PERAN ACARA KARANG TUMARITIS DALAM PELESTARIAN KEBUDAYAAN “Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta
commit to user
PERAN ACARA KARANG TUMARITIS DALAM PELESTARIAN KEBUDAYAAN
“Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta”
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Disusun oleh :
FABRYAN SANEKEWATRI D0206051
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
(2)
commit to user
PERSETUJUANSkripsi ini disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Persetujuan Pembimbing
Surakarta, Februari 2011
Pembimbing
Drs. A. Eko Setyanto, M.Si NIP. 19580617 198702 1 001
(3)
commit to user
PENGESAHAN
Penulisan Skripsi ini telah diuji dan disahkan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari :
Tanggal :
Panitia Ujian Skripsi :
1. Ketua Panitia : Dra. Hj. Sofiah, M.Si ( )
NIP. 19530726 197903 2 001
2. Sekretaris : Drs. Haryanto, M.Lib ( )
NIP. 19600613 198601 1 001
3. Penguji : Drs. A. Eko Setyanto, M.Si ( )
NIP. 19580617 198702 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 001
(4)
commit to user
PERNYATAANDengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :
PERAN ACARA KARANG TUMARITIS DALAM PELESTARIAN KEBUDAYAAN (Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta) Adalah karya asli saya dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Saya bersedia menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata di kemudian hari terdapat bukti-bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya yang asli atau sebenarnya.
Magelang, 12 Februari 2011 Fabryan Sanekewatri
(5)
commit to user
MOTTO
I am not afraid of tomorrow, for I have seen yesterday and I love today (William Allen White)
(6)
commit to user
PERSEMBAHAN
For God, You’re the one and the only reason to live. You are so gracious and giving, there are no words to describe my love and my passion for You. There won’t be me without You. I’m thankful to all your blessing days.
For my whole big family, you are my backbones and my best friends. I couldn’t have done this without your support. The time seems to be faster than I ever do without you. And this is only a little gift to make you see that I am with you at this moment.
(7)
commit to user
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingan dan petunjuk-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul Peran Acara Karang Tumaritis Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta dengan sebaik-baiknya. Penulis mengambil tema tentang media massa dan pelestarian kebudayaan karena penulis melihat adanya peran yang besar dari media massa untuk masyarakat. Peran tersebut diantaranya adalah mampu memberikan informasi kepada khalayak luas tentang segala hal tak terkecuali kebudayaan Jawa.
Media massa seperti televisi mampu memberikan manfaat untuk pelestarian kebudayaan melalui acara yang ditayangkannya. Karang Tumaritis merupakan salah satu acara yang mengangkat tentang kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Dengan adanya acara ini maka diharapkan potensi lokal beserta pelestarian kebudayaan bisa terangkat kembali sebagai khasanah budaya Jawa Yogyakarta. Media massa merupakan wadah yang efektif untuk mengembangkan dan melestarikan kebudayaan demi kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Skripsi ini bisa terlaksana dan selesai karena adanya arahan, bimbingan, dan masukan dari banyak pihak. Karya ini tidak akan mungkin ada apabila penulis tidak mendapat bantuan dari mereka. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs. A. Eko Setyanto, M.Si, selaku pemimbing skripsi 2. Bu Iwung Sri Widati, Produser dan pembimbing di lapangan 3. Bapak RM. Kristiadi, Desain Program
(8)
commit to user
4. Bapak Anang Wiharyanto, Penanggung Jawab Humas TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta
5. Bapak Maryanta, Kepala Seksi Program 6. Bu Sari Nainggolan, Pengarah Acara
7. Mas Altiyanto dan Bu Yati Pesek, Pembawa Acara Karang Tumaritis 8. Seluruh keluarga besar di Magelang dan Solo
9. Teman-teman dekatku, Kusnul, Hasna, Ria Putri, Arumtyas, Ajeng, Dewi Latif, Intan Astri, Adinda, dan Faradyan.
10. Dan semua pihak yang tak bisa disebutkan satu per satu di atas
Akhir kata, penulis sangat mengharapkan adanya perbaikan dan kelengkapan untuk penelitian tentang media massa dan pelestarian kebudayaan selanjutnya. Semoga dengan adanya penelitian yang masih sederhana ini bisa membantu melihat pentingnya kebudayaan Jawa dan pelestariannya melalui media massa terutama televisi.
Magelang, 12 Februari 2011
(9)
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN... ii
PENGESAHAN... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR BAGAN ... xiii
ABSTRACT ... xiv
ABSTRAK ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 7
C. Tujuan Penelitian... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 7
1. Komunikasi... 8
2. Televisi dalam Komunikasi Massa ... 10
3. TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik ... 15
(10)
commit to user
5. Kebudayaan ... 19
6. Peran Komunikasi Massa dalam Pelestarian Kebudayaan... 24
F. Metodologi Penelitian... 32
1. Metode Penelitian ... 33
2. Jenis Penelitian ... 34
3. Lokasi Penelitian... 34
4. Teknik Pengumpulan Data ... 34
5. Teknik Analisa Data ... 37
6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data... 39
BAB II DESKRIPSI PROGRAM ACARA KARANG TUMARITIS A. Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta... 41
1. TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta ... 41
2. Acara Karang Tumaritis ... 47
B. Program Pelestarian Kebudayaan Jawa di Yogyakarta ... 53
1. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta ... 53
2. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Yogyakarta ... 55
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA A. Karakteristik Narasumber ... 58
B. Peran Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta ... 61
1. Mewartakan Nilai-nilai Luhur yang Terdapat di dalam Kebudayaan Jawa kepada Masyarakat Luas ... 62
2. Membangun Kembali Spirit Kehidupan Bermasyarakat sesuai dengan Nilai Luhur Kebudayaan Jawa ... 73
(11)
commit to user
3. Melestarikan Berbagai Produk Kebudayaan Jawa ... 83 4. Sarana Dialog Interaktif melalui Televisi yang Mencerdaskan
Audien untuk Bidang Budaya ... 93 5. Sarana Sosialisasi Program-program Pelestarian Kebudayaan
Jawa di Yogyakarta... 101 C. Kendala Acara Karang Tumaritis Dalam Mensukseskan
Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta... 111 BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan... 124 B. Saran ... 127 DAFTAR PUSTAKA
(12)
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pembagian Waktu Siaran dan Ketersediaan Audien ... 17 Tabel 2.1 Tempat dan Jumlah Penduduk di Jawa Tengah dan DIY... 43
(13)
commit to user
DAFTAR BAGAN
(14)
commit to user
ABSTRACTFabryan Sanekewatri. D0206051. The Role of Karang Tumaritis Program in Cultural Preserving (The Role of Karang Tumaritis Program in TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta As Media of Preserving Javanese Culture in Yogyakarta Society). Bachelor Thesis Mass Communication Department Social and Politic Science Faculty Sebelas Maret Surakarta University.
Mass media such as television, radio, newspaper, magazine, and internet become a crucial need for society. Especially television as a mass media which is so close and easy to be accessed by every people. Television presents programs which their characteristic can be as entertainment, education, giving knowledge and new experience for every audience. So this is why television programs are liked by every kind of people.
However, television programs which take cultural things are lack in amount. Indonesian original culture like Javanese culture should has a place in television. But, programs that contain culture like Javanese culture is still lack in amount. One of the examples is Karang Tumaritis. This program has been presented by TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta. Karang Tumaritis contains dialogue about Javanese culture and how it relates for its development at the present time in Yogyakarta.
TVRI as a Public Broadcasting Organization in Indonesia has a duty to give information serving, education, and healthy entertainment, control, and social adhesive, and preserve nation culture for every society importance. For Daerah Istimewa Yogyakarta that basically from Javanese culture, TVRI Stasiun DIY has missions which one of these is being central of the main information serving and serving healthy entertainment with making optimal local region potency and culture that grows and develops in Daerah Istimewa Yogyakarta.
For this research about television program and cultural preserving, writer used qualitative method with the kind of descriptive. It was located in TVRI Stasiun Daerah Istimewa Office in Magelang Street km. 4,5 Yogyakarta. Collecting data technique used from source and kind of main data such as written noted or through record. Then, for written source used document about Karang Tumaritis. Writer used observation, interview, and field note. For data analysis technique used Miles and Huberman Interactive Analysis Data. And then, for data validity technique, writer used diligence in observation and triangulation. Triangulation that writer took was source and method.
From data analysis result that had done by the writer it resulted clarification about role of Karang Tumaritis as Javanese preserving media. Those roles were formed from the aim of Karang Tumaritis and data analysis result after doing research. From data analysis result, writer also found obstacles for Karang Tumaritis in persevering Javanese culture. However, those obstacles did not effect for the success of Karang Tumaritis as a media that helped to preserve Javanese culture in Yogyakarta society.
From research and data analysis, writer could find role of Karang Tumaritis as a media for Javanese culture preserving in Yogyakarta society. First, to inform glorious values in Javanese culture to wide society. Second, to rebuild spirit of society’s life according to Javanese glorious values. Third, to preserve all kind of
(15)
commit to user
Javanese product. Fourth, as a medium for interactive dialogue through television which could sharpen audiences’ mind in culture field. And fifth, as a medium for socialization of Javanese preserve programs in Yogyakarta. And for the obstacles were financial problem, has not collaborated with young people yet, the technology that has been used by TVRI, human resources of TVRI that were old, how to finish the dialogue when program was in process, the exclusives of its audience who were just older people and someone with high awareness of cultural things, and less in presenting time because of just once in two weeks.
As a program about Javanese culture, Karang Tumaritis has roles in preserving Javanese culture. These five roles are important roles which can help process of preserving Javanese culture in Yogyakarta. TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta has given a space for preserving Javanese culture through television program called Karang Tumaritis.
(16)
commit to user
ABSTRAKFabryan Sanekewatri. D0206051. Peran Acara Karang Tumaritis dalam Pelestarian Kebudayaan (Peran Acara Karang Tumaritis di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Media Pelestarian Kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta). Skripsi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan internet sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Terutama televisi sebagai media massa yang paling dekat dan paling mudah untuk diakses oleh setiap lapisan masyarakat. Televisi menyajikan acara-acara yang sifatnya bisa hiburan, pendidikan, dan menambah pengetahuan serta pengalaman baru bagi pemirsanya. Sehingga acara-acara di televisi sangat disukai oleh setiap orang.
Namun, sayangnya acara-acara yang mengangkat tentang kebudayaan minim jumlahnya. Kebudayaan asli Indonesia seperti halnya kebudayaan Jawa seharusnya memiliki tempat di televisi. Namun, sayangnya acara yang berisi kebudayaan seperti kebudayaan Jawa masih sedikit di televisi. Salah satu contoh acara kebudayaan di televisi adalah Karang Tumaritis. Program ini ditayangkan oleh TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta. Karang Tumaritis berisi dialog tentang kebudayaan Jawa dan bagaimana kaitannya dengan perkembangan masa sekarang di Yogyakarta.
TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia mempunyai tugas memberikan pelayanan informasi, pendidikan, dan hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, untuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbasis kebudayaan Jawa, maka TVRI Stasiun DIY memiliki misi yang salah satu diantaranya yaitu menjadi pusat pelayanan informasi yang utama serta menyajikan hiburan yang sehat dengan mengoptimalkan potensi daerah dan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY.
Untuk penelitian tentang acara televisi dan pelestarian kebudayaan ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan jenis deskriptif. Lokasi penelitian yaitu di TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Magelang km. 4,5 Yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang dipakai oleh penulis yaitu berasal dari sumber dan jenis data utama seperti catatan tertulis atau melalui perekaman. Kemudian untuk sumber tertulisnya yaitu menggunakan arsip tentang Karang Tumaritis. Penulis juga menggunakan pengamatan, wawancara, dan catatan lapangan. Sedangkan untuk teknik analisa data, penulis menggunakan Model Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman. Kemudian selanjutnya teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan ketekunan atau keajegan pengamatan dan triangulasi. Triangulasi yang diambil yaitu triangulasi sumber dan metode.
Dari hasil analisa data yang telah dilakukan oleh penulis maka diperoleh jabaran tentang peran Karang Tumaritis sebagai media pelestarian kebudayaan Jawa. Peran-peran itu terbentuk dari tujuan Karang Tumaritis dan hasil analisa data setelah penelitian. Dari hasil analisa data, ternyata penulis juga mendapatkan kendala Karang Tumaritis dalam melestarikan kebudayaan Jawa. Namun, kendala tersebut tidak berdampak besar bagi keberhasilan Karang Tumaritis sebagai media yang membantu pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta.
(17)
commit to user
Dari hasil penelitian dan analisa data, maka peran Karang Tumaritis sebagai media pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta adalah pertama, mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada masyarakat luas. Kedua, membangun kembali spirit kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa. Ketiga, melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa. Keempat, sarana dialog interaktif melalui televisi yang mencerdaskan audien untuk bidang budaya. Dan kelima, sarana sosialisasi program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Sedangkan kendalanya adalah masalah pendanaan, belum menggandeng anak-anak muda, teknologi yang digunakan, SDM di TVRI yang kebanyakan sudah tua, menuntaskan obrolan ketika acara sedang berlangsung, eksklusifme pemirsanya yang hanya sebatas orang tua dan orang yang sadar kebudayaan, dan kurangnya waktu penanyangan karena hanya dua minggu sekali.
Sebagai acara tentang kebudayaan Jawa, Karang Tumaritis mempunyai peran dalam melestarikan kebudayaan Jawa. Kelima peran tersebut merupakan peran yang penting untuk membantu proses pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyediakan ruang untuk pelestarian kebudayaan Jawa melalui acara televisi yaitu Karang Tumaritis.
(18)
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Media massa telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia pada umumnya. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan internet kini sudah dianggap sebagai sahabat. Dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi yang pesat, maka segala macam informasi yang diinginkan oleh masyarakat bisa diperoleh melalui media massa. Sebagai bagian dari media massa, televisi adalah media yang paling dekat dengan masyarakat.
Televisi mampu memberikan manfaat terhadap kelangsungan hidup manusia. Manfaat-manfaat tersebut di antaranya yaitu mampu menumbuhkan aspirasi, mengembangkan dialog, mampu mengenalkan norma-norma sosial, menumbuhkan selera, dan sebagai pendidik. Kemudian, sebagai media massa, televisi juga mempunyai fungsi untuk menyampaikan informasi, baik berisi pengetahuan maupun pendidikan. Selain itu televisi bisa menggugah kesadaran masyarakat melalui tayangannya.
Manfaat lain yang bisa didapat dari televisi diantaranya yaitu memperluas wawasan, dimana melalui televisi pemirsa bisa melihat hal baru di luar sana yang belum pernah dilihatnya. Kemudian, televisi bisa memberikan pengalaman hidup. Dengan menonton televisi, tanpa harus pergi ke tempat kejadian, pemirsa bisa langsung melihat dan merasakan apa yang terjadi di tempat lain. Dan yang terakhir adalah mampu menyediakan hiburan di dalam rumah. Hiburan jenis ini bisa didapatkan dengan menonton acara-acara di televisi untuk menghilangkan rasa bosan.
(19)
commit to user
Televisi menjadi sangat populer di mata masyarakat karena mempunyai pilihan acara yang menarik untuk ditonton. Dari semua program acara tersebut, ada yang ditujukan untuk anak-anak, remaja, hingga dewasa. Namun, sayangnya hingga saat ini ada sedikit sekali acara terutama pada televisi yang menyajikan tentang kebudayaan. Padahal kebudayaan adalah sesuatu yang penting di dalam kehidupan sosial manusia. Dengan adanya televisi yang mengangkat kebudayaan sebagai isi acaranya, maka televisi bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang kebudayaan bangsa yang telah menjadi identitas Indonesia.
Dalam rangka memberikan pengetahuan kepada masyarakat, televisi menyuguhkan program-program yang bervariasi. Mulai dari program yang berisi hiburan hingga pengetahuan. Program yang berisi pengetahuan bisa didapatkan dari program yang memberikan tayangan mendidik seperti masalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksud yaitu kebudayaan asli dari bangsa, yang merupakan kebudayaan yang beragam dan memiliki nilai luhur dalam membentuk kepribadian atau jati diri bangsa. Dengan adanya televisi, maka acara kebudayaan bisa ikut ditampilkan, selain untuk mendidik generasi bangsa, salah satu tujuannya yaitu pelestarian kebudayaan.
Namun, kita mendapati bahwa salah satu tantangan terbesar dalam masalah pelestarian budaya tradisional bangsa yaitu generasi muda yang kurang tertarik terhadap hal-hal berbau tradisi karena dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Untuk menghadapi keadaan itu, maka pemerintah dan segenap kelompok masyarakat yang peduli terhadap kebudayaan tidak hanya diam saja. Mengingat kebudayaan tradisional patut dilindungi dan dilestarikan, maka media massa termasuk televisi menjadi medium yang baik untuk memulai proses pelestarian kebudayaan asli Indonesia.
(20)
commit to user
Melalui berbagai macam pengemasan acara, kebudayaan bisa menjadi tontonan yang menarik bagi pemirsa.
Ki Manteb Soedharsono menyatakan pendapatnya tentang tantangan dalam upaya melestarikan kesenian wayang yang merupakan bagian dari kebudayaan tradisional Jawa. Salah satu tantangan terbesarnya adalah regenerasi. Dalam upaya pelestarian, seharusnya pemerintah, seniman, dan masyarakat bekerja sama. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya ruang di media massa untuk kesenian tradisional. Inilah yang dianggap oleh dalang kondang tersebut masih terbatas (Reko Suroko, ”Butuh Ruang di Media Massa”, Wawasan Minggu, 27 Juli 2010, halaman 3).
Sedangkan menurut Drs. Tashadi, peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bahwa dalam budaya tradisional terkandung nilai-nilai luhur pembentuk jati diri bangsa. Ketika nilai-nilai ini hilang dan tidak lagi dimengerti oleh generasi muda, maka mereka hanya akan memiliki nilai-nilai global dan hilanglah jati diri bangsa Indonesia ini (Fachri Siradz, “Pelestarian Budaya Tradisional Melalui Layar Kaca”, www.indosiar.com/program/resensi/67592/pelestarian-budaya-tradisional-melalui-layar-kaca, 26/7/2010/11.00). Kebudayaan Jawa sebagai salah satu dari kebudayaan tradisional Indonesia, cepat atau lambat bisa tergeser oleh arus modernisasi dan globalisasi. Namun, sebelum semua itu terjadi, maka berbagai langkah pelestarian mulai dirancang.
Menurut Fachri Siradz, supaya kebudayaan tradisional tidak mudah hilang terkena arus modernisasi dan globalisasi, yang perlu dilakukan adalah pelestarian kebudayaan. Pelestrian ini akan berjalan sukses bila didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan adanya sosialisasi luas dari media massa termasuk televisi. Dan bisa dipastikan cepat atau lambat budaya tradisional akan kembali bergairah. Seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui TVRI, program-program acara
(21)
commit to user
bertema kebudayaan tradisional tetap diproduksi. Baik dengan menggunakan dana dari pemerintah pusat maupun dibiayai oleh pihak ketiga (pihak yang peduli dengan kebudayaan). TVRI Yogyakarta merupakan salah satu dari banyak stasiun televisi yang masih memproduksi acara budaya. Karena TVRI Yogyakarta bervisikan budaya, pendidikan, dan kerakyatan, maka TVRI Yogyakarta berusaha untuk ikut melebur bersama dinamika kehidupan masyarakat (Dokumen TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta).
Salah satu contoh acara TVRI Yogyakarta yang memiliki tema kebudayaan, terutama kebudayaan Jawa di daerah lingkup kebudayaan Jawa yaitu Karang Tumaritis. Acara tersebut berisi dialog budayawan dan seniman yang dikemas dalam sajian nuansa Jawa dengan lesehan di depan pendopo rumah dan diselingi alunan siter. Di sela-sela obrolan diselingi sajian petuah atau nasehat dari tokoh punakawan dalam cerita perwayangan dengan menggunakan kelir (Dokumen TVRI Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta). Dalam mempertahankan eksistensi kebudayaan Jawa, acara seperti Karang Tumaritis baik untuk diproduksi oleh stasiun televisi yang mempunyai kepedulian terhadap pentingnya pelestarian budaya bangsa.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2005 menetapkan bahwa tugas TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Harun Nur,
”Mempertahankan TVRI Sebagai TV Publik”, www.metronews.fajar.co.id/read/94460/19/index.php, 29/01/2011/8.28). Untuk TVRI
Stasiun DIY, ada acara Karang Tumaritis yang bisa melestarikan kebudayaan dan potensi lokal di Yogyakarta. Karang Tumaritis ini adalah acara yang mengangkat
(22)
commit to user
kebudayaan dan disajikan sesuai dengan perkembangan jaman. Sehingga Karang Tumaritis memberikan informasi tentang unsur-unsur kebudayaan Jawa dan bagaimana eksistensinya di jaman modern.
Karakteristik dari Karang Tumaritis yaitu, pertama, tema yang diangkat adalah kebudayaan Jawa yang disajikan ke dalam bentuk dialog dengan orang yang mengetahui dan berkecimpung pada budaya Jawa. Setiap tema yang ditampilkan selalu berbeda-beda, sehingga narasumbernya pun juga berganti sesuai dengan keahlian pada budaya Jawa yang dimiliki oleh narasumber. Kedua, penggunaan bahasa Jawa. Dalam sepanjang acara, bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pengantarnya. Ketiga, adanya telepon interaktif. Dengan menggunakan teknologi telekomunikasi seperti telepon interaktif, maka penonton yang ingin menyampaikan pesan maupun pertanyaan bisa disalurkan langsung kepada narasumber yang dihadirkan.
Salah satu yang paling menarik dari Karang Tumaritis yaitu penggunaan wayang kulit sebagai bagian dari acara. Nasehat atau petuah yang disampaikan menggunakan bahasa Jawa oleh semar. Wayang kulit merupakan bagian dari kesenian tradisional. Wayang sendiri sangat erat dengan kehidupan sosial, kultural, dalam religius bangsa Jawa (Imam Sutardjo, 2008 : 60). Tokoh semar dalam perwayangan yang ditampilkan pada Karang Tumaritis dianggap sebagai tetua yang memberikan petuah kepada para manusia.
Karang Tumaritis merupakan sebuah acara yang bernafaskan budaya Jawa. Sekarang ini budaya Jawa sudah mulai terlindas oleh budaya asing. Perkembangannya mengalami kemacetan. Acara di media elektronik khususnya televisi lebih cenderung berisikan budaya asing. Ditambah lagi masyarakat Jawa telah kehilangan rasa sebagai
(23)
commit to user
orang Jawa yang sesungguhnya. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, mereka lebih suka mengagung-agungkan budaya asing dari pada budaya daerah sendiri.
Menurut Surya Sasangka, wartawan Newsweek dalam Sarasehan Budaya Jawa “Adilihung Budaya Jawi Kawawas Saking Mancanegari” mendapati adanya tiga sebab yang membuat budaya Jawa tidak berkembang dengan baik. Pertama, banyak orang Jawa yang merasa minder dan tidak percaya diri dengan budaya sendiri sehingga lebih suka mempelajari budaya asing. Kedua, banyak masyarakat Jawa yang berkiblat pada agama dan budaya Timur Tengah. Akibatnya mereka tidak bisa membedakan antara agama dan budaya sendiri. Ketiga, minimnya fasilitas dan sarana untuk mengembangkan budaya Jawa. Bahkan media massa sendiri sebagai wadah untuk mempromosikan budaya Jawa tidak memberikan ruang secara maksimal bagi perkembangan budaya sendiri (“Surutnya Budaya Jawa Dari Ciri Khas Masyarakat Jawa”, www.gudeg.net/id/news/2004/04/2382/Surutnya-Budaya-Jawa-dari-Ciri-Khas-Masyarakat-Jawa.html, 27/2/2010/11.00).
Seharusnya media massa harus dilibatkan dalam proses pelestarian kebudayaan Jawa sebagai bagian dari kebudayaan bangsa. Gerakan pembelaan budaya bangsa hanya akan dapat mencapai hasil positif apabila “program informasi” secara umum (baik melalui media cetak, radio, maupun televisi) ikut mengambil bagian aktif. Pada area lokal di Yogyakarta ini, penulis mengangkat tentang bagaimana peran acara Karang Tumaritis di Televisi Republik Indonesia Stasiun Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pelestarian budaya Jawa di sana. Dalam acara Karang Tumaritis, dialog yang dibawakan oleh para seniman merupakan dialog yang berisikan kebudayaan Jawa. Acara ini bisa dijadikan contoh sebagai salah satu acara yang mampu menyajikan materi kebudayaan Jawa di daerah Yogyakarta.
(24)
commit to user
B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat sebuah rumusan masalah :
Bagaimana peran acara Karang Tumaritis di TVRI D. I. Yogyakarta sebagai media untuk mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa di Masyarakat Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui bagaimana peran acara Karang Tumaritis sebagai media untuk mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi stasiun televisi yang bersangkutan bisa melakukan berbagai evaluasi
terhadap program acara tersebut
2. Bagi masyarakat Yogyakarta agar bisa memahami tentang pentingnya media
massa lokal terutama program acara di televisi dalam pelestarian kebudayaan Jawa
3. Bagi Pemerintah dan pihak terkait dengan masalah kebudayaan di Yogyakarta
agar memahami kontribusi yang bisa diberikan oleh media massa (televisi) dalam proses pelestarian budaya Jawa di Yogyakarta
E. Tinjauan Pustaka
Komunikasi adalah sebuah kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Semua kegiatan manusia dilakukan atas dasar komunikasi. Manusia memiliki keinginan untuk berbicara, tukar-menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi,
(25)
commit to user
membagi pengalaman, kerja sama, dan lain sebagainya. Apalagi dalam abad modern ini, berkomunikasi pun tidak hanya dilakukan dengan cara face to face saja. Melainkan komunikasi dengan menggunakan media massa pun sudah lama dan banyak dilakukan oleh manusia sebagai bagian dari kehidupannya.
Komunikasi merupakan sebuah ilmu yang cakupannya luas. Konsep tentang komunikasi sendiri juga memiliki keterkaitan dengan berbagai hal. Seperti halnya peran media massa terhadap pelestarian kebudayaan. Penulis telah merangkai teori-teori yang memuat tentang konsep-konsep tersebut. Agar penjelasan yang diberikan menjadi lebih runtut dan terstruktur, selanjutnya bagian tinjauan pustaka akan dibagi menjadi beberapa sub bagian, yaitu : Komunikasi, Televisi Dalam Komunikasi Massa, TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, Acara Televisi di TVRI, Kebudayaan, dan Peran Komunikasi Massa Dalam Pelestarian Kebudayaan.
1. Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya
memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa Inggris
communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan, dan lain-lain antara dua orang atau lebih. Secara sederhana dapat dikemukakan pengertian komunikasi, ialah proses pengiriman pesan atau simbol-simbol yang mengandung arti dari seorang sumber atau komunikator kepada seorang penerima atau komunikan dengan tujuan tertentu (Suranto Aw, 2010 : 2).
Definisi komunikasi menurut Wilbur Schramm (1955) yaitu :
“Communication as an act of establishing contact between a sender and a receiver, with the help of message; the sender and receiver some common experience which meaning to the message incode and sent by the sender; and receiver and decode by the receiver”, (Suranto Aw, 2010 : 2).
“Komunikasi merupakan suatu tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima, memiliki beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan
(26)
commit to user
simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima”, (Suranto Aw, 2010 : 2).
Sifat komunikasi diungkapkan oleh Suranto Aw dalam proses komunikasi dapat dibedakan menjadi (2010 : 14) :
a. Komunikasi tatap muka (face to face communication), dalam hal ini pihak yang berkomunikasi saling bertemu dalam suatu tempat tertentu
b. Komunikasi bermedia (mediated communication), ialah komunikasi dengan
menggunakan media, seperti telepon, surat, radio, dan sebagainya
c. Komunikasi verbal, komunikasi dengan ciri bahwa pesan yang dikirimkan berupa pesan verbal atau dalam bentuk ungkapan kalimat, baik secara lisan maupun tulisan d. Komunikasi non verbal, komunikasi dengan ciri bahwa pesan yang disampaikan
berupa pesan non verbal atau bahasa isyarat, baik isyarat badaniah (gestural)
maupun isyarat gambar (pictoral)
Sedangkan tahap komunikasi seperti yang dijelaskan dalam bukunya Suranto Aw (2010 : 15) terdapat tiga tahap yaitu :
a. Komunikasi satu tahap (one step flow communication), ialah penyampaian ide, gagasan, atau pesan langsung kepada komunikan yang dikehendaki. Dalam konteks komunikasi massa, maka pesan dari media massa langsung diterima oleh komunikan
b. Komunikasi dua tahap (two step flow communication), ide atau pesan disampaikan
komunikator dan diterima oleh para pemuka pendapat (opinion leader) baru
kemudian disampaikan kepada komunikan berikutnya.
c. Komunikasi banyak tahap (multi step flow communication), proses komunikasi ini diawali dari komunikator menyampaikan pesan yang diterima oleh pemuka pendapat, selanjutnya pemuka pendapat ini menyampaikan pesan yang sama ke
(27)
commit to user
orang lain, dan terus menerus orang tersebut menyampaikan informasi kepada orang-orang berikutnya secara berantai
Bentuk komunikasi dapat diklarifikasikan menurut jumlah pihak yang terlibat komunikasi, (Suranto Aw, 2010 : 13) :
a. Komunikasi intrapersonal (intrapersonal communication), ialah proses komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri
b. Komunikasi antarpersonal (interpersonal communication), komunikasi antara seseorang dengan orang lain, bisa berlangsung secara tatap muka maupun dengan bantuan media
c. Komunikasi kelompok (group communication), proses komunikasi yang
berlangsung dalam suatu kelompok
d. Komunikasi massa (mass communication), komunikasi yang melibatkan banyak orang serta melalui media massa
Komunikasi merupakan dasar dalam segala hal. Komunikasi telah menjadi sebuah kebutuhan untuk hidup. Manusia sebagai makhluk sosial menyampaikan pesan-pesannya melalui komunikasi. Tanpa adanya komunikasi, manusia tidak dapat hidup dengan baik.
2. Televisi Dalam Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan komunikasi yang melibatkan banyak orang. Ada sebagian ahli berpendapat bahwa komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (Suranto Aw, 2010 : 13). Media massa ini termasuk diantaranya adalah surat kabar, film, radio, dan televisi. Ciri komunikasi massa bila dilihat dari unsur-unsur yang mencakupnya menurut Onong Uchjana Effendy (2004 : 51-55) yakni : a. Sifat komunikan
(28)
commit to user
heterogen, dan anonim.b. Sifat media massa
Serempak cepat, yaitu keserempakan kontak antara komunikator dengan komunikan
yang jumlahnya besar. Media massa bersifat cepat (rapid), dalam artian
memungkinkan pesan yang disampaikan kepada banyak orang dengan waktu yang cepat.
c. Sifat pesan
Sifat pesan yang dibawa media massa adalah umum. Karena media massa adalah sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak, bukan untuk sekelompok orang saja.
d. Sifat komunikator
Karena media massa adalah sebuah lembaga atau organisasi, maka ia termasuk komunikator terlembagakan. Media massa memiliki pesan yang dikerjakan secara kolektif.
e. Sifat efek
Efek komunikasi yang timbul pada komunikan bergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator.
Komunikasi massa mempunyai fungsi di masyarakat. Fungsi-fungsi itu menurut Dominick (2001) terdiri dari (Elvinaro, dkk, 2007 : 15-18) :
a. Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan terdiri dari dua jenis, yaitu peringatan dan instrumental. Pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman angin topan, meletusnya gunung merapi, dan sebagainya. Sedangkan pengawasan instrumental yaitu penyebaran informasi yang memiliki kegunaan dalam kehidupan sehari-hari. Isinya bisa tentang produk-produk baru dan
(29)
harga-commit to user
harga saham.b. Interpretation (Penafsiran)
Fungsi ini mirip dengan pengawasan. Namun, media massa juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting.
c. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.
d. Transmission of Value (Penyebaran Nilai-nilai)
Fungsi ini sering disebut sosialisasi. Sosialisasi mengacu pada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa memperlihatkan kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka. Di antara semua jenis media massa, televisi sangat berpotensi untuk terjadinya sosialisasi (penyebaran nilai-nilai).
e. Entertainment (Hiburan)
Televisi adalah media massa yang mengutamakan hiburan. Hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap harinya adalah hiburan. Melalui berbagai macam acara yang ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang dikehendakinya.
Komunikasi massa berpijak pada teori yang dikembangkan oleh Harold Lasswell pada tahun 1948. Model ini berupa ungkapan : Who says what in which channel to whom with what effect atau siapa berkata apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa. Komunikator membawa pesan melalui media kepada penerima dengan efek tertentu (Morissan, 2008 : 16).
(30)
commit to user
Untuk karakteristik komunikasi massa yang komunikannya bersifat heterogen, maka tidak mudah untuk mengukur umpan balik yang datang dari semua komunikan. Karena itu, umpan balik yang datang biasanya merupakan representative
(wakil) sampel, sehingga walaupun yang ditanggapi hanya satu atau dua komunikan, namun hal tersebut sudah dianggap dapat mewakili seumlah komunikan yang lainnya (Elvinaro, dkk, 2007 : 47).
Salah satu media massa yang saat ini sangat dekat dengan masyarakat yaitu televisi. Televisi saat ini merupakan media massa yang paling berpengaruh pada masyarakat, hal ini karena didukung oleh kemudahan untuk mengaksesnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, televisi adalah proses penyiaran gambar melalui gelombang frekuensi radio dan menerimanya pada pesawat penerima yang memunculkan gambar tersebut pada sebidang layar. Jadi, televisi secara sederhana adalah media massa yang menampilkan siaran berupa gambar dan suara dari jarak jauh. Televisi merupakan sistem gabungan antara gambar dan suara.
Televisi dalam komunikasi massa memiliki makna :
“…….merupakan bagian dari media massa. Dan ia dikenal sebagai media elektronik. Televisi merupakan media yang dapat mendominasi komunikasi massa karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi memiliki kelebihan dari media massa lainnya karena bersifat audio visual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan secara langsung dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi kepada setiap pemirsa di manapun ia berada (Riswandi, 2009 : 2).”
Media menurut Riswandi adalah saluran komunikasi massa yang memiliki ciri-ciri khusus, yaitu mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian khalayak secara serempak dan serentak (2009 : 2). Karakteristik televisi sebagai media yang paling banyak diminati oleh khalayak menurut Riswandi (2009 : 5-6) adalah :
a. Audio visual, karena bisa didengar dan dilihat oleh khalayak dan menampilkan informasi yang disertai kata-kata, gambar, dan rekaman peristiwa
(31)
commit to user
b. Berpikir dalam gambar, ada dua tahap pada poin ini. Pertama, visualisasi, menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar-gambar. Kedua, penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu c. Cara kerja yang kompleks, pengoperasian televisi lebih kompleks karena lebih
melibatkan banyak orang.
Sifat-sifat media massa televisi yang membedakannya dari jenis media massa lainnya yaitu televisi dapat didengar dan dilihat bila ada siaran, dapat dilihat dan didengar kembali bila diputar lagi, daya rangsang sangat tinggi, elektris, sangat mahal, dan daya jangkau besar (J. B. Wahyudi dalam Morissan, 2008 : 11). Televisi merupakan media yang menguasai ruang dan tidak menguasai waktu (J. B. Wahyudi dalam Morissan, 2008 : 12). Artinya, siaran televisi bisa diterima di mana saja dalam jangkauan pemancar. Namun, televisi tidak bisa dilihat dan didengar berulang-ulang serta kapan saja. Inilah mengapa televisi hanya menguasai ruang saja, bukan waktu.
Menurut Prof. Dr. R. Mar’at dari Universitas Padjadjaran, tentang program acara televisi (Onong Uchjana Effendy, 2004 : 122) yaitu :
“……acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan para penonton, ini adalah wajar”.
Kelebihan televisi dari media massa lainnya adalah kemampuan menyajikan berbagai kebutuhan manusia, baik hiburan, informasi, maupun pendidikan. Pengaruh televisi terhadap kehidupan sudah bisa dirasakan oleh khalayak yang menonton. Karena pada dasarnya televisi bisa mengakibatkan penonton mendapatkan sesuatu dari aspek psikologis yang ditonton dari televisi. Dan itu semua bukanlah sesuatu yang baru dan istimewa lagi di mata khalayak.
(32)
commit to user
3. TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran PublikStasiun penyiaran publik berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Stasiun penyiaran publik terdiri atas Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibu kota negara. Di daerah provinsi, kabupaten atau kota dapat didirikan stasiun penyiaran publik lokal (Morissan, 2008 : 97).
Di Indonesia, pengertian stasiun publik identik dengan TVRI dan RRI karena menurut Undang-Undang Penyiaran, stasiun publik terdiri dari RRI dan TVRI yang stasiun pusat penyiarannya berada di Jakarta. Selain itu, di daerah provinsi, kabupaten atau kota dapat didirikan stasiun penyiaran publik lokal. Undang-Undang Penyiaran di Indonesia memberikan tugas lepada TVRI untuk memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia (Morissan, 2008 : 97-99).
Sumber pembiayaan media penyiaran publik di Indonesia berasal dari iuran penyiaran yang berasal dari masyarakat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan masyarakat, dan siaran iklan. Sumber pembiayaan untuk stasiun penyiaran publik lebih banyak dari pada stasiun swasta yang hanya memiliki dua sumber pendapatan, yaitu siaran iklan dan usaha lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran (Morissan, 2008 : 100). Sedangkan menurut Riswandi, sumber pendanaan penyiaran publik berasal dari negara, iuran, iklan, dan donatur yang tidak mengikat (2009 : 17).
(33)
commit to user
Kemudian Efendi Gazali mengemukakan lima ciri penyiaran publik sebagai berikut :
a. Akses publik, akses publik ini dimaksudkan tidak hanya coverage area, tetapi juga menyangkut bagaimana penyiaran publik mau mengangkat isu-isu lokal dan memproduksi program-program lokal dan tokoh-tokoh lokal
b. Dana publik, lembaga penyiaran publik tidak hanya mengandalkan keuangannya dari anggaran negara, tetapi juga iuran dan donatur
c. Akuntabilitas publik, karena dana utamanya dari publik, maka terdapat kewajiban dari penyiaran publik untuk membuat akuntabilititas finansialnya
d. Keterlibatan publik, artinya ada keterlibatan menjadi penonton atau menjadi kelompok yang rela membantu menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana untuk kelangsungan penyiaran publik
e. Kepentingan publik, kepentingan publik lebih diutamakan dari pada kepentingan iklan. Misalnya ada satu acara yang sangat baik dan bermanfaat bagi publik, namun ratingnya rendah, maka ia akan tetap diproduksi dan tetap dipertahankan penanyangannya (Riswandi, 2009 : 17-18).
4. Acara Televisi di TVRI
Stasiun televisi setiap harinya menyajikan jenis program yang jumlahnya sangat banyak dan jenisnya sangat beragam. Setiap program acara di televisi mempunyai waktunya masing-masing. Jam tayang tersebut juga sebenarnya berhubungan dengan ketersediaan audiens. Dalam bukunya, Morissan (2008 : 257) memberikan pembagian waktu siaran dan ketersediaan audien menurut beberapa ahli :
(34)
commit to user
Tabel 1.1Pembagian Waktu Siaran dan Ketersediaan Audien
Bagian Hari Audien Tersedia
Pagi Hari (06.00 – 09.00)
Anak-anak, ibu rumah tangga,
pensiunan, pelajar, dan karyawan yang akan berangkat ke kantor
Jelang Siang (09.00 - 12.00)
Anak-anak prasekolah, ibu rumah tangga, pensiunan, dan karyawan yang bertugas secara giliran (shift)
Siang Hari (12.00 – 16.00)
Karyawan yang makan siang di rumah, pelajar yang pulang dari sekolah Sore Hari (early fringe)
(16.00 – 18.00)
Karyawan yang pulang dari tempat kerja, anak-anak, dan remaja
Awal Malam (early evening)
(18.00 – 19.00)
Hampir sebagian besar audien sudah berada di rumah
Jelang Waktu Utama (prime acces)
(19.00 – 20.00)
Seluruh audien tersedia menonton televisi pada waktu ini
Waktu utama (prime time)
(20.00 – 23.00)
Seluruh audien tersedia pada waktu ini utamanya antara pukul 20.00 – 21.00. Namun, setelah itu, audien mulai berkurang utamanya audien anak-anak, dan pensiunan serta mereka yang harus tidur lebih cepat agar dapat bangun pagi-pagi
Jelang Tengah Malam (late fringe)
(23.00 – 23.30) Umumnya orang dewasa
Akhir malam (late night)
(23.30 – 02.00)
Orang dewasa, termasuk karyawan yang bertugas secara giliran (shift)
(Sumber : Peter K. Pringue. Michael F. Starr, William E. McCavitt; Electronic Media Management, second edition, Focal Press, Boston – London, 1991)
(35)
commit to user
Pada program yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran publik ada perbedaan dengan acara yang ditayangkan oleh stasiun komersial. Televisi publik menata acaranya dengan menekankan pada aspek pendidikan masyarakat yang bertujuan mencerdaskan audien. Program disusun berdasarkan pada gagasan melestarikan dan mendorong berkembangnya budaya lokal, sejarah kebangsaan, dan sebagainya. Televisi memegang peran penting menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah. Program acara pendidikan dan kebudayaan (seperti pengembangan bahasa nasional dan kebudayaan daerah) harus menjadi tanggung jawab media penyiaran publik untuk memproduksinya (Morissan, 2008 : 100-101).
Strategi dalam mengelola stasiun televisi publik menurut Pringle- Starr-McCavitt (1991) yaitu the nature of the licensee (misi atau fungsi utama keberadaan stasiun publik), kebutuhan dan kepentingan masyarakat, dan upaya menggalang dana dari masyarakat (the requirements for fund raising from the audience). Fungsi utama dari stasiun publik di Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam UU Penyiaran adalah memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan faktor pertama yang harus dipertimbangkan sebelum menyusun strategi program (Morissan, 2008 : 101).
Program acara yang bertema kebudayaan lokal seakan hanya ada di TVRI saja. Bahkan TVRI memberikan andil yang besar terhadap budaya lokal di stasiunnya. Presentase secara persisnya yaitu TVRI memberikan paket siaran budaya lokal yang lebih besar dari pada stasiun televisi swasta. Budaya lokal justru diangkat oleh TVRI ke permukaan. Budaya lokal ini tidak dimuseumkan, tetapi TVRI mampu mengangkatnya menjadi sebuah program acara (Syamsudin Noer Moenadi, 1997 : 33-34).
(36)
commit to user
Program acara di TVRI memang lebih banyak mengangkat budaya lokal. Hal ini juga dimaksudkan agar kebudayaan asli milik bangsa ini tidak kalah dengan budaya asing maupun budaya global di televisi. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI harus menyadari dan melaksanakan tugasnya sebagai televisi yang menghargai budaya lokal. Selain itu, masyarakat juga hanya bisa menonton budaya lokal mereka di TVRI di daerah mereka masing-masing. Kebudayaan Jawa, paling banyak disajikan di TVRI D. I. Yogyakarta sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya.
5. Kebudayaan
Kebudayaan memiliki bidang cakupan yang sangat luas. Istilah kebudayaan atau budaya berasal dari kata “budi”. Budi berarti alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk (Anton Moeliono cs, 1988 : 131 dikutip oleh Astrid S. Susanto-Sunario, 1995 : 127). Kebudayaan menurut Zaetmulder yaitu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya dari budi, kekuatan dari akal (Imam Sutarjo, 2008 : 12).
Hari Poerwanto memberikan pengertian tentang istilah kebudayaan menjadi (2008 : 51-52) :
“Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere, yang berarti bercocok tanam (cultivation). Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal). Sering kali ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk “budi-daya”yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Karenanya ada juga yang mengartikan bahwa kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa.”
Secara lebih lanjut Koentjaraningrat (Hari Poerwanto, 2008 : 52) mendefinisikan kebudayaan sebagai :
“…….keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
(37)
commit to user
belajar”.Kemudian, E. B. Taylor telah mencoba mendefinisikan kata kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan konsep kebudayaan yang lebih sistematik dirumuskan oleh A. L. Kroeber dan C. Kluchkohn adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi (Hari Poerwanto, 2008 : 52-53).
Sedangkan menurut Koentjaraningrat, konsep kebudayaan sangat luas. Wujud kebudayaan menurut Koentjoroningrat memiliki paling sedikit tiga wujud, yaitu (Koentjoroningrat dalam Alfian, 1985 : 100) :
a. Wujud sebagai kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia b. Wujud sebagai suatu kompleks aktivitas
c. Wujud sebagai benda
Alfian mengkutip dari Koentjoroningrat (Koentjoroningrat dalam Alfian, 1985 : 101-102) tentang isi kebudayaan yaitu :
“Isi kebudayaan manusia sebaiknya menggunakan unsur-unsur kebudayaan universal yaitu unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks dan dengan suatu jaringan hubungan yang luas. Dengan mengambil contoh konsepsi B. Malinowski, maka dalam semua kebudayaan di dunia ada tujuh buah unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.”
Kebudayaan menjadi milik manusia melalui proses belajar, dan diajarkan kepada anggotanya melalui proses akulturasi, enkulturisasi, dan proses sosialisasi
(38)
commit to user
(Imam Sutarjo, 2008 : 10). Hal ini juga mirip dengan pendapat yang dikemukan oleh C. Kluckhohn yang menekankan bahwa kebudayaan merupakan proses belajar dan bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis. Oleh karenanya, kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan perasaan, hasrat, dan emosi, dalam rangka pembentukan kepribadiannya (Hari Poerwanto, 2008 : 88).
Kebudayaan adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipelajari. Apalagi sejarah dari kebudayaan di masa lalu diperlukan untuk bisa membangun suatu kebudayaan baru. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Poerbatjaraka bahwa kebudayaan baru Indonesia harus berakar pada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia. Hal itu berarti bahwa kebudayaan Indonesia seharusnya berakar pada kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Pendapat itu juga senada dengan Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah (Koentjaraningrat dalam Alfian, 1985 : 109).
Dalam pendapat yang dikemukan oleh Koentjaraningrat, seluruh wujud kebudayaan adalah pengejawantahan, penerapan, perluasan, dan perentangan gagasan manusia. Gagasan-gagasanlah yang melandasi seluruh hasil budi dan karya manusia. Untuk bisa mengerti, memahami, dan menghargai gagasan di balik wujud hasil kebudayaan, maka seseorang harus menangkap maksud gagasan dari wujud hasil kebudayaan tersebut (Koentjoroningrat dalam Alfian, 1985 : 192).
Budaya sebagai sistem pemikiran mencakup sistem gagasan, konsep-konsep, aturan-aturan serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan dalam kehidupan yang
(39)
commit to user
dimilikinya melalui proses belajar Lalu, C. Geertz juga menyatakan pendapatnya seperti yang dikutip oleh Hari Poerwanto (2008 : 58) tentang kebudayaan yaitu :
“…...kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan proses perorangan.” Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan manusia dan kebudayaan, Hari Poerwanto (2008 : 60) mengutip dari Leslie White (1969) bahwa :
“Pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi dan kekuasaan, dan semua aspek simbolik tadi tampak dalam bahasa. Sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas. Berdasar kerangka pemikiran tersebut di atas, maka jelaslah kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia; baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya.”
Manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Setelah manusia mati, maka kebudayaan akan diwariskan untuk keturunannya. Hari Poerwanto (2008 : 88) memberikan penjelaskan tentang cara pewarisan kebudayaan :
“……..pertama, secara vertikal atau langsung kepada anak cucu mereka. Kedua, secara horizontal atau belajar kebudayaan kepada manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya, akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau dikomunikasikan dengan individu lainnya karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa; serta dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis”.
Tugas pembinaan kebudayaan yang diemban oleh berbagai pihak dalam masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam usaha-usaha yang menurut sifatnya dapat dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu:
a. Pemeliharaan, perawatan, dan pemugaran b. Penggalian dan pengkajian
c. Pengemasan informasi budaya dan penyebarluasannya d. Perangsangan inovasi dan kreasi
(40)
commit to user
e. Perumusan nilai-nilai ideal bangsa dan sosialisasinyaTujuan-tujuan besar seperti di atas dirumuskan sebagai “memperkukuh jati diri budaya bangsa”, “memperkuat ketahanan budaya bangsa”, “melestarikan warisan budaya bangsa”, “meningkatkan kesadaran budaya”, “meningkatkan kesadaran sejarah”, serta “memperlancar dialog budaya”, pada dasarnya adalah tujuan-tujuan payung yang harus dijabarkan ke dalam berbagai program kegiatan (Edi Sedyawati, 2008 : 203).
Kebudayaan yang ada di kehidupan manusia apabila dirawat, dipelihara, dan dikembangkan atau mempunyai cukup pendukung, maka selama itu pula suatu budaya sukar berubah. Dengan demikian, suatu perubahan budaya tidak selalu diadakan secara sadar dari luar, tetapi bila ia tidak cukup memiliki pendukungnya, maka ia akan pudar perlahan-lahan dari dalam (Astrid S. Susanto-Sunario, 1995 : 130). Hal inilah dimaksud pentingnya menjaga kebudayaan yang ada di kehidupan suatu masyarakat agar tidak memudar dengan sendirinya.
Pada dasarnya setiap kebudayaan, sebagai milik suatu masyarakat, dalam intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan. Kebudayaan sebenarnya tidak pernah statis atau stagnant, namun sebaliknya meski dapat terjadi perubahan dan perkembangan di dalam kebudayaan, jati diri suatu kebudayaan dapat lestari. Artinya, lestari yang dinamis, yaitu ciri-ciri pengenalnya secara keseluruhan tetap dimiliki meski bentuk-bentuk ungkapan di dalamnya (konsep, tata tindakan, benda-benda-benda budaya) dapat mengalami perubahan (Edi Sedyawati, 2008 : 290).
(41)
commit to user
6. Peran Komunikasi Massa Dalam Pelestarian Kebudayaan
Komunikasi massa (mass communication) sendiri merupakan singkatan dari
komunikasi media massa (mass media communication), yang berarti komunikasi
melalui media massa (Onong Uchjana Effendy, 1993 : 12). Media massa ini yaitu televisi, surat kabar, majalah, radio, dan lain sebagainya. Jadi, komunikasi massa adalah berkomunikasi dengan menggunakan salah satu dari media massa tersebut.
Pengertian mengenai komunikasi massa rumit sifatnya. Sehingga Onong Uchjana Effendy (1993 : 13-14) mengutip dari pernyataan Werner J. Severin dan
James W. Tankard Jr dalam bukunya Communication Theories, Origins, Methods,
Uses, mengatakan :
”Mass comunication is a part of skill, part art, and part science. It is skill in the sense that it envolves certain fundamental learnable techniques such as focusing a television camera, operating a tape recorder or taking notes during an interview. It is art in the sense that it envolves creative challeges such as writing a script for a a television program, developing an aesthetic layout for a magazine ad or coming up with a catchy lead for a news story. It is a science in the sense that there are certain principles involved in how communication works that can be verivied and used to make things work better”.
(Komunikasi massa sebagian adalah keterampilam, bagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian meliputi teknik-teknik tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan perekam pita atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian tantangan-tantangan kretif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik).”
Onong Uchjana Effendy juga merumuskan fungsi komunikasi massa menjadi (2004 : 54) :
“Sejauh ini komunikasi massa telah membawa fungsi bagi masyarakat yaitu
to inform (menyiarkan informasi), to educate (mendidik), dan to entertain
(menghibur). Sedangkan fungsi lain dari komunikasi massa adalah to
influence (mempengaruhi), to guide (membimbing), to criticize (mengkritik), dan lain-lain. Dari fungsi-fungsi yang ada, fungsi menghibur merupakan
(42)
commit to user
fungsi yang paling banyak ditemukan pada televisi maupun media elektronik lain. Sedangkan untuk surat kabar, fungsi yang lebih utama yaitu menyiarkan informasi”.
Wilbur Schramm memberikan penjelasan mengenai fungsi komunikasi massa sebagai tiga poin yang saling berkaitan yaitu :
“Komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder. Komunikasi massa mengdekode lingkungan sekitar, mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan juga efek-efek hiburan. Komunikasi massa menginterpretasikan hal-hal yang didekode sehingga bisa mengambil kebijakan terhadap efek, menjaga berlangsungnya interaksi serta membantu anggota-anggota masyarakat menikmati kehidupan. Komunikasi massa juga mengenkode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada anggota masyarakat (Wiryanto, 2000 : 10).”
Dennis McQuail menguraikan pentingnya fungsi media massa di dalam kehidupan (1996 : 3) :
“Media massa seperti televisi, radio, koran, dan lain sebagainya mempunyai fungsi penting. Fungsi penting itu di antaranya berpijak pada dalil yaitu media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, termasuk sebagai pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.”
Selain itu media massa mempunyai ciri-ciri khusus yaitu (Dennis McQuail, 1996 : 40) :
“Media massa sebagai komunikator massa tentunya memiliki ciri-ciri khusus bahwa salah satunya adalah memproduksi dan mendistribusi pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya.”
Institusi media menyelenggarakan fungsinya seperti mendistribusikan pengetahuan supaya pengetahuan itu bisa membuat manusia mampu untuk memetik pelajaran dari pengetahuan. Pelajaran inilah yang akan mengingatkan manusia akan pentingnya sejarah atau pengalaman masa lampau untuk berpijak ke masa depan serta demi kelangsungan hidup pengetahuan tersebut. Media massa yang berperan untuk menyelenggarakan produk distribusi pengetahuan itu dalam pengertian serangkaian simbol yang mengacu pada pengalaman kehidupan sosial.
(43)
commit to user
Secara umum, dalam beberapa segi, media massa memiliki perbedaan dengan institusi pengetahuan lainnya yang ada. Perbedaan media massa dengan institusi pengetahuan lainnya seperti seni, agama, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan sebagainya (Dennis McQuail, 1996 : 51) yaitu :
a. Media massa memiliki fungsi pembawa bagi segenap macam pengetahuan
b. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik, yaitu dia bisa dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara bebas
c. Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima seimbang dan sama
d. Media menjangkau lebih banyak orang dari pada institusi lainnya dan sejak dahulu telah mengambil alih peranan sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain
Menurut Imam Sutardjo, media massa dianggap memiliki peran yang besar dalam pelestarian budaya seperti yang ia jelaskan (2008 : 49) :
“……hal ini bisa dilihat dari kerapuhan dalam unggah-ungguh berbahasa Jawa di kalangan masyarakat Jawa yang disebabkan oleh kurangnya peran campur tangan media massa. Salah satunya yaitu kurang tersedianya buku-buku bacaan dan majalah berbahasa Jawa (ngoko maupun krama), baik di sekolah maupun di rumah, serta semakin jarangnya media massa (cetak atau elektonik) yang menggunakan wahana unggah-ungguh Bahasa Jawa.”
Pada televisi, acara-acara yang ditayangkan bisa bersifat hiburan maupun informatif. Namun, acara yang menghibur sekaligus mencerdaskan masih terasa kurang di Indonesia. Menurut Imam Sutardjo, setiap televisi (TVRI dan swasta) seminggu atau sebulan sekali wajib menayangkan acara seni tradisi yang disajikan pada siang atau sore hari, sehingga para anak didik, generasi muda mudah untuk melihatnya (2006 : 14-15). Seharusnya acara-acara berupa hiburan yang mencerdaskan dan berasal dari khasanah kebudayaan Indonesia menjadi tayangan utama di negeri ini.
(44)
commit to user
Karena kebudayaan berkembang secara akumulatif, semakin banyak dan kompleks, maka pendapat dari Hari Poerwanto (2008 : 89) tentang pelestarian kebudayan yaitu :
“……untuk meneruskan dari generasi ke generasi, diperlukan suatu sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada yang dimiliki binatang, ialah bahasa, baik lisan, tertulis, maupun dalam bentuk bahasa isyarat. Agar suatu kebudayaan dapat merespon berbagai masalah kelangsungan hidup manusia dan tetap dipelajari oleh generasi berikutnya, serta tetap ‘lestari’; maka suatu kebudayaan harus mampu mengembangkan berbagai sarana yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok para individu”.
Pengembangan kebudayaan daerah yang merupakan akar dari kebudayaan nasional menjadi isu yang sangat penting. Pengembangan kebudayaan daerah tidak diadakan demi pengembangan kebudayaan itu sendiri, tetapi selalu dalam rangka pengembangan budaya nasional. Komunikasi merupakan alat dan wahana penyampaian kemungkinan-kemungkinan perkembangan kebudayaan dalam arti luas, yaitu mencakup seluruh kehidupan masyarakat di daerah-daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan nasional (Astrid S. Susanto-Sunario, 1995 : 151).
Kebudayaan dari setiap suku-suku bangsa di Indonesia adalah kebudayaan asli Indonesia yang membedakan dari bangsa lain di dunia. Sehingga saat ini perlu adanya suatu langkah untuk lebih mengenalkan kebudayaan tersebut kepada masyarakat luas. Karena kebudayaan asli Indonesia ini merupakan milik orang Indonesia. Seperti halnya dengan budaya Jawa. Seiring dengan perkembangan teknologi dan sistem komunikasi yang pesat, maka seharusnya keterlibatan hasil penemuan manusia modern itu diarahkan ke tujuan yang baik.
Fakta mengenai cepatnya perkembangan teknologi ini ternyata dikuasai oleh negara-negara kuat. Hal ini mengakibatkan banyak negara berkembang mengalami limpahan informasi beserta nilai-nilai asing yang masuk melalui acara-acara televisi kita. Ini adalah momok bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana
(45)
commit to user
seharusnya kebudayaan asli milik Indonesialah yang menjadi pegangan kita, bukan dari nilai-nilai asing yang merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Transformasi nilai-nilai asing yang terkadang tak sesuai dengan kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia bisa masuk melalui acara di televisi. Masyarakat hanya sekedar disuguhi oleh program-program acara yang tidak mendidik tanpa adanya proses interaktif di dalamnya. Sehingga masyarakat hanya menerima dan bersikap pasif.
Menurut Edi Sedyawati, dalam bukunya Keindonesiaan Dalam Budaya (2008 : 41-42), ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan permasalahan antara kelimpahan informasi nilai-nilai asing dan budaya kita sendiri, yaitu :
“Arah pemecahan yang harus dicari adalah untuk menanggulangi dua persoalan itu : yaitu pertama, ketidakseimbangan informasi dari negara luar yang kuat dari negara kita sendiri, dan kedua, kedudukan penonton televisi sebagai pihak pasif menerima siaran. Untuk persoalan pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan produksi industria budaya audio-visual dalam negeri yang memuat pula nilai-nilai budaya bangsa yang luhur, dan bukan justru mengambil alih nilai-nilai asing yang tidak luhur tetapi mengenakkan. Peningkatan produksi memerlukan suatu pengerahan modal, serta juga dan inilah yang justru sangat menentukan mutu, peningkatan tenaga-tenaga ahli dan sarana untuk itu….. Adapun untuk menjawab persoalan kedua ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu pertama, mendayagunakan media, atau kemasan media yang lebih bersifat interaktif, dan kedua, menyelenggarakan lebih banyak kegiatan yang bersifat tatap muka, yang lebih memungkinkan pergaulan antara manusia yang hangat dan menumbuhkan kepekaan untuk saling mengerti.”
Peran media massa dianggap penting dalam pelestarian budaya bangsa. Kebudayaan memerlukan pengelolaan dan pemanduan secara sadar agar bisa menjalankan fungsinya sebagai pengidentitas yang mengangkat martabat manusia. Pernyataan di bawah ini mengungkapkan tentang pentingnya peran media massa seperti berikut :
“Televisi sebagai salah satu jenis media komunikasi dewasa ini telah berkembang menjadi suatu kekuatan yang sangat besar untuk mempengaruhi para pemirsanya dalam hal pandangan, selera, dan pemihakan. Oleh karena itu, kiranya masyarakat Indonesia sangat berharap agar televisi berperan
(46)
commit to user
efektif sebagai pembentuk karakter dan budaya bangsa, dan tidak sebaliknya, menjadi sarana peruntuh jati diri budaya bangsa. Harapan ini terutama dirasakan mendesak karena kita kini dihadapkan pada kenyataan bahwa di banyak daerah di Indonesia, pemahaman dan bahkan hanya pengenalan saja pada hasil-hasil budaya Indonesia sendiri (tradisional maupun kontemporer) menjadi sangat minim. Hal ini dapat diperhadapkan dengan kenyataan semakin populernya bentuk-bentuk ekspresi seni massa popular yang kebanyakan sebenarnya adalah epigon belaka dari hasil-hasil budaya asing, khususnya dari negara-negara industria kuat (Edi Sedyawati, 2008 : 161)”. Permasalahan tentang bagaimana nasib kebudayaan asli milik sebuah negara atau masyarakat tertentu telah menjadi isu di berbagai negara di dunia. Hal ini tak terkecuali terjadi di Israel, dimana pada jurnal internasional ini meneliti tentang pentingnya menjaga kebudayaan lokal dalam lingkungan global, yaitu masalah media penyiaran Israel. Di sini terlihat bahwa seiring majunya teknologi, maka persaingan dalam dunia penyiaran juga semakin bertambah. Salah satunya yaitu dengan adanya
global markets. Namun, dalam artikel yang ditulis oleh Yaron Katz, dari Holon Institute of Technology ini menjelaskan bahwa proses antara persaingan komersial, teknologi baru, dan pasar global merupakan sesuatu yang wajar. Namun, yang paling penting adalah bagaimana upaya kita melindungi budaya lokal agar tidak terlindas budaya global yang kini sudah mencoba untuk mengarahkan pasar.
Dalam Internasional Journal of Communication 3 (2009), 332-350, berjudul
Protecting Local Culture in a Global Environment : The Case of Israel’s Broadcast Media, karya Yaron Katz, memberikan sejumlah gambaran mengenai dunia penyiaran di Israel antara komitmen budaya lokal dan berbagai kompetisi komersial serta teknologi baru dan pasar global. Untuk kaitannya dengan penelitian yang dikerjakan penulis mengenai televisi dan kebudayaan Jawa, hal ini juga memberikan penegasan bahwa dalam kondisi dimana kita sedang diterpa oleh arus modernisasi maupun sergapan budaya pop, kita juga harus mampu menjaga supaya budaya yang kita miliki jangan sampai kalah. Masyarakat lokal sebuah daerah perlu pelestarian supaya
(47)
commit to user
budayanya tidak hilang. Karena sebuah budaya lokal dari setiap daerah pasti memiliki manfaat untuk masyarakat itu sendiri.
Dalam jurnal internasional, Protecting Local Culture in a Global
Environment : The Case of Israel’s Broadcast Media, halaman 335, disebutkan
pernyataan yaitu :
“.…With the beginning of television broadcasting, the public broadcasting model became dominant, based on European experience. The goals were to serve the good of the public and to be independent of political and commercial influence, with emphasis on local culture programs. To achieve these goals, the public broadcasting organization (the Broadcasting Authority) was compelled to promise representation of all groups of the population – to give true expression to a range of opinions, tastes, interests, traditions, preferences, beliefs, and local subcultures – including different regional representations, minorities, and languages.”
“.…Dengan permulaan adanya penyiaran televisi, model penyiaran publik menjadi dominan, berdasarkan pengalaman di Eropa. Tujuannya yaitu untuk menyediakan kebutuhan publik dan menjadi mandiri dari pengaruh politik dan komersial, dengan menggarisbawahi pada program budaya lokal. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi penyiaran publik (the Broadcasting Authority)
diwajibkan untuk menjanjikan representasi dari semua kelompok dari populasi – untuk memberikan ekspresi sebenarnya pada pendapat, rasa, ketertarikan, tradisi, pilihan, kepercayaan, dan anak budaya lokal – termasuk perwakilan regional berbeda, minoritas, dan bahasa.”
Sebuah jurnal internasional lainnya juga mengangkat tema tentang televisi dan komunitas Aborigin di Canada. Isu yang diangkat pada jurnal ini yaitu mengenai
asal muasal ATPN (Aboriginal Peoples Television Network). Di dalamnya
menggambarkan bagaimana sejarah dan komunitas, dan highlight isu penting dari masalah klaim tanah sampai ke masalah pelestarian bahasa. Sehingga, isi dari jurnal ini juga mencakup : Ketika produser berdedikasi untuk melindungi kebudayaan Aborigin, mereka juga telah berpartisipasi dalam perkembangan produksi budaya global.
Televisi sebagai hasil dari kebudayaan modern, mampu sebagai alat untuk melindungi sebuah kebudayaan tradisional. Ini tergantung dari program apa yang
(48)
commit to user
diangkatnya. Program-program kebudayaan tradisional atau lokal bisa menjadi bagian yang menarik. Hal ini tertuang pada Canadian Journal of Communication, Vol. 29 (1)
tahun 2004, halaman 51-52, karya Doris Baltruschat, berjudul Television and
Canada’s Aboriginal Communities. Salah satu pernyataannya yaitu :
“….One key of the features of APTN is its multilingual programming. Programs in traditional languages such as Cree, Inuktitut, and Lakota provide an opportunity for Canada’s more than 60 indigenous languages to be spoken and heard through televised means. Interviews with indigenous elders and community leaders highlight discussion about environmental concerns, land claims, and natural resources. In addition, children’s programs educate about linguistic traditions (Claxton, interview, 2003). As First Nations seek to gain official status for their languages, programs deal with the importance of language preservation and Aboriginal traditions (APTN, 2002).”
“….Salah satu kunci dari keistimewaan APTN adalah program multibahasa. Program dalam bahasa tradisional seperti Cree, Inuktitut, dan Lakota menyediakan sebuah kesempatan untuk Canada lebih dari 60 bahasa lokal dipakai dan didengar melalui televisi. Wawancara dengan tetua lokal dan pemimpin komunitas menekankan diskusi tentang perhatian terhadap lingkungan, klaim tanah, dan sumber daya alam. Sebagai tambahan, program anak-anak mengajarkan tentang tradisi linguistik (Claxton, wawancara, 2003). Sebagai negara dunia pertama mencari untuk meningkatkan status resmi untuk bahasa-bahasa mereka, program-program telah menyetujui pentingnya pemeliharaan bahasa dan tradisi-tradisi Aborigin (APTN, 2002). “
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Dimana negara ini memiliki banyak suku dan budaya dan bahasa. Salah satunya yaitu kebudayaan Jawa. Melalui program acara yang disajikan televisi lokal di daerah berkebudayaan Jawa, maka proses pemeliharaan budaya dari kepunahan bisa dilakukan. Karena televisi merupakan sebuah medium yang mampu menyalurkan berbagai macam kabar dan informasi secara cepat dan menjangkau khalayak luas. Dengan adanya televisi, maka program bertema kebudayaan mampu ditayangkan dan menginformasikan kepada masyarakat lokal tentang budaya yang ada di lingkungannya tersebut.
Dalam jurnal tersebut juga dikatakan bahwa masyarakat lokal yang memiliki budaya tertentu menyukai program acara yang mempunyai kaitan dengan
(49)
commit to user
kepentingannya. Canadian Journal of Communication, Vol. 29 (1,) halaman 54,
Television and Canada’s Aboriginal Communities, menyebutkan :
“Native American audiences have expressed interest in APTN’s programming, as letters to the network attest. According to Compton (interview, 2003), Native Americans would like see APTN’s signal extend into their communities, and negotiation are currently under way to make this a reality. Native American interest in APTN underscores the notion that Aboriginal people share a common bond through history, language, and culture that is not restricted by national boundaries. Aboriginal peoples in Australia and New Zealand are also interested in APTN’s programs (Compton, interview, 2003).”
“Penduduk Amerika asli yang menjadi audiens telah mengekspresikan ketertarikan mereka pada program APTN, sebagaimana surat-surat kepada jaringan pembuktian. Menurut Compton (wawancara, 2003), penduduk Amerika Asli senang melihat APTN yang mensinyalkan pelebaran ke dalam komunitas mereka, dan negosiasi membuatnya menjadi kenyataan. Penduduk Amerika asli tertarik terhadap APTN menggarisbawahi dugaan bahwa orang Aborigin berbagi ikatan umum melalui sejarah, bahasa, dan budaya yang tidak dibatasi oleh lingkup nasional. Orang Aborigin di Australia dan New Zealand juga tertarik pada program-program APTN (Compton, interview, 2003).”
Televisi mempunyai kekuatan untuk menyatukan sebuah komunitas sebuah budaya menjadi lebih baik. Melalui tayangan program yang ditayangkan seperti di APTN yang mempunyai program untuk orang Aborigin, bahwa mereka mendapat tanggapan positif dari orang-orang tersebut. Untuk program acara Karang Tumaritis di TVRI D. I Yogyakarta, bisa menjadi acara yang digunakan selain sebagai hiburan namun juga sebagai referensi untuk menginformasikan keadaan perkembangan budaya tradisional di Yogyakarta di tengah arus modernisasi.
F. Metodologi Penelitian
Penulis telah merancang metodologi penelitian atau keseluruhan cara berpikir yang digunakan peneliti untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian. Metodologi penelitian ini berisi :
(50)
commit to user
1. Metode PenelitianMetode penelitian yang diambil oleh penulis adalah kualitatif. Definisi metodologi kualitatif menurut Bogdan dan Taylor sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Maka dari itu, pada penelitian kualitatif tidak boleh mengisolasikan individu atau organiasasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari satu keutuhan (Lexy J. Moleong, 2009 : 4).
Anselm Strauss dan Juliet Corbin (2003 : 4) berpendapat bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Menurut Anselm Strauss dan Juliet Corbin (2003 : 5) metode kualitatif dipilih karena metode ini dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui.
Penelitian tentang bagaimana peran program acara Karang Tumaritis dalam pelestarian kebudayaan Jawa menggunakan kualitatif karena bagaimana cara mengungkap peran tersebut bisa dilakukan dengan kualitatif. Dimana penelitian kualitatif mengijinkan evaluator memperlajari isu-isu, kasus-kasus, atau kejadian-kejadian terpilih secara mendalam dan rinci ; fakta bahwa pengumpulan data tidak dibatasi oleh kategori yang sudah ditentukan sebelumnya atas analisis menyokong kedalaman dan kerincian data kualitatif. Selain itu data kualitatif menyediakan kedalaman dan kerincian melalui kutipan secara langsung dan deskripsi yang teliti tentang situasi program, kejadian, orang, interaksi, dan perilaku yang teramati (Michael Quinn Patton, 1991 : 5-6).
(51)
commit to user
2. Jenis PenelitianJenis penelitian yang diambil adalah deskriptif. Hal ini dikarenakan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan yang demikian, maka penulis menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya (Lexy J. Moleong, 2009 : 11).
Jadi, penulis akan memberikan deskripsi-deskripsi tentang apa yang didapatkan di lapangan selama penelitian. Deskripsi-deskripsi itu adalah hasil wawancara dengan orang yang bekerja langsung untuk Karang Tumaritis dan pemirsanya. Kemudian, kutipan-kutipan hasil wawancara serta data-data dari sumber lainnya seperti foto, video tape, dan dokumen lain akan disajikan dalam bentuk kata-kata, yaitu bagaimana deskripsinya.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di TVRI D.I. Yogyakarta di Jalan Magelang km. 4,5 Yogyakarta. Alasan pengambilan lokasi di TVRI D. I. Yogyakarta adalah di sanalah produksi Karang Tumaritis dilakukan. Kemudian dalam lokasi tersebut akan dilakukan pengumpulan data oleh peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik untuk mengumpulkan data menurut pandangan Lexy J. Moleong yaitu terdiri dari empat poin, yaitu meliputi sumber dan jenis data, pengamatan, wawancara, dan catatan lapangan. Penjelasan keempat poin tersebut adalah sebagai berikut :
(1)
commit to user
dalam Karang Tumaritis merupakan kendala yang sifatnya internal dari TVRI dan sedikit hambatan dalam menjaring audien yang lebih luas seperti anak muda dan kalangan yang tidak sadar budaya Jawa. Namun, kendala tersebut masih bisa diatasi dengan adanya langkah-langkah atau rencana untuk ke depan sehingga Karang Tumaritis bisa lebih mengoptimalkan kesempatan dan potensi yang ada.
(2)
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Media massa merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa media massa mempunyai fungsi penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan media massa telah menjadi sebuah kebutuhan yang penting untuk dipenuhi. Melalui media massa seperti televisi, masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan, informasi, hiburan, dan pengalaman baru. Salah satunya dengan acara di televisi yang menyuguhkan materi yang menarik bagi masyarakat.
Karang Tumaritis adalah sebuah acara di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta yang menyajikan kebudayaan Jawa. Diangkatnya kebudayaan Jawa ke dalam acara di televisi pasti mempunyai peran. Karang Tumaritis mempunyai peran dalam mensukseskan pelestarian kebudayaan Jawa. Maka dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan peran Karang Tumaritis sebagai media pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta, yaitu :
1. Mewartakan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam kebudayaan Jawa kepada masyarakat luas. Karang Tumaritis sebagai acara di televisi pasti memberitakan atau menginformasikan nilai-nilai luhur yang ada pada kebudayaan Jawa. Sesuai dengan tema yang diambil, Karang Tumaritis memberikan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa kepada masyarakat. Melalui tayangannya itulah setiap nilai luhur kebudayaan Jawa diinformasikan supaya masyarakat bisa mendapatkan hiburan yang mencerdaskan. Karang Tumaritis adalah acara yang juga menghibur, karena dialog dan suasananya tidak kaku dan serius, tetapi cair namun berbobot.
(3)
commit to user
2. Membangun kembali spirit kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Acara Karang Tumaritis juga ikut berperan dalam membangun kembali jiwa kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa. Dengan adanya format acara yang sangat Jawa sifatnya, maka masyarakat bisa mendapatkan contoh bahwa kehidupan bermasyarakat sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa adalah positif. Karena masyarakat Yogyakarta perlu contoh untuk menghidupkan suasana kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kebudayaan Jawa, sehingga kebudayaan Jawa tidak hanya sebatas teori saja. Namun, dalam prakteknya kebudayaan Jawa harus dibangun kembali di kehidupan masyarakat. Melalui Karang Tumaritis, masyarakat bisa melihat dan mencontoh betapa luhurnya nilai-nilai kebudayaan Jawa bila diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Melestarikan berbagai produk kebudayaan Jawa. Melalui tayangan Karang Tumaritis, berbagai produk kebudayaan Jawa bisa dilestarikan. Salah satu pelestarian produk kebudayaan Jawa ini adalah dengan mengangkat kearifan lokal yang ada di Yogyakarta. Kearifan lokal tersebut termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa. Sehingga dengan mengangkat kearifan lokal, maka berbagai produk kebudayaan Jawa terutama kebudayaan Jawa Yogyakarta mampu mendapatkan tempatnya kembali. Media massa seperti televisi bisa memberikan kontribusi untuk membantu melestarikan kebudayaan.
4. Sarana dialog interaktif melalui televisi yang mencerdaskan audien untuk bidang budaya. Karang Tumaritis merupakan acara yang menggunakan format live dengan telepon interaktif. Dengan adanya telepon interaktif ini, maka diharapkan pemirsa bisa ikut memberikan suara melalui nomor telepon yang disediakan oleh TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Pemirsa bisa memberikan pendapat, saran, pertanyaan,
(4)
commit to user
atau kritikannya di Karang Tumaritis. Bahkan pemirsa juga bisa melakukan dialog dengan narasumber yang didatangkan di studio. Perbincangan di Karang Tumaritis tidak hanya melibatkan narasumber-narasumber di studio saja. Namun, pemirsa bisa ikut menanggapi topik yang sedang dibicarakan.
5. Sarana sosialisasi program-program pelestarian kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Sebagai acara di televisi, Karang Tumaritis tentunya juga tak lepas dari fungsi sosialisasi. Dengan kemampuannya menjangkau khalayak luas dan heterogen dalam waktu yang singkat, maka televisi sering digunakan untuk mensosialisasikan sesuatu. Karang Tumaritis juga menjadi sarana sosialisasi untuk program-program kebudayaan seperti penggunaan bahasa Jawa di kalangan anak-anak muda. Sosialisasi ini dilakukan atas kerja sama yang dijalin oleh lembaga atau pihak yang mempunyai kepentingan yang sama dengan Karang Tumaritis. Kepentingan ini yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan. Karang Tumaritis telah menjadi sebuah sarana sosialisasi program pelestarian kebudayaan di Yogyakarta. Dengan semakin banyaknya sosialisasi yang dilakukan melalui Karang Tumaritis terkait dengan kebudayaan, maka bisa membantu proses pelestarian kebudayaan Jawa.
Dalam usaha untuk membantu pelestarian kebudayaan Jawa di masyarakat Yogyakarta, ternyata masih terdapat kendala. Namun, kendala-kendala itu tidak menjadi pengganggu yang berarti dalam pelestarian kebudayaan Jawa di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta. Kendala-kendala tersebut yaitu pendanaan, belum menggandeng anak-anak muda, teknologi yang digunakan sudah harus di-up grade lagi, SDM di TVRI yang kebanyakan sudah berusia tua, ketika acara sedang on air sering kali susah untuk menuntaskan obrolan, eksklusifme pemirsa yang hanya orang tua dan orang
(5)
commit to user
yang sadar kebudayaan, dan kurangnya waktu penanyangan karena hanya dua minggu sekali.
B. Saran
Setelah mendapatkan hasil secara keseluruhan selama penelitian dan analisa data, maka saran untuk Karang Tumaritis yaitu :
1. Karang Tumaritis adalah acara yang mengangkat kebudayaan Jawa di TVRI Stasiun D. I. Yogyakarta, maka sebaiknya lebih mengajak semua lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perbincangan. Untuk saat ini Karang Tumaritis memang seakan hanya untuk orang tua dan orang yang mengerti kebudayaan saja. Namun, alangkah lebih baik apabila semua lapisan masyarakat diajak untuk ikut dalam perbincangan kebudayaan Jawa. Mereka bisa berasal dari kalangan anak muda, kaum perempuan, aparat penegak hukum, tokoh agama, dan pendidik. Dengan menampilkan pihak-pihak yang beragam maka Karang Tumaritis juga bisa menjadi semakin kaya. Karena dialog kebudayaan tidak hanya khusus untuk mereka yang berkecimpung dalam bidang budaya saja, namun kebudayaan Jawa adalah milik semua lapisan masyarakat Jawa yang ada di Yogyakarta.
2. Untuk telepon interaktif, ada baiknya bila TVRI memberikan perhatian. Karena menurut pengamatan yang dilakukan oleh penulis, kualitas suara yang dihasilkan oleh telepon interaktif di studio tidak jelas. Sehingga ini bisa menjadi penghambat dalam penyampaian pesan dari penelpon ke studio. Suara yang dihasilkan dari telepon interaktif yang sering kali tidak jelas tentunya akan mengganggu proses Karang Tumaritis ketika disiarkan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik seharusnya pihak TVRI memperhatikan tentang kebutuhan primer dalam Karang Tumaritis ini.
(6)
commit to user
3. Saran metodologis, penelitian tentang peran acara Karang Tumaritis dalam pelestarian kebudayaan ini telah menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penulis mengambil metode tersebut karena kualitatif lebih mampu menelaah penelitian tentang peran. Sedangkan penulis menggunakan deskritif yaitu karena penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada. Selain itu deskriptif digunakan untuk memaparkan seadanya berdasarkan hasil interview dan pengamatan, tanpa menambah dan mengurangi data yang didapatkan. Namun, saran yang penulis berikan untuk penelitian selanjutnya adalah menggunakan metode kualitatif eksploratif. Penggunaan metode eksploratif ini bertujuan untuk mengetahui tentang situasi atau informasi yang lebih untuk memahami latar belakang masalah ketika peneliti berada dalam situasi tidak mengetahui banyak tentang informasi yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini juga diperlukan pengumpulan data yang bersifat intensif dan wawancara mendalam. Jadi, untuk penelitian ke depan sebaiknya mencoba menggunakan metode lain seperti metode eksploratif untuk mengerjakan penelitian tersebut supaya kelemahan yang terdapat pada penelitian yang penulis kerjakan terminimalisir pada penulis selanjutnya.