Analisis model mangsa pemangsa Michaelis-Menten dengan pemanenan pada populasi mangsa

(1)

ABSTRAK

HANDANU DWARADI. Analisis Model Mangsa-Pemangsa Michaelis-Menten dengan Pemanenan pada Populasi Mangsa. Dibimbing oleh PAIAN SIANTURI dan ALI KUSNANTO.

Dalam karya ilmiah ini dibahas dinamika model mangsa-pemangsa Michaelis-Menten dengan pemanenan pada populasi mangsa. Dari analisis yang dilakukan didapat empat titik tetap dengan sifat stabil, sadel, takstabil bergantung dari parameter yang diberikan. Simulasi komputer juga dilakukan untuk menunjukkan dinamika dengan memvariasikan nilai parameternya.

Agar populasi mangsa dan pemangsa tidak mengalami kepunahan, tingkat pemanenan harus lebih rendah dari batas maksimum pemanenan. Batas maksimum tingkat pemanenan adalah seperempat dari populasi mangsa. Jika tingkat pemanenan melebihi seperempat populasi mangsa, maka sistem tidak memiliki titik tetap dan kedua spesies akan mengalami kepunahan.


(2)

ABSTRACT

HANDANU DWARADI. Prey-Predator Model Analysis of Michaelis-Menten with Harvesting on Prey Population. Supervised by PAIAN SIANTURI and ALI KUSNANTO.

In this manuscript, the dynamics of prey-predator model of Michaelis-Menten is discussed with harvesting on prey populations. Based on the analysis conducted, it was obtained four steady states with characteristics stable, saddle, unstable depending on the value of parameters used. A computer simulation was also carried out to show its dynamics by varying the parameter values.

In order to prevent the extinction of the prey and predator, the harvesting level should be lower than maximum limit. The maximum limit of the harvesting level is a quarter of the prey population. If the harvesting level exceeds a quarter of the prey population, then the system has no steady state and both species will be extinct.


(3)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makhluk hidup di bumi ini terdiri dari bermacam-macam spesies yang membentuk populasi dan hidup bersama. Makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasi atau individu-individu dari populasi lain. Ada beberapa jenis hubungan yang dapat terjadi antar spesies. Salah satu interaksi tersebut adalah predasi, yaitu hubungan antara mangsa (prey) dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat kaitannya karena tanpa mangsa, predator tidak dapat bertahan hidup karena tidak ada sumber makanan yang akan dikonversi menjadi individu-individu baru yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya kepunahan. Sebaliknya predator berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa.

Menurut Xiao (2005) salah satu cara kepunahan populasi disebabkan karena banyaknya populasi awal yang terlalu rendah. Oleh karena itu, tingkat predasi yang sangat tinggi terhadap mangsa akan menyebabkan semakin berkurangnya populasi mangsa yang akan memungkinkan terjadinya kepunahan pada spesies mangsa. Hal ini akan berdampak sama pada populasi pemangsa secara tidak langsung, karena pemangsa tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya mangsa. Seiring dengan berjalannya waktu maka pemangsa akan mengalami kepunahan juga.

Untuk mengontrol tingkat predasi agar tidak menyebabkan terjadinya kepunahan

pada kedua spesies, maka diberikan perlakuan terhadap populasi mangsa, yaitu dengan memanen populasi mangsa secara teratur. Namun jika tingkat pemanenan terlalu tinggi maka dapat juga menyebabkan punahnya kedua spesies. Oleh karena itu tingkat pemanenan juga harus dibatasi. Dalam melakukan usaha pemanenan ini, hal yang harus diutamakan adalah usaha pemanenan dengan membuat sistem lingkungannya tidak mengalami kepunahan.

Dalam karya ilmiah ini akan dibahas tentang model interaksi mangsa-pemangsa Michaelis-Menten yang diberikan perlakuan pemanenan terhadap populasi mangsa untuk mencegah kepunahan kedua spesies. Dalam tulisan ini juga akan ditentukan batas maksimal dari pemanenan, sehingga tidak terjadi eksploitasi terhadap populasi mangsa yang akan menyebabkan kepunahan. Untuk melihat dinamika populasi sistem, akan dipelajari beberapa faktor yang menjadi penentu, seperti tingkat kematian dan kelahiran, frekuensi pertemuan antara kedua spesies dan tingkat pemanenan yang dilakukan.

1.2 Tujuan

1. Melakukan analisis terhadap model

mangsa-pemangsa Michaelis-Menten

dengan pemanenan pada populasi mangsa.

2. Menentukan nilai maksimum pemanenan agar tidak terjadi kepunahan pada kedua spesies.

II LANDASAN TEORI

2.1 Persamaan Diferensial Biasa

(PDB)

Persamaan diferensial biasa diartikan sebagai suatu persamaan yang melibatkan turunan pertama atau lebih dari fungsi sebarang terhadap peubah t. Contohnya adalah suatu persamaan diferensial biasa orde I yang dinyatakan sebagai :

(Farlow 1994)

2.2 Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)

Misalkan sebuah sistem persamaan diferensial (SPD) linear dinyatakan sebagai berikut:

x=Ax+b, x(0) =x, x∈ℜn (2.1) dengan A adalah matriks koefisien berukuran

n n× dan vektor konstan b∈ℜn, maka sistem

tersebut dinamakan SPD linear orde 1 dengan kondisi awal x(0) =λx. Sistem (2.1) dikatakan homogen jika b = 0 dan tak homogen jika b≠0.


(4)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makhluk hidup di bumi ini terdiri dari bermacam-macam spesies yang membentuk populasi dan hidup bersama. Makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasi atau individu-individu dari populasi lain. Ada beberapa jenis hubungan yang dapat terjadi antar spesies. Salah satu interaksi tersebut adalah predasi, yaitu hubungan antara mangsa (prey) dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat kaitannya karena tanpa mangsa, predator tidak dapat bertahan hidup karena tidak ada sumber makanan yang akan dikonversi menjadi individu-individu baru yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya kepunahan. Sebaliknya predator berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa.

Menurut Xiao (2005) salah satu cara kepunahan populasi disebabkan karena banyaknya populasi awal yang terlalu rendah. Oleh karena itu, tingkat predasi yang sangat tinggi terhadap mangsa akan menyebabkan semakin berkurangnya populasi mangsa yang akan memungkinkan terjadinya kepunahan pada spesies mangsa. Hal ini akan berdampak sama pada populasi pemangsa secara tidak langsung, karena pemangsa tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya mangsa. Seiring dengan berjalannya waktu maka pemangsa akan mengalami kepunahan juga.

Untuk mengontrol tingkat predasi agar tidak menyebabkan terjadinya kepunahan

pada kedua spesies, maka diberikan perlakuan terhadap populasi mangsa, yaitu dengan memanen populasi mangsa secara teratur. Namun jika tingkat pemanenan terlalu tinggi maka dapat juga menyebabkan punahnya kedua spesies. Oleh karena itu tingkat pemanenan juga harus dibatasi. Dalam melakukan usaha pemanenan ini, hal yang harus diutamakan adalah usaha pemanenan dengan membuat sistem lingkungannya tidak mengalami kepunahan.

Dalam karya ilmiah ini akan dibahas tentang model interaksi mangsa-pemangsa Michaelis-Menten yang diberikan perlakuan pemanenan terhadap populasi mangsa untuk mencegah kepunahan kedua spesies. Dalam tulisan ini juga akan ditentukan batas maksimal dari pemanenan, sehingga tidak terjadi eksploitasi terhadap populasi mangsa yang akan menyebabkan kepunahan. Untuk melihat dinamika populasi sistem, akan dipelajari beberapa faktor yang menjadi penentu, seperti tingkat kematian dan kelahiran, frekuensi pertemuan antara kedua spesies dan tingkat pemanenan yang dilakukan.

1.2 Tujuan

1. Melakukan analisis terhadap model

mangsa-pemangsa Michaelis-Menten

dengan pemanenan pada populasi mangsa.

2. Menentukan nilai maksimum pemanenan agar tidak terjadi kepunahan pada kedua spesies.

II LANDASAN TEORI

2.1 Persamaan Diferensial Biasa

(PDB)

Persamaan diferensial biasa diartikan sebagai suatu persamaan yang melibatkan turunan pertama atau lebih dari fungsi sebarang terhadap peubah t. Contohnya adalah suatu persamaan diferensial biasa orde I yang dinyatakan sebagai :

(Farlow 1994)

2.2 Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)

Misalkan sebuah sistem persamaan diferensial (SPD) linear dinyatakan sebagai berikut:

x=Ax+b, x(0) =x, x∈ℜn (2.1) dengan A adalah matriks koefisien berukuran

n n× dan vektor konstan b∈ℜn, maka sistem

tersebut dinamakan SPD linear orde 1 dengan kondisi awal x(0) =λx. Sistem (2.1) dikatakan homogen jika b = 0 dan tak homogen jika b≠0.


(5)

(Tu 1994)

2.3 Nilai Eigen dan Vektor Eigen Misalkan A adalah matriks n x n maka sebuah vektor taknolxdi dalam Rn disebut vektor eigen dari A. Jika untuk skalar λ, yang disebut nilai eigen dari A, berlaku:

Axx (2.2)

Vektorxdisebut vektor eigen yang

bersesuaian dengan nilai eigenλ. Untuk mencari nilai eigen berukuran n n× maka persamaan (2.2) dapat ditulis sebagai berikut:

(A−λI x) =0 (2.3) denganI matriks identitas. Persamaan (2.3) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika

det(A−λI x) =0 (2.4) Persamaan (2.4) disebut persamaan karakteristik dari A.

(Anton 1995)

2.4 Titik Tetap Diberikan SPD

, x∈ℜn(2.5)

Titik disebut titik tetap jika .

Titik tetap disebut juga titik kritis atau titik kesetimbangan.

(Tu 1994) 2.5 Titik Tetap Hiperbolik

Titik disebut titik tetap hiperbolik jika pelinearan menghasilkan akar karakteristik dengan bagian real tak nol.

(Tu 1994)

2.6 Titik Tetap Non-Hiperbolik Titik disebut titik tetap non-hiperbolik jika dari pelinearan ada akar karakteristik dengan bagian real sama dengan nol.

(Tu 1994)

2.7 Titik Tetap Stabil

Misalkan x* adalah titik tetap sebuah SPD danx t( )adalah solusi SPD dengan nilai awal

0 (0)

x =x dengan *

0

xx . Titik x*dikatakan titik tetap stabiljika untuk sebarang radius

0

ρ> terdapat r>0sedemikian sehingga jika posisi awal x0memenuhi

* 0

|xx |<r maka solusi x t( )memenuhi *

| ( )x tx |<ρ, untuk setiap t>0.

(Verhulst 1990)

2.8 Titik Tetap Tak Stabil

Misalkan x* adalah titik tetap sebuah SPD dan ( )x t adalah solusi SPD dengan nilai awal

0 (0)

x =x dengan *

0

xx . Titik x*titik tetap tak stabil jika terdapat ρ>0 dengan ciri sebagai berikut: untuk sebarang r>0

terdapat posisi awal x0memenuhi

* 0

|xx |<r, berakibat solusi x t( )memenuhi *

| ( )x tx |≥ρ, untuk paling sedikit satu 0

t> .

(Verhulst 1990)

2.9 Pelinearan

Perhatikan sistem tak linear berikut: (2.6)

dengan menggunakan perluasan Taylor pada suatu titik tetap x*, untuk penyederhanaan titik x*didefinisikan pada titik asal, maka diperoleh

( ) x=Axx (2.7) dengan

*

( *) ( ) |

x x

A=Df x =Df x = (2.8)

1 1 1 1 n n n n f f x x A f f x x ∂ ∂ ⎛ ⎞ ⎜ ∂ ∂ ⎟ ⎜ ⎟ = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ …

Dan ( )ϕ x mempunyai lim ( )* 0

xxϕ x = .

Sistem

x=Ax (2.9)

Disebut pelinearan dari (2.7).

(Verhulst 1990)

2.10 Analisis Kestabilan Titik Tetap Diberikan sistem persamaan differensial sembarang

( ) x= f x ,x∈ℜn

analisis kestabilan titik tetap dilakukan melalui matriks Jacobi, yaitu matriks A. Penentuan kestabilan titik tetap didapat dengan melihat nilai-nilai eigennya, yaitu λi dengan i=1, 2, 3, ...,n yang diperoleh dari

(

)

det A−λI =0

Secara umum kestabilan titik tetap mempunyai tiga perilaku sebagai berikut: 1. Stabil, jika

a. Setiap nilai eigen real adalah negatif (λi<0untuk semua i)

b. Setiap komponen nilai eigen

kompleks bagian realnya lebih kecil atau sama dengan nol (Re

( )

λi ≤0 untuk semua i).


(6)

a. Setiap nilai eigen real adalah positif ( 0

i

λ > untuk semua i).

b. Setiap komponen nilai eigen

kompleks bagian realnya lebih besar atau sama dengan nol (Re

( )

λi ≥0 untuk semua i).

3. Sadel, jika perkalian dua buah nilai eigen real sembarang adalah negatif (λ λi, j <0 untuk i dan j sembarang). Titik tetap sadel ini bersifat takstabil

(Tu 1994)

2.11 Diagram Fase

Suatu persamaan diferensial x= f x( ) tidak semuanya dapat diselesaikan secara kuantitatif. Jika hal ini terjadi maka diperlukan solusi kualitatif dalam bentuk diagram fase. Diagram fase akan

menggambarkan perubahan kecepatan x

terhadap x (lihat gambar 1).

Jika x> 0, maka kurva berada di atas sumbu horizontal, yaitu x naik sepanjang waktu yang ditujukan oleh arah panah dari kiri ke kanan. Jika x<0, maka kurva berada di bawah sumbu horizontal, yaitu x menurun sepanjang waktu. Pada sumbu horizontal,

0

x= yaitu x tidak berubah, merupakan titik ekuilibrium atau titik tetap.

Jika f '( )x <0 yaitu f( )x adalah fungsi turun, maka ekuilibrium stabil. Jika f '( )x >0

yaitu f( )x adalah fungsi naik, maka ekuilibrium tidak stabil.

Gambar 2.1 Diagram fase.

[Tu 1994] 2.12 Penondimensionalan

Penondimensionalan adalah suatu metode untuk menyederhanakan suatu persamaan banyak parameter menjadi persamaan dengan sedikit parameter.

Biasanya penondimensionalan mengelompokkkan beberapa parameter

dengan sebuah parameter tunggal.

[Srogatz 1994]

III PEMODELAN

3.1 Model Mangsa-pemangsa

Model mangsa-pemangsa yang banyak dikenal adalah model Lotka-Voltera. Model ini disusun berdasarkan asumsi-asumsi berikut:

1. Dalam keadaan tanpa pemangsa,

lingkungan hidup populasi mangsa sangat ideal sehingga perkembangannya tak terbatas.

2. Pertumbuhan pemangsa juga ideal,

kecuali terdapat kendala makanan. 3. Laju pemangsaan proporsional dengan

laju pertemuan antara mangsa dan pemangsa.

4. Laju kematian pemangsa adalah konstan, tidak terpengaruh terhadap kepadatan dan umur pemangsa.

5. Efisiensi pemangsaan tidak tergantung umur pemangsa dan mangsa.

6. Efisiensi penggunaan mangsa sebagai makanan pemangsa untuk bereproduksi adalah konstan dan tidak tergantung umur dan kepadatan pemangsa.

7. Gerakan dan kontak mangsa dan

pemangsa berlangsung secara acak.

Setiap individu mangsa memiliki peluang yang sama untuk dimangsa.

8. Waktu yang digunakan pemangsa untuk memangsa diabaikan.

9. Kepadatan mangsa tidak mempengaruhi peluang pemangsaan.

10. Kepadatan pemangsa tidak

mempengaruhi peluang pemangsa untuk memangsa.

11. Keadaan lingkungan adalah homogen. Pertumbuhan perkapita mangsa dan pemangsa model Lotka-Voltera adalah

(3 .1 )

d X

rX cX Y d t

d P

b X Y d Y d t

= −

= −

X = kepadatan populasi mangsa Y = kepadatan populasi pemangsa r = laju pertumbuhan intrinsik mangsa c = koefisien tingkat pemangsaan b = tingkat kelahiran pemangsa tiap satu

mangsa yang dimakan d = tingkat kematian pemangsa


(7)

a. Setiap nilai eigen real adalah positif ( 0

i

λ > untuk semua i).

b. Setiap komponen nilai eigen

kompleks bagian realnya lebih besar atau sama dengan nol (Re

( )

λi ≥0 untuk semua i).

3. Sadel, jika perkalian dua buah nilai eigen real sembarang adalah negatif (λ λi, j <0 untuk i dan j sembarang). Titik tetap sadel ini bersifat takstabil

(Tu 1994)

2.11 Diagram Fase

Suatu persamaan diferensial x= f x( ) tidak semuanya dapat diselesaikan secara kuantitatif. Jika hal ini terjadi maka diperlukan solusi kualitatif dalam bentuk diagram fase. Diagram fase akan

menggambarkan perubahan kecepatan x

terhadap x (lihat gambar 1).

Jika x> 0, maka kurva berada di atas sumbu horizontal, yaitu x naik sepanjang waktu yang ditujukan oleh arah panah dari kiri ke kanan. Jika x<0, maka kurva berada di bawah sumbu horizontal, yaitu x menurun sepanjang waktu. Pada sumbu horizontal,

0

x= yaitu x tidak berubah, merupakan titik ekuilibrium atau titik tetap.

Jika f '( )x <0 yaitu f( )x adalah fungsi turun, maka ekuilibrium stabil. Jika f '( )x >0

yaitu f( )x adalah fungsi naik, maka ekuilibrium tidak stabil.

Gambar 2.1 Diagram fase.

[Tu 1994] 2.12 Penondimensionalan

Penondimensionalan adalah suatu metode untuk menyederhanakan suatu persamaan banyak parameter menjadi persamaan dengan sedikit parameter.

Biasanya penondimensionalan mengelompokkkan beberapa parameter

dengan sebuah parameter tunggal.

[Srogatz 1994]

III PEMODELAN

3.1 Model Mangsa-pemangsa

Model mangsa-pemangsa yang banyak dikenal adalah model Lotka-Voltera. Model ini disusun berdasarkan asumsi-asumsi berikut:

1. Dalam keadaan tanpa pemangsa,

lingkungan hidup populasi mangsa sangat ideal sehingga perkembangannya tak terbatas.

2. Pertumbuhan pemangsa juga ideal,

kecuali terdapat kendala makanan. 3. Laju pemangsaan proporsional dengan

laju pertemuan antara mangsa dan pemangsa.

4. Laju kematian pemangsa adalah konstan, tidak terpengaruh terhadap kepadatan dan umur pemangsa.

5. Efisiensi pemangsaan tidak tergantung umur pemangsa dan mangsa.

6. Efisiensi penggunaan mangsa sebagai makanan pemangsa untuk bereproduksi adalah konstan dan tidak tergantung umur dan kepadatan pemangsa.

7. Gerakan dan kontak mangsa dan

pemangsa berlangsung secara acak.

Setiap individu mangsa memiliki peluang yang sama untuk dimangsa.

8. Waktu yang digunakan pemangsa untuk memangsa diabaikan.

9. Kepadatan mangsa tidak mempengaruhi peluang pemangsaan.

10. Kepadatan pemangsa tidak

mempengaruhi peluang pemangsa untuk memangsa.

11. Keadaan lingkungan adalah homogen. Pertumbuhan perkapita mangsa dan pemangsa model Lotka-Voltera adalah

(3 .1 )

d X

rX cX Y d t

d P

b X Y d Y d t

= −

= −

X = kepadatan populasi mangsa Y = kepadatan populasi pemangsa r = laju pertumbuhan intrinsik mangsa c = koefisien tingkat pemangsaan b = tingkat kelahiran pemangsa tiap satu


(8)

Misalkan X menyatakan jumlah populasi mangsa pada waktu t dan Y jumlah populasi pemangsa pada waktu t. Laju pertumbuhan perkapita populasi mangsa adalah selisih dari laju pertumbuhan intrinsik dengan berkurangnya populasi mangsa akibat interaksi dengan pemangsa. Laju pertumbuhan perkapita populasi pemangsa merupakan pertambahan laju kelahiran pemangsa karena interaksi dengan mangsa dikurang laju kematian pemangsa.

Model Lotka-Voltera layak digunakan jika interaksi yang terjadi hanya interaksi interspesies, yaitu interaksi antara individu pada populasi spesies yang satu dengan individu pada populasi spesies yang lain dan mengabaikan interaksi antar individu pada populasi yang sama. Model ini juga hanya layak dalam kondisi nyata dengan ketidakterbatasan kapasitas pemangsa. Jika pada sistem interaksi antar individu pada satu populasi dan terdapat keterbatasan kapasitas, maka model Lotka-Voltera tidak dapat digunakan. Pada kasus ini akan digunakan generalisasi dari model Lotka-Voltera, yaitu model mangsa-pemangsa Michaelis-Menten. Selain itu pada model ini diberikan perlakuan pemanenan pada populasi mangsa.

3.2 Model Umum Pemanenan Misalkan dalam populasi terdapat x individu mangsa dan daya dukung lingkungan

K terdapat pada model pertumbuhan

perkapita. Sehingga kapasitas penampungan lingkungan yang tersisa adalah Kx

individu. Jadi masih ada K x

K

bagian lingkungan yang masih bisa ditinggali. Bagian inilah yang sebanding dengan pertumbuhan populasi. Sehingga terbentuk persamaan pertumbuhan populasi perkapita sebagai berikut:

(3.2)

1

x rx x

K =

 

Persamaan di atas merupakan persamaan pertumbuhan logistik. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa model tersebut belum mengalami eksploitasi atau usaha pemanenan. Hubungan antara pertumbuhan perkapita alamiah dan usaha pemanenan merupakan dinamika populasi mangsa. Sehingga laju pertumbuhannya dipengaruhi oleh jumlah kelahiran mangsa dan jumlah pemanenan yang dilakukan. Jika pemanenan dilakukan

dengan ukuran h , maka persamaan

pertumbuhan logistik menjadi

( )

(3.3) 1

x F x h

x rx x h

K

= −

=

 

dengan peubah tak bebas x≥0, populasi awal

(0 )

x diasumsikan diketahui, sedangkan h diasumsikan 0≤ ≤h hmaks, dengan hmaks adalah nilai maksimal mangsa yang dapat dipanen.

3.3 Model Michaelis-Menten dengan Pemanenan konstan pada populasi mangsa

Pemanenan yang dilakukan untuk memanfaatkan suatu spesies dalam suatu populasi biasanya terjadi pada bidang kehutanan, perikanan, dan kehidupan liar. Pemanenan yang dibahas pada karya ilmiah ini adalah pemanenan pada kehidupan liar atau perikanan secara umum, yang terdapat interaksi mangsa pemangsa. Namun pemanenan dilakukan hanya pada spesies mangsa saja. Karena diasumsikan hanya spesies mangsa yang memiliki nilai komersil. Diagram di bawah akan memperlihatkan gambaran permasalahan dalam bentuk model matematika sederhana.

,

r K

f

c m,

h

D

Gambar 3.1Diagram model mangsa-pemangsa.

Gambar di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi mangsa ( )x adalah

sebesarrxyang merupakan akibat

pertumbuhan alamiah. Laju perkapita populasi

Pertumbuhan Intrinsik

Mangsa Pemangsa

Pemanenan mati

Kelahiran Pemangsa


(9)

mangsa berkurang sebesar r

Kuntuk setiap bertambahnya satu individu mangsa karena adanya keterbatasan daya dukung lingkungan dan sebesarcakibat dimangsa oleh pemangsa. Besarnya tingkat pemangsaaan dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pemangsa sebesarm. Terakhir berkurang sebesarh akibat dipanen. Selanjutnya laju pertumbuhan perkapita populasi pemangsa( )y adalah sebesar laju kelahiranf dengan mengkonversi setiap mangsa yang dimangsa menjadi kelahiran bagi pemangsa dan dipengaruhi tingkat kepuasan pemangsa sebesarm. Berkurang sebesar tingkat kematianD.

Model pemanenan pada mangsa tersebut dirumuskan menjadi model matematika oleh Xiao dan Leslie sebagai berikut:

1

(3.4)

x rx x cxy h

K my x

fx y y D

my x

= − − −

+

= − +

+

dengan

x = banyaknya mangsa y = banyaknya pemangsa r = laju pertumbuhan intrinsik K =  daya dukung lingkungan

c =  banyaknya mangsa yang ditangkap m =  tingkat kepuasan pemangsa D =  laju kematian pemangsa

f  =   faktor konversi yang menyatakan banyaknya pemangsa baru yang lahir untuk tiap mangsa yang di tangkap h= konstanta tingkat pemanenan mangsa denganr K c m D f h, , , , , , adalah parameter positif.

Pada model ini hanya populasi mangsa saja yang dipanen, karena diasumsikan hanya populasi mangsa yang memiliki nilai komersil. Oleh karena itu akan ditentukan nilai h maksimum, jika mangsa dipanen melebihi dari nilai h maksimum maka akan terjadi kepunahan. Kepunahan dapat terjadi juga pada pemangsa karena secara tak langsung mempengaruhi kelangsungan hidup pemangsa karena tidak ada mangsa yang akanditangkap. Nilai h maksimum biasa disebut

h

MSY(maximum sustainable yield). Konsep maximum sustainable yield didasarkan pada model pertumbuhan biologi yang mengasumsikan jika banyaknya persediaan dalam populasi lebih rendah dari

tingkat persediaan K, maka terdapat

kelebihan individu yang dapat dipanen. Jika kelebihan tersebut tidak dipanen maka akan menyebabkan pengurangan daya dukung lingkungan K. Model tersebut juga memiliki banyak kesetimbangan pada x >0,y >0

IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Pada bagian ini akan dibahas tentang

penentuan batasan nilai dari usaha pemanenan untuk mencegah terjadi kepunahan pada populasi. Hal ini merupakan tujuan utama dari penelitian yang akan dilakukan.

Dalam bab ini juga akan dibahas tentang pencarian titik tetap dari sistem mangsa pemangsa model Michaelis-Menten. Dari titik tetap yang telah didapat akan dilakukan analisis kestabilan sistem pada setiap titik tetap. Untuk lebih jelasnya, pada bagian akhir pembahasan akan dilakukan simulasi dengan kondisi yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan kestabilan dengan merubah parameter-parameter dari sistem tersebut.

4.1 Menentukan nilai pemanenan maksimum (hmaks) untuk nilai pemangsa

nol

Persamaan (3.3) akan seimbang jika

 

0 (4.1)

1

x rx x

K = =

 

sehingga populasi akan sama dengan daya dukung yang ada. Sedangkan pertumbuhan populasi akan mencapai nilai maksimum pada kondisi setengah dari daya dukung lingkungannya. Gambar di bawah ini merupakan kurva pertumbuhan logistik dari populasi mangsa (x) dari persamaan (4.1) (Lampiran 13)


(10)

mangsa berkurang sebesar r

Kuntuk setiap bertambahnya satu individu mangsa karena adanya keterbatasan daya dukung lingkungan dan sebesarcakibat dimangsa oleh pemangsa. Besarnya tingkat pemangsaaan dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pemangsa sebesarm. Terakhir berkurang sebesarh akibat dipanen. Selanjutnya laju pertumbuhan perkapita populasi pemangsa( )y adalah sebesar laju kelahiranf dengan mengkonversi setiap mangsa yang dimangsa menjadi kelahiran bagi pemangsa dan dipengaruhi tingkat kepuasan pemangsa sebesarm. Berkurang sebesar tingkat kematianD.

Model pemanenan pada mangsa tersebut dirumuskan menjadi model matematika oleh Xiao dan Leslie sebagai berikut:

1

(3.4)

x rx x cxy h

K my x

fx y y D

my x

= − − −

+

= − +

+

dengan

x = banyaknya mangsa y = banyaknya pemangsa r = laju pertumbuhan intrinsik K =  daya dukung lingkungan

c =  banyaknya mangsa yang ditangkap m =  tingkat kepuasan pemangsa D =  laju kematian pemangsa

f  =   faktor konversi yang menyatakan banyaknya pemangsa baru yang lahir untuk tiap mangsa yang di tangkap h= konstanta tingkat pemanenan mangsa denganr K c m D f h, , , , , , adalah parameter positif.

Pada model ini hanya populasi mangsa saja yang dipanen, karena diasumsikan hanya populasi mangsa yang memiliki nilai komersil. Oleh karena itu akan ditentukan nilai h maksimum, jika mangsa dipanen melebihi dari nilai h maksimum maka akan terjadi kepunahan. Kepunahan dapat terjadi juga pada pemangsa karena secara tak langsung mempengaruhi kelangsungan hidup pemangsa karena tidak ada mangsa yang akanditangkap. Nilai h maksimum biasa disebut

h

MSY(maximum sustainable yield). Konsep maximum sustainable yield didasarkan pada model pertumbuhan biologi yang mengasumsikan jika banyaknya persediaan dalam populasi lebih rendah dari

tingkat persediaan K, maka terdapat

kelebihan individu yang dapat dipanen. Jika kelebihan tersebut tidak dipanen maka akan menyebabkan pengurangan daya dukung lingkungan K. Model tersebut juga memiliki banyak kesetimbangan pada x >0,y >0

IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Pada bagian ini akan dibahas tentang

penentuan batasan nilai dari usaha pemanenan untuk mencegah terjadi kepunahan pada populasi. Hal ini merupakan tujuan utama dari penelitian yang akan dilakukan.

Dalam bab ini juga akan dibahas tentang pencarian titik tetap dari sistem mangsa pemangsa model Michaelis-Menten. Dari titik tetap yang telah didapat akan dilakukan analisis kestabilan sistem pada setiap titik tetap. Untuk lebih jelasnya, pada bagian akhir pembahasan akan dilakukan simulasi dengan kondisi yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan kestabilan dengan merubah parameter-parameter dari sistem tersebut.

4.1 Menentukan nilai pemanenan maksimum (hmaks) untuk nilai pemangsa

nol

Persamaan (3.3) akan seimbang jika

 

0 (4.1)

1

x rx x

K = =

 

sehingga populasi akan sama dengan daya dukung yang ada. Sedangkan pertumbuhan populasi akan mencapai nilai maksimum pada kondisi setengah dari daya dukung lingkungannya. Gambar di bawah ini merupakan kurva pertumbuhan logistik dari populasi mangsa (x) dari persamaan (4.1) (Lampiran 13)


(11)

Gambar 4.1Kurva pertumbuhan logistik populasix

.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa titik tetap terjadi pada x=0danx=K

.

Dengan melihat diagram pada gambar di atas bahwa pada x=0adalah titik tetap tidak stabil dan x= Kadalah titik tetap stabil. Secara biologis jika x=0adalah titik tetap tak stabil karena pemilihan populasi yang kecil akan tumbuh dengan cepat dan menjauhi

0

x=

.

Misalkan diberikanx0>0

,

titik tersebut akan selalu menuju x=K

.

Oleh sebab itu populasi akan selalu mendekati daya dukung lingkungan (K). Misalkan diberikanx0 <K2

,

titik ini akan bergerak cepat hingga mencapai titik maksimal pada saat x0 =K2

.

Ini berarti bahwa populasi pada awalnya tumbuh dengan cepat, dan grafik dari x t

( )

cekung ke atas. Tetapi setelah mencapai titikx= K/ 2, turunan

x

mulai menurun dan juga x t

( )

cekung ke bawah dan memiliki asimtot ke garis horizontalx=K. Jika syarat awal x0 terletak antara K 2dan K, kecepatan solusinya menjadi berkurang dari awal. Karena itu solusinya cekung ke bawah untuk semua nilai t

.

Jika populasi awalnya melebihi daya dukung lingkunganx0>Kmaka x t

( )

menurun menuju x=K dan cekung ke atas. Akhirnya, jikax0 =0atau x0=K, maka populasi tetap konstan. Sehingga akan membentuk grafik sebagai berikut (Lampiran 14)

Gambar 4.2 Bidang solusi pertumbuhan logistik populasi.

Untuk mendapatkan hasil pemanenan yang maksimal maka diasumsikan tidak ada yang memangsa populasi mangsa dan jumlah populasi maksimal pada saat setengah dari daya dukungnya, sehingga diasumsikan nilai pemangsa sama dengan nol dan

2

K x= . Jika nilai tersebut disubtitusi ke persamaan (3.4), maka persamaan (3.4) menjadi

(1 x) 0

K

x=rx − − =h       = 

2

0 rx

K

rx− − =h   Maka

2

; 2

4

K rx

h rx x

K rK h

= − =

=

 

karena adanya penskalaan pada persamaan (3.4) dengan skala sebagai berikut:

, xK, myK

trt xy 

maka diketahui bahwa nilai r = 1 dan K = 1,

sehingga nilai

1 4 maks

h = .  Setelah didapat

nilai hmakssecara kualitatif maka selanjutnya akan dilakukan pembuktian secara kuantitatif dengan melakukan analisis pada model tersebut. 

Untuk lebih sederhana dalam melakukan analisis maka dilakukan penondimensionalan pada persamaan (3.4) dengan skala tersebut di atas maka akan didapat persamaan berikut: (Lampiran 1)

(1 )

(4.2) axy

x x x h

y x

bx y y d

y x

= − − −

+

= − +

+

5 10 15 20

0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0 2 4 6 8 10

5 10 15 20 25


(12)

dengan

x = banyaknya mangsa y= banyaknya Pemangsa

a = banyaknya mangsa yang ditangkap b = banyaknya pemangsa yang lahir d = laju kematian pemangsa h = tingkat pemanenan

parametera, b, d, h merupakan parameter positif.

4.2 Penentuan Titik Tetap

Titik tetap pada persamaan (4.2)diawali pada x>0,y>0.

Misalkan, anggap 1 2 ( , ) ( , ) (1 ) (4.3) x y x y axy

f x x h

y x

bx

f y d

y x = − − − + = − + +

 

dengan , , , adalah parameter positif, dan hanya akan dibahas dinamika dari persamaan (4.3) pada kuadran positif. Jadi kondisi awal secara biologi berarti (0)x ≥0dan (0)y ≥0.

Jika dimisalkanx=0dany=0, maka

1(0, 0)

f = −h,f2(0, 0)=0. Oleh sebab itu, solusi dari persamaan (4.3) dengan kondisi awal yang taknegatif, ada dan unik. Semua solusi menyentuh sumbu melewati kuadran pertama, dan titik (0,0) bukan titik tetap dari persamaan (4.3).

Pertama-tama, akan ditentukan lokasi dan jumlah dari ekuilibrium dari persamaan (4.3) pada kuadran pertama di . Persamaan (4.3) akan memiliki titik tetap di jika dan hanya jika persamaan

1

2

( , ) (1 ) 0

(4.4)

( , ) 0

axy

f x y x x h

y x

bx f x y y d

y x = − − − = + = − + = +

 

memiliki sepasang solusi real yang taknegatif , . 

Titik tetap persamaan (4.4) diperoleh dengan menentukanf1

( )

x y, =0dan

( )

2 , 0

f x y = , sehingga menurut persamaan

tersebut didapat:

1 2

( )

0

yang menghasilkan

0 , y b d x d bx y d

y x

y = −

− + = + =

  dan

(1 ) axy 0

x x h

y x

− − − =

+  

jika

1 0

y =   maka 

12

1 1 4 2

h

x = ± −

  jika

2

(b d x)

y d − =   Maka 2 2 12

( ) ( ( ) ) 4

2

b a b d a b d b hb

x

b

− − ± − − −

=

Dari hasil di atas maka didapat titik tetap sebagai berikut (Lampiran 2)

                     

DenganΔ =( (a bd)−b)2−4hb

 

4.3 Konstruksi matriks Jacobi

Misalkan sistem persamaan (4.2) dituliskan sebagai berikut :

Matriks Jacobi dibentuk dengan menyusun turunan parsial dari f1dan f2 terhadap x dan y

yang dituliskan sebagai berikut (Lampiran 3)

( )

( )

1 2 , , dx

f x y dt

dy

f x y dt

= =

1 1 1

1 1 4

: ( , ) ( , 0)

2 h

T x y = − −

2 2 2

1 1 4

: ( , ) ( , 0)

2 h

T x y = + −

3 1 1 1

( )

* * *

: ( , ) ,

2

b a b d b d

T x y x

b d

− − − Δ −

=

( )

* * *

: ( , ) ,

4 2 2 2 2

b a b d b d

T x y x

b d

− − + Δ −

=⎛


(13)

1 1 2 2

f

f

x

y

J

f

f

x

y

=

Kestabilan sistem persamaan (4.2) akan diperoleh dengan menganalisis nilai eigen matriks Jacobi.

4.4 Analisis kestabilan titik tetap 4.4.1 Kestabilan sistem di titik tetap T1

Titik tetap T1 = (

1 1 4 2

h

− −

,0) disubtituskan pada persamaan J, maka di peroleh 1 1 4 0 h a J b d − − = −

 

Untuk memperoleh nilai eigen dari J1 maka , yaitu :

(

1 4− h−λ

)

(

b− −d λ

)

=0

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

2

1 4h b d 1 4h b d 0

λ −λ − + − + − − =

 

didapat nilai eigen sebagai berikut (Lampiran 4)

1

2 1 4

b d h λ λ = − = −

Berdasarkan teorema kestabilan, nilai eigen yang didapat mempunyai 2 kemungkinan, yaitu untuk λ1= − >b d 0dan

2 1 4h 0

λ = − > maka T1 bersifat tak stabil untukλ1= − <b d 0danλ2= 1 4− h>0 maka T1 bersifat sadel.

4.4.2 Kestabilan sistem di titik tetap T2

Titik tetap T2  = 

1 1 4 ( , 0)

2 h

+ −

disubtitusikan pada persamaan J, maka akan diperoleh   2 1 4 0 h a J b d − − − = −

 

Untuk memperoleh nilai eigen dari J2 maka, yaitu :

didapat nilai eigen sebagai berikut (Lampiran 4)

1

2 1 4

b d h λ λ = − = − −  

Berdasarkan teorema kestabilan, nilai eigen yang didapat mempunyai 2 kemungkinan,

yaitu untuk λ1= − >b d 0dan

2 1 4h 0

λ = − − < maka T2 bersifat sadel atau untukλ1= − <b d 0danλ2= − −1 4h<0 maka T2 bersifat stabil.

4.4.3 Kestabilan sistem di titik tetap T3

Titik tetap T3  = 

1

( ) *

, 2

b a b d b d

x

b d

− − − Δ −

disubtitusikan pada persamaan J, maka akan diperoleh   2 2 2 3 2 ( ) ( ) ( )

a b d d ad

b b

J

b d d b d

b b

− + Δ

= − −

 

Untuk memperoleh nilai eigen dari J3 maka dimisalkan:

3

J

p q

r

s

=

Dengan 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 ( ) ( ) ( ) ( ) ay ax x

y x y x

J

by bx

d

y x y x

⎤ ⎢ + + ⎥ ⎢ ⎥ = ⎢ ⎥ − + ⎢ + + ⎥ ⎣ ⎦ 0 i

A

λ

I =

0

i

A

λ

I =

(

− −1 4h−λ

)

(

b− −d λ

)

=0

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

2

1 4h b d 1 4h b d 0


(14)

( ) 2 a b d d p

b

− + Δ

= 2 2 ad q b = − 2 (b d) r

b − =

( )

d b d s

b − =

Untuk memperoleh nilai eigen, digunakan persamaan karakteristik A−λI =0 sehingga

0 p q r s

λ

λ

− = −

dengan menggunakan software Mathematica 7, maka diperoleh nilai eigen sebagai berikut (Lampiran 4)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

2 3 1 3 2 3 2 3 1

( 4 )

2 1

( 4 )

2

R S R S b d T S dS b

R S R S b d T S dS b λ λ =− − − − + + − + =− − − + + + − + dengan

2 3 2 2 2

2 2

2 2

( ( )) 4

4 2 2

R ab d b d abd b d S b b a b d b h T abdab d ad

= + − −

= − + − −

= −

 

Nilai eigen pada titik tetap T3 memiliki beberapa kemungkinan, yaitu tergantung dari kondisi parameter yang akan diberikan. Untuk kasus yang pertama nilai parameter b>d akan menghasilkan nilai eigenλ1>0dan

2 0

λ < , sehingga titik tetap T3 bersifat sadel. Pada kasus yang kedua nilai parameter b<d akan menghasilkan nilai eigen λ1>0dan

2 0

λ < , sehingga titik tetap T3 bersifat sadel. Untuk kasus yang ketiga nilai parameter

b a

b− ≥d akan menghasilkan nilai eigen

1 0

λ > dan λ2 <0, sehingga titik tetap T3 bersifat sadel. Terakhir kasus yang keempat nilai parameter b d b

a

− < akan menghasilkan nilai eigen λ1>0dan λ2 >0, sehingga titik tetap T3 bersifat tidak stabil.

4.4.4Kestabilan sistem di titik tetap T4  

Titik tetap T4  = 

( ) *

, 2

2

b a b d b d

x

b d

− − + Δ −

disubtitusi

pada persamaan J, maka di peroleh :

  2 2 2 4 2 ( ) ( ) ( )

a b d d ad

b b

J

b d d b d

b b

− − Δ

= − −

 

Untuk memperoleh nilai eigen dari J4 maka dimisalkan:

4

J

k

l

m n

=

  Dengan   2 2 2 2 ( ) ( ) ( )

a b d d k b ad l b b d m b d b d n

b

− − Δ

= = − − = − =  

Untuk memperoleh nilai eigen, digunakan persamaan karakteristik A−λI =0 sehingga

0 k l m n

λ

λ

− = −

dengan menggunakan software Mathematica 7, maka diperoleh nilai eigen sebagai berikut: 

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

2 3 1 3 2 3 2 3 1

( 4 )

2 1

( 4 )

2

R S R S b d T S dS

b

R S R S b d T S dS

b λ λ = − − + − − + + − = − − + + − + + − Dengan 

2 3 2 2 2

2 2

2 2

( ( )) 4

4 2 2

R ab d b d abd b d S b b a b d b h T abd ab d ad

= + − −

= − + − −

= − −  


(15)

Nilai eigen pada titik tetap T4, yaitu tergantung dari kondisi parameter yang akan diberikan. Untuk kasus yang pertama, nilai parameter b>dakan menghasilkan nilai eigenλ1>0dan λ2<0, sehingga titik tetap T4 bersifat sadel. Untuk kasus yang kedua nilai parameter b<dakan menghasilkan nilai eigen λ1>0dan λ2 <0, sehingga titik tetapT4 bersifatsadel. Pada kasus yang ketiga, nilai parameter b d b

a

− ≥ akan menghasilkan

nilai eigen λ1>0dan λ2>0, sehingga titik tetap T4 bersifat tidak stabil. Terakhir, kasus keempat dengan nilai parameter b d b

a − <

akan menghasilkan nilai eigen λ1>0dan

2 0

λ < , sehingga titik tetap T4 bersifat sadel. Dari percobaan di atas jelas bahwa persamaan (4.4) memiliki empat pasang solusi real taknegatif ( ,x yi i)dan (xi*,y*i)dengan

1 ( 1) 1 4 2

i i

h

x = + − −

  yi=0 

* ( ) ( 1)

2

i i

b a b d

x

b

− − + − Δ

= * *

i i

b d

y x

d

=  

 

Dengani=1, 2, Δ =( (a bd)−b)2−4hb2   

Berikut merupakan tabel kestabilan titik tetap dari hasil pencarian titik tetap dengan beberapa kondisi yang berbeda:

Tabel 1 Ringkasan Keberadaan dan Kestabilan Titik Tetap dari Berbagai Kondisi

Kondisi T1 T2 T3 T4

1

0 dan

4

h b d

< < < Sadel Stabil hiperbolik --- ---

1

0 dan

4

h b d

< < > Tak stabil Sadel hiperbolik Stabil hiperbolik Stabil

1

0 dan

4

b

h b d

a

< < − < hiperbolik Tak stabil hiperbolik Sadel Tak stabil Sadel

1

0 dan

4

b

h b d

a

< < − ≥ hiperbolik Tak stabil Sadel --- ---

1

0 dan

4

h b d

< < = Sadel Sadel --- ---

1 4 h>

--- --- --- ---

1

dan 4

h= bd

Stabil --- --- ---

1

dan 4

h= b>d


(16)

Dari tabel di atas dapat dilihat sifat-sifat titik tetap dari berbagai kondisi. Jumlah titik tetap juga tergantung dari kondisi yang dikenakan pada sistem. Untuk lebih jelasnya, maka dilakukan simulasi untuk melihat jumlah titik tetap dan orbit kestabilan dari masing-masing titik tetap dari setiap kondisi

4.5 Simulasi Analisis Kesetabilan

Pada bagian simulasi ini, akan dilakukan uji coba beberapa kondisi yang mempengaruhi kestabilan model yaitu dengan mengubah parameter-parameter. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan beberapa kasus jika terjadi pada kondisi sebagai berikut :

4.5.1 Simulasi Analisis Kestabilan pada Kasus 1 ( dan 0 1

4 b<d < <h )  Titik Tetap

Berikut ini adalah ilustrasi pencarian titik tetap pada kasusb<d.  Kurva titik tetap

didapat dengan menggunakan software

mathematica 7.  Lalu dengan memilih parameter

0.1, 0.2, 0.3, dan 0,1

a= b= d= h= maka

diperoleh nilai T1=(0.112702, 0)  dan

2 (0.887298, 0)

T = , maka dari titik

tersebutdiperoleh kurva sebagai berikut (Lampiran 5)

Gambar 4.3 Kurva titik tetap dan bidang

solusi pada kondisi dan 0 1

4 b<d < <h .

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pada kondisi tersebut terdapat dua titik tetap pada kuadran positif dan dua titik tersebut merupakan titik kesetimbangan, yaitu pada titik T1 dan titik T2. Titik T1 bersifat sadel hiperbolik dan titik T2 bersifat stabil hiperbolik.

Gambar di atas menunjukan bahwa orbit menuju ke titik tetap T2 dengan kondisi tingkat kelahiran pemangsa lebih kecil daripada tingkat kematian pemangsa. Gambar di atas dapat disimpulkan bahwa titik tetap T2 bersifat stabil hiperbolik, karena dapat dilihat orbitnya menuju ke titik T2 dan titik T1 sadel hiperbolik.

 

4.5.2 Simulasi Analisis Kestabilan Pada Kasus 2 ( dan 0 1

4 b>d < <h )  Titik Tetap

Berikut ini adalah ilustrasi pencarian titik tetap pada kondisi tingkat kelahiran pemangsa lebih besar daripada tingkat kematian pemangsa (b>d). Titik tetap pada kondisi ini didapat dengan menggunakan software mathematica 7.  Lalu dengan memilih parametera=1,b=3,d=2, dan h=0,1 Maka diperoleh nilai T1=(0.112702, 0), 

2 (0.887298, 0)

T = ,T3=(0.23, 0.12), 

4 (0.44, 0.22)

T = .  Dan diperoleh gambar

sebagai berikut (Lampiran 6)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

-0.5 0.0 0.5 1.0

xHtL

y

H

t

L

The phase portrait of system

0 2 4 6 8t

0 1 2 3 4 xHtL

0 2 4 6 8t

0 1 2 3 4 xHtL


(17)

Gambar 4.4 Kurva titik tetap pada kondisi 1

dan 0 4 b>d < <h .

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pada kondisi tersebut terdapat empat titik tetap, titik T1 dan T2 merupakan titik kesetimbangan. Titik T1 bersifat tak stabil hiperbolik dan T2 bersifat sadel hiperbolik. Titik tetap T3 dan T4 bersifat stabil hiperbolik. Gambar di atas menunjukan bahwa orbitnya mendekati titik T3 dan T4 yang bersifat stabil hiperbolik dengan kondisi tingkat kelahiran pemangsa lebih besar daripada tingkat kematian pemangsa. Titik T1 bersifat tak stabil dan titik T2 bersifat sadel.

4.5.3 Simulasi Analisis Kestabilan pada

Kasus 3 ( dan 0 1

4 h b

b d a

< <

− < )

Titik tetap

Berikut ini ilustrasi pencarian titik tetap

pada kasus b d b a

− < , dimana nilai titik tetap T1 dan T2 bergantung pada nilai h dan titik tetap T3 dan T4 bergantung pada nilai parameter a, b, dan d, dengan memilih nilai parameter a = 0.5, b = 0.3, d = 0.1, dan h = 0.04. Maka diperoleh nilai

1 (0.0417424, 0)

T = , T2=(0.958258, 0),

3 (0.0666667, 0.133333)

T = ,T4=(0.6,1.2).

Dari nilai parameter tersebut di peroleh hasil sebagai berikut (Lampiran 7)

Gambar 4.5 Kurva titik tetap pada kondisi 1

dan 0 4 b

b d h

a

− < < < .

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pada kondisi tersebut terdapat empat titik tetap, dimana titik T1 brsifat hiperbolik tidak stabil dan T2 bersifat hiperbolik sadel. Dan titik T3 bersifat tak stabil, sedangkan titik T4 bersifat sadel. Gambar di atas juga menunjukan terdapat dua ekuilibrium yaitu pada titik T1 yang merupakan titik takstabil hiperbolik dan pada titik T2 yang merupakan titik sadel hiperbolik.

Gambar di atas menunjukkan bahwa orbitnya mendekati titik T2 merupakan titik sadel dan titik tetap T1 merupakan titik tak stabil.

4.5.4 Simulasi Analisis Kestabilan pada

Kasus 4 ( dan 0 1

4 h b

b d

a < <

− ≥ )

Titik Tetap

Berikut ini ilustrasi penentuan titik tetap pada kondisi b d b

a

− ≥ . Titik tetap didapat dengan menggunakan software mathematica 7. Lalu dengan memilih parameter a = 2, b = 0.2, d = 0.1, dan h = 0.05, maka diperoleh nilai T1=(0.0527864, 0), T2=(0.947214, 0). Dari nilai parameter di atas maka diperoleh hasil sebagai berikut (Lampiran 8).

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

xHtL

y

H

t

L

The phase portrait of system

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

-1.0

-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

xHtL

y

H

t

L


(18)

Gambar 4.6 Kurva titik tetap pada kondisi 1

dan 0 4 b

b d h

a

− ≥ < < . 

Dari gambar di atas dapat dilihat ada dua titik tetap. Dimana titik tetap T1 bersifat tak stabil hiperbolik, titik tetap T2bersifat sadel hiperbolik. Gambar di atas juga menunjukan bahwa dua titik tetap tersebut juga merupakan ekuilibrium yaitu pada titik T1 yang merupakan titik takstabil hiperbolik dan pada titik T2 yang merupakan titik sadel hiperbolik. Gambar di atas menunjukan bahwa orbit menjauh dari titik T1 mendekati titik (0,0) sehingga dapat dikatakan titik T1 merupakan titik tidak stabil hiperbolik. Sedangkan titik T2 merupakan titik sadel hiperbolik.

4.5.5 Simulasi Analisis Kestabilan pada Kondisi 5 ( dan 0 1

4

h

b=d < <

Titik Tetap

Berikut ini ilustrasi penentuan titik tetap pada kondisi b=ddimana nilai titik tetap T1 dan T2 bergantung pada besar kecilnya nilai h dan nilai titik tetap T3 dan T4 bergantung pada nilai parameter a, b, dan d. dipilih nilai parameter a = 1, b = 2, d = 2, dan h = 0.1, maka diperoleh nilai T1=(0.112702, 0),

2 (0.887298, 0)

T = ,T3=(0.112702, 0),

4 (0.887298, 0)

T = , karena titik T1 sama

dengan titik T3 dan titik T2 sama dengan titik T4 maka dapat dikatakan bahwa pada kondisi tingkat kelahiran pemangsa sama dengan tingkat kematian pemangsa hanya memiliki dua titik tetap. Dari titik tersebut diperoleh kurva sebagai berikut (Lampiran 9)

Gambar 4.7 Kurva titik tetap pada kondisi

1 dan 0

4

b=d < <h .

Dari gambar di atas dapat dilihat ada dua titik tetap, yaitu titik tetap T1dan T2. Gambar di atas juga menunjukan bahwa dua titik tetap tersebut merupakan titik ekuilibrium yang merupakan titik sadel.

Gambar di atas menunjukan bahwa orbinya menjauhi titik T1 mendekati titik T2 namun membentuk cekungan sehingga tidak nenuju titik T2. Sehingga titik T1 dan titik T2 merupakan titik sadel.

4.5.6 Simulasi Analisis Kestabilan pada Kondisi 6 ( 1

4

h>

Titik Tetap

Berikut ini adalah ilustrasi pencarian titik

tetap pada kasus 1

4

h> .  Kurva titik tetap

didapat dengan menggunakan software

mathematica 7.  Lalu dengan memilih parameter

1, 0.1, 0.25, dan 0, 3

a= b= d = h= .  Maka

dari parameter tersebut didapat bidang fase sebagai berikut dan sistem tidak memiliki titik tetap. (Lampiran 10)

0.0 0.5 1.0 1.5

-0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

xHtL

y

H

t

L

The phase portrait of system

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

-1.0

-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

xHtL

y

H

t

L

The phase portrait of system

-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

-1.0

-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

xHtL

y

H

t

L


(19)

Gambar 4.8 Kurva pada kondisi 1

4

h> .

Gambar di atas menunjukkan ketika 1 4 h> persamaan (4.3) tidak memiliki ekuilibrium dan x t( )<0pada R2+, dinamika dari persamaan (4.3) pada R terlihat dari gambar 2+ di atas dimana semua orbit akan melewati sumbu ydan akan keluar dari R2+. Jika demikian, hal ini akan mengakibatkan spesies mangsa akan mengalami kepunahan dan hal ini pula yang akan menjadi penyebab punahnya populasi pemangsa. Oleh karena itu, untuk menjaga agar kedua spesies dapat bertahan hidup, maka tingkatpemanenan mangsa tidak boleh melebihi seperempat.

Bukti:

1 0 4 1

(1 ) 0 4

1

(1 ) ( ) 0 4

1

(1 ) ( ) 4 0 0 1 4 (1 ) 0 a xy x y a xy x x x y

a xy x x x y

x x x y

y a x y h x x y > > +

− > − − >

+

⎛ ⎞

− >⎜ − − ⎟ + >

+

⎜ ⎟

⎝ ⎠

− > >

− >

>

− −

<  

 

Gambar orbit di atas menunjukan bahwa orbitnya menuju titik (0,0) dan akan melewati sumbu y pada kondisi pemanenan melebhi dari seperempat. Karena titik (0,0) bukan merupakan titik tetap dan titik ekuilibrium, maka dapat dikatakan bahwa pada kondisi tersebut sistem tidak memiliki ekuilibrium. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya kepunahan pada spesies mangsa dan secara tidak langsung akan berdampak sama pada spesies pemangsa.

4.5.7 Simulasi Analisis Kestabilan pada Kondisi 7 ( 1

4 h= Titik Tetap

Persamaan (4.3) memiliki ekuilibrium yang unik diR , dengan2+ 0, 0) (1, 0)

2

(x y = jika

1

h= dan bd , jika parameter yang dipilih

adalaha=1,b=1,d =2, dan h=0, 25

dengan syarat tingkat kelahiran pemangsa lebih kecil daripada tingkat kematian pemangsa (b<d) maka akan didapat nilai berikut T1=(0.5, 0)danT2 =(0.5, 0) karena nilai T1 dan T2 sama, sehingga dapat dikatakan pada kondisi tersebut sistem hanya memiliki satu titik tetap. Titik tetap tersebut merupakan titik stabil dan juga titik ekuilibrium. Bagian linear dari persamaan (4.3) pada (x0,y0) ditentukan oleh matrik

0 0 0

( , )

0 a Df x y

b d − = −

Untuk memperoleh nilai eigen, digunakan persamaan karakteristik A−λI =0 sehingga

0 0 0 a b d λ λ = − − − −

Dari matrik di atas didapat nilai eigen sebagai berikut 1 2 0 b d λ λ = = −

Karena nilai dari salah satu nilai eigennya sama dengan nol, maka ekuilibrium (x0,y0) adalah titik tetap stabil non-hiperbolik. Dengan menggunakan software mathematica 7 maka akan didapat hasil sebagai berikut (Lampiran 11)

Gambar 4.9 Kurva titik tetap pada kondisi

1 4

h=

Gambar di atas menunjukana kondisi saat tingkat kelahiran pemangsa lebih kecil

0.0 0.5 1.0 1.5

-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

xHtL

y

H

t

L


(20)

satu titik tetap T1. Titik tersebut merupakan titik stabil.

Gambar di atas merupakan orbit ketika 1

4

h= , maka sistem memiliki ekuilibrium yang unik yaitu( 0, 0) ( , 0)1

2

x y = . Orbit dari

gambar di atas menuju ke titik T1dan dari nilai eigen yang di dapat maka titik T1 merupakan titik tetap stabil non-hiperbolik.

Jika parameter yang dipilih adalah 1, 2, 1, dan 0, 25

a= b= d = h= dengan

syarat tingkat kelahiran pemangsa lebih besar daripada tingkat kematian pemangsa (b>d)  maka akan didapat nilai berikut T1=(0.5, 0) dan T2 =(0.5, 0) karena nilai T1 dan T2 sama, sehingga dapat dikatakan pada kondisi tersebut sistem hanya memiliki satu titik tetap. Titik tetap tersebut merupakan titik sadel dan juga titik ekuilibrium.

Bagian linear dari persamaan (4.3) pada 0 0

(x ,y ) ditentukan oleh matrik 0 0

0

( , )

0 a Df x y

b d − =

untuk memperoleh nilai eigen, digunakan persamaan karakteristik A−λI =0 sehingga

0

0 0

a b d λ

λ =

− −

− −

Dari matrik di atas didapat nilai eigen sebagai berikut:

1 2

0 b d λ λ

= = −

Karena nilai dari salah satu nilai eigennya sama dengan nol, maka ekuilibrium (x0,y0) adalah titik sadel non-hiperbolik. Dengan menggunakan software mathematica 7 maka akan didapat hasil sebagai berikut (Lampiran 12)

Gambar 4.10 Kurva titik tetap pada kondisi

1 4

h= .

 

Gambar di atas menunjukkan pada kondisi tingkat kelahiran pemangsa lebih besar daripada tingkat kematiaan pemangsa terdapat satu titik tetap T1. Titik tersebut adalah titik sadel dan juga merupakan titik ekuilibrium.

Gambar di atas menunjukan bahwa orbitnya menjauhi titik T1 lalu menuju sumbu y, sehingga titik tersebut dikatakan tidak stabil. Dari kedua gambar di atas dapat dikatakan bahwa titik T1 merupakan titik sadel.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

-1.0

-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

xHtL

y

H

t

L


(21)

V SIMPULAN

Dalam tulisan ini telah dipelajari Model

mangsa-pemangsa Michaelis-Menten dengan pemanenan pada populasi mangsa. Dari hasil analisis, diperoleh maksimum 4 titik tetap. Banyaknya titik tetap dan kestabilannya dipengaruhi oleh konstanta pemanenan dan perbandingan antara tingkat kematian pemangsa dan tingkat interaksi antara mangsa dan pemangsa.

Dari hasil pembahasan diperoleh nilai

pemanenan maksimal 1

4

MSY

h = . Agar

populasi mangsa dan pemangsa tidak mengalami kepunahan, maka ditentukan tingkat pemanenan maksimum yaitu seperempat populasi mangsa. Jika tingkat pemanenan melebihi seperempat populasi mangsa, maka sistem tidak memiliki titik tetap dan kedua spesies akan mengalami kepunahan. Namun kepunahan tidak terjadi secara bersamaan. Mangsa akan mengalami kepenuhan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan punahnya populasi pemangsa karena

tidak lagi mendapat sumber makanan yang biasa diperoleh dari populasi mangsa.

Analisis yang dilakukan pada sistem dapat diketahui bahwa sistem memiliki satu titik tetap jika nilai usaha pemanenannya sama dengan seperempat pada saat populasi mangsa sama dengan setengah dan diasumsikan tidak ada pemangsaan terhadap spesies mangsa. Pada kondisi tingkat kelahiran pemangsa lebih kecil atau sama dengan tingkat kematian pemangsa dengan nilai usaha pemanenan antara nol hingga kurang dari seperempat akan memliki dua titik tetap. Sedangkan pada kondisi tingkat kelahiran pemangsa lebih besar daripada tingkat kematian pemangsa dengan nilai usaha pemanenan antara nol hingga kurang dari seperempat akan memiliki empat titik tetap.

Agar tidak ada populasi yang mengalami kepunahan maka besarnya interaksi antara mangsa dan pemangsa harus dipilih melebihi tingkat kematian pemangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Anton H. 1995. Aljabar Linear Elementer.

Edisi ke-5. Terjemahan Pantur Silaban dan I Nyoman Susila. Erlangga, Jakarta.

Farlow SJ. 1994. An Introduction to

Differential Equation and Their Application. Mc Graw-Hill, New York. Strogatz SH. 1994. Nonlinear Dynamics and

Chaos, with Applications to Physics, Biology, Chemistry, and Engineering. Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Massachusete.

Tu PNV. 1994. Dynamical System, An Introduction with Application in Economics and Biology. Springer-Verlag. Heidelberg, Germany.

Verhulst F.1990. Nonlinear Differential Eqution and Dynamical System. Springer. Verlag. Heidelberg. Germany.

Xiao D. 2005. Bifurcations of A Ratio-Dependent Predator-Prey System with Constant Rate Harvesting. SIAM J. App. Math. 65. pp. 737-753.


(22)

ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA

MICHAELIS-MENTEN DENGAN PEMANENAN PADA POPULASI

MANGSA

HANDANU DWARADI

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(23)

ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA

MICHAELIS-MENTEN DENGAN PEMANENAN PADA POPULASI

MANGSA

HANDANU DWARADI

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(24)

ABSTRAK

HANDANU DWARADI. Analisis Model Mangsa-Pemangsa Michaelis-Menten dengan Pemanenan pada Populasi Mangsa. Dibimbing oleh PAIAN SIANTURI dan ALI KUSNANTO.

Dalam karya ilmiah ini dibahas dinamika model mangsa-pemangsa Michaelis-Menten dengan pemanenan pada populasi mangsa. Dari analisis yang dilakukan didapat empat titik tetap dengan sifat stabil, sadel, takstabil bergantung dari parameter yang diberikan. Simulasi komputer juga dilakukan untuk menunjukkan dinamika dengan memvariasikan nilai parameternya.

Agar populasi mangsa dan pemangsa tidak mengalami kepunahan, tingkat pemanenan harus lebih rendah dari batas maksimum pemanenan. Batas maksimum tingkat pemanenan adalah seperempat dari populasi mangsa. Jika tingkat pemanenan melebihi seperempat populasi mangsa, maka sistem tidak memiliki titik tetap dan kedua spesies akan mengalami kepunahan.


(25)

ABSTRACT

HANDANU DWARADI. Prey-Predator Model Analysis of Michaelis-Menten with Harvesting on Prey Population. Supervised by PAIAN SIANTURI and ALI KUSNANTO.

In this manuscript, the dynamics of prey-predator model of Michaelis-Menten is discussed with harvesting on prey populations. Based on the analysis conducted, it was obtained four steady states with characteristics stable, saddle, unstable depending on the value of parameters used. A computer simulation was also carried out to show its dynamics by varying the parameter values.

In order to prevent the extinction of the prey and predator, the harvesting level should be lower than maximum limit. The maximum limit of the harvesting level is a quarter of the prey population. If the harvesting level exceeds a quarter of the prey population, then the system has no steady state and both species will be extinct.


(26)

ANALISIS MODEL MANGSA-PEMANGSA

MICHAELIS-MENTEN DENGAN PEMANENAN PADA POPULASI

MANGSA

HANDANU DWARADI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Matematika

DEPERTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(27)

Judul :

Analisis

Model

Mangsa-Pemangsa Michaelis-Menten dengan

Pemanenan pada Populasi Mangsa

Nama

: Handanu Dwaradi

NRP

: G54051107

Menyetujui

Pembimbing I,

Dr. Paian Sianturi

NIP. 19620212 199011 1 001

Pembimbing II,

Drs. Ali Kusnanto, M.Si.

NIP. 19650820 199003 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen,

Dr. Berlian Setiawaty, MS.

NIP. 19650505 198903 2 004


(28)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul Analisis Model Mangsa-Pemangsa Michaelis-Menten dengan Pemanenan Pada Populasi Mangsa. Penyusunan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dan Ibu tersayang, terima kasih atas didikan, kasih sayang, nasihat, semangat, serta do’a yang tiada henti-hentinya. Do’a yang selalu menjadi penerang jalan penulis. 2. Dr. Paian Sianturi dan Drs. Ali Kusnanto, M.Si sebagai pembimbing I dan II yang telah

membimbing, memberikan banyak saran, meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga hingga karya ilmiah ini selesai. Semua ilmu yang Pak Paian dan Pak Ali berikan sangat bermanfaat bagi penulis. Terima kasih.

3. Ir. N. K. Kutha Ardana, M.Sc. selaku dosen penguji. Terima kasih atas waktu dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.

4. Mas ada, mba ina, uti, dan cita yang sudah mendoakan dan memberi semangat

5. Semua dosen Departemen Matematika, terima kasih atas ilmu dan nasehatnya selama ini. Terima kasih banyak.

6. Bu Susi, bu Ade, mas Bono, pak Yono, mas Heri dan seluruh staf pegawai Departemen Matematika, terima kasih atas bantuannya selama ini.

7. Keluarga condet, Mbah Mar, bule Entri, bule Ida, Bule Eni, om Tio, om Pras, om Tri terima kasih atas doa dan nasehatnya.

8. Suwarno, Irsyad, Apri, dan Iko terima kasih atas bantuannya selama ini

9. Nisa dan Vido terima kasih atas doa dan dukungannya yang tiada hentinya, terima kasih atas waktu dan kebersamaannya selama ini. Terima kasih.

10. Kakak kelas dan adik kelas terima kasih atas doa dan dukungannya.

11. Teman-teman matematika angkatan 42: Yudi, Kinun, Sapto, Dendi, Ardy, Septian, Awi, Eko, Rendy, boy, Haryo, Arif, Ridwan, Yusep, Bima, Ilyas, iput, Facri, Bayu, Heri, Acuy, Ryu, Ricken, Agnes, Hikmah, Dian, Titi, Mira, Octa, Rita, Vita, Vera, Gita, Luri, Rima, Hesti, Ayu, Nyoman, Ida, Achi, dewi, Lisda, Erlin, eyyi, Hapsari, Jane, Lela, Lina, Mega, Niken, Nola, Nopi, Oby, Ocoy, Pipit, Siti, Tia, Vino, Yuni, Ety, Zil 12. Teman satu bimbingan Gandi, Ache, dan Ridwan terima kasih atas doa, dukungan dan

kebersamaannya selama bimbingan.

13. Teman-teman nakama: Danu, Dera, Marta, Mochan, dan Steven terima kasih atas dukungan, doa, dan nasehatnya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat menambah informasi di dunia keilmuan khususnya matematikadan menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Bogor, Maret 2011


(1)

Lampiran 9. Simulasi pada Kondisi 5 dan 0 1 4 h b=d < <

[ [{ 1, 2, , 0 0, 0 0},

[ ] [ ] [ ]

[{ '[ ] [ ](1 [ ]) , '[ ] [ ] ,

[ ] [ ] [ ] [ ]

[ /; 0] 0, [ /; 0] 0},{ [ ], [ ]},{ , 0,1000}]; 1

Manipulate Module plt plt sol x xx y yy

ax t y t bx t

sol NDSolve x t x t x t h y t y t d

y t x x y t x t

x t t x y t t y x t y t t

plt Para

= =

= == − − − == − +

+ +

≤ = ≤ ==

=

[{ [ ], [ ]} / . , { , 0, 1000}, { [1, 0, 1], }]; 2 [{ (1 - ) - ( ) /( ) - , (- ( ) /( ))}, { , -1, 2}, { , -1, 1.5},

-metricPlot x t y t sol t PlotStyle RGBColor Thick

plt StreamPlot x x a x y y x h y d b x y x x y

FrameLabel

= + + +

{

{ [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14], }, { [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14],

[ [{ ["

Style Row Style y Italic Style t Italic None Style Row Style x Italic Style t Italic

Style Row Style The phase por >

(

)

", ]}],14]}}, int - 50];

[ 2, Im - {450, 400}]],

Style["formulate :", Bold],

Style[" (1 - ) - ( ) /( ) - ", ], Style["y - ( ) /( ) ",

trait of system Bold StreamPo s Show plt ageSize

x x x a x y y x h Bold

y d b x y x Bo

> >

= +

= + + ],

Delimiter,

Style["parameters", Bold, 10],

{{a, 1, "a"}, 0, 5, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{b, 2, "b"}, 0, 3, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{d, 2, "d"}, -3, 3

ld

→ →

→ →

, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{h, 0.1, "h"}, 0, 1, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

Delimiter,

Style["initial conditions", Bold,10], {{xx0, 0.5,"x0"}, 0, 10, .01,I

→ →

→ →

mageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{yy0,0,"y0"}, 0, 10, .01,ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

ControlPlacement Left, SynchronousUpdating False]

→ →

→ →

→ →


(2)

Lampiran 10. Simulasi pada Kondisi 6 1 4 h>  

 

[ [{ 1, 2, , 0 0, 0 0},

[ ] [ ] [ ]

[{ '[ ] [ ](1 [ ]) , '[ ] [ ] ,

[ ] [ ] [ ] [ ]

[ /; 0] 0, [ /; 0] 0},{ [ ], [ ]},{ , 0,1000}]; 1

Manipulate Module plt plt sol x xx y yy

ax t y t bx t

sol NDSolve x t x t x t h y t y t d

y t x x y t x t

x t t x y t t y x t y t t

plt Para

= =

= == − − − == − +

+ +

≤ = ≤ ==

=

[{ [ ], [ ]} / . , { , 0, 1000}, { [1, 0, 1], }];

2 [{ (1 - ) - ( ) /( ) - , (- ( ) /( ))}, { , -0.5, 2}, { , -1, 1.5}, metricPlot x t y t sol t PlotStyle RGBColor Thick

plt StreamPlot x x a x y y x h y d b x y x x y

FrameLabel

= + + +

- {

{ [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14], }, { [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14],

[ [{ ["

Style Row Style y Italic Style t Italic None Style Row Style x Italic Style t Italic

Style Row Style The phase p >

(

)

", ]}],14]}}, int - 50];

[ 2, Im - {450, 400}]],

Style["formulate :", Bold],

Style[" (1 - ) - ( ) /( ) - ", ], Style["y - ( ) /( ) ",

ortrait of system Bold StreamPo s Show plt ageSize

x x x a x y y x h Bold

y d b x y x

> >

= +

= + + ],

Delimiter,

Style["parameters", Bold, 10],

{{a, 1, "a"}, 0, 5, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{b, 0.1, "b"}, 0, 3, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{d, 0.25, "d"}

Bold

→ →

→ →

, -3, 3, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{h, 0.3, "h"}, 0, 1, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

Delimiter,

Style["initial conditions", Bold,10], {{xx0, 0.5,"x0"}, 0, 10

→ →

→ →

, .01,ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{yy0,0,"y0"}, 0, 10, .01,ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

ControlPlacement Left, SynchronousUpdating False]

→ →

→ →


(3)

Lampiran 11. Simulasi pada Kondisi 7 1,

4 b d

h= <  

 

[ [{ 1, 2, , 0 0, 0 0},

[ ] [ ] [ ]

[{ '[ ] [ ](1 [ ]) , '[ ] [ ] ,

[ ] [ ] [ ] [ ]

[ /; 0] 0, [ /; 0] 0},{ [ ], [ ]},{ , 0,1000}]; 1

Manipulate Module plt plt sol x xx y yy

ax t y t bx t

sol NDSolve x t x t x t h y t y t d

y t x x y t x t

x t t x y t t y x t y t t

plt Para

= =

= == − − − == − +

+ +

≤ = ≤ ==

=

[{ [ ], [ ]} / . , { , 0, 1000}, { [1, 0, 1], }];

2 [{ (1 - ) - ( ) /( ) - , (- ( ) /( ))}, { , 0, 1.5}, { , - 0.5, 1.5}, metricPlot x t y t sol t PlotStyle RGBColor Thick

plt StreamPlot x x a x y y x h y d b x y x x y

FrameLabe

= + + +

- {

{ [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14], }, { [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14],

[ [{ [" l

Style Row Style y Italic Style t Italic None Style Row Style x Italic Style t Italic

Style Row Style The phase >

(

)

", ]}],14]}}, int - 50];

[ 2, Im - {450, 400}]],

Style["formulate :", Bold],

Style[" (1 - ) - ( ) /( ) - ", ], Style["y - ( ) /( ) "

portrait of system Bold StreamPo s Show plt ageSize

x x x a x y y x h Bold

y d b x y x

> >

= +

= + + , ],

Delimiter,

Style["parameters", Bold, 10],

{{a, 1, "a"}, 0, 5, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{b, 1, "b"}, 0, 3, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{d, 2, "d"}, -3

Bold

→ →

→ →

, 3, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{h, 0.25, "h"}, 0, 1, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

Delimiter,

Style["initial conditions", Bold,10], {{xx0, 0.5,"x0"}, 0, 10, .

→ →

→ →

01,ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{yy0,0,"y0"}, 0, 10, .01,ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

ControlPlacement Left, SynchronousUpdating False]

→ →

→ →

→ →

         


(4)

Lampiran 12. Simulasi pada Kondisi 8 1,

4 b d

h= >    

[ [{ 1, 2, , 0 0, 0 0},

[ ] [ ] [ ]

[{ '[ ] [ ](1 [ ]) , '[ ] [ ] ,

[ ] [ ] [ ] [ ]

[ /; 0] 0, [ /; 0] 0},{ [ ], [ ]},{ , 0,1000}]; 1

Manipulate Module plt plt sol x xx y yy

ax t y t bx t

sol NDSolve x t x t x t h y t y t d

y t x x y t x t

x t t x y t t y x t y t t

plt Para

= =

= == − − − == − +

+ +

≤ = ≤ ==

=

[{ [ ], [ ]} / . , { , 0, 1000}, { [1, 0, 1], }]; 2 [{ (1 - ) - ( ) /( ) - , (- ( ) /( ))}, { , 0, 2}, { , -1, 2},

- {

metricPlot x t y t sol t PlotStyle RGBColor Thick

plt StreamPlot x x a x y y x h y d b x y x x y

FrameLabel

= + + +

>

{ [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14], }, { [ [{ [" ", ], "(", [" ", ], ") "}],14],

[ [{ ["

Style Row Style y Italic Style t Italic None Style Row Style x Italic Style t Italic

Style Row Style The phase portra

(

)

", ]}],14]}}, int - 50];

[ 2, Im - {450, 400}]],

Style["formulate :", Bold],

Style[" (1 - ) - ( ) /( ) - ", ], Style["y - ( ) /( ) ", ]

it of system Bold StreamPo s Show plt ageSize

x x x a x y y x h Bold

y d b x y x Bold

> >

= +

= + + ,

Delimiter,

Style["parameters", Bold, 10],

{{a, 1, "a"}, 0, 5, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{b, 2, "b"}, 0, 3, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{d, 1, "d"}, -3, 3, .

→ →

→ →

01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"}, {{h, 0.25, "h"}, 0, 1, .01, ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

Delimiter,

Style["initial conditions", Bold,10], {{xx0, 0.5,"x0"}, 0, 10, .01,Ima

→ →

→ →

geSize Small, Appearance "Labeled"}, {{yy0,0,"y0"}, 0, 10, .01,ImageSize Small, Appearance "Labeled"},

ControlPlacement Left, SynchronousUpdating False]

→ →

→ →

→ →


(5)

Lampiran 13. Kurva Persamaan Logistik

Manipulate[Solve[{r x (1-x/k)==0}],{r,0.1,20},{k,1,20}]

Manipulate[Plot[{r x (1-x/k)==0},{x,0,20}],{r,0.1,20},{k,1,20}]

r k

88

x

0.

<

,

8

x

20.

<<

r k

5 10 15 20

0.5 1.0 1.5 2.0 2.5


(6)

Lampiran 14. Bidang Solusi Persamaan Logistik

With . , sol NDSolve , , , , , ;

With . , sol NDSolve , , , , , ;

With . , sol NDSolve , , , , , ;

With . , sol NDSolve , , , , , ;

g Plot x t /. b, , , , PlotStyle RGBColor , , , Thick ;

g Plot x t /. c, , , , PlotStyle RGBColor , , , Thick ;

g Plot x t /. d, , , , PlotStyle RGBColor , . , , Thick ;

g Plot x t /. e, , , , PlotStyle RGBColor . , , . , Thick ;

Show g , g , g , g , PlotRange All, Axes False, Frame True

0 2 4 6 8 10

5 10 15 20 25