. Tipe penutupan lahan berupa ladang, suhu permukaan dominan berada pada selang 29 - <30 oC. Luasan ladang pada selang ini sebesar 3.496,69 ha (Gambar 13). Penutupan lahan berupa vegetasi rapat memiliki suhu permukaan dominan pada selang 29 - <30 oC. Vegetasi rapat pada selang ini memiliki luasan mencapai 371,37 ha. Suhu permukaan dominan pada tipe penutupan lahan berupa vegetasi


(35)

35

jarang berada pada selang 31 - <32 oC. Luasan vegetasi jarang pada selang ini sebesar 606,78 ha.

Gambar 13 Grafik suhu permukaan pada berbagai tipe penutupan lahan.

Pada lahan bervegetasi baik berupa rumput dan semak, ladang maupun vegetasi dan sawah, memiliki radiasi pantul yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun. Hal ini disebabkan energi yang diterima oleh tumbuhan sebagian besar digunakan untuk metabolisme tumbuhan dan hanya beberapa bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer (Fajri 2011). Suhu permukaan pada vegetasi rapat dapat bernilai lebih rendah karena karakteristik vegetasi rapat dengan ketinggian tanaman yang lebih besar dibandingkan vegetasi lainnya menyebabkan penggunaan energi untuk proses fisiologis tumbuhan lebih besar dibandingkan dengan rumput dan semak, sawah, maupun ladang yang memiliki tinggi tanaman lebih terbatas.

Badan air memiliki kisaran suhu permukaan dominan pada selang 29 - <30 oC dengan luasan distribusi pada selang ini mencapai 7.717,15 ha (Gambar 13). Fajri (2011) menyebutkan bahwa dengan kapasitas kalor yang besar, badan air mampu menampung energi radiasi yang lebih besar sehingga menyebabkan radiasi yang dipantulkan juga akan cenderung lebih kecil dibandingkan penutupan lahan yang lain. Air dengan kapasitas kalor yang besar memungkinkan penyerapan kalor secara besar-besaran dan melepaskan secara lambat melalui evaporasi. Dengan adanya uap air yang ditambahkan ke udara melalui evaporasi dalam jumlah besar menjadikan udara lebih sejuk (Adiningsih et al. 2001). Waluyo (2009) menyatakan bahwa radiasi sinar matahari akan


(36)

36

menembus permukaan air dan disimpan dalam waktu yang lama kemudian dilepaskan dalam bentuk panas.

Khomarudin et al. (2005) menyebutkan bahwa jika terjadi perubahan lahan dari vegetasi menjadi pemukiman (perkotaan) akan meningkatkan energi untuk memanaskan udara dan menurunkan evapotranspirasi. Hal ini mengakibatkan suhu udara di wilayah perkotaan akan meningkat, demikian juga dengan kelembaban udara akan menurun, tingkat kekeringan akan tinggi, sehingga kenyamanan akan menjadi lebih rendah. Menjaga keseimbangan antara vegetasi dan bangunan di wilayah perkotaan perlu dilakukan, sehingga akan menjadikan kota lebih nyaman.

5.3 Penentuan Pengaruh Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau terhadap Suhu Permukaan

Penentuan pengaruh jarak jangkau RTH dilakukan dengan menentukan pengaruh dari jarak titik amatan pada penutupan lahan berupa rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat, vegetasi jarang terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Titik amatan adalah titik-titik yang tersebar di lahan terbangun dan lahan terbuka yang akan diekstraksi sebagai pembangkit model (Gambar 14).


(37)

37

Berdasarkan prediktor-prediktor tersebut, dilakukan analisis regresi linier mengenai pengaruh dari masing-masing prediktor terhadap suhu permukaan. Hasil analisis bentuk hubungan antara masing-masing lahan RTH terhadap suhu permukaan didapatkan bahwa jarak rata-rata sawah dan vegetasi rapat tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Hal ini ditunjukkan oleh nilai uji t pada sawah dan vegetasi rapat yang lebih dari 0,05 yakni sawah bernilai 0,907 dan vegetasi rapat bernilai 0,412. Oleh karena itu kedua prediktor tersebut tidak digunakan sebagai penduga suhu permukaan di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Pemodelan selanjutnya hanya menggunakan tiga prediktor yaitu jarak titik amatan terhadap rumput dan semak, jarak titik amatan terhadap ladang dan jarak titik amatan terhadap vegetasi jarang. Dari hasil regresi tersebut, dihasilkan model:

y = 28,7 + 0,00348 x1 + 0,593 Ln x2 + 0,565 Ln x3….(1) keterangan: y : Suhu Permukaan

x1 : Jarak titik amatan terhadap rumput dan semak x2 : Jarak titik amatan terhadap ladang

x3 : Jarak titik amatan terhadap vegetasi jarang

Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa residual dari persamaan tersebut menyebar normal dengan nilai kemungkinan lebih dari 0,150 (Gambar 15). Pada uji autokorelasi dengan menggunakan metode Durbin-Watson, diperoleh nilai uji D-W sebesar 1,844. Nilai tersebut mendekati 2, sehingga dapat dikatakan bahwa galat model tersebut tidak saling beratutokorelasi.

Nilai Residu P e rs e n 3 2 1 0 -1 -2 -3 99,9 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 0,1


(38)

38

Selanjutnya dilakukan validasi dengan menggunakan 50% dari data titik amatan yang terdiri dari berbagai tipe penutupan lahan untuk menilai kualitas persamaan 1. Data menunjukkan, suhu permukaan hasil dugaan memiliki nilai korelasi sebesar 44,7%. Nilai korelasi ini terbilang cukup kecil dalam menduga suhu permukaan berdasarkan ketiga prediktor tersebut.

Persamaan 1 memiliki koefisien determinasi sebesar 41,8%. Model ini belum dapat dikatakan cukup menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Angka ini menunjukkan bahwa besarnya pengaruh variabel jarak rata-rata rumput dan semak, ladang dan vegetasi jarang terhadap suhu permukaan sebesar 41,8% dan sisanya (58,2%) dipengaruhi faktor-faktor lain di luar model ini, yakni dapat berupa albedo, radiasi netto, kelembaban air, kelembaban udara dan lain-lain.

Hasil penelitian Fajri (2011) menyebutkan suhu permukaan di Kota Bogor dipengaruhi oleh pengaruh jarak rata-rata RTH, albedo dan radiasi netto. Pembuatan model tersebut cukup menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan di Kota Bogor dilihat dari koefisien determinasi yang bernilai 88,0%.

Berdasarkan hasil regresi persamaan 1 didapatkan bahwa vegetasi jarang memiliki pengaruh yang cukup nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo diduga disebabkan oleh cukup dekatnya jarak antar vegetasi jarang dari titik amatan. Keberadaan vegetasi jarang terutama jalur hijau jalan harus dipertahankan dan perlu ditambah karena pengaruh yang terlihat nyata dalam mempengaruhi suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo.

Pengaruh vegetasi rapat di Kabupaten Sidoarjo tidak nyata pada daerah perkotaan diduga karena jarak yang berjauhan antara masing-masing vegetasi rapat dari titik amatan serta tersebarnya secara merata vegetasi lainnya dalam bentuk persawahan dan perladangan di Kabupaten Sidoarjo yang mengakibatkan dampak eksistensi vegetasi rapat tidak terlihat nyata. Vegetasi rapat tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan, hal ini dapat disebabkan oleh luasan pada vegetasi rapat yang tidak terlalu besar. Namun, keberadaan vegetasi rapat tetap perlu dipertahankan bahkan ditambah.


(39)

39

Tauhid (2008) menyebutkan bahwa keberadaan vegetasi memiliki efek menurunkan suhu udara. Efek vegetasi efektif dalam menekan kenaikan suhu udara, pada jarak sejauh 8 m (area terluar tajuk) hingga 12 m dari pusat kanopi, efek vegetasi masih efektif menekan kenaikan suhu udara. Pohon dengan lebar tajuk mencapai 8 meter, suhu udara pada pusat kanopi (pohon) lebih rendah dibandingkan titik pada jarak 12 m dan 24 m, sedangkan suhu udara pada jarak 12 m dari pusat kanopi lebih rendah dari suhu udara pada jarak 24 m dari pusat kanopi. Sedangkan Wonorahardjo et al. (2007) melakukan analisis pengaruh vegetasi pada lingkungan termal dengan zona ukur sejauh 300 m, didapatkan bahwa semakin banyak pohon, maka temperatur udara semakin rendah.

5.4 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo didominasi oleh RTH yang hampir menutupi lebih dari 40% wilayah Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan hasil analisis regresi linier didapatkan bahwa jarak titik amatan antar RTH terutama rumput dan semak, ladang dan vegetasi jarang cukup signifikan, namun hanya berpengaruh 41,8% terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Hasil ini menunjukkan masih terdapat faktor lainnya yang dapat mempengaruhi suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo selain jarak titik amatan antar RTH, namun demikian keberadaan RTH tetap perlu dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan fungsi RTH dalam mempengaruhi iklim mikro kota.

Keberadaan RTH sangatlah penting dalam rangka pengembangan kota/ perkotaan yang lebih baik. Perencanaan RTH diperlukan untuk mengatur dan mengelola ruang atau lahan agar dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan tujuan. RTH yang ada pada suatu wilayah diharapkan dapat sejalan dengan perkembangan kota yang terjadi sehingga dapat diarahkan untuk menciptakan, memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan (Haris 2006).

Pemetaan distribusi suhu permukaan menunjukkan bahwa suhu permukaan dengan selang tinggi terdapat secara mengelompok di utara kabupaten yang berbatasan dengan Kotamadya Surabaya, di sepanjang kanan kiri jalan yang terletak di pusat kabupaten, di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo-Porong serta di barat Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan distribusi suhu permukaan


(40)

40

diperoleh daerah-daerah dengan kisaran suhu permukaan tertentu. Kisaran suhu permukaan ini digunakan sebagai acuan alternatif dalam pengembangan RTH di Kabupaten Sidoarjo.

Tabel 6 Rencana pengembangan RTH

Daerah Pengembangan Kawasan Alternatif

I Kawasan PT Tjiwi Kimia

( Kecamatan Tarik )

Industri Penghijauan kawasan industri, Taman vertikal, RTH sempadan sungai II Kecamatan Waru,

Sidoarjo

Permukiman, Industri, Perdagangan,

Perkantoran

Jalur hijau, Taman vertikal, Taman pekarangan

III Kecamatan Krian, Taman, Balongbendo, Tarik

Jalur by-pass kendaraan

Jalur hijau jalan

IV Kecamatan Porong Lahan terbuka Jalur hijau jalan

Kawasan PT Tjiwi Kimia menjadi prioritas pengembangan RTH dikarenakan nilai suhu permukaan yang terekam di daerah ini cukup tinggi. Suhu permukaan pada kawasan ini mencapai nilai 40 oC. Pada kawasan yang direncanakan sebagai zona industri ini, juga akan dibangun Kawasan Water Front City yaitu semua aktivitasnya berorientasi sungai (Kab.Sidoarjo 2009). Sebagai zona industri, bentuk penghijauan yang dapat dilakukan yakni dengan penanaman tumbuhan di sekitar kawasan industri. Bentuk penghijauan lainnya yang dapat dilakukan adalah pembuatan taman vertikal, yakni penanaman tumbuhan yang dilakukan pada bidang vertikal, dapat dilakukan pada dinding-dinding bangunan industri yang cukup kuat dan kokoh.

Wilayah Kecamatan Tarik yang akan dikembangkan menjadi Kawasan Water Front City, akan berpotensi menggunakan Sungai Porong yang melewati kecamatan tersebut menjadi pusat pengembangannya. Pengembangan RTH dapat dilakukan pada sempadan sungai, yakni dengan penanaman dan pengkayaan jenis pada sempadan sungai.

Kecamatan Waru dan Kecamatan Sidoarjo menjadi prioritas pengembangan RTH dikarenakan memiliki nilai suhu permukaan yang tinggi. Dengan didominasi penutupan lahan berupa lahan terbangun, yakni kawasan permukiman, industri, maupun kawasan perdagangan dan perkantoran, bentuk


(41)

41

penghijauan yang dapat dilakukan adalah penanaman pada jalur kendaraan, pembuatan taman vertikal dan taman pekarangan pada rumah-rumah warga.

Jalur by pass kendaraan yang melewati Kecamatan Tarik, Balongbendo Taman dan Krian dapat dikembangkan menjadi jalur hijau jalan. Pada sepanjang jalan ini, pengembangan tata ruang diarahkan menuju zona industri (Kab.Sidoarjo 2009). Di sepanjang jalur dapat dilakukan penanaman pohon yang dikombinasikan perdu dan semak yang pemilihan jenis tanamannya dapat meredusir partikel.

Kecamatan Porong, menjadi prioritas karena merupakan daerah dengan nilai suhu permukaan tertinggi. Hasil penelitian mencatat suhu permukaan bernilai hampir 43 oC terekam pada pusat semburan lumpur Lapindo. Pada pusat semburan lumpur dan kawasan sekitarnya direncanakan sebagai Kawasan Lindung Geologi yang pengembangan dan pemanfaatannya didasarkan pada kondisi geologi lingkungan setempat dan dilakukan secara hati-hati (Kab.Sidoarjo 2009). Pengembangan RTH dapat dilakukan dengan penanaman pohon pada sepanjang jalur jalan di sebelah tanggul bagian barat. Penanaman pohon dapat dilakukan dengan media pot yang cukup besar.

Pembuatan taman atap juga dapat dilakukan sebagai tindakan mengurangi peningkatan suhu permukaan (Gambar 16). Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat menetapkan kebijakan bagi bangunan-bangunan yang baru akan dibangun khususnya bangunan perkantoran dan industri untuk menyediakan lahan di atapnya menjadi taman atap. Pemilik bangunan yang mematuhi kebijakan ini dapat diberi insentif mengenai kemudahan pengurusan perpanjangan izin ataupun pembayaran pajak dan lain-lain. Tanaman yang ditanam pada taman atap dapat berupa jenis rumput-rumputan, tanaman merambat, semak serta perdu dengan karakteristik perakaran yang tidak terlalu dalam. Dengan memanfaatkan atap bangunan untuk ditanami tumbuhan, radiasi matahari dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk proses metabolismenya sehingga gelombang panjang yang dipantulkan kembali menjadi lebih sedikit. Penelitian Liu (2002) mengenai perbandingan kemampuan efisiensi energi pada taman atap menyebutkan bahwa, membran pada atap biasa menyerap radiasi matahari dan mencapai suhu sekitar


(42)

42

70 oC (158 oF) sedangkan membran pada taman atap menyerap radiasi matahari tetap sekitar 25 oC (77 oF).

Gambar 16 Taman atap di kawasan Bandara Udara Juanda, Kecamatan Sedati.

Selain itu pengembangan RTH di lokasi lain Kabupaten Sidoarjo dapat dilakukan dengan menambah jalur hijau jalan. Penghijauan dilakukan pada jalur hijau jalan dengan menanaminya dengan pohon, perdu maupun tanaman lainnya pada sepanjang jalur jalan. Penanaman pohon pada jalur-lajur hijau jalan dengan lokasi yang tersebar di Kabupaten Sidoarjo akan dapat memberikan efek lebih baik dalam menurunkan suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Dari hasil analisis regresi didapatkan bahwa vegetasi jarang berpengaruh cukup nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo, hal ini dapat dijadikan acuan bahwa penambahan jalur hijau jalan akan dapat berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo.


(43)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Bentuk hubungan RTH dan suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo menghasilkan persamaan y = 28,7 + 0,00348 x1 + 0,593 Ln x2 + 0,565 Ln x3 dengan y adalah suhu permukaan, x1 adalah jarak titik amatan terhadap rumput dan semak, x2 adalah jarak titik amatan terhadap ladang dan x3 adalah jarak titik amatan terhadap vegetasi jarang. Model persamaan RTH dan suhu permukaan memiliki pola sebanding di mana semakin dekat jarak lahan terbangun maupun lahan terbuka terhadap RTH, maka suhu permukaan pada lahan terbangun maupun lahan terbuka akan semakin rendah. RTH yang berpengaruh nyata di Kabupaten Sidoarjo adalah rumput/semak, ladang dan vegetasi jarang. Pengaruh vegetasi rapat di Kabupaten Sidoarjo tidak nyata pada daerah perkotaan diduga karena tersebarnya secara dominan persawahan dan perladangan, jarak yang berjauhan antara masing-masing vegetasi rapat serta luasan vegetasi rapat yang cukup kecil.

Alternatif pengembangan RTH sebaiknya dilakukan pada lokasi dengan suhu permukaan tinggi yakni kawasan sekitar PT Tjiwi Kimia, Kecamatan Sidoarjo dan Waru, jalur by pass kendaraan Krian-Tarik, serta jalan sekitar kawasan semburan lumpur Lapindo-Porong. Pengembangan RTH di Kabupaten Sidoarjo dilakukan dengan penanaman pohon, pembuatan taman vertikal pada pekarangan rumah, penanaman dan pengkayaan jenis RTH sempadan sungai, penanaman dan pengkayaan jenis pada RTH jalur kendaraan serta pembuatan taman vertikal di lokasi perkantoran ataupun industri.


(44)

44

6.2 Saran

Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat menetapkan kebijakan bagi bangunan-bangunan yang baru akan dibangun khususnya bangunan perkantoran dan industri untuk menyediakan lahan di atapnya menjadi taman atap. Pemilik bangunan yang mematuhi kebijakan ini dapat diberi insentif mengenai kemudahan pengurusan perpanjangan izin ataupun pembayaran pajak dan lain-lain.

Selain itu pengembangan RTH di lokasi lain Kabupaten Sidoarjo dapat dilakukan dengan menambah jalur hijau jalan. Penghijauan dilakukan pada jalur hijau jalan dengan menanaminya dengan pohon, perdu maupun tanaman lainnya pada sepanjang jalur jalan. Penanaman pohon pada jalur-lajur hijau jalan dengan lokasi yang tersebar di Kabupaten Sidoarjo akan dapat memberikan efek lebih baik dalam menurunkan suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo.


(45)

PEMETAAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN

SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU

DI KABUPATEN SIDOARJO

REZA PRADIPTA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(1)

60

Lampiran 4 Lanjutan No Jarak Rumput

/ Semak (m)

Jarak Sawah (m)

Jarak Ladang (m)

Jarak Vegetasi Rapat (m)

Jarak Vegetasi Jarang (m)

Suhu Permukaan (oC)

133 182 212 150 228 234 35

134 124 127 150 242 120 35

135 150 175 120 365 150 35

136 85 175 124 201 162 35

137 60 90 90 60 108 34

138 150 175 85 153 134 35

139 120 192 90 192 212 35

140 108 301 124 376 325 36

141 60 240 150 424 256 34

142 95 150 150 258 120 35

143 108 127 120 417 127 36

144 150 153 150 190 175 35

145 120 295 67 175 175 35

146 124 150 108 192 150 35

147 95 170 108 67 124 35

148 108 150 85 134 162 35

149 108 85 85 90 95 34

150 95 124 67 182 153 35

151 60 60 120 85 182 33

152 90 120 67 90 85 35

153 153 124 85 272 150 35

154 67 120 108 42 67 35

155 67 212 120 182 162 35

156 85 127 108 192 120 35

157 60 134 60 124 95 33

158 67 150 67 108 90 34

159 85 175 120 192 192 35

160 127 150 127 190 85 35

161 120 124 153 134 150 34

162 95 150 60 295 108 35

163 95 182 90 579 124 34

164 95 162 67 277 360 35

165 127 277 242 342 297 35

166 90 212 90 242 201 37

167 134 120 180 331 95 35


(2)

Lampiran 5 Analisis regresi lahan RTH terhadap suhu permukaan

Analisis Regresi rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat, vegetasi jarang terhadap suhu permukaan

Regression Analysis: Suhu versus me-rum/sem; ln me-sawah; ... The regression equation is

Suhu = 28,5 + 0,00394 me-rum/sem + 0,018 ln me-sawah + 0,563 ln me-ladang - 0,000515 me-v.rapat + 0,616 ln me-v.jarang

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 28,5378 0,8578 33,27 0,000 me-rum/sem 0,003940 0,001370 2,88 0,005 1,9 ln me-sawah 0,0177 0,1520 0,12 0,907 1,4 ln me-ladang 0,5634 0,1468 3,84 0,000 1,5 me-v.rapat -0,0005148 0,0006257 -0,82 0,412 1,9 ln me-v.jarang 0,6157 0,1637 3,76 0,000 2,0 S = 0,858096 R-Sq = 42,1% R-Sq(adj) = 40,3%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 86,661 17,332 23,54 0,000 Residual Error 162 119,285 0,736

Total 167 205,946 Durbin-Watson statistic = 1,86336 Residual Plots for Suhu

Analisis Regresi rumput dan semak, ladang, vegetasi jarang terhadap suhu permukaan

Regression Analysis: Suhu versus me-rum/sem; ln me-ladang; ln me-v.jara The regression equation is

Suhu = 28,7 + 0,00348 me-rum/sem + 0,593 ln me-ladang + 0,565 ln me-v.jarang

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 28,6824 0,7511 38,19 0,000 me-rum/sem 0,003485 0,001236 2,82 0,005 1,6 ln me-ladang 0,5931 0,1411 4,20 0,000 1,4 ln me-v.jarang 0,5654 0,1394 4,06 0,000 1,5 S = 0,854655 R-Sq = 41,8% R-Sq(adj) = 40,8% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 3 86,155 28,718 39,32 0,000 Residual Error 164 119,791 0,730

Total 167 205,946 Durbin-Watson statistic = 1,84416 Residual Plots for Suhu

Correlations: suhu; suhu duga

Pearson correlation of suhu and suhu duga = 0,447 P-Value = 0,000


(3)

Lampiran 6 Alternatif tanaman dan ilustrasi untuk pengembangan RTH Jenis tanaman penghijauan sekitar kawasan industri

No Nama lokal Nama Ilmiah Kelembaban Kebutuhan air Tipe

1 Sengon Paraserienthes falcataria S I P

2 Akasia Acacia auriculiformis S Si P

3 Lamtoro-gung Leucaena leucocephala P

4 Kersen Muntingia calabara P

Jenis tanaman alternatif pada RTH sempadan sungai

No Nama lokal Nama Ilmiah Kelembaban Kebutuhan air Tipe

1 Flamboyan Delonix regia S I P

2 Puspa Schima wallichii

3 Kenanga Canangium odoratum S I P

4 Bungur Lagerstomia speciosa S I P

5 Trembesi Samanea saman S I P

6 Tanjung Mimusops elengi S I P

Sumber: Permen PU no. 5 tahun 2008 Jenis tanaman vertikal dan taman pekarangan

No Nama lokal Nama Ilmiah Kelembaban Kebutuhan air Tipe

1 Ivy Hedera helix L I Cl

2 Congea Congea tomentosa S I Cl

3 Dolar-dolaran Ficus repens L I Cl

4 Pasiflora Passiflora sp S Si Cl

5 Krokot Althernantera sp. S I Gr

6 Lili paris Chlorophytum sp. S Si Gr

7 Lantana Lantana camara S Si Gr

8 Opiopogon putih Ophiopogon sp. S I Gr

9 Pandan varigata Pandanus pygmaeus S Si Gr

10 Sirih belanda Scindaptus aureus L I Cl

11 Kadaka Asplenium nidus L I Gr

12 Kuping gajah Anthurium crystallinum L I S

Keterangan:

Kelembaban : L: Lembab; S: Sedang; K: Kering

Kebutuhan air : N: Nonintensif ; Si: Semiintensif; I:Intensif; B: Basah

Tipe : P: Pohon ; Pd: Perdu; Cl: Climber; S: Semak; Gr; Groundcover


(4)

Lampiran 6 Lanjutan

Jenis tanaman alternatif pada jalur kendaraan

No Nama lokal Nama Ilmiah Kelembaban Kebutuhan air Tipe

1 Krey payung Felicium decipiens S I P

2 Mahoni Swietenia macrophylla P

3 Tanjung Mimusops elengi S I P

4 Bungur Lagerstomia speciosa S I P

5 Angsana Pterocarpus indicus S I P

6 Akasia Acacia mangium P

7 Trembesi Samanea saman S I P

8 Flamboyan Delonix regia S I P

9 Oleander Nerium oleander S Si Pd

10 Teh-tehan Acalypha macrophylla S Si Sm

Sumber: Permen PU no. 5 tahun 2008 Jenis tanaman pada taman atap

No Nama lokal Nama Ilmiah Kelembaban Kebutuhan air Tipe

1 Pacing Costus sp. S I Sm

2 Rumput kawat Cynodon dactylon S Si Gr

3 Lidah mertua Sansevieria trifasciata K Si Gr

4 Lantana Lantana camara S Si Gr

5 Hanjuang Cordyline terminalis S I Pd

Keterangan:

Kelembaban : L: Lembab; S: Sedang; K: Kering

Kebutuhan air : N: Nonintensif ; Si: Semiintensif; I:Intensif; B: Basah

Tipe : P: Pohon ; Pd: Perdu; Cl: Climber; Sm: Semak; Gr; Groundcover


(5)

RINGKASAN

REZA PRADIPTA. Pemetaan Distribusi Suhu Permukaan Sebagai Dasar Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Sidoarjo. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI

Kabupaten Sidoarjo mendapat limpahan pengembangan ekonomi akibat letaknya yang berbatasan dengan Kota Surabaya. Kebutuhan ruang yang meningkat memungkinkan untuk mengubah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten Sidoarjo menjadi areal perdagangan, industri maupun permukiman penduduk serta dapat berakibat pada suhu yang semakin meningkat pula. Dengan diketahuinya hubungan antara suhu permukaan dengan jarak ke RTH di Kabupaten Sidoarjo, RTH di Kabupaten Sidoarjo diharapkan mampu berperan maksimal dalam memodifikasi suhu udara kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membangun model hubungan jarak antara RTH terhadap suhu permukaan serta memberikan alternatif pengembangan RTH di Kabupaten Sidoarjo.

Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menggunakan penginderaan jauh dengan menggunakan satelit Landsat 7 ETM. Pengolahan citra satelit dilakukan untuk menentukan klasifikasi penutupan lahan dan estimasi suhu permukaan di Kabupaten Sidoarjo. Pada penutupan lahan berupa RTH (rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat, vegetasi jarang) dilakukan penghitungan jarak dengan menggunakan prinsip euclidean distance. Dengan demikian, fungsi RTH pada penelitian ini merupakan fungsi jarak antar kelas vegetasi. Analisis regresi dilakukan untuk menghubungkan suhu permukaan, rumput dan semak, sawah, ladang, vegetasi rapat dan vegetasi jarang.

Berdasarkan hasil analisis, diperoleh model dengan persamaan y = 28,7 + 0,00348 x1 + 0,593 Ln x2 + 0,565 Ln x3 dengan y adalah suhu permukaan, x1

adalah jarak titik amatan terhadap rumput dan semak, x2 adalah jarak titik amatan

terhadap ladang dan x3 adalah jarak titik amatan terhadap vegetasi jarang. Dalam

persamaan ini vegetasi rapat tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan diduga karena tersebarnya secara dominan persawahan dan perladangan serta luasan vegetasi rapat yang cukup kecil. Alternatif pengembangan RTH sebaiknya dilakukan pada lokasi dengan suhu permukaan tinggi yakni kawasan sekitar PT Tjiwi Kimia, Kecamatan Sidoarjo dan Waru, jalur by pass kendaraan Krian-Tarik, serta jalan sekitar kawasan semburan lumpur Porong. Pengembangan RTH di Kabupaten Sidoarjo dilakukan dengan penanaman pohon, pembuatan taman vertikal pada pekarangan rumah, penanaman dan pengkayaan jenis RTH sempadan sungai, penanaman dan pengkayaan jenis pada RTH jalur kendaraan serta pembuatan taman vertikal di lokasi perkantoran ataupun industri.


(6)

SUMMARY

REZA PRADIPTA. Surface Temperature Distribution Mapping Basal Green Space Development on Sidoarjo Regency. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYO and SITI BADRIYAH RUSHAYATI

Sidoarjo Regency had an surplus economic development due to its location boundary with Surabaya City. The increased space requirement allows for changing the green space in Sidoarjo Regency to be a trade area, industrial and residential area and may result in increasing the temperature too. With discovery of the relation between surface temperature with the green space distance in Sidoarjo Regency, green space at Sidoarjo Regency is expected can get maximal role in modify city air temperature. The research aims is to assess and build the relationship models between the green space distance with surface temperature and provide an alternative green space development in Sidoarjo Regency.

The used method to achieve this goal is remote sensing using Landsat 7 ETM satellite. Satellite image processing is done to determine the land cover classification and surface temperature estimation in Sidoarjo Regency. On the land cover like green space (grass and bush, rice field, farm, close vegetation, rare vegetation) the distance was calculated using the euclidean distance principle. In addition, the function of green space in this research is a function of the distance between vegetation classes. Regression analysis had used to relate the surface temperature, grass and bush, rice field, farm, close vegetation and rare vegetation.

Based on analytical result had obtained a model with equation y = 28,7 + 0,00348 x1 + 0,593 Ln x2 + 0,565 Ln x3 with y is the surface temperature, x1 is a

distance of observation point to grass and bush, x2 is a distance of observation

point to farm and x3 is a distance of observation point to rare vegetation. In this

equation, close vegetation does not affect significantly to surface temperature because the rice fields and farming are spread and the close vegetation area is quite small. Alternative green space development is should be done on location with a high surface temperature which the area is around PT Tjiwi Kimia, Sidoarjo and Waru district, Krian-Tarik by pass roads, and roads around the area of Porong mudflow. Green space development at Sidoarjo Regency was done by planting trees, creating a vertical garden on home yard, planting and enriching the river border green space, planting and enriching green space of roads and creating a vertical garden at the office or industrial site.