11 Spalk bermotif bunga, kartun, atau binatang lucu.
4 14,3
24 85,7
12 Ruangan khusus tindakan. 28
100 13 Papan nama pasien bergambar lucu.
4 14,3
24 85,7
14 Pewangi ruangan untuk menghilangkan bau dan meningkatkan kenyamanan.
28 100
2. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh melalui penelitian, peneliti mencoba menguraikan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
atraumatic care di rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara.
2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Atraumatic Care di
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh utara
a. Faktor Internal
Pengetahuan yang dimiliki manusia bertujuan untuk menjawab masalah- masalah kehidupan yang dialaminya sehari-hari dan digunakan untuk
menawarkan berbagai kemudahan pada manusia. Pengetahuan dalam hal ini diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapainya Notoadmodjo, 2007. Pengetahuan tentang atraumatic care sangat penting dimiliki oleh perawat, karena penerapan
atraumatic care dalam perawatan anak sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak pada proses pertumbuhan dan
perkembangan anak. Serta dengan dimilikinya pengetahuan yang baik tentang atraumatic care akan memudahkan jalannya proses keperawatan
sesuai yang diharapkan Yulianto, 2014. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 8 responden 28,6 memiliki
pengetahuan baik, setengah dari total responden yaitu 17 responden 60,7
Universitas Sumatera Utara
memiliki pengetahuan cukup, dan 3 responden 10,7 memiliki pengetahuan kurang tentang pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit
umum Cut Meutia Aceh Utara. Hal ini diasumsikan bahwa pengetahuan responden tentang atraumatic care tergolong tinggi, karena data
menunjukkan mayoritas responden memiliki pengetahuan cukup dan baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Santoso 2014 bahwa lebih dari setengah
total perawat 67,7 yang bekerja di RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Yogyakarta memiliki pengetahuan yang cukup tentang atraumatic care dan
sisanya 32,3 berpengetahuan baik. Pengetahuan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan,
pengalaman dan sumber informasi Notoadmodjo, 2010. Lebih dari setengah total perawat berpendidikan D III Keperawatan yaitu sebanyak 25 responden
89,3 dan Sarjana Keperawatan sebanyak 3 responden 10,7. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menambah pengetahuan
seseorang, sehingga tingkat pendidikan mendukung pengetahuan yang baik, serta tingkat pendidikan seorang perawat mempengaruhi persepsinya dalam
melakukan tindakan keperawatan Kurniawati, 2009. Hal ini sesuai dengan pendapat Budiman 2013 bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang
diharapkan semakin luas pengetahuannya. Namun, bukan berarti seseorang dengan pendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh pada pendidikan formal, akan tetapi dapat diperoleh juga pada pendidikan nonformal.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini setengah dari total responden memiliki pengalaman bekerja di rumah sakit selama 5-10 tahun yaitu 14 responden 50,0.
Peneliti berasumsi bahwa responden tersebut sudah memiliki cukup pengalaman dan keterampilan dalam melakukan asuhan keperawatan.
Shermer Horn 1986 dalam Nurimi, 2010, menyatakan bahwa terdapat perbedaan dalam menghasilkan produk antara tenaga kerja yang masih baru
atau yang belum berpengalaman dengan yang sudah berpengalaman. Berdasarkan hasil penelitian pengalaman perawat bekerja diruang rawat
inap anak mayoritas responden bekerja selama 5 tahun sebanyak 16 responden 57,1. Pengalaman merupakan aspek terpenting dalam proses
pembelajaran yang dapat berimplikasi positif menambah pengetahuan seseorang terhadap suatu hal Potter Perry, 2009. Sesuai penelitian yang
dilakukan Islam 2010 pengalaman kerja 1-10 tahun dalam keperawatan memiliki tingkat pengetahuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
pengalaman kerja 21-30 tahun. Islam 2010 mengatakan perawat dengan tahun kerja lebih lama memiliki kesempatan lebih rendah meng-update
ilmunya. Namun, hal berbeda diungkapkan oleh Yunie, et al 2007 dalam Utami, 2012 bahwa pengalaman kerja 5 tahun memungkinkan keterampilan
dalam memberikan pelayanan keperawatan belum cukup terlatih, namun diharapkan meski dengan pengalaman 5 tahun perawat dapat menampilkan
hasil kerja yang optimal sebagai aktualisasi diri dalam bekerja. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek Notoadmodjo, 2012. Sikap juga
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu pengorganisasian yang relatif berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi, dan kognitif yang relatif menetap dalam diri individu
dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya Dianto, 2014. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan
pengalaman individu sepanjang perkembangan selama hidupnya. Pada manusia sebagai makhluk sosial, pembentukan sikap tidak terlepas dari
pengaruh interaksi manusia dengan yang lain eksternal. Disamping itu manusia juga makhluk individual, sehingga apa yang datang dari dalam
dirinya internal juga mempengaruhi pembentukan sikapnya Sunaryo, 2004.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap perawat terhadap atraumatic care dalam kategori positif sebanyak 21 responden 75,0. Maka dapat
disimpulkan bahwa sikap perawat tentang intervensi atraumatic care dari prinsip menurunkan dan mencegah dampak perpisahan dari keluarga,
meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak, mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis nyeri, dan
memodifikasi lingkungan fisik adalah positif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dianto 2014 bahwa sebanyak 87,1 perawat
mendukung pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit PKU Muhammadiyah Bantul dan Yogyakarta.
Allport 1954 dalam Notoadmodjo 2010 menyatakan bahwa dalam pembentukan sikap dipengaruhi oleh beberapa komponen penting seperti
pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi. Faktor pengetahuan perawat
Universitas Sumatera Utara
yang mayoritas baik dan cukup menyebabkan positifnya sikap perawat terhadap pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit umum Cut Meutia Aceh
Utara. Selain itu positifnya sikap perawat juga disebabkan karena mayoritas perawat berusia 31-40 tahun sebanyak 21 responden 75,0 yang
digolongkan dalam usia dewasa menengah Potter Perry, 2009. Masa ini dikenal dengan masa yang kreatif dimana individu memiliki kemampuan
mental untuk mempelajari dan menyesuaikan diri pada situasi baru, seperti mengingat hal-hal yang pernah dipelajari, penalaran analogis, berpikir kreatif
dan belum terjadi penurunan daya ingat Hurlock, 1999. Bertambahnya umur seseorang juga dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang
diperoleh serta kemampuan menyikapi suatu hal, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat
suatu pengetahuan akan berkurang Notoadmodjo, 2003. Penelitian Setiawan dan Budiastuti 2012 dalam Dianto, 2014
menjelaskan bahwa usia sebagai salah satu karakteristik pada individu memiliki hubungan yang stimultan dalam melakukan pekerjaannya. Seiring
bertambahnya usia maka kedewasaan seseorang semakin meningkat, kematangan psikologisnya, dan kedewasaaan menyelesaikan pekerjaannya.
Hasil penelitian mayoritas responden berpenghasilan Rp2.500.000- Rp5.000.000 sebanyak 19 responden 67,9. Potter Perry 2009
menyatakan bahwa usia dewasa menengah biasanya seseorang telah mencapai stabilitas ekonomi. Pada usia dewasa menengah ini mereka juga
telah menyelesaikan tugas perkembangan mereka diusia dewasa awal yaitu
Universitas Sumatera Utara
memiliki keluarga, terutama anak Potter Perry, 2009, serta responden pada penelitian ini juga seluruhnya berjenis kelamin wanita 100. Sehingga
mereka akan lebih mudah melakukan adaptasi dan memahami kondisi anak, serta membantu anak beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit dan
pengobatan dengan sikap keibuan mereka. Seluruh responden berjenis kelamin wanita, berdasarkan asumsi peneliti
disebabkan karena dunia keperawatan identik dengan wanita yang lebih dikenal dengan mother instinc. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fahriadi
2008 yang menyatakan bahwa sejarah awal dari profesi keperawatan Florence Nightingale identik dengan pekerjaan yang didasari oleh kasih
sayang dan kelembutan seorang ibu atau wanita. Lingkungan yang penuh kasih sayang dapat membentuk rangsangan dan memberikan dampak besar
untuk penyembuhan anak Hardjadinata, 2009. b.
Faktor Eksternal Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang
mendukung seseorang untuk bertindak berperilaku atau mencapai tujuan yang diinginkan, seperti pengalaman, fasilitas, dan sosiobudaya. Fasilitas
pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan untuk terbentuknya perilaku atau tindakan Notoadmodjo, 2010. Hasil penelitian sebagian besar
perawat menyatakan bahwa fasilitas yang mendukung pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara dalam kategori
tidak lengkap yaitu sebanyak 26 responden 92,9, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Apriani 2014 bahwa keterbatasan fasilitas
Universitas Sumatera Utara
yang mendukung pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi bahkan menghambat perawat dalam
melaksanakan atraumatic care pada anak yang menjalani hospitalisasi di ruang anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga.
Fasilitas atau sarana di rumah sakit sangat diperlukan untuk mewujudkan sikap positif perawat agar menjadi tindakan. Peneliti berasumsi fasilitas juga
memiliki hubungan timbal balik dengan sikap, yaitu sikap dipengaruhi fasilitas dan fasilitas akan mempengaruhi seseorang untuk bersikap, karena
sikap adalah faktor predisposisi seseorang untuk bertindak Azwar, 2007. Sebanyak 26 responden 92,9 menyatakan bahwa tidak tersedia alat-
alat mainan yang sesuai dengan usia anak, kondisi anak, serta prosedur pengobatan dan 85,7 perawat menyatakan bahwa tidak tersedia ruang
khusus untuk bermain anak di ruang anak rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara. Hal ini sesuai dengan penelitian Agustina 2013 bahwa 80
perawat menyatakan bahwa fasilitas yang mendukung pelaksanaan terapi bermain di ruang rawat inap anak RSUD dr Pirngadi Medan tidak lengkap
yaitu 90 perawat menyatakan bahwa tidak terdapat ruang khusus untuk bermain anak dan 66,7 menyatakan bahwa tidak tersedia alat-alat mainan
yang sesuai dengan usia anak, kondisi anak, dan prosedur pengobatan. Meskipun fasilitas alat bermain tidak tersedia, perawat di rumah sakit
umum Cut Meutia Aceh Utara tetap mendukung anak untuk bermain. Dukungan perawat tersebut dibuktikan dengan 53,6 perawat setuju dan
25,0 sangat setuju mengizinkan anak bermain sesuai kondisi anak. Lalu,
Universitas Sumatera Utara
untuk mengatasi situasi tanpa fasilitas yang memadai, 46,4 perawat setuju dan 35,7 sangat setuju menginformasikan kepada orang tua jenis mainan
yang boleh dibawa ke rumah sakit. Serta 50 perawat setuju dan 25 sangat setuju untuk melakukan aktivitas bermain terlebih dahulu sebelum melakukan
tindakan pada anak, misalnya bercerita, menggambar, mendengarkan musik atau menonton video meskipun di rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara
video 92,9 dan gambar 82,1 tentang prosedur yang akan dilakukan tidak tersedia.
Pembentukan sikap salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan Notoadmodjo, 2010. Peneliti berasumsi sikap perawat yang positif tentang
terapi bermain ini disebabkan karena 64,3 perawat mengetahui tentang prinsip permainan pada anak dirumah sakit dan 67,9 perawat mengetahui
bahwa melakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak merupakan tintakan atraumatic care yang sesuai dengan prinsip
mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis nyeri. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk
memperoleh kesenangan atau kepuasan Supartini, 2014. Bermain juga merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
bermain juga merupakan media yang baik untuk belajar. Karena, dengan bermain anak-anak akan berkata-kata berkomunikasi, belajar menyesuaikan
diri dengan lingkungan, mengenal apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak, serta suara Wong, et al., 2009.
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas permainan yang dilakukan perawat dirumah sakit akan memberikan beberapa keuntungan. Pertama, meningkatkan hubungan antara
klien anak dan keluarga dan perawat, karena dengan melaksanakan kegiatan bermain perawat mempunyai kesempatan untuk membina hubungan yang
baik dan menyenangkan dengan anak dan keluarga. Kedua, aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada anak, karena
perawatan di rumah sakit membatasi kemampuan anak untuk mandiri. Ketiga, Permainan memberikan rasa senang dan membantu anak mengekspresikan
perasaaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang, dan nyeri. Keempat, meningkatkan kemampuan anak untuk mempunyai tingkah laku yang positif.
Kelima, memberikan kesempatan pada beberapa anak untuk berkompetisi secara sehat, sehingga menurunkan ketegangan pada anak dan keluarganya
Supartini, 2014. Sebanyak 24 responden 85,7 menyatakan bahwa tidak tersedia spalk
bermotif bunga, kartun, atau binatang lucu di ruang anak rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara. Asuhan keperawatan selama proses hospitalisasi
pada umumnya memerlukan tindakan invasif berupa injeksi maupun pemasangan infus Susilaningrum, et. al., 2013. Pemasangan infus dan
injeksi merupakan prosedur yang ditakuti oleh anak dan menimbulkan nyeri serta stres pada anak, baik fisik maupun psikologis. Anak-anak sering
menuntut tanggung jawab perawat terhadap rasa sakit dan trauma yang mereka rasakan, sehingga hal ini penting untuk perawat menghibur mereka
setelah prosedur yang menyakitkan Subandi, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan spalk bermotif pada anak usia pra sekolah mampu meningkatkan rasa nyaman. Kebutuhan rasa nyaman yang didapatkan
menyebabkan anak bersedia dan kooperatif selama prosedur injeksi intra vena Subandi, 2012. Spalk atau fiksasi selang intra vena IV merupakan alat
yang dirancang untuk melindungi area IV dan digunakan pada bayi dan anak untuk menghindari lepasnya jarum atau kateter dan mengurangi gerak atau
immobilisasi sendi pada pemasangan infus Dalal, et. al., 2009, serta pemasangan spalk dapat mengurangi risiko komplikasi akibat pemasangan
infus Batalha, et. al., 2010. Sebanyak 23 responden 82,1 menyatakan bahwa tidak tersedia obat
anastesi lokal untuk diberikan sebelum injeksi parenteral pada anak di ruang anak rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara. Fasilitas tersebut sesuai
dengan sikap perawat yang tidak setuju 39,3 dan sangat tidak setuju 2,71 untuk memberikan obat anastesi lokal sebelum injeksi parenteral.
Namun, sikap tersebut tidak sejalan dengan pengetahuan mereka yang mayoritas 60,7 mengetahui bahwa pemberian obat anastesi lokal sebagai
salah satu intervensi atraumatic care pada perawatan anak. Peneliti berasumsi bahwa perbedaan tersebut bisa disebabkan karena ketiadaan fasilitas sehingga
mempengaruhi perawat untuk bersikap negatif. Sebanyak 24 responden 85,7 menyatakan bahwa tidak tersedia Papan
nama pasien bergambar lucu, 23 responden 82,1 menyatakan tidak tersedia tirai bergambar bunga atau binatang lucu, dan 15 responden 53,6
menyatakan tidak tersedia hiasan dinding bergambar dunia binatang atau
Universitas Sumatera Utara
fauna di ruang anak rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara. Hal tersebut merupakan lingkungan fisik rumah sakit.
Lingkungan rumah sakit yang dapat menimbulkan trauma pada anak adalah lingkungan fisik rumah sakit, tenaga kesehatan baik dari sikap maupun
pakaiaan putih, alat-alat yang digunakan dan ligkungan sosial antar sesama pasien Supartini, 2014. Jadi ketiadaan fasilitas tersebut dapat meningkatkan
trauma pada anak khususnya trauma psikologis seperti ansietas perpisahan dan ketakutan karena lingkungan rumah sakit yang tidak familiar baginya
Kyle Carman, 2014. Namun, hasil penelitian menunjukkan 23 responden 82,1 menyatakan bahwa dinding di ruang anak rumah sakit umum Cut
Meutia Aceh Utara berwarna cerah atau warna warni, hal ini didukung juga dengan pengetahuan yang baik dari perawat tentang prinsip yang sesuai
dengan penggunaan cat berwarna cerah untuk dinding ruangan yaitu prinsip modifikasi lingkungan fisik. Sehingga, diharapkan dengan tersedianya
fasilitas ini dapat meminimalkan stresor pada anak dari lingkungan fisik rumah sakit.
Selain lingkungan fisik, pakaian tim kesehatan juga merupakan stresor bagi anak yang menjalani hospitalisasi. Sebanyak 22 responden 78,6
menyatakan bahwa tidak tersedia pakaian perawat multi warna nonkonvensional di ruang anak rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara.
Peneliti berasumsi ketiadaan fasilitas ini menjadi hambatan perawat untuk menggunakan pakaian yang multi warna nonkonvensional, sedangkan
berdasarkan hasil penelitian 53,6 perawat mengetahui tentang pentingnya
Universitas Sumatera Utara
menggunakan pakaian yang multi warna nonkonvensional sebagai tindakan atraumatic care khususnya dalam prinsip modifikasi lingkungan fisik untuk
mencegah trauma psikologis bagi anak dan orang tua, karena penggunaan pakaian seragam tim kesehatan yang berwarna putih bisa menjadi stresor bagi
anak Supartini, 2014. Serta penggunaan pakaian multi warna nonkonvensional pada perawat lebih disukai oleh anak-anak dan orang tua
yang anaknya dirawat di rumah sakit. Selain itu, seragam perawat yang berwarna mampu meningkatkan persepsi orang tua tentang keandalan
perawat dimana penggunaan pakaian perawat nonkonvensional dapat berkontribusi untuk meningkatkan hubungan anak dan perawat Festini, et al.,
2008. Sebanyak 28 responden 100 menyatakan bahwa tersedia ruang
khusus tindakan di ruang anak rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara. Tersedianya fasilitas ini didukung dengan sikap perawat yang mayoritas
setuju menggunakan ruang khusus tindakan untuk melakukan intervensi pada anak. Penggunaan ruang khusus tindakan bertujuan untuk mencegah trauma
psikologis kecemasan dan ketakutan pada anak yang dilakukan tindakan dan pada anak lain yang dirawat diruangan tersebut. Karena, berdasarkan
penelitian Maretno 2015 sebagian besar anak yang dilakukan tindakan, misalnya pemasangan infus akan menangis dan menolak tindakan tersebut.
Suara anak tersebut akan memicu peningkatan ansietas dan ketakutan pada anak disekitarnya yang juga mengalami hospitalisasi Kyle Carman, 2014.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga, peneliti berasumsi sangat penting bagi perawat untuk melaksanakan tindakan diruang khusus tindakan.
Hasil penelitian sebanyak 28 responden 100 menyatakan bahwa tersedia pewangi ruangan untuk menghilangkan bau dan meningkatkan
kenyamanan. Sehingga dengan tersedianya pewangi ruangan diharapkan akan mampu menurunkan trauma psikologis pada anak yang dihospitalisasi karena
bau dapat meningkatkan stresor psikologis ansietas dan cemas pada anak yang dirawat Kyle Carman, 2014.
Peneliti berasumsi bahwa dukungan dari pihak rumah sakit sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang pelaksanaan
atraumatic care dengan memberikan kesempatan bahkan memfasilitasi perawat untuk mengikuti seminar atau pelatihan terkait perawatan anak. Serta
pihak rumah sakit diharapkan dapat menyediakan fasilitas yang memadai sehingga penerapan atraumatic care bisa dilakukan dengan maksimal, umtuk
meningkatkan derajat kesehatan anak. Dalam penelitian ini peneliti merasakan adanya keterbatasan karena tidak dapat menemukan instrumen
baku dari peneliti-peneliti sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara, maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktor internal yaitu pengetahuan responden tentang atraumatic care dalam kategori cukup sebanyak
17 responden 60,7 dan sikap responden terhadap atraumatic care dalam kategori positif sebanyak 21 responden 75,0.Sedangkan faktor eksternal yaitu
fasilitas yang mendukung pelaksanaan atraumatic care sebanyak 26 responden 92,9 menyatakan dalam kategori tidak lengkap.
2. Saran
2.1 Bagi Manajemen Rumah Sakit