Tinjauan Tentang Pasal 78 Ayat 15 Undang-Undang Kehutanan .

BAB II KAJIAN TEORI

1. Kerangka Teori

Kerangka teoritis yang lazim dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dapat pula diterapkan dalam penelitian hukum sosiologis empiris, itupun harus dilengkapi dengan kerangka teoritis yang didasarkan pada kerangka acuan hukum Setiono, 2005 : 11. Untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya dalam penelitian ini akan dibahas mengenai :

A. Tinjauan Tentang Pasal 78 Ayat 15 Undang-Undang Kehutanan .

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai modal pembangunan nasional, hutan memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Penguasaan hutan oleh negara secara jelas tersebut dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: “Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, Pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat“ Penjelasan Umum Undang-undang Kehutanan Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas. Namun demikian dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat. Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan. Selanjutnya dalam undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan. Dengan sanksi pidana dan administrasi yang besar diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Salah satu aturan dari sekian banyak pasal yang diharapkan dapat menimbulkan efek jera dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah Ketentuan Pidana dalam Pasal 78 ayat 15 yaitu : “ Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. Mencermati Pasal 78 ayat 15 diatas telah secara tegas menentukan bahwa “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat- alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara “ . Tujuan dari pasal tersebut tidak lain adalah untuk memberikan efek jera kepada pelanggar illegal loging . Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mempunyai sejumlah kemajuan dibanding dengan Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, yaitu dalam hal diakuinya gugatan perwakilan, penyelesaian di luar persidangan, relative berkurangnya orientasi ekonomi, dirumuskannya pengurusan hutan sebagai bagian dari kerangka beribadah, serta perlunya diubah praktek pengelolaan hutan yang berorientasi kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan masyarakat, menjadi pengelolaan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Namun dibalik kemajuan seperti terurai diatas terdapat pula kelemahan- kelemahan yang menurut Tim Kajian beberapa aktivis dan penelitian dari Lembaga Studi Advokasi Masyarakat ELSAM Jakarta. Lembaga Riset Advokasi LRA Padang, dan Yayasan Bantuan Hukum YBH Bantaya Palu dalam Legal Opinion Critical Legal Analysis terhadap UU Kehutanan Nomor 41 1999 yang meninjau dari aspek materiil dan formil dari Undang-undang tersebut mencatat beberapa kekurangan dalam Wacana Gerakan Study Hukum Kritis sebagai berikut - Pertama, UUK Undang-undang Kehutanan telah gagal membuat rumusan yang solit terhadap dua hal yakni rumusan alasan kehadirannya menggantikan UU No. 5 1967. UUK tidak melakukan kritik atau koreksi paradigmatik terhdap UUK. Karena itu, UUK kemudian juga gagal merumuskan misi idiologis-politiknya. - Kedua, berbeda dengan UUPA dan UU No. 51967 , UUK telah distorsi pengertian Negara menjadi hanya pemerintah. - Ketiga, UUK tidak melakukan perubahan fundamental terhadap ketentuan yang mengatur masyarakat adat. - Keempat, UUK berkontradiksi dengan sejumlah peraturan perundangan positif nasional dan dengan beberapa instrument hukum internasional. Baik ketentuan mengenai hak-hak dasar masyarakat adat. kewenangan pemerintah daerah dan tata ruang. - Kelima dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan urusan kehutanan, peran Negara cq. Pemerintah masih terlihat sangat dominant. Peran masyarakat sebatas sebagai tambahan atau pelengkap saja. - Keenam, dari segi penggunaan istilah dan struktur kalimat, UUK menyimpan sejumlah kelemahan mendasar sehingga akhirnya mengaburkan bahkan menghilangkan topic sentralnya. - Ketujuh proses mempersiapkan rancangannya juga tidak memenuhi beberapa hal yang dipersyaratkan oleh Keppres No. 1881998 mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Undang-undang. Gerakan Studi Hukum Kritis, 2000 : 101

B. Kebijakan dan Kebijakan Publik