Rumusan Masalah Ruang Lingkup Penelitian Prosedur Penatalaksanaan Jarum Suntik

membutuhkan tindakanpenanganan yang cepat, dan juga kegiatan menggunakan jarum suntik di ruang Triase IGD ini banyak dilakukan. RSUP Sanglah Denpasar adalah rumah sakit pendidikan tipe A yang sudah terakreditasi Internasional. Untuk melindungi dan mencegah penularan infeksi dari kejadian tertusuk jarum bagi petugas kesehatan dan pasien, RSUP Sanglah telah membuat Standar Operasional Prosedur terutama prosedur penatalaksanaan jarum suntik injeksi yang harus dipatuhi oleh petugas kesehatan di RSUP Sanglah dalam melakukan kegiatan klinisnya. Namun, Tim PPI RSUP Sanglah Denpasar mengatakan bahwa penerapan SOP penatalaksanaan jarum suntik pasca injeksi yang dilakukan petugas kesehatan belum dilaksanakan dengan optimal. Hal ini didasarkan pada masih banyaknya insiden tertusuk jarum yang dialami petugas. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut bagaimana kepatuhan SOP pada tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi yang dikaitkan dengan kejadian tertusuk jarum di RSUP Sanglah Denpasar.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan bahwa insiden tertusuk jarum di RSUP Sanglah selama tahun 2015 dari bulan Januari-Desember sebanyak 70 kasus. Insiden ini paling banyak ditemukan di ruang Triase IGD. RSUP Sanglah telah membuat Standar Operasional Prosedur terutama prosedur penatalaksanaan jarum suntik injeksi yang harus dipatuhi oleh petugas kesehatan di RSUP Sanglah dalam melakukan kegiatan klinisnya. Namun, penerapan SOP penatalaksanaan jarum suntik yang dilakukan petugas kesehatan belum optimal. Hal ini didasarkan pada masih banyaknya kejadian tertusuk jarum yang dialami petugas. Kejadian ini berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Untuk itu peneliti tertarik melihat tingkat kepatuhan terhadap SOP pada tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, “Bagaimana tingkat kepatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur pada tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar ?” 1.4. Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui tingkat kepatuhan terhadap SOP pada tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan terhadap SOP pada tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi tahap persiapan di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar b. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan terhadap SOP pada tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi tahap prosedur kerja di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar. c. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan berdasarkan karakteristik umur dan jenis kelamin petugas kesehatan yang melakukan tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu kesehatan khususnya kepada petugas kesehatan yang bertugas di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Manajemen Rumah sakit dalam meningkatkan mutu asuhan keperawatan dalam menerapkan SOP penatalaksanaan jarum suntik sehingga pihak manajemen dapat menentukan sikap yang diambil dalam peningkatan mutu pelayanan. Dapat menjadi acuan untuk menambah wawasan dalam pencegahan infeksi dan peningkatan pelayanan di rumah sakit, juga dapat menjadi referensi bacaan sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang mengarah pada peningkatan mutu di rumah sakit dimana penelitian ini menyangkut tentang tingkat kepatuhan terhadap SOP pada tindakan penatalaksanaan jarum suntik injeksi di ruang Triase IGD RSUP Sanglah Denpasar. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manajemen Risiko

Program Kesehatan Kerja mempunyai tujuan utama yaitu memberikan perlindungan utama kepada pekerja dari bahaya kesehatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Lebih jauh lagi adalah menciptakan kerja yang tidak hanya aman dan sehat, tetapi juga nyaman serta meningkatkan kesejahteraan produktivitas kerja. Aspek dasar perlindungan kesehatan adalah manajemen risiko kesehatan. Manajemen risiko adalah proses yang bertahap dan berkesinambungan. Tujuan utama manajemen risiko kesehatan adalah menurunkan risiko pada tahap yang tidak bermakna sehingga tidak menimbulkan efek buruk terhadap kesehatan pekerja Seaton et al, 1994. Tujuan tersebut hanya akan tercapai melalui kerjasama antara professional kesehatan dan keselamatan kerja yang membantu manajemen dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program kesehatan kerja, dalam menjamin kesehatan petugasnya. Keberhasilan kegiatan manajemen risiko kesehatan dengan efektifitas dan efisiensinya sangat tergantung pada kerjasama antara berbagai pihak yang terlibat dalam program kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk pekerja. Manajemen risiko kesehatan mempunyai tujuan meminimalkan kerugian akibat kecelakaan dan sakit, meningkatkan kesempatanpeluang untuk meningkatkan produksi melalui suasana kerja yang aman, sehat, dan nyaman, memotong mata rantai kejadian kerugian akibat kegagalan yang disebabkan oleh kecelakaan dan sakit, serta pencegahan kerugian akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Komponen utama manajemen risiko kesehatan adalah penilaian risiko risk assessment, surveilans kesehatan health surveilans, dan pencatatan records. Di dalam komponen penilaian risiko risk assessment, terdapat unsur tahapan yang meliputi identifikasi bahaya, penilaian dosis, dan karakteristik risiko. Untuk dapat melakukan karakterisasi risiko perlu diketahui status kesehatan pekerja dan penilaian pajanan WHO, 1993.

1. Identifikasi Bahaya

Langkah pertama manajemen risiko kesehatan adalah identifikasi atau pengenalan bahaya kesehatan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi faktor risiko kesehatan yang dapat tergolong fisik, kimia, biologi, ergonomic, dan psikologi, yang terpajan pada pekerja. Untuk dapat menemukan faktor risiko ini dipelukan pengamatan terhadap proses dan simpulan kegiatan.

2. Penilaian Pajanan

Proses penilaian panajan merupakan bentuk evaluasi kualitatif dan kuantitatif terhadap pola pajanan kelompok pekerja yang bekerja dan pekerjaan tertentu dengan jenis pajanan risiko kesehatan yang sama. Penilaian pajanan harus memenuhi tingkat akurasi yang adekuat dengan tidak hanya mengukur konsentrasi atau intensitas pajanan, tetapi juga faktor lain. Pengukuran dan pemantauan konsentrasi dan intensitas secara kuantitatif saja tidak cukup, karena pengaruhnya terhadap kesehatan dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut perlu dipertimbangkan untuk menilai potensial faktor risiko bahayahazards yang dapat menjadi nyata dalam situasi tertentu Bisesi, 2004.

3. Karakteristik Risiko

Tujuan langkah karakterisasi risiko adalah mengevaluasi besaran Magnitude risiko kesehatan pada petugas kesehatan. Dalam hal ini adalah perpaduan keparahan gangguan kesehatan yang mungkin timbul termasuk daya toksisitas bila ada efek toksik, dengan kemungkinan gangguan kesehatan atau efek toksik dapat terjadi sebagai konsekuensi pajanan bahaya potensial. Karakterisasi risiko dimulai dengan mengintegrasikan informasi tentang bahaya yang teridentifikasi dengan perkiraan atau pegukuran intensitaskonsentrasi pajanan bahaya dan status kesehatan petugas.

4. Surveilans Kesehatan

Surveilans kesehatan merupakan penilaian keadaan kesehatan petugas yang dilakukan secara teratur dan berkala. Surveilans kesehatan terdiri atas surveilans medis termasuk pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan penunjang serta pemantauan biologis. Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan harus memperhatikan hasil proses penilaian risiko. Bentuk dan jenis pemeriksaan kesehatan harus secara tegas terkait dengan bahaya kesehatan yang teridentifikasi dan sesuai karakter risikonya WHO, 1993.

5. Penataan Data

Penataan data record keeping merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan dalam manajemen risiko kesehatan. Seluruh data yang diperoleh dari kegiatan manajemen risiko kesehatan ini terutama data tingkat pajanan dan surveilans kesehatan harus tersimpan rapi dan dijaga untuk setiap saat dapat digunakan sampai paling tidak selama 30 tahun. Perlu dipahami bahwa data surveilans kesehatan petugas bersifat rahasia sehingga harus mendapat penanganan untuk menjaa kerahasiaan tersebut Bisesi, 2004.

2.1.1 Identifikasi Risiko

Risiko dapat berasal dari masukan input, proses, lingkungan dan umpan balik. Risiko ini akan mempengaruhi keluaran output, yaitu baik atau tidaknya manajemen risiko suatu pelayanan kesehatan. Risiko dapat timbul pada hampir semua kegiatan dalam proses pelayanan kesehatan. Identifikasi risiko serta upaya pencegahannya akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Affandi,2005.

2.1.2. Penyakit Akibat Pajanan Jarum Suntik

Benda tajam sangat berisiko menyebabkan perlukaan sehingga meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Penularan infeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C di sarana pelayanan kesehatan, sebgaian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk jarum suntik dan perlukaan alat tajam lainnya. Di pelayanan kesehatan, penyakit infeksi ini termasuk dalam penyakit yang paling berisiko terpajan kepada petugas kesehatan melalui penanganan limbah klinis dan kontak dengan darah atau cairan tubuh yang lainnya. Diperkirakan 8 juta petugas kesehatan terpajan penyakit infeksi lewat darah dan berpotensi berakibat fatal Healey dan Kenneth, 2009. Penyakit yang paling signifikan adalah HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C. Virus Hepatitis B diketahui menimbulkan risiko terbesar bagi petugas kesehatan McCulloch, 2000. Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas pakai tidak boleh digunakan lagi. Sterilisasi jarum suntik dan alat kesehatan yang lain yang menembus kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Kebanyakan kecelakaan kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah penggunaannya.

2.1.3 Pengendalian Infeksi Nosokomial

Pengendalian infeksi nosokomial adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta pembinaan dalam upaya menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial di rumah Sakit Depkes, 2004. Center for Disease Control and Prevention 2007 menjelaskan bahwa salah stau pengendalian infeksi nosokomial adalah melakukan kebersihan tangan. Intervensi lainnya seperti pemasangan dan perawatan yang btepat dari peralatan invansif, penggunaan alat steril dan aseptic pada waktu pergantian balutan, kebersihan kulit, dekontaminasi dan sterilisasi dan surveilans yang berkelanjutan terhadap infeksi nosokomial.

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomila terdiri dari dua faktor yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh, dan kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan. Faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial adalah tindakan invansif, ruangan terlalu peuh dan kurang staf, penyalahgunaan antiobiotik, prosedur sterilisasi yang tidak tepat, dan ketidaktaatan peraturan pengendalian infeksi khususnya melakukan kebersihan tangan Weston, 2008. Melakukan kebersihan tangan merupakan salah satu cara pengontrolan infeksi yang sangat mudah dilakukan. Manfaat ini juga penting dalam mengurangi penyebaran mikororganisme. Mikroorganisme ini dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan pencucian tangan dengan teknik yang benar Potter dan Perry, 1999.

2. Kondisi-kondisi yang Mempermudah Terjadinya Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya beberapa keadaan tertentu, yaitu sebagai berikut Potter dan Perry, 1999 : 1. Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit atau pasien sehingga jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak. 2. Rumah sakit seringkali melakukan tindakan invansif mulai dari sederhana misalnya suntikan sampai tindakan yang lebih besar seperti operasi. Dalam melakukan tindakan seringkali petugas kurang memperhatikan tindakan aseptik dan antiseptik. 3. Mikroorganisme yang cenderung lebih resisten terhadap antibiotic, akibat penggunaan berbagai macam antibiotik yang tidak rasional. 4. Adanya kontak langsung antara pasien atau petugas dengan pasien yang dapat menularkan kuman pathogen. 5. Pengunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman. 6. Dari petugas, terkadang petugas kurang memahami cara-cara penularan, kurang memperhatikan kebersihan perorangan, tidak menguasai cara mengerjakan tindakan, tidak memperhatikan atau melaksanakan aseptik dan antiseptik,dan tidak mematuhi SOP yang ada.

2.2. Prosedur Penatalaksanaan Jarum Suntik

Merupakan tindakan yang segera dilakukan setelah petugas melakukan tindakan yang berhubungan dengan jarum suntikbenda tajam seperti injeksi. Bila benar-benar dibutuhkan, tindakan recapping hanya boleh dilakukan dengan cara yang benar pada kondisi tertentu. Tujuan dibuatnya standar operasional prosedur ini adalah sebagai acuan dan langkah-langkah yang harus dilakukan petugas untuk mencegah pajanan benda tajam dan penularan infeksi akibat terpapar dengan jarum suntikbenda tajam. Kebijakan pelaksanaan prosedur penatalaksanaan jarum suntik ini telah dibakukan dan disepakati serta telah disahkan oleh Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar No.HK.03.05SK.IV.D.2306902013 tanggal 9 Januari 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit di RSUP Sanglah Denpasar. Serta kebijakan Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar No.HK02.04IV.C.11-D.2343842014 tanggal 2 April 2014 tentang Perberlakuakn Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RSUP Sanglah Denpasar Tim PPI RSUP Sanglah Denpasar, 2015. Prosedur penatalaksanaan jarum suntik injeksi adalah sebagai berikut :

1. Standar alat :

a. Sarung tangan b. Sharpbox c. Kupet

2. Prosedur kerja :

a. Petugas melakukan kebersihan tangan b. Petugas menggunakan sarung tangan c. Petugas melakukan desinfeksi tutupkaret obatcairan pelarut dengan alkohol bila berbentuk botolvial d. Petugas membuka tutup jarum dan letakkan di tempat yang aman dan mudah dijangkau seperti dalam kupet e. Bila obat diharuskan untuk diencerkandilarutkan, petugas memasukkan cairan pelarut ke dalam vial obat dan lakukan pengocokan tanpa menarik spuit dari vial obat f. Petugas menarik obatcairan pelarut dengan spuit sesuai dosiskebutuhan g. Petugas menutup spuit pada kondisi jarum masih terbuka dengan cara salah satu tangan mengarahkan ke tutup spuit yang telah diletakkan sebelumnya dan memastikan seluruh bagian jarum telah masuk ke dalam tutupnya h. Kemudiankpetugas mengencangkan tutup jarum dengan menggunakan tangan lainnya di bagian pangkal jarum i. Petugas mengeluarkan udara yang masih ada di dalam spuit ketika jarum sudah pasti tertutup dengan cukup kuat, dan jangan mengeluarkan udara ketika jarum masih terbuka j. Petugas melakukan tindakan injeksi sesuai intruksi yang diberikan k. Setelah tindakan, petugas membuang segera jarum habis pakai ke dalam sharpbox tanpa melakukan recapping - Bila sharpbox dilengkapi fasilitas pembuka jarum, petugas memutar bagian pangkal jarum dengan tangan sehingga jarum dan syringe terlepasterpisah, lalu petugas membuang syringe ke dalam tempat sampah infeksius - Bila sharpbox tanpa dilengkapi fasilitas pembuka jarum, petugas membuang seluruh bagian spuit ke dalam sharpbox l. Petugas membuang ampul bekas tempat obat ke sharpbox, vialbotol bekas obat ke kantong sampah domestik dipisahkan dengan sampah domestik lainnya m. Petugas melakukan kebersihan tangan.

2.3. Standar Operasional Prosedur