karena adanya penyakit kopi dan frost di Brazil, produksi kopi Brazil menurun drastis sehingga harga melonjak tajam. Menghadapi situasi
tersebut, ICO tidak memberlakukan sistem kuota sejak Oktober 1972. Ekspor kopi Indonesia melonjak mencapai sekitar 130 ribu ton per tahun.
Pada akhir 1970-an, ekspor Indonesia bahkan mencapai sekitar 200 ribu ton.
Pada Periode 1980 - 1985, harga kopi melemah sebagai akibat kelebihan produksi dan resesi ekonomi. ICO kembali melakukan sistem
kuota. Jatah kuota ekspor Indonesia adalah sekitar 183 500 ton. Untuk itu, Indonesia kembali berusaha untuk memanfaatkan pasar-pasar di negara
non-kuota. Pada tahun 1986, kembali terjadi kekeringan di Brazil sehingga harga kopi melonjak tajam. ICO tidak bisa lagi mempertahankan mekanisme
kuota sehingga pasar kopi kembali dibebaskan. Masa bebas kuota ini berlangsung sampai dengan tahun 1990.
Dengan keberhasilan Putaran Uruguay, pasar kopi domestik diperkirakan mengalami persaingan yang semakin tajam. Seperti tercantum
pada komitmen Indonesia mengenai kopi, maka Indonesia harus menurunkan tarif impor, termasuk tarif impor kopi. Untuk kopi biji, tarif impor
harus diturunkan dari 100 menjadi 40-50, tergantung dari jenis kopi dan tingkat pengolahannya. Pemberlakuan tarif tersebut tentunya akan
memperlemah daya saing kopi Indonesia di pasar domestik.
2.2. Tanaman Kopi Arabika
Pada mulanya tanaman kopi belum dibudidayakan secara sempurna oleh penduduk, melainkan masih tumbuh liar di hutan-hutan dataran tinggi. Minuman
kopi sangat digemari oleh bangsa Ethiopia karena berkhasiat menyegarkan badan. Oleh karena itu ketika mereka mengembara ke wilayah-wilayah lain, buah
kopi juga terbawa dan tersebar kemana-mana. Mula-mula penyebarannya ke berbagai wilayah cukup lambat karena minuman kopi pada waktu itu hanya
dikenal sebagai minuman berkhasiat menyegarkan badan yang terbuat dari cairan daun dan buah segar yang diseduh dengan air panas. Namun semenjak
ditemukan cara-cara pengolahan buah kopi yang lebih baik, ternyata minuman kopi menjadi minuman yang di samping berkhasiat juga mempunyai aroma
harum khas dan rasanya nikmat akhirnya kopi arabika menjadi terkenal sehingga tersebar ke berbagai negara di Timur Tengah seperti Yaman, Turki, Ottoman,
Syria, Eropa, Asia dan Amerika sebagai komoditi perdagangan Najiyati dan Danarti,
1995. Di Indonesia, tanaman kopi diperkenalkan pertama kali oleh VOC pada
tahun 1696. Penanaman tanaman ini mula-mula hanya bersifat coba-coba penelitian, tetapi karena hasilnya memuaskan dan dipandang oleh VOC cukup
menguntungkan sebagai komoditi perdagangan, maka VOC menyebarkan bibit kopi ke berbagai daerah-daerah pegunungan agar penduduk menanamnya,
kemudian VOC mengeluarkan peraturan “CuItuur Stesel” yang intinya memaksakan sebagian penduduk khususnya di Jawa untuk menanam kopi.
Perkebunan besarpun lalu didirikan dan akhirnya tanaman kopi menyebar ke daerah Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan
berbagai daerah lain di Indonesia AEKI, 2001. Pada perkembangan selanjutnya, perluasan tanaman kopi arabika
meningkat terutama pada perkebunan rakyat. Wilayah Sulawesi Selatan
sendiri pada awalnya mengenal dua macam kopi yaitu kopi robusta dan kopi arabika. Bibit kopi arabika di bawah oleh Bangsa Belanda kira-kira seratus tahun
laIu abad ke 19, pertama kali ditanam di Kabupaten Enrekang sekitar 30 Km dari Kalosi, kemudian tanaman tersebut menyebar ke wilayah Kabupaten Tanah
Toraja dan Mamasa.
Menurut Mawardi dan Hulupi 1998 kopi arabika dapat tumbuh dan berproduksi pada ketinggian 700 – 1 000 meter di atas permukaan laut. Lahan-
lahan dengan ketinggian tersebut umumnya ditemukan di daerah-daerah pegunungan wilayah MADUTORA. Pertama kali Belanda menanam bibit kopi
arabika bersama petani rakyat di daerah Gunung Sambua yang terIetak di Kabupaten Enrekang Gunung Sambua terIetak di Kabupaten Enrekang. Pada
tahun 1920 lambat laun perkebunan kopi arabika mulai hilang menjadi hutan belukar. Pada tahun 1945 petani rakyat mengelola kembali lahan-lahan kopi
arabika di daerah-daerah pegunungan untuk produksi. Pada tahun 1976 pemerintah Indonesia membuka kembali perkebunan kopi arabika dengan
menunjuk PT. Sulotco untuk menangani sekaligus menghidupkan kembali cita rasa kopi khas Kalosi, sehingga kopi arabika pertama kali dikenal dengan nama
“Kopi Kalosi Arabika” AEKI,2001. Selain di daerah Gunung Sambua, kopi arabika juga dikembangkan di
sekitar Gunung Pararang yang terletak di Kecamatan Pana dan Mambi Kabupaten Mamasa. Sedangkan di Tana Toraja kopi arabika dikenal sejak masa
penjajahan Belanda dimana bangsa Belanda sendiri yang menanam bibit kopi tersebut di daerah-daerah pegunungan Pararang sekitar daerah Bittuang dan
Panggala Kecamatan Rinding Allo. Kemudian dikembangkan oleh masyarakat melalui budidaya tradisional. Kebiasaan masyarakat di sekitar pegunungan
menanam kopi arabika untuk konsumsi sendiri terutama untuk diminum pada pertemuan-pertemuan adat dan pesta-pesta adat dalam acara sakral.
Disamping wilayah sekitar Gunung Sambua dan Gunung Pararang, ditemukan juga lahan-lahan yang potensial untuk tanaman kopi arabika dan
merupakan mata pencaharian masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah pegunungan dan mempunyai kebudayaan yang berbeda pula. Kabupaten Tana
Toraja merupakan obyek wisata yang sangat menarik, mempunyai panorama
alam yang sangat indah dengan budaya yang sangat unik dan hasil kerajinan yang menarik membuat turis mancanegara senang berkunjung ke daerah lama
Toraja terutama bila diadakan acara sakral atau pesta adat Dinas Perkebunan Tator, 2002.
Kecamatan Rinding Allo terdapat obyek wisata yang sangat menarik di daerah pegunungan terdapat beberapa villa, disekitar villa dikelilingi tanaman
kopi arabika yang sangat subur, sehingga wisatawan mancanegara sangat tertarik dengan daerah yang bernama Batutumonga. Di Batutumonga itulah turis
Mancanegara menyaksikan tanaman kopi sejak berproduksi sampai pengolahan menjadi bubuk yang diolah secara tradisionil. Akhirnya lama kelamaan turis
mancanegara tidak mengenal lagi Kopi Kalosi Arabika akan tetapi yang dikenal adalah “Kopi Toraja Arabika”.
2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA