Tugas sosiologi hukum Chrestopol S Souis

(1)

Dayaguna Masohi Bagi Konflik Konflik

Yang

Ada Di Haria Porto

Tujuan dari materi ini adalah untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi di ambon dan menambah pengetahuan.

Dibuat Oleh : Chrestofol Septiagus Souisa

UNIVERSITAS PATTIMURA

Ambon Semester II II D


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Perubahan Perubahan sosial ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Yona selaku Dosen mata kuliah Sosiologi Hukum UNPATTI yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai dampak yang ditimbulkan dari Perubahan social , Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang

membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan. Ambon, 13 Mei 2015

Chrestofol Septiagus Souisa


(3)

Kata Pengantar ... . i

Daftar Isi ... . ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... ...1

C. Tujuan ... ...1

BAB II PEMBAHASAN ... ...2

A. Pengertian perubahan social... 2

B. Teori-teori Perubahan Sosial ... 3

C. Pengertian masohi dan apakah Masohi Masih Perlukah?...7

BAB II PENUTUP ... A. Kesimpulan ... ...12

B. Saran ... 12 DAFTAR PUSTAKA

... 13


(4)

BAB I

Pendahuluan

A. Latar belakang

Perubahan sosial merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan. Perubahan sudah, sedang, dan akan terus terjadi, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat. Sesuai dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat saat ini, perubahan sosial sudah berlangsung sangat pesat, baik itu perubahan yang sengaja direncanakan oleh para Agent of change maupun perubahan yang tidak direncanakan. Terjadinya perubahan social di kalangan masyarakat adalah hal yang wajar yang dialami oleh seluruh masyarakat di dunia. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama dalam mengartikan proses perubahan sosial. Dalam perkembangannya pun para ahli memperlihatkan perbedaan dalam memahami perubahan sosial. Menurut Thorsten Veblen, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sangat ditentukan oleh teknologi. Namun demikian, sulit untuk dibantahkan bahwa teknologi sangat memengaruhi sikap dan prilaku manusia. Namun tidak semua perubahan sosial yang terjadi di masyarakat selalu berdampak positif, akan tetapi disisi lain pasti memiliki dampak negatif. Hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan masyarakat disekitar kita. Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas

mengenai perubahan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar.

B. Rumusan masalah

Beberapa masalah yang dapat di jelaskan di dalam makalah ini :

A. Pengertian dan Pendapat parah ahli tentang perubahan perubahan social ?

B. Teori teori yang terdapat dalam materi Perubahan perubahan social ? C. Pengertian Masohi ?dan Apakah masohi masih di butuhkan di dalam

konflik haria porto ?

C. Tujuan penulisan

Manfaat membuat makalah ini

A. Untuk mengetahui hakekat perubahan sosial yang terjadi di Kota Ambon.


(5)

B. Agar dapat mencegah segala sesuatu konflik yang terjadi di ambon dan Indonesia

C. Agar kita lebih gampang memahami tentang perubahan social dengan ada nya contoh contoh didaerah sendiri.

BAB II

Pembahasan

A.

Pengertian Perubahan Sosial

Ada beberapa ahli sosiologi yang memberikan definisi perubahan sosial, antara lain.

a. J.L Gillin dan J.P Gillin

Perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup yang diterima, akibat adanya perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, kompoisisi penduduk, ideologi, maupun karena difusi dan penemuan baru dalam masyarakat.

b. Kingsley Davis

Mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik.

c. William F Ogburn

Mengemukakan ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.

d. Selo Soemardjan

Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

e. Samuel Koening

Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.

f. Mac Iver

Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.


(6)

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur sosial dan lembaga sosial masyarakat. Perubahan sosial meliputi perubahan dalam berbagai hal, seperti perubahan teknologi, perilaku, sistem sosial dan norma. Perubahan tersebut mempengaruhi individu dalam masyarakat tertentu.

B.

Teori-teori Perubahan Sosial

a. Hukum Tiga Tahap (Auguste Comte)

Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. hukum ini menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik dan positif.

Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:

Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya dalam perkembangannya,

menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.

Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat (pengetahuan absolut)

mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraktsi-abstaksi yang dipersonifikasikan), dan yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya, yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini. Untuk menggambarkan perbedaan yang ditekankan Comte, bayangkanlah bahwa kita akan menjelaskan suatu gejala alam seperti angin taufan. Dalam tahap teologis, gejala serupa itu akan dijelaskan sebagai hasil tindakan langsung dari seorang Dewa angin atau Tuhan. Dalam tahap metafisik gejala yang sama itu akan dijelaskan sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah. Dalam tahap positif angin taufan itu akan dijelaskan sebagai hasil dari suatu kombinasi tertentu dari tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembaban, dan suhu – semua


(7)

variabel yang dapat diukur, yang berubah terus menerus dan berinteraksi menghasilkan angin taufan itu.

Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme dan

monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak Dewa itu diganti dengan kepercayaan akan Satu Yang Tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme. Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir

metafisik.

Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme

memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris daripada kemutlakan metafisik.

b. Teori Siklus Pitirim Sorokin

Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan sosial; artinya, dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat gandaan saja; sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.

Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa daripadanya yang unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang bersifat “berulang-berubah”. Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk menolak gagasan bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai suatu proses linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja; dalam hal ini Sorokin berbeda dari Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan intelektual manusia.

Tipe-tipe Mentalitas Budaya

Menurut Sorokin, kunci untuk memahami suatu supersistem budaya yang terintegrasi adalah mentalitas budaya-nya. Konsep ini mengacu pada pandangan dunia (world view) dasar yang merupakan landasan sistem budaya. Pandangan dunia yang asasi dari suatu sistem


(8)

sosio-budaya merupakan jawaban yang diberikan atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan terakhir (merupakan pertanyaan tentang apakah ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia). Ada tiga jawaban logis yang mungkin terhadap pertanyaan filosofis dasar itu.

• Pertama adalah bahwa kenyataan akhir itu seluruhnya dari dunia materil yang kita alami dengan indera (tidak ada kehidupan lain setelah dunia).

• Yang lainnya adalah bahwa kenyataan akhir itu terdiri dari suatu dunia atau tingat keberadaan yang melampaui dunia materil ini: artinya kenyataan akhir itu bersifat transenden (gaib) dan tidak dapat ditangkap sepenuhnya dengan indera kita.

• Jawaban ketiga yang mungkin adalah antara kedua ekstrem dan keadaan itu, yang secara sederhana berarti bahwa kenyataan itu mencakup dunia materil dan dunia transenden.

Sehubungan dengan pertanyaan ini ada beberapa pertanyaan tambahan yang menyangkut kodrat manusia dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Secara hakiki, pertanyaan-pertanyaan ini harus mencakup apakah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia itu bersifat fisik atau spiritual; luasnya kebutuhan yang seharusnya dipenuhi; dan apakah pemenuhan kebutuhan manusia itu harus mencakup penyesuaian diri (sehingga kebutuhan itu sendiri dikurangi) atau penyesuaian lingkungan (sehinggat kebutuhan itu dapat dipenuhi).

Atas dasar itu, Sorokin menyebutan tiga mentalitas budaya dan beberapa tipe-tipe kecil yang merupakan dasar untuk ketiga supersistem sosio-budaya yang berbeda-beda itu.

1) Kebudayaan Ideasional

Tipe ini mempunyai dasar berpikir (premis) bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril, transenden dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, sementera dan tergantung pada dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Kenyataan akhir merupakan dunia Ilahi, atau suatu konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. Tingkat ini dipecah kedalam beberapa bagian:

a) Kebudayaan ideasional asketik. Mentalitas ini memperlihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil manusia supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden

b) Kebudayaan ideasional aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transenden

2) Kebudayaan Inderawi (sensate culture)

Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Eksistensi kenyataan transenden disangkal. Mentalitas ini dapat dibagi sebagai berikut:

a) Kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk

meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materil dengan mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber-sumber kepuasan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan kemajuan-kemajuan ilmiah serta kedokteran.

b) Kebudayaan inderawi pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hasrat untuk mengalami kesenangan-kesenangan hidup inderawi setinggi-tingginya. Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu “eksploitasi parasit”, dengan motto, “makan, minum dan kawinlah, karena


(9)

besok kita mati”. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apa pun.

c) Kebudayaan inderawi sinis. Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan-tujuan inderawi/jasmaniah

dibenarkan oleh rasionalisasi ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar usaha yang bersifat munafik (hipokrit) untuk membenarkan pencapaian tujuan

materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.

3) Kebudayaan campuran

Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir (premis) mentalitas ideasional dan inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat dalam mentalitas kebudayaan campuran ini:

a. Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas ideasional dan inderawi, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai aspek-aspek tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling berhubungan.

b. Kebudayaan ideasional tiruan (Pseudo ideasional culture). Tipe ini khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur-unsur ideasioal hidup secara berdampingan dengan inderawi, sebagai suatu perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a di atas, kedua perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup

berdampingan sejajar satu sama lain.

c. Teori Cultural Lag William F Ogburn

Konsep ketertinggalan budaya (Cultural lag) dikemukakan oleh William F Ogburn. Konsep ini mengacu pada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan dalam kebudayaan materil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan

nonmateril.

Jelas hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn, segi yang paling penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan materil, termasuk

penemuan-penemuan dan perkembangan teknologi; sedangkan Comte dan Sorokin menekankan perubahan dalam bentuk-bentuk pengetahuan atau pandangan dunia sebagai rangsangan utama untuk perubahan sosial, di mana perubahan dalam kebudayaan materil mencerminkan perubahan dalam aspek-aspek kebudayaan nonmateril.

Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan materil.

Perubahan-perubahan ini terbentang mulai dari penemuan-penemuan awal seperti roda dan perkakas sampai ke komputer dan satelit-satelit komunikasi. Kebudayaan nonmateril seperti – kebiasaan, tata cara, pola organisasi sosial – akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil tetapi karena adanya pelbagai sumber yang menolak perubahan, proses penyesuaian itu selalu ketinggalan di belakang perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil. Hasilnya adalah ketegangan antara kebudayaan materil dan kebudayaan nonmateril.


(10)

Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil sudah terjadi dari masa ke masa dalam sejarah, tetapi derap perubahan menjadi sangat cepat karena datangnya Revolusi Industri dan tekanan yang terus-menerus pada perkembangan teknologi. Jadi kebudayaan nonmateril tidak mampu “mengejar”, karena kecepatan perubahan dalam kebudayaan materil terus-menerus melaju. Hasilnya adalah suatu ketegangan yang terus meningkat antara kebudayaan materil dan yang beradaptasi atau kebudayaan nonmateril. Banyak masalah sosial zaman sekarang dapat ditelusuri pada kegagalan kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola institusional untuk mengikuti

kemajuan tekonologi dalam kebudayaan materil.

C.pengertian masohi dan apakah Masohi Masih Perlukah?

(Mari Damaikan Porto-Haria dari Konflik yang Berkepanjangan)

Masohi adalahbentuk tolong-menolong (di Ambon)

Sejarah kelam perkelahian antara kampung/negeri bertetangga sudah menjadi cerita turun-temurun di suatu tempat terutama di daerah di mana saya tinggal yaitu Haria dengan Porto (Saparua, Maluku Tengah). masyarakat dari kedua desa masih ada dalam keadaan tegang dan suasana yang kurang kondusif. Langsung saja ke inti permasalahannya yang sangat kompleks dan rumit, perjalanan perkelahian antar Negeri Haria dan Porto telah memakan korban, bahkan ada yang meninggal, rumah-rumah hancur, bahkan tempat ibadah, sekolah, ikut hancur juga.

Konflik yang semakin parah adalah konflik yang terjadi pada Tahun ini. Hanya bermula dari persoalan yang sepeleh yaitu: perkelahian antara anak sekolah. Di mana terjadi pemukulan terhadap salah satu siswa yang berasal dari Haria oleh Siswa yang berasal dari Porto. Perkelahian itu merambat menjadi perkelahian antar dua negeri tersebut setelah ada masyarakat yang sudah mulai bergerak dengan cara memukuli anak-anak sekolah yang berasal dari Negeri Porto dan Membakar 7 Buah Sepeda Motor.

Mari Kita lihat, akar dari masalah ini yang berujung sampai sekarang dan terbawa-bawa hingga perebutan sumber air minum.

Tidak bisa dipungkiri bahwa daerah ini adalah bekas konflik sehingga dalam proses penyelesaian akan berujung pada “dendam” yang siap meledak kapan saja walaupun sudah terlihat damai. Dendam tersimpan akan menunggu momen yang tepat untuk dia meledak. Namun saya akan Tertawa jika seseorang akan mengatakan kepada saya, bahwa dendam tersebut meledak begitu saja, jika tidak ada faktor pemicu, maka ia akan tersimpan, siapa faktor itu,? Sulit


(11)

untuk menjawabnya, mungkin satu orang, sekelompok orang, dengan maksud dan kepentingan tertentu. Namun apakah itu cukup untuk memicu kembali Konflik yang berkepanjagan ini?? Saya bilang: Tidak!

Alasan lain kedua kampung/negeri yang manis e ini bentrok menurut saya adalah bolongnya tatanan hidup kita. (mohon maaf jika saya sedikit kasar). Ya, saya merasa tatanan hidup sebagai Orang Porto Maupun Haria mempunyai Bolong-bolong yang bisa merusak keharmonisan kedua negeri tersebut. Kita mengenal sikap hidup yang saling tolong menolong, sama-sama memikul beban, kita sangat mengakar pada tanah sehingga sulit mengalami ketercabutan, dan ketercabutan dari tanah kita adalah penghinaan luar biasa. Kita adalah orang-orang yang komunal, sehingga tidak bisa berada jika tidak ada dalam suatu komunitas. Inilah yang orang Maluku Tengah sering sebut sebagai Masohi.

Saya akan membagi tulisan ini kedalam bagian beberapa bagian penting yang merupaka pendapat saya yang menjadi solusi.

1. Kita mempunyai tatanan hidup berdasarkan budaya kita yang kuat, namun itulah senjata untuk melumpuhkan kita sendiri. Kita akan sulit membedakan mana urusan pribadi dengan mana urusan komunitas. Ketika seorang dipukul, orang lain dari komunitasnya akan merasa bahwa itu adalah perbuatan yang menghina komunitasnya. Tapi apakah hal ini bisa dibenarkan? Tentunya tidak, kita memang masyarakat adat, namun dalam posisi yang mana, saat urusan pribadi seseorang dijadikan urusan komunal,, memang sekali lagi kita tak akan berada

(exist) jika tidak dalam komunitas, tapi itu urusan perkelahian antar pribadi, apakah tidak bisa diselesaikan saja secara pribadi? Saya masih mengingat ada seorang yang berkomentar pada situs jejaring sosial bahwa yang paling Bia*** adalah orang yang menjadi Provokator, tapi yang lebih Bia*** adalah orang yang mengambil tindakan anarkis setelah diprovokasi.

Apakah ini Individualisme? Pasti semua akan bertanya demikian. Dengan mengusulkan hal ini saya tidak hendak memperjuangkan Individualisme, walau tidak ada yang salah dengan kata tersebut. Namun, jika hendak memperjuangkan nilai-nilai Individu yang lebih tinggi di antara Kolektivitas maka rusaklah tatanan adat budaya kita. Tapi jika kita sadar akan nilai Individual sebagai manusia, maka kita akan mengetahui batasan-batasan apa saja dalam menjadi suatu kesatuan kolektivitas sehingga masalah pribadi tidak menjadi masalah komunitas.


(12)

2. Apa yang saya sampaikan di atas tentunya bukan menjadi jawaban dari konflik tersebut, namun itu menjadi akar, agar tidak menjadi konflik yang berikutnya yang berawal dari masalah pribadi ke masalah komunitas. Lantas, menurut saya, usaha yang saya sampaikan merupakan jangka berkala yang harus terus dilakukan, setelah usaha jangka pendek untuk menangani konflik yang sementara terjadi, usaha tersebut antara lain,

Moderasikan Pemuka masyarakat sehingga mereka mengambil inisiatif sendiri, untuk melakukan dialog secara bersama. Untuk itu, sebelum mempertemukan pemuka masyarakat, pihak ketiga yang menjadi sang moderator lah yang harus mendudukan masyarakat dan pemuka agama masyarakat setempat tersebut dan mebicarakan perdamaian yang akan terjadi. Hal ini memang sulit, karena kita akan mempertimbangkan kondisi psikologi para masyarakat di satu pihak. Namun, menurut saya, marilah kita mulai penyelesian konflik dari bawah, kita benar-benar menguatkan masyarakat baru kita masuk kepada tindak lanjut antar pemuka agama. Saya sangat menyayangkan jika penyelesaian yang terjadi adalah bersifat Top-Bottom, percaya atau tidak para pemuka masyarakat yang melakukan moderasi, adalah orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Jika kita mulai dari “Atas” maka dengan mudahnya mereka mempengaruhi masyarakat. Untuk itu menurut saya, masyarakt harus mempunyai kewajiban untuk melapor sang provokator yang tidak menginginka perdamaian sekalipun itu pemuka masyarakat.

3. Sekali lagi, konflik itu belum bisa terselesaikan. Karena ada hal-hal yang bisa menjadi pemicu konflik yang lain. Misalnya perebutan air minum. Menurut saya, persoalan Sumber Air Minum (Air Raja) dapat diselesaikan dengan kepala dingin jika kedua hal di atas berjalan dengan baik. Di sini adat budaya kita bermain penting, terutama para pemuka adat. Bila perlu kita melakukan rekonstruksi sejarah dengan kepala dingin. Rekonstruksi yang dilakukan sekali lagi jangan dianggap sebagai pembuktian ini, itu, Melainkan sebagai “Penghargaan”.

Kesimpulan.

Menurut saya, masih banyak yang harus dikerjakan oleh kedua Negeri bertetangga ini. Kita masih jauh dari kemajuan dibandingkan dengan daerah lain. Saparua 10 tahun yang lalu, masih sama dengan saparua sekarang. Kita harus mempunyai fokus pembangunan kehidupan yang


(13)

lebih baik. Bukankah konflik ini juga disebabkan karena kita kurang kerjaan (dalam artian; banyak pengangguran yang berkeliaran begitu saja yang tidak mempunyai kerja yang jelas, sehingga rentan terhadap konflik).

Masohi, sangat diperlukan! Tapi bukan untuk saling membantu berperang dengan negeri tetangga!!!!! Masohi diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik, bukan untuk merusaknya. Mengapa harus kita saling bermusuhan antar Negeri Tetangga??? Mengapa kita tidak memusuhi bahkan memukuli orang yang menindas Negeri kita sehingga Saparua menjadi begitu terkebelakang? Mengapa kita tidak bersama-sama merusak sistem yang menindas Porto dan Haria, pada umumnya Saparua. Marilah Saudara, kita berperang, tapi berperang melawan sistem yang menindas termasuk orang-orang besar yang selama ini membutakan kita, Kita sama-sama Masohi bangun Negeri Tercinta.


(14)

BAB III

Kesimpulan

A. Kesimpulan

Perubahan sosial merupakan gejala pergeseran atau pergantian yang bersifat normal dan universal artinya perubahan itu penting dan pasti terjadi pada masyarakat apapun dan dimanapun sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun difusi ataupun penemuan baru dalam masyarakat.

Terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri maupun faktor yang berasal dari luar masyarakat. Seperti hal nya kejadian yang lain apabila terdapat apabila ada sebab yang melatarbelakangi terjadinya suatu kejadian pasti terdapat akibat yang ditimbulkan dari adanya kejadian tersebut. Begitu pula dengan perubahan sosial disamping ada faktor penyebab terjadinya perubahan sosial juga terdapat akibat/dampak dari perubahan sosial itu sendiri, baik dampak yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.

B. Saran

Tim Penulis menyadari Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Ha ini tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan Tim Penulis. Untuk itu, Tim Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Kasih dan Karunia-Nya kepada kita


(15)

DAFTAR PUSTAKA

http://artikata.com/arti-340015-masohi.html

https://infosos.wordpress.com/kelas-xii-ips/perubahan-sosial/

http://heningjurnal.blogspot.com/2011/09/masohi-masih-perlukah-mari-damaikan.html


(1)

Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil sudah terjadi dari masa ke masa dalam sejarah, tetapi derap perubahan menjadi sangat cepat karena datangnya Revolusi Industri dan tekanan yang terus-menerus pada perkembangan teknologi. Jadi kebudayaan nonmateril tidak mampu “mengejar”, karena kecepatan perubahan dalam kebudayaan materil terus-menerus melaju. Hasilnya adalah suatu ketegangan yang terus meningkat antara kebudayaan materil dan yang beradaptasi atau kebudayaan nonmateril. Banyak masalah sosial zaman sekarang dapat ditelusuri pada kegagalan kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola institusional untuk mengikuti

kemajuan tekonologi dalam kebudayaan materil.

C.pengertian masohi dan apakah Masohi Masih Perlukah?

(Mari Damaikan Porto-Haria dari Konflik yang Berkepanjangan)

Masohi adalahbentuk tolong-menolong (di Ambon)

Sejarah kelam perkelahian antara kampung/negeri bertetangga sudah menjadi cerita turun-temurun di suatu tempat terutama di daerah di mana saya tinggal yaitu Haria dengan Porto (Saparua, Maluku Tengah). masyarakat dari kedua desa masih ada dalam keadaan tegang dan suasana yang kurang kondusif. Langsung saja ke inti permasalahannya yang sangat kompleks dan rumit, perjalanan perkelahian antar Negeri Haria dan Porto telah memakan korban, bahkan ada yang meninggal, rumah-rumah hancur, bahkan tempat ibadah, sekolah, ikut hancur juga.

Konflik yang semakin parah adalah konflik yang terjadi pada Tahun ini. Hanya bermula dari persoalan yang sepeleh yaitu: perkelahian antara anak sekolah. Di mana terjadi pemukulan terhadap salah satu siswa yang berasal dari Haria oleh Siswa yang berasal dari Porto. Perkelahian itu merambat menjadi perkelahian antar dua negeri tersebut setelah ada masyarakat yang sudah mulai bergerak dengan cara memukuli anak-anak sekolah yang berasal dari Negeri Porto dan Membakar 7 Buah Sepeda Motor.

Mari Kita lihat, akar dari masalah ini yang berujung sampai sekarang dan terbawa-bawa hingga perebutan sumber air minum.

Tidak bisa dipungkiri bahwa daerah ini adalah bekas konflik sehingga dalam proses penyelesaian akan berujung pada “dendam” yang siap meledak kapan saja walaupun sudah terlihat damai. Dendam tersimpan akan menunggu momen yang tepat untuk dia meledak. Namun saya akan Tertawa jika seseorang akan mengatakan kepada saya, bahwa dendam tersebut meledak begitu saja, jika tidak ada faktor pemicu, maka ia akan tersimpan, siapa faktor itu,? Sulit


(2)

untuk menjawabnya, mungkin satu orang, sekelompok orang, dengan maksud dan kepentingan tertentu. Namun apakah itu cukup untuk memicu kembali Konflik yang berkepanjagan ini?? Saya bilang: Tidak!

Alasan lain kedua kampung/negeri yang manis e ini bentrok menurut saya adalah bolongnya tatanan hidup kita. (mohon maaf jika saya sedikit kasar). Ya, saya merasa tatanan hidup sebagai Orang Porto Maupun Haria mempunyai Bolong-bolong yang bisa merusak keharmonisan kedua negeri tersebut. Kita mengenal sikap hidup yang saling tolong menolong, sama-sama memikul beban, kita sangat mengakar pada tanah sehingga sulit mengalami ketercabutan, dan ketercabutan dari tanah kita adalah penghinaan luar biasa. Kita adalah orang-orang yang komunal, sehingga tidak bisa berada jika tidak ada dalam suatu komunitas. Inilah yang orang Maluku Tengah sering sebut sebagai Masohi.

Saya akan membagi tulisan ini kedalam bagian beberapa bagian penting yang merupaka pendapat saya yang menjadi solusi.

1. Kita mempunyai tatanan hidup berdasarkan budaya kita yang kuat, namun itulah senjata untuk melumpuhkan kita sendiri. Kita akan sulit membedakan mana urusan pribadi dengan mana urusan komunitas. Ketika seorang dipukul, orang lain dari komunitasnya akan merasa bahwa itu adalah perbuatan yang menghina komunitasnya. Tapi apakah hal ini bisa dibenarkan? Tentunya tidak, kita memang masyarakat adat, namun dalam posisi yang mana, saat urusan pribadi seseorang dijadikan urusan komunal,, memang sekali lagi kita tak akan berada

(exist) jika tidak dalam komunitas, tapi itu urusan perkelahian antar pribadi, apakah tidak bisa diselesaikan saja secara pribadi? Saya masih mengingat ada seorang yang berkomentar pada situs jejaring sosial bahwa yang paling Bia*** adalah orang yang menjadi Provokator, tapi yang lebih Bia*** adalah orang yang mengambil tindakan anarkis setelah diprovokasi.

Apakah ini Individualisme? Pasti semua akan bertanya demikian. Dengan mengusulkan hal ini saya tidak hendak memperjuangkan Individualisme, walau tidak ada yang salah dengan kata tersebut. Namun, jika hendak memperjuangkan nilai-nilai Individu yang lebih tinggi di antara Kolektivitas maka rusaklah tatanan adat budaya kita. Tapi jika kita sadar akan nilai Individual sebagai manusia, maka kita akan mengetahui batasan-batasan apa saja dalam menjadi suatu kesatuan kolektivitas sehingga masalah pribadi tidak menjadi masalah komunitas.


(3)

2. Apa yang saya sampaikan di atas tentunya bukan menjadi jawaban dari konflik tersebut, namun itu menjadi akar, agar tidak menjadi konflik yang berikutnya yang berawal dari masalah pribadi ke masalah komunitas. Lantas, menurut saya, usaha yang saya sampaikan merupakan jangka berkala yang harus terus dilakukan, setelah usaha jangka pendek untuk menangani konflik yang sementara terjadi, usaha tersebut antara lain,

Moderasikan Pemuka masyarakat sehingga mereka mengambil inisiatif sendiri, untuk melakukan dialog secara bersama. Untuk itu, sebelum mempertemukan pemuka masyarakat, pihak ketiga yang menjadi sang moderator lah yang harus mendudukan masyarakat dan pemuka agama masyarakat setempat tersebut dan mebicarakan perdamaian yang akan terjadi. Hal ini memang sulit, karena kita akan mempertimbangkan kondisi psikologi para masyarakat di satu pihak. Namun, menurut saya, marilah kita mulai penyelesian konflik dari bawah, kita benar-benar menguatkan masyarakat baru kita masuk kepada tindak lanjut antar pemuka agama. Saya sangat menyayangkan jika penyelesaian yang terjadi adalah bersifat Top-Bottom, percaya atau tidak para pemuka masyarakat yang melakukan moderasi, adalah orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Jika kita mulai dari “Atas” maka dengan mudahnya mereka mempengaruhi masyarakat. Untuk itu menurut saya, masyarakt harus mempunyai kewajiban untuk melapor sang provokator yang tidak menginginka perdamaian sekalipun itu pemuka masyarakat.

3. Sekali lagi, konflik itu belum bisa terselesaikan. Karena ada hal-hal yang bisa menjadi pemicu konflik yang lain. Misalnya perebutan air minum. Menurut saya, persoalan Sumber Air Minum (Air Raja) dapat diselesaikan dengan kepala dingin jika kedua hal di atas berjalan dengan baik. Di sini adat budaya kita bermain penting, terutama para pemuka adat. Bila perlu kita melakukan rekonstruksi sejarah dengan kepala dingin. Rekonstruksi yang dilakukan sekali lagi jangan dianggap sebagai pembuktian ini, itu, Melainkan sebagai “Penghargaan”.

Kesimpulan.

Menurut saya, masih banyak yang harus dikerjakan oleh kedua Negeri bertetangga ini. Kita masih jauh dari kemajuan dibandingkan dengan daerah lain. Saparua 10 tahun yang lalu, masih sama dengan saparua sekarang. Kita harus mempunyai fokus pembangunan kehidupan yang


(4)

lebih baik. Bukankah konflik ini juga disebabkan karena kita kurang kerjaan (dalam artian; banyak pengangguran yang berkeliaran begitu saja yang tidak mempunyai kerja yang jelas, sehingga rentan terhadap konflik).

Masohi, sangat diperlukan! Tapi bukan untuk saling membantu berperang dengan negeri tetangga!!!!! Masohi diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik, bukan untuk merusaknya. Mengapa harus kita saling bermusuhan antar Negeri Tetangga??? Mengapa kita tidak memusuhi bahkan memukuli orang yang menindas Negeri kita sehingga Saparua menjadi begitu terkebelakang? Mengapa kita tidak bersama-sama merusak sistem yang menindas Porto dan Haria, pada umumnya Saparua. Marilah Saudara, kita berperang, tapi berperang melawan sistem yang menindas termasuk orang-orang besar yang selama ini membutakan kita, Kita sama-sama Masohi bangun Negeri Tercinta.


(5)

BAB III

Kesimpulan

A. Kesimpulan

Perubahan sosial merupakan gejala pergeseran atau pergantian yang bersifat normal dan universal artinya perubahan itu penting dan pasti terjadi pada masyarakat apapun dan dimanapun sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun difusi ataupun penemuan baru dalam masyarakat.

Terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri maupun faktor yang berasal dari luar masyarakat. Seperti hal nya kejadian yang lain apabila terdapat apabila ada sebab yang melatarbelakangi terjadinya suatu kejadian pasti terdapat akibat yang ditimbulkan dari adanya kejadian tersebut. Begitu pula dengan perubahan sosial disamping ada faktor penyebab terjadinya perubahan sosial juga terdapat akibat/dampak dari perubahan sosial itu sendiri, baik dampak yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.

B. Saran

Tim Penulis menyadari Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Ha ini tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan Tim Penulis. Untuk itu, Tim Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Kasih dan Karunia-Nya kepada kita


(6)

DAFTAR PUSTAKA

http://artikata.com/arti-340015-masohi.html

https://infosos.wordpress.com/kelas-xii-ips/perubahan-sosial/

http://heningjurnal.blogspot.com/2011/09/masohi-masih-perlukah-mari-damaikan.html