1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan produksi udang dunia dan perkembangan perdagangan udang global selalu diiringi dengan berbagai isu dan permasalahan besar dalam
budidaya. Pencemaran tambak akibat sisa pakan, treatment kimia dan antibiotik, dan perkembangan penyakit, merupakan contoh kasus dalam budidaya udang
yang sering muncul Ahn et al. 2010. Budidaya udang juga disinyalir menimbulkan hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya kualitas tanah,
pemanasan global, pencemaran air, serta kontaminasi sedimen tambak pada lingkungan sekitar Bergheim Asgard 1996.
Jackson et al. 2003 menyampaikan bahwa hampir 90 sumber protein pada perairan tambak berasal dari pelet, dimana 22 dikonversi menjadi
biomassa udang, 7 dimanfaatkan oleh aktifitas mikroorganisme, 14 terakumulasi pada sedimen dan 57 tersuspensi di air tambak. Limbah organik
yang terbuang ini dapat menyebabkan ledakan plankton dan masalah kekurangan oksigen pada perairan, peristiwa ini dikenal sebagai pembusukan di perairan.
Apabila pembusukan tidak berlangsung lancar, maka akan terjadi penumpukan amonia sampai pada konsentrasi yang membahayakan udang dan hewan air
lainnya. Secara umum produksi amonia yang berasal dari ekskresi dan pembusukan kotoran udang dan sisa pakan di tambak udang bervariasi antara
4,5 - 5,5 dari biomassa udang yang diproduksi Chàvez-Crooker dan Obreque-Contreras 2010.
Avnimelech dan Ritvo 2001 menjelaskan bahwa tingkat pemberian pakan yang tinggi tersebut akan mengakibatkan peningkatan hasil-hasil metabolisme
udang dan dekomposisi bahan-bahan organik pada sedimen tambak menjadi sebesar 10.000-200.000 mgkg.
Kemudian Boyd 2000, menyampaikan bahwa oksidasi dari sulfida akan menghasilkan asam sulfat yang dapat menyebabkan
kondisi lingkungan tambak menjadi asam pH 4-5,5, sehingga dapat membahayakan kondisi udang. Selanjutnya Avnimelech dan Rivto 2003
menambahkan bahwa bahan organik yang mengandung nitrogen dapat digunakan oleh bakteri heterotrof melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi, sehingga akan
mengakibatkan berkurangnya oksigen dalam tambak dan menyebabkan meningkatnya
permintaan oksigen
pada sedimen
Sediment Oxygen
DemandSOD dari rata-rata 0,06 g O
2
m
-2
h
-1
menjadi 0,24 g O
2
m
-2
h
-1
dalam 3 minggu. Yuvanatemya 2007 lebih lanjut menyampaikan bahwa tingginya
bahan organik 10-100 mgkg pada air tambak dan 10.000-200.000 mgkg pada sedimen tambak dapat mengakibatkan blooming alga, yang berakibat pada
kematian massal udang secara mendadak. Secara praktis, Lemonnier dan Brizard 2001 menyampaikan bahwa penumpukan bahan organik pada sedimen tambak
telah mengakibatkan penurunan tingkat kelangsungan hidup udang dari 60 menjadi 10.
Bahan organik di dasar akan meningkat seiring dengan masa pemeliharaan udang, karena adanya penambahan hasil ekskresi dan sisa pakan yang tidak
dibuang seluruhnya ke luar tambak. Besarnya limbah yang dibuang dan masuk ke perairan bergantung pada luas tambak yang dioperasikan dan jenis teknik
budidaya yang digunakan serta kemampuan peraiaran melakukan pengenceran melalui arus pasang surut di perairan Chàvez-Crooker dan Obreque-Contreras
2010. Selain itu, pencemaran pada sedimen tambak dapat terjadi karena adanya
residu kimia, seperti antibiotik dan pestisida. Graslund et al. 2003 mencatat bahwa petambak udang di Thailand, rata-rata menggunakan 13 jenis bahan kimia,
4 pestisida dan disinfektan, dan 3 produk untuk peningkatan kualitas tanah dan air tambak. Penggunaan antibiotik ini disinyalir oleh Boyd et al. 2000 akan
mengakibatkan resistensi bakteri patogen dan mengubah komposisi komunitas bakteri pada sedimen tambak, sehingga mengakibatkan perubahan proses
biogeokimia. Selama masa budidaya, bahan organik yang terakumulasi pada sedimen
biasanya diberi perlakuan agar dapat menghilangkan racun dan bahan yang tidak diinginkan. Manajemen tambak yang umum dilakukan adalah dengan cara
pengeringan dan pengapuran kalsifikasi serta penyiponan. Selain itu dikembangkan pula teknik-teknik modern, seperti bioremediasi Thomas et al.
1992, probiotik Wang and Hang 2007, minimal water exchange system Aiyushirota 2009, dan bioflok Kuhn et al. 2010.
Boyd 2000 menyampaikan bahwa pengeringan dasar tambak dilakukan untuk mempercepat degradasi bahan organik, sedangkan pengapuran dilakukan
untuk menetralkan keasaman dan aktivitas mikrobial. Sedangkan bioremediasi secara umum adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan
mikroorganisme jamur, bakteri. Aiyushirota 2009 menyampaikan bahwa pada dasarnya bioremediasi pada tambak digunakan untuk meningkatkan kesuburan
tambak, dan teknologi ini lebih baik jika diterapkan pada tahap persiapan tambak. Sedangkan probiotik dalam sistem budidaya udang merupakan penambahan ke
dalam lingkungan tambak berupa jenis-jenis bakteri non patogenik tidak menyebabkan penyakit yang bertujuan untuk perbaikan mutu tambak. Menurut
Thomas et al. 1992, beberapa spesies bakteri yang dipakai dalam probiotik adalah Bacillus, Pseudomonas, Acinetobacter, Cellulomonas, Rhodoseudomonas,
Nitrosomonas, dan Nitrobacter, yang diduga dapat membantu proses mineralisasi limbah organik. Aplikasi probiotik pada dasar tambak menurut laporan Wang and
Han 2007 dapat mempercepat dekomposisi limbah organik, namun Hariati 2008 menyampaikan bahwa konsep probiotik ini memiliki kelemahan, yaitu:
kemampuan bertahan, kolonisasi, kompetisi nutrien dari bakteri probiotik ini cukup bervariasi untuk masuk ke dalam satu lingkungan ekosistem yang sudah
mengandung beberapa ratus jenis spesies bakteri lainnya. Minimal water exchange system merupakan suatu metode yang digunakan
dalam manajemen penanganan limbah air tambak dengan cara penggantian air yang minimal, terutama di 60 hari pertama masa budidaya. Penggantian air hanya
untuk mengganti penyusutan air karena penguapan dan rembesan di bulan pertama budidaya. Volume penggantian air maksimal 5 per hari. Minimal water
exchange system hanya mampu membuang akumulasi bahan organik yang ada pada perairan tambak, sedangkan bahan organik yang terakumulasi pada sedimen
tetap mengendap dan tidak terbuang, sehingga hal ini dapat membahayakan komoditas budidaya dalam tambak Aiyushirota 2009.
Adapun teknologi lain yang sering digunakan dalam memperbaiki masalah tambak adalah bioflok. Bioflok merupakan teknologi budidaya yang didasarkan
pada prinsip assimilasi nitrogen anorganik ammonia, nitrit dan nitrat oleh komunitas mikroba dalam media budidaya yang kemudian dapat dimanfaatkan
oleh organisme budidaya sebagai sumber makanan Kuhn et al. 2010. Lumpur aktif dapat diibaratkan sebagai „sup mikroba‟ yang terbentuk dari pemberian
aerasi secara terus-menerus pada biomassa tersuspensi dan mikroorganisme pengurai dalam limbah cair. Teknik ini mencoba untuk mengolah limbah
budidaya secara langsung di dalam petak budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio CN dalam tingkat tertentu
Kuhn et al. 2010. Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei mampu menurunkan feeding convertion rate sebesar 20 dan menghasilkan
50 ton udangha dengan panen bertahap Aiyushirota 2009. Aiyushirota 2009 menyampaikan bahwa komposisi mikroorganisme pada bioflok terdiri dari bakteri
70 dan plankton 30. Penggunaan bioflok di Indonesia belum ideal, karena persyaratan lingkungan tambak intensif belum terpenuhi kepadatan tebar yang
baik 80 sampai 120 ekor per m
2
dengan sistem tertutup. Ditambahkan, bahwa bioflok akan lebih efektif pada tambak dengan dasar plastik atau semen, selain itu
air tambak harus selalu berputar. Hal ini menyebabkan dalam aplikasinya, teknologi bioflok harus menggunakan kincir air lebih banyak 1 kincir untuk 30
kg biomassa, sehingga menuntut penggunaan listrik yang lebih besar
.
Biofuel cell secara umum terdiri dari microbial fuel cell MFC dan enzimatik fuel cell Hong et al. 2008. Penggunaan mikroba dalam fuel cell ini
menggantikan fungsi dari enzim, sehingga dihasilkan substrat yang lebih murah Shukla et al. 2004
a
. Sediment microbial fuel cell SMFC merupakan salah satu model dari MFC Hong 2009
a
. Prinsip kerja dari SMFC ini sangat sederhana, yaitu menempatkan dua elektroda yang saling terhubung, yaitu anoda pada
sedimen yang bersifat anaerobik dan katoda pada badan air yang mengandung oksigen terlarut Lovley 2006. Secara mekanisme, SMFC dilakukan dengan
memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada sedimen untuk mendegradasi bahan organik dan menghasilkan elektron yang ditransfer ke anoda kemudian
dialirkan melaui sirkuit eksternal sebelum bereaksi dengan penerima elektron di katoda Chae et al. 2008 Pant et al. 2010.
Kajian pada bidang perikanan, MFC telah dikembangkan sebagai teknologi dalam pengolahan limbah hasil perikanan You 2009 dan mengurangi tingkat
pencemaran lingkungan perairan Oh et al. 2010. Implementasi dalam
pengembangan SMFC pada perairan saat ini adalah telah dicobakan berbagai jenis sedimen, antara lain sedimen estuaria dari dekat Pantai Raritan USA dan sedimen
rawa asin dari Tuckerton USA Reimers et al. 2001, sedimen Danau Ilgam Seoul Hong et al. 2008, sedimen Sungai Gongji Hong et al. 2009
a
, sedimen Danau Sihwa Hong et al. 2009
b
, sedimen laut Teluk Jakarta Idham 2010, sedimen Danau Hussain Sagar Hyderabad dan sedimen Sungai Uppal Hyderabad Mohan
et al. 2009, serta sedimen laut Pelabuhan Boston Holmes et al. 2004. SMFC ini ternyata dapat menurunkan bahan organik yang terkandung dalam sedimen, pada
penelitian Hong et al. 2008 kandungan karbon organik pada sedimen Danau Ilgam Seoul mengalami penurunan setelah dirangkaikan dengan SMFC dari
3,52 menjadi 2,37, sedangkan pada penelitian Hong et al.2009
b
kandungan karbon organik pada sedimen Danau Sihwa Korea mengalami penurunan setelah
dirangkaikan dengan SMFC dari 6,4 menjadi 4,20. Pada penelitian Idham 2010, bahan organik pada sedimen laut Teluk Jakarta mengalami penurunan
setelah dirangkaikan dengan SMFC, masing-masing karbon organik dari 2,19±0,44 menjadi 1,88±0,07, nitrogen total dari 0,19±0,06 menjadi
0,15±0,03, dan fosfor dari 128±4,95 menjadi 88±15,91. Sediment Microbial Fuel Cell SMFC sebagai teknologi baru proses
percepatan penurunan kadar akumulasi bahan organik pada tambak udang belum pernah dikembangkan. Selain itu diharapkan, SMFC dapat dikembangkan pula
untuk menghasilkan energi listrik. Secara teoritis menurut Logan 2008, energi listrik yang dihasilkan dari SMFC, ditimbulkan dari proses degradasi bahan
organik oleh mikroorganisme melalui reaksi katalitik atau melalui mekanisme sistem bioelektrokimia dari mikroorganisme. Oleh karena itu, penelitian untuk
mempelajari fungsionalisasi kualitas sedimen tambak udang dengan menggunakan teknologi SMFC menjadi sangat penting untuk dilakukan.
1.2 Tujuan