ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS D 001

(1)

ANALISIS KEMAMPUAN PENALARAN

MATEMATIS DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

SISWA DALAM PROBLEM BASED LEARNING

(PBL)

Proposal Skripsi

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

oleh

Alifa Muhandis Sholiha Afif 4101412084

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

KEMENTERIAN RISTEK DAN PERGURUAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROPOSAL SKRIPSI Nama : Alifa Muhandis Sholiha Afif NIM : 4101412084

Prodi : Pendidikan Matematika Jurusan : Matematika

1. JUDUL

Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau Dari Gaya Belajar Siswa dalam Problem Based Learning (PBL)

2. PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Pendidikan adalah upaya sadar yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan dan tidak dapat dilepaskan dari proses kehidupan manusia. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional tersebut terintegrasi dalam mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Salah satu mata pelajaran tersebut adalah matematika. Menurut BSNP (2006), matematika merupakan ilmu universal yang memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin. Hal ini dapat dilihat


(3)

dengan ditetapkannya matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib dalam setiap Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam setiap jenjang pendidikan.

Matematika menurut Soedjadi (2000:13), merupakan suatu ilmu yang didasarkan atas akal (rasio) yang berhubungan benda-benda dalam pikiran yang abstrak atau matematika memiliki objek kajian yang abstrak. Selanjutnya, matematika merupakan ilmu dasar yang terus mengalami perkembangan karena proses berpikir (Suherman, 2001). Menurut Lestari dkk (2012), menyatakan bahwa matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) untuk menemukan strategi dalam menghadapi masalah sehari-hari. Matematika sangat berperan dalam segala bidang kehidupan manusia, sehingga wajar adanya pembelajaran matematika agar siswa dapat memahami matematika secara utuh. Menurut BSNP (2006: 139), mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.

Menurut Fitri et al (2014), pembelajaran matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol kemudian diterapkan pada situasi nyata. Tujuan mempelajari matematika menurut BSNP (2006), agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.

(1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

(2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami

masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

(4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

(5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.


(4)

Selain itu, tujuan pembelajaran matematika sebagaimana dirumuskan National Council of Teacher of Mathematics (2000) yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical comminication), (2) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), (3) belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), (4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections), (5) pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics).

Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika tersebut, kemampuan penalaran merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam proses pembelajaran matematika. Prinsip-prinsip dan standar matematika sekolah dari National Council of Teacher Mathematics (2000:56) menyatakan:

Being able to reason is essential to understanding mathematics. By developing ideas,exploring phenomena, justifying results, and using mathematical conjectures in all content areas and with different expectations of sophistication at all grade levels,students should see and expect that mathematics makes sense.

Menurut Ross (dalam Lithner, 2000: 165) menyatakan bahwa salah satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa tentang penalaran. Rohmad (2008) menambahkan bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Istilah penalaran (reasoning) dijelaskan oleh Keraf yang dikutip oleh Shadiq (2004) sebagai proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Menurut Copi yang dikutip oleh Shadiq “Reasoning is a special kind of thinking in which conclusions are drawn from premises” yang artinya penalaran adalah jenis dari kemampuan berpikir untuk menarik kesimpulan berdasarkan premis-premis. Dengan demikian penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik


(5)

kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.

Begitu pentingnya kemampuan penalaran pada pembelajaran matematika sebagaimana dikutip Shadiq (2004) dari Depdiknas bahwa materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Kemampuan penalaran dapat secara langsung meningkatkan hasil belajar siswa. Siswa dengan kemampuan penalaran yang rendah akan menyebabkan siswa kesulitan dalam memahami konsep matematika (Tim Puspendik, 2012). Pentingnya kemampuan penalaran matematis juga dikemukakan oleh Suryadi (2005) dan Mullis et al (2000) (dalam Saragih, 2007: 4) yang menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada aktivitas penalaran dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan pencapaian prestasi siswa yang tinggi.

Meskipun penalaran matematis merupakan aspek penting, tetapi masih banyak siswa lemah dalam hal penalaran matematis. Kelemahan kemampuan penalaran matematis siswa dapat dilihat dari survei PISA seperti yang dikutip dari Litbang, rata-rata skor prestasi siswa di Indonesia belum mencapai skor rata-rata internasional. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil pada tahun 2000 menduduki peringkat 39 dari 41 negara dengan skor 367, sementara pada tahun 2003 menduduki peringkat 38 dari 40 negara dengan skor 360, pada tahun 2006 menduduki peringkat 50 dari 57 negara dengan skor 391, dan pada tahun 2009 menduduki peringkat 61 dari 65 negara dengan skor 371. Ini berarti kemampuan penalaran siswa Indonesia berdasarkan survei PISA masih berada di bawah siswa dari negara-negara lain. Begitu pula menurut Mullis (dalam Rosnawati, 2013), berdasarkan data dari Trends in Internasional Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011, kemampuan rata-rata siswa Indonesia masih jauh dibawah negara Malaysia, Thailand dan Singapura. Rata-rata persentase paling rendah dicapai oleh siswa Indonesia adalah pada domain


(6)

kognitif pada level penalaran (reasoning) yaitu 17%. Dengan demikian, dari hasil PISA dan TIMSS dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa Indonesia masih kurang.

Berdasarkan pengalaman saat Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 2 Batang pada bulan Agustus-Oktober 2015, kemampuan penalaran matematis siswa masih tergolong kurang. Pembelajaran ekspositori yang diterapkan mengakibatkan siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa cenderung menghafalkan rumus tanpa memahami dan menalar rumus yang didapatkannya. Dari hasil Ulangan Harian bab relasi dan fungsi kelas VIII-D tahun 2015/2016, rata-rata kelas hanya 52,4 dari KKM 70. Sedangkan yang mencapai nilai ketuntasan hanya 9 siswa dari jumlah siswa 34 siswa. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa masih rendah.

Sejalan dengan pentingnya kemampuan penalaran matematis, maka kemampuan penalaran matematis siswa perlu ditingkatkan. Berbagai upaya dapat diusahakan oleh guru, diantaranya dengan memberikan pembelajaran yang sesuai bagi siswa. Menurut Rusman (2010: 229), salah satu model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah Problem Based Learning (PBL).

Savoie dan Hughes (1994) dikutip dari Wena (2009; 91) menjelaskan bahwa Problem Based Learning (PBL) memiliki karakteristik yang mana pembelajarannya dimulai dari permasalahan yang berhubungan dengan dunia nyata siswa. Problem Based Learning (PBL) berpusat kepada siswa sehingga siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar. Problem Based Learning (PBL) tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui Problem Based Learning (PBL) siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.

Kurangnya kemampuan penalaran matematis siswa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti gaya belajar, kecemasan matematika instruksi,


(7)

kurangnya rasa percaya diri, kepercayaan guru, lingkungan, kurangnya perhatian orang tua, serta jenis kelamin. Salah satu karakteristik belajar yang berkaitan dengan menyerap, mengolah, dan menyampaikan informasi tersebut adalah gaya belajar siswa (Kartika, 2014).

Gaya belajar menurut Gunawan (2012) merupakan cara yang lebih disukai dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu informasi. Gaya belajar masing-masing siswa tentunya berbeda satu sama lain. Oleh karena gaya belajar siswa yang berbeda, maka penting bagi guru untuk menganalisis gaya belajar siswanya sehingga diperoleh informasi yang dapat membantu guru untuk lebih peka dalam memahami perbedaan di dalam kelas dan dapat melaksanakan pembelajaran yang bermakna.

Jika seorang anak menangkap informasi/materi sesuai dengan gaya belajarnya, maka tidak akan ada pelajaran yang sulit. Menurut Barbara Prashning dalam Chatib (2014:171) bahwa penyerapan informasi bergantung pada cara orang mengusahakannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakteristik gaya belajar yang dimiliki peserta didik merupakan salah satu modalitas yang berpengaruh dalam pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasinya. Hal serupa juga diungkapkan Chatib (2014:171) bahwa gaya belajar anak seperti pintu pembuka. Setiap butir informasi yang masuk lewat pintu terbuka lebar, akan memudahkan anak memahami informasi itu. Pada puncak pemahaman, informasi itu akan masuk ke memori jangka panjang dan tak terlupakan seumur hidup.

Menurut Deporter & Henacky (2000:112), gaya belajar terbagi menjadi tiga jenis. Ketiga jenis tersebut ialah gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Ketiga jenis gaya belajar tersebut dibedakan berdasarkan kecenderungan mereka memahami dan menangkap informasi lebih mudah menggunakan penglihatan, pendengaran, atau melakukan sendiri.

Kemampuan penalaran matematis siswa perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui bagaiamana kemampuan penalaran matematis siswa berdasarkan gaya belajar siswa yang berbeda-beda. Agar deskripsi


(8)

kemampuan penalaran matematis siswa dapat diketahui dengan baik, maka dalam penelitian ini siswa diberikan materi melalui pembelajaran generatif. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, perlu adanya penelitian lebih lanjut berjudul “Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau Dari Gaya Belajar Siswa dalam Problem Based Learning (PBL)”.

2.2 Fokus Masalah

Penelitian ini akan menganalisis kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII dalam Problem Based Learning (PBL). Kemampuan penalaran matematis siswa dianalisis berdasarkan tipe gaya belajar mereka. Tipe gaya belajar dalam penelitian ini menggunakan penggolongan Deporter dan Henacky yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.

2.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

1. Apakah kemampuan penalaran matematis siswa dalam Problem Based Learning (PBL) dapat mencapai ketuntasan belajar?

2. Apakah Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII?

3. Bagaimana kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII ditinjau dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning (PBL)?

4. Bagaimana keterkaitan kemampuan penalaran matematis siswa dengan Problem Based Learning (PBL)?

2.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui kemampuan penalaran matematis siswa dalam Problem Based Learning (PBL) mencapai ketuntasan belajar.

2. Untuk mengetahui Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII.


(9)

3. Untuk mendeskripsikan kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII ditinjau dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning (PBL).

4. Untuk mengetahui keterkaitan kemampuan penalaran matematis siswa dengan Problem Based Learning (PBL).

2.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut. 2.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran terhadap upaya peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa berdasarkan gaya belajar siswa.

2.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai pengalaman dalam melaksanakan tugas pembelajaran di sekolah yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajar serta mengembangkan pembelajaran.

2. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi atau masukan tentang model pembelajaran yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengajar dalam rangka upaya peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa dengan gaya belajar siswa yang berbeda.

3. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menemukan cara belajar agar mudah mempelajari dan menyerap informasi sesuai dengan gaya belajar mereka.

4. Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perbaikan dan pengembangan proses pembelajaran di sekolah guna meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika.


(10)

2.6 Penegasan Istilah

Penegasan istilah dimaksudkan untuk menghindari salah pengertian serta memberikan batas ruang lingkup penelitian. Istilah-istilah yang perlu dijelaskan penegasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.6.1 Analisis

Menurut KBBI Daring (dalam jaringan), analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya). Secara umum analisis ialah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah objek secara mendalam.

Dalam penelitian ini analasis yang dimaksudkan adalah penguraian kemampuan penalaran matematis siswa secara kuantitatif maupun kualitatif ditinjau dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning (PBL). 2.6.2 Kemampuan Penalaran Matematis

Istilah penalaran (reasoning) dijelaskan oleh Keraf yang dikutip oleh Shadiq (2004) sebagai proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Indikator penalaran matematis dalam penelitian ini menggunakan indikator penalaran menurut Depdiknas.

2.6.3 Problem Based Learning (PBL)

Menurut pendapat Schmidt, 1993; Savery dan Duffy, 1995; Hendry dan Murphy, 1995 (dalam Rusman, 2013: 231), bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan pmbelajaran yang didasarkan pada teori belajar kontruktivisme. Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah kontekstual untuk memahami konsep dan menguasai keseluruhan kemampuan matematik lainnya (Sumarmo, 2015). 2.6.4 Gaya Belajar

Gaya belajar menurut Gunawan (2012) merupakan cara yang lebih disukai dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu


(11)

informasi. Dalam penelitian ini gaya belajar yang dibahas adalah gaya belajar berdasarkan cara menerima informasi dengan mudah (modalitas) yang digolongkan oleh Deporter dan Henacky (2000) menjadi tiga tipe gaya belajar yaitu gaya belajar tipe visual, tipe auditorial, dan tipe kinestetik.

3. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Belajar

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Berikut beberapa definisi belajar menurut beberapa ahli.

1) Slameto (2010: 2) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

2) Abin Syamsudin (dalam Rohmah, 2012) menjelaskan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.

3) Gagne (dalam Basleman dan Syamsu, 2011) menuturkan “Learning is a change in human disposition or capability, which persists over a period of time, and which is not simply ascribable to process of growth.” Artinya bahwa belajar adalah suatu perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu dan bukan proses pertumbuhan.

4) Rifa’i (2012), menuturkan bahwa belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku setiap orang dan belajar itu mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang.

5) Uno (2011), menjelaskan belajar sebagai perubahan tingkah laku secara relatif permanen sebagai hasil dari praktik yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dari beberapa pengertian belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses yang ditandai adanya perubahan tingkah


(12)

laku pada seseorang yang disebabkan sebagai hasil pengalaman yang mempengaruhi tingkah laku individu tersebut.

3.1.1 Teori Belajar

3.1.1.1Teori Belajar David Ausubel

David Ausubel (Rusman, 2013) membedakan antara belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna merupakan penerimaan informasi yang disesuaikan dengan struktur kognitif yang dimiliki seseorang. Sedangkan belajar menghafal merupakan pengolahan informasi yang tidak disesuaikan dengan struktur kognitif siswa dan tidak ada kaitannya dengan pengetahuan yang ia miliki sebelumnya (Arianto, 2012).

Problem Based Learning (PBL) dimulai dengan memberikan masalah yang mengaitkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Hal ini yang sejalan dengan teori belajar Ausubel mengenai belajar bermakna. 3.1.1.2Teori Belajar Vigotsky

Vigotsky (Rifai dan Anni, 2012) meyakini bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan sosial dan kebudayaan. Dia juga meyakini bahwa perkembangan memori, perhatian dan nalar, melibatkan pembelajaran dengan menggunakan alat yang ada dalam mayarakat, seperti bahasa dan sistem matematika. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran.

Keterkaitan teori belajar Vigotsky dalam penelitian ini adalah penerapan Problem Based Learning (PBL) dalam hal mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa melalui interaksi sosial. Selain itu Problem Based Learning (PBL) dalam matematika dapat mengembangkan kemampuan penalaran siswa.


(13)

Piaget sebagai salah satu tokoh penting dalam teori perkembangan kognitif mengemukakan tiga prinsip utama dalam pembelajaran yaitu belajar aktif, belajar melalui interaksi sosial, dan belajar melalui pengalaman. (Rifai, 2012: 170)

Belajar aktif. Proses pembelajaran merupakan proses aktif, karena pengetahuan terbentuk dari dalam subjek belajar. Untuk membantu perkembangan kognitif anak, kondisi belajar perlu dibuat seoptimal mungkin sehingga memungkinkan anak melakukan percobaan, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan, menjawab, dan membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan teman.

Belajar melalui interaksi sosial. Belajar perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadi interaksi di antara subjek belajar. Piaget percaya bahwa belajar bersama akan membantu perkembangan kognitif anak. Dengan interaksi sosial, anak akan diperkaya dengan berbagai macam sudut pandang dan alternatif, sehingga perkembangan kognitif anak akan mengarah ke banyak pandangan.

Belajar melalui pengalaman sendiri. Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata dari pada bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Jika hanya menggunakan bahasa tanpa pengalaman sendiri, perkembangan kognitif anak cenderung mengarah ke verbalisme.

Berdasarkan uraian di atas, pengalaman siswa dalam proses pembelajaran sangat penting untuk perkembangan kognitif. Dengan demikian, pengalaman belajar harus dimunculkan dalam proses belajar di kelas sehingga pembelajaran matematika dapat diterima sesuai dengan perkembangan kognitif siswa.

3.2 Problem Based Learning (PBL)

Menurut pendapat Schmidt, 1993; Savery dan Duffy, 1995; Hendry dan Murphy, 1995 (dalam Rusman, 2013: 231), bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar kontruktivisme. Esensi pembelajaran konstruktivistik adalah siswa secara


(14)

individu menemukan dan mentransfer informasi yang dikehendakinya (Rifai dan Anni, 2012).

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu konsep pembelajaran (Utomo Tomi et.al, 2014). Ciri-ciri PBL menurut beberapa ahli (Barrows dan Kelson, 2003; Ibrahim dan Nur, 2000; Stephen dan Gallagher, 2009) dalam Sumarmo (2015) antara lain: diawali dengan masalah kontekstual, siswa terlibat aktif dalam membangun pengetahuannya, dan guru sebagai motivator dan fasilitator.

Karakteristik atau ciri-ciri Problem Based Learning (PBL) menurut Akınoglu dan Tandogan, sebagaimana dikutip Wardono et al, sebagai berikut:

(1) proses pembelajaran harus dimulai dengan masalah yang didominasi masalah nyata;

(2) bahan dan kegiatan belajar harus memperhatikan keadaan agar dapat menarik perhatian siswa;

(3) guru adalah seorang supervisor selama proses pembelajaran;

(4) siswa perlu diberi waktu untuk berpikir atau mengumpulkan informasi dan mengembangkan strategi untuk pemecahan masalah;

(5) tingkat kesulitan dari materi yang dipelajari tidak pada tingkat tinggi yang dapat membuat siswa putus asa;

(6) lingkungan belajar nyaman, tenang dan aman harus dibangun sehingga mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir dan menyelesaikan masalah.

Tujuan Problem Based Learning (PBL) menurut Ibrahim dan Nur (Rusman, 2013) adalah untuk (1) membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah, (2) belajar berperan sebagai orang dewasa dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata, dan (3) menjadi siswa yang otonom. Ibrahim dan Nur menambahkan bahwa langkah-langkah Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut:

Fase Tingkah Laku Guru 1 Orientasi siswa

pada masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan kebutuhan logistik yag


(15)

2

3

4

5

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Membimbing pengalaman

individu/kelompok

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah. Membantu siswa mendefinisikan tugas belajar yang terkait dengan masalah tersebut

Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi

Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan bahan-bahan untuk dipresentasikan dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Membantu siswa merefleksi atau mengevaluasi proses penyelidikan yang mereka gunakan dalam menyelesaikan masalah.

3.3 Kemampuan Penalaran Matematis

Penalaran merupakan salah satu standar proses matematika di samping komunikasi, koneksi matematika, dan pemecahan masalah. Menurut Lithner, J. (2008:257), “reasoning is the line of though adopted to produce assertions and reach conclusions in task solving.” Selanjutnya, menurut Keraf, sebagaimana dikutip oleh Shadiq (2004: 2) penalaran (jalan pikiran/reasoning) merupakan proses berpikir yang berusaha menghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan.

Ross (dalam Lithner, 2000: 165) menyatakan bahwa “One of the most important goals of mathematics courses is to teach student logical reasoning”. Ini berarti penalaran merupakan hal penting yang harus diajarkan pada siswa. Rochmad (2008) menambahkan bahwa bila


(16)

kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Menurut Depdiknas sebagaimana dikutip Shadiq (2004) materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Sehingga dengan kemampuan penalaran matematis yang dimiliki oleh siswa, maka mereka dapat menarik kesimpulan dari beberapa fakta yang mereka ketahui dengan lebih mudah. Sumarmo (2015) menggolongkan penalaran menjadi dua jenis berdasarkan cara penarikan kesimpulannya yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif (Amir Almira, 2014) adalah suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan dari pernyataan khusus yang diketahui dan bersifat umum. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh khusus menuju konsep atau generalisasi. Beberapa kegiatan yang tergolong penalaran induktif (Sumarmo, 2012) di antaranya adalah:

(1) Transduktif, yaitu menarik kesimpulan dari satu kasus (khusus) yang diterapkan pada kasus khusus lainnya.

(2) Analogi, yaitu penarikan kesimpulan berdasarkan kemiripan data atau proses.

(3) Generalisasi, yaitu penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang diamati.

(4) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan (interpolasi atau ektrapolasi).

(5) Memberi penjelasan terhadap model,fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada.

(6) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi dan menyusun konjektur.

Sedangkan penalaran deduktif (Amir Almira, 2014) yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari


(17)

kebenaran sebelumnya. Proses pembuktian secara deduktif akan melibatkan teori atau rumus matematika lainnya yang sudah dibuktikan kebenarannya. Beberapa kegiatan yang tergolong penalaran deduktif (Sumarmo, 2012) di antaranya adalah:

(1) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu. (2) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa

validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argument yang valid. (3) Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan

pembuktian dengan induksi matematika.

Tentunya penalaran tidak hanya digunakan dalam belajar matematika saja, tetapi juga diperlukan untuk membuat keputusan atau dalam penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari.

3.3.1 Indikator Penalaran Matematika

Pada Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 sebagaimana dikutip Wardhani (2008: 14), indikator siswa memiliki kemampuan penalaran matematis, yaitu:

(1) Mengajukan dugaan,

(2) Melakukan manipulasi matematika,

(3) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi,

(4) Menarik kesimpulan dari pernyataan, (5) Memeriksa kesahihan suatu argument, dan

(6) Menentukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.

Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan hanya 3 indikator yang sesuai dengan KD perbandingan, yaitu (1) mengajukan dugaan, (2) melakukan manipulasi matematika, (3) menyusun bukti, dan (4) menarik kesimpulan.

3.3.2 Tingkat Kemampuan Penalaran Matematis

Tingkat kemampuan penalaran matematis dalam penelitian ini adalah pengelompokkan tingkat kemampuan penalaran matematis siswa didasarkan pada hasil perolehan tes kemampuan penalaran matematis yang


(18)

dikonversikan pada kategori atas, tengah, dan bawah. Kriteria pengelompokkan kemampuan penalaran matematis menurut Suherman dan Sukjaya (Riyanto, 2011) adalah sebagai berikut:

(1) Kelompok penalaran tinggi: nilai ̅

(2) Kelompok penalaran sedang: ̅ nilai ̅ (3) Kelompok penalaran rendah: nilai ̅

Keterangan:

̅ : rata-rata hasil tes kemampuan penalaran matematis

: simpangan baku hasil tes kemampuan penalaran matematis 3.4 Gaya Belajar

Cara siswa dalam memahami dan menyerap informasi sudah pasti berbeda satu sama lainnya. Sebagian siswa lebih suka bila guru mengajar dengan menuliskan materi di papan tulis, sehingga mereka dapat membaca dan memahaminya. Tetapi sebagian siswa lain lebih suka guru menyampaikan materi secara lisan sehingga mereka dapat mendengarkan dan memahami. Ada juga siswa yang lebih suka dengan pembelajaran yang menggunakan alat peraga. Cara siswa dalam belajar ini lebih kita kenal dengan gaya belajar.

Ada beberapa pendapat tentang definisi gaya belajar. Beberapa pendapat tersebut antara lain.

1. Gunawan (2012: 139) menjelaskan gaya belajar adalah cara yang lebih kita sukai dalam melakukan kegiatan berkiri, memproses, dan mengerti suatu informasi.

2. Cahtib (2014: 100) menerangkan gaya belajar adalah respon yang paling peka dalam otak seseorang untuk menerima data atau informasi dari pemberi informasi dan lingkungannya.

3. DePorter dan Hernacki (2000: 110) merumuskan bahwa gaya belajar merupakan kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi.


(19)

4. Kolb, Honey, dan Mumford (dalam Abidin et al, 2011) menggambarkan gaya belajar sebagai cara yang disukai atau kebiasaan individu dalam mengolah dan mentransformasi pengetahuan.

5. Dunn dan Dunn (dalam Pashler et al, 2009) menjelaskan bahwa gaya belajar adalah cara dimana setiap siswa mulai berkonsentrasi, memroses, menyerap, dan mempertahankan informasi baru.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa gaya belajar ialah cara yang lebih disukai untuk memperoleh informasi yang dipelajari.

DePorter dan Hernacki (2000: 112) menggolongkan gaya belajar berdasarkan cara menerima informasi dengan mudah (modalitas) ke dalam tiga tipe yaitu gaya belajar tipe visual, tipe auditorial, dan tipe kinestetik. Berikut ini pembahasan mengenai tiga tipe gaya belajar.

3.4.1 Gaya Belajar Visual

Gaya belajar visual yaitu gaya belajar dimana seseorang merasa paling baik dengan melihat, memperhatikan, dan mengamati benda-benda yang dipelajarinya. Menurut Felder and Henriques (dalam Abidin et al, 2011), pelajar visual adalah mereka yang memilih untuk menerima informasi dalam bentuk gambar, diagram, film, dan dokumentasi. Terkadang siswa dengan gaya belajar visual lebih menyukai duduk di depan kelas dan mencatat deskripsi materi yang disajikan (Gilakjani, 2012).

Menurut De Potter & Hernacky (2000: 116-167), ciri-ciri orang yang mempunyai gaya belajar visual sebagai berikut.

1. Rapi dan teratur.

2. Berbicara dengan cepat.

3. Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik. 4. Teliti terhadap detail.

5. Mementingkan penampilan, baik dalam pakaian maupun presentasi

6. Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikirannya

7. Mengingat dengan asosiasi visual


(20)

9. Mempunyai masalah untuk mengingat intruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya. 10. Pembaca cepat dan tekun

11. Lebih suka membacakan daripada dibacakan.

12. Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek.

13. Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat.

14. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain.

15. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban yang singkat ya atau tidak.

16. Lebih suka melakukan demontrasi daripada berpidato. 17. Lebih suka seni daripada musik.

18. Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata.

19. Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.

3.4.2 Gaya Belajar Auditori

Gaya belajar visual yaitu gaya belajar dimana seseorang merasa paling baik belajar dari suara dengan bercerita (mempresentasikan sesuatu), berdiskusi, dan mengemukakan pendapat. Seperti penuturan Gilakjani (2012), siswa dengan gaya belajar auditori menemukan informasi melalui mendengarkan dan menafsirkan informasi dari lapangan. Biasanya siswa dengan gaya belajar ini mendapatkan pengetahuan dengan cara membaca dengan keras dan diperkirakan kurang memiliki pemahaman penuh dari informasi yang tertulis.

Menurut DePorter & Henacky (2000: 117), ciri-ciri orang yang mempunyai gaya belajar auditori sebagai berikut.

1. Berbicara kepada dirinya sendiri saat bekerja. 2. Mudah terganggu keributan.

3. Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca.

4. Senang membaca dengan keras dan mendengarkan.

5. Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara

6. Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita 7. Bebicara dalam irama yang terpola


(21)

9. Lebih suka musik daripada seni.

10. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada dilihat.

11. Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar.

12. Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat visualisasi, seperti memotong bagian-bagian sehingga sesuai satu sama lain.

13. Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya. 14. Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik.

3.4.3 Gaya Belajar Kinestetik

Gaya belajar kinestetik mengandalkan kepada sentuhan seperti gerak dan emosi untuk dapat mengingat suatu informasi.

Menurut DePorter & Henacky (2000: 117), ciri-ciri orang yang mempunyai gaya belajar kinestetik sebagai berikut.

1. Berbicara dengan perlahan 2. Menanggapi perhatian fisik

3. Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka 4. Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang.

5. Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak. 6. Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar. 7. Belajar melalui manipulasi dan praktek

8. Meghafal dengan cara berjalan dan melihat.

9. Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca. 10. Banyak menggunakan isyarat tubuh

11. Tidak dapat duduk diam untuk waktu yang lama

12. Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu.

13. Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot dengan mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca.

14. Ingin melakukan segala sesuatu. 3.5 Ketuntasan Belajar

Ketuntasan belajar adalah pencapaian suatu tingkat penguasaan minimal dalam tujuan pembelajaran pada setiap satuan pelajaran. Ketuntasan belajar dapat dilihat dari membandingkan nilai ulangan harian peserta didik melalui tes dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM di SMP Negeri 2 Batang kelas VIII pada mata pelajaran matematika


(22)

adalah 70. Indikator ketuntasan belajar pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) Ketuntasan Belajar Individual

Dalam penelitian ini, ketuntasan belajar individual ditandai dengan pencapaian nilai tes penalaran matematis sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal.

(2) Ketuntasan Belajar Klasikal

Dalam penelitian ini, suatu kelas dikatakan telah mencapai ketuntasan belajar klasikal jika banyaknya siswa yang telah mencapai ketuntasan belajar individu sekurang-kurangnya adalah 75%.

3.6 Tinjauan Materi Prisma 3.6.1 Standar Kompetensi

5. Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas, dan bagian-bagiannya, serta menentukan ukurannya.

3.6.2 Kompetensi Dasar

5.1 Mengidentifikasi sifat-sifat limas serta bagian-bagiannya. 5.2 Membuat jaring-jaring limas.

5.3 Menghitung luas permukaan dan volume limas. 3.7 Penelitian yang Revelan

1. Zaenab (2015) dengan penelitiannya “Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Melalui Pendekatan Problem Posing di Kelas X IPA 1 SMA Negeri 9 Malang” diperoleh bahwa kemampuan penalaran siswa melalui pendekatan Problem Posing telah mencapai 6 dari 7 indikator penalaran Problem Posing dengan baik. Indikator yang belum terpenuhi tersebut adalah siswa menyajikan pernyataan matematika dalam bentuk diagram. Data kemampuan penalaran siswa ini diperoleh melalui analisis terhadap hasil tes yang telah dilakukan siswa.


(23)

2. Kusmaryono (2013) dengan penelitiannya “Analisis Kemampuan Penalaran Matematika pada Model Pembelajaran Numbered Heads Together dengan Pendekatan Snowball Throwing Terhadap Siswa SMP” diperoleh bahwa pembelajaran model Numbered Heads Together dengan pendekatan Snowball Throwing dapat melatih kemampuan penalaran siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes kemampuan penalaran siswa secara klasikal mencapai 76,01%.

3. Zainol (2011) dalam penelitian yang berjudul “learning Styles and Overall Academic Achievement in a Spesific Educational System” diperoleh bahwa siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda dari tujuh gaya belajar utama yaitu auditorial, visual, reflektif, analitik, global, kinestetik, dan gaya belajar kelompok. Gaya belajar memberikan dampak pada prestasi secara keseluruhan.

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti ingin menganalisis kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII ditinjau dari gaya belajar siswa meliputi gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik dalam Problem Based Learning (PBL).

3.8 Kerangka Berfikir

Penalaran merupakan salah satu kemampuan matematika yang harus dikuasi siswa dalam pembelajaran matematika. Hal ini karena materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Kemampuan penalaran dapat secara lansung meningkatkan hasil belajar siswa. Siswa dengan kemampuan penalaran yang rendah akan menyebabkan siswa kesulitan dalam memahami konsep matematika.

Meskipun penalaran matematis sangat penting, tetapi kemampuan penalaran matematis siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil TIMSS dan PISA, hasil observasi dan wawancara dengan salah satu guru matematika. Hasil TIMSS menunjukkan rata-rata persentase paling rendah


(24)

dicapai oleh siswa Indonesia adalah pada domain kognitif pada level penalaran (reasoning). Sedangkan menurut survei PISA menunjukkan bahwa rata skor prestasi siswa di Indonesia belum mencapai skor rata-rata internasional. Berdasarkan observasi dan juga wawancara dengan salah satu guru matematika, diperoleh bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah penalaran matematis.

Sejalan dengan pentingnya kemampuan penalaran matematis, maka kemampuan penalaran matematis siswa perlu ditingkatkan. Berbagai upaya dapat diusahakan oleh guru, diantaranya dengan memberikan pembelajaran yang sesuai bagi siswa. Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah Problem Based Learning (PBL). Problem Based Learning (PBL) berpusat kepada siswa sehingga siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar. Problem Based Learning (PBL) tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui Problem Based Learning (PBL) siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.

Kurangnya kemampuan penalaran matematis siswa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti gaya belajar, kecemasan matematika instruksi, kurangnya rasa percaya diri, kepercayaan guru, lingkungan, kurangnya perhatian orang tua, serta jenis kelamin. Adapun gaya belajar merupakan salah satu faktor yang penting dan berkaitan erat dengan diri siswa. Karena setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Hal inilah yang kemudian menjadi sangat penting bagi guru untuk menganalisis dan mengetahui gaya belajar siswa yang menyebabkan kurangnya kemampuan penalaran matematis siswa. Karena tipe gaya belajar yang berbeda dapat menyebabkan kemampuan penalaran matematis yang berbeda pula. Kemampuan penalaran matematis siswa yang kurang serta perbedaan tipe gaya belajar siswa perlu dikaji lebih lanjut.


(25)

3.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berfikir diatas, hipotesis penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Siswa yang diajarkan dengan model Problem Based Learning (PBL) pada materi bangun ruang limas mencapai ketuntasan pada kemampuan penalaran matematis.

2. Model Permbelajaran Berbasis Masalah (PBM) pada materi bangun ruang limas dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis.

4. METODE PENELITIAN

Analisis kemampuan penalaran matematis berdasarkan gaya belajar siswa kelas VIII F dalam PBM

KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS

Kemampuan penalaran matematis sebagian besar siswa

rendah

Gaya belajar siswa yang berbeda menyebabkan kemampuan penalaran matematis yang berbeda

Penerapan pembelajaran Problem Based Learning

(PBL)

Analisis tipe gaya belajar siswa kelas VIII F

Analisis kemampuan penalaran matematis dalam Problem

Based Learning (PBL) Tes kemampuan penalaran


(26)

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed methods atau metode penelitian kombinasi. Menurut Creswell sebagaimana dikutip dalam Sugiyono (2013;404), menyatakan metode penelitian campuran adalah suatu model pendekatan dalam penelitian yang mengkombinasikan atau menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih valid, reliabel, dan objektif.

Model metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah concurrent embedded design (model campuran tidak berimbang). Seperti yang dijelaskan Creswell dalam Sugiyono (2013;412) bahwa concurrent embedded design merupakan metode penelitian yang mengkombinasikan metode kualitatif dan kuantitatif secara bersama-sama dengan bobot metode yang tidak seimbang. Dalam penelitian ini menggunakan 30% metode kuantitatif dan 70% metode kualitatif. Pembagian ini dikarenakan metode kualitatif sebagai metode primer dan metode kuantitatif sebagai metode sekunder yang berperan untuk menunjang hasil penelitian sehingga data yang diperoleh menjadi lebih akurat.

Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis kualitas Problem Based Learning (PBL) dan pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis kemampuan penalaran matematis berdasarkan gaya belajar siswa.

4.2 Populasi, Sampel, dan Subjek Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di SMP Negeri 2 Batang yang beralamat di Jalan RE Martadinata, Sekalong, Kabupaten Batang. Pemilihan lokasi ini karena peneliti pernah melakukan kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 2 Batang sehingga telah mengetahui gambaran awal tentang karakter siswa. Sehingga populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII di SMP Negeri 2 Batang tahun ajaran 2015/2016.

Dengan menggunakan nilai hasil Ulangan Tengah Semester (UTS) genap diperoleh data awal untuk menentukan bahwa sampel dalam


(27)

penelitian ini berasal kondisi populasi yang berdistribusi normal dan homogen, setelah ini dipilih kelas eksperimen yang akan diberi perlakuan berupa pemberian Problem Based Learning (PBL) dan kelas kontrol yang akan diberi perlakuan berupa pemberian pembelajaran ekspositori. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012: 62). Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tekni cluster random sampling. Tekni cluster random sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan melakukan randomisasi terhadap subjek secara kelompok (Azwar, 2005: 87). Sampel yang terpilih dalam penelitian ini adalah kelas eksperimen F dan kelas kontrol VIII-A.

Menurut Sugiyono (2010:314) actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran tertentu. Ia juga berpendapat bahwa actor adalah semua orang yang terlibat dalam situasi sosial. Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang menjadi sumber informasi adalah minimal 18 siswa kelas VIII-F SMP Negeri 2 Batang. Berikut disajikan alur penentuan subjek penelitian.


(28)

Agar kemampuan penalaran matematis diketahui berdasarkan tipe gaya belajar siswa, maka dilakukan wawancara. Teknik pemilihan subjek wawancara dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2010: 300), teknik sampling yang sering digunakan pada penelitian kualitatif adalah:

purposive sampling, dan snowball sampling. Seperti telah dikemukakan bahwa, purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.

4.3 Variabel Penelitian

4.3.1 Variabel Bebas

Variable bebas adalah variable yang memengaruhi atau menjadi penyebab terjadinya perubahan atau munculnya vaiabel terikat (Sugiyono,

dipilih

Siswa kelas VIII-F (kelas eksperimen) diberi perlakuan berupa Problem Based Learning (PBL)

Tes kemampuan penalaran matematis Tes penggolongan gaya belajar

 2 siswa tipe gaya belajar visual  2 siswa tipe gaya

belajar auditorial  2 siswa tipe gaya belajar kinestetik

Tinggi Sedang Rendah

dipilih  2 siswa tipe gaya

belajar visual  2 siswa tipe gaya

belajar auditorial  2 siswa tipe gaya belajar kinestetik

dipilih  2 siswa tipe gaya

belajar visual  2 siswa tipe gaya

belajar auditorial  2 siswa tipe gaya belajar kinestetik


(29)

2013). Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah pembelajaran matematika dengan Problem Based Learning (PBL) dan pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori.

4.3.2 Variabel Terikat

Variable terikat merupakan yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variable bebas (Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII.

4.4 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengamatan kinerja guru, hasil pengamatan aktivitas siswa, hasil angket gaya belajar, hasil pre-test, dan hasil post test untuk membantu analisis kualitas pembelajaran. Hasil pre-test juga digunakan untuk menentukan tingkat kemampuan penalaran matematis siswa dan data hasil wawancara untuk menganalisis kemampuan penalaran matematis berdasarkan gaya belajar siswa.

4.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

4.5.1 Metode Dokumentasi

Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data yang berupa hasil UAS semester genap dan daftar nama siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Batang tahun ajaran 2015/2016.

4.5.2 Metode Tes

Metode tes yang diberikan merupakan tes tertulis yang berbentuk uraian. Tes yang diujikan telah divalidasi oleh para validator sebelumnya. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai kemampuan penalaran siswa.


(30)

4.5.3 Metode Angket

Menurut Sugiyono (2010: 199), metode angket (kuesioner) adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk menjawabnya. Pada penelitian ini, metode angket digunakan untuk memperoleh data gaya belajar siswa kelas.

Metode angket yang digunakan dalam angket ini ialah metode angket langsung. Metode angket langsung yaitu metode angket yang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diperoleh secara langsung dari subjek penelitian tanpa melalui perantara. Metode angket ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai gaya belajar dari subjek penelitian.

4.5.4 Metode Wawancara

Metode wawancara yang dilakukan diperlukan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan mendukung mengenai apa yang telah didapatkan dari tes tertulis. Wawancara yang dilakukan adalah mengenai jawaban yang dikerjakan oleh siswa. Untuk menghindari agar tidak ada data yang terlewatkan maka digunakan recorder untuk merekam semua informasi selama wawancara.

Setelah ditentukan sebanyak enam subjek untuk setiap gaya belajar, maka diadakan wawancara terhadap subjek tersebut. Wawancara bersifat tak terstruktur dengan tujuan menemukan masalah dengan terbuka, artinya subjek diajak mengemukakan pendapat dan ide-idenya tentang penyelesaian masalah yang telah dituliskan dalam lembar jawaban tes penalaran matematis.

4.5.5 Catatan Lapangan

Catatan lapangan dimaksudkan untuk melengkapi data yang tidak ditentukan dalam tes tertulis dan wawancara yang bersifat penting.


(31)

4.6.1 Peneliti

Peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan instrumen utama. Peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan membuat kesimpulan.

Menurut Nasution sebagaimana dikutip oleh Sugiyono (2010: 307), peneliti sebagai instrumen utama memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan

2. peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan

3. tiap situasi merupakan keseluruhan

4. suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata

5. peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh

6. hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan

7. dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang menyimpang justru diperhatikan.

4.6.2 Instrumen Angket Gaya Belajar

Dalam meneliti karakter siswa yang terbentuk dibutuhkan instrumen untuk penelitian kualitatif. Instrumen dalam penelitian kualitatif utamanya adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas maka akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara (Sugiyono, 2010: 307).

Angket ini disusun berdasarkan kisi-kisi dan indikator yang merujuk teori gaya belajar menurut Deporter & Hernacki.

4.6.3 Instrumen Tes Penalaran Matematis

Tes merupakan serentetan pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok (Arikunto, 2006: 150). Instrumen tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes penalaran


(32)

matematis yang berupa tes uraian untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penalaran matematis siswa.

Penyusunan kisi-kisi tes disesuaikan dengan Kompetensi Dasar dan indikator kemampuan penalaran matematis. Setelah perangkat instrumen tersusun, kemudian diujicobakan terlebih dahulu pada kelompok uji coba yaitu kelompok di luar kelompok subjek penelitian. Dengan soal yang sama dan tenggang waktu yang cukup untuk diuji apakah butir-butir soal tersebut valid dan dapat digunakan.

Setelah dilakukan uji coba, dilakukan analisis terhadap validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda butir soal. Soal yang diberikan pada kelas subjek adalah soal-soal yang telah diperbaiki dengan melihat hasil uji coba sebelumnya.

1. Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2006: 168). Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Rumus yang digunakan adalah rumus yang dikemukakan oleh Pearson, yang dikenal dengan rumus korelasi product moment sebagai berikut

∑ ∑ ∑

√{ ∑ ∑ }{ ∑ ∑ }

Keterangan :

: Koefisien korelasi skor butir soal dan skor total. : Banyaknya subjek.

: Banyaknya butir soal.

: Jumlah skor total.

: Jumlah perkalian skor butir dengan skor total.

: Jumlah kuadrat skor butir soal.

: Jumlah kuadrat skor total.

Hasil perhitungan dikonsultasikan pada tabel product moment dengan , jika maka butir soal tersebut valid.


(33)

2. Reliabilitas

Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data (Arikunto, 2006: 168). Reliabilitas instrumen dianalisis dengan menggunakan rumus Alpha. Rumus Alpha digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 0 dan 1, misalnya angket atau soal bentuk uraian.

( )

Dengan ∑ ∑

Keterangan :

: Reliabilitas instrumen yang dicari

: Banyaknya butir soal : Jumlah siswa

: Skor tiap butir soal : Nomor butir soal

∑ : Jumlah varians skor tiap-tiap butir soal : Varians total

Perhitungan reliabilitas akan sempurna jika hasil tersebut dikonsultasikan dengan tabel product moment. Jika maka soal tersebut reliabel.

3. Daya Pembeda

Analisis daya pembeda digunakan untuk mengetahui kemampuan soal tersebut dalam membedakan siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai. Signifikansi daya pembeda tes berbentuk uraian ditentukan dengan menggunakan uji t dengan rumus sebagai berikut.

̅̅̅ ̅̅̅ √∑


(34)

Keterangan : = daya pembeda

̅̅̅= rata-rata kelompok atas

̅̅̅= rata-rata kelompok bawah

∑ Jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok atas

∑ = Jumlah kuadrat deviasi individual dari kelompok bawah

Jika ℎ � � > �� dengan derajat kebebasan = (n 1) + (n 2) dengan taraf signifikan 5% maka daya pembeda soal tersebut signifikan. (Arifin, 2012 :141)

4. Tingkat Kesukaran

Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal disebut indeks kesukaran. Besarnya indeks kesukaran antara 0,0 sampai 1,0. Indeks kesukaran ini menunjukkan taraf kesukaran soal. Soal dengan indeks kesukaran 0,0 menunjukkan bahwa soalnya mudah. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau terlalu sukar.

Teknik perhitungan tingkat kesukaran butir soal uraian adalah dengan menghitung berapa persen peserta tes yang gagal menjawab benar atau ada di bawah batas lulus (passing grade) untuk tiap-tiap item. Rumus yang digunakan adalah:

(Arifin, 2012 : 135).

Interpretasi nilai tingkat kesukaran itemnya dapat digunakan tolak ukur sebagai berikut.

(1) Jika jumlah testi yang gagal ≤ 27%, termasuk mudah.

(2) Jika 27% < jumlah testi yang gagal ≤ 72%, termasuk sedang. (3) Jika jumlah testi yang gagal > 72%, termasuk sukar.

(4) Batas lulus ideal adalah 6 untuk skala 0-10. 4.6.4 Instrumen Pedoman Wawancara


(35)

Penyusunan instrumen pedoman wawancara diawali dengan mempelajari dan mengkaji indikator kemampuan penalaran matematis yang dijadikan pedoman dalam menyusun pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang disusun didasarkan pada tujuan untuk menganalisis kemampuan penalaran matematis subjek penelitian dalam menyelesaikan masalah.

Instrumen pedoman wawancara ini selanjutnya divalidasi oleh ahli yang terdiri atas dua orang. Yang dimaksud ahli dalam hal ini adalah dosen pendidikan matematika. Dipilihnya dosen karena dosen dipandang sebagai pakar dan praktisi yang telah ahli dan berpengalaman dalam mengembangkan instrumen penelitian.

Validasi intrumen wawancara diarahkan pada kejelasan butir pertanyaan dan apakah pertanyaan sudah mengungkap kemampuan komunikasi matematis subjek penelitian dalam menyelesaikan masalah matematika.

4.7 Teknik Analisis Data

4.7.1 Analisis Data Kuantitatif

Analisis data kuantitatif dilakukan dua tahap, yaitu analisis data awal dan analisis data akhir. Analisis data awal dilaksanakan sebelum diberikan perlakuan. Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui kedua kelas yang akan dibandingkan memiliki kondisi yang sama. Data yang digunakan pada analisis awal adalah data hasil Ulangan Tengah Semester (UTS) genap kelas VIII SMP Negeri 2 Batang. Sedangkan analisis data akhir yaitu analisis data nilai hasil tes kemampuan penalaran matematis yang dilakukan setelah pembelajaran matematika.

4.7.1.1Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menentukan data dalam kelompok sampel berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian normalitas data menggunakan uji chi-kuadrat.


(36)

Keterangan:

: harga chi kuadrat,

: Frekuensi hasil pengamatan, : Frekuensi yang diharapkan.

Langkah-langkah yang dilakukan. a. Merumuskan hipotesis

: Data berdistribusi normal : Data tidak berdistribusi normal b. Menentukan taraf nyata ( )

c. Menentukan nilai uji statistik.

Keterangan:

: harga chi kuadrat,

: Frekuensi hasil pengamatan, : Frekuensi yang diharapkan.

d. Kriteria pengujiannya: tolak jika , dengan

derajat kebebasan dk = (k–1) dan taraf signifikan

5%. (Sugiyono, 2010: 81). 4.7.1.2Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel penelitian berasal dari kondisi awal yang sama atau homogen yaitu dengan menyelidiki varians dari kelas eksperimen dan kelas kontrol sama atau tidak. Untuk menguji homogenitas dari dua kelompok data digunakan uji Fisher (uji F).

Langkah-langkah pada Uji F adalah sebagai berikut. 1) Merumuskan hipotesis pengujian


(37)

, (dua sampel tidak homogen)

2) Menentukan taraf signifikan yang dalam penelitian ini diambil taraf signifikan sebesar 10%.

3) Melakukan perhitungan statistik

� � � � �

4) Kriteria pengujian.

Tolak jika , dengan diperoleh dari daftar distribusi dengan peluang ⁄ dan derajat kebebasan dan .

4.7.1.3Uji Ketuntasan

Uji ketuntasan dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah hasil belajar kemampuan penalaran matematis siswa dalam Problem Based Learning (PBL) mencapai ketuntasan klasikal atau tidak. Ketuntasan individual didasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM di SMP Negeri 2 Batang untuk mata pelajaran matematika pada kelas VIII adalah 70. Sementara kriteria ketuntasan klasikal yaitu persentase siswa yang mencapai ketuntasan individual minimal sebesar 75%. Uji ketuntasan klasikal menggunakan uji proposi satu pihak, maka akan dilakukan uji ketuntasan klasikal hasil tes sebagai berikut:

1. Merumuskan hipotesis

(proporsi ketuntasan hasil tes kemampuan penalaran matematis kurang dari atau sama dengan 75%)

(proporsi ketuntasan hasil tes kemampuan penalaran matematis lebih dari dengan 75%)

2. Menentukan taraf signifikan yang dalam penelitian ini diambil taraf signifikan sebesar 5%.


(38)

⁄ √

Keterangan: : nilai hitung;

: banyaknya siswa yang tuntas;

: nilai ketuntasan klasikal minimal yang telah ditentukan; : jumlah seluruh siswa

4. Kriteria

Tolak jika dan pada hal lainnya terima (Sudjana, 2005: 234).

4.7.1.4Uji Gain Score Ternormalisasi

Untuk melihat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa dilakukan analisis terhadap gain ternormalisasi. Menurut Hake sebagaimana dikutip oleh Susanto (2012) gain ternormalisasi dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan :

� : gain score ternormalisasi

: skor post test : skor pre-test

Adapun untuk kriteria indeks gain menurut Hake adalah sebagai berikut.

Indeks gain Kriteria

� Tinggi

� Sedang


(39)

Dalam penelitian ini, gain score ternormalisasi kelas eksperimen akan dibandingkan dengan gain score ternormalisasi kelas kontrol yang telah dipilih. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kepastian bahwa terdapat peningkatan kemampuan penalaran siswa yang signifikan dalam Problem Based Learning (PBL). Untuk itu dilakukan uji perbedaan rata-rata gain score ternormalisasi. Namun sebelumnya dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians.

4.7.1.5Uji t Gain Score Ternormalisasi

Untuk mengetahui bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen lebih signifikan dari kelas kontrol, maka digunakan uji perbedaan rata-rata gain score ternormalisasi dengan menggunakan uji perbedaan rata-rata pihak kanan. Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas data, maka uji perbedaan rata-rata yang digunakan adalah uji-t.

Langkah-langkah pada uji-t adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan hipotesis

(peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen sama dengan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas kontrol)

(peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas kontrol)

2. Menentukan taraf signifikan yang dalam penelitian ini diambil taraf signifikan sebesar 5%.

3. Melakukan perhitungan statistik

Apabila data berdistribusi normal dan homogen, maka

̅̅̅ ̅̅̅ √


(40)

Dengan

Keterangan: : nilai hitung;

̅̅̅ : rata-rata gain score ternormalisasi kelas eksperimen

̅̅̅ : rata-rata gain score ternormalisasi kelas kontrol : simpangan baku gabungan

: simpangan baku kelas eksperimen : simpangan baku kelas kontrol

: jumlah seluruh siswa kelas eksperimen : jumlah seluruh siswa kelas kontrol 4. Kriteria pengujian

Tolak jika dan pada hal lainnya terima dengan derajat kebebasan untuk table distribusi t ialah ( ) dan peluang ( ). (Sudjana, 2005: 243).

4.7.2 Analisis Data Kualitatif

Menurut Miles dan Huberman (1992:16) analisis data pada penelitian kualitatif dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut.

4.7.2.1Reduksi data (data reduction).

Reduksi data didefinisikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatn tertulis di lapangan. Reduksi data juga berperan sebagai upaya agar tidak terjadi penumpukan data atau informasi yang diperoleh karena data yang sudah direduksi datanya lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan.

Tahap-tahap reduksi data dalam penelitian ini adalah

a. Mengelompokkan siswa-siswa berdasarkan tipe gaya belajarnya b. Mengoreksi hasil pekerjaan siswa


(41)

c. Hasil pekerjaan dari subjek penelitian dengan nilai tertinggi dan memenuhi tipe gaya belajar merupakan data mentah kemudian ditransformasikan pada catatan sebagai bahan untuk wawancara.

d. Hasil wawancara disederhanakan menjadi susunan bahasa yang baik dan rapi, kemudian ditransformasikan ke dalam catatan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengolah hasil wawancara menjadi data yang siap untuk digunakan.

4.7.2.2Penyajian data (data display)

Penyajian data dilakukan dengan memunculkan dan menunjukkan kumpulan data atau informasi yang sudah terkategori yang memungkinkan suatu penarikan kesimpulan atau tindakan. Pada tahap ini hal-hal yang dilakukan meliputi:

(1) Menyajikan penggolongan siswa berdasarkan gaya belajarnya

(2) Menyajikan hasil pekerjaan siswa yang dijadikan bahan untuk wawancara.

(3) Menyajikan hasil wawancara yang telah direkam pada tape recorder. (4) Menyajikan hasil analisis yang berupa kemampuan setiap subjek

penelitian (data ini merupakan data temuan) yang mewakili jenis gaya belajarnya.

4.7.2.3Verifikasi (Penarikan Kesimpulan)

Verifikasi atau penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil pekerjaan siswa dan hasil wawancara. Dari kegiatan ini dapat diambil kesimpulan mengenai kemampuan penalaran matematis siswa untuk tiap tipe gaya belajar.

Kesimpulan akhir mungkin tidak muncul hingga pengumpulan data berakhir. Penarikan kesimpulan berkaitan dengan besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodean, penyimpanan dan kecakapan peneliti. Apabila ada data baru akan mengubah kesimpulan sementara hingga segera melakukan perbaikan data yang diperoleh. Hal ini terus dilakukan sampai seluruh data dikumpulkan.


(42)

4.8 Keabsahan Data

Peneliti menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data untuk mendapatkan keabsahan data dengan menggunakan teknik sebagai berikut. 4.8.1 Derajat Kepercayaan (Credibility)

Derajat kepercayaan atau kredibilitas mengacu pada pertanyaan apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada dalam kenyataan di lapangan atau tidak. Pada penelitian ini untuk memenuhi kredibilitas data dilakukan dengan mewawancarai subjek secara teliti dan mengadakan perulangan pertanyaan pada waktu berbeda apabila informasi yang diperoleh masih kurang jelas atau berbeda dengan data yang telah diperoleh. Peneliti juga mengadakan teknik triangulasi untuk menvalidasi data. Triangulasi dalam penelitian ini adalah membandingkan data hasil pekerjaan siswa dengan data hasil wawancara dan membandingkan serta memeriksa data wawancara dari subjek yang berbeda dalam satu tipe gaya belajar yang sama.

4.8.2 Kriteria Keteralihan

Keteralihan adalah upaya membangun generalisasi seperti yang dilakukan dalam penelitian kuantitatif. Keteralihan dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks serta menguraikannya secara rinci. Hal tersebut digunakan agar diperoleh laporan hasil fokus penelitian dilakukan seteliti dan secermat mungkin. Pada penelitian ini yang dilakukan adalah menguraikan secara rinci deskripsi kemampuan penalaran matematis pada masing-masing gaya belajar siswa. 4.8.3 Kriteria Kebergantungan (Dependability)

Pemeriksaan kebergantungan (dependability) merupakan substitusi istilah reliabilitas atau keajegan hasil pengukuran dalam penelitian kuatitatif. Pada penelitian ini agar memenuhi kriteria kebergantungan, maka peneliti berusaha memeriksa kembali proses penelitian secara keseluruhan


(43)

agar data yang diuraikan dalam hasil penelitian tidak menyimpang dari data pada saat proses penelitian.

4.8.4 Kriteria Kepastian (Confirmability)

Kriteria kepastian (confirmability) berasal dari konsep objektivitas dalam penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini untuk memenuhi kriteria kepastian maka peneliti berusaha agar data yang diuraikan dalam hasil penelitian ini benar-benar data yang diperoleh peneliti selama proses penelitian.

4.9 Prosedur Penelitian

Secara umum prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut.


(44)

Melihat latar subjek

Mempersiapkan instrumen angket gaya belajar siswa, instrumen tes kemampuan penalaran matematis, dan pedoman wawancara

Validasi instrumen angket gaya belajar siswa, instrumen tes kemampuan penalaran matematis, dan pedoman wawancara

Pengisian angket gaya belajar siswa kelas VIII F

Klasifikasi tipe gaya belajar siswa

Pelaksanaan pre-test kemampuan penalaran matematis

Penentuan subjek wawancara kemampuan penalaran matematis

Analisis Data

Pelaksanaan wawancara subjek terpilih

Pendeskripsian kemampuan penalaran matematis siswa ditinjau dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning (PBL)

Penarikan kesimpulan

Klasifikasi kemampuan penalaran matematis sesuai tingkat kemampuan penalaran matematis siswa

Pelaksanaan Problem Based Learning (PBL) dan ekspositori


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. J. Z., A. A. Rezaee, H. N. Abdullah, & K. K. B. Singh. 2011. Learning Styles and Overall Academic Achievement in a Specific Educational System. International Journal of Humanities and Social Science. 1(10): 143-152.

Amir, A. 2014. Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Dalam Pembelajaran Matematika. Logaritma. 2(1): 18-33.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Basleman, A. & Syamsu M. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

BSNP. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Chatib, Munif. 2014. Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Anak. Bandung: Kaifa.

DePorter, Bobbi.& Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

Fitri, R., Helma, & H. Syarifuddin. 2014. Penerapan Strategi The Firing Line pada Pembelajaran Matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Batipuh. Jurnal Pendidikan Matematika. 3(1): 18-22.

Gilakjani, Abbas P. 2012. Visual, Auditory, Kinaesthetic Learning Style and Their Impact on English Language Teaching. Journal of Studies in Education. 2(1): 104-113.

Gunawan, Adi. 2012. Genius Leraning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning. Jakarta: Gramedia.

Kartika, S. Ariesta. 2014. Analisis Karakteristik Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik) Mahasiswa Pendidikan Informatika Angkatan 2014. Jurnal Ilmiah Edutic. 1(1): 1-12.

Kusmaryono, Imam. 2013. Analisis Kemampuan Penalaran Matematika pada Model Pembelajaran Numbered Heads Together dengan Pendekatan Snowball Throwing terjadap Siswa SMP. Tesis Universitas Sultan Agung.

[diakses di

http://research.unissula.ac.id/research/pages/penelitian.php?id=MjA2YXBh eWFlbmtyaXBzaW55YT8=]


(46)

Lestari, A., Yarman, & Syafriandi. 2012. Penerapan Strategi Pembelajaran Matematika Berbasis Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestik). Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1): 1-7.

Lithner, J. 2000. Mathematical Reasoning in Task Solving. Educational Studies in Mathematics. 41(2): 165 – 190.

Lithner, J. 2008. A Reseacrh Framework for Creative and Imitative Reasoning. Educational Studies in Mathemathics. 67(3): 255-276.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. United State of America: Library of Congress Cataloguing.

Pashler, H., M. McDaniel, D. Rohrer, & R. Bjork. 2009. Learning Styles: Concepts and Evidence. A Journal of The Association for Psychological Science. 9(3): 105-119.

Rifai, Ahmad & Anni. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang: Unnes Press. Riyanto, B. 2011. Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Matematika

dengan Pendekatan Konstruktivisme pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Matematika. 5(2): 111-128.

Rochmad. 2008. Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran Matematika Beracuan Kontruktivisme. Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika: Sertifikasi Guru: Meningkatkan Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal 16 Januari 2008

Rohmah, Noer. 2012. Psikologi Pendidikan. Malang: Teras.

Rosnawati, R. 2013. Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia Pada TIMSS 2011. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA. UNY.

Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Shadiq, Fajar. 2009. Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Nasional.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.


(47)

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2011. Statistka untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. UPI.

Sumarmo, U. 2012. Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika, NTT, 25 Februari.

Sumarmo, U. & Ade M. 2015. Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Problem Based Learning (PBL). Jurnal Ilmiah STKIP Siliwangi Bandung. 9(1): 40-51.

Sumarsih. 2009. Implementasi Teori Pembelajaran Konstruktivistik Dalam Pembelajaran Mata Kuliah Dasar-Dasar Bisnis. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia. 8(1): 54-62.

Susanto, Joko. 2012. Pengembangan Perangkar Pembelajaran Berbasis Lesson Study Dengan Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA di SD. Journal of Primary Educational. 1(2): 71-77.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Grafindo.

Tim Puspendik. 2014. Kemampuan Matematika Siswa SMP Indonesia: Menurut Benchmark Internasional TIMSS 2011. Jakarta: Balitbang.

Uno, B. Hamzah. 2011. Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Utomo, T., D. Wahyuni, & S. Hariyadi. 2014. Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) (Problem Based Learning) Terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa (Siswa Kelas VIII Semester Gasal SMPN 1 Sumbermalang Kabupaten Situbondo Tahun Ajaran 2012/2013). Jurnal Edukasi Unej. 1(1): 5-9.

Wardhani, Sri. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Wardono, S.B. Waluya, S. Mariani, & S. Candra D. 2016. Mathematics Literacy on Problem Based Learning with Indonesian Realistic Mathematics

Education Approach Assisted E-Learning

Edmodo. http://iopscience.iop.org/issue/1742-6596/693/1. Journal of


(48)

Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.


(1)

agar data yang diuraikan dalam hasil penelitian tidak menyimpang dari data pada saat proses penelitian.

4.8.4 Kriteria Kepastian (Confirmability)

Kriteria kepastian (confirmability) berasal dari konsep objektivitas dalam penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini untuk memenuhi kriteria kepastian maka peneliti berusaha agar data yang diuraikan dalam hasil penelitian ini benar-benar data yang diperoleh peneliti selama proses penelitian.

4.9 Prosedur Penelitian

Secara umum prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut.


(2)

Melihat latar subjek

Mempersiapkan instrumen angket gaya belajar siswa, instrumen tes kemampuan penalaran matematis, dan pedoman wawancara

Validasi instrumen angket gaya belajar siswa, instrumen tes kemampuan penalaran matematis, dan pedoman wawancara

Pengisian angket gaya belajar siswa kelas VIII F

Klasifikasi tipe gaya belajar siswa

Pelaksanaan pre-test kemampuan penalaran matematis

Penentuan subjek wawancara kemampuan penalaran matematis

Analisis Data

Pelaksanaan wawancara subjek terpilih

Pendeskripsian kemampuan penalaran matematis siswa ditinjau dari gaya belajar siswa dalam Problem Based Learning (PBL)

Penarikan kesimpulan

Klasifikasi kemampuan penalaran matematis sesuai tingkat kemampuan penalaran matematis siswa

Pelaksanaan Problem Based Learning (PBL) dan ekspositori


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. J. Z., A. A. Rezaee, H. N. Abdullah, & K. K. B. Singh. 2011. Learning Styles and Overall Academic Achievement in a Specific Educational System. International Journal of Humanities and Social Science. 1(10): 143-152.

Amir, A. 2014. Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Dalam Pembelajaran Matematika. Logaritma. 2(1): 18-33.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Basleman, A. & Syamsu M. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

BSNP. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Chatib, Munif. 2014. Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Anak. Bandung: Kaifa.

DePorter, Bobbi.& Mike Hernacki. 2000. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

Fitri, R., Helma, & H. Syarifuddin. 2014. Penerapan Strategi The Firing Line pada Pembelajaran Matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Batipuh. Jurnal Pendidikan Matematika. 3(1): 18-22.

Gilakjani, Abbas P. 2012. Visual, Auditory, Kinaesthetic Learning Style and Their Impact on English Language Teaching. Journal of Studies in Education. 2(1): 104-113.

Gunawan, Adi. 2012. Genius Leraning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning. Jakarta: Gramedia.

Kartika, S. Ariesta. 2014. Analisis Karakteristik Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik) Mahasiswa Pendidikan Informatika Angkatan 2014. Jurnal Ilmiah Edutic. 1(1): 1-12.

Kusmaryono, Imam. 2013. Analisis Kemampuan Penalaran Matematika pada Model Pembelajaran Numbered Heads Together dengan Pendekatan Snowball Throwing terjadap Siswa SMP. Tesis Universitas Sultan Agung.

[diakses di

http://research.unissula.ac.id/research/pages/penelitian.php?id=MjA2YXBh eWFlbmtyaXBzaW55YT8=]


(4)

Lestari, A., Yarman, & Syafriandi. 2012. Penerapan Strategi Pembelajaran Matematika Berbasis Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestik). Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1): 1-7.

Lithner, J. 2000. Mathematical Reasoning in Task Solving. Educational Studies in Mathematics. 41(2): 165 – 190.

Lithner, J. 2008. A Reseacrh Framework for Creative and Imitative Reasoning. Educational Studies in Mathemathics. 67(3): 255-276.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. United State of America: Library of Congress Cataloguing.

Pashler, H., M. McDaniel, D. Rohrer, & R. Bjork. 2009. Learning Styles: Concepts and Evidence. A Journal of The Association for Psychological Science. 9(3): 105-119.

Rifai, Ahmad & Anni. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang: Unnes Press. Riyanto, B. 2011. Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Matematika

dengan Pendekatan Konstruktivisme pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Matematika. 5(2): 111-128.

Rochmad. 2008. Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran Matematika Beracuan Kontruktivisme. Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika: Sertifikasi Guru: Meningkatkan Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal 16 Januari 2008

Rohmah, Noer. 2012. Psikologi Pendidikan. Malang: Teras.

Rosnawati, R. 2013. Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia Pada TIMSS 2011. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA. UNY.

Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Shadiq, Fajar. 2009. Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Nasional.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.


(5)

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2011. Statistka untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. UPI.

Sumarmo, U. 2012. Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika, NTT, 25 Februari.

Sumarmo, U. & Ade M. 2015. Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Problem Based Learning (PBL). Jurnal Ilmiah STKIP Siliwangi Bandung. 9(1): 40-51.

Sumarsih. 2009. Implementasi Teori Pembelajaran Konstruktivistik Dalam Pembelajaran Mata Kuliah Dasar-Dasar Bisnis. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia. 8(1): 54-62.

Susanto, Joko. 2012. Pengembangan Perangkar Pembelajaran Berbasis Lesson Study Dengan Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA di SD. Journal of Primary Educational. 1(2): 71-77.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Grafindo.

Tim Puspendik. 2014. Kemampuan Matematika Siswa SMP Indonesia: Menurut Benchmark Internasional TIMSS 2011. Jakarta: Balitbang.

Uno, B. Hamzah. 2011. Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Utomo, T., D. Wahyuni, & S. Hariyadi. 2014. Pengaruh Model Problem Based Learning (PBL) (Problem Based Learning) Terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa (Siswa Kelas VIII Semester Gasal SMPN 1 Sumbermalang Kabupaten Situbondo Tahun Ajaran 2012/2013). Jurnal Edukasi Unej. 1(1): 5-9.

Wardhani, Sri. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Wardono, S.B. Waluya, S. Mariani, & S. Candra D. 2016. Mathematics Literacy on Problem Based Learning with Indonesian Realistic Mathematics

Education Approach Assisted E-Learning

Edmodo. http://iopscience.iop.org/issue/1742-6596/693/1. Journal of Physics: Conference Series. 693(1).


(6)

Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.