Karakteristik Narasumber PERAN ACARA KARANG TUMARITIS DALAM PELESTARIAN KEBUDAYAAN “Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta

commit to user BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

A. Karakteristik Narasumber

Untuk narasumber yang diambil pada penelitian ini terdiri dari sepuluh orang. Yaitu dari pihak TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta meliputi produser, kepala seksi program, penanggung jawab humas, desain program, pengarah acara, dan dua pembawa acara serta narasumber Karang Tumaritis. Sedangkan untuk pihak terkait yang tidak berasal dari TVRI Stasiun D.I. Yogyakarta yaitu Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya dari Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dan dua orang pemirsa Karang Tumaritis yang melakukan pernah telepon interaktif. Narasumber yang diambil oleh peneliti tersebut telah dipikirkan dan pada akhirnya penulis mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara kepada narasumber tersebut. Dalam studi deskriptif yang dilakukan oleh penulis akan terdapat kutipan-kutipan dari hasil wawancara kepada narasumber. Pemilihan narasumber adalah berdasarkan proses sebelum berangkat pengumpulan data dan proses pada saat di lapangan berlangsung sesuai dengan arahan dari pembimbing di lapangan. Nama-nama di bawah ini merupakan pihak yang paling berkompeten untuk dijadikan sebagai narasumber untuk penelitian tentang Karang Tumaritis ini. Segala pertanyaan yang diajukan sesuai dengan pertanyaan di interview guide lalu kemudian dikembangkan sesuai dengan keadaan di lapangan. Berikut ini adalah daftar narasumber yang telah membantu proses pengumpulan data selama penulis melakukan penelitian : commit to user 1. Bu Iwung Sri Widati, Produser Karang Tumaritis 2. Bapak Maryanta, Kepala Seksi Program 3. Bapak Anang Wiharyanto, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D.I. Yogyakarta 4. Bapak RM. Kristiadi, Desain Program 5. Bu Sari Nainggolan, Pengarah Acara Karang Tumaritis 6. Mas Altiyanto, Pembawa Acara 7. Bu Yati Pesek, Pembawa Acara 8. Bu Widiastuti, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya 9. Bu Anna Amrih Rahayu, Pemirsa Karang Tumaritis 10. Bapak Joko Setiono, Pemirsa Karang Tumaritis 11. Bapak Drs. Sumaryono, MA, Narasumber Karang Tumaritis 12. Bapak Samuel Indratma, Narasumber Karang Tumaritis Sebagai seorang produser Karang Tumaritis, Bu Iwung Sri Widati merupakan orang yang termasuk paling berpengaruh dalam acara tersebut. Karena dari seorang produserlah ide-ide bisa muncul. Namun, tentunya Bu Iwung tidak bekerja sendiri. Ada tim dari Bidang Program dan Pengembangan Usaha TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta yang membantu proses pembuatan Karang Tumaritis. Tim ini terdiri atas Bapak Maryanta Kepala Seksi Program, Bapak Anang Wiharyanto Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, Bapak RM. Kristiadi Desain Program, dan Bu Sari Nainggolan Pengarah Acara Karang Tumaritis. Lalu dari pihak pembawa acara Karang Tumaritis yaitu Mas Altiyanto dan Bu Yati Pesek serta Pak Robet. commit to user Bu Iwung selalu berdiskusi dengan Bapak RM. Kristiadi maupun dengan Bu Sari tentang masalah ide untuk tema Karang Tumaritis. Dari diskusi itulah semakin bisa menggali apa yang ada dari tema yang diajukan oleh produser. Dengan diskusi maka ide-ide tersebut mampu menjadi lebih lengkap dan baik. Kemudian Bapak Maryanta sebagai Kepala Seksi Program juga berperan dalam permasalahan program- program acara, seperti mengalokasikan waktu tayang acara. Selain itu Bapak Anang selaku Penanggung Jawab Humas akan selalu mempunyai waktu untuk melayani siapa saja yang berkepentingan dengan TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Bu Sari adalah pengarah acara atau eksekutor di studio saat acara on air. Karang Tumaritis merupakan acara yang diarahkan oleh beliau. Dalam hal ini Bu Sari adalah pelaksana ketika on air, run down dari produser akan dikerjakan oleh pengarah acara. Dan tanpa adanya Mas Altiyanto dan Bu Yati Pesek, maka Karang Tumaritis tidak akan pernah menarik untuk ditonton. Karena dua pembawa acara ini yang mampu menjadi pembawa acara yang baik bagi Karang Tumaritis. Selain itu pembawa acara Karang Tumaritis harus bisa mengendalikan materi dialog yang sedang ditayangkan. Untuk narasumber dari pihak Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, maka perlu diadakan wawancara karena pada saat minggu terakhir Bulan November 2010 Karang Tumaritis diisi oleh mereka untuk sosialiasasi program dinas. Untuk tambahannya yaitu narasumber lain yang pernah diundang oleh Karang Tumaritis. Dan tentunya pemirsa juga diwawancarai, yaitu dipilih pemirsa yang melakukan telepon interaktif untuk Karang Tumaritis. Jadi, narasumber-narasumber yang dipilih pada penelitian yaitu karena mereka merupakan pihak yang paling baik untuk melengkapi data yang dikumpulkan penulis dalam penelitian ini. commit to user B. Peran Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta Sebagai salah satu acara di stasiun publik yang menyiarkan kebudayaan Jawa, Karang Tumaritis mempunyai peran dalam pelestarian kebudayaan Jawa. Karang Tumaritis memiliki fungsi penting dalam proses pelestarian kebudayaan Jawa di kalangan masyarakat Yogyakarta. Acara ini turut menyumbang demi terjaganya kebudayaan Jawa, yaitu dengan memberikan suguhan acara yang sarat dengan nilai- nilai positif kebudayaan Jawa. Karang Tumaritis mempunyai peran dalam mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa yang nyaris terlindas oleh jaman dan bahkan sering terlupakan oleh masyarakat. Peran Karang Tumaritis dalam mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta terdiri atas lima poin. Poin-poin itu berasal dari tujuan Karang Tumaritis sebagai acara yang mengangkat kebudayaan Jawa dan hasil dari penelitian yang dilakukan. Peran Karang Tumaritis yang diambil dari tujuan acara ini yaitu mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada masyarakat luas, membangun kembali spririt kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa, dan melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa. Kemudian, peran lainnya dari hasil yang dirumuskan oleh penulis setelah mengadakan penelitian yaitu sarana dialog interaktif melalui televisi yang mencerdaskan audien untuk bidang budaya, dan sarana sosialisasi program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Dari hasil analisis yang telah dilakukan setelah penelitian, maka bisa dirumuskan bahwa peran Karang Tumaritis secara lengkap terdiri dari mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada masyarakat luas, membangun kembali spririt kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur commit to user kebudayaan Jawa, melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa, sarana dialog interaktif melalui televisi yang mencerdaskan audien untuk bidang budaya, dan sarana sosialisasi program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Poin-poin tersebut yaitu : 1. Mewartakan Nilai-nilai Luhur yang Terdapat di Dalam Kebudayaan Jawa Kepada Masyarakat Luas Nilai-nilai luhur yang terdapat pada kebudayaan Jawa tidak akan pernah sampai pada masyarakat apalagi untuk anak muda sebagai generasi penerus apabila tidak ada penginformasian. Informasi yang dimaksud yaitu bisa berasal dari sekelompok orang atau organisasi mengkomunikasikan pesan-pesan tentang kebudayaan. Kebudayaan Jawa yang dikemas dalam suatu program acara tentunya dikomunikasikan kepada khalayak. TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta memproduksi Karang Tumaritis sebagai program acara yang tujuannya menginformasikan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Karang Tumaritis sebagai program acara untuk menginformasikan kebudayaan Jawa ini ditayangkan setiap hari Selasa minggu pertama, ketiga, dan kelima bila ada. Jam tayangnya yaitu setiap pukul enam sore WIB. Dalam rangka penginformasian pesannya, TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta memiliki alasannya sendiri tentang waktu penayangan sehingga pemirsa bisa menonton. Hasil wawancara yang didapatkan dari Bapak Maryanta sebagai Kepala Seksi Program, 3 November 2010, adalah sebagai berikut : “Sebenarnya ini hanya masalah teknis saja. Pertama adalah plotting, karena jam di TVRI terbatas, menganut pola siaran terpadu artinya stasiun di daerah diberi waktu tertentu oleh pusat. Karang Tumaritis di sini merupakan usaha kami untuk meneterjemahkan visi misi TVRI. Dan sepenuhnya program kan tidak bisa prime time, jam delapan malam kalau orang mengatakan sebab mereka sudah longgar. Ini hanya masalah prioritas saja. Kedua, masalah skala prioritas tebaran mata acara. Mana yang pantas ditempatkan di jam commit to user delapan. Misalnya Karang Tumaritis dan Musik, dilihat yang sesuai di jam delapan. Musik di sini adalah acara tentang Koesplus, kebetulan kami punya. Dan untuk Karang Tumaritis adalah acara dialog. Kalau jam enam banyak orang sedang shalat atau sedang melakukan apa. Tidak akan pas kalau musik yang jam enam. Kalau bisa kami ingin prime time semua, tetapi tetap ada yang harus “dikalahkan” untuk permasalahan waktunya. Dalam hal ini Karang Tumaritis lebih pantas ditempatkan di jam enam sore. Selain itu sekarang ini prime time relatif bagi setiap orang. Walaupun secara umum prime time jam delapan malam.” Masalah waktu penayangan ini menurut pihak TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta sendiri tidak menjadi masalah. Karena pada dasarnya jam-jam yang ada di sana tidak seperti di televisi lainnya. Apabila telah menjadi kebijakan TVRI pusat, maka TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta pun akan mengikuti. Jika Karang Tumaritis ditayangkan setiap hari Selasa pukul enam sore, maka pertimbangannya adalah seperti yang diungkapkan oleh Bapak Maryanta di atas. Pengkomunikasian kebudayaan Jawa melalui Karang Tumaritis telah sesuai dengan pernyataan Wilbur Schramm 1955 yang dikutip oleh Suranto Aw 2010 : 2 bahwa komunikasi merupakan suatu tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima, memiliki beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima. Jadi, Karang Tumaritis berisi pesan tentang kebudayaan Jawa dikirimkan oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta dan kemudian ditafsirkan oleh penerima pemirsa. Hal ini terjadi karena menurut pendapat Suranto Aw bahwa proses komunikasi yang terjadi adalah komunikasi bermedia, menggunakan media seperti telepon, surat, radio, dan sebagainya. Sedangkan untuk masalah waktu penayangan, televisi terbatas pada waktu. Dan untuk keputusan pengambilan jam enam sore itu memang bukan masalah. Menurut teori pembagian waktu siaran dan ketersediaan audien dari Peter K. Pringue, Michael F. Starr, dan William E. McCavitt, jam enam sore merupakan early evening. commit to user Awal malam atau early evening terdapat pada pukul 18.00 sd 19.00 yang menyatakan hampir sebagian besar audien sudah berada di rumah. Untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya yang menganut sistem WIB, maka pukul 18.00 s.d 19.00 adalah waktu di mana mereka sudah di rumah. Apabila Karang Tumaritis ditayangkan pada jam tersebut, maka bukan menjadi persoalan. Karena menurut teori ketersediaan audien ini mengatakan bahwa sebagian besar orang sudah berada di rumah. Jadi, kesempatan untuk menonton televisi menjadi lebih banyak. Termasuk program acara Karang Tumaritis, sebagian besar orang sudah ada di rumah. Sehingga ini termasuk waktu yang potensial untuk menayangkan acara kebudayaan Jawa. Karang Tumaritis menginformasikan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa, karena pada dasarnya acara ini bertumpu pada kebudayaan. Kebudayaan Jawa yang menjadi ciri khas Karang Tumaritis adalah semar, bahasa Jawa, dan dialog yang berpijak pada kebudayaan Jawa. Hasil wawancara dengan Bapak RM. Kristiadi, Desain Program, 16 November 2010, adalah : “Sebetulnya ketika esensi atau ciri dihilangkan dari Karang Tumaritis, maka itu tidak bisa disebut Karang Tumaritis. Esensi Karang Tumaritis adalah sebenarnya pada semar, dialog berbahasa Jawa dengan penyimpulnya tokoh wayang semar. Karena begitu semarnya tidak ada maka tidak punya identitas khusus. Jadi ciri khasnya adalah semar dan dialog berbahasa Jawa. Tapi, esensi itu bisa bergradasi. Yang paling esensi adalah semar sebagai penyimpul, karena dialog dan dekorasi bisa berubah. Ketika ada wedhus gembel yang mirip semar, maka orang mengidentikan itu Karang Tumaritis….” Lalu pembawa acara Karang Tumaritis, Mas Altiyanto, juga memberikan pendapatnya tentang Karang Tumaritis. Hasil wawancara dengannya pada tanggal 16 November 2010 yaitu : “Merupakan program dari TVRI D.I Yogyakarta yang spesifik, yaitu formatnya talkshow atau dialog tetapi berbeda dengan dialog-dialog lain, Karang Tumaritis sifatnya sangat “cair” dan intim, sehingga antara pembawa commit to user acara, narasumber dan tema dengan pemirsa menjadi bagian dekat baik secara situasional maupun persolan publik. Membicarakan tentang kebudayaan dengan sifat “cairnya” itu maka Karang Tumaritis menjadi tidak sukar untuk dijangkau. Karang Tumaritis membicarakan tentang tema kebudayaan dengan cara yang dekat dan humanis. Selain itu, Karang Tumaritis menarik karena tidak menggurui, tidak muluk-muluk, terlalu tinggi, tetapi mampu mencerdaskan. Ketika mengomongkannya pun juga dengan santai bisa bercanda, tetapi bukan berarti lalu mengeliminir tingkat kesakralannya. Dan ini yang menurut saya membuat program ini menarik. Sebab tidak membicarakan secara berat, tetapi mampu mencerdaskan, menurut saya begitu.” Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Sumaryono, MA, Narasumber Karang Tumaritis, 19 Maret 2011, yaitu : “Bagus, karena Karang Tumaritis sebagai media untuk memperkenalkan seni budaya dalam suasana yang ringan dan menghibur. Cara memperkenalkan budaya secara philosofis namun disuguhi entertainment juga.” Karang Tumaritis adalah dialog berbahasa Jawa yang mengangkat kearifan lokal. Melalui televisi, kebudayaan Jawa bisa diapresiasi oleh masyarakat kembali. Wujud penginformasian bisa terjadi karena televisi mempunyai kelebihan. Televisi menurut Riswandi 2009 : 2 merupakan bagian dari media massa. Dan ia dikenal sebagai media elektronik. Televisi merupakan media yang dapat mendominasi komunikasi massa karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi memiliki kelebihan dari media massa lainnya karena bersifat audio visual didengar dan dilihat, dapat menggambarkan kenyataan dan secara langsung dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi kepada setiap pemirsa di manapun ia berada. Melalui penginformasian melalui televisi, kebudayaan Jawa mendapat tempatnya kembali. Karena penginformasian melalui televisi mempunyai efek yang besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Riswandi tentang televisi yang kini mendominasi karena bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Selain itu televisi bersifat audio visual. Karang Tumaritis menjadi dekat dengan khalayak karena commit to user selain bersifat audio visual, juga ada telepon interaktif supaya mereka bisa menyalurkan aspirasinya. Karang Tumaritis menjadi terkenal karena menyajikan kebudayaan Jawa. Hal ini disebabkan oleh kelebihan televisi itu sendiri. Televisi menurut J. B. Wahyudi dalam Morissan 2008 : 11 yaitu dapat didengar dan dilihat bila ada siaran, dapat dilihat dan didengar kembali bila diputar lagi, daya rangsang sangat tinggi, elektris, sangat mahal, dan daya jangkau besar. Siaran televisi bisa diterima di mana saja dalam jangkauan pemancar. Maka, Karang Tumaritis sekarang bisa ditonton oleh masyarakat di seluruh Yogyakarta dan sekitarnya. Inilah yang membuat televisi mampu menjadi sebuah penginfo yang baik karena sifatnya itu. Hasil wawancara dengan Bu Yati Pesek, pembawa acara, 16 November 2010, tentang Karang Tumaritis adalah : “Supaya orang-orang tahu akan budaya Jawa yang penuh santun. Kadang- kadang anak muda juga lupa akan sopan santun. Budaya Jawa mengajarkan yang baik dan santun. Sebagai contoh anak muda sekarang pamitnya lewat HP. Mengapa tidak anak muda mengulurkan tangan pamit cium tangan kepada orang tua, “Bu, kulo badhe sekolah, kuliah”, itu kan lebih bagus. Itulah salah satunya muatan yang ada pada Karang Tumaritis.” Menurut hasil wawancara di atas dengan Bu Yati Pesek, bahwa muatan pada Karang Tumaritis adalah nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Melalui Karang Tumaritis yang ditayangkan pada televisi, masyarakat bisa mendapatkan informasi tentang kebudayaan Jawa. Berbagai nilai luhur yang terdapat pada kebudayaan Jawa diangkat ke dalam Karang Tumaritis dan penyebarannya melalui siaran televisi. Kemudian hal yang sama dikatakan pula oleh Bu Widiastuti, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya di Dinas Pariwisata Yogyakarta, 30 November 2010, yaitu : “Cukup bagus, karena memang kemudian bisa memunculkan beberapa persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan tentang penggunaan bahasa Jawa. Cukup bagus juga karena mempunyai tema-tema, tertentu seperti commit to user sekarang ini mengupas tentang penggunaan bahasa Jawa di kalangan anak muda.” Karang Tumaritis mempunyai tema-tema tertentu yang menyangkut tentang kebudayaan Jawa. Tema-tema tersebut menginformasikan khasanah kebudayaan Jawa, yaitu bahasa Jawa misalnya. Dengan adanya teknologi seperti siaran televisi, maka penyebarluasan informasi tentang kebudayaan Jawa bisa menjangkau masyarakat luas. Hasil wawancara tentang Karang Tumaritis dengan pemirsa Karang Tumaritis, Bu Anna Amrih Rahayu, 23 November 2010, yaitu : “Sebenarnya saya sering nonton, sering tidak. Kalau kemarin yang tentang wayang, saya suka lalu nonton. Permasalahan yang diangkat adalah budaya, baik sekali. Namun, untuk saya pribadi, Karang Tumaritis tergantung tema yang diambil…” Kemudian, hasil wawancara dengan pemirsa Karang Tumaritis lainnya yaitu dengan Bapak Joko Setiono, 23 November 2010, yaitu : “Menurut saya bahasa Jawanya bagus, karena hanya Karang Tumaritis yang menjadi sarana untuk menyalurkan budaya Jawa. Saya rasa acara lain di televisi belum ada yang seperti itu.” Hasil wawancara lain dengan narasumber Karang Tumaritis, Bapak Drs. Sumaryono. MA, 19 Maret 2011, yaitu : “….Karang Tumaritis adalah sebuah mediator untuk menyampaikan seni budaya. Sifatnya entertain, maka pendalaman acara ini hanya sebatas etalase saja. Jadi, sifatnya bisa memperkenalkan to introduce seni budaya kita.” Karang Tumaritis sebagai acara dipandang baik, karena menginfomasikan kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Masyarakat menganggap bahwa televisi adalah media terdekat mereka, sehingga acara yang ada di televisi sering kali mampu memberikan pandangan baru kepada mereka. Pendapat Prof. Dr. R. Mar’at dari Universitas Padjadjaran, tentang program acara televisi dikutip Onong Uchjana commit to user Effendy 2004 : 122 yaitu acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan para penonton, ini adalah wajar. Bahkan untuk tujuan media massa menginformasikan kebudayaan Jawa di wilayah Yogyakarta, Bu Iwung, produser Karang Tumaritis menyatakan pendapatnya melalui wawancara tanggal 3 November 2010 yaitu : “Kami berkomitmen bahwa tidak perlu bersaing. Karena dengan ada banyak acara seperti itu berarti kebudayaan Jawa juga makin banyak yang memelihara. Dan malah menjadi lebih baik. Saya pikir tidak masalah.” Kemudian pernyataan tersebut juga diperkuat dengan pendapat dari Bapak RM. Kristiadi, desain program, 16 November 2010 : “Kalau persaingan tidak ada, namun presentase ada, yaitu 2 untuk TVRI Yogyakarta. Ini maksudnya adalah TVRI Yogya merupakan nilai yang paling tinggi untuk televisi lokal baik swasta maupun daerah. Jadi, saya tidak memandang persaingan dengan acara lain. Karena jika banyak TV yang mengangkat tema kebudayaan berarti kebudayaan hidup. Adalah baik bila bisa seperti di Amerika Selatan. Tiap satu jam pasti ada program acara yang namanya ARTS. Setiap channel di sana wajib menayangkan ARTS. Di sana ada delapan channel yang berbeda, setiap channel harus menayangkan ARTS selama 1 jam, tapi jamnya beda-beda. Jadi, ketika kita misalnya pergi ke Chile dan menonton TV, pasti ada ARTS. Seperti semakin banyak Karang Tumaritis itu bagus, saya pandang itu bukan suatu persaingan.” Untuk persaingan, mereka sebagai pihak TVRI tidak pernah menganggap adanya persaingan. Karena dengan semakin banyaknya acara kebudayaan seperti Karang Tumaritis berarti kebudayaan Jawa masih banyak yang menjaga. Acara di televisi menginformasikan kebudayaan, karena pentingnya pembelajaran untuk masyarakat. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Koentjoroningrat yang dikutip Hari Poerwanto 2008 : 52 yaitu kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. commit to user Seperti halnya dengan kebudayaan Jawa, masyarakat tidak mungkin mendapatkan kebudayaan tanpa belajar. Televisi bisa menjadi sarana belajar yang baik, karena melalui informasi dari media massa maka masyarakat bisa mengerti tentang sesuatu hal baru. Hal ini sesuai dengan yang terjadi di Kanada, seperti yang ditulis pada Canadian Journal of Communication, Vol. 29 1 tahun 2004, halaman 51- 52, karya Doris Baltruschat, berjudul Television and Canada’s Aboriginal Communities, yaitu : “….One key of the features of APTN is its multilingual programming. Programs in traditional languages such as Cree, Inuktitut, and Lakota provide an opportunity for Canada’s more than 60 indigenous languages to be spoken and heard through televised means. Interviews with indigenous elders and community leaders highlight discussion about environmental concerns, land claims, and natural resources. In addition, children’s programs educate about linguistic traditions Claxton, interview, 2003. As First Nations seek to gain official status for their languages, programs deal with the importance of language preservation and Aboriginal traditions APTN, 2002.” “….Salah satu kunci dari keistimewaan APTN adalah program multibahasa. Program dalam bahasa tradisional seperti Cree, Inuktitut, dan Lakota menyediakan sebuah kesempatan untuk Canada lebih dari 60 bahasa lokal dipakai dan didengar melalui televisi. Wawancara dengan tetua lokal dan pemimpin komunitas menekankan diskusi tentang perhatian terhadap lingkungan, klaim tanah, dan sumber daya alam. Sebagai tambahan, program anak-anak mengajarkan tentang tradisi linguistik Claxton, wawancara, 2003. Sebagai negara dunia pertama mencari untuk meningkatkan status resmi untuk bahasa-bahasa mereka, program-program telah menyetujui pentingnya pemeliharaan bahasa dan tradisi-tradisi Aborigin APTN, 2002.” Di Kanada seperti pada jurnal di atas juga menggunakan televisi untuk menginformasikan dan memelihara kebudayaan Aborogin di sana. Dengan adanya televisi maka bisa membantu proses pembelajaran tentang kebudayaan asli mereka. Bahkan diskusi pun digelar untuk membuat hidup Aborigin menjadi lebih mudah, karena permasalahan mereka diangkat ke permukaan melalui televisi. Demikian pula Karang Tumaritis memberikan informasi tentang nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa sebagai pembelajaran kepada masyarakat. Seperti misalnya commit to user bahasa Jawa yang dipakai di Karang Tumaritis. Ini merupakan indikasi bahwa dengan menggunakan bahasa Jawa, maka masyarakat Yogyakarta bisa lebih memahami bahasa daerah mereka. Hal ini terjadi karena sekarang tidak semua orang Jawa mengerti dan menggunakan bahasa tersebut. Karang Tumaritis memberikan suguhan tentang digunakannya bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar utamanya. Kegiatan ini juga merupakan pemeliharaan terhadap bahasa Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa. Hasil wawancara dengan Bu Iwung juga memperlihatkan bahwa bahasa Jawa sering kali tidak dimengerti oleh orang Jawa sendiri. Data dari wawancara dengan produser Karang Tumaritis ini berlangsung tanggal 3 November 2010 menyatakan : “Karena pernah ada tema yang bintang tamunya adalah orang dari luar Jawa, seperti Bali. Bahasa Jawa untuk kalangan orang Jawa sendiri saja kadang tidak terlalu baik. Dan orang-orang dari suku lain juga pernah diundang sebagai bintang tamu. Akan tetapi, mereka walaupun bukan orang Jawa juga akan ditanyai dalam bahasa Jawa. Meskipun mereka menjawab dalam bahasa Indonesia.” Dari hasil wawancara di atas terlihat bahwa orang Jawa sendiri tidak memahami bahasa Jawa. Sedangkan untuk orang yang bukan Jawa, mereka memang tidak bisa berbahasa Jawa. Hal ini tidak menjadi masalah karena Karang Tumaritis juga mengundang orang dari luar Jawa sebagai narasumber. Hanya saja orang dari luar Jawa tetap menjadi narasumber yang mencerminkan kehidupan yang berhubungan dengan Jawa. Jadi, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar, walaupun juga diselingi dengan bahasa Jawa. Yang menjadi masalah adalah ketika orang Jawa tidak mengerti bahasa Jawa. Dengan adanya program acara yang menggunakan bahasa Jawa, maka secara tidak langsung dan secara pelan-pelan orang Jawa yang tidak mengerti bahasa Jawa akan mendapat terpaan dan mengerti. commit to user Hal ini sesuai dengan pendapat dari Imam Sutarjo 2008 : 49, media massa dianggap memiliki peran yang besar dalam pelestarian budaya. Pendapat itu berbunyi bahwa “….hal ini bisa dilihat dari kerapuhan dalam unggah-ungguh berbahasa Jawa di kalangan masyarakat Jawa yang disebabkan oleh kurangnya peran campur tangan media massa. Salah satunya yaitu kurang tersedianya buku-buku bacaan dan majalah berbahasa Jawa ngoko maupun krama, baik di sekolah maupun di rumah, serta semakin jarangnya media massa cetak atau elektonik yang menggunakan wahana unggah-ungguh Bahasa Jawa.” Televisi sebagai media massa yang paling populer seharusnya memberikan kontribusinya untuk pelestarian kebudayaan melalui transmisi informasi yang direalisasikan ke dalam program acara. Pendapat dari Dennis McQuail, 1996 : 51 menyatakan bahwa secara umum, dalam beberapa segi, media massa memiliki perbedaan dengan institusi pengetahuan lainnya yang ada. Perbedaan media massa dengan institusi pengetahuan lainnya seperti seni, agama, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan sebagainya yaitu : a. Media massa memiliki fungsi pembawa bagi segenap macam pengetahuan b. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik, yaitu dia bisa dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara bebas c. Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima seimbang dan sama d. Media menjangkau lebih banyak orang dari pada institusi lainnya dan sejak dahulu telah mengambil alih peranan sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain Televisi dengan segala kelebihannya akan lebih baik bila diarahkan untuk melakukan proses pelestarian kebudayaan. Dengan perbedaan-perbedaannya terhadap jenis institusi pendidikan lainnya, maka diharapkan televisi di Yogyakarta termasuk TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta mampu berperan dalam membantu proses pelestarian commit to user kebudayaan Jawa. Karena televisi merupakan medium yang ampuh dalam dunia komunikasi manusia. Sebagai televisi publik, TVRI telah membuat acara-acara yang berkepentingan untuk publik. Seperti Karang Tumaritis yang menyajikan kebudayaan Jawa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Morissan 2008 : 100 - 101 yaitu, pada program yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran publik ada perbedaan dengan acara yang ditayangkan oleh stasiun komersial. Televisi publik menata acaranya dengan menekankan pada aspek pendidikan masyarakat yang bertujuan mencerdaskan audien. Program disusun berdasarkan pada gagasan melestarikan dan mendorong berkembangnya budaya lokal, sejarah kebangsaan, dan sebagainya. Televisi memegang peran penting menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah. Program acara pendidikan dan kebudayaan seperti pengembangan bahasa nasional dan kebudayaan daerah harus menjadi tanggung jawab media penyiaran publik untuk memproduksinya. Kemudian dilanjutkan pendapat lainnya yaitu strategi dalam mengelola stasiun televisi publik menurut Pringle-Starr-McCavitt 1991 yaitu the nature of the licensee misi atau fungsi utama keberadaan stasiun publik, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, dan upaya menggalang dana dari masyarakat the requirements for fund raising from the audience. Fungsi utama dari stasiun publik di Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam UU Penyiaran adalah memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan faktor pertama yang harus dipertimbangkan sebelum menyusun strategi program Morissan, 2008 : 101. Karang Tumaritis mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan audiens dalam bidang kebudayaan. Selain itu, demi kelestarian kebudayaan daerah Jawa Karang Tumaritis memberikan andil untuk penyebaran informasi melalui media massa. commit to user Televisi publik TVRI terutama yang di daerah, harus mengangkat kearifan lokal sehingga tercapai kelestarian potensi dan kebudayaan di sana. Program yang disajikan TVRI melalui Karang Tumaritis telah ikut proses dalam kelestarian kebudayaan Jawa. Penginformasian melalui media massa memberikan andil yang cukup baik untuk kebudayaan Jawa. Karang Tumaritis adalah acara yang juga ikut berperan dalam menginformasikan nilai-nilai luhur yang terdapat pada kebudayaan Jawa. Sebagai sebuah acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, Karang Tumaritis menggunakan unsur-unsur kebudayaan Jawa supaya lebih terasa Jawa. Informasi yang berisi tentang kebudayaan Jawa akan memperkaya pengetahuan pemirsa dan menumbuhkan pengalaman baru yang bisa dipetik dari suguhan Karang Tumaritis. 2. Membangun Kembali Spirit Kehidupan Bermasyarakat Sesuai Dengan Nilai Luhur Kebudayaan Jawa Karang Tumaritis juga berperan membangun kembali jiwa berkehidupan masyarakat Yogyakarta sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa. Dengan adanya acara ini, pemirsa bisa melihat kembali bagaimana kebudayaan Jawa eksis di jaman modern. Kebudayaan Jawa yang penuh dengan nilai luhur tersebut tercermin melalui tata cara dan dialog yang dibawakan oleh pembawa acara dan narasumber. Pemirsa apabila menonton Karang Tumaritis merasa seperti kehidupan Jawa muncul kembali di jaman sekarang. Yaitu kehidupan Jawa yang masa kini namun kesakralan dan keluhuran budaya Jawa tetap menjadi intisarinya. Program acara ini telah mampu memunculkan kembali jiwa kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa. Dalam acara ini, terlihat bagaimana di jaman sekarang budaya Jawa digali kembali dan diterapkan untuk berkehidupan di masyarakat. commit to user Untuk melihat bagaimana menumbuhkan jiwa kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa maka diperjelas dengan hasil wawancara dengan Bapak RM. Kristiadi, desain program Karang Tumaritis, 3 November 2010, yakni : “….Karang Tumaritis mengupas tentang kebudayaan Jawa yang sesuai dengan perspektif seperti apa. Karena kebudayaan Jawa sejak dulu sudah banyak berubah, perspekstifnya juga banyak sekali. Karang Tumaritis mengupas Jawa Yogyakarta yang multikultur, plural, dan hibrida, yang ada ada kos-kosan orang Bali, atau basecamp orang Sumatra. Jadi, interaksi sosial yang terjadi itulah kebudayaan Jawa Yogyakarta.” Kemudian, hasil wawancara dengan Bapak Samuel Indratma, Narasumber Karang Tumaritis, 20 Maret 2011 tentang materi yang disajikan Karang Tumaritis yaitu : “Sangat membantu ingatan kita akan kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa saya pikir salah satu bagian penting dari kebudayaan Jawa itu sendiri. Dan materinya saya pikir sangat menarik. Karena Jawa beserta kebudayaannya selalu berkembang mengikuti jamannya.” Lalu hasil wawancara dengan Bu Iwung sebagai produser Karang Tumaritis, juga memperlihatkan bahwa materi Karang Tumaritis beragam dan berwarna untuk mengupas kehidupan masyarakat Yogyakarta sekarang. Wawancara yang dilakukan tanggal 3 November 2010 tersebut yaitu : “Membicarakan bagaimana kehidupan mereka di Yogya, yang mayotitas orang Jawa. Lalu bagaimana mereka setelah bersentuhan dengan orang Jawa. Bagaimana mereka berinteraksi di tempat yang mayoritas Jawa dan budaya yang ada yaitu Jawa.” Kebudayaan Jawa di Yogyakarta menurut Bapak RM. Kristiadi, Bapak Samuel Indratma, dan Bu Iwung sudah banyak berubah sesuai dengan keadaan jaman sekarang. Namun, tentunya esensi dari kebudayaan Jawa sendiri masih ada dan sebagai pengenal bahwa inilah kebudayaan Jawa. Hanya saja di Karang Tumaritis commit to user menjadi lebih beragam. Dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta yang sekarang ini, jiwa berkehidupan secara Jawa masih ada dan berbaur dengan perkembangan jaman. Jadi, kebudayaan Jawa di masa sekarang sudah hidup dengan banyak pengalaman baru di dalamnya, seperti Jawa Yogyakarta yang plural. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang tetap atau mati. Namun, kebudayaan bisa tumbuh, berkembang, bahkan punah. Punah bila tidak ada yang meneruskan kebudayaan itu sendiri. Sedangkan bila kebudayaan tetap dipelihara dan selalu mengikuti kekinian maka, tak dipungkiri kebudayaan akan berkembang. Hal tersebut sama dengan keadaan budaya Jawa Yogyakarta yang kini telah multikutural, sedangkan kebudayaan Jawa itu tetap menjadi jiwa kehidupan masyarakatnya. Dengan adanya kebudayaan Jawa yang plural tersebut, masyarakat Yogyakarta menjadi semakin kaya akan pengetahuan baru. Sesuai dengan pernyataan bahwa budaya sebagai sistem pemikiran mencakup sistem gagasan, konsep-konsep, aturan-aturan serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan dalam kehidupan yang dimilikinya melalui proses belajar Hari Poerwanto, 2008 : 58. Lalu, C. Geertz juga menyatakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan proses perorangan. Dari pernyataan di atas terlihat jika kebudayaan adalah proses yang diwujudkan dalam kehidupan yang dimiliki melalui proses belajar. Selain itu kebudayaan adalah sistem pemaknaan bersama, proses sosial bukan perorangan. Demikian pula dengan kebudayaan Jawa Yogyakarta yang sekarang juga berbaur dengan banyak kalangan dari berbagai macam asal usulnya. Dengan ini maka kebudayaan Jawa adalah semakin luas karena mendapatkan pengalaman baru dari commit to user proses sosial tersebut. Tetapi, nilai-nilai kebudayaan Jawa akan menjadi dasar kehidupan bermasyarakatnya dalam rangka interaksi sosial. Untuk memperlengkap pernyataan itu, maka sama seperti hasil wawancara dengan Mas Altiyanto, pembawa acara, 16 November 2010 : “…..Akan tetapi, lebih baik mengomongkan tentang kekinian dengan perspektif budaya-budaya Jawa. Yogyakarta seperti sekarang ini merupakan kota metropolitan, maka kebudayaan Jawa di Yogya sendiri menjadi kebudayaan Jawa yang urban. Meskipun dalam berpakaian kami seperti saya dan Ibu Yati mengenakan pakaian Jawa, namun bukan berarti bahwa kami hidup di jaman lalu, tetapi kami bukan hanya mewakili masa lalu, tetapi juga mewakili kebudayaan itu akan menjadi seperti apa. Tema pada Karang Tumaritis bisa mengangkat budaya luar daerah yang tinggal di sini, lalu bagaimana interaksi dengan mereka, bahkan pernah tema yang mural dan budaya pop. Jadi, yang dibahas adalah kebudayaan Jawa di Yogyakarta yaitu kebudayaan yang dulu dan sekarang. Itu semua adalah apa yang ada di Yogya saat ini.” Kebudayaan Jawa di Yogyakarta telah menjadi plural. Namun, hal ini adalah sesuatu yang wajar karena adanya proses interaksi sosial dengan siapa saja. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Imam Sutarjo 2008 : 10 bahwa kebudayaan menjadi milik manusia melalui proses belajar, dan diajarkan kepada anggotanya melalui proses akulturasi, enkulturisasi, dan proses sosialisasi. Kemudian hal ini juga mirip dengan pendapat yang dikemukan oleh C. Kluckhohn yang menekankan bahwa kebudayaan merupakan proses belajar dan bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis. Oleh karenanya, kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan perasaan, hasrat, dan emosi, dalam rangka pembentukan kepribadiannya Hari Poerwanto, 2008 : 88. Kebudayaan di Yogyakarta adalah kebudayaan Jawa, tetapi kebudayaan ini meliputi proses interaksi yang luas. Sehingga tema-tema yang ada pada Karang commit to user Tumaritis adalah tentang kebudayaan Jawa di Yogyakarta yang luas dan banyak perspektifnya. Lalu, hasil wawancara tentang Karang Tumaritis dengan Bu Widiastuti, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai- nilai Budaya, 30 November 2010 : “Mungkin pihak TVRI melakukan ekspansi dengan banyak pihak. Sehingga ada banyak pihak yang melakukan proses internalisasi dengan program ini. Dengan semakin banyak lini masyarakat yang diajak, maka program ini menyentuh banyak segmen. Sekarang temanya anak muda, tetapi tidak menutup kemungkinan besok mengajak para eksekutif muda yang mempunyai bisnis dan berhubungan dengan orang asing dan sebagainya. Selama mereka masih orang Jawa, lalu bagaimana mereka sebagai orang Jawa Yogya yang tetap bisa berbahasa Jawa dan mengerti budaya Jawa. Saya kira perlu ada ekspansi lebih dari TVRI.” Kemudian dari segi pemirsa, yakni dengan Bapak Joko Setiono, 23 November 2010, pendapatnya tentang Karang Tumaritis adalah : “Karang Tumaritis digunakan sebagai alat atau wadah untuk menggugah bagaimana budaya Jawa bisa dipakai masyarakat Jawa sendiri. Masyarakat Jawa tergugah bahwa ternyata budaya Jawa itu baik. Mereka menjadi tahu bagaimana cara berpikir ala timur itu seperti apa untuk dijadikan pijakan hidup. Selain itu budaya Jawa juga bisa dipakai untuk cara kita sebagai masyarakat Jawa untuk bergerak.” Sedangkan menurut Bu Anna Amrih Rahayu, pemirsa Karang Tumaritis, 23 November 2010 adalah : “Karang Tumaritis bermanfaat bagi siapa saja, karena mengangkat masalah budaya. Untuk saya sebagai orang Jawa, Solo, kebudayaan seperti yang ada di Karang Tumaritis itu bagus. Seperti tema yang minggu kemarin, tentang wayang, itu juga menjadi tontonan menarik bagi anak muda juga. Karena masalah kebudayaan seperti itu bisa menjadi contoh untuk budi pekerti bagi anak-anak muda.” Untuk memunculkan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis mengangkat kebudayaan Jawa yang sesuai untuk jaman sekarang. Dengan seperti itu, maka kebudayaan tetap bisa diterapkan dalam kehidupan. Apalagi masyarakat Yogyakarta sebagai orang Jawa commit to user yang mobilitasnya tinggi dan pergaulannya luas, Karang Tumaritis membangun kembali bagaimana mereka bisa menjadi orang Jawa di arus globalisasi dan interaksi sosial yang beragam. Karena nilai luhur Jawa sangat membanggakan bila digunakan untuk kehidupan bermasyarakat dengan lingkungan sekitar. Pewarisan kebudayaan Jawa diperlukan, karena untuk masyarakat Jawa perlu mengetahui dan menerapkan nilai luhur tersebut. Sesuai dengan pendapat dari Hari Poerwanto 2008 : 88, manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Setelah manusia mati, maka kebudayaan akan diwariskan untuk keturunannya. Hari Poerwanto memberikan penjelaskan tentang cara pewarisan kebudayaan, pertama, secara vertikal atau langsung kepada anak cucu mereka. Kedua, secara horizontal atau belajar kebudayaan kepada manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya, akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau dikomunikasikan dengan individu lainnya karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa; serta dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis. Nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa harus diwariskan ke anak cucu mereka nantinya. Tentunya Karang Tumaritis merupakan salah satu cara untuk melakukan pewarisan ini yaitu melalui pesannya yang disebar ke khalayak. Proses pengkomunikasian ini bertujuan untuk semakin menyebarkan pengetahuan tentang kebudayaan Jawa kepada masyarakatnya. Karang Tumaritis dipandang baik oleh semua kalangan karena mampu menghadirkan dialog tentang kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Hal ini sama seperti yang terjadi di Kanada, yang disebutkan dalam jurnal bahwa masyarakat lokal yang memiliki budaya tertentu menyukai program acara yang commit to user mempunyai kaitan dengan kepentingannya. Canadian Journal of Communication, Vol. 29 1, halaman 54, Television and Canada’s Aboriginal Communities, menyebutkan : “Native American audiences have expressed interest in APTN’s programming, as letters to the network attest. According to Compton interview, 2003, Native Americans would like see APTN’s signal extend into their communities, and negotiation are currently under way to make this a reality. Native American interest in APTN underscores the notion that Aboriginal people share a common bond through history, language, and culture that is not restricted by national boundaries. Aboriginal peoples in Australia and New Zealand are also interested in APTN’s programs Compton, interview, 2003.” “Penduduk Amerika asli yang menjadi audiens telah mengekspresikan ketertarikan mereka pada program APTN, sebagaimana surat-surat kepada jaringan pembuktian. Menurut Compton wawancara, 2003, penduduk Amerika Asli senang melihat APTN yang mensinyalkan pelebaran ke dalam komunitas mereka, dan negosiasi membuatnya menjadi kenyataan. Penduduk Amerika asli tertarik terhadap APTN menggarisbawahi dugaan bahwa orang Aborogin berbagi ikatan umum melalui sejarah, bahasa, dan budaya yang tidak dibatasi oleh lingkup nasional. Orang Aborigin di Australia dan New Zealand juga tertarik pada program-program APTN Compton, interview, 2003.” Sebagai orang Jawa, mereka tentunya bahagia bila permasalahan mereka diangkat untuk dibicarakan di publik. Seperti masalah tentang kebudayaan Jawa yang semakin lama bisa tergerus arus globalisasi dan masalah mengenai bagaimana penerapan nilai-nilai Jawa di kehidupan modern. Dengan adanya Karang Tumaritis, maka segala bentuk permasalahan kebudayaan Jawa bisa diangkat dan menjadi perdebatan terbuka. Hal ini dianggap membantu pemecahan masalah kebudayaan yang sering kali terlindas dan terlupakan setelah adanya globalisasi. Sebagai televisi publik, maka TVRI memberikan pelayanan yang baik dalam rangka mencerdaskan masyarakat. Seluruh program acara TVRI diharuskan mengangkat kearifan lokal dari setiap daerah yang memiliki stasiun TVRI di daerah tersebut. Bahkan, dengan adanya komitmen untuk selalu memberikan pelayanan yang baik tersebut, maka TVRI tidak melihat segi materi. Karang Tumaritis sebagai acara commit to user kebudayaan di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, didaulat untuk menyuguhkan materi- materi kebudayaan Jawa yang sesuai dengan kehidupan masyarakatnya. Inti dari materi yang disajikan Karang Tumaritis adalah kebudayaan Jawa di Yogyakarta yang plural sifatnya. Hasil wawancara dengan produser Karang Tumaritis, Bu Iwung, 3 November 2010, mengatakan bahwa : “Tergantung situasi di masa datang. Tetapi kita memberikan komitmen bahwa TVRI Yogyakarta akan memberikan acara yang baik sebagai bagian dari tugas TVRI. Paling tidak membuat filter dari kebudayaan-kebudayaan lain yang tidak sesuai. Namun, bila kebudayaan ini baik, mengapa tidak kita bisa hidup dan tumbuh bersama, saling mempengaruhi. Selanjutnya kami juga berkomitmen untuk menjaga budaya Jawa tetap hidup dalam pengertian bisa bertahan dengan adanya perubahan.” Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa ternyata TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta mengemban tugasnya sebagai televisi publik. Sebagai program acara yang diproduksi oleh TVRI, maka Karang Tumaritis juga mendapat tugas yang sama. Karang Tumaritis merupakan pencerminan dari tugas TVRI. Berhubungan dengan kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis akan menjadi sebuah filter untuk kebudayaan lain yang tidak sesuai. Namun, bila kebudayaan tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya Jawa, maka akan bisa tumbuh bersama. Komitmen dari TVRI sendiri akan membuat kebudayaan Jawa tetap hidup meskipun ada perubahan. Agar kebudayaan bisa tetap lestari dan bisa memfilter kebudayaan lain yang sesuai, maka masyarakat perlu diberi informasi tentang kebudayaan itu. Pemberian informasi bisa melalui media massa. Penyebaran informasi ini dimaksudkan agar kebudayaan Jawa tidak semakin terlindas oleh jaman, tetapi bisa membuktikan bahwa kebudayaan Jawa saat ini mampu mengikuti perkembangan jaman. Masyarakat pun menjadi lebih paham akan kebudayaan Jawa yang bisa menjadi saringan bagi kebudayaan-kebudayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur. commit to user Proses pelestarian kebudayaan bisa dilakukan melalui televisi. Hal ini senada dengan pernyataan dari Dennis McQuail 1996 : 3 yang mengatakan bahwa media massa seperti televisi, radio, koran, dan lain sebagainya mempunyai fungsi penting. Fungsi penting itu di antaranya berpijak pada dalil yaitu media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, termasuk sebagai pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma. Kemudian, Dennis McQuail 1996 : 40 juga berpendapat bahwa media massa sebagai komunikator massa tentunya memiliki ciri-ciri khusus bahwa salah satunya adalah memproduksi dan mendistribusi pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya. Media massa berperan dalam pelestarian budaya. Seperti pernyataan di atas, Karang Tumaritis sebagai program acara yang diproduksi TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta mentransfer informasi yang berisi pengetahuan tentang kebudayaan Jawa. Selain itu, Karang Tumaritis menjadi wahana perkembangan kebudayaan Jawa yang isinya meliputi tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma. Berpijak dari pernyataan Dennis McQuail di atas, Karang Tumaritis menjadi wahana untuk menyampaikan pesan-pesan kebudayaan Jawa demi terbentuknya jiwa kehidupan bermasyarakat di Yogyakarta yang sesuai dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Komitmen TVRI ini juga mempunyai indikator. Untuk program-program acara yang diproduksi, tentunya ada tanda-tanda apakah sejauh ini acara tersebut masih disukai atau tidak oleh pemirsa. Menurut hasil wawancara dengan Bapak Anang selaku penanggung jawab humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, 11 November 2010, yaitu : “….Sejauh masih dilihat oleh masyarakat maka acara ini akan dipertahankan. Selain itu pihak ketiga yang mau bekerja sama dan penelpon untuk acara interaktif juga menjadi pertimbangan. TVRI mengambil indikator dengan penelpon dan banyaknya yang menawarkan diri untuk kerja sama. Karena commit to user pada dasarnya TVRI tidak mengedepankan kepentingan komersil, jadi tinggal melihat bagaimana sebuah program acara apakah masih ditonton atau sudah ditinggalkan.” Dari pernyataan tersebut, TVRI mengambil indikator tentang dilihatnya atau tidak suatu program dengan penelpon dan kerja sama. TVRI tidak mengedepankan kepentingan komersil, hal ini sesuai dengan tugasnya sebagai televisi publik di Indonesia. Menurut Efendi Gazali Riswandi, 2009 : 17-18, TVRI sebagai televisi publik harus mendahulukan kepentingan publik. Kepentingan publik lebih diutamakan dari pada kepentingan iklan. Misalnya ada satu acara yang sangat baik dan bermanfaat bagi publik, namun ratingnya rendah, maka ia akan tetap diproduksi dan tetap dipertahankan penanyangannya. Acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta juga tidak pernah melihat segi keuntungan materi, karena mereka berkomitmen untuk mencerdaskan masyarakat melalui tayangannya. Walaupun kadang-kadang acara di TVRI sering dipandang ketinggalan jaman. Pernyataan yang memberikan penjelasan tentang televisi publik juga terangkum dalam Internasional Journal of Communication 3 2009, 332-350, berjudul Protecting Local Culture in a Global Environment : The Case of Israel’s Broadcast Media, karya Yaron Katz, halaman 335, disebutkan bahwa : “…With the beginning of television broadcasting, the public broadcasting model became dominant, based on European experience. The goals were to serve the good of the public and to be independent of political and commercial influence, with emphasis on local culture programs. To achieve these goals, the public broadcasting organization the Broadcasting Authority was compelled to promise representation of all groups of the population – to give true expression to a range of opinions, tastes, interests, traditions, preferences, beliefs, and local subcultures – including different regional representations, minorities, and languages.” “.…Dengan permulaan adanya penyiaran televisi, model penyiaran publik menjadi dominan, berdasarkan pengalaman di Eropa. Tujuannya yaitu untuk menyediakan kebutuhan publik dan menjadi mandiri dari pengaruh politik dan komersial, dengan menggarisbawahi pada program budaya lokal. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi penyiaran publik the Broadcasting Authority diwajibkan untuk menjanjikan representasi dari semua kelompok dari commit to user populasi – untuk memberikan ekspresi sebenarnya pada pendapat, rasa, ketertarikan, tradisi, pilihan, kepercayaan, dan anak budaya lokal – termasuk perwakilan regional berbeda, minoritas, dan bahasa.” Dari pengalaman yang sama dengan yang terjadi di Eropa, maka di Indonesia pun bisa memetik pelajaran penting akan perlunya televisi publik. Yang dimaksud dengan televisi publik di Indonesia adalah TVRI. Sebagai bagian dari TVRI, maka TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta juga memiliki fungsi untuk tidak mengedepankan kepentingan komersil. Publik adalah pihak yang berhak mendapatkan informasi dari TVRI tanpa adanya intervensi kepentingan politik maupun komersil. Jadi, TVRI seperti yang dijelaskan oleh Bapak Anang adalah menjalankan fungsinya tanpa mengharap komersil dari berbagai pihak. Karena, pelayanan yang diberikan oleh TVRI adalah representasi untuk lestarinya dan berkembangnya budaya lokal. Karang Tumaritis adalah acara yang menjadi salah satu unggulan untuk mengangkat budaya lokal. Acara ini akan dipertahankan bila masyarakat masih suka dan antusias. Namun, TVRI juga memegang komitmen agar menjaga kebudayaan lokal. Sejauh ini, Karang Tumaritis masih disukai, maka akan tetap dipertahankan keberadaannya. Karena salah satu peran Karang Tumaritis adalah membangun kembali jiwa kehidupan bermasyarakat sesuai nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa, maka TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta tetap berkomitmen untuk mengedepankan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan komersil. 3. Melestarikan Berbagai Produk Kebudayaan Jawa Arus modernisasi telah mengubah keadaan Yogyakarta menjadi kota besar yang metropolis seperti kota-kota lainnya di Indonesia. Namun, arus modernisasi sekiranya tidak mengeliminir Yogyakarta sebagai kota yang penuh dengan budaya Jawa. Karena kebudayaan Jawa adalah milik orang Yogyakarta, walaupun sekarang kota ini telah banyak mengalami pengalaman barunya dengan kehidupan modern. commit to user Kebudayaan Jawa adalah satu-satunya kebudayaan asli yang dimiliki Yogyakarta. Spirit kehidupan bermasyarakat di Yogyakarta tak pernah lepas dari pengaruh budaya Jawa. Namun, di situasi seperti saat ini tentunya Yogyakarta memiliki hubungan dengan orang-orang dan bentuk budaya baru. Akan tetapi, sebagai daerah metropolis, Yogyakarta juga tidak lepas dari nafas kejawaan. Dua hal ini bisa hidup secara berdampingan dan tumbuh bersama. Yang patut dipikirkan adalah bagaimana supaya kebudayaan Jawa yang sarat dengan nilai luhur mampu tetap hidup di jiwa kehidupan orang Jawa di Yogyakarta, sementara mereka juga bisa hidup secara modern dan menerima bentuk budaya baru yang sesuai dengan nilai budaya Jawa. Pada acara Karang Tumaritis ini bisa dilihat bahwa kebudayaan Jawa menjadi temanya. Acara ini diproduksi oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta dengan tujuan untuk melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa yaitu dengan mengangkat kearifan lokal yang ada di Yogyakarta. Kearifan lokal adalah kebijaksanaan ataupun kecendekiawanan yang ada di sebuah lingkungan tertentu. Kearifan lokal yang ada di Yogyakarta ini diangkat ke dalam sebuah program acara. Tentunya kearifan lokal yang dimaksud yaitu segala hal yang baik dan potensial tentang Yogyakarta, termasuk di antaranya adalah kebudayaan Jawa. Dari wawancara dengan produser Karang Tumaritis, Bu Iwung pada 3 November 2010, Karang Tumaritis adalah acara yang mengangkat kearifan lokal. Meskipun tema yang diangkat selalu berganti-ganti, namun kebudayaan adalah nafasnya, dan kearifan lokal adalah pijakannya. “…..acara Karang Tumaritis ini harus mengangkat kearifan lokal. Pokoknya temanya yaitu kebudayaan, dan kebudayaan itu luas seperti menyangkut segala aspek mulai dari pengetahuan, adat kebiasan, perilaku, dan lainnya.” Dari hasil wawancara, Karang Tumaritis harus mengangkat kearifan lokal yang ada di Yogyakarta. Kearifan lokal yaitu cara, ilmu, pengetahuan yang commit to user bermanfaat bagi sekelompok masyarakat di suatu tempat, dan hanya di miliki oleh kelompok masyarakat tersebut. Kearifan lokal ini juga menyangkut segala aspek yang ada pada kebudayaan suatu daerah tertentu. Kebudayaan pada kearifan lokal yang dimaksud adalah kebudayaan Jawa, sebagai kebudayaan aslinya. Kebudayaan seperti yang diungkapkan oleh Koentjoroningrat yang dikutip oleh Alfian 1985 : 101-102, yaitu isi kebudayaan manusia sebaiknya menggunakan unsur-unsur kebudayaan universal yaitu unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks dan dengan suatu jaringan hubungan yang luas. Dengan mengambil contoh konsepsi B. Malinowski, maka dalam semua kebudayaan di dunia ada tujuh buah unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kearifan lokal Yogyakarta menyangkut berbagai produk kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Kebudayaan itu luas, seperti kutipan di atas bahwa unsur-unsurnya mencakup antara lain bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Jadi, kearifan lokal merupakan milik dari masyarakat di lingkungan itu. Tergantung kebudayaan apa yang menjadi pegangannya Tema yang diambil untuk dijadikan materi dalam setiap tayangan Karang Tumaritis yaitu bisa menyangkut tentang kesenian Jawa, kehidupan bermasyarakat orang-orang pendatang di Yogyakarta, seni modern yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa, informasi tentang teknologi mutakhir yang berperan dalam pengembangan budaya Jawa, dan lain sebagainya. Berbagai jenis kebudayaan baru, seperti contohnya yaitu teknologi, ternyata memiliki peran dalam pengembangan budaya Jawa. Tema ini menjadi sesuatu yang menarik karena pembicaraan tentang kebudayaan Jawa tidak commit to user terpaku pada yang lampau-lampau saja, tetapi mampu mengambil sisi positif dari adanya hasil kebudayaan baru, yang disebut teknologi. Untuk semakin memperjelas makna kerarifan lokal dalam rangka pelestarian produk-produk kebudayaan Jawa, maka dari hasil wawancara dengan Bapak Anang, Penanggung Jawab Humas, 11 November 2010, menyebutkan : “Pada intinya, acara yang diangkat pada TVRI D. I. Yogyakarta adalah acara yang bisa mengangkat potensi lokal yang ada di sekitar stasiun tersebut. Contohnya seperti Obrolan Angkring, acara ini mengangkat budaya namun bukan budaya Jawa seperti tradisi, hanya sebatas obrolan. Lalu Pangkur Jenggleng benar-benar mengangkat budaya Jawa, seperti halnya Karang Tumaritis yang mengangkat budaya Jawa. Dan Campur Sari pun sebenarnya adalah budaya Jawa juga. Acara-acara yang ada memang harusnya dialokasikan untuk mengangkat potensi lokal.” Acara-acara yang ada di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta seharusnya mengangkat kearifan lokal supaya potensi lokal tersebut bisa mendapat tempat dan terekspos. Hal ini telah sesuai dengan Karang Tumaritis yang diproduksi untuk mengangkat kearifan lokal sebagai bagian dari pelestarian produk kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Efendi Gazali mengungkapkan tentang televisi publik, salah satunya yaitu akses publik, Akses publik ini dimaksudkan tidak hanya coverage area, tetapi juga menyangkut bagaimana penyiaran publik mau mengangkat isu-isu lokal dan memproduksi program-program lokal dan tokoh-tokoh lokal. TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta telah memproduksi acara yang mengangkat isu-isu lokal melalui Karang Tumaritis dan acara lainnya. Alokasi ini terlihat dari banyaknya acara yang berbau kelokalan Yogyakarta. Kearifan lokal pada televisi sebagai media massa juga seperti yang ditulis dalam pendapat menurut Wilbur Schramm Wiryanto, 2000 : 10 yaitu terdiri dari tiga poin. Komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder. Komunikasi massa mengdekode lingkungan sekitar, mengawasi kemungkinan commit to user timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan juga efek-efek hiburan. Komunikasi massa menginterpretasikan hal-hal yang didekode sehingga bisa mengambil kebijakan terhadap efek, menjaga berlangsungnya interaksi serta membantu anggota-anggota masyarakat menikmati kehidupan. Komunikasi massa juga mengenkode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada anggota masyarakat. Komunikasi massa atau komunikasi melalui media massa termasuk televisi terdiri dari ketiga proses di atas. Kearifan lokal termasuk fungsi yang diemban oleh media massa. Karena komunikasi massa mengdekode lingkungan sekitar kemudian menginterpretasikannya. Dan komunikasi massa juga ikut mengenkode pesan-pesan. Hal apa yang terjadi di dalam lingkungan sekitar dari media massa tersebut bisa disebut kearifan lokal. TVRI mengangkat kearifan lokal dengan tujuan agar mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi persetujuan, efek-efek hiburan, menjaga kelangsungan interaksi, membantu masyarakat menikmati kehidupan, memelihara hubungan dengan masyarakat, dan menyampaikan kebudayaan baru kepada masyarakat. Hasil wawancara yang memperkuat pernyataan tentang kearifan lokal sebagai bagian dari proses melestarikan produk kebudayaan Jawa yaitu dengan Mas Altiyanto, pembawa acara, 16 November 2010 : “Kalau mau konsekuen kaitannya dengan cita-cita TV publik yang mencerdaskan pemirsa, maka TVRI Yogyakarta yang ada di Yogya ini terutama dengan segmentasi orang Jawa mayoritas, harusnya tidak hanya membahas tentang Jawa yang lampau-lampau saja. Akan tetapi, lebih baik mengomongkan tentang kekinian dengan perspektif budaya-budaya Jawa.” Kearifan lokal tersebut merupakan potensi yang terkandung dalam kekayaan yang dimiliki Yogyakarta. Di Yogyakarta yang disebut sebagai kearifan lokal adalah juga termasuk kebudayaan yang ada di Yogyakarta saat ini. Jadi, kebudayaan Jawa commit to user sifatnya luas, bahkan mencakup ruang dan waktu. Hari Poerwanto 2008 : 60 mengutip dari Leslie White bahwa : “…..Sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas. Berdasar kerangka pemikiran tersebut di atas, maka jelaslah kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia; baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya.” Kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, namun dia bisa mengikuti perubahan sesuai dengan keperluan jaman. Kebudayaan adalah sesuatu yang digunakan manusia untuk memenuhi dan menjalani hidupnya. Termasuk kebudayaan Jawa yang menjadi pegangan untuk orang Jawa. Karang Tumaritis adalah acara yang mengangkat kearifan lokal sesuai dengan kekinian di Yogyakarta. hal ini terlihat dari hasil wawancara lainnya dengan Bu Yati Pesek sebagai pembawa acara, 16 November 2010, yaitu : “Menurut pribadi saya, memang seni budaya kita itu bukan benda mati. Seni budaya kita itu hidup. Kita boleh ikut, tapi jangan sampai hanyut. Kalau sekarang begini, ya oke lah. Misalnya saya sendiri, bila saya masih tetap melawak manggung seperti jaman dulu, maka anak-anak sekarang tidak ada yang suka. Mereka menganggap kuno. Tetapi, kalau saya pelestarian dan pengembangan. Kalau hanya pelestarian saja, saya lapar. Dulu saya melawak wayang orang sudah wah. Pertunjukannya mengambil waktu yang lama, jogednya lama, ngomongnya pun alon-alon. Anak muda sekarang berpikir pertunjukan apa itu. Nah sekarang bagaimana membuat pertunjukan menjadi singkat dan mudah diterima. Apalagi pakai bahasa kawi, anak muda pasti bilang pertunjukan apa itu. Tetapi, saya punya keinginan anak muda kenal dulu. Kalau sudah kenal mereka bisa jadi sayang. Kalau tidak kenal tidak sayang. Kami sebagai seniman, di samping pelestarian ada juga perkembangan….” Dengan melihat kutipan dari Bu Yati Pesek sebagai seniman, mereka adalah bagian dari pihak yang selalu mempelopori pelestarian kebudayaan Jawa. Bahkan beliau juga berpendapat bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang tumbuh. Mereka juga melakukan pengembangan kebudayaan. Karena setiap jaman akan selalu berubah, seperti pendapat Bu Yati bahwa pengembangan ini bisa muncul karena keadaan commit to user sekarang yang berbeda dengan dulu. Namun, tentunya pengembangan ini sesuai dengan esensi dari kebudayaan Jawa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh Edi Sedyawati 280 : 290 yaitu pada dasarnya setiap kebudayaan, sebagai milik suatu masyarakat, dalam intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan. Kebudayaan sebenarnya tidak pernah statis atau stagnant, namun sebaliknya meski dapat terjadi perubahan dan perkembangan di dalam kebudayaan, jati diri suatu kebudayaan dapat lestari. Artinya, lestari yang dinamis, yaitu ciri-ciri pengenalnya secara keseluruhan tetap dimiliki meski bentuk-bentuk ungkapan di dalamnya konsep, tata tindakan, benda-benda-benda budaya dapat mengalami perubahan. Kebudayaan Jawa telah mengalami perkembangan ataupun perubahan. Walaupun begitu, ciri-ciri yang terdapat dalam kebudayaan Jawa masih ada dan bisa dikenali. Hanya saja perkembangan itu terjadi secara alami. Bahkan semua kebudayaan yang ada di dunia ini pasti mengalami perkembangan. Hal ini sebaiknya diantisipasi dengan arah perkembangan yang baik karena eksistensi sebuah kebudayaan tergantung pada pemiliknya. Untuk usaha melestarikan kebudayaan Jawa, televisi mampu membantu usaha tersebut. Dengan dibuatnya acara yang melestarikan kebudayaan Jawa dan mengangkat kearifan lokal di Yogyakarta maka masyarakat bisa mendapatkan informasi tentang budayanya sendiri. Dan kebudayaan yang telah berkembang sesuai dengan kekininan di Yogyakarta itu telah diangkat menjadi Karang Tumaritis. Hasil wawancara dengan Bapak RM. Kristiadi sebagai desain program, 16 November 2010 yaitu : “....Supaya punya esensi, maka dialog bahasa Jawa juga banyak menggunakan kata-kata serapan bahasa Indonesia. Sebetulnya tidak menggunakan bahasa Jawa yang membebani, karena tidak adil bila hanya bahasa Indonesia boleh commit to user menggunakan kata-kata serapan. Masak bahasa Jawa tidak boleh memakai kata-kata serapan. Sebetulnya apabila bahasa Jawa boleh memakai kata-kata serapan, maka bahasa Jawa menjadi sangat indah dan fleksibel. Dan saya tidak setuju bila hal tersebut lalu merusak bahasa Jawa. Karang Tumaritis adalah milik orang Jawa, tetapi tamunya bisa datang dari mana-mana. Harusnya tayangan televisi bisa mencerdaskan masyarakat, maka Karang Tumaritis sebisa mungkin untuk selalu ganti-ganti tema dan narasumber. Supaya Karang Tumaritis menjadi semakin baik, narasumbernya ganti-ganti. Ketika narasumber berbicara tentang kebudayaan, itulah kecerdasan. Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang mau berpikir.” Perkembangan itu terlihat dari penggunaan kata-kata serapan dari bahasa Indonesia sebagai bahasa yang juga digunakan di Yogyakarta sehari-hari. Di mana pun di Indonesia, bahasa persatuan ini telah digunakan oleh orang Indonesia. Bahkan tak dapat dipungkiri jika orang Jawa juga berbicara bahasa Indonesia. Ketika bahasa Jawa memakai kata serapan dari bahasa Indonesia, ini berarti perkembangan kebudayaaan telah terjadi. Kebudayan Jawa yang seperti inilah merupakan kebudayaan di mana kita hidup saat ini. Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Koentjoroningrat yang dikutip Alfian 1985 : 109 yaitu Poerbatjaraka menyampaikan bahwa kebudayaan baru Indonesia harus berakar pada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra- Indonesia. Hal itu berarti bahwa kebudayaan Indonesia seharusnya berakar pada kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Demikian pula dengan kebudayaan Jawa yang boleh mengambil esensi dari kebudayaan nasional kita, yaitu bahasa Indonesia. Dari pernyataan di atas telah dijelaskan bahwa kebudayaan nasional berpangkal pada kebudayaan daerah. Jadi, Karang Tumaritis adalah acara yang juga mengambil kata- kata serapan untuk semakin mencerminkan bahwa kebudayaan Jawa di Yogyakarta saat ini menjadi sangat berwarna. Kebudayaan bangsa Indonesia maupun kebudayaan Jawa merupakan dua kebudayaan yang saling mempengaruhi. commit to user Sebagai acara di televisi, maka Karang Tumaritis juga di-setting sedemikian rupa sehingga pemirsa mampu menangkap dengan mudah. Bapak RM. Kristiadi sebagai desain program berpendapat dalam wawancara yang dilaksanakan pada 16 November 2010 yaitu : “Kadang-kadang membuat acara televisi tidak seperti buku yang harus satu titik. Seperti misalnya tentang drama tari di Yogyakarta, lalu kita memasukkan unsur tentang Idul Adha atau Merapi, itu tidak masalah bagi saya. TV tidak sama dengan buku, buku bisa mengupas secara detail, namun karena TV dibatasi oleh waktu, maka lebih baik sedikit namun diulang-ulang dari pada banyak tapi mendalam.” Dari kutipan itu, pada dasarnya acara di televisi lebih baik sedikit namun diulang-ulang. Hal yang sama juga dikatakan oleh pembawa acara Karang Tumaritis, Mas Altiyanto, 16 November 2010 : “Ketika berbicara tentang televisi, dimana TV itu berkaitan dengan durasi, daya tangkap informasi, maka alangkah baiknya bila pesan yang disampaikan diulang-ulang supaya pemirsa paham….” Teori tentang televisi dijelaskan oleh Riswandi 2009 : 5-6 bahwa beberapa karakteristik televisi yaitu diantaranya adalah berpikir dalam gambar, ada dua tahap pada poin ini. Pertama, visualisasi, menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar-gambar. Kedua, penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu. Televisi adalah media massa yang memiliki keterbatasan. Tetapi, keterbatasan itu bisa diantisipasi, yaitu dengan lebih baik pesannya diulang-ulang agar pemirsa mengerti. Hal ini juga sesuai dengan pengertian komunikasi massa dari Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr Onong Uchjana Effendy, 1993 : 13-14 yang mengatakan : ”Mass comunication is a part of skill, part art, and part science. It is skill in the sense that it envolves certain fundamental learnable techniques such commit to user as focusing a television camera, operating a tape recorder or taking notes during an interview. It is art in the sense that it envolves creative challeges such as writing a script for a a television program, developing an aesthetic layout for a magazine ad or coming up with a catchy lead for a news story. It is a science in the sense that there are certain principles involved in how communication works that can be verivied and used to make things work better”. Komunikasi massa sebagian adalah keterampilam, bagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian meliputi teknik-teknik tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan perekam pita atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian tantangan-tantangan kretif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik.” Acara Karang Tumaritis di televisi merupakan bagian dari ketrampilan, seni, dan ilmu. Untuk memproduksinya membutuhkan ketrampilan dalam memfokuskan kamera, mengoperasikan perekam pita atau mencatat ketika wawancara. Seni di sini dimaksud ketika menulis skrip untuk Karang Tumaritis membutuhkan seni supaya lebih menarik untuk ditonton. Kemudian ia adalah ilmu untuk membuat komunikasi bisa dikembangkan dan dipergunakan sehingga berbagai hal bisa menjadi lebih baik. Pada hal ini, Karang Tumaritis sebagai acara di televisi berhubungan dengan ketrampilan, seni, dan ilmu. Yaitu bagaimana ketiga hal tersebut digabungkan sehingga mendapatkan hasil yang maksimal untuk Karang Tumaritis. Perpaduan ketiga unsur itu akan menjadikan Karang Tumaritis menjadi sebuah program yang layak untuk ditonton. Karena ketrampilan, seni, dan ilmu menjadi sebuah formula untuk menjadikan kebudayaan Jawa menarik untuk disaksikan oleh pemirsa. Karang Tumaritis merupakan acara yang berperan dalam melestarikan produk kebudayaan Jawa di Yogyakarta saat ini. Segala potensi yang terkandung di Yogyakarta diangkat ke dalam materi acara. Potensi lokal ini termasuk kebudayaan commit to user Jawa di Yogyakarta. Dari tema-tema yang dilebur menjadi Karang Tumaritis berisi informasi yang mencerdaskan dan membuka wawasan masyarakat Yogyakarta tentang kearifan lokal yang mereka miliki. Sebuah program acara di televisi bisa memberikan peran yang besar terhadap tereksposnya kearifan lokal yang bermanfaat untuk kehidupan masyarakat. Kearifan lokal itu juga termasuk dalam pelestarian berbagai produk kebudayaan Jawa, sehingga dengan mengangkat kearifan lokal maka produk- produk kebudayaan Jawa juga ikut terlestarikan. 4. Sarana Dialog Interaktif Melalui Televisi Yang Mencerdaskan Audien Untuk Bidang Budaya Media televisi merupakan media massa yang bersifat audio visual, yaitu bisa didengar dan dilihat. Maka, hal ini bisa menjadi sebuah kelebihan dibandingkan dengan media massa lainnya. Dengan adanya kelebihan ini, televisi mampu membuat sarana untuk melakukan dialog interaktif. Meskipun radio juga bisa melakukannya, akan tetapi televisi lebih memungkinkan untuk mengadakan dialog interaktif dengan pemirsanya. Karang Tumaritis merupakan sebuah acara yang menggunakan dialog interaktif. Dengan membuka line telepon, maka penelpon bisa berdialog dengan narasumber maupun pembawa acara di studio. Inilah kelebihan dari televisi karena dukungan teknologi yang lebih rumit dari pada jenis media massa lainnya. Ini juga merupakan komunikasi bermedia mediated communication yaitu menurut Suranto Aw 2010 : 14 adalah komunikasi dengan menggunakan media seperti telepon, surat, radio, dan sebagainya. Karang Tumaritis menggunakan media seperti televisi dan telepon. Dialog melalui telepon yang kemudian dimunculkan ke dalam televisi saat live on air, akan menambah rasa berinteraksi di dalam sebuah proses komunikasi. commit to user Menurut Bu Iwung, produser Karang Tumaritis, dalam wawancara 3 November 2010 tentang live interaktif Karang Tumaritis yaitu : “Supaya ada interaksi. Jadi kami tidak merasa benar sendiri. Orang lain yang menonton juga bisa berpendapat melalui acara ini.” Kemudian, pernyataan itu diperkuat juga dengan hasil wawancara dengan Bapak RM. Kristiadi, desain program, mengenai live interaktif tersebut pada 16 November 2010 adalah : “Live mampu membuat interaksi yang lebih hangat, sebab adanya multiplying effect lebih terasa. Misalnya ada narasumber dari kampung ini, maka tentu saja penduduk dari kampung tersebut ikut menonton, itulah multiplying effect. Narasumber itu akan memberikan multiplying effect pada tempat tinggalnya. Bahkan, pernah ada penelpon yang kami jadikan narasumber langsung. Jadi, narasumbernya tidak melulu harus akademisi.” Wawancara lainnya dengan Mas Altiyanto, pembawa acara Karang Tumaritis, 16 November 2010 tentang Karang Tumaritis yaitu : “Merupakan program dari TVRI D.I Yogyakarta yang spesifik, yaitu formatnya talkshow atau dialog tetapi berbeda dengan dialog-dialog lain, Karang Tumaritis sifatnya sangat “cair” dan intim, sehingga antara pembawa acara, narasumber dan tema dengan pemirsa menjadi bagian dekat baik secara situasional maupun persolan publik….” Dari hasil ketiga wawancara di atas maka Karang Tumaritis adalah acara yang live dan bersifat interaktif antara narasumber, pembawa acara, dan penelpon. Hal ini dilakukan karena supaya ada masukan-masukan, sehingga pihak pembuat program acara Karang Tumaritis TVRI merasa benar. Akan tetapi, mereka juga menginginkan adanya suara dari pemirsa melalui telepon. Selain itu, menurut Bapak RM. Kristiadi, live interaktif mampu membuat rasa yang lebih hangat di antara komunikator dan komunikan. Hal yang sama pula diungkapkan oleh Mas Altiyanto yang mengutarakan pendapat tentang Karang Tumaritis yang sifatnya menjadi dekat dan terasa berbeda dengan dialog-dialog lain di media massa. commit to user Hal tersebut di atas sesuai dengan teori yang menjelaskan tentang arti komunikasi itu sendiri. Seperti yang dikutip dari Suranto Aw 2010 : 2, kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa Inggris communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan, dan lain-lain antara dua orang atau lebih. Secara sederhana dapat dikemukakan pengertian komunikasi, ialah proses pengiriman pesan atau simbol-simbol yang mengandung arti dari seorang sumber atau komunikator kepada seorang penerima atau komunikan dengan tujuan tertentu. Dari pengertian di atas, maka Karang Tumaritis merupakan sarana berkomunikasi dialog interaktif antara narasumber, pembawa acara, dan penelpon. Petukaran informasi, konsep, ide, gagasan, persaan, dan lain-lain ini terjadi antara pihak komunikator dengan pihak komunikan. Proses pengiriman pesan dari TVRI mengandung pesan tentang kebudayaan Jawa dan tujuan tertentunya adalah supaya pemirsa mengerti akan kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Komunikasi interaktif seperti ini di media massa akan membuat kedekatan antara komunikator dan komunikan. Sebagai seorang pembawa acara yang mengendalikan materi poin-poin pertanyaan di Karang Tumaritis, maka Mas Altiyanto pada wawancara tanggal 16 November 2010 menjelaskan : “Iya, saya lebih berfungsi menjadi pengendali tema. Ketika sifatnya obrolan yang ringan sifatnya, maka kalau ngobrol bisa sampai out of context. Supaya pada program televisi ketika berdialog tidak keluar jalur atau out of context, lebih berperan seperti itu. Ini kan bukan ada pertanyaan yang kemudian narasumber lalu membuat pemaparan panjang. Tetapi, pertanyaan menjadi sebuah obrolan, maka obrolan ada yang sifatnya interaksi, responsif, dan ada juga yang improvisasi.” commit to user Diketahui dari hasil wawancara di atas bahwa Karang Tumaritis mempunyai pijakan berpikir yang dituangkan ke dalam poin-poin pertanyaan untuk narasumber. Namun, sesuai dengan perkembangannya, maka pembawa acara yang mengerti akan kebudayaan Jawa, yaitu Mas Altiyanto membuat dialog yang Karang Tumaritis menjadi enak dan tidak keluar dari jalur yang ditetapkan oleh produser. Di sini dapat terlihat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada narasumber tidak menjadi sebuah pemaparan biasa, namun menjadi sebuah obrolan yang interaktif, responsif, dan kadang juga improvisasi. Karang Tumaritis menjadi enak untuk ditonton, karena sebagai pemirsa, tidak hanya akan disuguhi oleh dialog panjang tertang kebudayaan Jawa yang terkesan membosankan. Akan tetapi, pemirsa bisa melihat sebuah dialog atau obrolan yang cair dan hangat. Selain itu, pemirsa yang berniat ingin ikut ke dalam suasana dialog tersebut bisa menelpon ke studio lalu disambungkan ke narasumber dan pembawa acara. Dialog interaktif memberikan kesan bahwa suara dari pemirsa juga didengar dan dihargai, sehingga sebagai program acara, Karang Tumaritis bisa memberikan kontribusi melalui sarana interaktif ini. Hasil wawancara dengan pembawa acara Karang Tumaritis, Bu Yati Pesek, 16 November 2010 adalah : “Sepertinya bahasa Jawa yang keliatannya mulai tersisih, saya kurang tahu juga bagaimana. Namun, dengan adanya Karang Tumaritis masyarakat menjadi antusias menonton Karang Tumaritis, salah satunya dengan penelpon yang berusaha untuk menyampaikan pendapatnya atau pertanyaan. Bahkan penelpon sampai ada banyak yang masuk.” Menurut Bu Yati Pesek sendiri, pemirsa antusias dengan adanya Karang Tumaritis. Dengan banyaknya telepon masuk ke TVRI, maka bisa dipastikan masyarakat masih suka bahkan antusias untuk menyalurkan suara mereka. Dalam hal ini adalah kebudayaan Jawa, ternyata masih banyak pihak yang suka memberikan commit to user kontribusinya untuk menyuarakan pendapat, informasi, maupun saran mereka melalui telepon. Untuk kalangan lokal Yogyakarta sendiri, dengan adanya penelpon yang selalu antri untuk masuk berdialog dengan narasumber ataupun pembawa acara, maka dapat dipastikan bahwa Karang Tumaritis disukai. Menurut hasil pengamatan yang didapatkan oleh peneliti selama di ruang telepon interaksi, yaitu ada telepon masuk namun waktunya sudah habis. Dari sini terlihat pemirsa yang ingin berpartisipasi untuk Karang Tumaritis juga banyak. Mereka rela membayar biaya telepon lebih untuk bisa memberikan suara melalui interaktif. Penelpon bahkan tidak hanya datang dari Yogyakarta saja, tetapi dari Magelang, Solo, Boyolali juga sering masuk. Namun, apa pun bentuk suara dari penelpon, tentunya untuk ukuran pemirsa juga tidak hanya melalui telepon yang masuk. Mungkin ada banyak kalangan yang suka menonton Karang Tumaritis namun mereka tidak telepon. Kemungkinan seperti itu bisa saja muncul, mengingat siaran televisi mampu menjangkau banyak orang secara bersama-sama. Hasil wawancara dengan Bu Iwung, produser Karang Tumaritis, 3 November 2010 adalah sebagai berikut : “Namanya juga interaktif, jadi ada banyak respon juga dari masyarakat. Respon yang diterima biasanya karena mereka suka akan acara ini. Tentunya yang tidak suka mungkin diam saja. Sepertinya mereka merasa ini adalah sesuatu yang baik. Ada juga yang saran, kritik, pendapat, dan bertanya. Kan ini namanya dialog. Jadi, ada yang pernah berkata, jangan ngomong seperti ini, tetapi sebaiknya seperti itu.” Kemudian pendapat yang serupa dengan Bu Iwung juga disampaikan oleh Bapak RM. Kristiadi pada wawancara 16 November 2010 : “Macam-macam, pertanyaan seperti itu, bagi saya itu tidak penting. Karena ketika dia telepon, berati mereka cerdas. Masyarakat perlu diberikan “gesekan” untuk menjadi cerdas. Contohnya yaitu Yogya Java Carnival dengan dana sekitar 2 Milyar memberikan dampak luar bisasa untuk mencerdaskan masyarakat. Dibandingkan secara ekstrem dengan lokalisasi. commit to user Keduanya sama-sama memiliki dampak untuk masyarakat, tetapi berbeda sekali. Lokalisasi jelas sangat profit untuk pajak daerah, mampu menyumbang banyak untuk pemasukan daerah. Di sini pemerintah untung, namun masyarakatnya rugi dengan adanya lokalisasi. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah, ingin pajak daerah tinggi tetapi menghancurkan masyarakat maka silahkan buka lokalisasi. Di Bali, pemerintah membuka tempat wisata tetapi tiket masuknya murah, tempat wisata tidak untung tidak masalah, namun masyarakatnya bisa hidup. Seperti halnya dengan Karang Tumaritis, bila ingin untung maka diganti saja dengan acara-acara hiburan.” Dari dua hasil wawancara tersebut di atas, dapat dilihat bahwa Karang Tumaritis merupakan dialog interaktif. Masyarakat bisa menyalurkan aspirasinya, karena mereka juga mempunyai hak untuk berbicara. Untuk soal kebudayaan Jawa tentunya akan menjadi persoalan yang menarik untuk dibicarakan, mengingat eksistensinya sekarang. Menurut pemirsa Karang Tumaritis, Bu Anna Amrih Rahayu, hasil wawancara 23 November 2010, Karang Tumaritis mempunyai kelebihan yaitu : “Sebenarnya saya sering nonton, sering tidak. Kalau kemarin yang tentang wayang, saya suka lalu nonton. Permasalahan yang diangkat adalah budaya, baik sekali. Namun, untuk saya pribadi, Karang Tumaritis tergantung tema yang diambil. Selain itu, adanya telepon interaktif sehingga bisa masuk ke line di TVRI dan menyampaikan pendapat.” Dari pernyataan di atas telah terlihat bahwa dengan adanya telepon interaktif berarti feed back dari pemirsa terlihat sedikit. Hal tersebut sesuai dengan poin pernyataan dari Onong Uchjana Effendy 2004 : 51-55 yaitu sifat efek, efek komunikasi yang timbul pada komunikan bergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator. Komunikator atau Karang Tumaritis berusaha menginformasikan kebudayaan Jawa. Jadi, efek dari komunikasi ini adalah kesadaran yang nantinya akan timbul pada masyarakat tentang kebudayaan Jawa. Efek yang timbul nantinya yaitu efek kognitif yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa. Efek ini berupa efek positif yang bertujuan untuk memberikan commit to user informasi kepada masyarakat supaya mengerti akan kebudayaan Jawa. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari sebuah teori dari Harold Lasswell. Model ini berupa ungkapan : Who says what in which channel to whom with what effect atau siapa berkata apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa Morissan, 2008 : 16. Di sini komunikator membawa pesan melalui media kepada penerima dengan efek tertentu. Dalam ungkapan who says what in which channel to whom with what effect maka akan menjadi Karang Tumaritis menginformasikan kebudayaan Jawa melalui siaran televisi kepada khalayak di daerah Yogyakarta dengan efek seperti apa. Maka efek yang diharapkan adalah kesadaran akan pentingnya kebudayaan Jawa di kehidupan masyarakat Yogyakarta. Acara Karang Tumaritis, dengan menggunakan telepon interaktif, maka umpan balik yang terjadi bisa saja langsung. Namun, sebenarnya untuk penerapannya dalam kehidupan sehari-hari memerlukan waktu yang agak melambat, karena pelestarian kebudayaan adalah sebuah proses. Umpan balik yang terjadi pada Karang Tumaritis yaitu bisa diketahui dari penelpon. Pada setiap acara ini ditayangkan, maka paling tidak ada beberapa orang yang menelpon ke studio. Dari hasil pengamatan inilah, maka umpan balik Karang Tumaritis dilihat dari representative-nya. Dari sekian banyak pemirsa Karang Tumaritis yang tersebar di seluruh wilayah DIY dan sekitarnya, maka beberapa orang yang menelpon tersebut menjadi wakil dari semua pemirsa. Pertanyaan, saran, dan juga kritikan dari wakil inilah yang langsung bisa diterima oleh Karang Tumaritis. Hal tersebut sama dengan pernyataan tentang representative feedback dari Elvinaro, dkk yaitu : untuk karakteristik komunikasi massa yang komunikannya bersifat heterogen, maka tidak mudah untuk mengukur umpan balik yang datang dari semua komunikan. Karena itu, umpan balik yang datang biasanya merupakan representative wakil sampel, sehingga walaupun yang ditanggapi hanya satu atau dua commit to user komunikan, namun hal tersebut sudah dianggap dapat mewakili seumlah komunikan yang lainnya Elvinaro, dkk, 2007 : 47. Dengan adanya telepon interaktif, maka Karang Tumaritis menjadi lebih dari sekedar acara yang membahas kebudayaan. Telepon interaktif ini walaupun masih sederhana atau kurang modern di bandingkan dengan televisi swasta, namun untuk Karang Tumaritis sekiranya cukup untuk mengutarakan pendapat dari penelpon. Antusias pemirsa di rumah ketika line telepon dibuka terjadi di studio. Karena untuk tema-tema tertentu yang dipandang menarik oleh pemirsa, biasanya penelpon akan melebihi target. Kejadian ini sama seperti pengamatan yang dilakukan oleh penulis saat minggu ketiga bulan November 2010 di studio bahwa ada satu penelpon yang terpaksa ditolak karena waktu tayang Karang Tumaritis sudah habis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa telepon interaktif adalah wadah untuk menyalurkan pendapat dan sifatnya akan menyempurnakan dari acara tersebut. Pemirsa diajak untuk memberikan masukan dan jadilah sebuah dialog yang mempunyai kesan tidak hanya sekedar menggurui saja. Apalagi, Karang Tumaritis adalah acara kebudayaan Jawa yang tentu saja melibatkan semua lapisan masyarakat baik Jawa di Yogyakarta maupun di sekitarnya. Hal mengenai telepon interaktif adalah sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Edi Sedyawati dalam bukunya Keindonesiaan Dalam Budaya 2008 : 41-42 yaitu arah pemecahan yang harus dicari adalah untuk menanggulangi dua persoalan itu : yaitu pertama, ketidakseimbangan informasi dari negara luar yang kuat dari negara kita sendiri, dan kedua, kedudukan penonton televisi sebagai pihak pasif menerima siaran. Untuk persoalan pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan produksi industria budaya audio-visual dalam negeri yang memuat pula nilai-nilai commit to user budaya bangsa yang luhur, dan bukan justru mengambil alih nilai-nilai asing yang tidak luhur tetapi mengenakkan. Peningkatan produksi memerlukan suatu pengerahan modal, serta juga dan inilah yang justru sangat menentukan mutu, peningkatan tenaga- tenaga ahli dan sarana untuk itu….. Adapun untuk menjawab persoalan kedua ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu pertama, mendayagunakan media, atau kemasan media yang lebih bersifat interaktif, dan kedua, menyelenggarakan lebih banyak kegiatan yang bersifat tatap muka, yang lebih memungkinkan pergaulan antara manusia yang hangat dan menumbuhkan kepekaan untuk saling mengerti. Dari pernyataan di atas, maka benar bila Karang Tumaritis bukan hanya menjadi sekedar penyampai kebudayaan saja. Akan tetapi, acara ini juga mampu membuka kesempatan untuk masyarakat pemirsa yang ingin mengajukan pendapat melalui telepon interaktif saat on air. Karang Tumaritis adalah sarana untuk menumbuhkan rasa persamaan untuk bicara tentang kebudayaan Jawa. Hal seperti inilah yang dirasa perlu untuk dilakukan, agar media massa juga menampung atau mendengar kata-kata dari pemirsa. Media massa yang bersifat interakif lebih bisa memberikan efek yang mendalam untuk pemirsa maupun narasumber agar mereka juga tahu bagaimana pendapat masyarakat tentang kebudayaan Jawa. 5. Sarana Sosialisasi Program-program Pelestarian Kebudayaan Jawa di Yogyakarta Sebagai media massa, tentunya televisi tidak lepas dari perannya untuk mensosialisasikan sesuatu. Dalam masalah ini, sosialisasi yang dimaksud yaitu program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Melalui salah satu acaranya, TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta menjadi sarana sosialisasi program-program yang berasal dari pihak-pihak seperti dinas atau pemerintah. Bentuk kerja sama ini sudah berlangsung sejak lama, mengingat adanya kesamaan pandangan terhadap suatu masalah. commit to user Karang Tumaritis menjadi salah satu acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta yang menjalin kerja sama dengan pihak di luar TVRI. Dengan adanya kesamaan komitmen, Karang Tumaritis bisa menjadi sarana sosialisasi ke masyarakat luas bagi pihak tersebut. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan produser Karang Tumaritis, Bu Iwung, 3 November 2010 : “Paling-paling kami hanya mengkomunikasikan komitmen-komitmen itu dengan lembaga lain. Bagi yang mempunyai komitmen yang sama kita bisa bekerja sama.” Selain dari hasil wawancara dengan Bu Iwung, ada juga pernyataan yang memperkuat dari Bapak Anang, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, 11 November 2010 : “Untuk acara seperti Karang Tumaritis maupun yang mengangkat kebudayaan lokal yang lebih tertarik mengisi adalah dari kalangan dinas. Walaupun sebenarnya Karang Tumaritis bisa dimasuki oleh kalangan manapun. Biasanya ini karena kepentingan dari pihak dinas tertentu juga. Mungkin Dinas Pariwisata yang akan mengisi Karang Tumaritis bisa merangkul pihak lain yang ada dalam satu komunitas dengannya. Dinas Pariwisata yang mengisi pastinya akan mengajak dinas-dinas kepariwisataan lain untuk menonton penampilan mereka ini. Hal ini bisa jadi Karang Tumaritis lalu ditonton oleh kalangan tersebut. Selain itu, Karang Tumaritis sifatnya tema. Jadi, para penonton yang suka biasanya tergantung oleh cocoknya tema.” Pelestarian kebudayaan tidak hanya menjadi tugas media massa saja. Namun, berbagai pihak harus bekerja sama dalam proses pelestarian kebudayaan. TVRI perlu adanya kerja sama dengan pihak pelestari kebudayaan lainnya supaya terjalin hubungan untuk saling bertukar pikiran. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa bentuk kerja sama bisa saling menguntungkan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Edi Sedyawati 2008 : 203 tentang pembinaan kebudayaan. Tugas pembinaan kebudayaan yang diemban oleh berbagai pihak dalam masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam usaha-usaha yang menurut sifatnya dapat dibagi ke dalam commit to user lima kelompok, yaitu: a. Pemeliharaan, perawatan, dan pemugaran b. Penggalian dan pengkajian c. Pengemasan informasi budaya dan penyebarluasannya d. Perangsangan inovasi dan kreasi e. Perumusan nilai-nilai ideal bangsa dan sosialisasinya Tujuan-tujuan besar seperti di atas dirumuskan sebagai “memperkukuh jati diri budaya bangsa”, “memperkuat ketahanan budaya bangsa”, “melestarikan warisan budaya bangsa”, “meningkatkan kesadaran budaya”, “meningkatkan kesadaran sejarah”, serta “memperlancar dialog budaya”, pada dasarnya adalah tujuan-tujuan payung yang harus dijabarkan ke dalam berbagai program kegiatan. Karang Tumaritis termasuk ke dalam pengemasan informasi budaya dan penyebarluasannya. Melalui televisi, informasi budaya bisa dikemas secara menarik dan kreatif dan dilakukan penyebarannya. Tujuannya adalah untuk memperkukuh jati diri budaya bangsa, memperkuat ketahanan budaya bangsa, melestarikan warisan budaya bangsa, meningkatkan kesadaran budaya, meningkatkan kesadaran sejarah, serta memperlancar dialog budaya. Dengan terjaganya kebudayaan asli Indonesia yang sesuai dengan nilai luhur bangsa maka, bangsa ini tidak rapuh dalam menghadapi globalisasi. Kebudayaan Indonesia seharusnya berakar pada kebudayaan asli daerah di NKRI. Dalam masalah pengembangan kebudayaan, Karang Tumaritis ikut melestarikan sekaligus mengembangkan kebudayaan Jawa. Dengan adanya sosialisasi program-program yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis telah memberikan tempat kepada pihak-pihak yang ingin mengembangkan sekaligus melestarikan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Astrid S. commit to user Susanto-Sunario 1995 : 151 tentang pengembangan kebudayaan daerah yang merupakan akar dari kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah tidak ditiadakan demi pengembangan kebudayaan itu sendiri, tetapi selalu dalam rangka pengembangan budaya nasional. Komunikasi merupakan alat dan wahana penyampaian kemungkinan-kemungkinan perkembangan kebudayaan dalam arti luas, yaitu mencakup seluruh kehidupan masyarakat di daerah-daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan nasional. Menurut pendapat dari Astrid S. Susanto-Sunario di atas, bahwa kebudayaan nasional mencakup kebudayaan daerah-daerah di Indonesia. Komunikasi menjadi alat dan wahana untuk menyampaikannya. Karang Tumaritis menjadi alat pelestari dan pengembang kebudayaan Jawa, selain itu ia juga menjadi sebuah wahana untuk mengkomunikasikan perkembangan kebudayaan. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Karang Tumaritis menjadi alat penyampai perkembangan kebudayaan Jawa di masa sekarang yang sesuai dengan kehidupan masyarakat di Yogyakarta sendiri. Untuk mencapai tujuan itu, maka digunakan media massa sebagai salah satu alat komunikasi. Televisi menjadi sebuah medium yang baik untuk mensosialisasikan sesuatu kepada khalayak luas. Karena televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media massa lainnya. Sesuai dengan pernyataan dari Onong Uchjana Effendy 2004 : 51-55 tentang ciri-ciri televisi yakni : a. Sifat komunikan Komunikasi massa ditujukan kepada khalayak yang jumlahnya relatif besar, heterogen, dan anonim. Sifat komunikan di sini yaitu karena siaran televisi ditujukan kepada khalayak yang jumlahnya relatif besar, heterogen, dan anonim. Acara Karang Tumaritis ditujukan untuk khalayak yang mampu menangkap siaran TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, yang diperkirakan besar jumlahnya. Apalagi sejak adanya tower baru di commit to user Gunung Kidul yang membuat siaran TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta mampu menjangkau daerah yang lebih luas dari pada sebelumnya. Khalayak yang dituju juga heterogen, dalam artian tidak peduli apakah dia orang kaya, miskin, laki-laki, perempuan, pejabat atau bukan, dan lainnya. Dan tentunya khalayak yang dituju juga tidak dikenal, mereka adalah orang-orang yang di wilayah tersebut yang mampu menerima siaran. b. Sifat media massa Serempak cepat, yaitu keserempakan kontak antara komunikator dengan komunikan yang jumlahnya besar. Media massa bersifat cepat rapid, dalam artian memungkinkan pesan yang disampaikan kepada banyak orang dengan waktu yang cepat. Karena sifatnya yang cepat keserempakan kontak antara komunikator dan komunikan yang jumlahnya besar, maka Karang Tumaritis bisa langsung dilihat dari setiap televisi yang menjadi target area TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Pesan yang dikirimkan oleh Karang Tumaritis mampu menjangkau cepat audiensnya di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. c. Sifat pesan Sifat pesan yang dibawa media massa adalah umum. Karena media massa adalah sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak, bukan untuk sekelompok orang saja. Sifat pesan yang dibawa oleh media massa ini adalah umum, bukan untuk kelompok saja. Karang Tumaritis menyampaikan pesannya kepada masyarakat umum tentang kebudayaan Jawa. Jadi, pesan ini bukanlah pesan yang hanya dikhususkan untuk kelompok tertentu saja, melainkan untuk masyarakat luas di sana. d. Sifat komunikator Karena media massa adalah sebuah lembaga atau organisasi, maka ia termasuk komunikator terlembagakan. Media massa memiliki pesan yang dikerjakan commit to user secara kolektif. Sifat komunikator pada televisi merupakan terlembagakan atau berasal dari sebuah lembaga bukan dari perorangan saja. Karang Tumaritis dari TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta adalah sebuah lembaga yang menyampaikan informasi ke khalayak secara kolektif. Lembaga inilah dikenal dengan TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. e. Sifat efek Efek komunikasi yang timbul pada komunikan bergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator. Sifat efek yang akan timbul yaitu efek yang sifatnya bergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator. Untuk efek dari Karang Tumaritis adalah efek yang bisa membuat kesadaran akan pentingnya kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta. Efek ini terjadi dari informasi yang dibawa melalui Karang Tumaritis. Sebagai televisi, maka siaran melalui program-programnya sering dikatakan sebagai wahana pendidikan yang berbeda dengan lembaga edukasi formal. Televisi adalah sebuah medium yang baik untuk menularkan ilmu dengan sajian yang berbeda dengan lembaga pendidikan formal. Sekilas televisi dianggap sebagai sarana hiburan saja, namun dibalik itu, televisi juga mengambil peran sebagai pendidik bagi pemirsanya. Yang perlu diperhatikan adalah masalah program yang mencerdaskan atau tidak. Jelas bahwa program yang mencerdaskan bisa mengambil peran dari lembaga pendidikan formal. Karang Tumaritis bisa menjadi acara yang menghibur sekaligus mencerdaskan. Karena isi dari materi yang ada di Karang Tumaritis bukan sembarangan tema. Hal inilah yang menyebabkan mengapa acara ini patut untuk dijadikan partner kerja sama. Hasil wawancara dengan Bu Widiastuti, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya, 30 November 2010 adalah : commit to user “Cukup besar, karena memang proses edukasi seperti ini harus selalu dilakukan. Program-program seperti ini harus ada, dan menurut saya TVRI telah konsisten dengan tema khusus terhadap kebudayaan. Jadi ini menurut saya cukup relevan acara ini.” Menurut hasil wawancara yang didapatkan, terlihat bahwa TVRI menurut dari kalangan dinas seperti Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta telah menunjukkan eksistensinya dengan membuat program seperti Karang Tumaritis. Program seperti Karang Tumaritis dianggap menarik karena bertema kebudayaan dan memiliki komitmen dalam proses edukasi. Karang Tumaritis menjadi acara yang baik karena bisa mencerdaskan audien melalui tayangannya. Kebudayaan Jawa berarti sesuatu milik orang Jawa. Kebudayaan menurut Hari Poerwanto yaitu 2008 : 51-52 : istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere, yang berarti bercocok tanam cultivation. Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi budi atau akal. Sering kali ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk “budi-daya”yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Karenanya ada juga yang mengartikan bahwa kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Untuk menerangkan tentang kebudayaan, maka menurut Koentjaraningrat Alfian, 1985 : 100 bisa dilihat dari wujud kebudayaan. Menurut Koentjoroningrat, wujud kebudayaan paling sedikit memiliki tiga wujud yaitu wujud sebagai kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia ; wujud sebagai suatu kompleks aktivitas ; dan wujud sebagai benda. Kebudayaan Jawa pastinya memiliki wujudnya sendiri yang membedakan dari kebudayaan lain. Kebudayaan Jawa adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa dari masyarakat Jawa. Kebudayaan Jawa adalah yang menjadi tema di Karang Tumaritis. Kebudayaan commit to user Jawa ini tidak akan mungkin dimiliki oleh masyarakat tanpa adanya proses belajar. Proses belajar kebudayaan bisa melalui berbagai media, termasuk media massa seperti televisi. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dijelaskan secara lebih lanjut oleh Koentjaraningrat Hari Poerwanto, 2008 : 52 yang mendefinisikan kebudayaan sebagai :…….keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Maka dari pernyataan dari Koentjoroningrat tersebut bisa diambil titik temu bahwa kebudayaan tidak bisa langsung dimiliki oleh seseorang tanpa adanya proses belajar terhadap kebudayaan itu sendiri. Pembelajaran adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan dan meneruskan kebudayaan dari generasi sebelumnya. Hal yang sama terjadi di Karang Tumaritis. Hasil dari wawancara dengan Bu Widiastuti menunjukkan tentang perlunya proses edukasi terhadap kebudayaan Jawa melalui media massa. Apalagi TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta merupakan stasiun televisi milik pemerintah yang paling mempunyai pengaruh dengan masyarakat di sana. Proses edukasi seperti pembuatan program kebudayaan di televisi akan menjadi salah satu sarana untuk belajar tentang kebudayaan Jawa. Untuk masalah persamaan komitmen dengan lembaga lain, maka Karang Tumaritis bisa bekerja sama dengan pihak tersebut. Namun, tentunya sebagai sebuah acara, Karang Tumaritis tetap pada jalur mencerdaskan audien dalam bidang budaya. Bentuk kerja sama untuk mengenalkan program-program kebudayaan yang dimiliki oleh suatu lembaga akan menjadikan Karang Tumaritis semakin luas pengalamannya. Karena dengan semakin menjaring banyak pihak untuk kerja sama, itu berarti proses edukasi akan dilakukan bersama-sama untuk mencapai tujuan mulia sebagai media edukasi. commit to user Media massa mempunyai fungsi penting di masyarakat. Karang Tumaritis sebagai acara yang di televisi tentunya yang paling utama adalah berfungsi dalam sosialisasi dan hiburan. Hal ini sesuai dengan penyataan dari Dominick 2001 tentang fungsi media massa. Fungsi-fungsi itu menurut Dominick 2001 terdiri dari Elvinaro, dkk, 2007 : 15-18 : a. Surveillance Pengawasan Fungsi pengawasan terdiri dari dua jenis, yaitu peringatan dan instrumental. Pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman angin topan, meletusnya gunung merapi, dan sebagainya. Sedangkan pengawasan instrumental yaitu penyebaran informasi yang memiliki kegunaan dalam kehidupan sehari-hari. Isinya bisa tentang produk-produk baru dan harga- harga saham. b. Interpretation Penafsiran Fungsi ini mirip dengan pengawasan. Namun, media massa juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. c. Linkage Pertalian Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. d. Transmission of Value Penyebaran Nilai-nilai Fungsi ini sering disebut sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa memperlihatkan kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka. Di antara semua jenis media massa, televisi sangat berpotensi untuk terjadinya commit to user sosialisasi penyebaran nilai-nilai. e. Entertainment Hiburan Televisi adalah media massa yang mengutamakan hiburan. Hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap harinya adalah hiburan. Melalui berbagai macam acara yang ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang dikehendakinya. Untuk Karang Tumaritis, fungsinya di masyarakat yang paling utama menurut poin yang dibuat oleh Dominick 2001 yaitu poin penyebaran nilai-nilai sosialisasi dan hiburan. Karang Tumaritis menjadi media untuk mensosialisasikan program-program kebudayaan baik dari pihak yang peduli kebudayaan maupun pihak yang mengurusi kebudayaan, selain itu ia juga menjadi sarana untuk menyalurkan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Sedangkan fungsi hiburan pasti ada dalam acara ini. Karena televisi merupakan sumber hiburan yang paling mudah untuk diakses. Hal tersebut juga sesuai dengan tugas yang diemban TVRI selama ini. Menurut Morissan 2008 : 97-99 adalah Undang-Undang Penyiaran di Indonesia memberikan tugas kepada TVRI untuk memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Jadi, terlihat bahwa TVRI harus memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Jadi, dengan adanya Karang Tumaritis maka TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta telah memberikan andilnya commit to user untuk melaksanakan tugas tersebut. C. Kendala Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta Kendala yang dihadapi Karang Tumaritis menurut beberapa orang yang terlibat di dalamnya adalah minim. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa tidak ada kendala. Sesuatu hal pasti ada kelemahannya, karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Hal yang sama terjadi pada Karang Tumaritis. Ketika tidak ada persoalan yang muncul, maka Karang Tumaritis memang tidak berkendala. Akan tetapi, ada sedikit pernyataan yang ternyata bisa saja membuat Karang Tumaritis tidak menjadi optimal. Hasil-hasil wawancara dengan Bu Iwung produser, 3 November 2010, Bapak RM. Kristiadi desain program, 16 November 2010, dan Bu Yati Pesek pembawa acara, 16 November 2010 memberikan jawaban tentang tidak adanya kendala. Hasil wawancara tersebut yaitu : “Sejauh ini tidak ada. Kami merasa nyaman-nyaman saja. Karena ngalir saja begitu.” Bu Iwung “Tidak ada. Saya tidak pernah berpikir tentang kendala.” Bapak RM. Kristiadi “Kalau bagi saya saat membawakan tidak ada masalah. Saya tidak berpikir ada kendala, kita lalui saja dengan senyum, pasti semua akan beres. Jangan dipikir sesuatu yang sulit sebagai kendala…” Bu Yati Pesek Dari jawaban-jawaban tersebut, memang tidak ada kendala yang berarti. Sehingga bisa dipastikan memang mereka suka terhadap hal-hal yang ada di Karang Tumaritis. Bahkan menurut pengamatan penulis, terlihat saat proses produksi Karang Tumaritis mereka sangat “mengalir”. Dan inilah yang dimaksudkan mengapa selama commit to user ini tidak pernah ada kendala. Mereka tidak mau berpikir dan merasakan kendala, tetapi adalah bagaimana mereka bisa melalui tugas-tugas ini. Sedangkan dari hasil wawancara lainnya yang berhasil dihimpun oleh penulis, ada beberapa pernyataan yang disinyalir sebagai kendala untuk Karang Tumaritis. Menurut pihak-pihak yang terlibat langsung dalam Karang Tumaritis, memang tidak ada kendala. Namun, menurut pihak-pihak yang agak tidak bersinggunggan secara langsung dengan produksi Karang Tumaritis merasa ada sesuatu hal yang bisa dianggap sebagai kendala untuk Karang Tumaritis. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Maryanta, Kepala Seksi Program, 3 November 2010 yaitu : “Karena anggaran yang terbatas. Dana kita dari dua sumber, yaitu APBN dan pihak ketiga sponsorship. Kalau pihak kedua yaitu pengisi acara, secara langsung berhubungan dengan kita. Masalahnya memang dana, biasanya tiap akhir tahun sudah habis. Untuk sponsor, memang dilihat ratingnya, apalagi untuk acara yang marketable. Namun, bila ada pihak yang mempunyai kepentigan yang hampir sama dengan kita, pasti akan masuk.…” Menurut pernyataan yang diberikan oleh Bapak Maryanta di atas tentang dana, maka terlihat bahwa inilah yang selama ini terjadi. Masalah pendanaan adalah sesuatu yang sensitif, mengingat TVRI merupakan sebuah lembaga milik pemerintah yang seperti banyak orang tahu bahwa dana adalah persoalan. Hal ini terjadi untuk stasiun televisi, namun bisa juga berdampak ke acara-acara yang diproduksi. Acara- acara tersebut tentunya mendapat porsi dana itu. Bila dana adalah menjadi sebuah dilema, maka acara televisi juga merasakan imbasnya. Karang Tumaritis adalah acara dari TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Dan untuk pembiayaan program ini pasti telah diperhitungkan oleh pihak TVRI. Pihak TVRI ini menyangkut pihak yang luas, termasuk TVRI Pusat. Dana untuk operasional TVRI di daerah juga diperhitungkan kembali oleh Pusat. Maka, secara otomatis TVRI commit to user di daerah menunggu keputusan dari Pusat. Setelah adanya keputusan tentang dana, maka TVRI di daerah bisa membuat rancangan program yang telah disesuaikan dengan besarnya jumlah anggaran fixed dari Pusat. Akibat yang bisa dirasakan oleh acara seperti Karang Tumaritis adalah berkurangnya jumlah waktu tayang. Bisa saja anggaran untuk membiayai acara tersebut harus dipotong untuk menyesuaikan anggaran yang diterima. Kendala semacam ini terjadi karena sumber dana TVRI berasal dari APBN dan dari luar. Apalagi APBN harus melalui rapat yang matang sebelum dana itu dikucurkan ke TVRI di daerah. Kemudian untuk memperkuat pernyataan Bapak Maryanta, maka hasil wawancara dengan Bapak Anang, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, 11 November 2010 juga mengataka hal yang sama yaitu : “Menurut yang saya ketahui adalah ada pada TVRI sendiri. Pertama, kendalanya yaitu dana. Karena dana kami berasal dari APBN dan pihak ketiga, jadi untuk pendanaan terbatas. Kami mengajukan rancangan ke pusat, namun jumlah dana tergantung dari mereka. Dana untuk TVRI akan dibagi ke TVRI di daerah-daerah, jadi kebijakan tergantung sana. Bila misalnya kami mengajukan 5 Milyar, namun hanya diberi 3 Milyar, maka berarti kami harus rapat untuk membahas bagaimana penggunaan dana. Dana ini bisa menjadi kendala juga bagi produser sebenarnya, karena untuk mendatangkan bintang tamu yang menarik membutuhkan biaya yang besar juga. Jadi, bisa saja produser tidak bisa mengundang bintang tamu yang menarik karena permasalahan dana tadi.” Hal yang tertera di atas sesuai dengan pernyataan tentang dana untuk televisi publik, yaitu TVRI. Pernyataan ini berisi tentang sumber pembiayaan media penyiaran publik di Indonesia. Dana ini berasal dari iuran penyiaran yang berasal dari masyarakat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, sumbangan masyarakat, dan siaran iklan. Sumber pembiayaan untuk stasiun penyiaran publik lebih banyak dari pada stasiun commit to user swasta yang hanya memiliki dua sumber pendapatan, yaitu siaran iklan dan usaha lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran Morissan, 2008 : 100. Sedangkan menurut Riswandi, sumber pendanaan penyiaran publik berasal dari negara, iuran, iklan, dan donatur yang tidak mengikat 2009 : 17. Dana yang berasal dari negara tersebut juga membutuhkan rapat untuk memutuskan berapa besarnya alokasi APBN untuk TVRI. Ini dianggap sebagai kedala, karena untuk produksi dan kebutuhan lainnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan dana di TVRI- TVRI daerah adalah salah satunya mengadakan rapat yang bertujuan membahas pemakaian dan pembagian dana dari negara tersebut agar mencukupi untuk TVRI. Kemudian, hal lain yang bisa dikatakan sebagai kendala adalah dari internal Karang Tumaritis. Hasil wawancara dengan Bu Sari Nainggolan, Pengarah Acara Karang Tumaritis, 24 November 2010 yaitu : “…..Kendala apa, saya rasa Karang Tumaritis itu mengalir, karena membicarakan kebudayaan. Jadi, kendalanya jarang. Namun, yang belum pernah saya temukan adalah bagaimana kebudayaan Jawa yang didialogkan oleh mereka disukai atau dipartisipasi oleh anak muda. Sebenarnya perlu ada pengemasan lagi sehingga anak muda tertarik dan mendapatkan manfaatnya. Hal ini adalah bagaimana anak muda sekarang bisa memetik manfaat. Mungkin sudah, ada anak muda yang suka. Tetapi, belum banyak. Apalagi untuk jaman sekarang, lalu kebudayaan Jawa apa maknanya. Apa yang bisa diserap dan diterapkan untuk jaman sekarang oleh anak muda. Anak muda kadang tidak butuh hanya sekedar pemaparan kebudayaan saja, tetapi maknanya untuk sekarang apa. Kebudayaan Jawa seperti ini, lalu kita mau apa, harus berbuat apa, maknanya apa. Karena yang penting adalah untuk anak muda sebagai generasi penerus. Merekalah yang akan menjadi tonggak masa depan kita. Namun, saya juga menginginkan telepon interaksi di Karang Tumaritis tidak satu per satu bertanya lalu dijawab. Akan lebih baik kalau disaring tiga pertanyaan baru kemudian dijawab oleh presenter. Ini gunanya agar tidak terlalu memakan waktu, karena yang masuk melalui telepon interaktif ada banyak sekali. Lalu untuk TVC menurut saya kebanyakan, ada empat kali.” commit to user Lalu hasil wawancara dengan Bu Anna Amrih Rahayu, pemirsa Karang Tumaritis, 23 November 2010 yaitu : “Karang Tumaritis sudah bagus, namun tergantung narasumbernya juga. Bu Yati Pesek bagus penampilannya. Namun, kritik saya bagi TVRI atau Karang Tumaritis, bagi acara yang interaktif adalah sebaiknya di TVRI Yogyakarta dibuat dua line telepon. Hal ini agar kita yang ingin interaktif tidak menunggu terlalu lama atau bahkan malah terputus. Padahal ada banyak yang antri, sehingga kami semua tidak bisa masuk ke TVRI. Seharusnya dibuat seperti di radio swasta, itu ada dua line telepon. Sehingga kami yang ada diurutan belakang tetap bisa masuk untuk interaktif.” Hasil wawancara tentang kendala dengan Bapak Anang, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, 11 November 2010 : “Kedua, keterbatasan SDM di TVRI. Meskipun sudah berpengalaman, tetapi karyawan TVRI kebanyakan sudah berusia di atas empatpuluh tahun. Jadi, tidak seaktif yang masih muda. Memang seharusnya ada yang masih aktif, karena untuk orang tua juga mobilitasnya kurang. Selain itu, taste dari hasil acara yang diproduksi juga berbeda dengan hasil yang diproduksi orang muda. Ketiga, yaitu dukungan teknologi yang kurang. Teknologi yang dimiliki oleh TVRI sudah ketinggalan jaman dan terbatas. Padahal sebetulnya peralatan yang ada di sini sudah harus di-upgrade supaya mendapatkan hasil yang terbaik. Jadi, internalnya kurang mendukung. Menurut saya, kendala dari eksternalnya mungkin ada, tetapi sedikit. Semuanya memang mayoritas dari internalnya sendiri.” Menurut hasil wawancara di atas, bahwa kendala yang dimaksud adalah sesuatu mungkin belum ditemukan pada Karang Tumaritis selama ini yaitu untuk anak muda. Ini bisa tentang kebudayaan Jawa untuk anak muda dalam menghadapi kehidupan sekarang atau bagaimana penerapan kebudayaan Jawa untuk anak muda. Hal ini menarik karena anak muda memang seharusnya diajak untuk terlibat dalam proses pelestarian kebudayaan Jawa. Salah satunya yaitu dengan mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam sebuah acara kebudayaan seperti Karang Tumaritis. Hal ini telah sesuai dengan pernyataan dari Riswandi 2009 : 17-18 tentang keterlibatan publik. Keterlibatan publik ini adalah adanya keterlibatan antara penonton atau yang menjadi kelompok yang rela membantu menyumbangkan tenaga, pikiran, commit to user dan dana untuk kelangsungan penyiaran publik. Dengan hasil wawancara di atas, yang menginginkan adanya mengambil anak muda untuk ikut berpartisipasi tentunya sesuai dengan pernyataan tentang keterlibatan publik. Walau bagaimanapun juga, kelangsungan penyiaran publik akan lebih terjamin bila masyarakat dalam hal ini bisa anak muda untuk ikut berpartisipasi dalam Karang Tumaritis. Selanjutnya tentang kendala teknis seperti sistem telepon atau iklan, ini berkaitan dengan pihak TVRI secara keseluruhan. Teknologi TVRI memang perlu upgrade lagi, kemudian untuk iklan yang dirasa terlalu banyak adalah pertimbangan untuk pihak TVRI. Teknologi yang harusnya diperbaharui dengan yang lebih modern pastinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan dana yang ada untuk TVRI saja masih kurang. Sedangkan iklan dari luar juga diperlukan TVRI sendiri untuk menambah pendapatan di luar dana negara. Dan untuk iklan yang sifatnya mengenalkan acara baru di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta bertujuan untuk lebih mempromosikan acara-acara yang diproduksi TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Kemudian, masalah SDM yang ada di TVRI adalah yang sudah agak tua. Memang ini juga bisa dilihat sebagai kendala. Mengingat untuk bekerja di media massa juga memerlukan SDM yang masih fresh namun ada juga yang sudah berpengalaman dan profesional. Untuk TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta menurut pengamatan penulis yaitu mayoritas pegawainya adalah orang yang sudah berusia empatpuluh tahunan. Ada yang masih di bawahnya, seperti tigapuluh maupun duapuluh. Namun, jumlah mereka tidaklah banyak. Hal tersebut bisa menjadi kendala. Dimana untuk pekerjaan media massa, dibutuhkan orang-orang yang masih aktif seperti yang muda. Namun, orang tua pun juga dibutuhkan untuk pengalamannya. Kendala ini terjadi juga karena TVRI sendiri. Keputusan untuk merekrut pegawai-pegawai baru tergantung juga dari keputusan commit to user pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Kendala ini bisa tersamarkan apabila hasil kerja yang diberikan pegawai-pegawai itu baik dan memuaskan, sehingga kendala SDM bisa teratasi. Lalu untuk kendala yang dirasakan oleh pembawa acara, maka ada hasil wawancara dengan pembawa acara, Mas Altiyanto, 16 November 2010 adalah sebagai berikut : “Ketika berbicara tentang televisi, dimana TV itu berkaitan dengan durasi, daya tangkap informasi, maka alangkah baiknya bila pesan yang disampaikan diulang-ulang supaya pemirsa paham. Kendalanya adalah pada menuntaskan obrolan. Karena pada Karang Tumaritis tidak mencoba membuat solusi apa- apa, solusi itu sendiri ada pada setiap pemirsa.” Dari hasil wawancara di atas, maka televisi sebagai media massa yang mempunyai kelemahan seperti durasi akan menjadi sebuah pertimbangan tersendiri untuk membuat acara. Karang Tumaritis adalah acara kebudayaan Jawa, dan pada waktu selama kurang lebih enampuluh menit disajikan. Dari waktu tersebut pasti ada trik untuk membuat pesan menjadi tersampaikan, salah satunya adalah mengulang- ulang pesan. Menurut pernyataan dari Riswandi 2002 : 2 bahwa televisi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis media massa lain. Salah satu poin yang mengatakan perbedaan itu adalah pada berpikir dalam gambar. Pertama, visualisasi, menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar-gambar. Kedua, penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu. Sesuai dengan pernyataan di atas, maka penggulangan yang bersifat berkelanjutan pada pesan yang disampaikan televisi diperlukan supaya pemirsa paham. Karena penggulangan ini dilakukan untuk menanggulangi kendala waktu pada siaran televisi. Karang Tumaritis menggulang pesan yang dibawakan setiap episode karena commit to user diantaranya adalah disebabkan oleh durasi. Pada Karang Tumaritis menurut Mas Altiyanto, terkadang sulit untuk menuntaskan obrolan. Ini juga berhubungan dengan waktu yang telah ditetapkan untuk tayang. Namun, ketika hal ini terjadi maka pembawa acara harus siap menanggulanginya. Sebagai acara yang bertema kebudayaan, Karang Tumaritis terkadang dipandang sebagai acaranya orang tua atau orang yang mengerti kebudayaan saja. Namun, pada dasarnya seperti yang penulis dapatkan dari dokumen yang ada bahwa Karang Tumaritis bersegmen untuk masyarakat umum. Jadi, tentunya tidak hanya orang tua atau orang “kebudayaan” saja. Acara ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengetahui kebudayaan Jawa di Yogyakarta sekarang. Acara ini diproduksi oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta untuk mengangkat kearifan lokal di Yogyakarta. Acara ini merupakan acara yang berbobot dan mampu mencerdaskan audien. Dari hasil wawancara dengan Bu Widiastuti, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pembinaan, Pelestarian, dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya, 30 November 2010 yaitu : “Semoga program ini tetap bisa berlangsung dan lebih diterima masyarakat. TVRI juga melakukan kerja sama dengan beragam pihak untuk berpartisipasi di TVRI untuk mengisi Karang Tumaritis, kemudian otomatis dengan semakin banyak yang digandeng maka sasarannya semakin banyak. Jadi nanti yang menonton tidak hanya eksklusif orang-orang tua atau orang-orang sadar budaya Jawa saja. Tetapi, kita juga menjangkau orang-orang yang lebih banyak lagi, seperti kalangan yang mengangap budaya Jawa itu ketinggalan jaman, tidak adaptif, bertentangan dengan nilai-nilai agama, dan lain sebagainya. Justru harapan saya lebih ke arah seperti itu.” Jadi, menurut wawancara di atas terlihat bahwa yang menjadi kendala terkadang adalah eksklusifme pemirsanya, yang dijangkau adalah orang tua atau orang yang sadar budaya Jawa saja. Namun, saran dari pihak dinas seperti Bu Widiastuti itu benar. Yaitu dengan semakin menggandeng banyak pihak, maka Karang Tumaritis bisa menjangkau lebih banyak kalangan. Kalangan ini bisa berasal dari orang yang commit to user menganggap budaya Jawa itu kuno, bertentangan dengan agama, dan lainnya. Inilah yang membuat Karang Tumaritis nantinya menjadi lebih hidup untuk semua kalangan dalam rangka pelestarian kebudayaan Jawa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bu Yati Pesek, pembawa acara Karang Tumaritis, 16 November 2010 : “Sedangkan kendala yang saya rasakan untuk Karang Tumaritis adalah mungkin yang suka kebanyakan orang tua saja. Anak muda kurang memperhatikan masalah kebudayaan seperti ini. Tetapi, saya yakin lama- lama anak muda akan tertarik. Oh, ternyata budaya Jawa itu penuh santun dan menarik untuk diterapkan.” Dari hasil wawancara di atas terlihat bahwa pemirsa Karang Tumaritis hanya dari kalangan orang tua saja. Yang menjadi masalah adanya ketidakadaan anak muda sebagai pihak yang menyukai dan mengapresiasi keberadaan Karang Tumaritis. Kebudayaan Jawa sebaiknya juga disukai oleh anak muda, apalagi mereka akan menjadi generasi penerus. Hasil wawancara dengan Bu Yati tersebut sesuai dengan pernyataan tentang kebudayaan perlu dilestarikan untuk anak muda. Kebudayaan Jawa dibutuhkan oleh anak muda untuk menuntun hidup mereka. Maka, anak muda seharusnya juga dipikirkan untuk bagaimana supaya mengerti kebudayaannya sendiri. Semakin banyaknya kebudayaan yang ada dalam hidup ini, namun untuk anak muda di Yogyakarta dan sekitarnya sebagai orang Jawa, maka mereka membutuhkan budaya Jawa. Dalam arus modernisme seperti sekarang ini, kebudayaan Jawa bisa menjadi semacam pembenteng dari kebudayaan yang tidak sesuai bagi mereka. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat bahwa kebudayaan berkembang secara akumulatif, semakin banyak dan kompleks, maka pendapat dari Hari Poerwanto 2008 : 89 tentang pelestarian kebudayan yaitu : ……untuk meneruskan dari generasi commit to user ke generasi, diperlukan suatu sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada yang dimiliki binatang, ialah bahasa, baik lisan, tertulis, maupun dalam bentuk bahasa isyarat. Agar suatu kebudayaan dapat merespon berbagai masalah kelangsungan hidup manusia dan tetap dipelajari oleh generasi berikutnya, serta tetap ‘lestari’, maka suatu kebudayaan harus mampu mengembangkan berbagai sarana yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok para individu. Dari pendapat di atas, kebudayaan harus dilestarikan ke generasi selanjutnya, termasuk kebudayaan Jawa. Sistem komunikasi diperlukan untuk menyalurkannya. Sistem ini menyangkut berbagai macam sarana untuk melestarikan kebudayaan. Melalui acara di televisi, maka ini juga termasuk sistem komunikasi yang bermanfaat dalam pelestarian kebudayaan. Karang Tumaritis membicarakan kebudayaan Jawa di masa Semarang, itu berarti anak muda juga perlu dijaring untuk manfaat pelestarian kebudayaan Jawa di daerah Yogyakarta. Menurut pendapat dari Hari Poerwanto di atas tersebut, bahasa juga termasuk sarana untuk melestarikan. Bahkan bahasa Jawa sendiri adalah unsur kebudayaan Jawa, maka untuk pemakaiannya sehari-hari adalah salah satu cara untuk melestarikannya. Di Karang Tumaritis, bahasa Jawa adalah salah satu unsur yang terkandung dalam acara ini. Jadi, Karang Tumaritis membuat langkah pelestarian yang unsur-unsur di dalamnya adalah kebudayaan Jawa itu sendiri. Acara ini merupakan acara yang sarat dengan kebudayaan Jawa, sehingga anak muda sepatutnya dijaring baik sebagai segmen untuk audien maupun berpartisipasi dalam pelestarian kebudayaan Jawa melalui media massa. Pentingnya pelestarian kebudayaan menjadi topik yang menarik untuk di bahas, apalagi tentang bagaimana dalam menghadapi tantangan hidup di dunia modern. Televisi bisa dijadikan medium untuk melaksanakan tugas pelestarian commit to user kebudayaan. Namun, dengan segala kelebihan maupun kelemahannya, televisi bisa memberikan andil yang besar untuk mencerdaskan audien dalam berbagai bidang termasuk kebudayaan. Karang Tumaritis tayang di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta dua sampai tiga kali sebulan dengan durasi enampuluh menit. Waktu memang agak menjadi permasalahan ketika sebuah acara yang baik dan berbobot seperti Karang Tumaritis. Beberapa pendapat yang disampaikan pada hasil wawancara tentang Karang Tumaritis yaitu : “Karang Tumaritis cukup baik menurut saya. Hanya kalau dari saya masalah waktu saja. Sebaiknya dirutinkan menjadi satu minggu sekali.” Bapak Joko Setiono “Harapannya yaitu Karang Tumaritis bisa membuka dua line telepon. Kemudian Mbak Yati Pesek jangan terlalu lama saat berbicara saat interaktif sehingga masing-masing penelpon bisa mendapatkan kesempatan.” Bu Anna Amrih Rahayu “Semoga acara Karang Tumaritis ini bisa dipertahankan, karena sebetulnya segmentasinya baik. Ada kalangan yang menyukai Karang Tumaritis. Maka, sebaiknya ini dijadikan motivasi untuk membuat Karang Tumaritis menjadi lebih dipertahankan lagi.” Bapak Drs. Sumaryono, MA Permasalahan waktu adalah hal wajar terjadi pada televisi sebagai media massa elektronik. Terkadang televisi juga dibatasi oleh kebijakan perusahaan. Sebagai acara yang membicarakan tentang kebudayaan Jawa, maka Karang Tumaritis yang hadir dua sampai tiga kali sebulan ini telah bisa memberikan manfaat yang besar bagi audien. Kebudayaan Jawa mampu memperoleh eksistensinya melalui media massa. Karena media inilah yang saat ini dirasa paling efektif untuk menyalurkan pesan-pesan kebudayaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Imam Sutardjo, media massa dianggap memiliki peran yang besar dalam pelestarian budaya seperti yang ia jelaskan 2008 : 49 : ……hal ini bisa dilihat dari kerapuhan dalam unggah-ungguh berbahasa commit to user Jawa di kalangan masyarakat Jawa yang disebabkan oleh kurangnya peran campur tangan media massa. Salah satunya yaitu kurang tersedianya buku-buku bacaan dan majalah berbahasa Jawa ngoko maupun krama, baik di sekolah maupun di rumah, serta semakin jarangnya media massa cetak atau elektonik yang menggunakan wahana unggah-ungguh Bahasa Jawa. Setiap televisi TVRI dan swasta seminggu atau sebulan sekali wajib menayangkan acara seni tradisi yang disajikan pada siang atau sore hari, sehingga para anak didik, generasi muda mudah untuk melihatnya Imam Sutardjo, 2006 : 14-15. Karang Tumaritis tayang setiap dua minggu sekali, yaitu minggu pertama, ketiga, kelima kalau ada pada setiap bulan. Karang Tumaritis tayang pada pukul enam sore secara live. Menurut pendapat Imam Sutardjo di atas, setiap televisi wajib menanyangkan acara seni tradisi pada siang atau sore, seminggu atau sebulan sekali. Dari pernyataan ini, maka Karang Tumaritis yang ditayangkan oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta menjadi acara yang bermanfaat bagi audien, terutama segmen masyarakat umum. Karang Tumaritis adalah acara dialog kebudayaan Jawa. Selain membicarakan tentang kebudayaan Jawa, Karang Tumaritis juga menggunakan bahasa Jawa untuk berdialog. Bahasa Jawa ini adalah bahasa pengantar utama yang digunakan, mengingat Karang Tumaritis adalah sebagai media pelestari kebudayaan Jawa. Acara ini memiliki banyak kelebihan terutama untuk isinya sebagai acara yang mengangkat kebudayaan Jawa. Meskipun kendala juga memang ada di dalamnya, akan tetapi TVRI sebagai televisi yang mencerdaskan bangsa telah memberikan kontribusinya dalam pelestarian budaya. Dengan adanya campur tangan media massa seperti televisi, maka setidaknya satu langkah untuk melestarikan kebudayaan bisa terlaksana. Kendala commit to user dalam Karang Tumaritis merupakan kendala yang sifatnya internal dari TVRI dan sedikit hambatan dalam menjaring audien yang lebih luas seperti anak muda dan kalangan yang tidak sadar budaya Jawa. Namun, kendala tersebut masih bisa diatasi dengan adanya langkah-langkah atau rencana untuk ke depan sehingga Karang Tumaritis bisa lebih mengoptimalkan kesempatan dan potensi yang ada. commit to user BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan