Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang didiagnosa dengan Pewarnaan Histokimia Giemsa dan Imunohistokimia Helicobacter pylori di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan

(1)

IMUNOHISTOKIMIA HELICOBACTER PYLORI

DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS

KEDOKTERAN USU MEDAN

TESIS

Oleh: B E T T Y 117041094

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

IMUNOHISTOKIMIA HELICOBACTER PYLORI

DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS

KEDOKTERAN USU MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Patologi Anatomi dalam Program Magister Kedokteran Klinik

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh: B E T T Y 117041094

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

Nama : Betty No. Register : 117041094

Program Studi : Program Pendidikan Magister Klinik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. H. Delyuzar, Sp.PA(K) Dr. H. Soekimin, Sp. PA

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH


(4)

Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan ridho dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul

“Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang didiagnosa dengan Pewarnaan Histokimia Giemsa dan Imunohistokimia Helicobacter pylori di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan” yang merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Strata dua (S2) pada Program Pendidikan Magister Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terimakasih saya sampaikan sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp. PD. KGEH., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. DR. Dr. Chairuddin P. Lubis, Sp.A(K), selaku Ketua Program Studi Magister Klinik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. H. Joko S. Lukito, Sp.PA, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan pemikiran di tengah-tengah kesibukan beliau dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Dr. H. Soekimin, Sp.PA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu sabar dalam membimbing, memberikan masukan dan dukungan dalam menyelesaikan tesis ini.


(5)

semangat dan dorongan yang tiada henti-hentinya dalam penyelesaian tesis ini.

7. Seluruh tenaga laboran (Nafiah, Yusni, Sumitro) di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan yang menyediakan waktu dan bantuan tenaga untuk penulis dalam menyelesaikan tulisan tesis ini.

8. Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes selaku pembimbing statistik yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis ini dan pengolahan data statistik yang ada

9. Seluruh tenaga administrasi dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi Magister Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan yang selalu member semangat dan dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.

10.Terima kasih yang tulus saya persembahkan kepada ibunda terkasih Murniaty, ibu mertua saya Lina, dan suami yang tercinta Andy, SE., MBA., serta ke-2 putra putri yang saya sayangi Ericko Govardi dan Steffie Goviani yang merupakan sumber inspirasi, sehingga penulis dapat menyelesaikantesis ini.

11.Kepada semua pihak yang penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu, semoga apa yang diberikan mendapat balas dari Tuhan Yang Maha Esa.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menambah wawasan serta menciptakan ide untuk penelitian selajutnya.

Medan, 23 Juli 2012

Penulis,


(6)

Medan Betty

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK

Latar belakang: Infeksi Helicobacter pylori, sekarang dianggap sebagai penyebab utama gastritis antral aktif dan banyak penelitian yang menguhbungkan mikroba ini sebagai etiologi tukak duodenum dan kanker lambung.

Metode: Sediaan histologi dari 42 biopsi lambung pasien diwarnai dengan dua metode pewarnaan (histokimia Giemsa dan anti-H pylori antibody immunostain / imunohistokimia H. pylori) dan dinilai secara „blinded‟dan secara terpisah oleh dua

orang pemeriksa.

Hasil: Ada 42 kasus yang dimasukkan dalam penelitian ini yang berumur anatara 16-75 tahun (umur rata-rata 51,05). Dua puluh delapan diantaranya adalah laki-laki, sedangakan wanita 14 orang, dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Dua puluh kasus dengan Helicobacter pylori tertapil dengn kedua tehnik pewarnaan, dan sepuluh kasus tidak teridentifikasi pada kedua metode pewarnaan ini, baik dengan pewarnaan histokimia Giemsa, maupun anti-H pylori antibody immunostain or immunohistokimia H. pylori. Dari ke-42 kasus ini, 12 kasus diantaranya menunjukkan hasil yang negatif dengan pewarnaan histokimia Giemsa, namun pada pewarnaan immunohistokimia H. pylori menunjukkan hasil yang positif. Kedua pemeriksa menyetujui bahwa metode pewarnaan imunohistokimia H. pylori (76,2%) lebih baik dibandingkan pewarnaan histokimia Giemsa (47,6%). Sensitifitas dari kedua metode pewarnaan adalah 100%, sementara spesifisitas imunohistokimia H. pylori 45,4%.

Kesimpulan: Bila dijumpai H pylori, pemeriksaan yang teliti hampir selalu menggunakan pewarnaan ini. Dan pewarnaan Giemsa merupakan metode yang dipilih karena sensitive, lebih muran dan mudah untuk dilakukan.

Kata kunci: H. pylori, pewarnaan histokimia Giemsa, pewarnaan imunohistokimia H. pylori


(7)

Background: Infection by Helicobacter pylori has been established as the major cause of chronic gastritis, and is important in the pathogenesis of other gastroduodenal diseases such as peptic ulceration, gastric lymphoma, and gastric cancer.

Methods: Histological sections from 42 gastric biopsies from patients were stained with the two stainning methods (histochemical Giemsa and anti-H pylori antibody immunostain or immunohistochemical H. pylori) and these were assessed blindly and independently by two observers.

Results: The 42 cases recruited in this study were aged between 16 and 75 (mean age of 51,05). There were 28 males and 14 females giving a male to female sex ratio of 2 : 1. Twenty cases of Helicobacter pylori were demonstrated by both techniques and ten cases are not identified by the two staining methods. Of the 42 cases, 12 cases histochemistry stain could not demonstrate the bacteria, but they were identified with anti-H pylori antibody immunostain. And the remaining 12 cases had result negative in histochemical Giemsa, but positive in immunohistochemical H. pylori stain. Interobserver agreement was the immunohistochemical H. pylori or antibody method (76,2%) better than Giemsa (47,6%). The sensitivity of the both staining methods was 100%, while the specificity of immunohistochemistry H. pylori was 45,4%.

Conclusions: When H pylori are present, careful examination will almost always reveal them, whichever of these stains is used. However, the Giemsa stain is the method of choice because it is sensitive, cheap and easy to perform.

Key words: H. pylori, histochemical Giemsa stain, immunohistochemical H. pylori


(8)

Nama : dr. Betty, Sp.PA

NIP : 19681009 199903 2 002

Tempat/ Tgl Lahir : Binjai, 9 Oktober 1968

Jenis Kelamin : Wanita

Pekerjaan : Staf Pengajar Dept. Patologi Anatomi FK USU

Status : Menikah

Alamat : JL. Jend. A. Yani No. 21-AF

Binjai – 20711, indonesia

Telepon : 061- 8822017 / HP. 0811652225

Email : andbethgo@yahoo.com

Nama suami : Andy, SE. MBA

Nama anak : 1. Ericko Govardi 2. Steffie Goviani

RIWAYAT PENDIDIKAN :

1. SD Methodist Binjai – tahun 1974 - 1980 2. SMP Methodist Binjai – tahun 1980 - 1983 3. SMA Methodist Binjai – tahun 1983 - 1986

4. Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan – tahun 1986 - 1994.

5. Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – tahun 2004 - 2008.

6. Pendidikan Program Magister Kedokteran Klinis Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2011 – 2012.

RIWAYAT PEKERJAAN :

1995 – 1998 : Dokter PTT di RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai 1997 – 2008 : Praktek Dokter Umum

1999 – 2007 : Praktek dokter PNS di Puskesmas Tanah Tinggi Kota Binjai 2008 – sekarang : Staf Pengajar Dept. Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, Medan. 2008 – sekarang : Praktek Dokter Spesialis PA.

2011 – sekarang : Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Anatomi FK-USU Medan


(9)

Kata Pengantar ……….……… i

Abstrak ………. iii

Daftar isi ……….. v

Daftar Gambar ………. viii

Daftar Tabel ………. ix

Daftar Singkatan ……….. x

Bab 1 Pendahuluan ……… 1

1.1. Latar belakang ……… 1.2. Rumusan masalah ……….. 1.3. Hipotesa penelitian ………. 1.4. Tujuan penelitian ……… 1.4.1. Tujuan umum ……… 1.4.2. Tujuan khusus ……….. 1.5. Manfaat penelitian ……….. 1 3 3 3 3 4 4 Bab 2 Tinjauan Pustaka ……… 5

2.1. Lambung ……….. 2.1.1. Anatomi …...………. 2.1.2. Histologi ………

2.2. Gastritis ……… 2.2.1. Gastritis akut ………. 2.2.2. Gastritis kronis ………...

2.2.3. Gastritis Helicobacter pylori………….

2.2.4. Metaplasia ………. 2.2.5. Gastritis Atrofi ……….. 2.2.6. Displasia ………

5 5 6 9 9 11 13 22 23 24


(10)

2.4.1. Lesi pre-kanker ……….

2.4.2. Kanker Dini Lambung ………... 2.4.3. Kanker Lnajut Lambung ……….. 2.5. Kerangka teori ……….

27 30 30 31 33 Bab 3 Metodologi Penelitrian ………

3.1. Rancangan penelitian ………... 3.2. Tempat dan waktu penelitian ………..

3.2.1. Tempat penelitian ………. 3.2.2. Waktu penelitian ……….. 3.3. Subjek penelitian ………. 3.3.1. Populasi ……… 3.3.2. Sampel penelitian ………. 3.4. Jumlah sampel ………. 3.5. Kriteria penelitian ……… 3.5.1. Kriteria inklusi ………... 3.5.2. Kriteria eksklusi ……… 3.6. Kerangka operasional ………..

3.7. Variabel penelitian ………..

3.8. Definisi operasional ……… 3.9. Cara kerja ……… 3.10. Alat dan bahan penelitian ……….. 3.11. Instrumen penelitian ……….. 3.12. Analisa data ………

34 34 34 34 34 34 34 34 35 35 35 36 37 37 37 38 43 43 44 Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan ………... 46


(11)

Daftar Pustaka ……….. xi


(12)

Gambar Halaman

2.1. Pembagian daerah anatomi lambung ………. 5 2.2. Diagram dari empat daerah anatomi dan tiga daerah

histologik lambung ………. 8

2.3. Mekanisme jejas dan pertahanan pada lambung ………… 11 2.4. Helicobacterpylori……… 14 2.5. Pulau patogenisitas cag ……….. 16 2.6. Interaksi antara pathogen-host di dalam patogenesis

infeksi Helicobacter pylori………

17

2.7. Gastritis Helicobacter pylori ……….. 20 2.8. H. pyloriyang melekat pada epitel lambung ………. 22 2.9. Perjalanan alamiah infeksi Helicobacterpylori …………. 28


(13)

4.1. Jumlah sampel gastritis yang digunakan dalam penelitian

berdasarkan jenis kelamin………... 46 4.2. Distribusi umur dari seluruh sampel gastritis yang

digunakan dalam penelitian………. 47 4.3. Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis

dengan pewarnaan histokimia Giemsa……… 48 4.4. Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang

ditemukan dengan pewarnaan imunohistokimia

Helicobacter pylori………..……….……… 48 4.5. Pengukuran sensitifitas dan spesifisitas pewarnaan

histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter pylori dalam menemukan infeksi Helicobacter pylori


(14)

 AP-1 Activator Transcription Factor Protein 1  cagPAI The cag pathogenicity island

 EC Enterochromaffin  ECL Enterochromaffin-like  IBD Inflammatory Bowel Disease  IF-ɤ Interferon - ɤ

 IL-8 Interleukin-8

 KDL Kanker dini lambung  KLL Kanker Lanjut Lambung

 MHC Major Histocompatibility Complex  MAP Mitogen associated Protein Kinase  MALT Mucosa-associated Lymphoid Tissue  NSAID Non Steroid Anti Inflammatory Drugs  NFk B Nuclear Factor Kappa B

 PAS Peroxidase Amino Synthese  TNF-α Tumor Necroting Factor


(15)

Medan Betty

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK

Latar belakang: Infeksi Helicobacter pylori, sekarang dianggap sebagai penyebab utama gastritis antral aktif dan banyak penelitian yang menguhbungkan mikroba ini sebagai etiologi tukak duodenum dan kanker lambung.

Metode: Sediaan histologi dari 42 biopsi lambung pasien diwarnai dengan dua metode pewarnaan (histokimia Giemsa dan anti-H pylori antibody immunostain / imunohistokimia H. pylori) dan dinilai secara „blinded‟dan secara terpisah oleh dua

orang pemeriksa.

Hasil: Ada 42 kasus yang dimasukkan dalam penelitian ini yang berumur anatara 16-75 tahun (umur rata-rata 51,05). Dua puluh delapan diantaranya adalah laki-laki, sedangakan wanita 14 orang, dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Dua puluh kasus dengan Helicobacter pylori tertapil dengn kedua tehnik pewarnaan, dan sepuluh kasus tidak teridentifikasi pada kedua metode pewarnaan ini, baik dengan pewarnaan histokimia Giemsa, maupun anti-H pylori antibody immunostain or immunohistokimia H. pylori. Dari ke-42 kasus ini, 12 kasus diantaranya menunjukkan hasil yang negatif dengan pewarnaan histokimia Giemsa, namun pada pewarnaan immunohistokimia H. pylori menunjukkan hasil yang positif. Kedua pemeriksa menyetujui bahwa metode pewarnaan imunohistokimia H. pylori (76,2%) lebih baik dibandingkan pewarnaan histokimia Giemsa (47,6%). Sensitifitas dari kedua metode pewarnaan adalah 100%, sementara spesifisitas imunohistokimia H. pylori 45,4%.

Kesimpulan: Bila dijumpai H pylori, pemeriksaan yang teliti hampir selalu menggunakan pewarnaan ini. Dan pewarnaan Giemsa merupakan metode yang dipilih karena sensitive, lebih muran dan mudah untuk dilakukan.

Kata kunci: H. pylori, pewarnaan histokimia Giemsa, pewarnaan imunohistokimia H. pylori


(16)

Background: Infection by Helicobacter pylori has been established as the major cause of chronic gastritis, and is important in the pathogenesis of other gastroduodenal diseases such as peptic ulceration, gastric lymphoma, and gastric cancer.

Methods: Histological sections from 42 gastric biopsies from patients were stained with the two stainning methods (histochemical Giemsa and anti-H pylori antibody immunostain or immunohistochemical H. pylori) and these were assessed blindly and independently by two observers.

Results: The 42 cases recruited in this study were aged between 16 and 75 (mean age of 51,05). There were 28 males and 14 females giving a male to female sex ratio of 2 : 1. Twenty cases of Helicobacter pylori were demonstrated by both techniques and ten cases are not identified by the two staining methods. Of the 42 cases, 12 cases histochemistry stain could not demonstrate the bacteria, but they were identified with anti-H pylori antibody immunostain. And the remaining 12 cases had result negative in histochemical Giemsa, but positive in immunohistochemical H. pylori stain. Interobserver agreement was the immunohistochemical H. pylori or antibody method (76,2%) better than Giemsa (47,6%). The sensitivity of the both staining methods was 100%, while the specificity of immunohistochemistry H. pylori was 45,4%.

Conclusions: When H pylori are present, careful examination will almost always reveal them, whichever of these stains is used. However, the Giemsa stain is the method of choice because it is sensitive, cheap and easy to perform.

Key words: H. pylori, histochemical Giemsa stain, immunohistochemical H. pylori


(17)

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Kanker lambung merupakan keganasan yang berasal dari mukosa lambung, dengan angka prevalensi keempat terbanyak dari semua jenis kanker yang ada, dan menempati urutan kedua terbanyak penyebab kematian akibat kanker di dunia.1,2,3,4,5 Setiap tahunnya sekitar 880.000 orang yang terdiagnosa sebagai kanker lambung, dan 700.000 orang diantaranya meninggal dunia akibat penyakit ini.1,2,3,4,6

Insidensinya bervariasi dan berhubungan dengan letak geografi. Enam puluh persen kanker lambung terdapat di Negara yang sedang berkembang. Angka insidensi yang tertinggi ditemukan di Asia bagian Timur, pegunungan Andes Amerika Selatan dan Eropa bagian Timur, sementara insidennya paling rendah di Amerika Utara dan Eropa Bagian Utara.1

Di Jepang, Chili, Costa Rica dan Eropa bagian Timur, insidensinya meningkat hingga lebih dari 20 kali dibandingkan Amerika Utara, Eropa bagian Utara, Afrika dan Asia Tenggara. Program skrining endoskopik terhadap massa telah berhasil menurunkan insidensi yang tinggi seperti di Negara Jepang, dimana hampir 35% kasus baru terdeteksi sebagai kanker dini lambung, dimana pertumbuhan tumor masih terbatas pada lapisan mukosa dan sub-mukosa lambung. Namun, program skrining ini membutuhkan biaya yang tinggi sehingga bukan merupakan ‘cost-effective’ pada daerah dengan insidensi rendah, dan kasus yang terdeteksi sebagai kanker dini lambung hanya di bawah 20% seperti Amerika Utara dan Eropa bagian Utara. Walaupun perbedaan penurunan angka mortalitas pada berbagai daerah belum jelas, namun penurunan insiden kanker lambung yang telah dilaporkan pada berbagai Negara


(18)

bagian Barat lainnya, menyokong bahwa faktor lingkungan dan diet ikut berperan dalam perkembangan kanker lambung.1,3,8

Sejak ditemukannya Helicobacterpylori oleh Dr. Warren dan Marshall pada tahun 1983, telah terjadi perubahan di dunia kedokteran terutama dalam bidang gastroenterologi.2,4,5,6,9 Infeksi Helicobacter pylori, dengan berbagai keragaman insidensi terjadi di seluruh dunia. Prevalensi pada orang dewasa berkisar < 15-100% pada daerah yang sedang berkembang, dan pada umumnya menginfeksi pada usia yang lebih muda dibandingkan Negara yang sudah berkembang. Ini berhubungan dengan status sosioekonomi yang rendah.4 Infeksi Helicobacter pylori, merupakan ko-faktor yang penting dalam perkembangan kelainan saluran pencernaan bagian atas seperti tukak duodenum maupun lambung (1-2% dari pasien yang terinfeksi), infeksi

Helicobacter pylori juga dapat merangsang terjadinya perubahan fenotip yang mengawali perkembangan kanker lambung (0,1-3%) serta MALT-oma lambung (Gastric mucosa-associated lymphoid-tissue lymphoma, <0,01%).5,6

Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dilaporkan bahwa pasien yang terdapat antibodi anti-Helicobacter pylori di dalam serumnya selama lebih dari 10 tahun berisiko menderita kanker lambung. Helicobacter pylori merupakan patogen lambung yang penting di dalam berbagai langkah kaskade karsinogenik. Proses pre-kanker yang panjang, seperti gastritis kronik-gastritis atrofi yang multifokal-metaplasia intestinal dan neoplasia intra-epitel dibutuhkan dalam perkembangan kanker lambung. Secara epidemiologi telah terbukti bahwa perkembangan kanker lambung adenokarsinoma mempunyai hubungan yang penting terhadap infeksi Helicobacter pylori.2


(19)

1.2. Rumusan Masalah

Karsinogenesis lambung merupakan proses yang multistep dan melibatkan kelainan genetika secara umum maupun spesifik yang dapat merangsang perubahan sifat sel secara progresif. Gastritis kronik yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori, mempunyai insidensi yang paling tinggi. Karena kanker lambung mempunyai prognosis yang jelek, dan salah satu strategi utama yang berguna untuk klinik adalah menemukan secara dini infeksi Helicobacter pylori lambung penderita yang mempunyai keluhan secara klinis. Salah satu cara menemukan infeksi Helicobacter pylori adalah pada jaringan biopsi lambung yang didapat pada saat melakukan pemeriksaan endoskopi. Namun pada pemeriksaan histopatologi, penemuan

Helicobacter pylori yang berupa organisme eosinofilik batang sedikit melengkung sulit diidentifikasi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin karena mirip dengan cairan mukus di lambung, Dan selama pengobatan, organisme ini dapat berubah bentuk

berupa huruf ‘U’, melingkar, bentuk batang yang ireguler maupun kokoid. Bentuk ini menyerupai bakteri non-patogen, spora jamur dan cryptosporidia. Untuk diagnosa yang pasti digunakan pewarnaan imunohistokimia.4

1.3. Hipotesa Penelitian

Ada perbedaan insidensi penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis di lambung dengan pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter pylori.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Menemukan insidensi infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis di lambung dengan pewarnaan Giemsa dan pewarnaan imunohistokimia Helicobacterpylori


(20)

1.4.2. Tujuan Khusus

 Melihat gambaran karakteristik penderita gastritis.

 Menemukan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan histokimia Giemsa.

 Menemukan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan imunohistokimia Helicobacterpylori.

 Melihat perbedaan hasil perwarnaan histokimia Giemsa terhadap tampilan imunohistokimia Helicobacter pylori dalam mendiagnosa infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis.

1.5. Manfaat Penelitian

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi indikator penemuan infeksi

Helicobacterpylori pada sediaan biopsi jaringan lambung.

 Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu menentukan prognosis pasien dengan lesi gastritis.


(21)

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1.Lambung

2.1.1. Anatomi

Lambung merupakan organ yang berbentuk kantong seperti huruf ‘J’, dengan

volume 1200-1500ml pada saat berdilatasi. Pada bagian superior, lambung berbatasan dengan bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan duodenum. Lambung terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke hipokhondrium kiri. Kecembungan lambung yang meluas ke gastroesofageal junction disebut kurvatura mayor. Kelengkungan lambung bagian kanan disebut kurvatura minor, dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Seluruh organ lambung terdapat di dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh omentum.5


(22)

Secara anatomik, lambung terbagi atas 5 daerah (gambar 2.1.) yaitu: (1). Kardia, daerah yang kecil terdapat pada bagian superior di dekat gastroesofageal junction; (2). Fundus, bagian berbentuk kubah yang berlokasi pada bagian kiri dari kardia dan meluas ke superior melebihi tinggi gastroesofageal junction; (3). Korpus, merupakan 2/3 bagian dari lambung dan berada di bawah fundus sampai ke bagian paling bawah

yang melengkung ke kanan membentuk huruf ‘J’; (4). Antrum pilori, adalah bagian

1/3 bagian distal dari lambung. Keberadaannya secara horizontal meluas dari korpus hingga ke sphincter pilori; dan (5). Sphincter pilori, merupakan bagian tubulus yang paling distal dari lambung. Bagian ini secara kelesulurhan dikelilingi oleh lapisan otot yang tebal dan berfungsi untuk mengontrol lewatnya makanan ke duodenum. Permukaan fundus dan korpus banyak dijumpai lipatan rugae lambung. Pembuluh darah yang mensuplai lambung merupakan percabangan dari arteri celiac, hepatik dan splenik. Aliran pembuluh vena lambung dapat secara langsung masuk ke sistem portal atau secara tidak langsung melalui vena splenik dan vena mesenterika superior. Nervus vagus mensuplai persyarafan parasimpatik ke lambung dan pleksus celiac merupakan inervasi simpatik. Banyak ditemukan pleksus saluran limfatik dan kelenjar getah bening lainnya. Drainase pembuluh limfe di lambung terbagi atas empat daerah yaitu: (1). Kardia dan sebagian kurvatura minor ke kelenjar getah bening gastrik kiri; (2). Pilorik dan kurvatura minor distal ke kelenjar getah bening gastrik dan hepatik kanan; (3). Bagian proksimal kurvatura mayor ke kelenjar limfe pankreatikosplenik di hilum splenik; serta (4). Bagian distal kurvatura mayor ke kelenjar getah bening gastroepiploik di omentum mayor dan kelenjar getah bening pilorik di kaput pankreas.3,5,10

2.1.2. Histologi

Dinding lambung terdiri dari empat lapisan yaitu lapisan mukosa, sub-mukosa, muskularis eksterna (propria) dan serosa. Permukaan mukosa dilapisi oleh sel epitel kolumnar penghasil mukus dan meluas ke sebagian foveolar atau pit. Lapisan mukosa terbagi atas dua lapisan yaitu lamina propria dan lapisan muskularis mukosa.


(23)

Pada lapisan muskularis mukosa, terdapat lapisan otot sirkuler pada bagian dalam dan lapisan otot longitudinal pada bagian luarnya. Otot-otot ini berkelanjutan membentuk kelompokan kecil (fascicle) otot polos yang tipis menuju ke bagian dalam lamina propria hingga ke permukaan epitel. Pada lapisan sub-mukosa, jaringannya longgar dan mengandung sejumlah jaringan ikat elastik, terdapat pleksus arteri, vena, pembuluh limfe dan pleksus nervus Meissner. Muskularis eksterna terdiri dari tiga lapisan yaitu longitudinal luar (outer longitudinal), sirkuler dalam (inner sirkuler) dan oblik yang paling dalam (innermost oblique). Lapisan sirkuler

sphincter pilorik pada gastroesofageal junction. Pleksus Auerbach (myenteric) berlokasi pada daerah di antara lapisan sirkular dan longitudinal dari muskularis eksterna. Semua kelenjar lambung mempunyai dua komponen yaitu bagian foveola (kripta, pit) dan bagian sekresi (kelenjar). Mukosa lambung secara histologi terbagi atas 3 jenis yaitu kardiak, fundus dan pilorik (antral), dengan daerah peralihan di antaranya. Perbedaan berbagai jenis mukosa lambung tergantung pada perbandingan relatif antara bagian foveolar dengan bagian sekresi, serta komposisinya secara mikroskopik (Gambar 2.2). Kelenjar kardiak dan pilorik mempunyai kemiripan yaitu perbandingan antara foveola terhadap kelenjar yang mensekresi mukus adalah satu berbanding satu. Yang membedakan keduanya adalah jarak antar kelenjar di daerah kardiak berjauhan, kadang dijumpai lumen kelenjar yang berdilatasi kistik. Sedangkan kelenjar pada daerah pilorik mempunyai pelapis epitel dengan sitoplasma sel yang ‘bubly’, bervakuola, bergranul dan ‘glassy’. Sub-nukleus vakuolisasi sel mukus kadang-kadang dapat ditemukan, keadaan ini kadang-kadang salah diinterpretasi sebagai metaplasia. Sedangkan sitoplasma sel pada daerah pilorik yang

‘glassy’ dan berkelompok dapat salah diinterpretasi sebagai adenokarsinoma ‘signet ring cell’. Sel bersilia yang kadang-kadang dijumpai pada daerah pilorik, dan lebih sering dijumpai pada orang Jepang, keadaan ini kadang kala dianggap sebagai suatu metaplasia. Kelenjar fundik (oxyntic, acidopeptic) ditandai dengan bagian foveolar hanya ¼ dari ketebalan mukosa, kelenjarnya cendrung lebih lurus dan terdiri dari sebaran sel chief, sel parietal (penghasil asam), sel endokrin dan sel mukosa leher.3,4,5


(24)

Gambar 2.2. Diagram dari empat daerah anatomi dan tiga daerah histologik lambung. Ketebalan gastrik pit (merah) dan bagian kelenjar berbeda pada berbagai daerah di lambung. Warna pada kelenjar sesuai dengan warna pada daerah anatomik lambung. Histologi kelenjar dibedakan atas warna merah muda, hijau, dan biru. Gastrik pit yang

seragam berwarna merah pada seluruh bagian lambung.4,10

Secara imunohistokimia dan in situhybridization menunjukkan sel chief dan sel mukosa leher menghasilkan pepsinogen I (namun pada daerah pilorik menghasilkan pepsinogen II). Musin yang dihasilkan oleh mukosa lambung hampir semuanya adalah jenis netral dan positif dengan pewarnaan PAS, namun negatif pada pewarnaan Alcian blue dan Mayer’s mucicarmine. Sedangkan sel mukosa leher yang normal dapat menghasilkan sialomusin dan sulfomusin dalam jumlah yang sedikit. Pada pemeriksaan imunohistokimia sel epitel foveolar menampilkan MUC1 dan


(25)

MUC5AC, sedangkan kelenjar menampilkan MUC6. Bila dihubungkan dengan antigen Lewis, sel epitel foveolar menampilan rantai antigen Le(a) dan Le (b) tipe I, sedangkan kelenjar menampilkan rantai antigen Le(x) dan Le(y) tipe II. Pada mukosa saluran pencernaan terdapat paling sedikit 16 jenis sel endokrin parakrin, dan sebagian besar terdapat pada lambung. Pada mukosa pilorik, 50% sel endokrin berupa sel G yang menghasilkan gastrin, 30% mengandung sel enterokromafin (EC) yang menghasilkan 5-HT (serotonin), dan 15% adalah sel D penghasil somatostatin. Pada mukosa fundus, sebagian besar sel endokrin terdiri dari sel ECL (EC-like) sebagai tempat penyimpanan histamin; selain itu juga terdapat sejumlah kecil sel X (sekresi yang dihasilkan sel ini masih belum diketahui) serta sel enterokromaffin (EC). Sel ECL diduga berperanan penting di dalam mekanisme sekresi asam lambung yang berfungsi untuk mengontrol rangsangan gastrin. Aktifitas fungsional dan proliferasinya sangat dipengaruhi oleh gastrin.2,3,4,5,11,13

2.2.Gastritis

Gastritis kronik non-spesifik merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai. Prevalensi pada populasi di US belum diketahui, namun dari populasi di Eropa dan Jepang menunjukan peningkatan insidensi yang berhubungan dengan umur, dan lebih dari 50% terdapat pada umur di atas 60 tahun. Sebagian besar pasien gastritis yang ringan tidak menunjukkan gejala.4,5,6,8,13

2.2.1. Gastritis akut

Gastritis akut merupakan proses peradangan mukosa yang bersifat sementara yang mungkin tanpa disertai gejala atau dengan gejala berupa berbagai tingkat nyeri di uluhati, mual dan muntah. Pada kasus yang berat mungkin terjadi erosi pada mukosa, tukak, perdarahan, hematemesis, melena, dan kadang-kadang kehilangan darah yang massif.3 Gastritis akut dikenal juga sebagai gastropati reaktif atau gastropati kimia.7


(26)

Patogenesis. Lumen lambung mengandung asam dengan pH hampir mendekati 1, melebihi 1 juta kali lebih asam daripada pH di dalam darah. Suasana asam ini berperan dalam mekanisme pencernaan, namun juga berpotensi merusak mukosa lambung. Ada berbagai mekanisme pertahanan mukosa lambung (Gambar 2.3). Mukus yang dihasilkan oleh sel foveolar permukaan membentuk lapisan mukus yang tipis untuk melingdungi sel epitel dari partikel-partikel makanan, dan juga mempunyai pH yang netral karena sekresi ion bikarbonat oleh sel epitel permukaan. Gastritis akut sering berhubungan dengan penggunaan obat NSAID yang kronik dan berat, terutama aspirin; peminum alkohol yang berlebihan; perokok berat; kemoterapi pada kanker; infeksi sistemik (Salmonellosis, cytomegalovirus); stress berat (luka bakar, trauma, pembedahan); iskemia dan shock; iritasi zat kimia (asam, alkali); iradiasi lambung; trauma mekanis (nasogastrik intubasi); dan post gastrektomi distal. Mekanisme penyebab yang diperkirakan bekerja tunggal atau dalam gabungan: produksi asam bertambah dengan difusi balik; produksi buffer bikarbonat pada permukaan berkurang; aliran darah mukosa berkurang; kerusakan langsung pada epitel mukosa.3,7,13,14,18

Gambaran histopatologi gastritis akut ringan sulit dikenali, kelainan yang dijumpai berupa epitel permukaan yang masih ‘intake’, walaupun epitel permukaan terlepas (erosi) namun terbatas pada lapisan muskularis mukosa, hiperplasia foveolar, lamina propria edema dan hiperemia (pembuluh darah kongesti), pada gastritis erosive terdapat hemoragik akut dimana perdarahannya segar, nekrosis bersifat fokal pada permukaan dan sel foveolar. Sebukan sel radang neutrofil pada daerah foveolar dan lumen kelenjar, namun peradangan tidak terjadi secara menyeluruh. Bila erosi meluas lebih dalam, dapat berkembang menjadi tukak.3,5,7,24


(27)

Gambar 2.3. Mekanisme jejas dan pertahanan pada lambung. Ilustrasi diagram perkembangan dari jejas ringan hingga terbentuk tukak disertai gastritis akut dan

kronik. Tukak terdiri dari lapisan nekrosis (N), inflamasi (I), dan jaringan granulasi (G), namun jaringan parut/skar (S), membutuhkan waktu dan hanya

terdapat pada lesi yang kronis.3

2.2.2. Gastritis kronis

Insidensi dan riwayat alami gastritis kronik telah diketahui dan tersistematis dengan jelas menggunakan biopsi jaringan secara endoskopi. Keluhan pada gastritis kronis tidak begitu hebat, namun keluhannya dapat menetap dalam waktu yang lama. Keluhan yang timbul berupa mual dan rasa tidak enak pada perut bagian atas, kadang disertai muntah dan hematemesis. Penyebab gastritis kronik yang paling sering adalah infeksi Helicobacter pylori.3,24,26 Ada dua gambaran utama penyakit ini yaitu sebukan sel-sel radang pada lamina dan atrofi epitel kelenjar. Sel-sel plasma dan limfosit (kadang-kadang dengan pembentukan folikel) merupakan sel yang prominen dijumpai di antara sel-sel radang tersebut, namun juga dapat dijumpai sel eosinofil serta neutrofil. Gastritis kronik dapat diklasifikasikan menjadi gastritis kronik superfisial dan gastritis kronik atrofi. Pada gastritis kronik superfisial, sebukan sel-sel radang terbatas pada daerah foveolar dan tidak dijumpai atrofi kelenjar. Kelainan


(28)

epitel bisa juga dijumpai, berupa penurunan jumlah musin sitoplasma, pembesaran inti dan nukleoli, kadang-kadang terjadi peningkatan jumlah mitosis. Sedangkan pada gastritis kronik atrofi, proses peradangannya lebih hebat dan bersamaan dengan atrofi pada kelenjar. Gastritis fokal ditandai dengan sel-sel radang limfosit dan histiosit (kadang bercampur dengan sel neutrofil) yang berkelompok dan mengelilingi sebagian kelenjar, ini diduga merupakan petanda penyakit IBD (inflammatory bowel disease), namun pada sebagian studi lainnya masih belum terdapat konfirmasi tentang hal ini.1,3,4,5,7

Gastritis kronik dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu: (1). Tipe-A (tipe imun); dan (2). Tipe-B (tipe non-imun). Kedua jenis gastritis ini mempunyai kemiripan dalam gambaran histologi, namun patogenesisnya berbeda. Gastritis tipe-A (tipe imun) ini, lebih jarang dijumpai. Pada umumnya terdapat di daerah fundus dan meluas difus hingga ke daerah antrum, ditandai dengan hiperplasia neuroendokrin, berhubungan dengan antibodi terhadap sel parietal, hipokhlorhidria atau akhlorhidria dan kadar serum gastrin yang tinggi. Sub-unit α dan  dari pompa proton lambung teridentifikasi sebagai target molekular utama penyakit autoimun ini, yang menimbulkan anemia pernisiosa. Varian dari kelainan ini berupa pan-gastritis atrofi autoimun, yang dapat mengenai antral dan fundus, namun tidak terdapat hiperplasia neuroendokrin. Sedangkan gastritis tipe-B (jenis non-imun), lebih sering dijumpai, proses penyakitnya dimulai dari daerah antrum, dan berkembang kearah proksimal hingga ke perbatasan fundik-pilorik secara bertahap. Pada beberapa kepustakaan, gastritis tipe-B (non-imun) dikalsifikasikan menjadi: (1). Gastritis hipersekresi, yang terbatas pada daerah antrum, yang dihubungkan dengan keadaan hiperkhlorhidria dan tukak peptik duodenum; dan (2). Gastritis lingkungan (environmental), yang melibatkan daerah antrum dan fundus yang awalnya berupa lesi bercak-bercak, kemudian tersebar difus.7,8,14

Patogenesis gastritis kronik tipe-B adalah kompleks dan beragam. Faktor risiko terjadinya gastritis tipe ini adalah berhubungan dengan alkohol, tembakau, refluks


(29)

duodenum (refluks gastritis), alergi makanan, dan berbagai jenis obat (terutama obat-obatt anti- inflamasi). Selain berbagai risiko yang multifaktorial ini berperanan dalam gastritis kronis tipe-B (dan penyakit lambung lainnya, seperti tukak peptik, karsinoma dan limfoma), yang harus menjadi perhatian juga adalah infeksi H. pylori.1,3,11

2.2.3. Gastritis Helicobacter pylori

Infeksi H. pylori di Negara US, berhubungan dengan daerah pemukiman yang padat, keterbatasan pendidikan, etnis Amerika-Afrika atau Amerika Meksiko, daerah perkampungan, dan kelahiran di luar US. Angka kolonisasi melebihi 70% pada sebagian kelompok dan bervariasi dari 10-80% di dunia. Daerah dengan prevalensi yang tinggi menghubungkan antara angka kolonisasi dengan umur pasien, dan sering didapatkan pada masa anak-anak dan kemudian menetap hingga beberapa dekade. Cara penularan organism ini belum pasti, namun diketahui bahwa hanya manusia yang merupakan host-nya, melalui infeksi mulut ke mulut, fekal ke mulut dan penyebaran lingkungan. Penyakit yang hampir sama dihubungkan dengan infeksi organisme Helicobacter heilmannii, dimana reservoir-nya adalah kucing, anjing, babi dan primate yang bukan manusia. Perbedaan morfologi antara Helicobacter pylori

terhadap Helicobacter heilmannii sangat sulit. Pengenalan terhadap Helicobacter heilmannii penting, dalam penanganan binatang peliharaan dan untuk mencegah infeksinya ke manusia.1,2,3,14,18,21

Helicobacter pylori

Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif yang ditemukan pada permukaan epitel lambung, dan pertama kali diisolasi oleh Warren dan Marshall pada tahun 1983 (gambar 2.4).6,18


(30)

Gambar 2.4. H. pylori merupakan bakteri gram-negatif dengan bentuk batang melengkung. mempunyai flagela, yang membantu menembus lapisan mukous

lambung yang tebal.6,18

Bakteri ini merupakan kuman gram negatif, mikroaerofilik, berbentuk batang melengkung, berukuran panjang 1-3μm dan lebar 0,3-0,6μm serta berflagela pada

salah satu ujung ‘pole’nya. Dapat menimbulkan peradangan kronik pada pemukaan mukosa lambung. Infeksi ini biasanya terjadi pada usia anak-anak, dan cendrung menetap dengan pengobatan yang tidak tepat. Prevalensi meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan status sosioekonomi yang rendah selama masa anak-anak dan mempunyai keragaman di seluruh dunia.4,5,6,7,8

Genom H. pylori (1,65 juta pasangan basa) mengkode sekitar 1500 protein. Di antara semua genom tersebut, ada dua proyek sekuensi gen H. pylori yang telah ditemukan berupa satu keluarga besar dari 32 protein yang berhubungan dengan protein membran bagian luar (Hop proteins) yaitu adhesi H. pylori dan berbagai gen yang dapat men-switched on dan men-switched off dengan mutagenesis yang diperantarai oleh kesalahan pasangan slippedstrand. Protein yang dikode oleh beragam fase termasuk enzim yang memodifikasi struktur molekul permukaan antigen, mengontrol masuknya DNA asing ke dalam bakteri dan peningkatan pergerakan bakteri. Perubahan genom H. pylori berlangsung terus menerus selama kolonisasi kronik dari individu host dengan mengirim potongan kecil DNA asing dari strains H. pylori yang lain selama infeksi menetap maupun sementara.6,8,16


(31)

H. pylori dapat melekat erat pada sel epitel dengan komponen permukaan bakteri yang multipel. Adhesi yang paling khas adalah BabA, yaitu suatu protein 78-kD membran luar yang terikat pada antigen kelompok darah Lewis B fucosylated. Beberapa anggota keluarga protein Hop lainnya juga memperantarai perlekatan pada sel epitel. Dari berbagai penelitian terhadap binatang percobaan membuktikan bahwa adhesi terutama BabA yang berhubungan dengan penyakit H. pylori dapat meningkatkan beratnya keadaan penyakit, walaupun pada sebagian penelitian masih diperdebatkan.1,2,16,21

Pada umumnya strains H.pylori menampilkan vakuola sitotoksin VacA 95-kD yang mensekresi eksotoksin. Toksin yang dihasilkan masuk ke sel membran epitel dan membentuk suatu heksamerik anion yang selektif, saluran yang tergantung voltase dilalui bikarbonat dan anion organik dapat dilepaskan, yang mungkin menyiapkan makanan untuk bakteri. VacA juga ditargetkan untuk membran mitokhondria, yang menyebabkan pelepasan sitokhrom c dan merangsang apoptosis. Patogenesis peran toksin masih diperdebatkan. Mutan VacA negatif dapat berkolonisasi pada binatang percobaan, dan strain dengan gen VacA yang inaktif telah dapat terisolasi dari pasien, ini mengindikasikan bahwa VacA bukan yang mendasari kolonisasi. Di Negara Barat, varian gen VacA tertentu berkaitan dengan penyakit yang lebih berat. Namun, hal ini tidak ditemukan di Negara Asia, dan dasar fungsional yang mendasarinya masih belum diketahui. Sebagian besar strain H. pylori menunjukkan cagPAI (pulau patogenisitas cag), suatu fragmen genomik 37-kb. Sebagian komponen pengkodean ini diperkirakan mensekresi apparatus jenis IV yang memindahkan protein CagA 120-kD ke dalam sel host. Setelah memasuki sel epitel, CagA berphosphorilasi dan mengikat phosphatase tyrosin SHP-2, mengawali respon seluler yang menyerupai faktor pertumbuhan dan sel host menghasilkan sitokin.1,2,3,6,8,21

Starin H. pylori yang menimbulkan penyakit (Strain tipe I) mengandung pulau patogenisitas cag (daerah kromosom dengan 37,000 bp dan 29 gen), yang terletak


(32)

pada daerah yang ditandai dengan ‘tanda panah’. Susunan gen pada strain 26695, merupakan suatu susunan genom yang dipublikasi pertama kali (gambar 2.5).7

Gambar 2.5. Pulau patogenisitas cag.7

Pada sebagian strain, pulau tersebut dipisah menjadi dua bagian. Diduga banyak gen Cag yang terlibat dalam perpindahan sekresi protein CagA ke dalam sitoplasma sel epitel lambung. Ada lima jenis gen (ditandai dengan warna orange) yang mirip komponen sistem sekresi tipe-IV dari patogen tumbuhan Agrobacterium tumefaciens (Vir proteins). Protein yang dikode oleh pulau tersebut terlibat di dalam dua proses utama, merangsang sel epitel untuk menghasilkan IL-8 dan perpindahan

CagA dari bakteri ke dalam sel host. Seluruh gen (dalam ‘panah besar’), berperanan penting dalam menginduksi IL-8; sedangkan pada panah yang terputus-putus mengindikasikan gen yang tidak terlibat dalam proses ini. Garis panah yang berwarna biru mengindikasikan gen yang dibutuhkan untuk translokasi CagA; garis orange mengindikasikan gen yang tidak penting untuk bertranslokasi.1,3,6,7,8,21


(33)

Respon host terhadap Helicobacter pylori

H. pylori menimbulkan peradangan lambung pada semua pasien yang terinfeksi. Respon peradangan awal terdiri dari perekrutan sel radang neutrofil, yang diikuti oleh sel limfosit T dan B, sel plasma, dan makrofag, dan kerusakan sel epitel.

H. pylori jarang menginvasi mukosa lambung, respon host terutama dipicu oleh melekatnya bakteri ke sel epitel. Patogen berikatan dengan molekul permukaan MHC

kelas II (class II major-histocompatibility-complex) pada sel epitel lambung, dan merangsang apoptosis. Selanjutnya terjadi perubahan sel epitel yang tergantung pada protein yang dikode oleh cag-PAI dan pada translokasi CagA di dalam sel epitel lambung. Urease dan porin H. pylori dapat menimbulkan ekstravasasi dan kemotaksis sel radang neutrofil (gambar 2.6).1,7,16

Gambar 2.6. Interaksi antara pathogen-host di dalam patogenesis infeksi


(34)

Epitel lambung pasien yang terinfeksi H. pylori menunjukan peningkatan kadar

IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, dan TNF-α. Di antara semua kemokin ini, IL-8 merupakan tampilan kemokin yang paling kuat dan paling penting untuk mengaktifasi neutrofil pada sel epitel lambung. Strain H. pylori yang memiliki cag-PAI memberi rangsangan respon interleukin yang lebih kuat dibandingkan strain H. pylori dengan

cag yang negatif. Respon ini tergantung pada aktifasi NFk B (Nuclear Factor k B) dan respon awal aktifator dari faktor transkripsi protein 1 (AP-1). Protein permukaan

H. pylori mempunyai berat molekul 150-kD, merupakan protein pengaktif fagositosis neutrofil, namun hubungannya terhadap keadaan klinis masih belum diketahui. Infeksi H. pylori dapat merangsang respons sistemik dan humoral mukosa. Produksi antibodi ini tidak mengeradikasi infeksi, namun dapat menambah kerusakan jaringan. Sebagian pasien yang terinfeksi H. pylori mempunyai respon auto-antibodi yang langsung terhadap H+/K+–ATPase sel parietal lambung yang berkorelasi dengan meningkatnya atrofi pada korpus. Selama respon imun spesifik, berbagai sub-group sel T akan terpicu. Sel-sel ini berpartisipasi dalam proses proteksi mukosa dan membantu membedakan bakteri patogen dari yang komensal. Sel T-helper (Th-0) yang imatur menampilkan CD4 yang dapat berdiferensiasi menjadi dua sub-tipe fungsional yaitu: sel Th1, yang mensekresi IL-2 dan interferon; dan sel Th2 yang mensekresi IL-4, IL-5 serta IL-10. Sel Th2 merangsang sel B dalam meresponi patogen ekstraseluler, sedangkan sel Th1 merangsang respon terhadap patogen intraseluler. Karena H.pylori bersifat non-invasi dan kuat merangsang respon humoral, maka yang diharapkan adalah respon sel Th2. Secara bertolak belakang, sel-T mukosa lambung H. pylori spesifik menunjukkan fenotipe Th1. Penelitian tikus targeting gen selanjutnya menunjukkan sitokin Th1 yang menimbulkan gastritis, sementara sitokin Th2 memproteksi peradangan lambung. Orientasi Th1 ini meningkatkan produksi IL-18 antral dalam meresponi infeksi H. pylori.1,4,7,8,

Biasanya respons Th1 ini, bersamaan dengan apoptosis yang diperantarai Fas

dari klon sel-T H.pylori spesifik, cendrung menyebabkan H pylori menetap. Sebagai tambahan terhadap kerusakan yang dihubungkan dengan translokasi protein yang


(35)

diperantarai cag-PAI, infeksi H.pylori menghasilkan jejas epitel dengan berbagai mekanisme. Kerusakan sel epitel karena reaksi oksigen atau spesies nitrogen yang dihasilkan oleh aktifasi neutrofil. Peradangan kronik juga meningkatkan pergantian dan apoptosis sel epitel, yang merupakan campuran efek kontak yang diperantarai

Fas langsung terhadap epitel dan sel Th1 serta IF-ɤ. Kadar tampilan Fas, NF-kB, dan

MAP (mitogenassociated protein kinase), sebaliknya dipengaruhi oleh IL-1b. Polimorfisme pro-inflammasi dari gen IL-1b cendrung berkembang dari gastritis terutama pada korpus lambung yang berkaitan dengan hipokhlorhidria, gastrik atrofi, dan adenokarsinoma lambung. Pada gastritis yang tidak ditemukan polimorfisme pro-inflamasi perkembangannya lebih cendrung di antrum yang dikaitkan dengan kadar sekresi asam normal hingga tinggi.1,7,8

Morfologi. Pada umumnya infeksi H. pylori dijumpai pada jaringan biopsi lambung. Organisme ini berada pada mukosa permukaan sel epitel di daerah

permukaan dan bagian leher dari ‘pit’. Penyebarannya tidak merata, daerah dengan

kolonisasi yang banyak organism dapat berbatasan dengan daerah yang kolonisasinya sedikit. H. pylori terdapat pada epitel lambung, dan pada umumnya tidak dijumpai pada metaplasia intestinal lambung maupun epitel duodenum. Namun pada daerah metaplasia pilorik yang terjadi karena jejas yang kronik di duodenum maupun mukosa jenis lambung pada esofagus Barrett mungkin dapat ditemukan. Pada lambung, H. pylori sering terdapat pada antrum. Pada pemeriksaan endoskopi mukosa antral yang terinfeksi tampak eritema, permukaan kasar, kadang-kadang berupa nodular. Sebukan sel-sel radang neutrofil terdapat pada lamina propria, kadang-kadang dapat ditemukan intra-epitel (gambar 2.7) dan terkumpul pada lumen

‘pit’ lambung menbentuk ‘abses pit’. Pada lamina propria superfisial terdapat sebukan berat atau kelompokan sel plasma, limfosit dan makrofag. Sel neutrofil intra-epitel dan sel plasma pada sub-intra-epitel merupakan ciri khas pada gastritis Helicobacter pylori, Sebukan peradangan dapat membentuk penebalan pada lipatan rugae, yang menyerupai lesi awal sebukan.3,4,5,7


(36)

Gambar 2.7. Gastritis Helicobacter pylori.

(A). H. pyloriberbentuk spiral dengan pewarnaan ‘Warthin-Starry silver’. Organism banyak dijumpai pada permukaan mukosa; (B). Neutrofil banyak terdapat pada intra-epithelial dan lamina propria; dan (C). Kelompokan limfoid

dengan ‘germinal center’ dan sel plasma yang banyak dijumpai pada sub-epitel di lamina propria superfisial merupakan ciri khas gastritis H. pylori.3

Gastritis Helicobacter pylori yang kronis dapat meluas hingga ke korpus dan fundus lambung, mukosa mengalami atrofi. Kelompokan limfoid kadang disertai

‘germinal center’ (gambar 2.7.C), membentuk jaringan limfoid mukosa (MALT/ Mucosa-associated lymphoid tissue), yang dapat berubah menjadi limfoma.1,2,3,4,9


(37)

Pengidentifikasian Helicobacterpylori

Helicobacterpylori dapat dikenali dengan pewarnaan hematoksilin-eosin rutin. Mikro-organisme ini berupa eosinofilik batang yang sedikit melengkung mirip dengan cairan mukus di lambung, dapat mengkontaminasi flora mulut dan membran sel epitel lambung (Gambar 2.7.A dan 2.8). Selama pengobatan, organisme ini dapat

berubah bentuk berupa huruf ‘U’, melingkar, bentuk batang yang ireguler maupun

kokoid.3,5,7,14

Gambar 2.8. H. pylori yang melekat pada epitel lambung, berupa batang kecil kehitaman (panah), terdapat pada permukaan epitel dan di dalam lumen kelenjar.

Pada bagian mukosa dijumpai sebukan sel-sel radang.3,5,7

Secara histologi, bentuk kokoid yang solid, bulat, basofilik, berukuran

0,4-1,2μm. Bentuk ini menyerupai bakteri non-patogen, spora jamur dan cryptosporidia. Namun densitas Helicobacterpylori ini rendah, sehingga untuk mendeteksinya dapat dibantu dengan pewarnaan spesial termasuk Giemsa, Warthin-Starry atau Steiner silver (gambar 2.8.), Alcian yellow-toluidine blue, Wright-Giemsa, Brown-Hopps,

acridine orange, Diff-Quik stains, pewarnaan Genta dan imunohistokimia. Tidak ada kelebihan antara satu jenis pewarnaan dengan yang lainnya, namun diagnosa yang pasti dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia.4,19,20 Teknik pemeriksaan


(38)

pemeriksaan PCR untuk mendeteksi Helicobacter pylori didapatkan sekitar 20% terdeteksi pada kasus dengan biopsi lambung yang negatif.3,5,6,7,8

2.2.4. Metaplasia

Perubahan metaplasia mukosa lambung dapat terjadi pada gastritis kronis. Ada dua jenis metaplasia yaitu metaplasia pilorik pada mukosa fundus dan metaplasia intestinal. Keadaan ini dapat terjadi secara bersamaan. Pada metaplasia intestinal, kelenjar mukosa kelenjar lambung jenis fundik digantikan oleh mukosa kelenjar penghasil mukus. Proses ini berlangsung secara bertahap yang berlanjut sepanjang perbatasan fundus ke pilorik dan bergerak kea rah proksimal menuju daerah kardia. Metaplasia intestinal dihubungkan terhadap pergantian mukosa lambung yang progresif oleh epitel usus baik usus halus maupun usus besar, yang mengandung sel goblet, sel absorptif (brush border), sel Paneth, dan beragam sel endokrin. Sel yang bersilia juga mungkin dapat dijumpai. Metaplasia intestinal dapat diklasifikasikan menjadi jenis komplet (tipe-1) dan tidak komplet (tipe-2). Pada metaplasia yang komplet, perubahan mukosa lambung menjadi bentuk yang identik terhadap epitel usus halus, pada kasus yang lebih lanjut bias dijumpai villi dan kripta. Pada metaplasia yang tidak komplet, tidak dijumpai sel absorptive, namun sel kolumnar dengan gambaran sel foveolar lambung masih tersisa. Secara histokimia, terdapat musin yang prominen pada metaplasia intestinal komplet yaitu berupa sialomusin, dan sedikit sulfomusin atau musin yang netral; sedangkan pada jenis yang tidak komplet lebih banyak dijumpai musin netral (jenis II-A) atau sulfomusin (jenis II-B). Pada pemeriksaan imunohistokimia, metaplasia intestinal tipe-1 ditandai dengan jenis musin usus MUC2, sedangkan MUC1, MUC5AC dan MUC6 sedikit atau tidak ada. Metaplasia tipe-II, menampilkan MUC2 dan musin normal pada lambung secara bersamaan. Metaplasia intestinal juga menunjukkan imunoreaktif yang tinggi untuk mensekresi immunoglobulin dan antigen terhadap sel-T (Thomsen–Friedenreich), yang mengindikasikan musin glikosilasi aberant. Kelenjar dengan metaplasia intestinal juga imunoreaktif terhadap antigen hepatosit (Hep-Par-1) dan terhadap


(39)

guanylyl cyclase C (suatu reseptor selektif yang ditampilkan oleh sel epitel). Hubungan metaplasia intestinal pada lambung dan H. pylori menarik. Biasanya H. pylori tidak dijumpai pada fokus metaplasia intestinal tipe-1, namun sering dijumpai pada fokus tipe-2. Metaplasia intestinal tipe-2B mempunyai hubungan yang kuat terhadap karsinoma lambung tipe intestinal dibandingkan tipe lainnya, namun hal ini masih diperdebatkan sampai saat ini.2,4,21,22,25,26

2.2.5. Gastritis Atrofi

Gastritis kronik atrofi, merupakan suatu proses peradangan kronik hebat yang bersamaan dengan atrofi pada kelenjar. Manifestasi atrofi kelenjar ditandai dengan jarak antara satu kelenjar dengan kelenjar lainnya berjauhan, dan terdapat peningkatan jumlah jaringan ikat retikulin pada lamin propria. Berdasarkan perbandingan antara ketebalan bagian kelenjar terhadap seluruh ketebalan mukosa lambung, gastritis kronik atrofi ini dapat dikategorikan menjadi gastritis atrofi ringan, sedang dan berat. Gastritis kronik atrofi harus dibedakan terhadap atrofik gastrik. Atrofi gastrik, merupakan stadium akhir gastritis kronik atrofi. Secara endoskopi dan makroskopis, gastritis kronik atrofi maupun atrofi gastrik menunjukkan otot mukosa yang tipis, pembuluh darah sub-mukosa menonjol. Jika lapisan mukosa menipis tanpa disertai sebukan sel-sel radang, ini menandai suatu atrofi gastrik. Peningkatan derajat atrofi pada umumnya berhubungan terhadap dilatasi kistik kelenjar dan metaplasia. Terdapat hubungan yang erat antara tingkat atrofi gastrik seperti yang diduga pada biopsi endoskopik dan pemeriksaan sekresi asam. Namun tidak ada hubungan antara penemuan histopatologi terhadap gejala, gambaran radiologi dan gastroskopi. Gastritis kronik atrofi pada umumnya dapat dijumpai pada karsinoma lambung, dan pada umumnya keadaan yang berat sesuai dengan tingkat perluasan tumor.1,3,4,21,24


(40)

2.2.6. Displasia

Gastritis kronik yang menimbulkan radikal bebas dihubungkan dengan peradangan dan rangsangan proliferasi sel epitel. Dengan berjalannya waktu, faktor stress menimbulkan penimbunan kelainan genetik yang dapat menyebabkan degenerasi malignansi (karsinoma). Akhir-akhir ini telah diketahui bahwa sebagian besar karsinoma lambung bersamaan dan sering didahului oleh fase displasia. Bila ditemukan displasia pada sediaan biopsi, harus hati-hati kemungkinan adanya karsinoma dan pasien mungkin berisiko tinggi berkembang menjadi karsinoma lambung. Risiko ini paling banyak terjadi di Negara Asia dan Eropa dibandingkan dengan Amerika Serikat.2,3,7

Morfologi displasia ditandai dengan meningkatnya proliferasi sel disertai kelainan konfigurasi ukuran dan bentuk sel epitel yang beragam, inti membesar, kromatin kasar dan hiperkromatik. Sekresi mucus berkurang atau tidak ada, perbandingan inti dan sitoplasma meningkat (N/C ratio meningkat), kehilangan polaritas sel, dan pseudostratifikasi. Jumlah mitosis meningkat, sebagian mitosis atipik. Kelainan sel bersamaan dengan kelainan arsitektur kelenjar, berupa

percabangan dan ‘budding’. Displasia kadang-kadang sulit dibedakan dari hiperplasia regeneratif. Ini merupakan tantangan untuk ahli patologi dalam membedakannya, karena peningkatan proliferasi epitel dan gambaran mitotik dapat ditemukan pada kedua keadaan ini.Sel epitel matur yang reaktif mencapai permukaan mukosa, sementara lesi displasia secara sitologi masih imatur.1,2,3,4,7

Displasia lambung dapat dibagi atas tiga jenis: (1). Intestinal (adenomatous, tipe-1), (2). Gastrik (foveolar, tipe-2); dan (3). Sub-tipe kombinasi (hybrid), yang mempunyai perbedaan gambaran tampilan musin dan petanda lainnya. Banyak system yang menunjukkan tingkatan displasia sub-tipe ini, sistem yang paling sering digunakan adalah yang membaginya dalam dua kategori yaitu low grade dan high grade. Displasia high grade dapat disinonimkan dengan karsinoma in-situ (CIS) dan


(41)

harus dibedakan dari karsinoma intra-mukosa, dimana proses ini telah dijumpai kerusakan pada basal membran. Konsep yang telah direkomendasikan bersamaan oleh beberapa kelompok ahli patologi bahwa biopsi lambung dapat dikelompokan dalam pelaporan menjadi kategori: (1). Negatif untuk displasia; (2). Indefinitr untuk displasia; (3). Displasia low grade; (4). Displasia high grade atau karsinoma in-situ; (5). Karsinoma intra mukosa; dan (6). Karsinoma invasif. 4,7,23

2.3.Tukak Peptik

Tukak peptik dapat terjadi pada semua tempat di saluran cerna yang terpapar cairan asam lambung, namun yang paling sering adalah pada daerah antrum lambung dan bagian pertama dari duodenum. Tukak duodenum paling sering dijumpai pada pasien sirosis hati, penyakit paru obstruksi kronik, gagal ginjal kronik dan hiperparatiroid. Pada gagal ginjal kronik dan hiperparatiroid, stress psikologi eksogen mungkin meningkatkan produksi asam lambung. Tukak peptik juga dapat terjadi pada esofagus yang menimbulkan GERD (gastro esophageal reflux disease) atau sekresi asam yang dihasilkan oleh mukosa lambung yang ektopik. Mukosa lambung yang terdapat pada divertikulun Meckel dapat menyebabkan tukak peptik pada mukosa di sekitarnya.3,4,7,17,25

Tukak lambung bisa terjadi secara akut maupun kronik. Pada tukak lambung akut, kerusakan mukosa lambung bersifat fokal dan merupakan komplikasi dari pengobatan NSAIDs. Penyebab lainnya bias berupa stress psikologi berat. Berdasarkan lokasi dan hubungan klinisnya, tukak lambung mempunyai penamaan spesifik, seperti: (a). Tukak stress (stress ulcers), paling sering terjadi pada pasien yang shok, sepsis, atau trauma berat; (b). Tukak Curling, tukak pada bagian proksimal duodenum yang dihubungkan dengan luka bakar berat/trauma; (c). Tukak

Cushing, yaitu tukak yang terdapat pada lambung, duodenum maupun esofagus yang timbul pada pasien dengan penyakit intra-kranial, tukak ini sering menimbulkan perforasi.3 Patogenesis tukak akut sangat kompleks dan belum diketahui dengan


(42)

jelas. Tukak yang dirangsang oleh penggunaan NSAID dihubungkan dengan inhibisi

cyclooxygenase. Pencegahan sintesis prostaglandin, yang meningkatkan sekresi bikarbonat, inhibisi sekresi asam, merangsang sintesa musin, dan meningkatkan perfusi pembuluh darah. Lesi dihubungkan dengan jejas intra-kranial diduga karena rangsangan langsung terhadap inti vagal, yang menyebabkan sekresi yang berlebihan dari asam lambung. Asidosis sistemik, sering ditemukan pada keadaan ini, mungkin juga dapat menimbulkan jejas mukosa karena penurunan pH intra selular sel mukosa. Hipoksia dan penurunan aliran darah disebabkan oleh vasokonstriksi splanchnic yang dirangsang stress juga merupakan patogenesis tukak akut.3,7,17,21,25

Pada tukak lambung kronis, sebagian kasus tukak lambung dihubungkan dengan gastritis antral dan gastritis fundal. Bila tukak peptik terjadi di duodenum, biasanya bersamaan dengan gastritis yang hanya terbatas pada antrum. Hiperasiditas lambung yang menimbulkan tukak peptik mungkin disebabkan oleh infeksi

Helicobacter pylori, hiperplasia sel parietal, respon sekretori yang berlebihan, atau kegagalan mekanisme inhibisi rangsangan seperti pelepasan gastrin.3,7,17,21

Morfologi. Tukak peptik empat kali lebih sering dijumpai pada duodenum proksimal dibandingkan lambung. Tukak duodenum biasanya terdapat beberapa cm dari katup pilorik pada bagian dinding anterior duodenum. Tukak peptik terutama berlokasi sepanjang kurvatura minor di dekat perbatasan korpus dan fundus. Lesi tukak lambung lebih dalam daripada erosi, melewati lapisan mukosa. Tukak peptik biasanya lebih dari 80% berbentuk soliter. Tukak peptik yang klasik bentuknya bulat, pinggir tukaknya tegas Pada tukak akut, bentuk tukaknya bulat dan diameternya lebih dari 1cm. Dasar tukak sering berwarna coklat hingga kehitaman karena asam lambung yang bercampur dengan darah, disertai peradangan transmural dan serositis lokal. Berbeda dengan tukak peptik yang timbul karena jejas kronik, pada tukak stress akut dapat ditemukan pada berbagai tempat di lambung. Lipatan rugae lambung masih dalam normal, bagian pinggir dan dasar tukak datar. Tukak bisa soliter atau multipel pada lambung dan duodenum. Secara mikroskopis, tukak stress


(43)

akut berbatas tegas, dengan mukosa di sekitarnya normal. Tergantung pada lamanya tukak, mungkin dijumpai perdarahan dan reaksi peradangan pada mukosa dan sub-mukosa. Berbeda dengan tukak peptik kronik, pada tukak stress akut tidak dijumpai jaringan parut/skar maupun penebalan dinding pembuluh darah. Tukak dapat sembuh sempurna dengan terjadinya re-epitelisasi setelah faktor penjejas hilang. Lamanya massa penyembuhan bervariasi, bisa beberapa hari sampai beberapa minggu.3,4,5,7,17

Tukak peptik yang berdegenerasi menjadi ganas sangat jarang, dan hasil pelaporan kemungkinan perubahan yang berasal dari tukak peptik jinak adalah sejak awalnya tukak tersebut merupakan suatu tukak yang ganas.1,2,3,4,17

2.4.Kanker Lambung

Merupakan jenis keganasan yang paling sering ditemukan pada lambung (> 90% dari semua kanker di lambung). Gejala awal hampir sama dengan gastritis kronik, berupa dispepsia, sulit menelan (dysphagia) dan mual. Tumor ini sering ditemukan pada stadium lanjut, dengan keluhan menurunnya berat badan, anoreksia, gangguan kebiasaan habit, anemia dan perdarahan yang memicu pemeriksaan diagnosa selanjutnya.7 Insidennya menurun pada beberapa Negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, namun masih tetap tinggi pada Negara lainnya seperti Jepang, Chili dan Itali. Peningkatan insidensi ini terbukti bahwa faktor genetik berperanan penting karena 10% dari penyakit ini terdapat pada kelompok keluarga. Sebagian besar pasien berumur di atas 50 tahun, namun juga pernah tercatat kasus-kasus pada individu berusia muda dan anak-anak. Pada kasus yang dijumpai pada usia sangat muda dan sangat tua, menunjukkan beberapa perbedaan klinikopatologi terhadap kelompok umur insidensi yang umumnya terjadi.1,2,3,8,12,15

Patogenesis karsinoma lambung sporadik adalah multifaktorial yang berhubungan erat terhadap faktor lingkungan maupun faktor host. Proses karsinogenesis ini melibatkan progresifitas dari gastritis kronis menjadi atrofi dengan


(44)

hipokhlorhidria/akhlorhidria, metaplasia intestinal, displasia, dan adenokarsinoma (Gambara 2.9).8

Gambar 2.9. Perjalanan alamiah infeksi Helicobacterpylori.8

Karsinoma lambung biasanya berasal dari sel basal (sel generatif atau sel punca) foveolar yang terdapat pada bagian leher kelenjar antral dan fundal, dengan latar belakang gastritis kronik atrofi, metaplasia intestinal dan displasia, karsinoma in-situ, dan karsinoma superfisial. Sebagian bisa berasal dari jaringan pankreatik heterotropik atau pelapis epitel kista sub-mukosa pada dinding lambung, namun ini sangat jarang. Riwayat hipokhlorhidria sebelumnya dapat dijumpai pada 85-90% karsinoma lambung. Peningkatan pH di dalam lambung dapat merangsang pertumbuhan bakteri yang menekan nitrat dalam makanan menjadi nitrit, selanjutnya


(45)

mengkonversi amin di dalam nitrit menjadi komponen karsinogenik N-nitroso. Gastritis kronik yang bersamaan dengan karsinoma sering dijumpai, namun etiopatogenik hubungan antara keduanya dan risiko relatif untuk keganasan masih diperdebatkan. Infeksi H. pylori yang kronis menimbulkan gastritis kronis yang secara bertahap dapat mengakibatkan atrofi dan metaplasia intestinal. Keadaan ini dapat meningkatkan risiko 4-9 kali lebih tinggi terutama bila infeksi dimulai sejak usia anak-anak. Penekanan produksi asam yang kronis juga meningkatkan risiko perkembangan gastritis atrofi pada pasien gastritis H. pylori. Risiko terjadinya karsinoma lambung berhubungan dengan aspek virulensi H. pylori. Sitotoksin strain gen A (CagA) H. pylori yang positif meningkatkan kadar Il-8, merangsang peradangan dan meningkatkan risiko terjadinya kanker lambung.8,16,21,23,26

Namun pasien yang terinfeksi H. pylori sebagian besar tidak berkembang menjadi kanker lambung, dan hanya 20% pasien kanker lambung mempunyai seronegatif untuk H. pylori. Oleh sebab itu diperkirakan faktor lingkungan dan host penting di dalam pathogenesis penyakit ini. Diet tinggi garam (ikan atau daging yang dikeringkan atau diasinkan, kecap, ikan yang diasap, makanan yang diawetkan), rendah kadar mikronutrisi, vitamin dan anti-oksidan membentuk agent genotoksik di dalam lumen. Sebaliknya, diet tinggi sayuran segar, buah-buahan dan asam askorbik menurunkan risiko terjadinya kanker lambung. Refluks asam empedu dihubungkan dengan operasi ‘stump’ pada adenokarsinoma. Pada faktor host, polimorfisme gen

IL-1 untuk peradangan, yang berperan dalam terjadinya hipokhlorhidria dan atrofi, meningkatkan risiko kanker lambung pada pasien yang terinfeksi H. pylori. Genotipe

IL-1 untuk peradangan ini mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko kanker lambung tipe intestinal, namun tidak berhubungan dengan yang tipe difus. Kaskade karsinogenesis lambung multistep dimulai dengan peradangan-metaplasia-karsinoma dikenal sebagai kaskade Corea.1,8,16,21


(46)

2.4.1. Lesi pre-kanker

Lesi pre-kanker pada lambung berupa atrofi mukosa dan metaplasia intestinal serta displasia (atau adenoma kalau berupa lesi polipoid). Sebagian besar displasia

epitel lambung (adenoma) mempunyai fenotipe ‘intestinal’ yang mirip adenoma

kolon. Selain itu variant histologi lainnya yaitu displasia hiperplastik (tipe II) juga

mempunyai fenotipe ‘intestinal’. Displasia pada tubulus leher (atau globoid) diduga

merupakan prekursor kanker lambung jenis difus.1,3,4

2.4.2. Kanker dini lambung (KDL atau EGC/Early Gastric Cancer)

Kanker dini lambung didefinisikan sebagai adenokarsinoma invasinya terbatas pada lapisan mukosa atau sub-mukosa, tanpa memperhatikan apakah sudah terjadi metastasis ke KGB atau belum. Di Negara Barat KDL dijumpai sekitar 15-20% yang terdiagnosa sebagai kasus baru KDL, sedangkan di Jepang sekitar lebih dari 50% kasus baru. Peningkatan prevalensi kanker lambung, penggunaan endoskopi saluran cerna bagian atas dan kromoendoskopi serta perbedaan kriteria diagnosa yang menyebabkan perbedaan studi di Negara Barat dan Jepang ini.1,3,4,7

Demikian juga dengan displasia, sebagian besar KDL terdiagnosa pada umur di atas 50 tahun, yang lebih muda dibandingkan adenokarsinoma lanjut, mencerminkan bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk perkembangan KDL menjadi kanker lanjut lambung (KLL). KDL berukuran 2-5cm, sering berlokasi pada kurvatura minor di daerah sekitar angulus, dan 3-13% pasien menunjukkan lesi primer yang berlokasi multipel dan mempunyai prognosa yang buruk. Berdasarkan gambaran endoskopinya, KDL dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu: pertumbuhan yang menonjol (tipe 1); pertumbuhan superfisial (tipe 2); dan pertumbuhan yang membentuk tukak atau excavation (tipe 3). Tipe dapat dibagi lagi menjadi 2A (meninggi); 2B (datar); dan 2C (melekuk ke dalam atau depressed). Gambaran pertumbuhan tipe 2 yang paling banyak (80%) terutama tipe 2C. Gambaran


(47)

endoskopi menunjukkan indikator jumlah metastasis ke KGB yang baik, terutama yang KDL tipe 1A dan 2A.1,2,3,4,7

Gambaran mikroskopis variant KDL telah dilaporkan. KDL minute berukuran kurang dari 5mm terbatas pada lapisan mukosa, namun 15% dari kasus ditemukan meluas sampai ke lapisan sub-mukosa. Penyebaran superfisial KDL ditandai dengan ukurannya yang lebar, daerah di sekitar tukak dengan sel-sel tumor yang menyebar luas di mukosa. KDL pada umumnya berdiferensiasi baik, dengan variant tubuler (52%) dan papillary (37%). Kadang-kadang ini sulit dibedakan dari displasia karena minimalnya invasi ke jaringan sekitar. Karsinoma sel ‘signet ring’ dijumpai sekitar 26%) dan karsinoma berdiferensiasi buruk sekitar 14%, dan biasanya tipe-2C dan tipe 3. KDL tipe difus cendrung menginvasi lebih dalam.3,4,5

Penanganan kasus KDL masih diperdebatkan, 63% KDL yang tidak menjalani operasi berkembang menjadi karsinoma lanjut dalam waktu 6-88 bulan. Dan pada pasien yang menjalani pembedahan, mempunyai prognosa yang lebih baik, dengan angka harapan hidup 5 tahun lebih dari 90%. Bila ukuran lesi sangat kecil, jarang berisiko invasif. Reseksi mukosa secara endoskopi (EMR/Endoscopic mucosal resection) menjadi pilihan pengobatan untuk KDL, yang biasanya ditemukan dengan USG endoskopi untuk staging. Kriteria utama KDL untuk penanganan EMR yaitu: (1). Lesi menonjol (elevated) yang berdiameter kurang dari 2cm; (2). Lesi yang berlekuk (depressed) tanpa tukak yang berdiameter kurang dari 1cm; dan (3). Belum bermetastasis ke KGB.1,3,4,5

2.4.3. Karsinoma lanjut lambung (KDL/Advanced gastric carcinoma)

Karsinoma lanjut lambung didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi dinding lambung melebihi lapisan sub-mukosa. Lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 2 : 1, pada dekade ke-5 hingga ke-7. Gejala klinis berupa nyeri epigastrik, dispepsia, anemia dan berat badan menurun serta


(48)

hematemesis dan gejala penyumbatan. Pada pasien usia muda, dapat terjadi penyebaran intra-abdomen. Pada pasien wanita sel kanker difus dapat disertai metastasis ke ovarium yang dikenal dengan Krukenberg’stumors.3,4,5

Gambaran patologi KLL secara makroskopis dapat berupa pertumbuhan yang eksofitik, tukak, infiltrasi atau kombinasi ketiganya. Kalsifikasi Borrman masih digunakan secara luas dan membagi adenokarsinoma menjadi 4 jenis yaitu: (1). Karsinoma polipoid (tipe 1); (2). Karsinoma fungating (tipe 2); (3). Karsinoma ulserating (tipe 3); dan (4). Karsinoma infiltrasi difus atau linitis plastica. KLL tipe 2 ditemukan 36% dari semua karsinoma lambung, sering dijumpai pada daerah antrum di kurvatura minor. Sedangkan tipe 1 dan 3 masing-masing hanya 25% dari semua kasus dan sering berlokasi di korpus pada kurvatura mayor. Secara mikroskopis, KLL mempunyai gambaran yang beragam baik sitologi maupun arsitekturnya. Sering dijumpai gambaran yang bersamaan dari ke-4 tipe tersebut. Secara sitologi, kombinasi jenis sel foveolar lambung, intestinal dan sel endokrin dapat ditemukan pada semua bagian tumor. Untuk membedakan komponen sel dapat digunakan pewarnaan histokimia musin dan imunohistokimia seperti MUC1, MUC2, MUC5AC, MUC6, dan CD10).1,3,4,5

Adenokarinoma lambung dapat dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan klasifikasi Lauran yaitu: tipe intestinal, difus dan undifferentiated. Sedangkan menurut WHO, adenokarsinoma lambung juga mengenal 4 jenis lainnya yaitu adenoskuamus, skuamus, karsinoma sel kecil dan variant morfologi lainnya, yang merupakan tambahan terhadap klasifikasi Lauren.1,3,4,5


(49)

(50)

Bab 3 Metode Penelitian

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian pada penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan secara crosssectional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sentra Diagnostik dan laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2012, yang meliputi pengumpulan data, pengumpulan sampel, penelitian, serta pengolahan data dan hasil penelitian.

3.3. Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan biopsi lambung yang didagnosa sebagai gastritis pada Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari jaringan biopsi lambung yang sesuai dengan kriteria inklusi dan sesuai dengan besar sampel penelitian.


(51)

3.4. Jumlah sampel

Besar sampel dalam penelitian ini diperkirakan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus uji hipotesis terhadap dua proporsi,sebagai berikut:

Keterangan:

 n = besarsampel n1 = n2 = n3

 Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan (untuk α = 0,05  Zα = 1,96)

 Z = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai  yang ditentukan (untuk  = 0,10  Z = 1,282)

 P1 = proporsi penderita gastritis = 0,83  menurut salah satu penelitian oleh Santacroce L.29

 Q1 = 1 – P1 = 1 – 0,83 = 0,17

 P2 = proporsi penderita lesi gastritis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 53% atau 0,53.

 Q2 = 1 – P2 = 1 – 0,53 = 0,47

 P = ½ (P1 + P2) = ½ (0,83 + 0,53) = 0,68  Q = 1 - P = 1 – 0,68 = 0,32

Hasil perhitungan:

n = [ (1,96 / 2 (0,68)(0,32) + 1,282 / (0,83)(0,17) + (0,53)(0,47) ]2 (0,30)2

= [0,9114 + 0,79484]2 (0,30)2

= 32,34  33 sampel minimal

Dalam penelitian ini sampel ditambah sebanyak 25% dari jumlah awal sehingga menjadi 42 sampel.

n = (Zα / 2PQ + Z / P1Q1 + P2Q2)

2


(52)

3.5. Kriteria Penelitian 3.5.1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sediaan blok paraffin dari jaringan biopsi lambung dengan slaid pewarnaan Hematoksilin Eosin yang terdiagnosa sebagai gastritis.

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Sediaan blok parafin yang terdiagnosa sebagai lesi pre-kanker (gastritis atrofi, metaplasia intestinal, displasia) dan tukak lambung.

2. Sediaan blok parafin yang terdiagnosa sebagai karsinoma lambung.

3. Sediaan blok parafin yang rusak dan tidak dapat diproses lebih lanjut dengan pulasan imunohistokimia Helicobacterpylori.

3.6. Kerangka Operasional

Slide biopsi lambung (pewarnaan HE) di Laboratorium Patologi Anatomi FK-USU Medan

Pembacaan Ulang

Gastritis Lesi pre-kanker (gastritis atrofi, metaplasia

intestinal, displasia)

Karsinoma lambung

Potong Ulang blok parafin

Pewarnaan histokimia Giemsa Pewarnaan imunohistokimia


(53)

Keterangan:

= Kriteria eksklusi

3.7. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti di dalam penelitian ini adalah:  Variabel independent (bebas) yaitu gastritis

 Variabel dependent (terikat) yaitu mikroorganisme Helicobacter pylori yang terwarnai (ditemukan) dengan pewarnaan histokimia Giemsa maupun dengan pewarnaan imunohistokimia Helicobacterpylori.

3.8. Definisi operasional

 Gastritis adalah proses peradangan pada mukosa lambung. Terbagi atas gastritis akut dan gastritis kronis.

 Gastritis akut merupakan proses peradangan mukosa yang bersifat sementara yang mungkin tanpa disertai gejala atau dengan gejala berupa berbagai tingkat nyeri di uluhati, mual dan muntah.

 Gastritis kronik dapat diklasifikasikan menjadi gastritis kronik superfisial dan gastritis kronik atrofi. Pada gastritis kronik superfisial, sebukan sel-sel radang terbatas pada daerah foveolar dan tidak dijumpai atrofi kelenjar. Kelainan epitel bisa juga dijumpai, berupa penurunan jumlah musin sitoplasma, pembesaran inti dan nukleoli, kadang-kadang terjadi peningkatan jumlah mitosis. Sedangkan pada gastritis kronik atrofi, proses peradangannya lebih hebat dan bersamaan dengan atrofi pada kelenjar. Gastritis fokal ditandai dengan sel-sel radang limfosit dan histiosit (kadang bercampur dengan sel neutrofil) yang berkelompok dan mengelilingi sebagian kelenjar.

 Lesi pre-kanker pada lambung berupa atrofi mukosa dan metaplasia intestinal serta displasia (atau adenoma kalau berupa lesi polipoid).


(1)

19.Ezyaguirre EJ, Walker DH, Zaki SR. Immunohistology of infectious diseases. In: Dabbs DJ, Editor. Diagnostic immunohistochemistry: theranostic and genomic applications. 3rd Ed.Saunders Elsevier.2010; p.58-82.

20.Krasinskas AM, Goldsmith JD. Immunohistology of the gastrointestinal tract. In: Dabbs DJ, Editor. Diagnostic immunohistochemistry: theranostic and genomic applications. 3rd Ed.Saunders Elsevier.2010;p.500-40.

21.Konturek JW. Discovery by Jaworski of helicobacter pyloriand its pathogenetic role in peptic ulcer, gastritis and gastric cancer. Journal of physiology and pharmacology 2003;54(S3): 23-41. Avaiable at: www.jpp.krakow.pl.[cited 2011 July 10]

22.Zhu S, et al. Alterations of gastric homeoprotein expression in Helicobacter pylori infection, incisural antralisation, and intestinal metaplasia. Spinger. DigDisSci 2009;54:996–1002. [cited 2011 May 12]

23.Hatakeyama M. Helicobacter pylori and gastric carcinogenesis. Spinger. J.Gastroenterol.2009;44:239–248.[cited 2011 May 12]

24.Kusters JG, Vliet AHM, and Kuipers EJ. Pathogenesis of Helicobacter pylori infection. Clin Microbiol Rev.2006;19(3):449–90. [cited 2011 July 10]

25.Li XB, Ge ZZ, Chen XY, and Liu WZ. Duodenal gastric metaplasia and Helicobacter pylori infection in patients with diffuse nodular duodenitis. Braz J Med Biol Res.2007;40(7):897-902. Avaiable at: www.bjournal.com.br. [cited 2011 July 7]

26.Sundquist M, and Quiding-Jarbrink M. Helicobacter pylori and its effect on innate and adaptive immunity: new insights and vaccination strategies.

ExpertRev.Gastroenterol. Hepatol.2010;4(6):733-44. Avaiable at: www.expert-reviews.com. Cited 2011 December 5].

27.Santacroce L. In: Katz J. Editor. Helicobacter Pylori Infection.Updated: Sep 22, 2011. Downloaded from: http://emedicine.medscape.com/article/176938-overview#a0199.


(2)

LAMPIRAN – 1

Data sampel dalam penelitian

NO. No. Slide Sex Umur Asal

Jaringan

Giemsa IHC

Intensitas Luas I x L Skor

1 H.11.114 L 35 Gaster 0 0 0 0 0

2 H.11.115 P 42 Gaster 0 3 3 9 3

3 H.11.119 L 57 Gaster 1 1 3 3 1

4 H.11.126 P 56 Gaster 0 0 0 0 0

5 H.11.130 P 41 Gaster 1 1 1 1 1

6 H.11.131 P 58 Gaster 1 3 2 6 2

7 H.12.132 L 54 Gaster 1 3 2 6 2

8 H.11.133 L 64 Gaster 1 2 2 4 2

9 H.11.136 L 50 Gaster 0 2 2 4 2

10 H.11.144 P 16 Gaster 1 2 2 4 2

11 H.11.145 L 51 Gaster 0 3 2 6 2

12 H.11.147 P 48 Gaster 0 0 0 0 0

13 H.12.161 L 42 Gaster 1 3 3 6 2

14 H.11.163 L 31 Gaster 0 0 0 0 0

15 H.11.202 L 60 Gaster 1 1 1 1 1

16 H.11.209 L 48 Antrum 0 2 3 6 2

17 H.11.212 L 56 Gaster 0 2 3 6 2

18 H.11.218 L 61 Gaster 0 3 3 9 3

19 H.11.251 L 44 Gaster 0 3 3 9 3

20 H.11.299 L 54 Gaster 1 1 1 1 1

21 H.12.011 P 68 Gaster 0 3 3 9 3

22 H.12.061 L 58 Gaster 0 0 0 0 0

23 H.12.065 L 26 Gaster 0 2 3 6 2

24 H.12.079 L 42 Gaster 1 3 3 9 3

25 H.12.097 L 62 Gaster 0 2 2 4 2

26 H.12.118 L 25 Gaster 0 0 0 0 0

27 H.12.119 P 33 Gaster 1 2 3 6 2

28 H.12.132 P 58 Gaster 0 1 1 1 1

31 H.12.117 P 38 Gaster 1 2 2 4 2

32 H.12.129 L 65 Gaster 0 0 0 0 0

33 H.12.138 P 31 Gaster 1 1 1 1 1

34 H.12.144 L 54 Gaster 1 1 2 2 1

35 H.12.171 L 71 Gaster 0 0 0 0 0

36 H.12.180 L 62 Gaster 0 1 1 1 1

37 H.12.181 P 58 Gaster 1 2 2 4 2

38 H.12.182 P 67 Gaster 1 2 3 6 2

39 H.12.184 L 70 Gaster 0 0 0 0 0

40 H.12.207 L 54 Gaster 1 1 2 2 1

41 H.11.291 L 44 Gaster 0 0 0 0 0

42 H.11.306 L 40 Gaster 1 3 3 9 3

43 H.11.150 P 75 Gaster 1 3 3 9 3


(3)

LAMPIRAN 2

Pengolahan data dengan menggunakan SPSS 17.0

Frequencies

Jenis Kelamin

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Laki-laki 28 66.7 66.7 66.7

Perempuan 14 33.3 33.3 100.0

Total 42 100.0 100.0

Umur

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

16-30 tahun 3 7.1 7.1 7.1

31-40 tahun 6 14.3 14.3 21.4

41-45 tahun 6 14.3 14.3 35.7

46-50 tahun 3 7.1 7.1 42.9

51-55 tahun 5 11.9 11.9 54.8

56-60 tahun 8 19.0 19.0 73.8

61-75 tahun 11 26.2 26.2 100.0

Total 42 100.0 100.0

Descriptives variables = umur /statistics = mean std dev. min max. Descriptives

Descriptive Statistics

n Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Umur 42 16 75 51.05 14.159


(4)

Frequencies

Pewarnaan Giemsa

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Negatif 22 52.4 52.4 52.4

Positif 20 47.6 47.6 100.0

Total 42 100.0 100.0

Pewarnaan Imunohistokimia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Negatif 10 23.8 23.8 23.8

Positif 32 76.2 76.2 100.0

Total 42 100.0 100.0

Pewarnaan Imunohistokimia

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Negatif 10 23.8 23.8 23.8

Positif Ringan 9 21.4 21.4 45.2

Positif Sedang 15 35.7 35.7 81.0

Positif Berat 8 19.0 19.0 100.0


(5)

Crosstabs

IHC * Giemsa Cross tabulation Giemsa

Total Positif Negatif

IHC Positif Count 20 12 32

% of Total 47.6% 28.6% 76.2%

Negatif Count 0 10 10

% of Total 0% 23.8% 23.8%

Total Count 20 22 42

% of Total 47.6% 52.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 11.932a 1 .001

Continuity Correctionb 9.558 1 .002

Likelihood Ratio 15.789 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

Linear-by-Linear Association

11.648 1 .001

N of Valid Cases 42

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.76.


(6)

LAMPIRAN 3

Gambaran mikroskopis pewarnaan histokimia Giemsa dan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori.

Gambar 1. Pewarnaan histokimia Giemsa. A. Menunjukkan hasil yang negatif (Giemsa, 40x); B. Positif dengan pewarnaan histokimia Giemsa (100x)

Gambar 2. Pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori. A. Memberi hasil yang negatif (1000x); dan B. Menunjukkan hasil pewarnaan yang positif (1000x).

A B