besok kita mati”. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apa pun.
c Kebudayaan inderawi sinis. Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan-tujuan inderawijasmaniah
dibenarkan oleh rasionalisasi ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar usaha yang bersifat munafik hipokrit untuk membenarkan pencapaian tujuan
materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.
3 Kebudayaan campuran Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir premis mentalitas ideasional dan
inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat dalam mentalitas kebudayaan campuran ini: a. Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas
ideasional dan inderawi, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai aspek-aspek tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua
tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling berhubungan. b. Kebudayaan ideasional tiruan Pseudo ideasional culture. Tipe ini khususnya didominasi oleh
pendekatan inderawi, tetapi unsur-unsur ideasioal hidup secara berdampingan dengan inderawi, sebagai suatu perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a di atas, kedua perspektif
yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.
c. Teori Cultural Lag William F Ogburn
Konsep ketertinggalan budaya Cultural lag dikemukakan oleh William F Ogburn. Konsep ini mengacu pada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola organisasi sosial
yang tertinggal di belakang lag behind perubahan dalam kebudayaan materil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan
nonmateril.
Jelas hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn, segi yang paling penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan materil, termasuk penemuan-
penemuan dan perkembangan teknologi; sedangkan Comte dan Sorokin menekankan perubahan dalam bentuk-bentuk pengetahuan atau pandangan dunia sebagai rangsangan utama untuk
perubahan sosial, di mana perubahan dalam kebudayaan materil mencerminkan perubahan dalam aspek-aspek kebudayaan nonmateril.
Penemuan dan inovasi paling sering terjadi dalam dunia kebudayaan materil. Perubahan- perubahan ini terbentang mulai dari penemuan-penemuan awal seperti roda dan perkakas sampai
ke komputer dan satelit-satelit komunikasi. Kebudayaan nonmateril seperti – kebiasaan, tata cara, pola organisasi sosial – akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
dalam kebudayaan materil tetapi karena adanya pelbagai sumber yang menolak perubahan, proses penyesuaian itu selalu ketinggalan di belakang perubahan-perubahan dalam kebudayaan
materil. Hasilnya adalah ketegangan antara kebudayaan materil dan kebudayaan nonmateril.
Perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil sudah terjadi dari masa ke masa dalam sejarah, tetapi derap perubahan menjadi sangat cepat karena datangnya Revolusi Industri dan tekanan
yang terus-menerus pada perkembangan teknologi. Jadi kebudayaan nonmateril tidak mampu “mengejar”, karena kecepatan perubahan dalam kebudayaan materil terus-menerus melaju.
Hasilnya adalah suatu ketegangan yang terus meningkat antara kebudayaan materil dan yang beradaptasi atau kebudayaan nonmateril. Banyak masalah sosial zaman sekarang dapat ditelusuri
pada kegagalan kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola institusional untuk mengikuti kemajuan tekonologi dalam kebudayaan materil.
C.pengertian masohi dan apakah Masohi Masih Perlukah?
Mari Damaikan Porto-Haria dari Konflik yang Berkepanjangan
Masohi adalah
bentuk tolong-menolong di Ambon
Sejarah kelam perkelahian antara kampungnegeri bertetangga sudah menjadi cerita turun- temurun di suatu tempat terutama di daerah di mana saya tinggal yaitu Haria dengan Porto
Saparua, Maluku Tengah. masyarakat dari kedua desa masih ada dalam keadaan tegang dan suasana yang kurang kondusif. Langsung saja ke inti permasalahannya yang sangat kompleks
dan rumit, perjalanan perkelahian antar Negeri Haria dan Porto telah memakan korban, bahkan ada yang meninggal, rumah-rumah hancur, bahkan tempat ibadah, sekolah, ikut hancur juga.
Konflik yang semakin parah adalah konflik yang terjadi pada Tahun ini. Hanya bermula dari persoalan yang sepeleh yaitu: perkelahian antara anak sekolah. Di mana terjadi pemukulan
terhadap salah satu siswa yang berasal dari Haria oleh Siswa yang berasal dari Porto. Perkelahian itu merambat menjadi perkelahian antar dua negeri tersebut setelah ada masyarakat yang sudah
mulai bergerak dengan cara memukuli anak-anak sekolah yang berasal dari Negeri Porto dan Membakar 7 Buah Sepeda Motor.
Mari Kita lihat, akar dari masalah ini yang berujung sampai sekarang dan terbawa-bawa hingga perebutan sumber air minum.
Tidak bisa dipungkiri bahwa daerah ini adalah bekas konflik sehingga dalam proses penyelesaian akan berujung pada “dendam” yang siap meledak kapan saja walaupun sudah
terlihat damai. Dendam tersimpan akan menunggu momen yang tepat untuk dia meledak. Namun saya akan Tertawa jika seseorang akan mengatakan kepada saya, bahwa dendam tersebut
meledak begitu saja, jika tidak ada faktor pemicu, maka ia akan tersimpan, siapa faktor itu,? Sulit
untuk menjawabnya, mungkin satu orang, sekelompok orang, dengan maksud dan kepentingan tertentu. Namun apakah itu cukup untuk memicu kembali Konflik yang berkepanjagan ini??
Saya bilang: Tidak Alasan lain kedua kampungnegeri yang manis e ini bentrok menurut saya adalah
bolongnya tatanan hidup kita. mohon maaf jika saya sedikit kasar. Ya, saya merasa tatanan hidup sebagai Orang Porto Maupun Haria mempunyai Bolong-bolong yang bisa merusak
keharmonisan kedua negeri tersebut. Kita mengenal sikap hidup yang saling tolong menolong, sama-sama memikul beban, kita sangat mengakar pada tanah sehingga sulit mengalami
ketercabutan, dan ketercabutan dari tanah kita adalah penghinaan luar biasa. Kita adalah orang- orang yang komunal, sehingga tidak bisa berada jika tidak ada dalam suatu komunitas. Inilah
yang orang Maluku Tengah sering sebut sebagai Masohi.
Saya akan membagi tulisan ini kedalam bagian beberapa bagian penting yang merupaka pendapat saya yang menjadi solusi.
1. Kita mempunyai tatanan hidup berdasarkan budaya kita yang kuat, namun itulah senjata untuk melumpuhkan kita sendiri. Kita akan sulit membedakan mana urusan pribadi
dengan mana urusan komunitas. Ketika seorang dipukul, orang lain dari komunitasnya akan merasa bahwa itu adalah perbuatan yang menghina komunitasnya. Tapi apakah hal ini bisa
dibenarkan? Tentunya tidak, kita memang masyarakat adat, namun dalam posisi yang mana, saat
urusan pribadi seseorang dijadikan urusan komunal,, memang sekali lagi kita tak akan berada
exist jika tidak dalam komunitas, tapi itu urusan perkelahian antar pribadi, apakah tidak bisa diselesaikan saja secara pribadi? Saya masih mengingat ada seorang yang berkomentar pada situs
jejaring sosial bahwa yang paling Bia adalah orang yang menjadi Provokator, tapi yang lebih Bia adalah orang yang mengambil tindakan anarkis setelah diprovokasi.
Apakah ini Individualisme? Pasti semua akan bertanya demikian. Dengan mengusulkan
hal ini saya tidak hendak memperjuangkan Individualisme, walau tidak ada yang salah dengan kata tersebut. Namun, jika hendak memperjuangkan nilai-nilai Individu yang lebih tinggi di
antara Kolektivitas maka rusaklah tatanan adat budaya kita. Tapi jika kita sadar akan nilai Individual sebagai manusia, maka kita akan mengetahui batasan-batasan apa saja dalam menjadi
suatu kesatuan kolektivitas sehingga masalah pribadi tidak menjadi masalah komunitas.
2. Apa yang saya sampaikan di atas tentunya bukan menjadi jawaban dari konflik tersebut, namun itu menjadi akar, agar tidak menjadi konflik yang berikutnya yang berawal dari
masalah pribadi ke masalah komunitas. Lantas, menurut saya, usaha yang saya sampaikan merupakan jangka berkala yang harus terus dilakukan, setelah usaha jangka pendek untuk
menangani konflik yang sementara terjadi, usaha tersebut antara lain,
Moderasikan Pemuka masyarakat sehingga mereka mengambil inisiatif sendiri, untuk
melakukan dialog secara bersama. Untuk itu, sebelum mempertemukan pemuka masyarakat, pihak ketiga yang menjadi sang moderator lah yang harus mendudukan masyarakat dan pemuka
agama masyarakat setempat tersebut dan mebicarakan perdamaian yang akan terjadi. Hal ini memang sulit, karena kita akan mempertimbangkan kondisi psikologi para masyarakat di satu
pihak. Namun, menurut saya, marilah kita mulai penyelesian konflik dari bawah, kita benar-
benar menguatkan masyarakat baru kita masuk kepada tindak lanjut antar pemuka agama. Saya sangat menyayangkan jika penyelesaian yang terjadi adalah bersifat Top-Bottom, percaya atau
tidak para pemuka masyarakat yang melakukan moderasi, adalah orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Jika kita mulai dari “Atas” maka dengan mudahnya mereka mempengaruhi
masyarakat. Untuk itu menurut saya, masyarakt harus mempunyai kewajiban untuk melapor sang provokator yang tidak menginginka perdamaian sekalipun itu pemuka masyarakat.
3. Sekali lagi, konflik itu belum bisa terselesaikan. Karena ada hal-hal yang bisa menjadi pemicu konflik yang lain. Misalnya perebutan air minum. Menurut saya, persoalan
Sumber Air Minum Air Raja dapat diselesaikan dengan kepala dingin jika kedua hal di atas berjalan dengan baik. Di sini adat budaya kita bermain penting, terutama para pemuka adat. Bila
perlu kita melakukan rekonstruksi sejarah dengan kepala dingin. Rekonstruksi yang dilakukan sekali lagi jangan dianggap sebagai pembuktian ini, itu, Melainkan sebagai “Penghargaan”.
Kesimpulan.
Menurut saya, masih banyak yang harus dikerjakan oleh kedua Negeri bertetangga ini. Kita masih jauh dari kemajuan dibandingkan dengan daerah lain. Saparua 10 tahun yang lalu, masih
sama dengan saparua sekarang. Kita harus mempunyai fokus pembangunan kehidupan yang
lebih baik. Bukankah konflik ini juga disebabkan karena kita kurang kerjaan dalam artian; banyak pengangguran yang berkeliaran begitu saja yang tidak mempunyai kerja yang jelas,
sehingga rentan terhadap konflik.
Masohi, sangat diperlukan Tapi bukan untuk saling membantu berperang dengan negeri tetangga Masohi diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik, bukan untuk
merusaknya. Mengapa harus kita saling bermusuhan antar Negeri Tetangga??? Mengapa kita tidak memusuhi bahkan memukuli orang yang menindas Negeri kita sehingga Saparua menjadi
begitu terkebelakang? Mengapa kita tidak bersama-sama merusak sistem yang menindas Porto dan Haria, pada umumnya Saparua. Marilah Saudara, kita berperang, tapi berperang melawan
sistem yang menindas termasuk orang-orang besar yang selama ini membutakan kita, Kita sama- sama Masohi bangun Negeri Tercinta.
BAB III
Kesimpulan