Degradasi bahan organik dan pemanfaatannya sebagai penghasil energy listrik pada sedimen tambak udang melalui sediment microbial fuel cell

(1)

DEGRADASI BAHAN ORGANIK

DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI PENGHASIL ENERGI

LISTRIK PADA SEDIMEN TAMBAK UDANG MELALUI

SEDIMENT MICROBIAL FUEL CELL

YAYAN FIRMANSYAH C34062363

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

YAYAN FIRMANSYAH. C34062363. Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Cell. Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO dan AKHIRUDDIN MADDU.

Permasalahan-permasalahan besar sering terjadi pada pengembangan budidaya udang di dunia. Kejadian-kejadian tersebut meliputi pencemaran sedimen tambak akibat sisa pakan, penggunaan bahan kimia, zat antibiotik, dan timbulnya penyakit pada udang. Berbagai teknik dan manajemen budidaya tambak telah banyak dikembangkan, namun penggunaan sediment microbial fuel cell (SMFC) sebagai teknologi pendegradasi atau penurunan akumulasi bahan organik pada tambak udang belum pernah diterapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penurunan akumulasi bahan organik dan energi listrik yang dihasilkan pada sedimen tambak udang melalui sediment microbial fuel cell.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah penentuan tempat pengambilan sampel dan kondisi tempat pengambilan sampel sedimen pada tambak udang. Tahap kedua meliputi pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi sedimen tambak udang yang ada. Tahap ketiga adalah berupa pembuatan rangkaian SMFC.Tahap keempat adalah pengukuran arus listrik dan tegangan yang dihasilkan SMFC dengan menggunakan multimeter dan tahap kelima meliputi karakterisasi pada substrat hasil dari proses degradasi bahan organik melalui SMFC, sehingga dapat dilihat adanya perubahan terhadap kadar akumulasi bahan organik pada sedimen tambak udang yang ada.

Kualitas air tambak udang di Desa Jayamukti memiliki suhu berkisar antara 29-30oC, salinitas 18-20 ppm, pH 7,5-8,5, DO 3-4 mg/l dan kecerahan sebesar 25-30 cm. Analisis terhadap tekstur sedimen tambak menunjukkan bahwa sedimen tambak udang di Desa Jayamukti tergolong jenis tanah liat, dengan kandungan bahan organik berupa karbon organik (C) 1,45±0,44%, Nitrogen (N) 0,11±0,03%, rasio C/N 13 dan Fosfor (P) 59 ppm. Sedangkan kandungan bahan organik pada sedimen setelah 40 hari pengukuran mengalami penurunan yaitu, karbon organik 1,29±0,34 %, Nitrogen 0,10±0,02 %, sehingga ratio C/N sebesar 12 dan kandungan P yang tersedia 40±4,08 ppm. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) setelah 40 hari pengukuran mengalami penurunan menjadi 21,53±2,7 (cmol(+)/kg), dan secara umum nilai kation basa ditukarpun mengalami penurunan yaitu pada Mg 22,30±3,07 (cmol(+)/kg), K 4,18±0,85 (cmol(+)/kg), dan Na 46,48±14 (cmol(+)/kg).

SMFC dengan substrat sedimen tambak udang dapat menghasilkan arus listrik yang mencapai puncak produksi arus listrik pada hari ke-24, yaitu ~161,99 mA/m2dan tegangan sebesar ~0,39 V.


(3)

DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI PENGHASIL ENERGI

LISTRIK PADA SEDIMEN TAMBAK UDANG MELALUI

SEDIMENT MICROBIAL FUEL CELL

YAYAN FIRMANSYAH C34062363

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Celladalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Yayan Firmansyah C34062363


(5)

Judul Penelitian : Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Cell

Nama Mahasiswa : Yayan Firmansyah

NRP : C34062363

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Bambang Riyanto, S.Pi. M.Si Dr. Akhiruddin Maddu NIP. 19690603 199802 1001 NIP. 19660907 199802 1006

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil NIP. 19580511 198503 1 002


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini mengambil judul Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Cell. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada :

1. Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si dan Bapak Dr. Akhiruddin Maddu selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si selaku dosen penguji, atas segala saran dan masukannya yang diberikan kepada penulis.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Keluarga terutama Ibunda, Almarhum Ayah tercinta, Adikku Novi Fajriani, dan kakaku Asep Gunawan, keluarga Dewi K Indiana yang telah memberikan semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan kuliah dan penyusunan skripsi ini.

5. Dosen dan Staf THP, Laboran THP (Ibu Ema, Lastri, Mas Zaky dan Mas Ipul) dan Laboran Balai Tanah Bogor (Ibu Nurjanah) atas bantuan dan kerjasama selama penelitian berlangsung.

6. Rizky Chairunisah atas semangat, perhatian, kesetiaan dan bantuannya kepada penulis selama penelitian dan penyususnan skripsi ini.

7. Teman-teman satu bimbingan “Tim Smart”, Supri, Ratna dan Cece, terimakasih atas kebersamaan dan bantuannya dalam satu bimbingan.

8. Teman-teman PKMP (Fitriani Idham, Abdul Basir, Rizky Chairunisah, Dini Aulia dan Dianita), Wahyu Ramadhan, Reza, Uty, Rizal, Adi, Nabila, Nadya, Cen-cen, Linda, Pak Budi dan Mas Tedi yang telah memberikan saran dan bantuan pada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.


(7)

9. Teman-teman THP 43, 44, 45 dan 46, terimakasih atas kebersamaannya selama di THP tercinta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan, dalam proses penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Juli 2011


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang, pada tanggal 19 Agustus 1987, yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Alm. Awing dan Ibu Yati. Penulis memulai jenjang formal di Sekolah Dasar Negeri Kertamukti Desa Jayamukti Kecamatan Blanakan dan lulus pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 Blanakan dan lulus pada tahun 2003 serta Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Subang dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan minor Manajemen Fungsional Pemasaran, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan akademik di IPB penulis pernah aktif sebagai Wakil Ketua Himpunan Profesi Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) tahun 2008, dan Badan Pengawas Himpunan Profesi Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) tahun 2009. Ketua Gerakan Makan Ikan (GMI) tahun 2009. Asisten Praktikum mata kuliah Avertebrata Air (2008), sebagai Koordinator Asisten Praktikum mata kuliah Avertebrata Air (2009) dan Koordinator Asisten Praktikum Mata Kuliah Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan yang bersifat prestatif, diantaranya penyaji PIMNAS bidang PKMK ke XXII – UNIBRAW Malang 2009, juara setara emas poster PIMNAS ke XXII – UNIBRAW Malang 2009, juara II teater se-Bogor TETRANOLOGI 2009.

Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya sebagai Penghasil Energi Listrik pada Sedimen Tambak Udang melalui Sediment Microbial Fuel Cell” yang dibimbing oleh Bambang Riyanto, S.Pi. M.Si dan Dr. Akhiruddin Maddu.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Pencemaran Sedimen Tambak ... 6

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC) ... 7

2.3 Sedimen Microbial Fuel Cell (SMFC) ... 8

3 METODE ... 11

3.1 Waktu dan Tempat ... 11

3.2 Bahan dan Alat ... 11

3.3 Prosedur Penelitian ... 12

3.3.1 Penentuan lokasi pengambilan sampel ... 12

3.3.2 Pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi sedimen tambak udang ... 13

3.3.3 Pembuatan rangkaian SMFC ... 13

3.3.4 Pengukuran arus listrik dan tegangan SMFC tambak ... 14

3.3.5 Karakterisasi substrat SMFC ... 15

3.4 Prosedur Pengujian ... 15

3.4.1 Penentuan tekstur tanah dengan metode pipet... 15

3.4.2 Pengukuran pH ... 17

3.4.3 Pengukuran daya hantar listrik ... 17

3.4.4 Penetapan C-organik ... 17

3.4.5 Penetapan N ... 18

3.4.6 Penetapan P-tersedia ... 18

3.4.6 Penetapan kapasitas tukar kation dan kation basa ... 19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Kualitas Air Tambak Udang Desa Jayamukti ... 20

4.2 Karakterisasi Sedimen Tambak Udang Desa Jayamukti Blanakan .. 22


(10)

4.4 Karakteristik Substrat SMFC Tambak Udang Desa Jayamukti ... 31

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kualitas air tambak udang desa Jayamukti ... 20 2 Karakteristik sedimen tambak Desa Jayamukti Blanakan ... 23 3 Karakteristik substrat SMFC sedimen tambak udang di Desa

Jayamukti ... 32 viii


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Microbial Fuel cell ... 8 2 Model produksi listrik MFC pada sedimen laut ... 9

3 Susunan SMFC ... Error! Bookmark not de 4 Grafik hasil pengukuran kuat arus listrik ... 29

5 Grafik hasil pengukuran tegangan ... 29 6 Produksi arus listrik pada sedimen hidup dan sedimen steril yang

dilakukan Holmes et al (2004) ... 30 7 Perubahan warna sedimen tambak udang ... 31 8 Persentase kandungan karbon organik pada sedimen sebelum dan

setelah 40 hari pengukuran ... 33 9 Persentase kandungan nitrogen total pada sedimen sebelum dan

setelah 40 hari pengukuran ... 34 10 Persentase kandungan fosfat pada sedimen sebelum dan setelah 40


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Letak pengambilan sedimen tambak di Desa Jayamukti ... 43

2 Pengukuran kualitas air tambak ... 44

3 Pengukuran arus listrik dan tegangan, serta rangkaian SMFC ... 45

4 Data pengukuran arus listrik ... 46

5 Data pengukuran tegangan ... 47

6 Data hasil pengujian sedimen tambak udang Desa Jayamukti Kecamatan Blanakan di Balai Tanah Bogor (sebelum dirangkaikan dengan SMFC) ... 48

7 Data hasil pengujian karakteristik substrat SMFC tambak udang Desa Jayamukti (setelah dirangkaikan SMFC)... 49


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan produksi udang dunia dan perkembangan perdagangan udang global selalu diiringi dengan berbagai isu dan permasalahan besar dalam budidaya. Pencemaran tambak akibat sisa pakan, treatment kimia dan antibiotik, dan perkembangan penyakit, merupakan contoh kasus dalam budidaya udang yang sering muncul (Ahn et al. 2010). Budidaya udang juga disinyalir menimbulkan hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya kualitas tanah, pemanasan global, pencemaran air, serta kontaminasi sedimen tambak pada lingkungan sekitar (Bergheim & Asgard 1996).

Jackson et al. (2003) menyampaikan bahwa hampir 90% sumber protein pada perairan tambak berasal dari pelet, dimana 22% dikonversi menjadi biomassa udang, 7% dimanfaatkan oleh aktifitas mikroorganisme, 14% terakumulasi pada sedimen dan 57% tersuspensi di air tambak. Limbah organik yang terbuang ini dapat menyebabkan ledakan plankton dan masalah kekurangan oksigen pada perairan, peristiwa ini dikenal sebagai pembusukan di perairan. Apabila pembusukan tidak berlangsung lancar, maka akan terjadi penumpukan amonia sampai pada konsentrasi yang membahayakan udang dan hewan air lainnya. Secara umum produksi amonia yang berasal dari ekskresi dan pembusukan kotoran udang dan sisa pakan di tambak udang bervariasi antara 4,5% - 5,5% dari biomassa udang yang diproduksi (Chàvez-Crooker dan Obreque-Contreras 2010).

Avnimelech dan Ritvo (2001) menjelaskan bahwa tingkat pemberian pakan yang tinggi tersebut akan mengakibatkan peningkatan hasil-hasil metabolisme udang dan dekomposisi bahan-bahan organik pada sedimen tambak menjadi sebesar 10.000-200.000 mg/kg. Kemudian Boyd (2000), menyampaikan bahwa oksidasi dari sulfida akan menghasilkan asam sulfat yang dapat menyebabkan kondisi lingkungan tambak menjadi asam (pH 4-5,5), sehingga dapat membahayakan kondisi udang. Selanjutnya Avnimelech dan Rivto (2003) menambahkan bahwa bahan organik yang mengandung nitrogen dapat digunakan oleh bakteri heterotrof melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi, sehingga akan


(15)

mengakibatkan berkurangnya oksigen dalam tambak dan menyebabkan meningkatnya permintaan oksigen pada sedimen (Sediment Oxygen Demand/SOD) dari rata-rata 0,06 g O2 m-2 h-1 menjadi 0,24 g O2 m-2 h-1 dalam

3 minggu. Yuvanatemya (2007) lebih lanjut menyampaikan bahwa tingginya bahan organik (10-100 mg/kg pada air tambak dan 10.000-200.000 mg/kg pada sedimen tambak) dapat mengakibatkan blooming alga, yang berakibat pada kematian massal udang secara mendadak. Secara praktis, Lemonnier dan Brizard (2001) menyampaikan bahwa penumpukan bahan organik pada sedimen tambak telah mengakibatkan penurunan tingkat kelangsungan hidup udang dari 60% menjadi 10%.

Bahan organik di dasar akan meningkat seiring dengan masa pemeliharaan udang, karena adanya penambahan hasil ekskresi dan sisa pakan yang tidak dibuang seluruhnya ke luar tambak. Besarnya limbah yang dibuang dan masuk ke perairan bergantung pada luas tambak yang dioperasikan dan jenis teknik budidaya yang digunakan serta kemampuan peraiaran melakukan pengenceran melalui arus pasang surut di perairan (Chàvez-Crooker dan Obreque-Contreras 2010).

Selain itu, pencemaran pada sedimen tambak dapat terjadi karena adanya residu kimia, seperti antibiotik dan pestisida. Graslund et al. (2003) mencatat bahwa petambak udang di Thailand, rata-rata menggunakan 13 jenis bahan kimia, 4 pestisida dan disinfektan, dan 3 produk untuk peningkatan kualitas tanah dan air tambak. Penggunaan antibiotik ini disinyalir oleh Boyd et al. (2000) akan mengakibatkan resistensi bakteri patogen dan mengubah komposisi komunitas bakteri pada sedimen tambak, sehingga mengakibatkan perubahan proses biogeokimia.

Selama masa budidaya, bahan organik yang terakumulasi pada sedimen biasanya diberi perlakuan agar dapat menghilangkan racun dan bahan yang tidak diinginkan. Manajemen tambak yang umum dilakukan adalah dengan cara pengeringan dan pengapuran (kalsifikasi) serta penyiponan. Selain itu dikembangkan pula teknik-teknik modern, seperti bioremediasi (Thomas et al.

1992), probiotik (Wang and Hang 2007), minimal water exchange system


(16)

Boyd (2000) menyampaikan bahwa pengeringan dasar tambak dilakukan untuk mempercepat degradasi bahan organik, sedangkan pengapuran dilakukan untuk menetralkan keasaman dan aktivitas mikrobial. Sedangkan bioremediasi secara umum adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Aiyushirota (2009) menyampaikan bahwa pada dasarnya bioremediasi pada tambak digunakan untuk meningkatkan kesuburan tambak, dan teknologi ini lebih baik jika diterapkan pada tahap persiapan tambak. Sedangkan probiotik dalam sistem budidaya udang merupakan penambahan ke dalam lingkungan tambak berupa jenis-jenis bakteri non patogenik (tidak menyebabkan penyakit) yang bertujuan untuk perbaikan mutu tambak. Menurut Thomas et al. (1992), beberapa spesies bakteri yang dipakai dalam probiotik adalah Bacillus, Pseudomonas, Acinetobacter, Cellulomonas, Rhodoseudomonas,

Nitrosomonas, dan Nitrobacter, yang diduga dapat membantu proses mineralisasi limbah organik. Aplikasi probiotik pada dasar tambak menurut laporan Wang and Han (2007) dapat mempercepat dekomposisi limbah organik, namun Hariati (2008) menyampaikan bahwa konsep probiotik ini memiliki kelemahan, yaitu: kemampuan bertahan, kolonisasi, kompetisi nutrien dari bakteri probiotik ini cukup bervariasi untuk masuk ke dalam satu lingkungan ekosistem yang sudah mengandung beberapa ratus jenis spesies bakteri lainnya.

Minimal water exchange system merupakan suatu metode yang digunakan dalam manajemen penanganan limbah air tambak dengan cara penggantian air yang minimal, terutama di 60 hari pertama masa budidaya. Penggantian air hanya untuk mengganti penyusutan air karena penguapan dan rembesan di bulan pertama budidaya. Volume penggantian air maksimal 5% per hari. Minimal water exchange system hanya mampu membuang akumulasi bahan organik yang ada pada perairan tambak, sedangkan bahan organik yang terakumulasi pada sedimen tetap mengendap dan tidak terbuang, sehingga hal ini dapat membahayakan komoditas budidaya dalam tambak (Aiyushirota 2009).

Adapun teknologi lain yang sering digunakan dalam memperbaiki masalah tambak adalah bioflok. Bioflok merupakan teknologi budidaya yang didasarkan pada prinsip assimilasi nitrogen anorganik (ammonia, nitrit dan nitrat) oleh komunitas mikroba dalam media budidaya yang kemudian dapat dimanfaatkan


(17)

oleh organisme budidaya sebagai sumber makanan (Kuhn et al. 2010). Lumpur aktif dapat diibaratkan sebagai „sup mikroba‟ yang terbentuk dari pemberian aerasi secara terus-menerus pada biomassa tersuspensi dan mikroorganisme pengurai dalam limbah cair. Teknik ini mencoba untuk mengolah limbah budidaya secara langsung di dalam petak budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio C/N dalam tingkat tertentu (Kuhn et al. 2010). Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei mampu menurunkan feeding convertion rate sebesar 20% dan menghasilkan 50 ton udang/ha dengan panen bertahap (Aiyushirota 2009). Aiyushirota (2009) menyampaikan bahwa komposisi mikroorganisme pada bioflok terdiri dari bakteri 70% dan plankton 30%. Penggunaan bioflok di Indonesia belum ideal, karena persyaratan lingkungan tambak intensif belum terpenuhi (kepadatan tebar yang baik 80 sampai 120 ekor per m2 dengan sistem tertutup). Ditambahkan, bahwa bioflok akan lebih efektif pada tambak dengan dasar plastik atau semen, selain itu air tambak harus selalu berputar. Hal ini menyebabkan dalam aplikasinya, teknologi bioflok harus menggunakan kincir air lebih banyak (1 kincir untuk 30 kg biomassa), sehingga menuntut penggunaan listrik yang lebih besar.

Biofuel cell secara umum terdiri dari microbial fuel cell (MFC) dan enzimatik fuel cell (Hong et al. 2008). Penggunaan mikroba dalam fuel cell ini menggantikan fungsi dari enzim, sehingga dihasilkan substrat yang lebih murah (Shukla et al. 2004a). Sediment microbial fuel cell (SMFC) merupakan salah satu model dari MFC (Hong 2009a). Prinsip kerja dari SMFC ini sangat sederhana, yaitu menempatkan dua elektroda yang saling terhubung, yaitu anoda pada sedimen yang bersifat anaerobik dan katoda pada badan air yang mengandung oksigen terlarut (Lovley 2006). Secara mekanisme, SMFC dilakukan dengan memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada sedimen untuk mendegradasi bahan organik dan menghasilkan elektron yang ditransfer ke anoda kemudian dialirkan melaui sirkuit eksternal sebelum bereaksi dengan penerima elektron di katoda (Chae et al. 2008 & Pant et al. 2010).

Kajian pada bidang perikanan, MFC telah dikembangkan sebagai teknologi dalam pengolahan limbah hasil perikanan (You 2009) dan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan perairan (Oh et al. 2010). Implementasi dalam


(18)

pengembangan SMFC pada perairan saat ini adalah telah dicobakan berbagai jenis sedimen, antara lain sedimen estuaria dari dekat Pantai Raritan USA dan sedimen rawa asin dari Tuckerton USA (Reimers et al. 2001), sedimen Danau Ilgam Seoul (Hong et al. 2008), sedimen Sungai Gongji (Hong et al. 2009a), sedimen Danau Sihwa (Hong et al. 2009b), sedimen laut Teluk Jakarta (Idham 2010), sedimen Danau Hussain Sagar Hyderabad dan sedimen Sungai Uppal Hyderabad (Mohan

et al. 2009), serta sedimen laut Pelabuhan Boston (Holmes et al. 2004). SMFC ini ternyata dapat menurunkan bahan organik yang terkandung dalam sedimen, pada penelitian Hong et al. (2008) kandungan karbon organik pada sedimen Danau Ilgam Seoul mengalami penurunan setelah dirangkaikan dengan SMFC dari 3,52% menjadi 2,37%, sedangkan pada penelitian Hong et al.(2009b) kandungan karbon organik pada sedimen Danau Sihwa Korea mengalami penurunan setelah dirangkaikan dengan SMFC dari 6,4% menjadi 4,20%. Pada penelitian Idham (2010), bahan organik pada sedimen laut Teluk Jakarta mengalami penurunan setelah dirangkaikan dengan SMFC, masing-masing karbon organik (dari 2,19±0,44% menjadi 1,88±0,07%), nitrogen total (dari 0,19±0,06% menjadi 0,15±0,03), dan fosfor (dari 128±4,95% menjadi 88±15,91%).

Sediment Microbial Fuel Cell (SMFC) sebagai teknologi baru proses percepatan penurunan kadar akumulasi bahan organik pada tambak udang belum pernah dikembangkan. Selain itu diharapkan, SMFC dapat dikembangkan pula untuk menghasilkan energi listrik. Secara teoritis menurut Logan (2008), energi listrik yang dihasilkan dari SMFC, ditimbulkan dari proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme melalui reaksi katalitik atau melalui mekanisme sistem bioelektrokimia dari mikroorganisme. Oleh karena itu, penelitian untuk mempelajari fungsionalisasi kualitas sedimen tambak udang dengan menggunakan teknologi SMFC menjadi sangat penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penurunan akumulasi bahan organik dan energi listrik yang dihasilkan pada sedimen tambak udang melalui


(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Sedimen Tambak

Sedimen merupakan bagian terpenting dalam usaha budidaya udang. Keadaan sedimen akan mempengaruhi kualitas air tambak hasil produksi (Boyd 2000). Menurunnya kondisi kualitas air dan sedimen dasar tambak akibat meningkatnya akumulasi bahan organik dan timbulnya senyawa toksik seperti amonium dan nitrit merupakan salah satu faktor penyebab penurunan produksi udang. Garno (2004), mengemukakan bahwa akumulasi bahan organik pada sistem tambak udang sudah dapat dideteksi sejak awal masuknya pakan buatan (pelet) ke dalam sistem tambak tersebut, dan kegagalan budidaya udang lebih diakibatkan oleh pencemaran organik yang terakumulasi di sedimen tambak dari pada akibat pencemaran yang berasal dari luar sistem tambak. Menurut Sabar dan Widiyanto (1998), peningkatan bahan organik pada tambak semi intensif terjadi mulai hari ke-60, diawal operasional konsentrasi bahan organik pada sedimen tambak sebesar 41,0 mg/L dan setelah 60 hari operasional konsentrasinya meningkat menjadi 140 mg/L, yang terdiri dari unsur nitrogen, fosfat, dan sulfur. Meningkatnya konsentrasi senyawa toksik amonium dan nitrit di tambak merupakan faktor penghambat dalam budidaya udang. Senyawa-senyawa toksik tersebut diproduksi oleh aktifitas mikroba dan hasil ekskresi udang yang dibudidayakan. Amonia dihasilkan oleh bakteri amonifikasi dan senyawa nitrit diproduksi dari proses reduksi nitrat oleh bakteri denitrifikasi. Nitrit juga berupa senyawa intermediat dari proses nitrifikasi. Senyawa amonium dan nitrit bersifat toksik bila konsentrasinya sudah melebihi ambang batas. Konsentrasi senyawa toksik di tambak udang umumnya menunjukkan peningkatan pada hari ke-15 setelah udang ditebar, yaitu untuk amonium di sedimen mencapai 500 µM, total nitrat dan nitrit mencapai 15 µM, sedangkan konsentrasi nitrogen organik terlarut pada hari ke tiga sudah mencapai sekitar 100 –120 µM (Burford et al. 2002).

Meningkatnya konsentrasi amonium bersifat toksik pada sistem tambak udang, walaupun mekanisme toksisitasnya belum diketahui dengan jelas akan tetapi terlihat keterkaitan antara jumlah amonia dan aktifitas fisiologis udang, yaitu terjadi peningkatan konsentrasi amonia pada jaringan dan darah (Schewedler


(20)

et al. 1985). Sedangkan senyawa nitrit bersifat toksik dan akan menghambat proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin di dalam darah. Apabila senyawa nitrit diikat oleh darah akan terbenbentuk methemoglobin (Hb + NO2 = Met-Hb), dan darah yang mengandung Met-Hb berwarna coklat (brown blood diseases) (Boyd, 1990).

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)

Fuel cell adalah komponen elektrokimia yang mengubah energi pada reaksi kimia secara langsung menjadi energi listrik, air dan panas. Fuel cell memiliki prinsip yang sama dengan baterai, namun bahan bakar dan oksidanya berada di luar, sehingga memungkinkan fuel cell dioperasikan terus-menerus sepanjang reaktan terus disuplai. Salah satu fuel cell berbasis biologi adalah microbial fuel cell. Prinsip kerja MFC mirip dengan hidrogen fuel cell, yaitu terdapat aliran proton dari ruang anoda menuju ruang katoda melalui membran elektrolit dan aliran elektron yang bergerak ke arah yang sama melalui kabel konduksi (Hoogers 2002). Prinsip kerja microbial fuel cell secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Elektron diperoleh dari substrat yang telah dioksidasi dan ditransfer ke anoda (Reguera et al. 2005). Ada beberapa mekanisme transfer elektron dari bakteri menuju elektroda, yaitu menggunakan mediator eksternal seperti tionin dan neutral red yang biasanya mahal dan beracun, transfer elektron secara langsung dari dinding bakteri ke anoda, menggunakan mediator yang dihasilkan oleh bakteri (Rabaey dan Verstraete 2005), dan menggunakan bakteri yang dapat menghantarkan listrik (Gorby et al. 2006). Elektron yang diterima di anoda kemudian dialirkan melaui sirkut eksternal sebelum bereaksi dengan penerima elektron di katoda. Berbagai kajian terakhir MFC dilakukan terhadap elektroda (Cheng 2006a, Cheng 2006b), membran (Cheng 2006b), desain reaktor MFC (Liu dan Logan 2004), jenis bakteri yang digunakan (Nimje et al. 2009), jenis substrat yang digunakan (Lu et al. 2009, Moon et al. 2006) dan variasi parameter (Liu et al. 2005).


(21)

Gambar 1 MicrobialFuel cell (Logan 2008).

2.3 Sedimen Microbial Fuel Cell (SMFC)

Sediment microbial fuel cell (SMFC) merupakan bentuk pengembangan dari

microbial fuel cell (MFC). Secara alami, mikroorganisme mengoksidasi bahan organik yang tersedimentasi dari kolom air dan mereduksi Fe (III) atau Mn (IV). Beberapa jenis mikroorganisme juga mendegradasi bahan organik kompleks sehingga menghasilkan produk fermentasi (asetat), dan penerima electron (senyawa aromatic dan asam lemak rantai panjang). Asumsi mekanisme kerja SMFC pada sedimen laut serupa dengan rantai makanan mikroorganisme yang menggunakan anoda (elektroda) sebagai penerima electron menggantikan Fe (III) dan Mn (IV) (Gambar 2).

Bahan organik

Anoda Katoda

Membran Penyemprot


(22)

Gambar2 Model produksi listrik MFC pada sedimen laut (Lovley 2006). Prinsip kerja dari SMFC yang menggunakan mikroorganisme hidup dalam reaksi elektrokimia, menjadikan sistem MFC sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan yang dapat membunuuh mikroorganisme tersebut (Mench 2008). Struktur dan aktivitas mikroorganisme dipengaruhi oleh berbagai parameter yaitu suhu, pH, potensial redoks, dan kekuatan ion (Torres et al. 2008).

Liu et al. (2005) juga menyatakan bahwa kinerja SMFC secara umum tergantung dari komponen-komponen penyusunnya, yang meliputi jenis dan struktur elektroda, ada atau tidaknya membrane penukar proton, serta kelengkapan membrane. Jenis bahan dan struktur anoda berdampak pada penempelan mikroorganisme, transfer electron, dan oksidasi substrat. Bahan yang biasa digunakan sebagai anoda adalah karbon (carbon cloth atau graphite felt) karena stabil terhadap kultur mikroba, memiliki konduktivitas yang tinggi, dan luas permukaan yang besar (Watanabe 2008). Namun penggunaan elektroda berbasis karbon pada katoda akan mengakibatkan ketidakefisienan (Kim et al. 2002), sehingga perlu dilakukan pelapisan dengan katalis, misalnya platinum (Pham et al.2004).

Kondisi lingkungan seperti konduktivitas, juga mempengaruhi kinerja dari SMFC. Air laut memiliki konduktivitas listrik yang tinggi dibandingkan air sungai, yaitu ∼50,000 dan 500 S/cm pada 20 °C. Oleh karena itu, SMFC dengan

Air

Alat Elektronik

Bahan organik masuk dari kolom air

Sedimen

Asam Asetat, produk senyawa lemak minor fermentasi aromatik

Hidrolisis dan Fermentasi Gula, Asam amino


(23)

menggunakan air laut dapat menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan air sungai (tawar). Produksi listrik pada SMFC juga ditentukan oleh jenis katalis pada katoda, bahan yang digunakan pada elektroda, dan jarak kedua elektroda (Lowy et al. 2006).


(24)

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai bulan Juni 2011 di Tambak Udang Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Subang-Jawa Barat, Laboratorium Bahan Baku dan Laboratorium Biokimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor serta Balai Penelitian Tanah Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan untuk treatment

elektroda pada rangkaian SMFC meliputi HCl 1N, NaOH 1N, akuades, dan air tambak. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian karakteristik sedimen SMFC adalah akuades, air bebas ion, air bebas ion yang bebas CO2, NaCl, KCl,

HCl, larutan ekstraksi Olsen 20 ml, carbon hitam, amonium asetat, kalium dikromat, larutan standar 5000 ppm C, etanol 96%, pasir kuarsa bersih, filter pulp, larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0.

Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengambilan sedimen dan air tambak yang terdiri dari botol, tali, plastik ukuran 5 kg, alat tulis, kertas label dan Eikmann Grab volume 1 liter. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan rangkaian dan pengukuran arus serta tegangan dari SMFC adalah gelas ukur 500 ml, multimeter (Masda DT830D), elektroda karbon grafit (berbentuk silinder dengan dimensi (39 x 7 mm), resistor 560 Ω ± 5% dan kabel N.Y.A ETERNA (1 x 2,5mm). Alat-alat yang digunakan untuk menganalisis kualitas air tambak meliputi pH meter (kertas lakmus), alat portable waterproof dissolved oxygent meter (HI 9142) refraktometer (Milwaukee MR 100 ATC Salinity Refractometer), keping secci disc. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisika kimia sedimen tambak meliputi oven, desikator, destilator, freeze dried (Freeze dryer ALPHA 1-2/LD),baeker glass dan peralatan gelas lainnya.


(25)

3.3 Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah penentuan tempat pengambilan sampel dan kondisi tempat pengambilan sampel sedimen pada tambak udang (Ghangrekar et al. 2003). Tahap kedua adalah pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi sedimen tambak udang yang ada (mengacu Hong et al. 2009). Tahap ketiga adalah berupa pembuatan rangkaian SMFC yang mengacu pada penelitian Holmes et al.(2004). Tahap keempat adalah pengukuran arus listrik dan tegangan yang dihasilkan SMFC dengan menggunakan multimeter masda DT830D (Holmes et al. 2004). Tahap kelima adalah karakterisasi pada substrat hasil dari proses degradasi bahan organik melalui SMFC (Hong et al. 2009), sehingga dapat dilihat adanya perubahan terhadap kadar akumulasi bahan organik pada sedimen tambak udang tersebut.

3.3.1 Penentuan lokasi pengambilan sampel

Tambak yang dijadikan tempat pengambilan sampel merupakan satu petak tambak udang milik warga (perorangan/rakyat) dengan produktivitas yang sangat rendah (ketetapan tersebut berdasarkan informasi dari kelompok petani tambak Desa Jayamukti). Lokasi tambak ini sangat dekat dengan aliran sungai sebagai sumber air laut dan air tawar. Pengambilan dilakukan pada 3 stasiun (stasiun I pada daerah air masuk atau inlet, stasiun II di tengah tambak, stasiun III pada sekitar saluran pembuangan air atau outlet), masing-masing stasiun dilakukan pengambilan kembali (ulangan) sebanyak 3 kali pada area yang berlainan (Ghangrekar et al. 2003). Gambaran lokasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pengambilan sedimen dilakukan pada dasar tambak dengan kedalaman ± 130 cm menggunakan alat Eikmann Grab volume 1 liter. Sedimen yang telah diambil selanjutnya langsung dimasukkan ke dalam polybag dengan kondisi sampel masih terendam air. Kondisi lain yang dilakukan adalah udara yang masih terdapat di dalam polybag dikeluarkan terlebih lalu, baru kemudian diikat rapat (Idham 2010). Semua sampel sedimen dan air tambak, selanjutnya disimpan pada

cool box agar suhu sampel terjaga untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengamatan.


(26)

3.3.2 Pengukuran kualitas air tambak udang serta analisis karakterisasi sedimen tambak udang

Pengukuran parameter fisik terhadap kualitas air tambak, yaitu : suhu, DO, pH, salinitas dan kecerahan (BSN 2009), dilakukan di lapangan pada pukul 10.00 WIB. Pengukuran suhu air tambak dilakukan dengan menggunakan termometer pada tiga titik (inlet, tengah dan oulet) masing-masing tiga kali ulangan. Pengukuran dissolved oxigen (DO) air tambak dilakukan dengan menggunakan alat portable waterproof dissolved oxygent meter (HI 9142) pada tiga titik (inlet, tengah dan oulet) masing-masing tiga kali ulangan. Pengukuran pH air tambak dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus pada tiga titik (inlet, tengah dan oulet) masing-masing tiga kali ulangan. Pengukuran salinitas air tambak dilakukan dengan menggunakan refraktometer pada tiga titik (inlet, tengah dan oulet) masing-masing tiga kali ulangan. Adapun karakterisasi sedimen tambak udang yang dilakukan mengacu pada penelitian Hong et al. (2010), yaitu tekstur tanah, pH (H2O dan KCl), daya hantar listrik (DHL), jumlah karbon organik,

jumlah nitrogen total, fosfor tersedia (BSN 2009), kapasitas tukar kation (KTK), K dapat ditukar (K dd), Ca dapat ditukar (Ca dd), dan Mg dapat ditukar (Mg dd) (Wignyosukarto 1998).

3.3.3 Pembuatan rangkaian SMFC

Elektroda yang digunakan untuk penyusunan SMFC adalah grafit yang diperoleh dari baterai AA terbuang atau yang tidak terpakai lagi. Sebelum digunakan, elektroda karbon dinetralkan dengan perlakuan yang mengacu Holmes et al.(2004), antara lain :

1) Elektroda direndam dengan 1N HCl selama 1 hari kemudian dibilas dengan akuades.

2) Elektroda direndam dengan 1N NaOH selama 1 hari kemudian dibilas dengan akuades.

3) Elektroda direndam dengan akuades hingga saat akan digunakan.

Masing-masing elektroda yang telah diberi perlakuan, dilubangi dengan bor kemudian dihubungkan dengan kabel dengan menggunakan epoxy. Keberhasilan hasil sambungan antara elektroda dengan kabel diuji dengan mengunakan multimeter. Pengujian hasil perangkaian elektroda dan kabel dilihat dari adanya resistansi dengan menggunakan multimeter.


(27)

Kegiatan pembuatan rangkaian SMFC mengacu pada penelitian Holmes et al.

(2004), sedimen tambak udang dimasukkan ke dalam gelas piala hingga ketinggian 3 cm, kemudian sebuah elektroda yang terbuat dari karbon berbentuk silinder dengan dimensi 39 x 7 mm (anoda) ditutup dengan sedimen tambak udang setinggi 2 cm. Selanjutnya air tambak sebanyak 400 ml dimasukkan ke dalam gelas piala dan didiamkan selama 24 jam untuk untuk mengendapkan partikel-partikel sedimen tambak. Pada hari berikutnya, sebuah elektroda (katoda) ditempatkan pada air tambak beberapa sentimeter dari permukaan sedimen tambak. Kabel dari anoda dan katoda dihubungkan dengan resistor dengan hambatan 560 Ω ± 5%. Air yang hilang karena penguapan selama masa pengamatan diganti dengan air yang telah diionisasi. SMFC dioperasikan pada kondisi gelap pada suhu sekitar 27 °C. SMFC dari tiap kedalaman dibuat sebanyak 2 buah dan 1 buah sebagai kontrol (anoda dan katoda tidak dihubungkan). Rangkaian SMFC selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Susunan SMFC

3.3.4 Pengukuran arus listrik dan tegangan SMFC tambak

Pengukuran arus listrik dan tegangan dilakukan menggunakan multimeter Masda DT830D, dan hasil pengukuran arus listrik dikonversi menjadi current density, contoh perhitungan konversi arus listrik menjadi current density bisa dilihat pada Lampiran 8. Penentuan lamanya pengukuran arus listrik dan tegangan

V

3 cm 2 cm 1 cm

560 Ω

Air Sedimen

Anoda Katoda


(28)

berdasarkan pada pola kecenderungan perubahan arus listrik dan tegangan yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik oleh mikroorganisme pada sedimen SMFC tambak udang, dimana dalam pengukuran akan diperoleh puncak produksi arus listrik dan penurunan arus listrik hingga akhir pengukuran (Holmes et al.

2004).

Pengukuran arus listrik dan tegangan dilakukan dengan 2 perlakuan yaitu pengukuran arus listrik dan tegangan terhadap sedimen tambak udang yang telah dirangkaikan dengan SMFC menggunakan multimeter yang dihubungkan secara paralel dengan resistor (dibuat sebanyak 9 buah), dan pengukuran terhadap kontrol yaitu terhadap sedimen tambak yang dirangkaikan SMFC dengan menggunakan multimeter tanpa dihubungkan secara parallel dengan resistor (dibuat sebanyak 3 buah). Konversi current density diperhitungkan dengan membagi jumlah arus yang dihasilkan terhadap luas permukaan anoda.

3.3.5 Karakterisasi substrat SMFC

Analisis karakteristik substrat SMFC bertujuan untuk melihat perubahan kandungan bahan organik pada sedimen tambak udang yang digunakan akibat proses dalam SMFC. Jenis analisis yang digunakan sama dengan analisis karakterisasi sedimen tambak udang,yaitu analisis kandungan karbon organik, nitrogen, fosfor, pengukuran pH, daya hantar listrik (DHL), K dapat ditukar (K dd), Ca dapat ditukar (Ca dd), dan Mg dapat ditukar (Mg dd), serta kapasitas tukar kation (KTK) (Hong et al. 2010 dan Wignyosukarto 1998).

3.4 Prosedur Pengujian

Pengujian yang dilakukan meliputi karakteristik sedimen tambak udang dan karakteristik substrat SMFC dari beberapa perlakuan. Pengujian meliputi penentuan tekstur tanah metode pipet, pengukuran pH, penentuan daya hantar listrik, penetapan C-organik Walkey & Black, penetapan jumlah N Kjeldhal, penetapan P-tersedia Olsen, K dapat ditukar (K dd), Ca dapat ditukar (Ca dd), dan Mg dapat ditukar (Mg dd) serta penetapan kapasitas tukar kation.

3.4.1 Penetuan tekstur tanah dengan metode pipet (Sudjadi et al. 1997)

Pengujian diwali dengan penimbangan 10 gram contoh tanah (<2 mm), yang dimasukan ke dalam gelas piala 800 ml, kemudian ditambah 50 ml H2O2 10% dan


(29)

dibiarkan semalam. Keesokannya campuran tersebut ditambah 25 ml H2O2 30%

dan dipanaskan sampai tidak berbusa. Selanjutnya ditambahkan 180 ml air bebas ion dan 20 ml HCl 2N kemudian dididihkan selama 10 menit. Setelah agak dingin campuran diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml, kemudian dicuci menggunakan penyaring Berkefield sampai bebas asam. Selanjutnya ditambah 10 ml larutan peptisator Na4P2O7 4%.

Pemisahan pasir dilakukan dengan pengayakan suspensi tanah yang telah diberi peptisator dengan ayakan 50 mikron sambil dicuci dengan air bebas ion. Filtrat ditampung dalam silinder 500 ml untuk pemisahan debu dan liat. Butiran yang tertahan ayakan dipindahkan dalam pinggan alumunium yang telah diketahui bobotnya dengan air bebas ion. Selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven

pada suhu 105 oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (berat pasir = A gram). Pemisahan debu dan liat dilakukan dengan pengenceran

filtrat dalam silinder menjadi 500 ml dan diaduk selama 1 menit. Setelah itu filtrat segera dipipet sebanyak 20 ml kedalam pinggan alumunium. Kemudian filtrat dikeringkan pada suhu 105 oC selama semalam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (berat debu+liat+peptisator=B gram).

Pemisahan liat dilakukan dengan pengadukan lagi selama 1 menit, lalu dibiarkan selama 3 jam 30 menit pada suhu kamar. Suspensi liat dipipet sebanyak 20 ml pada kedalaman 5,2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam pinggan alumunium, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (berat liat + peptisator = C gram). Penentuan jumlah pasir, debu, dan liat dilakukan berdasarkan perhitungan :

Fraksi = A gram

Fraksi debu = 25 (B - C) gram Fraksi liat = 25 (C – 0,0095) gram Jumlah fraksi = A + 25 (B – 0,0095) gram Pasir (%) = A/ {A + 25 (B – 0,0095)} x 100

Debu (%) = {25(B – C)} / {A + 25 (B – 0,0095)} x 100 Liat (%) = {25(C – 0,0095)} / {A + 25 (B – 0,0095)} x 100 Keterangan :

A = berat pasir

B = berat debu + liat + peptisator C = Berat liat + peptisator


(30)

3.4.2 Pengukuran pH (Rayment & Hingginson 1992)

Pengukuran pH tanah dalam KCl dilakukan dengan penimbangan 20 gram tanah yang dimasukkan ke dalam gelas piala. Kemudian ditambahkan 20 ml 1 N KCl dan didiamkan selama 30 menit sambil diaduk beberapa kali. Penentuan pH dengan menggunakan pH meter.

Pengukuran pH tanah dalam H2O dilakukan dengan penimbangan 20 gram

tanah kering yang dimasukkan pada gelas piala berukuran 50 ml, kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan didiamkan selama 30 menit sambil diaduk beberapa kali. Pengukuran pH tanah dengan menggunakan pH meter.

3.4.3 Pengukuran daya hantar listrik (Rayment & Hingginson 1992)

Penimbangan 10 gram contoh tanah ke dalam botol kocok, tambahkan 50 ml air bebas ion. Kemudian botol kocok selama 30 menit. Pengukuran DHL suspensi tanah dilakukan dengan konduktometer yang telah dikalibrasi menggunakan larutan baku NaCl dan dibaca setelah angka konstan. Nilai DHL dilaporkan dalam satuan dS m-1.

3.4.4 Penetapan C-organik metode Walkey & Black (Rayment & Hingginson 1992)

Penimbangan 0,5 gram tanah ukuran <0,5 mm dan dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml. kemudian ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N dan dikocok.

Selanjutnya ditambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat dan dikocok lalu diamkan selama

30 menit. Larutan tersebut kemudian diencerkan dengan air bebas ion lalu biarkan dingin dan diimpitkan. Keesokan harinya dilakukan pengukuran absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai pembanding dibuat standar 0 dan 250 ppm, dengan memipet 0 dan 5 ml larutan standar 5.000 ppm ke dalam labu ukur 100 ml dengan perlakuan yang sama dengan pengerjaan sampel. Penetapan C-organik dilakukan perhitungan :

C-organik (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml – 1 x 100 mg contoh-1xfk = ppm kurva x 100 x 1.000-1 x 100 x 500 – 1 x fk

= ppm kurva x 10 x 500 – 1 x fk Keterangan

Ppm kurva : kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.

100 : konversi ke %


(31)

3.4.5 Penetapan N metode Kjeldhal (Burt 2004)

Ke dalam labu Kjeldhal 25 ml dimasukan 0,5 gram tanah, selanjutnya ditambahkan 1,9 gram campuran Se, CuSO4, dan NaSO4. Kemudian 5 ml H2SO4

pekat dan digoyangkan perlahan agar semua tanah terbasahi oleh H2SO4.

Campuran lalu ditetesi dengan paraffin cair sebanyak 5 tetes. Labu Kjeldhal dipanaskan dengan api kecil kemudian secara bertahap api dibesarkan hingga diperoleh cairan yang berwarna terang (hijau-biru). Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan cara digoyangkan. Setelah itu, ditambahkan 5 ml NaOH 50%. Proses destilasi dimulai dan hasil destilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO4 4% dan 5 tetes

indikator Conway. Destilasi dilakukan sampai isi destilasi mencapai 1000 ml. Hasil destilat dititrasi dengan HCl yang telah dibakukan sampai terjadi perubahan warna dari hijau ke merah. Penetapan N ditentukan berdasarkan perhitungan

Kadar N (%) = isi HCl (contoh-blanko) x N HCl x 14 x 100 Berat sampel x 1000 x faktor koreksi

3.4.6 Penetapan P-tersedia metode Olsen (Watanabe & Olsen 1965)

Penimbangan 1 gram tanah ukuran <0,2 mm kemudian dimasukkan dalam botol kocok. Kemudian ditambahkan 20 ml pengekstrak Olsen dan dikocok selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan penyaringan. Apabila larutan keruh maka dilakukan penyaringan kembali. Ekstrak yang didapat kemudian dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya bersama deret standar ditambahkan 10 ml pereaksi pewarna fosfat dan dikocok hingga homogen. Absorbansi larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Penetapan P-tersedia ditentukan berdasarkan perhitungan :

Kadar P2O5 tersedia (ppm)

= ppm kurva x ml ekstrak/1.000 ml x 1.000 g/g contoh x fp x 142/90 x fk = ppm kurva x 20/1.000 x 1.000/1 x 142/90 x fk

= ppm kurva x 20 x 142/90 x fk Keterangan :

ppm kurva : kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko. fp : faktor pengenceran (bila ada)

142/90 : faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5


(32)

3.4.7 Penetapan kapasitas tukar kation dan kation basa (Ca, K, Mg dan Na) (Burt 2004)

Penimbangan 2,5 gram tanah kering yang telah diayak kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi 15 ml, selanjutnya ditambahkan 1 ml larutan NH4OAc pH 7. Campuran dikocok sampai merata dan dibiarkan semalam.

Selanjutnya dikocok kembali lalu disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring dengan saringan, dan filtrat

ditampung dalam labu ukur 100 ml. Penambahan NH4OAc diulangi sampai 3 kali.

Setiap kali penambahan diaduk merata, disentrifuse dan ekstraksinya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml, setelah itu ditambahkan larutan NH4OAc. Ekstraksi

ini digunakan dalam penetapan kadar K, Na, Ca, dan Mg yang dapat dipertukarkan serta untuk penetapan kejenuhan basa. Untuk pencucian kelebihan NH4+ tambahkan 10 ml alkohol 80% ke dalam tabung sentrifuse yang berisi residu

tanah tersebut. Campuran tersebut diaduk sampai merata, disentrifuse, didekantasi, dan filtratnya dibuang. Pencucian kelebihan NH4dengan alkohol ini

dilakukan sampai tanah dalam tabung sentrifuse bebas NH4. Hal ini dapat

diketahui dengan menambahkan beberapa tetes pereaksi Nessier pada filtrate tersebut. Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4+.

Setelah bebas dari NH4+, tanah dipindahkan secara kuantitatif dari tabung

sentrifuse ke dalam labu didih. Kemudian air ditambahkan sebanyak 450 ml kedalam labu didih. Pada labu didih ditambahkan beberapa butir labu didih, 5-6 tetes paraffin cair dari 20 ml NaOH 50%, kemudian didestilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H2SO4 0,4 N dan 5-6 tetes

indikator Conway. Destilasi dihentikan jika destilat yang ditampung mencapai 150 ml, kelebihan asam dititrasi dengan NaOH 0,1 N. sampai dicapai warna berubah menjadi hijau. Penetapan nilai KTK dan kation basa dihitung berdasarkan rumus :

KTK (me/100 g) = (ml blanko – ml contoh) x N NaOH x 100 Bobot contoh tanah 105 oC


(33)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kualitas Air Tambak Udang Desa Jayamukti

Kualitas air tambak udang Desa Jayamukti yang diukur meliputi suhu, derajat keasaman (pH), salinitas, kecerahan dan oksigen terlarut (Dissolve Oxygen atau DO). Hasil pengukuran kualitas air tambak udang Desa Jayamukti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kualitas Air Tambak Udang Desa Jayamukti

Parameter Satuan Hasil penelitian Standar* Optimum**

Salinitas ppm 18-20 15 – 30 15 – 25

pH 7,5-8,5 7,5 - 8,5 8 - 8,5

Suhu ° C 29-30 28 – 32 29 – 31

Kecerahan cm 25-30 30 – 45 30 – 40

Oksigen Terlarut mg/l 3-4 > 3,0 4– 7

*

Nilai standar untuk budidaya udang Windu Berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN2009). **

Nilai optimum untuk budidaya udang Windu (Wignyosukarto 1998).

Salinitas air tambak udang di Desa Jayamukti berkisar anatara 18-20 ppm. Nilai salinitas ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran standar untuk budidaya udang (15-30 ppm), dengan nilai optimum berkisar antara 15-25 ppm (Wignyosukarto 1998). Nilai salinitas air tambak di Desa Jayamukti tersebut masih baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Palafox

et al. (1996), menyatakan bahwa salinitas berhubungan dengan osmoregulasi udang, dan apabila udang dipaksa untuk menyesuaikan diri di luar batas kisaran salinitas yang optimum, maka udang akan banyak mengeluarkan energi. Apabila terus-menerus energi ini dipakai maka energi untuk pertumbuhan udang akan berkurang dan menyebabkan laju pertumbuhan udang menjadi rendah. Selain itu perubahan salinitas secara cepat juga akan menyebabkan tingkat kematian udang tinggi.

Nilai pH air pada tambak udang Desa Jayamukti berkisar antara 7,5-8,5, nilai ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran standar untuk budidaya udang (7,5-8,5), sehingga nilai pH tersebut masih baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Adapun nilai pH optimum untuk budidaya udang berkisar 8-8,5 (Wignyosukarto 1998). Kondisi perairan yang memiliki pH rendah merupakan penyebab peningkatan H2S dan daya racun nitrit,


(34)

gangguan fisiologi udang, pelunakan kulit (karapas), serta penurunan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien 1992). Wardoyo (1997), nilai pH yang ideal untuk udang adalah 6,8-9,0 sedangkan pH air dengan kisaran 4,5-6,0 dan 9,8-11,0 menyebabkan terganggunya metabolisme udang bahkan dapat menyebabkan kematian udang.

Suhu air tambak Desa Jayamukti hasil pengukuran pada pukul 10 pagi dengan menggunakan termometer berkisar antara 29-30 oC. Nilai tersebut berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran standar untuk budidaya udang yaitu 28-32 oC, sehingga nilai suhu tersebut masih baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, sedangkan nilai suhu optimum untuk budidaya udang berkisar 29-31 oC (Wignyosukarto 1998). Wyban et al.

(1995), menyatakan bahwa suhu air mempengaruhi reaksi kimia yang terjadi didalam perairan dan juga reaksi biokimia yang terjadi didalam tubuh udang. Suhu air yang optimum bagi perkembangan hidup udang adalah 28-30oC. Kisaran suhu pada kondisi optimum konsumsi oksigen cukup tinggi sehingga nafsu makan udang tinggi, sedangkan suhu dibawah 18-25 oC nafsu makan udang menurun.

Kecerahan perairan tambak Desa Jayamukti berkisar antara 25-30 cm, nilai kecerahan ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran standar untuk budidaya udang yaitu 30-45 cm, nilai kecerahan tersebut masih baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, sedangkan kecerahan optimum untuk budidaya udang berkisar antara 30-40 cm (Wignyosukarto 1998). Kecerahan air bergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan adalah ukuran transparasi perairan dan ditentukan secara visual dengan menggunakan keping

secchi (Jeffries dan Mils 1996 dalam Effendi 2000). Kecerahan air merupakan fungsi dari bahan yang tersuspensi dan terkoloid dalam air, untuk perairan tambak bahan-bahan tersebut terutama terdiri dari plankton dan bahan organik (Wardoyo 1997). Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, kekeruhan, padatan tersuspensi, serta waktu dan ketelitian pengukuran (Effendi 2000).

Oksigen terlarut (DO) pada perairan tambak Desa Jayamukti berkisar antara 3-4 mg/l, nilai ini berdasarkan SNI 7310:2009 (BSN 2009) masih dalam kisaran standar untuk budidaya udang yaitu >3 mg/l, nilai oksigen terlarut tersebut masih baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, sedangkan DO optimum


(35)

untuk budidaya udang berkisar antara 4-7 mg/l (Wignyosukarto 1998). Kadar oksigen terlarut bersifat fluktuatif secara harian (diurnal) dan musim bergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke dalam air (Effendi 2000). Boyd (1991) menyatakan bahwa, kandungan oksigen terlarut yang dapat menunjang kehidupan udang secara normal dan baik untuk pertumbuhan adalah 5 mg/l sampai konsentrasi jenuh. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kandungan oksigen yang kurang dari 1 mg/l dapat menyebabkan kematian jika berlangsung selama beberapa jam, dan untuk kisaran oksigen antara 1-5 mg/l pertumbuhan akan terganggu jika berlangsung secara terus-menerus.

4.2 Karakterisasi Sedimen Tambak Udang Desa Jayamukti Blanakan

Penilaian kesuburan tanah didasarkan pada analisis laboratorium terhadap parameter fisik (tekstur), kimia (pH, C-organik dan N total, P, Ca, Mg, K dan Na). Secara kimiawi, analisis kualitas tanah akan berguna untuk mengetahui antara lain proses pertukaran ion antara tanah dengan air dan kondisi redoks yang dapat berpengaruh terhadap ikan atau udang. Kepentingan secara biologis, tidak hanya terkait langsung bagi kepentingan udang sendiri, namun lebih spesifik, yaitu stimulasi dan kontinuitas dalam penyediaan hara bagi pertumbuhan plankton dan makanan alami yang diperlukan oleh udang serta pemulihan dasar tambak oleh komunitas bakteri serta kestabilan mutu air. Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sedimen tambak udang Desa Jayamukti Blanakan berupa tanah lumpur bewarna abu-abu kehitaman yang terdiri atas pasir 0%, debu 23,6% dan liat 76,4%. Sedimen tambak ini memiliki tekstur tanah liat. Kandungan bahan organik sedimen tersebut meliputi karbon organik 1,45±0,32%, nitrogen 0,11±0,03% sehingga ratio C/N ialah sebesar 13, kandungan P yang tersedia ialah 59±4,95 ppm, pH (H2O) 7,9±0,15, daya hantar

listrik (DHL) 4,98 dS/m, salinitas 2604±84 mg/l, dan kapasitas tukar kation (KTK) 23,28±3,60 cmol(+)/kg, dan nilai kation basa ditukar Ca 8,86±1,3 (cmol(+)/kg), Mg 26,16±4,6 (cmol(+)/kg), K 5,8±16 (cmol(+)/kg), dan Na 55,15±19 (cmol(+)/kg). (Tabel 2).


(36)

Tabel 2 Karakteristik sedimen tambak Desa Jayamukti Blanakan dibandingkan dengan sedimen lain sebelum dirangkai SMFC Parameter Uji

Inlet* Tengah * Outlet* Rata-rata sebelum*

Hong et al.

(2008)1 Nilai standar

2

Idham (2010)3

Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%) 0 22,3 77,7 0 24 76 0 24,3 75,7 0 23,6 76,4 - - - Liat, lempung berpasir 20 49 31 pH: H 2O KCl DHL (dS/ m) Salinitas (mg/ l)

7,9±0,12 7,6±0,12 4,86±1,12 2536 8±0,1 7,7±0,1 6,23±1,25 3303 7,7±0,06 7,3±0,06 3,85±0,15 1973 7,9±0,35 7,5±0,14 4,98±1,34 2604±753 7,5 - - - 5,5-7,0 - - - 7,7±0,35 7,3±0,14 6,39±1,46 3405±841 Bahan Organik

(dalam contoh kering 105 °C):

C (%) N (%) C/ N P

2O5 (ppm)

KTK (cmol(+)/kg) 1,37±0,29 0,12±0,24 12 96,6±41,42 25,38±2,70 1,76±0,24 0,13±0,02 13 46±7,55 22,59±3,71 1,2±0,18 0,09±1,7 13 35±2 21,89±4,56 1,45±0,44 0,11±0,03 13 59±35,4 23,28±3,60

3,52 ± 0,38 - - - - 3-5 0,4-0,75 10 30-60 >20** 2,19±0,44 0,19±0,06 12 128±4,95 18,46±1,24

Ca (cmol(+)/kg) 9,98±0,33 8,91±1,61 7,7±0,49 8,86±1,3 - 5-20** -

Mg (cmol(+)/kg) 28±7,09 28,04±1,79 22,44±0,85 26,16±4,6 - 1,5-8,0** -

K (cmol(+)/kg) 6,28±1,33 6,28±0,29 4,85±0,33 5,8±1 - 0,5-1,0** -

Na (cmol(+)/kg) 55,76±25,06 70,35±12,48 39,32±2,08 55,15±19 - 0,7-1,0** -

Keterangan : *

Karakteristik sedimen tambak udang (inlet, tengah dan outlet) Desa Jayamukti sebelum dirangkaikan dengan SMFC berdasarkan hasil penelitian ini (diuji di Balai Penelitian Tanah, Bogor),** Nilai standar untuk budidaya udang windu berdasarkan Wignyosukarto (1998)

1

Karakteristik sedimen Danau Ilgam, Seoul berdasarkan hasil penelitian Hong et al. (2008) 2

Nilai standar untuk budidaya udang berdasarkan SNI 7310:2009 (2009) 3


(37)

Tekstur tanah merupakan variabel primer dalam penentuan kelas kesesuaian lahan sehingga bobot yang diberikanpun juga besar. Informasi mengenai tekstur tanah sangat penting karena tanah dengan segala aspek fisika, kimia maupun biologi menentukan produktivitas dari suatu lahan. Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sedimen tambak udang Desa Jayamukti memiliki jenis tekstur tanah liat. Menurut Brady (1990) partikel liat merupakan bagian terkecil dari bagian padat penyusun tanah yang memiliki diameter < 0,002 mm. Luas permukaan (8 x 106 per cm), jumlah partikel (90.260.853 x 103 per gram) dan muatan listriknya tiap satuan massa sangat besar dibanding fraksi penyusun tanah yang lain (pasir dan debu), sehingga memungkinkan partikel liat ini mengikat ion-ion kimia, partikel ini merupakan koloid tanah yang dapat menyelaputi atau bersifat perekat/semen dan butir-butir primer tanah sehingga dapat membentuk agregat mikro yang dapat menyerap atau mengikat unsur hara. Tanah dengan dominansi liat mempunyai kemampuan mengikat hara lebih besar, hal inilah yang menjadi jawaban mengapa tanah dengan kandungan liat tinggi mempunyai kecepatan tumbuh klekap lebih tinggi, sehingga akan menguntungkan untuk kegiatan budidaya baik ikan maupun udang dengan sistem tradisional.

Derajat keasaman (pH) sedimen tambak udang Desa Jayamukti tergolong sedikit alkalis yaitu 7,9±0,35. Penentuan kelas pH didasarkan pada kemampuan untuk mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam tanah. Pada kisaran pH 6,5-7,5 unsur hara tersedia dalam jumlah yang cukup banyak (optimal), karena bakteri yang bertindak sebagai dekomposer, juga mampu hidup optimal pada kisaran pH tersebut. Pada pH kurang dari 6,0 maka ketersediaan unsur hara (fosfor, kalium, belerang, kalsium, magnesium) menurun dengan cepat, sedangkan pH tanah lebih besar dari 8,0 akan menyebabkan unsur-unsur nitrogen, besi, mangan, borium, tembaga dan seng ketersediaannya relatif jadi sedikit (Sarief 1985 dalam A`in 2009).

Variabel C-organik diketahui melalui konversi dari rumusan bahan organik total atau total organic matter (Sudjadi et al.1997). Kandungan C-organik dalam tanah merupakan representasi dari bahan organik tanah hasil perombakan dan penyusunan yang dilakukan jasad renik tanah. Senyawa karbon merupakan sumber energi dan penyusun jaringan padat pada tumbuhan hijau baik tingkat


(38)

tinggi maupun rendah (fitoplankton) sehingga penting diketahui untuk bahan pertimbangan kesesuaian lahan. Hasil analisis kualitas tanah menunjukkan kandungan C-organik pada sedimen tambak udang di Desa Jayamukti tergolong rendah yaitu 1,45±0,44% (inlet 1,37±0,29%, tengah 1,76±0,24%, dan outlet

1,2±0,18%), sedangkan standar kandungan C-organik pada sedimen tambak untuk budidaya udang adalah 3-5% (BSN 2009). Kandungan karbon organik pada ekosistem tertutup, seperti sedimen tambak udang Desa Jayamukti dan danau (Hong et al. 2008) relatif lebih tinggi dibandingkan pada ekosistem terbuka, seperti laut dan sungai (Hong et al. 2010). Hal ini dikarenakan, akumulasi bahan organik yang sangat dipengaruhi oleh jumlah materi organik yang masuk (sisa pakan dan aktivitas metabolisme udang), laju pengendapan pada sedimen, dan kecepatan degradasi bahan organik (Killops & Killops 1993). Adanya perbedaan karakteristik substrat dan jumlah bahan organik diduga akan berdampak pada kinerja SMFC yang ada (Chadhuri & Lovley 2003).

Aspek penting lain keberhasilan budidaya sistem tradisional adalah ketersediaan pakan alami. Jumlah pakan alami ini tidak terlepas dari sediaan nutrien dasar. Nitrogen dan fosfor bersama dengan karbon dan hidrogen, diakui sebagai unsur pokok terpenting bagi makhluk hidup, diantaranya untuk perkembangan protoplasma sel sehingga unsur-unsur ini disebut sebagai “famous nutrient”. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), kandungan nitrogen dalam tanah sangat bervariasi bergantung pada pengelolaan dan penggunaan lahan tersebut. Hasil analisis kualitas tanah menunjukkan kandungan N total pada sedimen tambak udang Desa Jayamukti tergolong rendah yaitu 0,11±0,03% (inlet

0,12±0,24%, tengah 0,13±0,02%, outlet 0,09±1,7%), sedangkan standar optimum kandungan N total pada sedimen tambak untuk budidaya udang adalah 0,40-0,75% (BSN 2009).

C/N rasio merupakan suatu cara mudah untuk mengetahui laju proses dekomposisi. Ada 2 (dua) tahap dalam usaha budidaya, dimana laju proses dekomposisi sangat berpengaruh penting dalam menjamin kualitas tanah sebagai media budidaya. Pertama yaitu persiapan pengolahan lahan/tanah dan kedua pasca pemanenan, tanah yang telah digunakan untuk proses produksi banyak mengandung sisa metabolisme, pakan maupun pupuk sehingga perlu


(39)

dikembalikan kualitasnya. Kelas C/N ratio dikelompokkan dengan pertimbangan pengaruh C/N ratio terhadap status bahan organik (Foth 1979 dalam A`in 2009). Berdasarkan perhitungan hasil analisis terhadap kandungan karbon dan nitrogen diperoleh perbandingan antara persentase karbon terhadap nitrogen (C/N ratio) pada sedimen tambak di Desa Jayamukti sebesar 13 (inlet 12, tengah 13 dan outlet

13). Nilai C/N ratio tersebut lebih kecil dari 15 sehingga menunjukkan terjadinya mineralisasi N. Pengertian mineralisasi N adalah proses perubahan N-organik menjadi N-anorganik oleh mikroba dekomposer. Apabila rasio C/N lebih besar dari 30 berarti terjadi immobilisasi N, dan jika berada diantara 15–30 berarti mineralisasi seimbang dengan immobilisasi. Proses mineralisasi dan immobilisasi N dalam tanah sangat ditentukan oleh aktivitas mikroorganisme tanah, baik jamur, bakteri, dan sebagainya (Foth 1979 dalam Arshad & Coen 1992).

Fosfat merupakan unsur hara yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme plankton. Oleh sebab itulah, kandungan fosfat dalam tanah amat diperhatikan untuk evaluasi kesesuaian lahan. Pada fiksasi fosfor, beberapa jenis fosfor termasuk diantaranya adalah fosfat tanah diikat dan dilepaskan ke dalam larutan tanah dan berperan dalam kesuburan tanah (Sarief 1985 dalam A`in 2009). Fosfor di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk senyawa, baik persenyawaan an-organik yang terikat dengan mineral-mineral tanah maupun persenyawaan organik yang berhubungan dengan bahan organik tanah. Posfor di dalam tanah senantiasa diikat oleh Fe, Al dan Ca dalam senyawa Fe-P, Al-P dan Ca-P. Hasil analisis menunjukkan kandungan P tersedia pada sedimen tambak udang Desa Jayamukti sebesar 59±35,4 ppm (inlet 96,6±41,42 ppm, tengah 46±7,55 ppm, outlet 35±2 ppm) dan tergolong dalam nilai optimum untuk budidaya udang yaitu 30-60 ppm (BSN 2009).

Salah satu sifat kimia tanah yang memegang peranan dalam penentuan kesuburan adalah kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Kapasitas Tukar Kation suatu tanah dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah menjerap dan mempertukarkan kation. Secara implisit tingkat KTK juga menunjukkan keseimbangan reaksi dalam tanah sehingga semua proses yang terdapat didalamnya dapat berjalan sesuai fungsinya.


(40)

Melalui KTK kemampuan daya jerap unsur hara dari koloid tanah dapat ditentukan dengan mudah. Mengingat peranannya yang besar, maka variabel ini menjadi tolak ukur penilaian kesesuaian lahan untuk lahan pertambakan, kelas KTK ditentukan berdasarkan standar umum dalam persyaratan budidaya tambak. Nilai KTK sangat dipengaruhi oleh reaksi tanah (pH), bahan organik, jumlah dan jenis mineral liat (Notohadiprawiro 2000). Semakin tinggi nilai KTK suatu tanah, semakin tinggi pula kemampuannya untuk menyerap dan melepaskan unsur hara. Kation yang dapat ditukar Ca, Mg, K dan Na dapat memberikan indikasi nilai KTK serta tingkat kesuburan tanah.

Kation yang dapat ditukar Ca, Mg, K dan Na dapat memberikan indikasi nilai KTK serta tingkat kesuburan tanah. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa nilai KTK pada sedimen tambak udang Desa Jayamukti sebesar 23,28±3,60 cmol(+)/kg (inlet 25,38±2,70 cmol(+)/kg, tengah 22,59±3,71 cmol(+)/kg, outlet 21,89±4,56cmol(+)/kg) dan tergolong dalam nilai optimum untuk budidaya udang yaitu > 20 cmol(+)/kg (BSN 2009).

Kation-kation dapat ditukar (Ca, Mg, K dan Na) merupakan kation-kation yang dapat dipertukarkan dan terjerap pada permukaan kompleks jerapan tanah. Semakin tinggi kation dapat ditukar suatu unsure, maka potensi koloid untuk memasok larutan tanah dengan unsur-unsur bersangkutan semakin besar (Bailey

et al. 1986 dalam Shukla et al. 2004b).

Hasil analisis laboratorium terhadap sedimen tambak udang di Desa Jayamukti dibandingkan dengan nilai optimum untuk budidaya tambak udang (pada Tabel 2) menunjukkan bahwa nilai-nilai kation dapat ditukar untuk Ca

tergolong sedang yaitu 8,86±1,3(cmol(+)/kg) (inlet 9,98±0,33cmol(+)/kg, tengah 8,91±1,61cmol(+)/kg, outlet 7,7±0,49cmol(+)/kg); Mg tergolong tinggi yaitu

26,16±4,6 (cmol(+)/kg) (inlet 28±7,09cmol(+)/kg, tengah 28,04±1,79cmol(+)/kg,

outlet 22,44±0,85cmol(+)/kg); K tergolong tinggi yaitu 5,8±16 (cmol(+)/kg) (inlet

6,28±1,33cmol(+)/kg, tengah 6,28±0,29cmol(+)/kg, outlet 4,85±0,33cmol(+)/kg); dan Na tergolong tinggi yaitu 55,15±19 (cmol(+)/kg) (inlet

55,76±25,06cmol(+)/kg, tengah 70,35±12,48cmol(+)/kg, outlet


(41)

Kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman, disamping itu basa-basa umumnya mudah tercuci, sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur. Kejenuhan basa erat hubungannya dengan pH tanah, dimana tanah-tanah dengan pH rendah umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah, sedang tanah-tanah dengan pH yang tinggi mempunyai kejenuhan basa yang tinggi pula. Hubungan pH dengan kejenuhan basa pada pH 5,5 – 6,5 hampir merupakan suatu garis lurus. Tanah-tanah dengan kejenuhan basa rendah, berarti kompleks serapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam, yaitu H+ dan Al+++. Apabila jumlah kation asam terlalu banyak terutama Al+++ dapat merupakan racun bagi tanaman. Keadaan seperti ini terdapat pada tanah-tanah masam (Hardjowigeno 1989 dalam A`in 2009).

4.3 Produksi Arus Listrik pada Sediment Microbial Fuel Cell (SMFC)

Produksi arus listrik oleh SMFC selama 40 hari dengan menggunakan substrat sedimen tambak udang yang dirangkaikan dengan sebuah resistor tetap bernilai 560 Ω ± 5%. Jumlah arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama pengukuran sebesar 15,7 mA/m2 (inlet), 15,7 mA/m2 (tengah), 11,4 mA/m2 (outlet), dan 21,4 mA/m2 (kontrol), menurun drastis pada hari kedua, yaitu sebesar 1,4 mA/m2 (inlet), 2,1 mA/m2 (tengah), 0 mA/m2 (outlet) dan 2,1 mA/m2 (kontrol). Hal ini disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada sedimen tambak udang yang digunakan. Peningkatan jumlah arus listrik setelah hari kedua merupakan hasil dari peningkatan aktivitas dan jumlah mikroorganisme pada sedimen. Produksi arus listrik dan voltase pada penelitian ini mencapai puncak pada hari ke-24 (Gambar 4 dan Gambar 5), yaitu sebesar 161,99 mA/m2 (mA per luas meter persegi permukaan elektroda) dan 0,39 V pada titik pengambilan sampel di tengah tambak. Penurunan jumlah arus listrik menjelang akhir pengukuran disebabkan, bahan organik yang terdapat disekitar anoda telah berkurang. Transfer massa pada pembentukan sedimen menjadi faktor pembatas dalam produksi energi menggunakan SMFC ini (Reimers et al. 2001).


(42)

Gambar 4 Grafik hasil pengukuran kuat arus listrik (curent density) pada inlet ; tengah ; outlet dan kontrol

Gambar 5 Grafik hasil pengukuran tegangan (Voltase) pada inlet ; tengah ; outlet dan kontrol

Produksi listrik yang dihasilkan diduga merupakan hasil kegiatan dari mikroorganisme pada sedimen yang menguraikan bahan organik dan menghasilkan elektron yang dialirkan ke elektroda. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Holmes et al. (2004), yang membuat SMFC menggunakan sedimen yang disterilisasi dengan penambahan formalin 0,5 % dan disterilisasi dengan autoklaf selama 1 jam. Berdasarkan hasil penelitian Holmes et al. (2004), jumlah arus listrik pada kedua sedimen tersebut segera menurun setelah rangkaian SMFC ditutup (Gambar 6).


(43)

Gambar 6 Produksi arus listrik pada sedimen hidup dan sedimen steril yang dilakukan Holmes et al. (2004).

Pola produksi arus listrik pada SMFC tambak udang menunjukkan kesamaan dengan beberapa penelitian serupa, seperti penelitian Hong et al. (2009b) yang menggunakan sedimen sungai sebagai substrat dalam SMFC. Hasil penelitian Hong et al. (2009b) menghasilkan arus maksimal sebesar 29,3 mA/m2 kemudian mengalami penurunan secara bertahap seiring waktu. Perbedaan jumlah arus yang dihasilkan disebabkan oleh jenis air (air laut atau air tawar), jumlah bahan organik yang terkandung dalam sedimen, dan berbagai kondisi operasi lainnya. Kinerja SMFC diduga dapat juga dipengaruhi oleh kecepatan degradasi substrat (dalam penelitian ini sedimen tambak udang), kecepatan transfer elektron oleh bakteri ke anoda, transfer proton dalam larutan (Liu et al. 2005), aktivitas mikroorganisme, dan substrat yang digunakan (Chauduri & Lovley 2003). Selain itu, jenis bahan dan struktur anoda berdampak pada penempelan mikroorganisme, transfer elektron, dan pada beberapa kasus, oksidasi substrat (Watanabe 2008).

Salinitas perairan juga mempengaruhi kinerja SMFC. Hong et al. (2010) yang dalam penelitiannya menggunakan sedimen sungai sebagai substrat SMFC, melaporkan arus listrik maksimal yang dihasilkan sebesar 20,2 mA/m2, sedangkan penelitian Holmes et al. (2004) yang menggunakan sedimen laut sebagai substratnya, menghasilkan arus listrik maksimal sebesar 30 mA/m2. Menurut Lowy et al. (2006), air laut memiliki konduktivitas listrik yang tinggi, yaitu sebesar ∼50,000 S/cm, dibandingkan perairan tawar, yaitu sebesar ∼500 S/cm, sehingga mempengaruhi besarnya arus yang dihasilkan. Selain itu jenis sedimen juga berpengaruh terhadap jenis mikroorganisme dominan yang berperan dalam SMFC. Mikroorganisme sedimen perairan tawar didominasi oleh bakteri dari


(44)

famili Geobacteraceae, sedangkan pada perairan laut oleh bakteri dari famili

Desulfobulbaceae (Holmes et al. 2004).

4.4 Karakteristik Substrat SMFC Tambak Udang Desa Jayamukti

Karakterisasi substrat SMFC dilakukan ketika arus listrik yang dihasilkan mencapai nol. Hasil karakterisasi substrat SMFC yang diperoleh akan dibandingkan dengan hasil karakterisasi sedimen tambak sebelum dipasang SMFC. Hasil karakterisasi substrat SMFC dapat dilihat pada Tabel 3.

Substrat sedimen SMFC tambak udang Desa Jayamukti secara visual mengalami perubahan warna, yaitu dari abu-abu kehitaman menjadi coklat muda (Gambar 7). Warna hitam pada sedimen umumnya mengindikasikan jumlah bahan organik yang meliputi residu tanaman dan humus. Jumlah bahan organik tersebut umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen yang berwarna coklat (Voroney 2007).

(A) (B)

Gambar 7 Perubahan warna sedimen tambak udang Keterangan:

A = Kondisi awal substrat SMFC , warna sedimen kehitaman

B = Kondisi akhir substrat SMFC setelah 40 hari pengukuran warna sedimen berubah menjadi coklat muda


(45)

Tabel 3 Karakteristik substrat SMFC dari sedimen tambak udang Desa Jayamukti dibandingkan dengan data lain sesudah dirangkaikan SMFC

Keterangan :

*Karakteristik substrat SMFC dari sedimen tambak udang (inlet, tengah dan outlet) Desa Jayamukti setelah dirangkaikan dengan SMFC berdasarkan hasil penelitian ini (diuji di Balai Penelitian Tanah, Bogor)

1

Karakteristik sedimen Danau Sihwa, Korea berdasarkan hasil penelitian Hong et al. (2009b)

2

Karakteristik substrat SMFC dari sedimen teluk Laut Jakarta, berdasarkan hasil penelitian Idham (2010).

Parameter Uji Inlet

*

Tengah * Outlet* Rata-rata sebelum Rata-rata

sesudah* Hong et al. (2009b)

1 Idham (2010)2 pH: H

2O KCl DHL (dS/ m) Salinitas (mg/ l)

7,9±0,05 7,6±0 5,46±0,98 2877 7,8±0,1 7,6±0 6,39±1,34 3400 7,7±0,15 7,4±0,23 5,60±1,43 2963 7,9±0,35 7,5±0,14 4,98±1,34 2604±753 7,8±0,13 7,5±0,14 5,8±1,18 3080±671 - - - - 8,15±0,07 7,85±0,07 7,42±1,94 3995±1124 Bahan Organik

(dalam contoh kering 105 °C):

C (%) N (%) C/ N P

2O5 (ppm) KTK (cmol(+)/kg) 1,22±0,15 0,09±0,01 12 44±1,9 19,18±0,59 1,61±0,44 0,12±0,02 13 40,7±4,4 24,47±2,59 1,04±0,03 0,09±0 11 36,3±1,6 20,92±0,54 1,45±0,44 0,11±0,03 13 59±35,4 23,28±3,60 1,29±0,34 0,10±0,02 12 40±4,08 21,53±2,7 4,20 - - - - 1,88±0,40 0,15±0,03 12 88±15,91 17,27±0,51

Ca (cmol(+)/kg) 12,18±1,77 15,04±3,52 11,49±0,15 8,86±1,3 12,91±2,56 - -

Mg (cmol(+)/kg) 20,68±0,96 25,99±2,41 20,20±0,21 26,16±4,6 22,30±3,07 - -

K (cmol(+)/kg) 3,84±0,36 5,17±0,65 3,51±0,12 5,8±1 4,18±0,85 - -


(46)

Jumlah bahan organik pada sedimen mengalami penurunan setelah digunakan sebagai substrat SMFC. Berdasarkan Tabel 2 dan 3, hasil karakterisasi kandungan bahan organik pada sedimen tambak udang mengalami penurunan setelah 40 hari pengukuran yang mengikuti pola produksi arus listrik yang dihasilkan. Kandungan bahan organik sebelum dipasang rangkaian SMFC adalah karbon organik (C)1,45±0,32 %, nitrogen 0,11±0,03% sehingga ratioC/N ialah sebesar 13, kandungan P yang tersedia ialah 59±35,4 ppm. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) dan nilai kation basa ditukar sebelum dipasang rangkaian SMFC sebesar KTK 23,28±3,60 (cmol(+)/kg), Mg 26,16±4,6 (cmol(+)/kg), K 5,8±16 (cmol(+)/kg), dan Na 55,15±19 (cmol(+)/kg). Sedangkan kandungan bahan organik pada sedimen setelah 40 hari pengukuran mengalami penurunan yaitu, karbon organik 1,29±0,34 %, Nitrogen 0,10±0,02 %, sehingga ratio C/N sebesar 12 dan kandungan P yang tersedia 40±4,08 ppm (Gambar 8, 9 dan 10). Nilai kapasitas tukar kation (KTK) setelah 40 hari pengukuran mengalami penurunan menjadi 21,53±2,7 (cmol(+)/kg), dan secara umum nilai kation basa ditukarpun mengalami penurunan yaitu pada Mg 22,30±3,07 (cmol(+)/kg), K 4,18±0,85 (cmol(+)/kg), dan Na 46,48±14 (cmol(+)/kg). Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang mengurai bahan organik dalam sedimen tersebut (Tender et al. 2002).

Gambar 8 Persentase kandungan karbon organik pada sedimen sebelum dan setelah 40 hari pengukuran.

1,45

1,29

1,2 1,25 1,3 1,35 1,4 1,45

k

ar

b

on

or

gan

ik

(

%)

Nilai rata-rata dari tiga titik pengambilan (Inlet, tengah dan outlet)


(47)

Gambar 9 Persentase kandungan nitrogen total pada sedimen sebelum dan setelah 40 hari pengukuran.

Gambar 10 Persentase kandungan fosfat pada sedimen sebelum dan setelah 40 hari pengukuran. 0,11 0,1 0,094 0,096 0,098 0,1 0,102 0,104 0,106 0,108 0,11 N it roge n t ot al ( %)

Nilai Rata-rata dari tiga titik pengambilan (Inlet, tengah dan outlet)

sebelum pengukuran setelah 40 hari pengukuran

59 40 0 10 20 30 40 50 60 F os fat ( %)

Nilai rata-rata dari tiga titik pengambilan sampel (Inlet,

tengah dan outlet)


(1)

Lampiran 3 Pengukuran arus listrik dan tegangan, serta rangkaian SMFC

(a)

(b)

Keterangan:

(a) Pengukuran arus listrik dan tegangan pada SMFC tambak udang.

(b) Rangkaian SMFC yang digunakan.


(2)

Lampiran 4 Data pengukuran arus listrik (mA/m

2

)

Hari ke- Inlet (mA/m2) Tengah (mA/m2) Outlet (mA/m2) Kontrol (mA/m2)

1 15,70 15,70 11,42 21,41

2 1,43 2,14 0,00 2,14

3 18,55 22,12 19,27 9,99

4 26,40 23,55 20,70 4,28

5 25,69 23,55 24,98 50,67

6 35,68 29,26 34,97 66,37

7 43,53 28,54 42,10 44,24

8 39,96 51,38 27,83 54,95

9 31,40 44,96 37,11 57,80

10 32,83 32,11 25,69 58,52

11 36,39 54,24 37,11 51,38

12 27,12 38,54 32,83 47,81

13 36,39 42,82 37,11 64,23

14 34,25 34,97 29,97 28,54

15 29,26 32,83 37,11 46,39

16 28,54 35,68 37,11 82,07

17 37,82 50,67 34,25 91,34

18 23,55 44,24 30,69 79,93

19 37,82 52,81 27,83 89,20

20 34,97 91,34 27,83 97,77

21 20,70 108,47 29,97 97,77

22 44,96 52,09 36,39 95,63

23 62,80 112,04 25,69 114,18

24 51,38 161,99 31,40 132,02

25 29,97 49,95 22,84 90,63

26 32,83 44,25 29,97 112,75

27 29,97 36,40 28,55 94,91

28 26,40 44,96 26,40 105,62

29 70,65 38,54 21,41 47,81

30 27,83 43,53 20,70 56,38

31 26,40 47,10 17,84 97,77

32 29,26 42,82 28,55 90,63

33 22,12 32,11 19,98 151,29

34 18,55 27,12 14,27 57,80

35 21,41 39,25 18,54 26,40

36 14,27 29,97 24,26 62,09

37 18,55 17,13 11,42 73,50

38 11,42 17,84 13,56 51,38

39 3,57 5,00 3,57 10,70


(3)

Lampiran 5 Data pengukuran tegangan (V)

Hari ke- Inlet (V) Tengah (V) Outlet (V) Kontrol (V)

1 0,10 0,14 0,10 0,12

2 0,04 0,07 0,06 0,11

3 0,15 0,16 0,13 0,19

4 0,18 0,15 0,20 0,21

5 0,22 0,18 0,19 0,27

6 0,26 0,20 0,18 0,25

7 0,28 0,19 0,21 0,23

8 0,26 0,25 0,15 0,19

9 0,19 0,24 0,20 0,25

10 0,22 0,26 0,20 0,29

11 0,19 0,22 0,19 0,19

12 0,13 0,24 0,25 0,33

13 0,21 0,30 0,24 0,32

14 0,21 0,31 0,25 0,24

15 0,21 0,27 0,26 0,36

16 0,23 0,35 0,28 0,22

17 0,23 0,32 0,23 0,38

18 0,18 0,37 0,23 0,26

19 0,24 0,31 0,19 0,32

20 0,23 0,38 0,22 0,31

21 0,15 0,32 0,21 0,39

22 0,18 0,30 0,22 0,24

23 0,27 0,29 0,18 0,36

24 0,30 0,39 0,19 0,39

25 0,17 0,39 0,13 0,37

26 0,17 0,27 0,18 0,36

27 0,10 0,19 0,14 0,24

28 0,19 0,28 0,18 0,17

29 0,12 0,33 0,14 0,35

30 0,20 0,29 0,15 0,27

31 0,17 0,30 0,14 0,33

32 0,11 0,24 0,11 0,35

33 0,16 0,31 0,16 0,31

34 0,16 0,26 0,15 0,35

35 0,15 0,30 0,15 0,29

36 0,14 0,16 0,12 0,29

37 0,07 0,05 0,04 0,10

38 0,06 0,07 0,05 0,19

39 0,02 0,02 0,01 0,10


(4)

Lampiran 6 Data hasil pengujian sedimen tambak udang Desa Jayamukti Kecamatan Blanakan di Balai Tanah Bogor (sebelum

dirangkaikan dengan SMFC)


(5)

(6)

Lampiran 8 Contoh perhitungan konversi arus listrik ke

current density

Diameter karbon garfit (anoda) adalah 0,8 cm dengan tinggi 5,8 cm, diketahui

arus listrik yang dihasilkan adalah 0,2527 mA. Karena anoda yang digunakan

berbentuk silinder, maka luas yang digunakan adalah luas silinder.

Diameter = 0,8 cm = 0,008 m, maka jari-jari (r) = 0,004 m.

Tinggi (t) = 5,8 cm = 0,058 m

L

= 2

пr

2

+ 2

пrt

= 2 (3,14) (0,004 m)

2

+ 2 (3,14) (0,004 m) (0,058 m)

= 0,00156 m

2

Current density

= arus listrik

Luas anoda

= 0,2527 mA

0,00156 m

2

= 161,99 mA/m

2