variabel yang dapat diukur, yang berubah terus menerus dan berinteraksi menghasilkan angin taufan itu.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme dan
monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya
fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran
manusia terus maju, kepercayaan akan banyak Dewa itu diganti dengan kepercayaan akan Satu Yang Tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan
dengan akal budi. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir
metafisik.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme
memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting seperti dalam periode
metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum
dilihat sebagai uniformitas empiris daripada kemutlakan metafisik.
b. Teori Siklus Pitirim Sorokin
Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan sosial; artinya, dia yakin bahwa
tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini tidak
sekedar pelipat gandaan saja; sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.
Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali berulang artinya, pengulangan tahap yang terdahulu dan ada beberapa daripadanya yang unik. Sorokin mengacu
pada pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang bersifat “berulang-berubah”. Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar dimaksudkan untuk menolak gagasan bahwa
perubahan sejarah dapat dilihat sebagai suatu proses linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja; dalam hal ini Sorokin berbeda dari Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam
perkembangan intelektual manusia.
Tipe-tipe Mentalitas Budaya Menurut Sorokin, kunci untuk memahami suatu supersistem budaya yang terintegrasi adalah
mentalitas budaya-nya. Konsep ini mengacu pada pandangan dunia world view dasar yang merupakan landasan sistem sosio-budaya. Pandangan dunia yang asasi dari suatu sistem sosio-
budaya merupakan jawaban yang diberikan atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan terakhir merupakan pertanyaan tentang apakah ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia. Ada tiga
jawaban logis yang mungkin terhadap pertanyaan filosofis dasar itu. • Pertama adalah bahwa kenyataan akhir itu seluruhnya dari dunia materil yang kita alami
dengan indera tidak ada kehidupan lain setelah dunia. • Yang lainnya adalah bahwa kenyataan akhir itu terdiri dari suatu dunia atau tingat keberadaan
yang melampaui dunia materil ini: artinya kenyataan akhir itu bersifat transenden gaib dan tidak dapat ditangkap sepenuhnya dengan indera kita.
• Jawaban ketiga yang mungkin adalah antara kedua ekstrem dan keadaan itu, yang secara sederhana berarti bahwa kenyataan itu mencakup dunia materil dan dunia transenden.
Sehubungan dengan pertanyaan ini ada beberapa pertanyaan tambahan yang menyangkut kodrat manusia dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Secara hakiki, pertanyaan-pertanyaan
ini harus mencakup apakah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia itu bersifat fisik atau spiritual; luasnya kebutuhan yang seharusnya dipenuhi; dan apakah pemenuhan kebutuhan manusia itu
harus mencakup penyesuaian diri sehingga kebutuhan itu sendiri dikurangi atau penyesuaian lingkungan sehinggat kebutuhan itu dapat dipenuhi.
Atas dasar itu, Sorokin menyebutan tiga mentalitas budaya dan beberapa tipe-tipe kecil yang merupakan dasar untuk ketiga supersistem sosio-budaya yang berbeda-beda itu.
1 Kebudayaan Ideasional Tipe ini mempunyai dasar berpikir premis bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril,
transenden dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, sementera dan tergantung pada dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak
sempurna dan tidak lengkap. Kenyataan akhir merupakan dunia Ilahi, atau suatu konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. Tingkat ini dipecah kedalam beberapa
bagian:
a Kebudayaan ideasional asketik. Mentalitas ini memperlihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil manusia supaya mudah diserap ke
dalam dunia transenden b Kebudayaan ideasional aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan inderawi, tipe ini berusaha
mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transenden
2 Kebudayaan Inderawi sensate culture Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan indera
kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Eksistensi kenyataan transenden disangkal. Mentalitas ini dapat dibagi sebagai berikut:
a Kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materil dengan mengubah dunia fisik
ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber-sumber kepuasan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan kemajuan-kemajuan ilmiah serta
kedokteran. b Kebudayaan inderawi pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hasrat untuk mengalami
kesenangan-kesenangan hidup inderawi setinggi-tingginya. Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu “eksploitasi parasit”, dengan motto, “makan, minum dan kawinlah, karena
besok kita mati”. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apa pun.
c Kebudayaan inderawi sinis. Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan-tujuan inderawijasmaniah
dibenarkan oleh rasionalisasi ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar usaha yang bersifat munafik hipokrit untuk membenarkan pencapaian tujuan
materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.
3 Kebudayaan campuran Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir premis mentalitas ideasional dan
inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat dalam mentalitas kebudayaan campuran ini: a. Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas
ideasional dan inderawi, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai aspek-aspek tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berpikir kedua
tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling berhubungan. b. Kebudayaan ideasional tiruan Pseudo ideasional culture. Tipe ini khususnya didominasi oleh
pendekatan inderawi, tetapi unsur-unsur ideasioal hidup secara berdampingan dengan inderawi, sebagai suatu perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a di atas, kedua perspektif
yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.
c. Teori Cultural Lag William F Ogburn