Insidensi Lesi Rongga Mulut Yang Didiagnosa Di Tiga Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012.
INSIDENSI LESI RONGGA MULUT YANG DIDIAGNOSA
DI TIGA LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI
DI MEDAN TAHUN 2007 – 2012
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
SHALINI JAGADISEN NIM: 090600125
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
Fakultas Kedokteran Gigi Bagian Biologi Oral Tahun 2013
Shalini Jagadisen
Insidensi lesi rongga mulut yang didiagnosa di tiga Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012.
x + 52 halaman
Lesi-lesi rongga mulut dapat berupa radang, kista, lesi prekanker, neoplasma jinak dan neoplasma ganas. Rumusan masalah penelitian ini adalah ‘Bagaimana disribusi frekuensi lesi-lesi rongga mulut yang didiagnosa di Laboratorium Patologi Anatomi, FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan Tahun 2007-2012?’ Tujuan peneltian ini adalah untuk mendapatkan distribusi frekuensi diagnosa histopatologi lesi-lesi rongga mulut di tiga Laboratorium Patologi Anatomi di Medan sejak tahun 2007-2012. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan
cross-sectional dimana data yang diperoleh dari arsip-arsip formulir permintaan pemeriksaan patologi di Departemen Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan dari tahun 2007 – 2012. Seluruh kasus lesi rongga mulut dari tahun 2007 – 2012 dikumpulkan dan dihitung distribusi frekuensi lesi-lesi rongga mulut berdasarkan diagnosa histopatologi, jenis kelamin, umur, lokasi lesi dan suku. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dijumpai 40,5% neoplasma ganas, 23,5% radang, 21,3% neoplasma jinak, 12,9% kista dan 1,8 % lesi prekanker. Insidensi tertinggi lesi rongga mulut adalah 53,8% pada perempuan, 19,2% umur 41-60 tahun, 36,9% pada mandibula, dan 39,6% suku Batak. Berdasarkan cara pengambilan jaringan di rongga mulut, dijumpai tertinggi adalah biopsi aspirasi sebanyak 48,5% manakala dokter pengirim yang paling banyak mengirim lesi-lesi rongga mulut ke Laboratorium Patologi Anatomi adalah dokter Sp.BM sebanyak 30,2%. Dokter gigi sesuai dengan profesinya tentu mempunyai kesempatan yang pertama untuk menemukan dan mengevaluasi lesi-lesi di rongga
(3)
mulut yang disebabkan oleh karena gigi dan faktor lain.
Kata kunci: radang, kista, lesi prekanker, neoplasma jinak, neoplasma ganas Daftar Pustaka: 35 (2001-2013).
(4)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 4 Juli 2013
Pembimbing: Tanda tangan
1. Rehulina Ginting, drg., M.Si ……….
NIP: 19511018 198003 2 001
2. Betty, dr., M.Ked. (PA). Sp.PA ……….
(5)
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 4 Juli 2013
TIM PENGUJI 1. Rehulina Ginting, drg., M.Si
2. Betty,dr., M.Ked. (PA). Sp.PA 3. Yendriwati, drg., M.Kes
(6)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bimbingan dan pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku Ketua Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Betty, dr., M.Ked. (PA). Sp.PA, selaku dosen pembimbing kedua yang telah membimbing dan membantu penulis serta memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Prof. Nazruddin, drg., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Biologi Oral FKG USU Lisna Unita, drg., M.Kes, Minasari, drg., Yendriwati, drg., M.Kes., Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc., M.Kes., dan Yumi Lindawati, drg., selaku para staf pengajar Departemen Biologi Oral. Ngaisah dan Dani Irma Suryani selaku staf pegawai yang telah membantu dalam penelitian, memberikan saran, arahan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dokter dan pegawai di Departemen Patologi Anatomi FK-USU/RSUP H. Adam Malik, dan RSUD Dr. Pirngadi di Medan.
(7)
6. Teristimewa kepada ibunda saya yang tercinta Mrs. Kalawaty yang selalu memberikan semangat, nasehat, kesabaran, doa, kasih sayang dan dukungan baik moral maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Adik, teman dekat dan sahabat-sahabat penulis Anita Carolina, Femy Rilinda, Dwi Desmiana, Fransiska B dan Charissa A yang telah memberi semangat penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, dokter gigi, mahasiswa, dan masyarakat.
Medan, 4 Juli 2013
Penulis,
( Shalini Jagadisen )
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………... HALAMAN PERSETUJUAN………... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI……….
KATA PENGANTAR………... iv
DAFTAR ISI………. vi
DAFTAR TABEL………. viii
DAFTAR GAMBAR……….... x
DAFTAR SINGKATAN………... xi
DAFTAR LAMPIRAN………. xii
BAB 1 PENDAHULUAN………... 1
1.1 Latar Belakang………. 1
1.2 Rumusan Masalah……… 3
1.3 Tujuan Penelitian………. 3
1.3.1 Tujuan Umum……… 3
1.3.2 Tujuan Khusus………... 3
1.4 Manfaat Penelitian……… 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 5
2.1 Lesi pada rongga mulut………... 5
2.1.1 Radang……….. 5
2.1.2 Kista Rongga Mulut ...………... 8
2.1.3 Lesi Prekanker………... 12
2.1.4 Neoplasma Rongga Mulut ……… 14
2.2 Kerangka Teori………... 17
2.3 Kerangka Konsep………... 18
BAB 3 METODE PENELITIAN………... 19
3.1 Jenis Penelitian………... 19
(9)
3.2.1 Tempat Penelitian….………... 19
3.2.2 Waktu Penelitian...………... 19
3.3 Populasi dan Sampel……….………… 19
3.3.1 Populasi………... 19
3.3.2 Sampel………... 19
3.3.3 Besar Sampel………...………. 20
3.4 Variabel Penelitian……… 20
3.4.1 Variabel Bebas………... 20
3.4.2 Variabel Terikat………... 20
3.4.3 Variabel Terkendali………...………... 20
3.5 Kriteria Inklusi dan Ekslusi………..……… 20
3.5.1 Kriteria Inklusi………... 20
3.5.2 Kriteria Ekslusi………... 20
3.6 Kerangka Operasional………... 21
3.7 Definisi Operasional……….……… 21
3.8 Alat dan Bahan………...………... 22
3.8.1 Alat………..………... 22
3.8.2 Bahan…………...………... 23
3.9 Metode Pengumpulan data……….…... 23
3.10 Pengolahan dan Analisis Data………... 23
3.10.1 Pengolahan Data………. 23
3.10.2 Analisis Data………... 23
BAB 4 HASIL PENELITIAN………... 25
BAB 5 PEMBAHASAN……….... 39
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………. 48
DAFTAR PUSTAKA……… 50
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012……….………...
25
2 Distribusi frekuensi lesi radang pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012……….
26
3 Distribusi frekuensi jenis lesi radang Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012……….
27
4 Distribusi frekuensi lesi kista pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012……….
28
5 Distribusi frekuensi lesi prekanker pada Laboratorium
Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012………...
28
6 Distribusi frekuensi lesi neoplasma jinak pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012………...
29
7 Distribusi frekuensi lesi neoplasma ganas pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012………...
30
8 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan jenis kelamin pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012………...
31
9 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan umur pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012...
(11)
10 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan lokasi lesi pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012…..……...
33
11 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan suku pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012……….
36
12 Distribusi frekuensi cara pengambilan jaringan lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012….………
37
13 Distribusi frekuensi dokter pengirim lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 - 2012………..………..
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Gambaran histopatologi radang akut yang mengandungi sel polimorfonuklear yaitu neutrofil………
6
2 Gambaran histopatologi radang kronis yang mengandungi
granuloma, limfosit, multinuclear giant cells dan epitheloid
cells………
7
3 Gambaran mikroskopis kista radikular……….. 10
4 Gambaran mikroskopis kista dentigerus……… 11
5 Gambaran mikroskopis lesi prekanker (Leukoplakia)………... 13
6 Gambaran mikroskopis neoplasma rongga mulut, A.
Neoplasma Jinak; B. Neoplasma Ganas………
(13)
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan
DNA FNAB
M3 TAM WHO
Deoxyribonucleic Acid
Fine Needle Aspiration Biopsy Molar 3
Tumor Associate Macrophage World Health Organization
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Pikir
2. Ethical Clearance
3. Formulir Permintaan Pemeriksaan Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik 4. Contoh Formulir Pemeriksaan Patologi Anatomi FKG USU
(15)
Fakultas Kedokteran Gigi Bagian Biologi Oral Tahun 2013
Shalini Jagadisen
Insidensi lesi rongga mulut yang didiagnosa di tiga Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012.
x + 52 halaman
Lesi-lesi rongga mulut dapat berupa radang, kista, lesi prekanker, neoplasma jinak dan neoplasma ganas. Rumusan masalah penelitian ini adalah ‘Bagaimana disribusi frekuensi lesi-lesi rongga mulut yang didiagnosa di Laboratorium Patologi Anatomi, FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan Tahun 2007-2012?’ Tujuan peneltian ini adalah untuk mendapatkan distribusi frekuensi diagnosa histopatologi lesi-lesi rongga mulut di tiga Laboratorium Patologi Anatomi di Medan sejak tahun 2007-2012. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan
cross-sectional dimana data yang diperoleh dari arsip-arsip formulir permintaan pemeriksaan patologi di Departemen Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan dari tahun 2007 – 2012. Seluruh kasus lesi rongga mulut dari tahun 2007 – 2012 dikumpulkan dan dihitung distribusi frekuensi lesi-lesi rongga mulut berdasarkan diagnosa histopatologi, jenis kelamin, umur, lokasi lesi dan suku. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dijumpai 40,5% neoplasma ganas, 23,5% radang, 21,3% neoplasma jinak, 12,9% kista dan 1,8 % lesi prekanker. Insidensi tertinggi lesi rongga mulut adalah 53,8% pada perempuan, 19,2% umur 41-60 tahun, 36,9% pada mandibula, dan 39,6% suku Batak. Berdasarkan cara pengambilan jaringan di rongga mulut, dijumpai tertinggi adalah biopsi aspirasi sebanyak 48,5% manakala dokter pengirim yang paling banyak mengirim lesi-lesi rongga mulut ke Laboratorium Patologi Anatomi adalah dokter Sp.BM sebanyak 30,2%. Dokter gigi sesuai dengan profesinya tentu mempunyai kesempatan yang pertama untuk menemukan dan mengevaluasi lesi-lesi di rongga
(16)
mulut yang disebabkan oleh karena gigi dan faktor lain.
Kata kunci: radang, kista, lesi prekanker, neoplasma jinak, neoplasma ganas Daftar Pustaka: 35 (2001-2013).
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rongga mulut adalah pintu masuknya makanan ke dalam tubuh. Rongga mulut terbagi atas dua bagian yaitu oral dan oro-faring. Yang termasuk daerah oral adalah bibir, lidah, palatum keras, mukosa bukal, gingiva, dasar mulut, maksila, mandibula dan kelenjar air liur, sedangkan yang termasuk dalam bagian oro-faring adalah palatum lunak, pangkal lidah, tonsil dan dinding faring.1 Dalam penulisan ini, hanya akan dibahas mengenai oral.
Terdapat berbagai jenis lesi-lesi rongga mulut yang ditemui. Menurut Kumar dkk (2005), jens-jenis lesi rongga mulut dapat berupa inflamasi (lesi fibrous proliferatif,
aphthous ulcer, glositis), infeksi (virus Herpes Simplex, kandidiasis, fungi), prekanker (leukoplakia, eritroplakia), kista (odontogenik dan non odontogenik), neoplasma jinak (ameloblastoma, papiloma, adenoma, fibroma, epulis, lipoma, hemangioma, osteoma, limfangioma, kondroma) dan neoplasma ganas (karsinoma, sarkoma, limfoma).2
Faktor-faktor penyebab kanker rongga mulut tidak diketahui dengan pasti. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong terkenanya kanker seperti iritasi kronis yang disebabkan oleh karies gigi, permukaan gigi yang tajam, tambalan yang kasar dan gigi palsu yang tidak baik. Faktor-faktor lainnya yang diduga berhubungan adalah kebiasaan buruk seperti pengkonsumsian tembakau, alkohol, dan kebiasaan menyirih. Selain itu, infeksi (sifilis, kandidiasis, dan virus), sinar matahari jangka waktu lama serta faktor genetik juga dapat menyebabkan terjadinya kanker.3,4,5 Salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya angka morbiditas adalah lambatnya mendeteksi lesi tersebut.6,7 Pendekatan saat ini untuk mengendalikan kanker ini mencakup pencegahan faktor risiko dan deteksi dini pasien dengan lesi oral yang mencurigakan.6
(18)
Inflamasi kronis telah dikenal sebagai faktor penting dalam perkembangan neoplasma. Dalam perjalanannya suatu patogenesis lesi normal menjadi neoplasma membutuhkan waktu yang lama yaitu dengan adanya suatu karsinogenik yang mengiritasi secara kronis, sehingga sel epitel mengalami proliferasi secara abnormal. Paparan kronis karsinogen seperti tembakau, alkohol, virus-virus onkogen, dan inflamasi dapat merusak gen seseorang pada kromosom sebagai bagian dari materi genetik. Akumulasi dari perubahan genetik tersebut dapat memicu perkembangan lesi-lesi premalignan dan diikuti dengan terjadinya karsinoma invasif. Setelah adanya jejas, sel-sel inflamatori melepaskan sitokin dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel yang akan menstimulasi proliferasi sel lokal, pertumbuhan vaskular, dan penyembuhan luka. Pada inflamasi kronis, faktor-faktor ini bergabung dan terjadilah proliferasi yang terus-menerus hingga sel jaringan epitel mengalami displasia dan akhirnya menjadi neoplasma.2,3
Insidensi kanker rongga mulut di Amerika dan Eropa (2005) adalah 3-5% dari seluruh kanker. Pada negara berkembang di Asia Tenggara seperti India (2001), kanker rongga mulut ditemukan sekitar 36,5%.8 Di Indonesia, penelitian tentang lesi rongga mulut masih sedikit. Di Medan, penelitian pernah dilakukan di sembilan laboratorium Patologi Anatomi tahun 1997 – 2002 untuk mengetahui distribusi frekuensi lesi rongga mulut dan diperoleh 34,1% kasus neoplasma ganas,9 dilanjutkan dengan penelitian yang sama tahun 2002 – 2007 dan diperoleh 42,8% kasus neoplasma ganas.10 Penelitian ini belum dapat menjadi data akurat untuk mengetahui insidensi lesi rongga mulut di Medan.
Dokter gigi sesuai dengan profesinya tentu mempunyai kesempatan yang pertama untuk menemukan dan mengevaluasi lesi-lesi di rongga mulut yang disebabkan oleh karena gigi dan faktor lain. Di samping merawat gigi pasien, dokter gigi juga harus dapat memperhatikan dengan lebih cermat keadaan jaringan lunak mulut pasiennya serta mengenali dan merawat lesi iritatif yang bertujuan dapat melakukan deteksi dini dan pencegahan yang berpotensi ganas di rongga mulut sehingga insidensi kanker rongga mulut dapat diturunkan dan sekaligus dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat kanker rongga mulut.11
(19)
Berdasarkan hal di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti dan mengetahui distribusi lesi rongga mulut yang mencakupi bibir, lidah, palatum keras, mukosa bukal, gingiva, dasar mulut, maksila, mandibula dan kelenjar air liur. Data diperoleh dari registrasi di beberapa Laboratorium Patologi Anatomi yang berada di Medan mulai Agustus 2007 - Mei 2012. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam melengkapi data statistik insidensi lesi rongga mulut di Medan.
1.2 Rumusan Masalah
‘Bagaimana disribusi frekuensi lesi-lesi rongga mulut yang didiagnosa di Laboratorium Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan Tahun 2007-2012?’
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
1. Untuk mendapatkan distribusi frekuensi diagnosa histopatologi lesi-lesi rongga mulut di tiga Laboratorium Patologi Anatomi di Medan sejak tahun 2007-2012.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui insidensi lesi rongga mulut berdasarkan diagnosa histopatologi/sitologi.
2. Untuk mengetahui insidensi radang berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
3. Untuk mengetahui insidensi kista berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
4. Untuk mengetahui insidensi prekanker berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
5. Untuk mengetahui insidensi neoplasma jinak berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
(20)
6. Untuk mengetahui insidensi neoplasma ganas berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku dan lain-lain.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberi informasi untuk para dokter/dokter gigi dalam mendeteksi dini lesi-lesi rongga mulut sehingga menurunkan insidensi kanker rongga mulut .
2. Sebagai informasi bagi Departemen Kesehatan dan Organisasi Profesi dalam memberikan penyuluhan sebagai pencegahan primer sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan rongga mulut.
(21)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lesi pada rongga mulut
Lesi-lesi rongga mulut dapat disebabkan oleh faktor lokal dan luar. Faktor lokal yang dapat menyebabkan lesi rongga mulut adalah iritasi kronis yang disebabkan oleh tambalan yang kasar, radiks, karies gigi, permukaan gigi yang tajam dan permukaan protesa yang kurang baik. Faktor luar yang dapat menyebabkan lesi rongga mulut adalah kebiasaan buruk seperti merokok, menyirih, mengunyah tembakau, pengkonsumsian alkohol; infeksi virus seperti Human Pappiloma Virus (HPV), dan pendedahan ke sinar ultraviolet yang berlebihan.3 Faktor-faktor ini dapat menyebabkan terjadi lesi radang, kista, prekanker, neoplasma jinak dan neoplasma ganas.2,3
2.1.1 Radang
Radang merupakan suatu reaksi jaringan tubuh terhadap jejas (cedera). Respon peradangan adalah salah satu mekanisme pertahanan alam paling penting dan merupakan respon tubuh terhadap luka jaringan.12
Radang dapat dibagi menjadi radang akut dan radang kronis.12,13 Radang akut merupakan respon langsung dan dini terhadap agen penyebab trauma jaringan. Respon ini berlangsung relatif singkat, hanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Sel-sel yang terlibat dalam proses radang akut yaitu sel polimorfonuklear/PMN (neutrofil, eosinofil, basofil) dan makrofag.12 Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya radang akut adalah (1). Infeksi (bakteri, virus, fungi dan parasit); (2).Trauma (termal, radisasi, bahan kimia dan lain-lain); (3). Nekrosis tisu (injuri kimia dan fisik); (4) Reaksi imun (reaksi hipersensitivitas).13
(22)
Gambar 1. Gambaran histopatologi radang akut yang mengandungi sel polimorfonuklear (neutrofil).12
Radang akut terjadi apabila terdapat perubahan vaskular yang ditandai oleh meningkatnya aliran darah sekunder yang menyebabkan dilatasi arteriolar dan kapiler (eritemadan panas). Permeabilitas pembuluh darah meningkat, baik melalui sel inter-endothelial dari venula atau sel injuri endotel langsung, menghasilkan cairan eksudat ekstravaskular yang kaya protein (edema jaringan). Leukosit, awalnya didominasi neutrofil, mengikuti endotelium melalui molekul adhesi, kemudian meninggalkan mikrovaskular dan bermigrasi ke lokasi cedera dengan pengaruh agen kemotaktik.12,13 Hal ini diikuti dengan proses fagositosis, pemusnahan, dan degradasi dari agen. Cacat genetik atau fungsi lain dari leukosit menimbulkan infeksi berulang. Hasil dari peradangan akut adalah penghapusan eksudat dengan pemulihan arsitektur jaringan normal (resolusi), transisi ke peradangan kronis, atau kehancuran jaringan mengakibatkan jaringan parut.12
Berbeda dengan radang akut, radang kronis disebabkan oleh rangsang yang menetap, seringkali berlangsung lama selama beberapa minggu atau bulan, keadaannya tidak begitu nyeri, dan bisa mengarah pada pembentukan suatu drainase melalui suatu sinus.12 Radang kronis dapat terjadi sesudah radang akut atau timbul
(23)
sendiri. Jenis radang akut yang paling sering berkembang menjadi radang kronis ialah jenis radang akut supuratif.13 Sel-sel yang terlibat dalam proses radang kronis yaitu limfosit, sel plasma dan makrofag lebih banyak ditemukan dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan granulasi, yang menghasilkan fibrosis.12
Gambar 2. Gambaran histopatologi radang kronis yang mengandungi granuloma, limfosit, multinuclear giant cells dan epitheloid cells. 12
Radang kronis terjadi apabila respon host berkepanjangan terhadap stimulus yang terus-menerus, yang disebabkan oleh mikroba yang resisten terhadap eliminasi, respon imun tubuh terhadap antigen diri dan lingkungan, dan beberapa zat beracun (silika). Hal ini ditandai dengan peradangan yang belum sembuh, injuri pada jaringan, perbaikan oleh jaringan parut dan respon imun tubuh. Selular yang masuk ke dalam jaringan terdiri dari makrofag, limfosit dan sel plasma sehingga menyebabkan fibrosis sering menonjol. Ini ditambahi lagi dengan mediasi oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan limfosit (limfosit T), Interaksi dua arah antara sel ini cenderung untuk memperkuat dan memperpanjang reaksi peradangan. Contoh radang kronis adalah inflamasi granulomatosa, inflamasi fibrinosa, inflamasi purulen, inflamasi serosa dan
(24)
inflamasi ulseratif.12
Radang mulut granulomatik merupakan radang kronis yang menunjukkan suatu proliferasi dan pertumbuhan jaringan seperti tuberkolosis rongga mulut, morbus hansen (kusta), lues (sifilis), leprosy (lepra) dan aktinomikosis.12,13
Peradangan mengarah pada perkembangan kanker karena aktivitas leukosit, termasuk produksi protein yang mengubah perilaku sel target (sitokin dan kemokin), stimulasi pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) dan remodeling jaringan. Sel-sel imun tubuh juga menghasilkan radikal oksigen yang dapat menyebabkan mutasi pada Deoxyribonucleic Acid (DNA). Peradangan ini dapat menginduksi karsinogenesis dan mengarah pada progresi dan metastasis. Aktivasi faktor transkripsi oleh pro-inflamasi sitokin menghasilkan fenotip kanker yang lebih agresif termasuk resistensi terhadap mekanisme kontrol pertumbuhan normal, kemampuan angiogenetik dan metastasis. Tumor Associate Macrophage (TAM), juga terkait dengan jalur inflamasi, telah diamati untuk menghasilkan pro-angiogenik faktor dan pembuluh darah merekrut pada awal perkembangan tumor. TAM juga meningkatkan laju pertumbuhan sel tumor dan menyebabkan dissolusi jaringan ikat matriks di sekitar tumor. Perkara ini menyebabkan pertumbuhan tumor dan menyebar.12
Hodgson et.al. (2009), pada penelitiannya mengenai penyakit-penyakit yang berpotensi menjadi malignan, dari 75 pasien yang menderita ulserasi yang persisten, didapati empat pasien (5.3%) mengalami malignansi, lima pasien (6.7%) mengalami lesi displasia dan 39 pasien (52 %) mengalami ulserasi kronis non spesifik.3
2.1.2. Kista Rongga Mulut
Kista didefinisikan sebagai rongga berlapis epitel yang patologis. Kista dari rahang atas, rahang bawah, dan daerah perioral sangat bervariasi dari segi histogenesis, perilaku, dan pengobatan. Kista rongga mulut dibagi menjadi kista odontogenik, kista non-odontogenik, pseudocysts, dan kista jaringan lunak pada leher.14
(25)
Menurut WHO (1992), kista odontogenik terdiri dari kista radikular, kista dentigerus, kista lateral periodontal, kista gingival, kista erupsi, kista glandular odontogenik, odontogenik keratosis dan kista odontogenik kalsifikasi. Kista non-odontogenik terdiri dari kista globulomaksilari, kista retensi, kista nasolabial, kista median mandibular dan kista kanal nasopalatinus. Sedangkan, pseudocysts terdiri dari
aneurysmal bone cyst, traumatic bone cyst, static bone cyst dan focal osteoporotic bone marrow defect. Yang terakhir, kista jaringan lunak pada leher terdiri dari kista brankial, kista epidermoid dan kista thyroglossal.14,15
Dalam kedokteran gigi, kista yang sering terjadi adalah kista odontogenik seperti kista radikular, dan kista dentigerus.14,16,17 Kista radikular atau juga dikenali sebagai kista periapikal adalah kista yang paling umum terjadi dalam rongga mulut. Kista ini merupakan peradangan lapisan epitel dari proliferasi residu epitel odontogenik (sisa-sisa sel Malassez) dalam ligamen periodontal.14,15,16,17
Secara patogenesis, kista radikular didahului dengan granuloma periapikal yang disebabkan oleh peradangan kronis yang berhubungan dengan gigi non vital. Sisa-sisa dari sel Malassez dirangsang oleh peradangan kronis sehingga terbentuknya kista. Kista terbentuk disebabkan oleh prolifaresi sel epitel. Kista membesar karena terjadinya resorpsi tulang yang dipicu oleh prostaglandins, interleukins dan proteinases dari sel inflamatori. Hal ini menyebabkan tekanan osmotik meningkat di lumen.14,16,17
Secara histopatologi, kista radikular dibatasi oleh non-keratin epitel skuamosa berlapis dengan ketebalan yang variabel. Transmigrasi sel inflamasi melalui epitel sering terjadi dengan sejumlah besar leukosit polimorfonuklear dan lebih sedikit jumlah limfosit yang terlibat. Infiltrat sel plasma dan russel body intraseluler, mewakili akumulasi gamma globulin, sering ditemukan dan kadang-kadang mendominasi gambaran mikroskopis. Benih granuloma juga terkadang ditemukan dalam dinding kista periapikal menunjukkan hubungan antara apikal dengan rongga mulut melalui saluran akar dan lesi karies.14,16
(26)
Gambar 3. Gambaran mikroskopis kista radikular. 14
Kista dentigerous atau folikular adalah jenis kista odontogenik kedua yang sering terjadi setelah kista periapikal.14,15,16,17 Menurut definisi, kista dentigerous melekat pada leher serviks gigi (enamel-sementum junction) dan membungkus mahkota gigi yang tidak erupsi.15,16,17
Secara patogenesis, kista dentigerous berkembang dari proliferasi sisa organ enamel atau berkurang epitel enamel.14,16,17 Seperti kista lainnya, perluasan kista dentigerous berkaitan dengan proliferasi epitel, pelepasan prostaglandins, interleukins dan proteinase serta peningkatan osmolalitas cairan kista.14,16
Secara histopatologi, jaringan ikat fibros dinding kista dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis. Dalam kista dentigerous, lapisan epitel adalah lapisan yang non keratin dan cenderung menjadi sekitar 4-6 lapisan. Di samping itu, terdapat banyak sel mukosa, dan jarang, sel sebaceous yang ditemukan pada lapisan epitel.14,16
(27)
Gambar 4. Gambaran mikroskopis kista dentigerus.14
Kista retensi terbagi kepada dua yaitu mukokel dan ranula. Kista retensi sebagian besar ditemukan di bibir bawah, selain itu juga dapat di bibir atas, dasar mulut, palatum, mukosa bukal, dan retromolar. Biasanya pasien mengeluh pembengkakan tanpa nyeri yang sering kambuh. Trauma pada bibir/mulut yang mengenai saluran kelenjar liur dapat mengakibatkan penyumbatan pada duktus salivarius tersebut. Hasil penyumbatan ini adalah pelebaran setempat berisi cairan musin yang disebut kista retensi. Mukokel bisa berdiameter 1-2 mm tetapi umumnya 5-10 mm sedangkan ranula lebih besar. Gambaran histologik ranula dan mukokel pada dasarnya sama, hanya berbeda pada tempat dan besarnya. 14,16
Kista yang tidak diobati dapat berpotensi berubah menjadi neoplasma jinak dan neoplasma ganas. Perkara ini dapat dilihat apabila kista dentigerus dapat berubah menjadi ameloblastoma melalui transformasi epitel dan seterusnya menjadi
ameloblastic carcinoma.3
Beberapa kasus yang telah dilaporkan menunjukkan bahwa karsinoma sel skumous kadang-kadang bisa berasal dari lapisan epitel kista radikular dan kista odontogenik lainnya. Eversole dkk. (1975), meneliti kasus karsinoma epidermoid sentral dan karsinoma mukoepidermoid sentral, dan menemukan 75% kasus di
(28)
antaranya disertai dengan kista dan mempunyai resiko tinggi bertransformasi menjadi ganas sehingga tidak sesuai untuk menganggap kista sebagai lesi pre-kanker.9,10
2.1.3. Lesi prekanker
Lesi prekanker didefinisikan sebagai perubahan morfologi dari jaringan dimana kanker cenderung terjadi pada jaringan yang normal.18 Lesi prekanker adalah kondisi penyakit yang secara klinis belum menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada lesi ganas, namun di dalamnya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis yang dapat menyebabkan terjadinya keganasan.18,19 Lesi ini merupakan suatu reaksi akibat iritasi kronis yang secara mikroskopis dijumpai perubahan sel berupa metaplasia dan displasia. Keparahan lesi prekanker biasanya dilihat melalui stadium displasia lesi tersebut secara histologi. Displasia terbagi kepada tiga stadium yaitu stadium ringan, sedang dan berat. Keadaan ini masih bersifat reversibel dan iritasi kronis dihilangkan maka sel ini dapat kembali ke bentuk normal tapi pada keadaan irirtasi yang terus menerus, sel displasia dapat mengalami perubahan menjadi sel anaplasia yang dikategorikan sebagai karsinoma.7,12
The WHO Collaboration Reference centre for Oral Precancerous centre (2008) menyebutkan beberapa perubahan berikut sebagai bagian dari displasia epitel yaitu hilangnya polaritas sel basal, adanya lebih dari satu lapisan sel yang mempunyai bentuk basaloid, bertambahnya rasio nuklear-sitoplasmik, processusrete berbentuk tetesan, lapisan epitel yang tidak teratur, bertambahnya jumlah mitosis, tampak juga sejumlah mitosis abnormal juga terlibat, adanya hasil mitosis pada beberapa bagian superfisial dari epithelium, pleomorpism seluler, inti hipokromatik, nukleoli yang membesar, berkurangnya kohesi selular dan keratinisasi dari sel tunggal atau kelompok sel pada lapisan sel spinal.4, 9,10
(29)
Gambar 5. Gambaran mikroskopis lesi prekanker (Leukoplakia).9
Beberapa faktor yang merupakan etiologi dari lesi prekanker di rongga mulut adalah: (1). Faktor lokal, penggunaan tembakau (menyirih/menyuntil, merokok), alkohol, oral hygiene buruk, iritasi gigi tiruan, kandidiasis, sinar matahari; dan (2). Faktor sistemik, defisiensi vitamin, anemia kekurangan zat besi, sipilis.6,7,18
Kedua faktor di atas saling berkaitan dan secara bersamaan sebagai agen/bahan yang mengiritasi dan merangsang perubahan sel normal jaringan epitel ke bentuk abnormal.11
Istilah lesi pre-kanker digunakan untuk kelainan dari mukosa mulut yang dapat berdegenerasi menjadi kanker mulut. Sebagian karsinoma skuamous rongga mulut terlihat sebagai lesi yang secara klinis tidak dapat dibedakan dari keratosis idiopati atau friksional. Antara lesi-lesi prekanker yang berpotensi berubah menjadi kanker rongga mulut adalah: (1). Leukoplakia; (2). Eritroplakia; (3). Sifilis Tertier; (4). Oral Submukus Fibrosis; (5). Kronik Kandidiasis; (6). Liken Planus; (7). Discoid Lupus Erythematosus.3
(30)
Pada salah satu penelitian yang dilakukan oleh A. Ariyawardana dkk. (2007) tentang prevalensi kanker rongga mulut dan lesi pre-kanker serta faktor risiko yang berkaitan pada 12 716 orang pekerja ladang di Sri Lanka menunjukkan bahwa sekitar 1159 orang terdeteksi menderita lesi rongga mulut. Kebanyakan kasus ditemui pada golongan perempuan (57,9%) dengan rentang umur 41-55 tahun. Faktor yang menyebabkan terjadinya lesi rongga mulut adalah kebiasaan buruk pekerja yaitu menyirih, merokok, dan pengkonsumsian alkohol dengan proposi 92%, 31% dan 61%. Angka prevalensi kebiasaan buruk tergantung kepada jenis kelamin dimana diketahui pada studi ini, perempuan paling banyak menyirih manakala laki-laki paling banyak merokok dan mengkonsumsi alkohol. Tidak ada proliferarive verrucous leukoplakia yang terdeteksi pada studi tersebut. Golongan laki-laki (62,5%) lebih banyak menderita leukoplakia dibandingkan golongan perempuan (33,7%). Namun demikian, lebih banyak perempuan (167 orang) menderita oral submucoses fibrosis
dibandingkan dengan laki-laki (42 orang). Selain itu, lesi prekanker yang lain seperti eritroplakia, keratosis palatal dan lichen planus turut ditemukan sebanyak 878 orang (6,72%). Sekitar 14 orang dengan usia sekitar 40 tahun terdeteksi menderita karsinoma. Hal yang menyebabkan terjadinya karsinoma tersebut adalah oral leukoplakia dengan jumlah deteksi lebih dari 50%. 13 dari 14 kasus karsinoma dideritai oleh pekerja yang mempunyai kebiasaan menyirih.20
2.1.4. Neoplasma Rongga Mulut
Neoplasma adalah massa jaringan atau populasi sel abnormal dengan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara tidak terkendali.4,14 Neoplasma
didefinisikan sebagai massa
membelah lebih dari yang seharusnya atau tidak mati ketika mereka seharusnya mati.4
Neoplasma dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat dan histogenesisnya. Berdasarkan sifatnya neoplasma diklasifikasikan menjadi: (1). Neoplasma jinak (benign) dan (2). Neoplama ganas (malignant).4,14 Neoplasma jinak, pertumbuhan selnya lambat, bersifat ekspansi, berkapsul, tidak bermetastatis, derajat
(31)
differensiasinya tinggi, sitologi normal, mitosis sedikit dan jarang nekrosis. Neoplasma ganas, pertumbuhannya cepat, bersifat ekspansi dan invasi, tidak berkapsul, metastasis, differensiasinya bervariasi dari differensiasi baik sampai anaplastik, hilangnya kutup, nuklear dan seluler yang pleomorfik, macam-macam mitosis yang kebanyakan bersifat abnormal dan sering nekrosis.13
Gambar 6. Gambaran mikroskopis neoplasma rongga mulut, A. Neoplasma Jinak; B. Neoplasma Ganas.13
Berdasarkan histogenesis (jaringan asal), lesi neoplasma berasal dari: (1) Epitel; (2). Mesoderm; (3). Jaringan saraf; dan (4) Pigmented Epithelium. Contoh neoplasma yang berasal dari pelapis epitel permukaan tumor jinak adalah papiloma, dan adenoma, sedangkan tumor jinak yang berasal dari mesoderm adalah fibroma, myxoma, lipoma, kondroma, osteoma, hemangioma dan limfangioma. Semua neoplasma ganas yang berasal dari pelapis epitel disebut karsinoma, misalnya karsinoma sel skumosa, dan adenokarsinoma. Tumor ganas yang berasal dari mesoderm adalah fibrosarkoma, liposarkoma, kondrosarkoma, osteosarkoma, leimiosarkoma, rhabdomiosarkoma, hemangiosarkoma, limfangiosarkoma. Semua tumor ganas jaringan limfoid adalah limfoma Hodgkin.13
(32)
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya neoplasma jinak maupun ganas adalah: (A). Faktor lokal, meliputi kebersihan rongga mulut yang jelek, iritasi yang kronis, karies, tambalan menggantung dan gigi tiruan yang tidak baik; (B). Faktor luar, meliputi karsinogen kimia berupa rokok dan cara penggunaannya, tembakau, alkohol, agen fisik, radiasi, ionisasi, virus, sinar matahari, infeksi virus; dan (C). Faktor host, meliputi usia, jenis kelamin, nutrisi, imunologi, pola hidup, pekerjaan dan genetik.21,22,23,24,25
Menurut Joel Epstein dan Isaac Van Der Waal (2006), laki-laki lebih banyak menderita kanker rongga mulut yaitu sebanyak 4% dibandingkan dengan perempuan sebanyak 2%. Angka kematian yang disebabkan oleh kanker rongga mulut pada laki-laki adalah 2% sedangkan dengan perempuan 1%. Data yang ditemukan hampir sama di Utara Amerika, namun di Prancis, insidensi kanker rongga mulut adalah sekitar 17,9%, populasi dan angka yang cukup tinggi ditemukan di India yaitu 40,6%. Di Singapura (2001), perempuan mencapai angka yang tertinggi menderita kanker rongga mulut (5,8%). Kebanyakan kasus yang ditemui adalah squamous cell cancers
sekitar 95% ditemukan pada golongan umur 40 tahun ke atas, diikuti dengan kanker lidah, dasar mulut dan tonsil.8
(33)
2.2 Kerangka Teori
Lesi Rongga Mulut
Akut
Kronis
•Trauma
•Nekrosis Tisu
•Reaksi Imun
•Radiasi
•Infeksi
•Gangguan vaskular
•Gangguan hormonal
•Dll Kista Odontogenik Non-odontogenik • Karies
• Gigi impaksi
• Penyumbatan kelenjar air liur
• Pertumbuhan dan perkembangan non odontogenik
Lesi Prekanker
Neoplasma Jinak
Ganas Radang
Faktor sistemik
•Defisiensi vitamin
•Anemia kekurangan zat besi
•Sipilis
•Dll
Faktor lokal:
• Penggunaan tembakau
• Alkohol
• Iritasi kronis gigi tiruan
• Tambalan menggantung
• OH buruk
• Kandidiasis
(34)
2.3 Kerangka Konsep
Lesi Rongga Mulut
Kista Lesi Prekanker Neoplasma
Radang
• Jenis kelamin
• Umur
• Lokasi lesi
• Suku
• Cara pengambilan lesi
(35)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2013– Februari 2013, yang mencakup pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan hasil penelitian.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi yang digunakan adalah data-data registrasi penderita lesi rongga mulut yang didiagnosa secara histopatologi di Departemen Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan.
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah data-data registrasi kasus lesi rongga mulut di Departemen Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
(36)
3.3.3 Besar Sampel
Besar sampel yang digunakan dalam penelitian adalah total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel.
3.4 Variabel Penelitian
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1 Kriteria Inklusi
1. Data pasien dari tahun 2007-2012.
2. Diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut
3.5.2 Kriteria Eklusi
1. Data pasien yang sama walaupun di dua tempat yang berbeda. 2. Formulir koyak/ rusak/ hilang/ tidak terbaca.
3.4.3. Variabel Terkendali
Asal data registrasi permintaan pemeriksaan histopatologi/sitologi
3.4.2. Variabel Terikat
1. Umur
2. Jenis kelamin 3. Lokasi lesi 4. Suku
3.4.1. Variabel Bebas
Data diagnosa
(37)
3.6 Kerangka Operasional
3.7. Definisi Operasional
1. Rongga mulut, pintu masuknya makanan yang terbagi atas oral dan oro-faring. 2. Data, merupakan registrasi penderita dari biopsi jaringan lesi rongga mulut yang didiagnosa secara histopatologi.
3. Umur, adalah masa sejak lahir sampai dengan ulang tahun yang terakhir. 4. Jenis Kelamin, dikelompokka n atas laki-laki dan perempuan.
5. Lokasi lesi, merupakan tempat ditemukannya kelainan (lesi) di dalam rongga mulut yang dikelompokkan atas: bibir, lidah, ginggiva, palatum, mukosa bukal, dasar mulut/sublingual, maksila, mandibula dan kelenjar liur.
Dicatat berdasarkan nama, umur, jenis kelamin, dokter pengirim, suku, lokasi lesi, diagnosa banding dan diagnosa klinis, gambaran klinis, diagnosa histopatologi, dan diagnosa sitologi.
Formulir permintaan pemeriksaan
Dikelompokkan berdasarkan diagnosa histopatologi/sitologi. Disubkelompokkan berdasarkan
umur, jenis kelamin, suku dan lokasi lesi.
Penganalisaan data registrasi berdasarkan distribusi frekuensi lesi-lesi di rongga mulut, umur, jenis kelamin, suku, lokasi lesi, cara pengambilan jaringan, dokter pengirim, keterangan klinis dan diagnosa patologi.
(38)
6. Suku, merupakan perkumpulan orang yang mempunyai latar belakang budaya, bahasa, rutinitas, style hidup, dan ciri-ciri fisik yang sama.
7. Keterangan klinis, penjelasan secara klinis mengenai lesi, jaringan yang dikirim serta keadaan pasien.
8. Diagnosa klinis, dugaan sementara mengenai suatu penyakit oleh dokter pengirim sediaan.
9. Diagnosa histopatologi adalah lesi di laboratorium Patologi Anatomi.
10. Lesi yang terdapat pada bibir, lidah, palatum keras, mukosa bukal, maksila dan mandibula berupa:
10.1 Radang adalah reaksi setempat atau respon fisiologis dari jaringan hidup terhadap suatu rangsang atau cedera ditandai dengan adanya tanda-tanda kemerahan, rasa panas, bengkak, sakit dan hilangnya fungsi sel.
10.1.1 Proses radang adalah diagnosa histopatologi kasus radang yang tidak dijelaskan dengan detail pada formulir permintaan pemeriksaan.
10.2 Kista rongga mulut adalah suatu ruangan patologis yang berisi cairan ataupun semi cairan dan biasanya dibatasi dinding epitel.
10.3 Prekanker adalah perubahan morfologi dimana terjadi suatu reaksi akibat iritasi kronis dari jaringan dimana kanker cenderung terjadi, pada jaringan yang normal.
10.3.1 Fibrous displasia, diagnosa umum bagi leukoplakia, eritroplakia, liken planus dan lain-lain.
10.4 Neoplasma rongga mulut adalah suatu perubahan jaringan di dalam dan di sekitar rongga mulut yang pertumbuhannya tidak dapat dikendalikan, terus-menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh.
3.8 Alat dan Bahan
3.8.1. Alat
(39)
3.8.2. Bahan Bahan yang digunakan adalah kertas dan data penderita.
3.9 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari arsip formulir permintaan pemeriksaan Patologi Anatomi Departemen Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan dengan cara mencatat semua data registrasi kasus lesi rongga mulut pada tahun 2007-2012 ke dalam formulir rekam penelitian mencakup umur, jenis kelamin, suku, cara pengambilan jaringan lesi-lesi rongga mulut, lokasi lesi, diagnosa klinis, diagnosa banding, keterangan klinis, kebiasaan jelek, dokter pengirim, diagnosa histopatologi dan diagnosa sitologi. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik total sampling
secara non-random sampling.
3.10 Pengolahan dan Analisis Data
3.10.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara penganalisisan data dengan menggunakan sistem SPSS versi 17 lalu ditabulasikan ke dalam tabel distribusi frekuensi yang dikelompokkan berdasarkan umur, jenis kelamin, suku, lokasi lesi, dokter pengirim, cara pengambilan jaringan rongga mulut, diagnosa histopatologi, dan diagnosa sitologi.
3.10.2 Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan cara:
1. Distribusi frekuensi presentase lesi rongga mulut berdasarkan diagnosa histopatologi/sitologi.
2. Distribusi frekuensi persentase gambaran distribusi lesi radang berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
(40)
3. Distribusi frekuensi persentase gambaran distribusi lesi kista berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
4.Distribusi frekuensi persentase gambaran distribusi lesi prekanker berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
5. Distribusi frekuensi persentase gambaran distribusi lesi neoplasma jinak berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
6. Distribusi frekuensi persentase gambaran distribusi lesi neoplasma ganas berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi lesi, dan suku.
(41)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang bersumber dari arsip data registrasi lesi rongga mulut di Laboratorium Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan dari bulan Agustus tahun 2007 – bulan Mei tahun 2012 diperoleh 1160 kasus lesi rongga mulut berdasarkan diagnosa histopatologi dan sitologi. Selain itu, di dalam data registrasi ini turut dicatat data lesi-lesi rongga mulut berdasarkan umur, jenis kelamin, suku, cara pengambilan jaringan lesi-lesi rongga mulut, lokasi lesi, diagnosa klinis, diagnosa banding, keterangan klinis, kebiasaan jelek dan dokter pengirim.
4.1 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012.
Hasil penelitian distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012 ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012
Diagnosa Histopatologi/Sitologi Jumlah %
Radang Kista
Lesi Prekanker Neoplasma Jinak Neoplasma Ganas
272 150 21 247 470
23,5 12,9 1,8 21,3 40,5
(42)
Berdasarkan tabel 1, dijumpai kasus tertinggi adalah kasus neoplasma ganas 470 kasus (40,5%), kemudian diikuti dengan radang 272 kasus (23,5%), neoplasma jinak (21,3%), kista 150 kasus (12,9%) dan lesi prekanker 21 kasus (1,8%).
4.2 Distribusi frekuensi lesi radang pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun pada 2007 - 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi lesi radang pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2 Distribusi frekuensi lesi radang pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Kelompok Radang Jumlah %
Radang akut non spesifik 12 4,4
Radang kronis non spesifik 187 68,8
Radang kronis spesifik (TBC) 73 26,8
Total 272 100,0
Pada tabel 2, terlihat bahwa persentase distribusi lesi radang dijumpai tertinggi pada radang kronis non spesifik 187 kasus (68,8%), diikuti radang kronis spesifik (TBC) 73 kasus (26,8%) dan radang akut non spesifik 12 kasus (4,4%).
4.3 Distribusi frekuensi jenis lesi radang pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi jenis lesi radang pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 3.
(43)
Tabel 3 Distribusi frekuensi jenis lesi radang Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Jenis Lesi Jumlah %
Proses radang 83 30,5
Abses 22 8,1
Sialodenitis 26 9,6
Jaringan Granulasi 26 9,6
Limfadenitis 24 8,8
Granuloma 8 2,9
Fibrosis 18 6,6
Polip Hiperplasia
9 8
3,3 2,9
Epulis 48 17,6
Total 272 100,0
Berdasarkan tabel 3, terlihat persentase distribusi frekuensi jenis lesi radang dijumpai tertinggi pada kasus proses radang 83 kasus (30,5%), diikuti dengan epulis 48 kasus (17,6%), sialodenitis dan jaringan granulasi 26 kasus (9,6%), limfadenitis 24 kasus (8,8%), abses 22 kasus (8,1%), fibrosis 18 kasus (6,6%), polip 9 kasus (3,3%), dan granuloma dan hiperplasia 8 kasus (2,9%).
4.4 Distribusi frekuensi lesi kista pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi lesi kista pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 4.
(44)
Tabel 4 Distribusi frekuensi lesi kista pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Kista Jumlah %
Kista Odontogenik
Kista Dentigerous 54 36,0
Kista Radikular 27 18,0
Jumlah 81 54,0
Kista Non Odontogenik
Kista Epidermoid 42 28,0
Kista Retensi 27 18,0
Jumlah 69 46,0
Total 150 100,0
Pada tabel 4 terlihat bahwa persentase distribusi lesi kista yang paling tinggi adalah kista odontogenik 81 kasus (54%) dan pada kista non odontogenik 69 kasus (46,0%).
4.5 Distribusi frekuensi lesi prekanker pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi lesi prekanker pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 5.
Tabel 5 Distribusi frekuensi lesi prekanker pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Lesi prekanker Jumlah %
Displasia 3 14,3
Fibrous Displasia 18 85,7
(45)
Pada tabel 5 terlihat bahwa persentase distribusi tertinggi lesi prekanker didapati pada kasus fibrous displasia 18 kasus (85,7%), dan displasia 3 kasus (14,3%).
4.6 Distribusi frekuensi lesi neoplasma jinak pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi lesi neoplasma jinak pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 6.
Tabel 6 Distribusi frekuensi lesi neoplasma jinak pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Neoplasma Jinak Jumlah %
Odontogenik
Ameloblastoma 52 21,1
Jumlah 52 21,1
Non Odontogenik
Papiloma 16 6,5
Adenoma 11 4,5
Lipoma 14 5,7
Fibroma 27 10,9
Hemangioma 18 7,3
Monomorfik Adenoma 19 7,7
Osteoma 6 2,4
Pleomorfik Adenoma 61 24,7
Granular Cell tumor 8 3,2
Fibromyxoma 9 3,6
Basalioma 4 1,6
Angiofibroma 2 0,8
Jumlah 195 78,9
Total 247 100,0
Berdasarkan tabel 6, kasus tertinggi bagi lesi neoplasma jinak adalah kasus pleomorfik adenoma 61 kasus (24,7%), diikuti ameloblastoma 52 kasus (21,1%),
(46)
fibroma 27 kasus (10,9%), monomorfik adenoma 19 kasus (7,7%), hemangioma 18 kasus (7,3%), papiloma 16 kasus (6,5%), lipoma 14 kasus (5,7%), adenoma 11 kasus (4,5%), fibromyxoma 9 kasus (3,6%), granular cell tumor 8 kasus (3,2%), osteoma 6 kasus (2,4%), basalioma 4 kasus (1,6%) dan angiofibroma 2 kasus (0,8%).
4.7 Distribusi frekuensi lesi neoplasma ganas pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi lesi neoplasma ganas pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 7.
Tabel 7 Distribusi frekuensi lesi neoplasma ganas pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Lesi Neoplasma Ganas Jumlah %
Karsinoma 404 86,0
Sarkoma 20 4,3
Limfoma 38 8,0
Melanoma 8 1,7
Total 470 100,0
Tabel 7 menunjukkan lesi neoplasma ganas sebanyak 470 kasus. Kasus yang paling banyak di antara neoplasma ganas tersebut adalah karsinoma yaitu sebanyak 404 kasus (86,0%), yang terdiri kelompok karsinoma terdiri dari 377 kasus karsinoma sel skuamosa, 15 kasus adenokarsinoma, 12 kasus amelobalstic carsinoma. Jumlah kasus kedua terbanyak pada penelitian ini adalah Limfoma yaitu 38 kasus (8,0%), yang terdiri dari 31 kasus limfoma non-Hodgkin, 5 kasus limfoma hodgin, dan 2 kasus Burkit’s lymphoma. Selanjutnya diikuti lesi Sarkoma yaitu 20 kasus (4,3%) yang terdiri dari 6 kasus khondrosarkoma, 14 kasus fibrosarkoma, dan 8 kasus melanoma (1,7%).
(47)
4.8 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan jenis kelamin pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan jenis kelamin pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 8.
Tabel 8 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan jenis kelamin pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012
Berdasarkan tabel 8, angka kejadian lebih tinggi pada perempuan 625 kasus (53,9%) dibandingkan laki-laki 535 kasus (46,1%) dengan perbandingan 1,17:1.
Diagnosa Histopatologi/ Sitologi
Jenis Kelamin Total (%)
Laki-laki Perempuan
Radang 122
(44,9)
150 (55,1)
272 (100,0)
Kista 70
(46,7)
80 (53,3)
150 (100,0)
Lesi Prekanker 4
(19,0)
17 (81,0)
21 (100,0)
Neoplasma Jinak 106
(42,9)
141 (57,1)
247 (100,0)
Neoplasma Ganas 233
(49,6)
237 (50,4)
470 (100,0)
Total (%) 535
(46,1)
625 (53,9)
1160 (100,0)
(48)
4.9 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan umur pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan umur pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 9.
(49)
(50)
Berdasarkan tabel 9, kasus tertinggi dijumpai pada kelompok umur 41-50 tahun yaitu sebanyak 222 kasus (19,1%), yang diikuti kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 208 kasus (17,9%), 21-30 tahun sebanyak 171 kasus (14,7%), 31-40 tahun sebanyak 156 kasus (13,4%), 61-70 tahun sebanyak 123 kasus (10,6%), 11-20 tahun sebanyak 102 kasus (8,8%), 1-10 tahun sebanyak 62 kasus (5,3%), 71-80 tahun sebanyak 54 kasus (4,7%) dan >81 tahun sebanyak 17 kasus (1,5%). Sedangkan 45 kasus lainnya (3,9%) tidak dilengkapi dengan data pasien.
4.10 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan lokasi lesi pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan lokasi lesi pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 10.
(51)
(52)
Berdasarkan tabel 10, kasus lesi rongga mulut tertinggi berlokasi pada mandibula yaitu 430 kasus (37,1%), yang diikuti dengan lesi yang berlokasi di lidah sebanyak 307 kasus (26,5%), maksila 174 kasus (14,8%), gingiva 85 kasus (7,3%), palatum 75 kasus (6,5%), bibir 50 kasus (4,3%) dan pada mukosa bukal yaitu 41 kasus (3,5%).
4.11 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan suku pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan suku pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012 ditunjukkan pada tabel 11.
Tabel 11 Distribusi frekuensi diagnosa histopatologi/sitologi lesi rongga mulut berdasarkan suku pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan tahun 2007-2012
Diagnosa Histopatologi / Sitologi
Suku Total
(%)
Batak Aceh Jawa Cina India Tidak ada
data suku
Radang 101
(32,1) 77 (28,3) 59 (21,7) 9 (33,1) 4 (1,5) 22 (8,1) 272 (100,0)
Kista 47
(31,3) 51 (34,0) 32 (21,3) 12 (8,0) 2 (1,3) 6 (4,0) 150 (100,0) Lesi Prekanker 9 (42,9) 3 (14,3) 6 (28,6) 0 (0,0) 1 (4,8) 2 (9,5) 21 (100,0) Neoplasma Jinak 100 (40,5) 73 (29,6) 61 (24,7) 3 (1,2) 3 (1,2) 7 (2,8) 247 (100,0) Neoplasma Ganas 202 (43,0) 134 (28,5) 98 (20,9) 4 (0,9) 5 (1,1) 27 (5,7) 470 (100,0)
Total (%) 459
(39,6) 338 (29,1) 256 (22,1) 28 (2,4) 15 (1,3) 64 (5,5) 1160 (100,0)
(53)
Berdasarkan tabel 11, lesi rongga mulut yang tertinggi dijumpai pada suku Batak yaitu 459 kasus (39,6%), diikuti berturut-turut oleh suku Aceh 338 kasus (29,1%), Jawa 256 kasus (22,1%), Cina 28 kasus (2,4%), dan India 15 kasus (1,3%). Sedangkan 64 kasus lainnya (5,5%) tidak dilengkapi data suku pasien.
4.12 Distribusi frekuensi cara pengambilan jaringan lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 - 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi cara pengambilan jaringan lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 - 2012 ditunjukkan pada tabel 12.
Tabel 12 Distribusi frekuensi cara pengambilan jaringan lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Cara Pengambilan Jaringan Lesi-lesi Rongga Mulut
Jumlah %
Biopsi Aspirasi 564 48,6
Biopsi 417 35,9
Operasi 155 13,4
Sitologi Skraping 24 2,1
Total 1160 100,0
Berdasarkan cara pengambilan jaringan di Laboratorium Patologi Anatomi, biopsi aspirasi merupakan cara yang paling sering digunakan yaitu 565 kasus (48,6%) dan yang paling jarang adalah dengan sitologi skraping 24 kasus (2,1%).
(54)
4.13 Distribusi frekuensi dokter pengirim lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 - 2012
Hasil penelitian distribusi frekuensi dokter pengirim lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 - 2012 ditunjukkan pada tabel 13.
Tabel 13 Distribusi frekuensi dokter pengirim lesi-lesi rongga mulut pada Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007 – 2012
Dokter Pengirim Lesi-lesi Rongga Mulut
Jumlah %
Dokter Gigi 87 7,5
DokterUmum 268 23,1
Dokter spesialis Bedah Mulut 351 30,3
Dokter spesialis Patologi Anatomi 45 3,9
Dokter spesialis Penyakit Dalam 61 5,3
Dokter spesialis Bedah 129 11,1
Dokter spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorokan
91 7,8
Dokter spesialis Paru 24 2,1
Tidak Ada Data 104 9,0
Total 1160 100,0
Pada tabel 13 ini menunjukkan bahwa lesi-lesi rongga mulut yang dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi lebih banyak dikirim oleh dokter spesialis Bedah Mulut 351 kasus (30,3%), diikuti dokter umum 268 kasus (23,1%), dokter spesialis Bedah 129 kasus (11,1%), dokter spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorokan 91 kasus (7,8%), dokter gigi 87 kasus (7,5%), dokter spesialis Penyakit Dalam 61 kasus (5,3%), dokter spesialis Patologi Anatomi 45 kasus (3,9%), dan dokter spesialis Paru 24 kasus (2,1%). Sedangkan 104 kasus (9,0%) tidak terdapat data dokter pengirim.
(55)
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini adalah untuk mendapatkan data kasus lesi-lesi di rongga mulut yang diperoleh dari arsip formulir permintaan pemeriksaan untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi/sitologi di Laboratorium Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dokter Pirngadi di Medan dari bulan Agustus 2007 – Mei 2012. Data formulir yang diambil adalah diagnosa histopatologi/sitologi, jenis kelamin, umur, lokasi lesi, suku, cara pengambilan jaringan rongga mulut dan dokter pengirim. Sampel diambil dari seluruh formulir.
Dasar pemilihan lokasi penelitian tersebut adalah karena tiga laboratorium patologi anatomi tersebut adalah milik pemerintah dan diperkirakan kasus-kasus lesi rongga mulut di Medan yang dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dikirim ke laboratorium tersebut. Hal ini termasuk kasus-kasus rujukan dari rumah sakit kecil dan praktek-praktek swasta di sekitarnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh 1160 kasus lesi-lesi rongga mulut yang terdiri dari neoplasma ganas (40,5%), neoplasma jinak (21,3%), lesi prekanker (1,8%), kista (12,9%), dan radang (23,5%) (tabel 1). Patogenesis lesi normal menjadi neoplasma ganas dimulai dari iritasi lesi yang kronis karena agen/bahan karsinogenik. Iritasi yang berlebihan dan kronis dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia dan displasia yang bersifat reversibel. Bila lesi ini terdeteksi secara dini, maka lesi tersebut dapat dipulihkan kembali, namun bila lesi tersebut terdeteksi sebagai lesi anaplasia, maka prognosanya jelek karena lesi tersebut berisiko untuk berdegenerasi menjadi ganas.3
Tabel 11 menunjukkan bahwa suku yang paling sering mengalami lesi-lesi rongga mulut adalah pada suku Batak (39,6%). Suku Batak mencatatkan angka tertinggi karena suku ini merupakan suku yang tertinggi prevalensinya di kota Medan yaitu sebanyak 37,21% berbanding dengan suku-suku yang lain.26
(56)
Distribusi frekuensi cara pengambilan jaringan lesi-lesi rongga mulut di Laboratorium Patologi Anatomi (tabel 12), menunjukkan diagnosa yang paling sering dilakukan dengan cara biopsi aspirasi dengan menggunakan jarum halus/FNAB
(48,6%) dan yang paling jarang adalah dengan cara sitologi skraping (2,1%). Menurut Kumar dkk (2005), biopsi aspirasi sering digunakan karena prosedurnya hanya melibatkan jarum halus di samping tingkat akurasinya tinggi (97%). Cara ini tidak membutuhkan kamar operasi sehingga pasien tidak perlu takut dan hasilnya cepat diperoleh.2
Kasus-kasus lesi rongga mulut ini dikirim oleh berbagai dokter pengirim, seperti dokter gigi, dokter umum, dan dokter spesialis seperti Bedah Mulut, Patologi Anatomi, Penyakit Dalam, Bedah, THT, Paru dan lain-lain ke laboratorium Patologi Anatomi. Pada penelitian ini, didapati bahwa kiriman kasus lesi-lesi rongga mulut paling sering berasal dari dokter spesialis Bedah Mulut (30,3%) (tabel 13). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspasari (2008), yaitu lesi rongga mulut paling sering dikirim oleh dokter spesialis Bedah Mulut (26,4%).10 Bila dibandingkan hasil penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya, terdapat peningkatan kasus yang dikirim ke dokter spesialis Bedah Mulut, maka dapat disimpulkan bahwa kini masyarakat sudah menyadari bahwa lesi-lesi pada rongga mulut lebih akurat pemeriksaanya bila diperiksa oleh dokter gigi atau dokter spesialis Bedah Mulut. Selain itu, kasus dari dokter spesialis Bedah Mulut mungkin juga merupakan rujukan dari bidang spesialis yang lain. Berdasarkan hal tersebut, dokter gigi perlu mengenali dan merawat lesi iritatif serta mengeliminasi faktor iritasi kronis yang ada di dalam mulut seperti oral hygiene yang buruk, gigi karies/radiks, atau adanya agen karsinogenik selain menghilangkan faktor kebiasaan jelek. Selain itu, dokter gigi juga perlu memberikan penyuluhan kepada pasien untuk pemeriksaan rutin sebagai upaya pencegahan terjadinya lesi di rongga mulut
Dari keseluruhan kasus rongga mulut pada penelitian ini, terdapat 45 kasus diantaranya yang tidak melengkapi data umur (3,9%), 64 kasus tidak melengkapi data suku (5,5%), 104 kasus tidak melengkapi data dokter pengirim (9,0%), dan juga tidak ada data mengenai kebiasaan jelek pasien atau faktor penyebab iritasi yang
(57)
berhubungan dengan etiologi penyakitnya karena data tersebut tidak dilengkapi pada formulir pemeriksaan pasien. Untuk mendapatkan data-data klinis yang nantinya diperlukan oleh Departemen Patologi Anatomi (diagnosa histopatologi/sitologi) dan juga sebagai bahan penelitian yang lebih lanjut, maka dilampirkan contoh formulir permintaan pemeriksaan untuk kasus rongga mulut (lampiran 4).
5.1 Radang
Dari sejumlah 1160 kasus lesi rongga mulut pada penelitian ini, 272 kasus diantaranya merupakan kasus radang (23,5%). Dari seluruh kasus radang tersebut, persentase tertinggi dijumpai pada radang kronis non spesifik sebanyak 68,8%%, dan terendah pada radang akut non spesifik sebanyak 4,4%. Kasus radang menunjukkan angka yang agak tinggi karena masyarakat masih belum mempedulikan lesi yang dijumpai pada rongga mulut. Kesadaran untuk melakukan pemeriksaan rutin ke dokter gigi masih kurang di kalangan masyarakat. Menyadari hal ini, dokter gigi dianjurkan agar lebih rutin memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai deteksi dini lesi rongga mulut, karena bila dilakukan penanganan terhadap kasus radang, maka secara tidak langsung angka lesi neoplasma ganas pada masa yang akan datang dapat diturunkan.27
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 1995-2002, telah diperoleh 259 kasus radang (25,52%) dari 1015 kasus lesi-lesi rongga mulut.9 Pada penelitian berikutnya yaitu pada tahun 2002-2007, ditemukan sebanyak 164 kasus radang (24,6%) dari seluruh kasus yang berjumlah 666 kasus keseluruhan.10 Persentase kasus radang di rongga mulut yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kedua hasil penelitian sebelumnya. Menyadari hal ini, maka amatlah penting bagi dokter gigi dan masyarakat memiliki pengetahuan tentang faktor risiko serta mengenali tanda dan gejalanya sehingga kasus ini dapat dicegah lebih dini. 27
Tabel 8 menunjukkan bahwa radang di rongga mulut lebih sering dijumpai pada perempuan (55,1%) dibandingkan dengan laki-laki (44,9%). Hal ini dihubungkan dengan adanya pengaruh hormonal seperti pada masa haid, kehamilan, menopause,
(58)
atau pubertas yang dapat mempengaruhi respon mukosa mulut terhadap iritan lokal. Hal ini karena jaringan gingiva memiliki banyak reseptor estrogen yang akan merespon fluktuasi hormon sehingga perempuan yang mengalami ketidakseimbangan hormon lebih rentan terkena peradangan seperti peradangan gusi dan jaringan periodontal.28 Di samping itu, perilaku oral seks juga dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada rongga mulut.
Distribusi persentase umur pada kasus radang (tabel 9) yang paling banyak terdapat pada kelompok umur 41-50 tahun dan 51-60 tahun yaitu sebanyak 20,2%. Seiring dengan bertambahnya umur dapat mempengaruhi mukosa mulut, dimana lapisan epitel, mukosa, dan submukosa mengalami penipisan yang diikuti dengan menurunnya kemampuan tubuh memperbaiki jaringan sehingga mengakibatkan mukosa mulut menjadi lebih mudah mengalami iritasi/trauma.29
Persentase distribusi radang berdasarkan lokalisasi di rongga mulut (tabel 10), lesi yang paling banyak dijumpai pada daerah mandibula sebanyak 35,3%. Hal ini disebabkan karena kasus limfadenitis dan sialodenitis berlokasi pada bagian mandibula.30,31 Pada penelitian ini, tidak ada data yang lebih rinci mengenai lokasi lesi di formulir permintaan pemeriksaan. Di samping itu, dianjurkan bila dijumpai massa pada daerah mandibula, harus diperhatikan juga kondisi gigi geligi dan jaringan rongga mulut, dan perlu dijelaskan dengan lebih spesifik di formulir permintaan pemeriksaan.
5.2 Kista
Kista rongga mulut yang diperoleh pada penelitian ini (tabel 1) adalah sebanyak 12,9%, yang terdiri dari 54% kasus kista odontogenik dan 46% kasus kista non odontogenik (tabel 4). Pada kasus kista odontogenik, didapati kista dentigerous 36,0% dan kista radikular sebanyak 18,0%. Sedangkan kasus kista non odontogenik, terdiri dari kista epidermoid 28,0% dan kista retensi 18,0%.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Octavia (2003), di Laboratorium Patologi Anatomi di Medan dari data tahun 1995-2002, diperoleh 63 kasus kista (6,21%).9 Penelitian yang dilakukan oleh Puspasari (2008), dari data tahun
(59)
2002-2007, diperoleh 29 kasus kista (4,4%).10 Bila dibandingkan dengan dua penelitian terdahulu ini, persentase kasus kista di rongga mulut yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi. Angka kejadian kista dapat diturunkan dengan melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan radiologi (foto ronsen). Pemeriksaan radiologi (foto ronsen) dapat membantu dokter gigi untuk mendiagnosa lesi rongga mulut dengan lebih akurat. Bila kista terdeteksi secara dini, maka kemungkinan degenerasi malignansi dapat dicegah. Salah satu contoh, kista yang sering ditemui yaitu kista dentigerous yang bila tidak diobati, maka kista tersebut dapat berubah menjadi ameloblastoma dan berisiko menjadi ameloblastic carcinoma.3
Angka kejadian kista (tabel 8) berdasarkan jenis kelamin lebih banyak ditemukan pada perempuan (53,3%) dibandingkan laki-laki (46,7%). Menurut Sondang (2008), pada umumnya perilaku perempuan untuk melakukan perawatan lebih tinggi dibandingkan laki-laki termasuk memeriksakan kesehatan rongga mulut sehingga dapat terdeteksi kelainan-kelainan yang terdapat di rongga mulut.7 Hal ini merupakan salah satu faktor perempuan mencatat angka kasus kista yang lebih tinggi berbanding laki-laki.
Persentase distribusi umur pada kasus kista (tabel 9) yang paling banyak terdapat pada kelompok umur 21-30 tahun (24,0%). Menurut Neville dkk (2009), kista rongga mulut yang paling sering dijumpai pada kelompok umur muda yaitu 10-30 tahun. Prevalensi karies gigi yang lebih tinggi pada orang muda mungkin berkaitan dengan waktu erupsi umur dan karies gigi.16
Berdasarkan lokasinya (tabel 10), kista rongga mulut paling sering dijumpai pada bagian mandibula yaitu 46,7%. Hal ini sesuai dengan laporan Sorimuda Harahap (2001), bahwa pada kasus kista dentigerus, gigi yang paling sering mengalami impaksi adalah gigi M3 mandibula (78%).32 Kista radikular dapat terbentuk karena adanya karies gigi yang kronis sehingga menyebabkan peradangan pulpa hingga kematian pulpa (nekrosis), dan disertai proliferasi sisa-sisa epitel Malassez. Hal ini sering dijumpai pada gigi yang rentan terhadap karies seperti M1 rahang atas/bawah dan M2 rahang atas/bawah.16
(60)
5.3 Lesi Prekanker
Lesi prekanker yang ditemukan pada penelitian ini adalah sebanyak 1,8% yang terdiri dari displasia (14,3%), dan fibrous displasia (85,7%) (tabel 5). Pada data diagnosa histopatologi tidak disebutkan dengan detail mengenai jenis lesinya, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa lesi tersebut adalah lesi leukoplakia, eritroplakia, lichen planus, sub mukus fibrosis, stomatitis nikotina dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Octavia (2003), di Laboratorium Patologi Anatomi di Medan dari data tahun 1995-2002, ditemukan 19 kasus lesi prekanker (1,8%).9 Pada penelitian yang dilakukan oleh Puspasari (2008), dari data tahun 2002-2007, ditemukan 7 kasus lesi prekanker (1%).10 Bila dibandingkan dengan dua penelitian terdahulu ini, persentase kasus prekanker di rongga mulut yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama. Dengan ini, maka diharapkan baik dokter maupun dokter gigi harus waspada karena kemungkinan persentase neoplasma ganas juga akan meningkat. Pemeriksaan rutin gigi dan skrining perlu dilakukan karena bila lesi prekanker tidak ditangani, maka lesi ini akan mengalami degenerasi dari displasia ringan/sedang menjadi displasia berat, anaplasia dan seterusnya menjadi neoplasma ganas.33
Pada tabel 8, terlihat bahwa persentase distribusi lesi prekanker berdasarkan jenis kelamin didapati perempuan (81,0%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (19,0%). Perbedaan rasio berdasarkan jenis kelamin ini mungkin dipengaruhi oleh faktor hormonal, iritasi kronis yang disebabkan oleh radiks, tambalan, keadaan protesa, variasi pada kebiasaan menyirih/menyuntil, mengunyah tembakau, mengunyah pinang dan diet yang buruk karena rendahnya asupan buah dan sayuran.34
Persentase distribusi lesi prekanker berdasarkan umur (tabel 9), menunjukkan persentase tertinggi dijumpai pada kelompok umur 51-60 tahun (38,1%). Keadaan ini disebabkan oleh sel-sel yang mulai atrofi akibat proses penuaan. Semakin meningkat usia maka pelapis epitel makin menipis, penurunan proliferasi seluler, hilangnya lemak dan elastisitas submukosa, peningkatan jaringan ikat fibrotik yang disertai perubahan degeneratif kolagen.30 Oleh sebab itu, kelompok usia >45 tahun lebih rentan terjadinya lesi-lesi prekanker.34
(61)
Persentase distribusi lesi prekanker (tabel 10) berdasarkan lokasi lesi yang paling tinggi terdapat pada lidah (52,4%). Faktor-faktor risiko lesi prekanker seperti iritasi kronis dari produk tembakau, sisa gigi radiks, gigi tiruan, dan alkohol merupakan faktor pendukung terjadinya lesi pada lokasi tersebut.34 Namun demikian, data mengenai kebiasaan buruk pasien dianjurkan dapat dilengkapi pada formulir untuk mengetahui etiologi dan faktor predisposisi yang lebih akurat.
5.4 Neoplasma Jinak
Dari hasil penelitian ini, jumlah kasus neoplasma jinak yang diperoleh adalah sebanyak 247 kasus (21,3%) (tabel 1). Kasus yang paling banyak dijumpai adalah pleomorfik adenoma (24,7%) dan yang paling sedikit dijumpai adalah angiofibroma (0,8%) (tabel 6). Secara keseluruhan, 78,9% kasus yang diperoleh non odontogenik.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Octavia (2003), di Laboratorium Patologi Anatomi di Medan dari data tahun 1995-2002, diperoleh 328 kasus (32,3%) neoplasma jinak.9 Penelitian yang dilakukan oleh Puspasari (2008), dari data tahun 2002-2007, diperoleh 181 kasus neoplasma jinak (27,1%).10 Bila dibandingkan dengan dua penelitian terdahulu ini, persentase kasus neoplasma jinak di rongga mulut yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat sudah mulai sadar dengan pentingnya pemeriksaan kesehatan rongga mulut.
Pada tabel 8, terlihat bahwa persentase distribusi lesi neoplasma jinak berdasarkan jenis kelamin didapati perempuan (57,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (42,9%). Perbedaan rasio berdasarkan jenis kelamin ini mungkin dipengaruhi oleh faktor hormonal pada wanita seperti pada keadaan menstruasi, menopause dan hamil sehingga terjadinya neoplasma jinak di rongga mulut. Hal ini karena jaringan gingiva memiliki banyak reseptor estrogen yang akan merespon fluktuasi hormon sehingga perempuan yang mengalami ketidakseimbangan hormon lebih rentan terkena peradangan seperti peradangan gusi dan jaringan periodontal. Peradangan yang tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya neoplasma jinak dan seterusnya neoplasma ganas.30
(62)
Persentase distribusi neoplasma jinak (tabel 9), berdasarkan umur paling banyak terdapat pada kelompok umur 21-30 tahun yaitu 20,2%. Hal ini berkemungkinan karena adanya faktor predisposisi seperti kurangnya gizi, oral hygiene yang buruk dan kebiasaan buruk pasien seperti menyirih, menyuntil dan mengunyah tembakau.21,22 Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan karena menurut Scully (2005), umur yang sering terkena neoplasma jinak adalah 45 tahun dan ke atas.23
Persentase distribusi lesi neoplasma jinak berdasarkan lokalisasi di rongga mulut (table 10), paling banyak dijumpai pada bagian mandibula (53,8%) yang dikarenakan kasus ameloblastoma dan pleomorfik adenoma. Ameloblastoma adalah tumor jinak yang merupakan lanjutan dari kista dentigerus yang terjadi akibat impaksi gigi terutamanya M3 mandibula manakala pleomorfik adenoma adalah tumor kelenjar air liur yang merupakan lanjutan dari sialodenitis yang terjadi akibat sumbatan kelenjar air liur.32,35 Pada penelitian ini, tidak ada data yang lebih rinci mengenai lokasi lesi di formulir permintaan pemeriksaan.
5.5 Neoplasma Ganas
Dari sejumlah 1160 kasus lesi rongga mulut pada penelitian ini, 470 kasus diantaranya merupakan kasus neoplasma ganas (40,5%) (tabel 1). Dari seluruh kasus neoplasma ganas tersebut, persentase tertinggi dijumpai pada karsinoma sebanyak 86,0%, dan terendah pada melanoma sebanyak 1,7% (tabel 7). Menurut Bittar dkk (2010), sekitar 95% kasus kanker rongga mulut yang diperoleh adalah kasus karsinoma sel skuamosa dibandingkan dengan kasus lain.8
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 1995-2002, telah diperoleh 90,5% kasus karsinoma dari seluruh kasus neoplasma ganas.9 Pada penelitian berikutnya yaitu pada tahun 2002-2007, ditemukan sebanyak 88% kasus karsinoma dari seluruh kasus neoplasma ganas.10 Persentase kasus neoplasma ganas di rongga mulut yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kedua hasil penelitian sebelumnya. Karsinoma sel skuamosa dapat terjadi karena ianya berasal dari membran mukosa
(63)
yang terdiri dari sel epitel. Iritasi kronis yang terjadi di rongga mulut menyebabkan sel epitel turut teriritasi sehingga terjadinya keganasan.12
Pada tabel 8, terlihat bahwa distribusi frekuensi neoplasma ganas berdasarkan jenis kelamin didapati lebih tinggi pada perempuan (50,4%) dibandingkan laki-laki (49,6%). Hal ini diduga ada hubungannya dengan faktor hormonal, iritasi kronis dari gigi, tambalan dan protesa serta kebiasaan buruk seperti menyirih dan menyuntil seperti yang telah dijelaskan di subbab 5.4.
Umur yang sering terkena neoplasma ganas adalah pada kelompok umur 41-50 tahun (22,1%) (tabel 9). Scully (2005) menjelaskan bahwa kanker rongga mulut umumnya terjadi pada usia lanjut yaitu 45 tahun dan ke atas. Etiologinya belum dikenal secara pasti, namun ada beberapa faktor risiko yang dapat memicu berkembangnya kanker rongga mulut yaitu tembakau, alkohol, sinar matahari, pola hidup, faktor gigi dan nutrisi.23
Persentase distribusi neoplasma ganas (tabel 10) berdasarkan lokasi lesi yang paling tinggi terdapat pada lidah (37,4%). Beberapa faktor yang mempunyai peranan penting sebagai etiologi karsinoma rongga mulut pada lidah adalah iritasi kronik dari gigi yang tajam/radiks, sering tergigit, adanya bahan/agen karsinogenik yang mengiritasi secara kronis seperti kebiasaan menyuntil, mengunyah sirih dan merokok.24,25
(64)
BAB 6 KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi FK-USU, RSUP Haji Adam Malik, dan RSUD Dr. Pirngadi di Medan tahun 2007-2012, maka dapat diketahui bahwa:
1. Diperoleh 1160 data kasus lesi-lesi rongga mulut di Laboratorium Patologi Anatomi di Medan pada tahun 2007-2012 dengan persentase tertinggi adalah lesi neoplasma ganas, diikuti dengan radang, neoplasma jinak kista dan prekanker.
2. Insidensi lesi neoplasma ganas rongga mulut tertinggi pada karsinoma, pada perempuan (41-50 tahun), lokasi di lidah dan suku batak.
3. Insidensi lesi neoplasma jinak rongga mulut tertinggi pada pleomorfik adenoma bagi kasus non odontogenik dan ameloblastoma bagi kasus odontogenik, pada perempuan (21-30 tahun), lokasi di mandibula dan suku batak.
4. Insidensi lesi prekanker rongga mulut tertinggi pada fibrous displasia, pada perempuan (51-60 tahun), lokasi di lidah dan suku batak.
5. Insidensi lesi kista rongga mulut tertinggi pada kista dentigerus bagi kasus odontogenik dan kista epidermoid bagi kasus non odontogenik, pada perempuan (21-30 tahun), lokasi di mandibula dan suku batak.
6.Insidensi lesi radang rongga mulut tertinggi pada radang kronis non spesifik, pada perempuan (51-60 tahun), lokasi di mandibula dan suku batak.
(65)
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
1.
Dokter/dokter gigi yang mengirim sediaan ke Laboratorium Patologi Anatomi perlu melengkapi data klinis pasien pada formulir permintaan pemeriksaan patologi.
2.
Dokter gigi harus dapat memperhatikan dengan lebih cermat keadaan jaringan lunak mulut pasiennya serta mengenali dan merawat lesi iritatif supaya dapat melakukan deteksi dini dan pencegahan yang berpotensi ganas di rongga mulut.
3. Memberi penyuluhan kepada masyarakat sebagai suatu tindakan pencegahan primer mengenai bahayanya lesi rongga mulut. Hal ini karena deteksi dini lesi rongga mulut dapat menurunkan angka kanker rongga mulut.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang bersifat analisis mengenai perkembangan lesi-lesi rongga mulut yang ada serta faktor-faktor risiko terjadinya lesi.
(66)
DAFTAR PUSTAKA
1. Fehrenbach M J, Herring S W. Anatomy of the head and neck. 3rd Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007: 17-23.
2. Kumar V. Abbas A K. Fausto N. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. 7th Ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders, 2005: 774-82.
3. Cawson R.A, Odell E.W. Cawson’s essentials of oral pathology and oral medicine. 8th Ed. USA: Churchill Livingstone, 2008: 115-23, 261-72, 277-85. 4. Regezi J.A, Sciubba J.J, Jordan R.C.K. Oral pathology clinical pathologic
correlations. 5th Ed. Missouri: Saunders Elsevier, 2008: 48-60, 237-40, 242-4. 5. Wahyuni F. Karsinoma sel skuamosa yang didahului inflamasi kronis
non-spesifik. Tesis. Medan: USU, 2010: 1-4.
6. Greenberg M, Glick M, Ship J A. Burket’s oral medicine. 11th Ed. Ontario: BC Decker, 2008: 153-4.
7. Sudiono J, Kurniadhi B, Hendrawan A, Djimantoro B. Penuntun praktikum patologi anatomi. Jakarta: EGC, 2001: 43-8, 87-94.
8. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat pencegahan dan pemeliharaan. Medan: USU Press. 2012: 74-6.
9. Bittar T.O, Paranhos L.R, Fornazari D.H, Pereira A.C. Epidemiological features of oral cancer-a world public health matter. RFO. 2010; 15: 87-93. 10.Octavia E.H. Persentase distribusi data-data lesi rongga mulut yang dijumpai
di beberapa laboratorium patologi anatomi Medan tahun 1995 s/d 2002. Tesis. Medan: USU, 2003: 4-12.
11.Puspasari D. Distribusi frekuensi lesi rongga mulut yang dijumpai di laboratorium patologi di Medan tahun 2002 s/d 2007. Tesis. Medan: USU, 2008: 6-17.
12. Hasibuan S. Prosedur deteksi dini dan diagnosa kanker rongga mulut. Medan: USU, 2004: 1-8.
13.Abbas K, Mitchell F. Robbins basic pathology. 8th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007: 31-43.
(1)
Medan, …………...…
Dokter pengirim,
(2)
Lampiran 5 : Lembar Pengolahan Data (SPSS)
Frequencies
diagnosa histopatologi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid radang 224 19.2 19.2 19.2
kista 150 12.9 12.9 32.1
lesi prekanker 21 1.8 1.8 33.9
neoplasma jinak 299 25.7 25.7 59.6
neoplasma ganas 470 40.4 40.4 100.0
Total 1164 100.0 100.0
kelompok radang
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid radang akut non spesifik 12 5.4 5.4 5.4
radang kronis non spesifik 139 62.1 62.1 67.4
radang kronis spesifik TBC 73 32.6 32.6 100.0
Total 224 100.0 100.0
Frequencies
Statistics
radang kista prekanker n.jinak n.ganas
N Valid 224 150 21 299 470
Missing 940 1014 1143 865 694
Frequency Table
radang
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid proses radang 83 7.1 37.1 37.1
abses 22 1.9 9.8 46.9
sialodenitis 26 2.2 11.6 58.5
jaringan granulasi 26 2.2 11.6 70.1
lymphadenitis 24 2.1 10.7 80.8
granuloma 8 .7 3.6 84.4
fibrosis 18 1.5 8.0 92.4
folip 9 .8 4.0 96.4
(3)
Total 224 19.2 100.0
Missing System 940 80.8
Total 1164 100.0
kista
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid kista dentigerous 54 4.6 36.0 36.0
kista radikular 27 2.3 18.0 54.0
kista epidermal 42 3.6 28.0 82.0
kista retensi 27 2.3 18.0 100.0
Total 150 12.9 100.0
Missing System 1014 87.1
Total 1164 100.0
prekanker
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid displasia 3 .3 14.3 14.3
fibrous displasia 18 1.5 85.7 100.0
Total 21 1.8 100.0
Missing System 1143 98.2
Total 1164 100.0
n.jinak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ameloblastoma 52 4.5 17.4 17.4
papiloma 16 1.4 5.4 22.7
adenoma 11 .9 3.7 26.4
epulis 48 4.1 16.1 42.5
lipoma 14 1.2 4.7 47.2
fibroma 27 2.3 9.0 56.2
hemangioma 18 1.5 6.0 62.2
monomorfik adenoma 19 1.6 6.4 68.6
osteoma 6 .5 2.0 70.6
pleomorfik adenoma 61 5.2 20.4 91.0
(4)
sebarrhoic keratosis 4 .3 1.3 95.0
fibromyxoma 9 .8 3.0 98.0
basalioma 4 .3 1.3 99.3
angiofibroma 2 .2 .7 100.0
Total 299 25.7 100.0
Missing System 865 74.3
Total 1164 100.0
n.ganas
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid karsinoma 404 34.7 86.0 86.0
sarkoma 20 1.7 4.3 90.2
limfoma 38 3.3 8.1 98.3
melanoma 8 .7 1.7 100.0
Total 470 40.4 100.0
Missing System 694 59.6
Total 1164 100.0
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis kelamin * diagnosa histopatologi
1164 100.0% 0 .0% 1164 100.0%
umur * diagnosa histopatologi 1164 100.0% 0 .0% 1164 100.0%
lokasi lesi * diagnosa histopatologi
1164 100.0% 0 .0% 1164 100.0%
suku * diagnosa histopatologi 1164 100.0% 0 .0% 1164 100.0%
jenis kelamin * diagnosa histopatologi Crosstabulation Count
diagnosa histopatologi
radang kista lesi prekanker neoplasma jinak neoplasma ganas
jenis kelamin laki-laki 104 70 4 124 233
perempuan 120 80 17 175 237
(5)
umur * diagnosa histopatologi Crosstabulation Count
diagnosa histopatologi
To
radang kista lesi prekanker neoplasma jinak neoplasma ganas
umur 1-10 8 17 1 27 9
11-20 20 32 5 30 15
21-30 29 36 4 59 43
31-40 35 13 2 48 60
41-50 49 29 0 41 104
51-60 50 11 8 47 93
61-70 15 7 1 22 78
71-80 7 1 0 8 38
>81 2 0 0 4 11
tidak ada data 9 4 0 13 19
Total 224 150 21 299 470
L
okasi lesi * diagnosa histopatologi Crosstabulation Count
diagnosa histopatologi
radang kista lesi prekanker neoplasma jinak neoplasma ganas
lokasi lesi bibir 6 6 0 20 20
lidah 76 16 11 28 176
gingiva 13 3 1 46 22
palatum 20 0 0 18 37
mukosa bukal 5 0 0 15 21
maksila 13 55 4 34 68
mandibula 91 70 5 138 126
Total 224 150 21 299 470
suku * diagnosa histopatologi Crosstabulation Count
diagnosa histopatologi
To
radang kista lesi prekanker neoplasma jinak neoplasma ganas
suku batak 90 47 9 114 202
aceh 56 51 3 95 134
jawa 48 32 6 72 98
cina 9 12 0 3 4
(6)
tidak ada data 18 6 2 11 27
Total 224 150 21 299 470
Frequencies
Statistics
cara pengambilan
diagnosa histopatologi
N Valid 1164 1164
Missing 0 0
Frequency Table
cara pengambilan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid aspirasi biopsi 565 48.5 48.5 48.5
biopsi 420 36.1 36.1 84.6
operasi 155 13.3 13.3 97.9
sitologi 24 2.1 2.1 100.0
Total 1164 100.0 100.0
diagnosa histopatologi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid radang 224 19.2 19.2 19.2
kista 150 12.9 12.9 32.1
lesi prekanker 21 1.8 1.8 33.9
neoplasma jinak 299 25.7 25.7 59.6
neoplasma ganas 470 40.4 40.4 100.0