Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini setiap negara dan tiap individu tidak akan dapat lepas dari proses globalisasi yang ditandai oleh kemajuan teknologi, perdagangan antarnegara yang semakin luas, pertukaran budaya, persaingan pasar dalam bebas, kelangkaan akan sumberdaya alam yang merupakan gambaran dari kondisi masyarakat internasional yang semakin kompleks. Adanya saling ketergantungan antarbangsa dan negara menimbulkan bentuk-bentuk kerjasama disegala bidang sekaligus pula menimbulkan berbagai persaingan dan konflik. Kondisi masyarakat global yang semakin kompleks di atas diperkuat dengan dorongan Three Engines Globalization Micklethwait, 2000:97 yaitu teknologi, pasar modal, dan manajemen. Teknologi mempercepat terbentuknya dunia tanpa batas, kalau kita memakai istilah Ohmae, 1995 dalam The Borderless World terutama teknologi informasi seperti komputer dengan perangkat internetnya, telepon genggam wireless dan televisi. Ketiga jenis teknologi tersebut tidak hanya mempermudah dan mempercepat globalisasi melainkan juga menjadi produk yang dikembangkan diberbagai perusahaan dunia dengan menanamkan modalnya capital diberbagai kawasan dunia. Ketiga mesin globalisasi itu telah menyatukan dunia dalam berbagai aktivitas ekonomi, budaya, politik, terintegrasi menjadi sebuah sistem besar, misalnya, kerjasama di bidang ekonomi telah menciptakan model blok-blok ekonomi negara-negara seperti di Eropa berdiri Masyarakat Ekonomi Eropa MEE, di Asia Pasifik berdiri APEC, dan blok-blok kekuatan politik seperti NATO dan Non-Blok. 2 Pendahuluan Secara regional juga timbul tantangan masa depan Indonesia, sejak 1 Januari 2003 AFTA Asean Free Trade Area dan AFLA Asean Free Labour Area telah dimulai, yang berarti sejak saat itu persaingan tenaga kerja akan menjadi terbuka. Konsekuensinya tenaga kerja Indonesia harus mampu bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing dari berbagai negara. Jika tidak, maka tenaga kerja Indonesia akan tersisih oleh tenaga kerja asing dari negeri Jiran Malaysia, Philipina, Bangladesh, India, dan sebagainya, sehingga menjadi penonton di negeri sendiri. Selain itu banyak ahli menyebutkan bahwa era informasi kini telah menggantikan era industri. Secara timbal balik dengan perkembangan ipteks, era informasi ternyata mampu mengubah pola kehidupan dan mempercepat pekerjaan. Orang kini harus siap menghadapi kenyataan bahwa pekerjaan yang ditekuni mengalami perubahan dan memerlukan peningkatan kecakapan untuk menanganinya. Bersamaan dengan itu, era kompetisi yang cenderung individualistik kini sudah bergeser ke era komunalitas, yang memerlukan kesadaran untuk saling mengerti dan saling membantu. Oleh karena itu, pendidikan kini juga harus memperhatikan perkembangan tersebut. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan. Namun demikian berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Hasil ujian akhir nasional Sekolah Menengah relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Dari sisi perilaku keseharian siswa, banyak terjadi ketidakpuasan masyarakat. Tawuran antarsiswa kini sudah menjadi berita biasa. Dari dunia usaha juga muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik. Ketidakpuasan berjenjang juga terjadi, kalangan SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP, kalangan SLTA merasa 3 Pendahuluan lulusan SLTP tidak siap mengikuti pembelajaran di Sekolah Menengah, dan kalangan perguruan tinggi merasa bekal lulusan SLTA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan. Kini juga muncul gejala lulusan SLTP dan SLTA banyak yang menjadi pengangguran di pedesaan, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, mereka merasa malu jika harus membantu orangtuanya sebagai petani atau pedagang. Upaya yang telah dilakukan seperti diatas cenderung sangat teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan seakan mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri. www.infodiknas.compendidikan-kecakapan-hidup-konsep-dasar-2 . Dengan kata lain, pemecahan permasalahan pendidikan Indonesia selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari- hari menunjukkan bahwa pendidikan difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pendidikan bertujuan untuk menguasai mata pelajaran. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari dan sampai lulus seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi. 4 Pendahuluan Selain itu sebenarnya permasalahannya tidak sebatas yang digambarkan di atas, namun menurut Slamet PH www.infodiknas.compendidikan-kecakapan- hidup-konsep-dasar-2 ada banyak hal yang perlu dibenahi guna mencapai indeks pembangunan manusia yang ungul yaitu 1 kesempatan mendapatkan akses pendidikan yang bermutu bagi semua warga negara, terutama yang kurang beruntung dari sisi ekonomi; 2 kualitas proses dan hasil pendidikan yang masih rendah; 3 rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat; dan 4 masih rendahnya efisiensi dan efektivitas pengelolaan pendidikan nasional. Bertolak dari masalah tersebut, Pertama, kiranya perlu dilakukan langkah- langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problem kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, dimanapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya. Implemetasinya pendidikan kecakapan hidup harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: 1 etika sosio-religius bangsa yang berdasarkan pancasila dapat diintegrasikan; 2 pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to live together and learning to cooperate, 3 pengembangan potensi wilayah dapat direpleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan; 4 penetapan manajemen berbasis masyarakat, kolabolasi semua unsur yang ada 5 Pendahuluan dalam masyarakat; 5 paradigma learning for life dan school for work dapat menjadi dasar kegiatan pendidikan, sehingga memiliki pertautan dengan dunia kerja; 6 penyelenggaraan pendidikan harus senantiasa mengarahkan peserta didik agar: a membantu mereka untuk menuju hidup yang sehat dan berkualitas; b mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas, dan c memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak. Untuk mewujudkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktikkannya untuk memecahkan problem kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang mengitegrasikan empat pilar pendidikan yang diajukan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Kalau merujuk pada kriteria standar kecakapan hidup, maka Sekolah Menengah Kejuruan SMK sebenarnya telah dari dulu mengembangkannya. Hal ini dikarenakan SMK dalam sistem pembelajarannya memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah menengah umum lainnya, yaitu pendidikan dan pelatihan kalau kita mengacu pada Kurikulum SMK 1999 yang dalam proses pembelajarannya diberlakukan pembelajaran di lingkungan sekolah dan yang kedua pembelajaran dilakukan di lingkungan industri yang dikenal dengan Model Pendidikan Sistem Ganda PSG yang didasarkan keterkaitan dan kesepadanan link and match antara sekolah dan dunia industri. Hal ini menggambarkan bahwa dalam proses pembelajaran di SMK telah diterapkannya relevansi pendidikan dengan dunia nyata. Seperti dalam Kurikulum SMK 1999, Kurikulum SMK 2004 dan KTSP SMK juga menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan diklat berbagai program keahlian yang sesuai dengan kebutuhan lapangan 6 Pendahuluan kerja demand driven. Landasan filosofinya tertuang dalam penjelasan Pasal 15 UU SISDIKNAS 2004, “merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu”. Tujuan khusus dari SMK yang tertuang dalam KTSP SMK 2006 memberikan arahan kesesuaian dengan pendidikan kecakapan hidup, yaitu 1 menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia yang produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga tingkat menengah, sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya, 2 menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karier, ulet dan gigih dalam berkompetisi, beradaptasi di lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diamatinya, 3 membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni agar mampu mengembangkan diri dikemudian hari baik secara mandiri maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi, 4 membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi sesuai dengan program keahlian yang dipilih. Kedua, penyelesaian permasalahan pendidikan terkait dengan aspek kesempatan mendapatkan akses pendidikan yang bermutu bagi semua warga negara, terutama yang kurang beruntung dari sisi ekonomi. Perbedaan yang besar dalam faktor sosial ekonomi cenderung menimbulkan masalah yang berat. Masalah ini terutama sangat dirasakan oleh individu yang berasal dari kalangan ekonomi lemah, tidak mampu atau golongan “rendahan”. Dikalangan mereka terutama, anak-anak yang berasal dari kalangan sosial ekonomi lemah, tidak mustahil timbul kecemburuan dan rasa rendah diri yang akhirnya mempengaruhi perkembangan jiwanya seperti: kurang percaya diri, prestasi belajar rendah, kurang bergaul dengan teman, dan lain sebagainya. Terkait dengan hal ini maka perlu dikaji bagaimana status sosial ekonomi keluarga dalam mengembangkan 7 Pendahuluan potensi dasar peserta didik agar berani menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi. Ketiga, masalah rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan. Tinggi rendahnya proses dan hasil pendidikan tergantung banyak faktor diantaranya adalah sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum, evaluasi, peserta didik, pengajar guru. Didalam perkembangan pembelajaran tidak akan lepas dari berbagai pendekatan yang mendasarinya diantaranya adalah pendekatan perilaku behavioral approach, pendekatan kognitif cognitive approach, dan penedakatan terapan applied approach. Menurut Hamzah B.Uno 2006:50-51 padangan psikologi perilaku ini dikembangkan oleh Paplov, Thorndike dan Skinner yang didasarkan pada stimulus. Stimulus merupakan penyebab terbentuknya respon-respon dalam belajar. Stimulus pada pendekatan psikologi dinamakan operant conditioning yang dibentuk melalui pengubahan materi bahasan sehingga dapat merangsang pembelajar mengembangkan perilaku seperti yang dikehendaki dalam tujuan belajar. Untuk mengefektifkan aktivitas pembelajar, Skinner dalam Hamzah B. Uno 2006 selanjutnya mengembangkan empat teorema pembelajaran, yaitu 1 peran pendidikan hakekatnya adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku yang diinginkan saja yang diberi penguatan; 2 stimulus yang bersifat deskriptif hendaknya diberikan sebagai penunjang aktivitas belajar; 3 memberikan arahan agar para pembelajar membuat catatan kemajuan anak didiknya sehingga dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian program yang mereka perlukan dikemudian hari dan 4 membuat rekomendasi tentang tugas-tugas belajar mana yang harus dicoba dahulu, sebagaimana cara belajarnya, serta hasil-hasil apa saja yang diharapkan dengan keseluruhan aktivitas yang diprogramkan. 8 Pendahuluan Menurut pendekatan kognitif, belajar merupakan proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan perilaku seseorang yang tampak sesungguhnya hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi persepsi dirinya terhadap sesuatu yang sedang diamati dan dipikirkannya. Fungsi stimulus yang datang dari luar direspon sebagai aktivator kerja memori otak untuk membentuk dan mengembangkan struktur kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi yang terus-menerus diperbaharui, sehingga akan selalu saja ada sesuatu yang baru dalam memori dari setiap akhir kegiatan belajar. Dengan demikian maka eksistensi guru dalam pendekatan kognitif menjadi sangat penting sebagai penentu struktur bahan belajar dan tingkat kesulitan tugas-tugas belajar yang diberikan kepada peserta didik. Oleh sebab itu Asaubel dalam Hamzah B. Uno 2006:53 menyarankan agar para guru dapat mengembangkan situasi belajar yang baik, memilih dan menstrukturkan isi pembelajaran, serta menginformasikan dalam bentuk sajian pembelajaran yang terorganisir dari umum menuju ke rinci dalam satuan bahasan yang bermakna. Pendekatan terapan menurut Hamzah B. Uno 2006:55 bahwa belajar sebagai upaya mendapatkan pengetahuan melalui empat fungsi pembelajaran yaitu: 1 memberikan orientasi tentang materi; 2 memberikan kesempatan untuk berlatih dan menerapkan materi yang dibahas pada tahap orientasi, kemudian diikuti dengan; 3 memberikan pengertian tentang hasil belajar yang telah dicapai dalam proses pembelajaran yang dilakukan; 4 memberikan kesempatan melanjutkan latihan. Berdasarkan uraian tiga pendekatan pembelajaran di atas, maka timbul pertanyaan sosok guru yang bagaimana yang diharapkan mampu mengembangkan pembelajaran yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang baik, mengembangkan kemampuan dasar siswa melalui 9 Pendahuluan pembiasaan, mengembangkan pemahaman konsep dan interelasi konsep, serta mengembangkan kemampuan siswa untuk dapat mengaplikasikan ilmunya pada kehidupan nyata. Untuk dapat melakukan semua itu, maka guru dituntut memiliki kompetensi yang mampu menjawab tantangan proses pembelajaran. Kompetensi menurut Kepmendiknas No.045U2002 menyebutkan bahwa kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Menurut Undang- undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 dinyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Terkait dengan hal itu, maka perlu dikaji bagaimana persepsi siswa tentang kompetensi guru dalam kaitannya perubahan perilaku yang bermakna dalam kehidupan nyata, seperti yang diungkapkan dalam pendekatan kognitif di atas bahwa perubahan perilaku individu merupakan internasilasi persepsi dirinya terhadap apa yang diamatinya dan dipikirkannya. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran sangatlah penting bagaimana dia mempersepsikan kompetensi guru selama pembelajaran berlangsung sehingga stimulus yang diberikan guru dapat direspon dengan benar. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang berhasil seperti yang diungkapkan pada tiga pendekatan pembelajaran di atas, guru dituntut memiliki kompetensi profesi sebagai tenaga pendidik. Dari berbagai pemikiran-pemikiran di atas, maka penulis mencoba meneliti kontribusi sosial ekonomi orangtua siswa, persepsi guru dan siswa tentang kompetensi guru terhadap pengembangan kecakapan hidup life skills siswa Sekolah Menengah Kejuruan. 10 Pendahuluan

B. Masalah dan Pertanyaan Penelitian