Perilaku Pasar Kopi Arabika

modern dan mampu menyediakan produk secara kontinu sesuai dengan persyaratan jumlah dan mutu yang telah ditetapkan agar terhindar dari resiko kerugian.

7.3. Perilaku Pasar Kopi Arabika

Perilaku pasar kopi arabika dari masing-masing lembaga pemasaran yang ada di lokasi penelitian akan dilihat dengan tiga indikator utama, yaitu: praktek pembelian dan penjualan, proses penentuan harga serta praktek-praktek dalam menjalankan fungsi pemasaran.

7.3.1. Praktek Pembelian dan Penjualan

Pemasaran kopi arabika dari tingkat petani sampai ke eksportir dan konsumen akhir melibatkan berbagai pihak, terutama para pedagang pengumpul desa, kecamatan, kabupaten. Kondisi ini mengakibatkan harga yang berlaku di pasaran tidak secara langsung dapat diterima oleh petani. Kecenderungan yang dapat diamati dari proses pemasaran kopi arabika adalah hampir dapat dipastikan petani akan menjual kopi kepada pedagang perantara yang sama. Begitu juga dengan pedagang-pedagang yang berada di tingkat lebih atas. Bagi petani, kecenderungan ini terjadi karena adanya perjanjian yang tidak tertulis dengan para pedagang untuk menjual hasil produksinya. Hal ini terjadi karena hampir sebagian besar dari modal usahataninya berupa pinjaman dari para pedagang tersebut, sehingga mereka tidak memiliki alternatif lain untuk memasarkan produk yang dihasilkan. Bila petani tidak memiliki ikatan pinjaman dengan pedagang pengumpul, maka mereka memiliki cukup keleluasaan untuk menjual hasil produksinya ke pedagang-pedagang pengumpul yang ada. Tentu pilihan akan dijatuhkan kepada pedagang pengumpul yang memberikan harga beli yang lebih tinggi. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa sedikit sekali petani yang mampu melakukan pola penjualan seperti ini. Dengan perkataan lain, ruang gerak petani dalam pemasaran kopi arabika ini sangat terbatas, hampir tidak memberikan pilihan lain karena ikatan yang sudah ada tersebut. Walaupun lembaga perbankan pemerintah dan swasta ada yang beroperasi di wilayah penelitian, secara umum petani kopi arabika belum memanfaatkan kredit yang tersedia di lembaga perbankan seperti BRI Bank Rakyat Indonesia atau BPR Bank Perkreditan Rakyat dalam mengembangkan usahataninya. Pemanfaatan kredit pedesaan dengan tujuan untuk mengembangkan usahatani kopi arabika rakyat masih terbatas pada petani yang memiliki aset produksi dan dan skala ekonomi yang relatif besar. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kendala yang dihadapi adalah kurangnya informasi tentang skim kredit bagi petani. Kendala lainnya adalah belum adanya pemahaman yang komprehensif tentang kondisi sosial ekonomi petani kopi arabika oleh lembaga perbankan sebagai pihak pemberi kredit. Salah satu penyebab rendahnya minat petani untuk memanfaatkan lembaga perkreditan formal adalah sulitnya persyaratan administrasi yang ditetapkan. Misalnya perlunya menyerahkan sertifikat tanah untuk dijadikan agunan atas kredit yang akan diambil. Disamping itu, petani juga belum terbiasa berhutang diluar kebiasaan mereka. Petani lebih memilih untuk memanfaatkan lembaga perkreditan tradisional yang ada di desa karena persyaratan yang diajukan lebih mudah dan fleksibel. Lembaga perkreditan tradisional ini pada umumnya dijalankan oleh para pedagang pengumpul dengan sistim peminjaman modal lebih bersifat kekeluargaan. Dalam proses pengembalian kredit, sistim peminjaman yang dilakukan hampir sama dengan sistem ijon sebagaimana banyak dilakukan oleh petani di Pulau Jawa. Peran lembaga perkreditan tradisional umumnya hanya terbatas pada pembiayaan kegiatan usahatani. Penggunaan modal pinjaman digunakan untuk membantu kegiatan-kegiatan seperti pemupukan, pembelian asset pertanian, perluasan usahatani. Kadang-kadang juga digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya seperti untuk biaya pendidikan anak, hajatan dan pembelian asset rumah tangga. Pemberian kredit tidak disertai dengan pemberian informasi atau pengarahan kegiatan usahatani yang lebih menguntungkan. Fungsi lembaga perkreditan tradisional untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani terhadap pengelolaan usahatani kopi arabika belum optimal. Bahkan boleh dikatakan tidak ada, hal ini karena memang bukan tujuan dan orientasi utama dari pihak pemberi kredit. Tujuan, orientasi dan motivasi utamanya adalah untuk mengikat petani agar selalu menjual kopi yang dihasilkan kepada mereka. Demikian juga dengan pedagang-pedagang lain yang ada di strata lebih atas. Secara umum ditemukan hubungan kerja dalam bentuk pemberian pinjaman modal usaha oleh lembaga yang ada di atasnya kepada pedagang- pedagang di bawahnya. Bahkan jalur hubungan kerja antara eksportir, pedagang besar, pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan pedagang pengumpul tingkat desa, sudah menjadi jaringan pemasaran yang cukup mapan walaupun tidak diikat dengan perjanjian kerja yang sifatnya tertulis. Ditinjau dari sudut pemasaran, strategi ini sengaja dikembangkan oleh lembaga-lemabaga pemasaran tersebut dengan tujuan untuk mengamankan stabilitas pasar, baik dalam hal stabilitas harga maupun kontinyuitas pasokan barang. Dengan adanya jalinan kerja sebagaimana telah disebutkan, maka stabilitas pasar tersebut akan dicapai dan cenderung dipertahankan. Kondisi seperti inilah yang mendasari sulitnya bagi pelaku pasar baru yang ingin masuk ke dalam pemasaran kopi arabika.

7.3.2. Praktek atau Mekanisme Penentuan Harga

Mekanisme penentuan harga dalam suatu pemasaran produk merupakan salah satu indikator penting dari perilaku pasar karena akan bermuara kepada besarnya pendapatan yang akan diterima oleh para pelaku pasar. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses mekanisme penentuan harga, antara lain adalah tingkat kompetisi antar pelaku pasar yang ada, regulasi atau aturan dari pemerintah serta preferensi dari para pembeli atau konsumen. Permasalahan paling umum yang dihadapi oleh petani kopi arabika adalah ketidakberdayaan mereka dalam melakukan negosiasi harga produk yang akan dijual. Sistem agribisnis yang ada telah terpola dengan struktur jaringan pemasaran yang cenderung merugikan petani. Ketidakberdayaan petani terhadap akses pasar produk yang dihasilkan telah menyebabkan posisi semakin sulit dalam menerima berbagai ketentuan yang ditawarkan pasar. Berdasarkan fenomena yang ada, salah satu komponen utama penentu harga jual kopi arabika dari petani sampai ke pedagang pengumpul adalah persentase kadar air. Semakin tinggi persentase kadar air produk yang dihasilkan, maka harga yang diterima petani akan semakin rendah. Sementara itu sifat pengelolaan usahataninya yang nasih tradisional akan menyebabkan mutu produk yang dihasilkan selalu berada dibawah standar kualitas yang diinginkan dan ditetapkan pasar. Kelemahan ini seringkali dijadikan dasar bagi pedagang pengumpul untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Disamping itu, panjangnya rantai pemasaran yang harus dilalui telah menjadi masalah tersendiri sehingga mengakibatkan inefisiensi usaha sebagai implikasi. Kopi arabika merupakan komoditi yang diperdagangkan secara luas, baik di tingkat domestik maupun di pasar internasional. Dengan demikian, setiap gejolak yang terjadi pada kedua pasar tersebut akan langsung berpengaruh terhadap pembentukan harga kopi arabika. Akan tetapi, fenomena yang selalu terjadi adalah ketidakmampuan petani untuk dapat mengakses setiap perubahan yang terjadi. Dengan perkataan lain, harga kopi arabika yang ada di daerah penelitian selalu ditentukan oleh informasi yang dimiliki oleh para pedagang. Perkembangan harga kopi arabika tidak pernah mampu diakses oleh petani, kecuali hanya berdasarkan informasi yang diberikan oleh pedagang-pedagang tersebut. Sebagai komoditi ekspor, maka informasi tentang perkembangan harga kopi arabika selalu dikuasai oleh para eksportir sebagai pihak pertama penerima informasi. Informasi tersebut lalu disampaikan secara berjenjang ke pedagang besar dan pedagang-pedagang pengumpul yang ada di bawahnya. Artinya, harga beli yang ditetapkan oleh pedagang besar kepada pedagang pengumpul tingkat kecamatan, selalu mengacu kepada besarnya harga beli oleh pihak eksportir kepada pedagang besar tersebut. Demikian juga harga beli yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul tingkat kecamatan kepada pedagang pengumpul tingkat desa, akan selalu mengacu kepada harga beli pedagang besar kepada mereka. Sehingga petani hanya berfungsi menjadi penerima harga dari lembaga-lembaga pemasaran yang berada di atasnya. Kondisi inilah yang menempatkan petani berada pada pihak sangat lemah dalam proses pemasaran kopi arabika. Ketidakmampuan menentukan harga jual produk yang dihasilkan akibat tidak adanya akses terhadap informasi perkembangan harga, telah menempatkan petani pada posisi yang tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar. Fakta ini sejalan dengan fenomena yang dikemukakan Syahyuti 1998, bahwa pedagang merasa lebih berhak untuk menjadi penilai barang dibandingkan dengan petani. Terkadang informasi tersebut dimanipulasi sedemikian rupa dengan tujuan untuk mendapatkan posisi sebagai otoritas penentu harga produk. Faktor lain yang dapat mempengaruhi mekanisme penentuan harga adalah regulasi atau aturan yang ditetapkan oleh pemerintah selaku regulator. Peraturan pemerintah menjadi faktor penentu yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku pasar untuk mentaatinya. Akan tetapi untuk komoditi kopi arabika, pemerintah belum memiliki peraturan yang menetapkan mekanisme pembentukan harga sebagaimana yang sudah diberlalukan untuk komoditi beras Sudaryanto dan Kasryno, 1999 atau beberapa jenis minyak nabati Suryana, 1999. Dengan demikian, perkembangan harga kopi arabika hanya ditentukan oleh kekuatan petani selaku produsen dengan konsumen di pasar.

7.3.3. Praktek dalam Menjalankan Fungsi-Fungsi Pemasaran

Praktek-praktek dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani dan lembaga-lembaga pemasaran lainnya yang diamati dalam penelitian ini adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran terdiri atas kegiatan penjualan dan pembelian, dilakukan oleh semua pedagang kecuali petani yang hanya melakukan kegiatan penjualan. Transaksi penjualan antara petani dengan pedagang pengumpul tingkat desa dilakukan secara langsung karena tiga alasan utama. Pertama, volume produksi yang diperjualbelikan. Minimnya volume produksi yang dihasilkan oleh petani menyebabkan mereka tidak punya pilihan selain menjual kepada pedagang pengumpul yang ada di desanya. Bila mereka bermaksud menjual kepada pedagang lain yang ada di luar desanya, maka resiko transportasi yang harus dipikul menjadi lebih besar dan tidak sepadan dengan jumlah kopi yang dijual. Jauhnya jarak antara tempat tinggal petani dengan pedagang tingkat kecamatan yang umumnya tinggal di ibukota kecamatan, menyebabkan biaya transportasi yang harus dipikul oleh petani menjadi mahal. Sebagai contoh, bagi petani yang tinggal di desa Kendenan, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, dibutuhkan biaya transportasi sebesar Rp 14 000. Kedua, faktor geografi desa tempat tinggal petani. Umumnya daerah- daerah penghasil kopi arabika di Kabupaten toraja dan Enrekang berada pada daerah pegunungan atau dataran tinggi dan akses ke ibukota kecamatan relatif sulit untuk ditempuh. Sebagai contoh, desa Bittuang, Kecamatan Rantetayo, Kabupaten Toraja. Kondisi jalan di desa ini rusak parah dan jika turun hujan menjadi lebih susah lagi untuk dilalui. Satu-satunya alat transportasi yang dapat dipilih oleh petani bila akan mengangkut hasil produksinya adalah tenaga kuda. Dalam kondisi seperti ini, maka menjual hasil produksinya kepada pedagang yang ada di desanya seolah-olah menjadi pilihan tunggal yang tidak dapat dihindari. Ketiga, sulitnya menembus ikatan kerjasama yang sudah terjadi antara pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang besar serta eksportir. Jalinan kerjasama yang sudah ada tersebut tidak memungkinkan bagi petani untuk dapat menjual kopi langsung ke pedagang tingkat kecamatan, apalagi ke pedagang besar dan eksportir. Kondisis ini terutama dijumpai di Kabupaten Toraja. Proses penjualan dilakukan oleh petani setelah panen dan melakukan pengolahan secara tradisional dengan cara langsung mendatangi pedagang pengumpul tingkat desa. Pada waktu-waktu tertentu seperti musim panen raya, kadang pedagang pengumpul yang turun ke petani, walaupun cara ini sangat jarang dijumpai. Sedangkan cara pembayaran yang diterima oleh petani pada umumnya dibedakan menjadi empat bentuk. Pertama, pembayaran secara langsungtunai. Petani langsung menerima pembayaran dari pedagang sesuai dengan volume produksi dan harga jual yang telah disepakati padaa saat transaksi dilakukan. Kedua, pembayaran sistim titip. Petani menerima pembayaran setelah pedagang pengumpul tingkat desa melakukan penjualan kembali kopi yang diterima dari petani ke pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Kesepakatan harga sudah ditentukan terlebih dahulu pada saat petani menitipkan kopi ke pedagang pengumpul tingkat desa. Karena kepercayaan menjadi faktor penting, biasanya petani hanya melakukan cara ini dengan pedagang pengumpul tingkat desa yang sudah memiliki kedekatan hubungan emosional. Adakalanya petani tidak dapat mengambil semua uang hasil penjualannya, terutama jika pedagang pengumpul tingkat desa tidak menerima pembayaran secara penuh dari pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Dalam kasus seperti ini, biasanya petani akan menerima sisa uang hasil penjualan antara satu sampai dua minggu setelah proses transaksi. Ketiga, pembayaran sistim pinjam. Cara ini biasanya dilakukan bila petani sudah melakukan pinjaman barang kebutuhan sehari-hari kepada pedagang pengumpul sebelum transaksi dilakukan. Banyak pedagang pengumpul tingkat desa yang juga merangkap menjadi pedagang kelontong dan menyediakan barang kebutuhan sehari-hari untuk masyarakat desa. Hasil penjualan kopi oleh petani langsung dipotong senilai jumlah pinjaman barang yang telah dilakukan kepada pedagang pengumpul tingkat desa tersebut. Cara pembayaran seperti ini banyak dijumpai di desa Kendenan, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang. Keempat, pembayaran dengan sistim pertukaran barang atau barter. Cara ini biasanya dilakukan jika petani tidak memiliki uang tunai untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari, sedangkan barang tersebut dibutuhkan mendesak oleh petani. Nilai jual kopi petani disetarakan dengan harga barang yang dipertukarkan, tanpa ada pembayaran uang secara tunai. Cara pembayaran seperti ini masih banyak dijumpai di desa Kendenan, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, desa Batutumonga, Kecamatan Sesean dan desa Benteng Ka’do, Kecamatan Rinding Allo, Kabupaten Toraja. Fungsi-fungsi pemasaran lainnya yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran adalah fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi fisik terdiri atas kegiatan-kegiatan pengangkutan, bongkar muat, penimbangan, pengemasan dan penyimpanan. Sedangkan fungsi fasilitas terdiri atas kegiatan- kegiatan sortasi, grading, penanggungan resiko, retribusi pasar dan informasi harga. Secara rinci peran yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran kopi arabika di daerah penelitian, disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Fungsi-Fungsi Pemasaran yang Dilakukan Oleh Masing-Masing Lembaga Pemasaran di Kabupaten Enrekang dan Toraja,Tahun 2005 No Fungsi Pemasaran Petani PP I PP II PB PE 1. Pertukaran a. pembelian b. penjualan - + + + + + + + + + 2. Fungsi Fisik a. pengangkutan b. bongkar muat c. penimbangan d. pengemasan e. penyimpanan + + + - + + + - + + + + - + + + + + + + + + + + 3. Fungsi Fasilitas a. sortasi b. grading c. penanggungan resiko d. retribusi pasar e. informasi harga - - - - - - - - - + + - - - + + + - - + + + + + + Keterangan: + = melakukan fungsi pemasaran - = tidak melakukan fungsi pemasaran Untuk fungsi fisik, hampir semua lembaga pemasaran melakukan kegiatan tersebut kecuali pengemasan yang tidak dilakukan oleh petani, pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Sedangkan pada fungsi fasilitas, kegiatan sortasi tidak dilakukan oleh petani dan pedagang pengumpul tingkat desa. Grading hanya dilakukan oleh pedagang besar dan eksportir, sementara kegiatan penanggungan resiko hanya dilakukan oleh eksportir saja. Sortasi dan grading tidak dilakukan oleh petani karena dua alasan. Pertama, kesalahan persepsi petani bahwa tidak ada perbedaan harga yang dibayarkan oleh pedagang pengumpul tingkat desa terhadap kopi yang sudah disortir. Persepsi ini cenderung dipertahankan oleh pedagang dengan tujuan mendapatkan harga beli yang lebih murah untuk kopi dengan mutu yang lebih baik, paling tidak dari segi kadar air. Kedua, kopi hasil sortiran dengan kadar air dibawah 12 akan mengurangi bobot atau berat timbangan.

7.4. Kinerja Pasar Kopi Arabika