sekarang bisa menjadi guru
private
bahasa Inggris bagi beberapa anak di kota Solo.
“Kalau contohnya mengajar bahasa Inggris apalagi anak-anak biasanya sulit mengerti jadi harus banyak gerakan. Untuk
menyapa orang seperti “hai” dengan melambaikan tangan.” JJ, wawancara, 10 Juni 2016
Sebelum datang ke Indonesia, JJ belum pernah mencari tahu
sama sekali tentang Indonesia, tentang kota Solo. JJ mengatakan bahwa ia sempat mengalami
culture shock
khususnya soal makanan dan budaya. Akan tetapi, baginya itu bukan masalah besar karena
nyatanya ia mampu bertahan untuk belajar bahkan menghasilkan uang di Indonesia hingga saat ini.
6. Lantoarinala Seheno A. D
Wawancara dilakukan pada; Tanggal
: 13 Juni 2016 Pukul
: 19.00 WIB Lokasi
: Gedung D, Wisma UNS Perempaun asal Madagaskar ini memiliki nama lengkap
Lantoarinala Seheno Arson Dolly, dengan panggilan Dolly. Memasuki semester 1 tahun ajaran 2016 pada jurusan Agrobisnis di Fakultas
Ekonomi dan Perbankan di UNS. Dolly yang berusia 25 tahun tersebut tiba di Indonesia pada bulan September 2015. Ia memiliki badan yang
bisa dibilang gemuk, pipi tembam serta rambut ikal dan kulit gelap sebagaimana orang Madagaskar pada umumnya.
“Kidding, yes maybe. Yeah sometimes like saying something stupid, hehe.” Dolly, wawancara, 13 Juni 2016
Masih belajar Bahasa Indonesia hingga saat ini, ia banyak menjawab pertanyaan saat wawancara dengan bahasa Inggris. Sesekali
bertanya arti beberapa kata pada pertanyaan yang tidak ia pahami. Dengan mengenakan kaos lengan pendek dan celana
legging
, sepulang berbelanja dan akan pergi lagi untuk makan, Dolly meluangkan
waktunya untuk membantu peneliti melakukan wawancara dengannya. Sambil duduk santai di sofa ruang tamu gedung D, Wisma UNS, Dolly
menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Sesekali sambil tersenyum lebar bahkan tertawa. Dolly memang selalu terlihat
riang dan senang bercanda dengan teman-temannya. Wajahnya cukup ekspresif akan tetapi tidak banyak gerakan tangan yang ia lakukan,
hanya beberapa kali merubah gaya duduknya. Matanya sesekali melihat pada peneliti dan sering kali melihat sekitar ruang tamu.
“7 bulan. Since bulan September 2015.” Dolly, wawancara, 13 Juni 2016
Kurang lebih sudah 1 tahun Dolly tinggal di Indonesia, akan
tetapi belum banyak kosa kata yang ia kuasai, akunya. Meski sering menggunakan bahasa verbal, tapi ia hanya menggunakan bahasa
Indonesia kurang lebih 30 dalam kesehariannya. Selain bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, Dolly juga menguasai bahasa Prancis,
bahasa Madagaskar serta bahasa Nosk
Noerwegian
. Dari sekian banyak bahasa yang ia kuasai, membuatnya lebih mudah dalam
berkomunikasi dengan mahasiswa asing yang lain meski tidak
menggunakan bahasa Indonesia, maka dari itu masih sedikit sulit baginya untuk mempraktekkan bahasa Indonesia yang telah ia pelajari.
Saat berkomunikasi dengan orang lain, Dolly juga tidak pernah membuat jarak khusus. Begitu juga dengan bau badan yang sudah
menjadi stereotip pada orang Afrika, tapi tidak dengan Dolly. Perempuan yang sering tersenyum ini tidak memiliki bau badan yang
menyengat. Dan selalu mengenakan pakaian yang sopan standar Indonesia dimanapun dia berada atau berpergian.
Dolly mengaku, sebelumnya dia sudah tahu Indonesia sejak di bangku sekolah. Setelah dinyatakan mendapat beasiswa ke Indonesia,
dia kembali mencari tahu lebih banyak melalui internet. Meski begitu ia masih mengalami
culture shock
dengan banyak hal, mulai dari bahasa, musim, makanan dan kendaraan yang ada di Indonesia, serta
budaya bertanya orang Jawa.
7. Loh Man