Kebijakan Pengadaan Rumah Murah Di Indonesia Kasus Kota Medan

(1)

KEBIJAKAN PENGADAAN RUMAH MURAH DI INDONESIA

KASUS KOTA MEDAN

Yanda Zaihifni Ishak

*)

,

Julaihi bin Wahid

**)

, Moehammed Nawawiy Loebis

***)

*)

Pengamat Perumahan

**)

Pusat Pengajian Perumahan, Bangunan, dan Perancangan, USM

***)

Staf Pengajar Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik USU

Abstract

Economic Development strategy of a Nation has significantly influenced the policy on low cost housing supply. Housing supply for the low-income population not solely the problem of developing countries but also unsolve able problem in majority highly industrialized countries as well. There is often the wide gap between demand and supply of housing in urban area let alone low-cost housing. National policy for low cost housing seems superficial which is focused only for political cosmetic, therefore unable to narrow the wide gap between housing supply and demand. The problem of low cost housing is complex and closely knitting to social and political aspect in the particular country while the solution to this problem in a particular place is very unique and cannot be implanted indiscriminately to any other place. Therefore, the specific solution to each place is highly required. This article is put forward as an effort to formulate policy for low cost housing in urban area in Indonesia. Medan as a typical of Indonesia urban areas has been observed as a case study in order to highlight the issue

Keywords: Housing policy

1. Strategi

Pembangunan

Politik/

Ekonomi dan Kebijakan Perumahan

1.1 Strategi Pembangunan Politik dan Ekonomi

Skenario strategi pembangunan ekonomi sebagai manifestasi ideologi negara yang dipakai oleh suatu negara telah mempengaruhi pengadaan perumahan. Secara teoretis, pada asas strategi pembangunan politik ekonomi di Indonesia didasarkankan pada ekonomi pasar yang merujuk pada teori modernisasi yang memberi penekanan pada pertumbuhan ekonomi dengan tahapan yang tipikal dan linear seperti jalannya pembangunan ekonomi di negara maju. Strategi ini merujuk kepada rumusan yang diusulkan oleh Rostow (1964). Menurut ianya strategi ekonomi menurut skenario ini hanya akan dapat diawali dengan investasi intensif yang dananya dapat diperolehi dari pinjaman besar-besaran melalui lembaga-lembaga keuangan antara bangsa yang akan digunakan bagi membangun pertanian yang akan berakhir pada industri pertanian. Sebagai konsekuensi investasi dan industrialisasi pertanian tersebut maka akan terbuka peluang kerja diikuti dengan meningkatnya pendapatan nasional. Tumbuhnya permintaan dan terbentuknya ekonomi domestik yang kuat pada akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi pasar yang stabil.

Skenario strategi pertumbuhan ekonomi seperti ini bertumpu pada teori yang didasarkan pada asumsi yang mengatakan bahwa ”negara berkembang” hanya boleh maju melalui proses modernisasi dan melalui hubungan ekonomi yang komparatif (saling mengisi) dengan negara-negara yang sudah maju. Teori ini jelas menolak nilai-nilai tradisional yang dianggap sebagai penghambat internal yang telah menjadi penyebab keterbelakangan banyak negara di dunia ketiga. Demi memberi peluang bagi akumulasi modal untuk mempercepat pertumbuhan maka dibuatlah kebijakan monopoli dan penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil pengusaha dan penguasa. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya parameter yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan modernisasi.

Untuk tujuan tersebut, dituntut kestabilan politik sebagai pra-kondisi yang sangat penting pada masa awal sebelum terbentuknya ekonomi pasar yang stabil. Namun akibatnya adalah, ketimpangan kesempatan (inequality) baik sosial maupun ekonomi seperti pendapatan penduduk dan supressi yang berlebihan yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan (dictatorship). Beberapa penyimpangan telah dilakukan oleh konglomerat yang telah berhasil memonopoli barang dan uang, mereka telah investasi di sektor industri non-pertanian yang bahan mentahnya harus


(2)

diimpor dari negara maju, hal ini diperburuk oleh sistem monopoli yang pada awalnya dirancang untuk menguatkan industri tempatan namun telah berubah menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi yang in-efisien dan tidak menciptakan persaingan pasar. Akhirnya tahun 1997 bersamaan dengan timbulnya krisis ekonomi yang disebabkan oleh krisis moneter dunia, strategi ini memberikan akibat yang sangat buruk bagi perekonomian negara Indonesia.

1.2 Kebijakan Perumahan di Indonesia

Sebagai konsekuensi strategi ekonomi yang dipakai oleh negara Indonesia selama kepemimpinan ”orde baru” maka penyediaan rumah pada asasnya diserahkan kepada pasar seperti dikutip dari pokok-pokok pembangunan lima tahun (PELITA) di bawah ini:

Pembangunan perumahan di daerah kota dikebijakankan kepada prinsip, bahwa pembangunan perumahan sebagian besar harus diusahakan oleh masyarakat sendiri dengan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari negara. Dalam melaksanakan pembangunan tersebut harus diusahakan agar lingkungan perumahan yang diciptakan merupakan keterpaduan dari berbagai kelompok secara serasi. Usaha negara terutama ditujukan kepada golongan penduduk yang berpenghasilan rendah, antara lain melalui usaha penyediaan tanah matang untuk perumahan rakyat dan pembangunan rumah sederhana di daerah perkotaan. Di samping itu, perbaikan lingkungan kampung di kota-kota diusahakan dalam batas

kemampuan yang ada, dan merupakan usaha

kearah program peremajaan kota1.

Selanjutnya kebijakan tersebut berlanjut sampai akhir masa orde baru seperti terlihat di bawah ini.

Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan bagian yang integral dari pembangunan nasional, dan dalam pembangunannya ditempuh strategi pendorong (enabling strategy), yaitu pembangunan perumahan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab masyarakat. Peran negara adalah menciptakan iklim usaha dan iklim pembangunan, yang menggairahkan usaha dan iklim pembangunan perumahan, menggerakkan, mengarahkan, dan membantu kegiatan usaha dan peran serta masyarakat luas, sehingga secara bertahap masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhan perumahan dan pemukiman secara

swadaya, serta mengatur agar pelaksanaan

1

Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II seperti tercantum dalam Garis Besar Haluan Negara 1973

pembangunan perumahan dapat berjalan dengan tertib2.

Dari uraian di atas jelas kaitan antara kebijakan perumahan dan national ideology dan political strategy yang telah diambil menunjukkan penyediaan perumahan diserahkan kepada pasar yang tidak sempurna dengan intervensi seminimum mungkin yang memberikan efek yang berbeda dari kebijakan perumahan yang diterapkan oleh daerah lain.

2

.

Permasalahan

Permasalahan penyediaan perumahan cost rendah adalah dapat dikategorikan sebagai berikut:

Pertama adalah affordability masyarakat miskin yang memiliki income paling bawah tidak mampu memiliki ataupun menyewa rumah yang bagaimanapun murahnya, sehingga mereka ini memerlukan subsidi penuh. Seperti dijelaskan sebelumnya, proses menuju sistem ekonomi pasar telah menciptakan inequalities di segala sektor yang akhirnya terefleksi pada segregasi pendapatan yang sangat tajam. Kedua, adalah mismatch antara supply and needs atau beberapa perbedaan yang sangat signifikan antara penyediaan dan permintaan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Rumah yang disediakan selalu tidak sesuai dengan kemampuan finansial dari target populasi sehingga dengan berbagai cara jatuh ke tangan kelompok yang memiliki kemampuan lebih tinggi yang menjadikannya sebagai rumah kedua, sehingga supply tersebut tidak mengurangi ‘potential demand’. Menurut Salleh and Chai (1997), ketidaksesuaian juga terdapat pada kuantitas supply, karena produk supply merupakan respons terhadap permintaan pasar yang sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya, sehingga tidak lagi aktual dan tidak sesuai permintaan saat dibuat, hal ini disebabkan lamanya proses penyediaan perumahan yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan perubahan permintaan (time lag)3. Kualitas dan perancangan piawaian (planning standard) dari rumah cost rendah juga menjadi masalah yang mustahak, karena selalu tidak sesuai dengan kondisi sosio-kultural dari target populasi, dengan demikian menuntut pengubahsuaian yang sering tidak terakomodasi dalam undang-undang dan kebijakan yang berlaku (policy mismatch), lebih jauh lagi terdapat paradoks antara luas lantai dan

2

Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) VI seperti tercantum dalam Garis Besar Haluan Negara 1988

3

Ghani Salleh and Choong Lai Chai “Low-Cost Housing: Issues and Problems.” in Cagamas Bhd. Housing the Nation: a definitive study. Kuala Lumpur:Cagamas Bhd., 1997.


(3)

kemampuan. Keluarga yang memiliki anak yang lebih ramai memerlukan luas lantai yang lebih luas meskipun selalu ia lebih miskin. Ketiga, the incomprehensive kebijakan, isu perumahan secara am, dan rumah cost rendah secara khas selalu ditempatkan terpisah dari isu nasional (complexity of national issues) yang lain sehingga kebijakan pembuatan perumahan (housing policy) untuk mengatasi masalah dan memberikan solusi dari rumah cost rendah dianggap dapat diisolasi dan diselesaikan secara terpisah. Kenyataannya Kebijakan perumahan tidak dapat berdiri sendiri melainkan berhubung kait dengan national ideology dari suatu negara dan terkait dengan isu yang lain. Misalnya, political strategy dengansentralitas yang kuat seperti di Indonesia telah memusatkan kekuasaan yang diikuti oleh penumpukan kekayaan di beberapa pusat kota. Dengan demikian, secara logis timbul urbanisasi yang menyebabkan kelebihan penduduk diluar batas kemampuan lahan (Caring Capacity) yang menyebabkan naiknya permintaan perumahan (Housing Demand), naiknya harga tanah, kurangnya urban services dan kompetisi yang sengit antara berbagai kepentingan komersil untuk penggunaan lahan kota. Sebagai akibatnya, rumah cost rendah yang memerlukan lahan murah demi untuk menyesuaikan dengan affordability dari target grup selalu harus ditempatkan di kawasan yang jauh dari pusat bandar dan jauh dari kawasan tempat mereka bekerja, biaya transportasi dan waktu akan mengurangi tingkat affordability dari target population yang akhirnya menciptakan paradoks.

Keempat, produksi rumah sangat mahal akibat tingginya harga building material, serta tingginya biaya perumahan4, dan biaya perizinan. Lahan yang semakin berkurang dan selalu dijadikan sebagai speculation commodity mengakibatkan harga tanah senantiasa naik dari waktu ke waktu. Selanjutnya adalah tingginya biaya infrastruktur, seperti jalan, drainase, jaringan listrik dan air, bagi kawasan perumahan baru dibebankan kepada pengembang, sehingga masuk dalam biaya produksi. Panjangnya jalur birokrasi dalam perizinan yang memerlukan biaya dan waktu berkontribusi menambah harga produksi rumah, meliputi: Izin Lokasi, Izin Prinsip, Izin Mendirikan Bangunan, Pembuatan Sertifikat Induk, Pemecahan Sertifikat dan pengurusan Pajak PPN, PPH, dan BPHTB, serta biaya pengamanan (selalu terdapat sekumpulan pemuda lokal mengutip pungutan-pungutan yang kalau dijumlahkan secara keseluruhan cukup signifikan).

4

Terdiri dari Pajak Pendapatan Negara (PPN) sebesar 10 %, Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 5 %, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar nilai jual objek pajak (NJOP)-Rp 30.000.000 x 5%

Kelima, dari seluruh point permasalahan di atas, selalu didapati penyalahgunaan kekuasaan politik (political abused) dan rasuah. Terakhir, Masalah lain yang berpengaruh kepada penyediaan rumah cost rendah adalah ketiadaan pendanaan, sedang kredit bank susah diperoleh karena tiadanya jaminan (collateral). Alokasi dana karena berkompetisi dengan keperluan lain yang lebih prioritas menurut negara sehingga dana untuk perumahan dikurangi. Untuk membangun rumah murah diperlukan subsidi dari negara berupa kredit dengan bunga lunak yang tidak mengikuti bunga komersial, namun saat ini kredit seperti ini tidak bisa lagi didapat. sehingga sejak tahun 2002, subsidi kredit pemilikan rumah (KPR), telah diubah negara5 di mana subsidi berupa bunga rendah untuk rumah cost rendah yang tadinya 15 tahun menjadi 2 - 4 tahun selebihnya menggunakan suku bunga komersial yaitu 6% s.d. 12% per tahun, sedang interest rate komersial hanya 9% per tahun.

3. Perumahan di Medan

Menurut pemerintah lokal, permasalahan Kota Medan adalah sebagai berikut: pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan sosial, tata ruang, perluasan kota, lingkungan hidup, manajamen lalu lintas, dan pertamanan.

Dari uraian di atas jelas bahwa pemerintah Kota Medan tidak menganggap pengadaan perumahan menjadi masalah yang penyelesaiannya harus dijadikan prioritas pembangunan 6.

3.1 Pengadaan dan Permintaan Perumahan

Untuk tingkat nasional, sensus penduduk 1990 dan supas 1995, menunjukkan bahwa rumah yang dihuni oleh satu rumah tangga naik dari 87,23% menjadi 87,70%. Status rumah milik sendiri pada tahun 1995 mencapai 67,47% dan lahan hak milik mencapai 85,60%. Namun pada kenyataannya, penyebaran rumah ini tidak merata antara rural dan urban, sehingga jurang antara permintaan dan pengadaan cukup kritis di perkotaan karena dihuni oleh 40% dari total penduduk tinggal di perkotaan.

Penduduk Medan telah tumbuh sebesar 2,33% per tahun selama periode 1980-1990 dan diperkirakan angka pertumbuhan masih konstan sampai tahun 2000, sejalan dengan itu kepadatan tumbuh dari 52,04 orang per hektar pada tahun 1980 menjadi 65,43 orang per hektar pada tahun 1990 pada tingkat pertumbuhan 2,55% per tahun.

5

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 139/KPTS/M/2002 tahun 2002

6

Paper Walikota Medan pada Seminar “Tantangan bagi Perkembangan Kota Medan” di Garuda Plaza tahun 2002 diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Medan


(4)

Pada tahun 1990 terdapat 118.339 unit rumah yang standar, 81.083 yang kondisinya fair serta 48.081 yang sub-standar sehingga total unit stok rumah adalah 247.483 unit. Pada tahun 1997 terdapat 149,821 unit rumah yang standar, 92.847 yang kondisinya fair serta 64.319 yang sub-standar sehingga total unit adalah 306.987 unit. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1990 sebanyak 1.732.035 orang dengan jumlah keluarga 329.065 sehingga terdapat kekurangan unit rumah 81.582 dan pada tahun 1977 jumlah penduduk mencapai 2.014.529 orang dengan jumlah keluarga 402.906 dengan demikian keluarga bertambah sebesar 73.841 antara tahun 1990-1997 dan kekurangan rumah sebanyak 95.919 unit rumah baru, jika ditambah dengan rumah yang sub-standar yang harus di-replacement maka total kekurangan rumah adalah sebesar 160.238 unit pada tahun 1997. Angka di atas hanya menunjukkan jumlah rumah tetapi bukan distribusi, karena seperti disebut sebelumnya terdapat inequality yang sangat tajam. Dari pengalaman pasar tidak mampu melakukan redistribusi yang memihak penduduk berpendapatan rendah.

3.2 Mekanisme Pengadaan Perumahan

Sebagai implementasi ideologi yang dianut maka Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perum Perumnas) dibentuk satu-satunya perusahaan milik negara yang bertugas menyediakan perumahan cost rendah yaitu Perumnas yang pada realitasnya memiliki fungsi ganda adalah, sebagai lembaga yang bertugas menyediakan pelayanan kemanfaatan umum terutamanya perumahan cost rendah sebagai aspek sosial, namun sekaligus harus berfungsi sebagai unit usaha yang diharapkan mendatangkan keuntungan berkebijakankan prinsip pengelolaan yang baik dan benar. Artinya tidak lagi membangun berkebijakankan target yang ditentukan negara tetapi selanjutnya mereka membangun berkebijakankan permintaan pasar7. Anggapan bahwa perusahaan ini hanya menyediakan rumah untuk kaki tangan negara, masih terus melekat di sebagian anggota masyarakat

Dari uraian di atas jelas tergambar bahwa peran Perumnas sangat ambivalen atau mendua serta tidak tegas, di satu sisi institusi tersebut berperan sebagai pencetak keuntungan yang akan menyulitkan perannya sebagai institusi sosial yang akan membantu masyarakat golongan termiskin yang jelas tidak akan mendatangkan keuntungan dari segi manapun. Sehingga yang dilakukan oleh Perumnas adalah meningkatkan level golongan pendapatan masyarakat yang harus dilayaninya

7

Harian Republika tanggal 22 November Tahun 2000

yaitu golongan menengah yang terbawah, sehingga golongan pendapatan terbawah tetap tidak dijangkau oleh pelayanan institusi ini.

Naiknya harga minyak dunia pada tahun 1970-an d1970-an pinjam1970-an y1970-ang berlimpah dari IMF (International Monetary Funds) pada dua dekade berikutnya telah menstimulasi pembangunan fisik di kota-kota besar di Indonesia seperti Medan. Pemerintah pusat melalui Perumnas telah membangun perumahan publik untuk golongan berpendapatan rendah di beberapa lokasi di Medan, sehingga total unit yang dibangun antara tahun 1990-1997 hanya berjumlah 5.000 unit. Karena rumah yang disponsori pemerintah tidak begitu mempengaruhi supply maka jurang antara permintaan dan persediaan, maka pasar perumahan tetap terbuka lebar bagi developer swasta, terutama penyediaan perumahan bagi penduduk berpendapatan menengah ke atas sebanyak 14.030 unit di antara tahun 1990-1997. Dengan demikian pengadaan rumah yang disponsori pemerintah hanya 19.030 unit dari 59.504 unit rumah yang terbangun di antara tahun tersebut. Sehingga pada kenyataannya, bagian terbesar perumahan dibangun oleh penduduk secara individual dan spontan tanpa bantuan pemerintah.

4.

Telaah Kebijakan Pengadaan

Perumahan

Dari uraian di atas terdapat beberapa fakta yang dapat dijadikan referensi formulasi bagi Kebijakan pengadaan perumahan. Pertama, pada kenyataannya pengadaan perumahan didominasi oleh masyarakat sebagai konsekuensi kebijakan pengadaan perumahan yang diserahkan kepada pasar. Kedua, Pengadaan perumahan yang dikebijakankan kepada pasar tidak pernah mampu menyediakan perumahan secara sempurna atau tidak berhasil menutup jurang antara permintaan dan supply. Nesslein (1988) menegaskan bahwa, bagaimanapun, mereka yang paling antusias tentang penyediaan rumah melalui pasar bebas setuju bahwa penduduk miskin menurut strategi ini tidak akan pernah memiliki pemukiman yang layak8, karena pasar perumahan tidak sempurna dan tidak efisien karena tidak memiliki syarat sebagai pasar yang bebas yaitu; pasar akan efisien jika memenuhi tiga hal; pertama, production efficiency, komoditas harus diproduksi dengan biaya seminimum mungkin-sesuatu yang sukar dicapai dan akan membuang sumber daya dengan percuma. Kedua, allocative efficiency, di mana keperluan konsumer dipenuhi se-efektif

8

Nesslein dalam Cua Beng Huat “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” .1997. Routledge. London


(5)

mungkin - hal yang juga tidak akan terpenuhi. ketiga, dynamic efficiency, di mana perusahaan dengan perencanaan ekonomi, inovasi yang dikembangkan untuk mencapai efisiensi jangka panjang yang hanya dapat terwujud dalam sistem ”free market”. Pasar akan sub-optimal, dan faktanya, perusahaan hanya akan survive karena strategi yang justru tidak efisien. Sebagai tambahan, meskipun pasar berfungsi dengan baik dalan artian ekonomi, tetapi pasar tidak akan efisien secara sosial dalam pengertian sosial yang luas. Pasar tidak membuat alokasi sesuai dengan ”needs” dan selalu menciptakan inequality yang berlanjut. juga akan tercipta kepincangan konsumsi antar-kelompok masyarakat sehingga seantar-kelompok konsumer akan gagal memenuhi kebutuhan standarnya. Dengan seluruh alasan tersebut, terbukti perlunya intervensi negara untuk membuat pasar berfungsi lebih baik9.

Ketiga, kegagalan yang sama terjadi di negara yang menyerahkan tanggung jawab penyediaan perumahan kepada negara dengan intervensi penuh. Walaupun “housing needs” diinstitusikan sebagai “social right” masalah penyediaan rumah tidak serta merta selesai, tanpa dana yang cukup, penyediaan perumahan tetap masalah. Hal ini, jelas digambarkan oleh Szelenyi (1987) dalam sejarah penyediaan “social house” di negara-negara bekas penganut ekonomi sosialis di Eropa Timur10, di mana perumahan secara ideologi dan legal diinstitusikan sebagai “social right” terlihat dengan cepat, bahwa “right” ini tidak dapat diimplementasikan karena secara artifisial, sewa rumah yang ditarik sebagai levy untuk rumah pemerintah sangat tidak proporsional dengan biaya produksi rumah tersebut, sehingga penyediaan perumahan tersebut secara konstan menghisap kering kekayaan nasional, sehingga ditempatkan sebagai “returnless expenditure” yang harus dikurangi diminimalkan11.

Keempat, penyelesaian masalah perumahan secara permanen dan jangka panjang tidak dapat dipisahkan dari isu nasional (complexity of national issues) karena berhubung kait dengan national ideology dari suatu negara dan hanya penyelesaian masalah kebijakan penyediaan perumahan (housing

egara tersebut.

9

James Barlow and Simon Duncan “Success and Failure in Housing Provision European Compared” 1944. Elsevier Science Ltd. England

10

Szelenyi (1987). “Housing inequalities and Occupation Segregation in State Socialist Cities”, International Journal of Urban and Regional Research 11 (1).

11

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997, Routledge. London

policy) perumahan jangka pendek dan temporary yang dapat diisolasi dan diselesaikan secara terpisah tanpa mengintervensi skenario strategi pembangunan ekonomi suatu negara. Kelima,

kegagalan pengadaan perumahan yang diserahkan kepada pasar bebas di mana rumah diperlakukan sebagai barang konsumsi di negara kapitalis; dan kegagalan pengadaan perumahan di negara penganut ekonomi eks-sosialis yang secara idelogi menempatkan rumah sebagai hak sosial (social right) dapat dihindari dengan menginstitusikan pengadaan perumahan oleh negara (Universal provision) tanpa harus mengeliminasi kemampuan pasar sebagai sebuah disiplin yang harus diikuti oleh konsumer seperti yang dilakukan oleh Singapura12, namun harus dilakukan pada kebijakan perumahan pada level nasional. Keenam, kebijakan pengadaan perumahan yang sesuai untuk sebuah negara selalu khas dan spesifik serta unik sehingga setiap negara harus memformulasikan kebijakan yang sesuai dengan ideologi serta karakter n

5. Alternatif Penyelesaian

Kebijakan pengadaan rumah cost rendah untuk penduduk miskin di perkotaan untuk jangka panjang dan permanen tidak dapat seluruhnya diserahkan kepada pasar seperti yang dianut oleh negara Indonesia secara nasional, sehingga harus diintervensi oleh negara di mana rumah harus didekomodisasi sampai pada tingkat tertentu, namun tetap harus dijaga agar tidak sampai menghapuskan pasar secara keseluruhan. Pengadaan perumahan oleh negara tanpa seperti di negara yang menganut paham kapitalis seperti Singapura telah berhasil menyediakan rumah untuk semua orang, namun pengalaman seperti ini tentunya tidak dapat diterapkan di seluruh tempat karena karakter masing-masing negara yang unik. Untuk menciptakan kebijakan perumahan yang demikian diperlukan komitmen di tingkat nasional yang memerlukan waktu dan dana (time and fund consuming), serta dukungan politik yang sangat besar yang tidak mudah diperoleh, di samping itu pemerintah tidak menganggap penyediaan perumahan sebagai prioritas. Dengan kondisi yang demikian, strategi jangka panjang ini perlu digabung dengan strategi jangka pendek yang pada prinsipnya hanyalah untuk menambah stok perumahan bagi masing-masing golongan pendapatan dengan melakukan penyaringan (filtering process) agar penduduk berpenghasilan

12

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997, Routledge. London


(6)

tinggi tidak mengkonsumsi rumah yang diperuntukkan bagi penduduk berpenghasilan rendah.

Untuk pengadaan perumahan jangka pendek harus disiapkan kebijakan perumahan yang memungkinkan dilakukannya beberapa skema pengadaan perumahan secara simultan sebagai berikut: pertama, pembangunan kota-kota baru, untuk mengalihkan perpindahan penduduk ke inti kota, di samping berperan sebagai zona transisi dalam mengembangkan daerah perdesaan meliputi, pengolahan hasil-hasil pertanian di kota baru, merupakan lokasi industri kecil untuk memasok produk-produk ke daerah perdesaan, pelayanan jasa di kota baru memiliki fungsi penting bagi daerah perdesaan, lapangan kerja di kota baru dapat diciptakan untuk kelebihan tenaga di daerah perdesaan. Kota baru pada umumnya mengikuti prinsip-prinsip kota baru Barat (van Stavereen, 1988) namun sulit diterapkan karena, investasi terbatas dan lebih dari 50% penduduk bekerja di sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi lambat dan tidak merata13. Kedua, pangadaan rumah oleh koperasi untuk melengkapi perumahan yang disediakan oleh masyarakat dengan kemampuan sendiri dengan beberapa keuntungan dalam memberdayakan (enabling) karena koperasi dapat melakukan kontrol internal untuk mencegah spekulasi dan penjualan illegal yang dapat menguntungkan golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi, dengan peraturan intern (by laws) koperasi menjamin harga dan transfer rumah hanya bersirkulasi di antara anggota. Koperasi juga menjamin saving, pengembalian pinjaman untuk biaya tanah dan infrastruktur. Biaya administrasi pinjaman, izin dan konstruksi lebih rendah ketimbang dilakukan secara individu. Tuntutan tanaga profesional yang sangat kritis pada proyek perumahan koperasi secara berangsur-angsur dengan jalan melatih manajer dan pofesional di antara anggota. Mobilisasi dana dari anggota dilakukan jauh sebelum pembangunan dilakukan, demikian juga resources lain seperti tenaga dan manual untuk konstruksi dan infrastruktur. Koperasi dapat merawat perumahan dan lingkungan secara komunal, termasuk perencanaan dan perbaikan lingkungan jangka panjang serta mobilisasi para anggota untuk mengoperasikan fasilitas lingkungan secara kontinu dan

13

Jan den Boer, Kebijaksanaan Pengembangan Pemukiman Baru; Kelayakan Kota Baru di Indonesia. Prosiding Simposium Antar Bangsa, Delft, Netherland, 1989 diselenggerakan oleh TU Delft

berkelanjutan. Ketiga, Usaha Berbasis Rumah Tangga atau “Home Based Enterprises (HBEs)”. Penduduk berpenghasilan rendah, umumnya menempatkan prioritas pertama pada jaminan terhadap pekerjaan dan kontinuitas pendapatan, kemudian menyusul pendidikan, sedang perumahan mungkin ditempatkan sebagai prioritas kesekian, sesudah faktor keamanan dan barang konsumtif. Skala prioritas perumahan akan naik saat pendapatan dan status sosial penduduk membaik atau jika rumah tersebut dapat menaikkan pendapatan karena disewakan atau dijadikan tempat usaha. Berkebijakankan pertimbangan tersebut, maka konsep, perencanaan, dan strategi pengadaan perumahan sebaiknya tidak tertutup hanya sebatas konstruksi rumah dan infrastruktur saja tetapi dikaitkan dan diperluas dengan hal-hal lain yang signifikan seperti kesempatan kerja, aktivitas yang menghasilkan pendapatan, vocational training serta pendidikan. Pendekatan ini memiliki indikator sebagai berikut: penghuni menguasai modal yang aktivitasnya bertumpu pada rumah yang ditempati, yang melibatkan lahan, modal, dan keuntungan lokasi milik penghuni dengan tenaga kerja yang terdiri dari para anggota keluarga. Keempat, Perbaikan Kawasan Stinggan (Slum Improvement atau Kampung Improvement) dilakukan dengan memperbaiki rumah yang sub-standar untuk menambah stok perumahan dengan biaya yang relatif kecil dan tanpa mengubah tatanan masyarakat penduduk sehingga tidak menimbulkan tegangan sosial yang merugikan masyarakat.

Kelima, Peremajaan Kota atau Urban Renewal untuk kawasan yang tidak lagi menguntungkan untuk direhabilitasi melalui suatu perbaikan (improvement). Peningkatan daya tampung lokasi seperti ini biasanya dilakukan dengan membuat permukiman vertikal bagi menampung penduduk yang dapat menyesuaikan diri secara kultural dengan permukiman berlantai banyak.

6. Kesimpulwan

Negara pusat maupun negara pemerintah tidak menempatkan pengadaan perumahan sebagai prioritas pembangunan, demikian pula masyarakat yang menempatkannya pada prioritas kesekian, sehingga tekanan politik tidak cukup kuat untuk mematangkan situasi yang menuntut perhatian penuh negara atas hal ini.

Pengalaman membuktikan negara kapitalis bahwa yang menganjurkan pasar bebas serta kebebasan individu dan menempatkan rumah sebagai “consumer goods” tidak pernah mampu menyediakan perumahan kepada penduduk berpendapatan rendah, demikian juga intervensi penuh negara sosialis yang mendahulukan


(7)

komunalisme dan menafikan individual serta menempatkan rumah sebagai “public goods” juga tidak akan berhasil dalam pengadaan perumahan. Namun pada negara yang mencoba menggabungkan kedua sistem tersebut untuk mengurangi kelemahan kedua sistem tersebut di atas seperti negara kapitalis yang menganut prinsip “welfare state” seperti beberapa negara di Eropa, serta negara kapitalis yang mengintervensi pasar perumahan seperti Singapura, maka masalah pengadaan perumahan jauh lebih sederhana.

Dengan demikian untuk pengadaan perumahan yang “sustainable” secara jangka panjang diperlukan komitmen dan keberpihakan serta intervensi negara untuk pengadaan perumahan dalam bentuk formulasi kebijakan perumahan yang menkebijakan, suatu hal yang sukar didapat karena prioritas pengadaan perumahan bukan yang utama menurut negara dan penduduk.

Sehingga yang dapat dilakukan saat ini hanya usaha sementara, parsial, dan jangka pendek untuk mengurangi kesenjangan antara permintaan rumah oleh penduduk berpenghasilan rendah dan pengadaan rumah yang diserahkan pada pasar. Usaha sementara ini dibuat dengan anggapan bahwa penyediaan perumahan dapat diisolasi dan dipisahkan dari skenario strategi pembangunan ekonomi nasional di mana fokusnya adalah menambah stok perumahan sebanyak mungkin oleh masyarakat sendiri dengan intervensi yang terbatas dari pemerintah sehingga prinsipnya adalah memberdayakan masyarakat (enabling society) sehingga berperan dalam konteks pasar bebas (public participation), judul usaha seperti ini antara lain adalah: kota baru (new towns), rumah koperasi (cooperative housing), pengadaan rumah dalam konteks berbasis usaha rumah tangga (home based enterprises), perbaikan kawasan stinggan atau perbaikan kampung (slum improvement), peremajaan kota (urban renewal), masing-masing usaha ini dapat dijalankan sendiri atau secara simultan. Namun keberhasilannya sangat tergantung kepada kompatibelnya setiap usaha dengan kultur dan status sosio-ekonomik penduduk.

Daftar Pustaka

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997. Routledge. London

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997. Routledge. London

Ghani Salleh and Choong Lai Chai, 1997. “Low-Cost Housing: Issues and Problems.” in Cagamas Bhd. Housing the Nation: a definitive study. Kuala Lumpur: Cagamas Bhd.

Harian Republika tanggal 22 November Tahun 2000

James Barlow and Simon Duncan “Success and Failure in Housing Provision European Compared” 1944. Elsevier Science Ltd. England

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 139/KPTS/M/2002 tahun 2002 Nesslein dalam Cua Beng Huat “Political

Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” .1997. Routledge. London

Pokok-pokok Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II seperti tercantum dalam Garis besar haluan negara 1973.

Pokok-pokok kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) VI seperti tercantum dalam Garis Besar Haluan Negara 1988.

Paper Walikota Medan pada Seminar “Tantangan bagi Perkembangan Kota Medan” di Garuda Plaza tahun 2002 didelengerakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Medan. Szelenyi (1987). “Housing inequalities and

Occupation Segregation in State Socialist Cities”, International Journal of Urban and Regional Research 11 (1).

Terdiri dari Pajak Pendapatan Negara (PPN) sebesar 10%, Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 5%, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar nilai jual objek pajak (NJOP)-Rp 30.000.000 x 5%.


(1)

diimpor dari negara maju, hal ini diperburuk oleh sistem monopoli yang pada awalnya dirancang untuk menguatkan industri tempatan namun telah berubah menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi yang in-efisien dan tidak menciptakan persaingan pasar. Akhirnya tahun 1997 bersamaan dengan timbulnya krisis ekonomi yang disebabkan oleh krisis moneter dunia, strategi ini memberikan akibat yang sangat buruk bagi perekonomian negara Indonesia.

1.2 Kebijakan Perumahan di Indonesia

Sebagai konsekuensi strategi ekonomi yang dipakai oleh negara Indonesia selama kepemimpinan ”orde baru” maka penyediaan rumah pada asasnya diserahkan kepada pasar seperti dikutip dari pokok-pokok pembangunan lima tahun (PELITA) di bawah ini:

Pembangunan perumahan di daerah kota dikebijakankan kepada prinsip, bahwa pembangunan perumahan sebagian besar harus diusahakan oleh masyarakat sendiri dengan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari negara. Dalam melaksanakan pembangunan tersebut harus diusahakan agar lingkungan perumahan yang diciptakan merupakan keterpaduan dari berbagai kelompok secara serasi. Usaha negara terutama ditujukan kepada golongan penduduk yang berpenghasilan rendah, antara lain melalui usaha penyediaan tanah matang untuk perumahan rakyat dan pembangunan rumah sederhana di daerah perkotaan. Di samping itu, perbaikan lingkungan kampung di kota-kota diusahakan dalam batas kemampuan yang ada, dan merupakan usaha kearah program peremajaan kota1.

Selanjutnya kebijakan tersebut berlanjut sampai akhir masa orde baru seperti terlihat di bawah ini.

Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan bagian yang integral dari pembangunan nasional, dan dalam pembangunannya ditempuh strategi pendorong (enabling strategy), yaitu pembangunan perumahan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab masyarakat. Peran negara adalah menciptakan iklim usaha dan iklim pembangunan, yang menggairahkan usaha dan iklim pembangunan perumahan, menggerakkan, mengarahkan, dan membantu kegiatan usaha dan peran serta masyarakat luas, sehingga secara bertahap masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhan perumahan dan pemukiman secara swadaya, serta mengatur agar pelaksanaan

1

Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II seperti tercantum dalam Garis Besar Haluan Negara 1973

pembangunan perumahan dapat berjalan dengan tertib2.

Dari uraian di atas jelas kaitan antara kebijakan perumahan dan national ideology dan political strategy yang telah diambil menunjukkan penyediaan perumahan diserahkan kepada pasar yang tidak sempurna dengan intervensi seminimum mungkin yang memberikan efek yang berbeda dari kebijakan perumahan yang diterapkan oleh daerah lain.

2

.

Permasalahan

Permasalahan penyediaan perumahan cost rendah adalah dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama adalah affordability masyarakat miskin yang memiliki income paling bawah tidak mampu memiliki ataupun menyewa rumah yang bagaimanapun murahnya, sehingga mereka ini memerlukan subsidi penuh. Seperti dijelaskan sebelumnya, proses menuju sistem ekonomi pasar telah menciptakan inequalities di segala sektor yang akhirnya terefleksi pada segregasi pendapatan yang sangat tajam. Kedua, adalah mismatch antara supply and needs atau beberapa perbedaan yang sangat signifikan antara penyediaan dan permintaan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Rumah yang disediakan selalu tidak sesuai dengan kemampuan finansial dari target populasi sehingga dengan berbagai cara jatuh ke tangan kelompok yang memiliki kemampuan lebih tinggi yang menjadikannya sebagai rumah kedua, sehingga supply tersebut tidak mengurangi ‘potential demand’. Menurut Salleh and Chai (1997), ketidaksesuaian juga terdapat pada kuantitas supply, karena produk supply merupakan respons terhadap permintaan pasar yang sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya, sehingga tidak lagi aktual dan tidak sesuai permintaan saat dibuat, hal ini disebabkan lamanya proses penyediaan perumahan yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan perubahan permintaan (time lag)3. Kualitas dan perancangan piawaian (planning standard) dari rumah cost rendah juga menjadi masalah yang mustahak, karena selalu tidak sesuai dengan kondisi sosio-kultural dari target populasi, dengan demikian menuntut pengubahsuaian yang sering tidak terakomodasi dalam undang-undang dan kebijakan yang berlaku (policy mismatch), lebih jauh lagi terdapat paradoks antara luas lantai dan

2

Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) VI seperti tercantum dalam Garis Besar Haluan Negara 1988

3

Ghani Salleh and Choong Lai Chai “Low-Cost Housing: Issues and Problems.” in Cagamas Bhd. Housing the Nation: a definitive study. Kuala Lumpur:Cagamas Bhd., 1997.


(2)

kemampuan. Keluarga yang memiliki anak yang lebih ramai memerlukan luas lantai yang lebih luas meskipun selalu ia lebih miskin. Ketiga, the incomprehensive kebijakan, isu perumahan secara am, dan rumah cost rendah secara khas selalu ditempatkan terpisah dari isu nasional (complexity of national issues) yang lain sehingga kebijakan pembuatan perumahan (housing policy) untuk mengatasi masalah dan memberikan solusi dari rumah cost rendah dianggap dapat diisolasi dan diselesaikan secara terpisah. Kenyataannya Kebijakan perumahan tidak dapat berdiri sendiri melainkan berhubung kait dengan national ideology dari suatu negara dan terkait dengan isu yang lain. Misalnya, political strategy dengansentralitas yang kuat seperti di Indonesia telah memusatkan kekuasaan yang diikuti oleh penumpukan kekayaan di beberapa pusat kota. Dengan demikian, secara logis timbul urbanisasi yang menyebabkan kelebihan penduduk diluar batas kemampuan lahan (Caring Capacity) yang menyebabkan naiknya permintaan perumahan (Housing Demand), naiknya harga tanah, kurangnya urban services dan kompetisi yang sengit antara berbagai kepentingan komersil untuk penggunaan lahan kota. Sebagai akibatnya, rumah cost rendah yang memerlukan lahan murah demi untuk menyesuaikan dengan affordability dari target grup selalu harus ditempatkan di kawasan yang jauh dari pusat bandar dan jauh dari kawasan tempat mereka bekerja, biaya transportasi dan waktu akan mengurangi tingkat affordability dari target population yang akhirnya menciptakan paradoks. Keempat, produksi rumah sangat mahal akibat tingginya harga building material, serta tingginya biaya perumahan4, dan biaya perizinan. Lahan yang semakin berkurang dan selalu dijadikan sebagai speculation commodity mengakibatkan harga tanah senantiasa naik dari waktu ke waktu. Selanjutnya adalah tingginya biaya infrastruktur, seperti jalan, drainase, jaringan listrik dan air, bagi kawasan perumahan baru dibebankan kepada pengembang, sehingga masuk dalam biaya produksi. Panjangnya jalur birokrasi dalam perizinan yang memerlukan biaya dan waktu berkontribusi menambah harga produksi rumah, meliputi: Izin Lokasi, Izin Prinsip, Izin Mendirikan Bangunan, Pembuatan Sertifikat Induk, Pemecahan Sertifikat dan pengurusan Pajak PPN, PPH, dan BPHTB, serta biaya pengamanan (selalu terdapat sekumpulan pemuda lokal mengutip pungutan-pungutan yang kalau dijumlahkan secara keseluruhan cukup signifikan).

4

Terdiri dari Pajak Pendapatan Negara (PPN) sebesar 10 %, Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 5 %, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar nilai jual objek pajak (NJOP)-Rp 30.000.000 x 5%

Kelima, dari seluruh point permasalahan di atas, selalu didapati penyalahgunaan kekuasaan politik (political abused) dan rasuah. Terakhir, Masalah lain yang berpengaruh kepada penyediaan rumah cost rendah adalah ketiadaan pendanaan, sedang kredit bank susah diperoleh karena tiadanya jaminan (collateral). Alokasi dana karena berkompetisi dengan keperluan lain yang lebih prioritas menurut negara sehingga dana untuk perumahan dikurangi. Untuk membangun rumah murah diperlukan subsidi dari negara berupa kredit dengan bunga lunak yang tidak mengikuti bunga komersial, namun saat ini kredit seperti ini tidak bisa lagi didapat. sehingga sejak tahun 2002, subsidi kredit pemilikan rumah (KPR), telah diubah negara5 di mana subsidi berupa bunga rendah untuk rumah cost rendah yang tadinya 15 tahun menjadi 2 - 4 tahun selebihnya menggunakan suku bunga komersial yaitu 6% s.d. 12% per tahun, sedang interest rate komersial hanya 9% per tahun.

3. Perumahan di Medan

Menurut pemerintah lokal, permasalahan Kota Medan adalah sebagai berikut: pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan sosial, tata ruang, perluasan kota, lingkungan hidup, manajamen lalu lintas, dan pertamanan.

Dari uraian di atas jelas bahwa pemerintah Kota Medan tidak menganggap pengadaan perumahan menjadi masalah yang penyelesaiannya harus dijadikan prioritas pembangunan 6.

3.1 Pengadaan dan Permintaan Perumahan

Untuk tingkat nasional, sensus penduduk 1990 dan supas 1995, menunjukkan bahwa rumah yang dihuni oleh satu rumah tangga naik dari 87,23% menjadi 87,70%. Status rumah milik sendiri pada tahun 1995 mencapai 67,47% dan lahan hak milik mencapai 85,60%. Namun pada kenyataannya, penyebaran rumah ini tidak merata antara rural dan urban, sehingga jurang antara permintaan dan pengadaan cukup kritis di perkotaan karena dihuni oleh 40% dari total penduduk tinggal di perkotaan.

Penduduk Medan telah tumbuh sebesar 2,33% per tahun selama periode 1980-1990 dan diperkirakan angka pertumbuhan masih konstan sampai tahun 2000, sejalan dengan itu kepadatan tumbuh dari 52,04 orang per hektar pada tahun 1980 menjadi 65,43 orang per hektar pada tahun 1990 pada tingkat pertumbuhan 2,55% per tahun.

5

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 139/KPTS/M/2002 tahun 2002

6

Paper Walikota Medan pada Seminar “Tantangan bagi Perkembangan Kota Medan” di Garuda Plaza tahun 2002 diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Medan


(3)

Pada tahun 1990 terdapat 118.339 unit rumah yang standar, 81.083 yang kondisinya fair serta 48.081 yang sub-standar sehingga total unit stok rumah adalah 247.483 unit. Pada tahun 1997 terdapat 149,821 unit rumah yang standar, 92.847 yang kondisinya fair serta 64.319 yang sub-standar sehingga total unit adalah 306.987 unit. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1990 sebanyak 1.732.035 orang dengan jumlah keluarga 329.065 sehingga terdapat kekurangan unit rumah 81.582 dan pada tahun 1977 jumlah penduduk mencapai 2.014.529 orang dengan jumlah keluarga 402.906 dengan demikian keluarga bertambah sebesar 73.841 antara tahun 1990-1997 dan kekurangan rumah sebanyak 95.919 unit rumah baru, jika ditambah dengan rumah yang sub-standar yang harus di-replacement maka total kekurangan rumah adalah sebesar 160.238 unit pada tahun 1997. Angka di atas hanya menunjukkan jumlah rumah tetapi bukan distribusi, karena seperti disebut sebelumnya terdapat inequality yang sangat tajam. Dari pengalaman pasar tidak mampu melakukan redistribusi yang memihak penduduk berpendapatan rendah.

3.2 Mekanisme Pengadaan Perumahan

Sebagai implementasi ideologi yang dianut maka Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perum Perumnas) dibentuk satu-satunya perusahaan milik negara yang bertugas menyediakan perumahan cost rendah yaitu Perumnas yang pada realitasnya memiliki fungsi ganda adalah, sebagai lembaga yang bertugas menyediakan pelayanan kemanfaatan umum terutamanya perumahan cost rendah sebagai aspek sosial, namun sekaligus harus berfungsi sebagai unit usaha yang diharapkan mendatangkan keuntungan berkebijakankan prinsip pengelolaan yang baik dan benar. Artinya tidak lagi membangun berkebijakankan target yang ditentukan negara tetapi selanjutnya mereka membangun berkebijakankan permintaan pasar7. Anggapan bahwa perusahaan ini hanya menyediakan rumah untuk kaki tangan negara, masih terus melekat di sebagian anggota masyarakat

Dari uraian di atas jelas tergambar bahwa peran Perumnas sangat ambivalen atau mendua serta tidak tegas, di satu sisi institusi tersebut berperan sebagai pencetak keuntungan yang akan menyulitkan perannya sebagai institusi sosial yang akan membantu masyarakat golongan termiskin yang jelas tidak akan mendatangkan keuntungan dari segi manapun. Sehingga yang dilakukan oleh Perumnas adalah meningkatkan level golongan pendapatan masyarakat yang harus dilayaninya

7

Harian Republika tanggal 22 November Tahun 2000

yaitu golongan menengah yang terbawah, sehingga golongan pendapatan terbawah tetap tidak dijangkau oleh pelayanan institusi ini.

Naiknya harga minyak dunia pada tahun 1970-an d1970-an pinjam1970-an y1970-ang berlimpah dari IMF (International Monetary Funds) pada dua dekade berikutnya telah menstimulasi pembangunan fisik di kota-kota besar di Indonesia seperti Medan. Pemerintah pusat melalui Perumnas telah membangun perumahan publik untuk golongan berpendapatan rendah di beberapa lokasi di Medan, sehingga total unit yang dibangun antara tahun 1990-1997 hanya berjumlah 5.000 unit. Karena rumah yang disponsori pemerintah tidak begitu mempengaruhi supply maka jurang antara permintaan dan persediaan, maka pasar perumahan tetap terbuka lebar bagi developer swasta, terutama penyediaan perumahan bagi penduduk berpendapatan menengah ke atas sebanyak 14.030 unit di antara tahun 1990-1997. Dengan demikian pengadaan rumah yang disponsori pemerintah hanya 19.030 unit dari 59.504 unit rumah yang terbangun di antara tahun tersebut. Sehingga pada kenyataannya, bagian terbesar perumahan dibangun oleh penduduk secara individual dan spontan tanpa bantuan pemerintah.

4.

Telaah Kebijakan Pengadaan

Perumahan

Dari uraian di atas terdapat beberapa fakta yang dapat dijadikan referensi formulasi bagi Kebijakan pengadaan perumahan. Pertama, pada kenyataannya pengadaan perumahan didominasi oleh masyarakat sebagai konsekuensi kebijakan pengadaan perumahan yang diserahkan kepada pasar. Kedua, Pengadaan perumahan yang dikebijakankan kepada pasar tidak pernah mampu menyediakan perumahan secara sempurna atau tidak berhasil menutup jurang antara permintaan dan supply. Nesslein (1988) menegaskan bahwa, bagaimanapun, mereka yang paling antusias tentang penyediaan rumah melalui pasar bebas setuju bahwa penduduk miskin menurut strategi ini tidak akan pernah memiliki pemukiman yang layak8, karena pasar perumahan tidak sempurna dan tidak efisien karena tidak memiliki syarat sebagai pasar yang bebas yaitu; pasar akan efisien jika memenuhi tiga hal; pertama, production efficiency, komoditas harus diproduksi dengan biaya seminimum mungkin-sesuatu yang sukar dicapai dan akan membuang sumber daya dengan percuma. Kedua, allocative efficiency, di mana keperluan konsumer dipenuhi se-efektif

8

Nesslein dalam Cua Beng Huat “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” .1997. Routledge. London


(4)

mungkin - hal yang juga tidak akan terpenuhi. ketiga, dynamic efficiency, di mana perusahaan dengan perencanaan ekonomi, inovasi yang dikembangkan untuk mencapai efisiensi jangka panjang yang hanya dapat terwujud dalam sistem ”free market”. Pasar akan sub-optimal, dan faktanya, perusahaan hanya akan survive karena strategi yang justru tidak efisien. Sebagai tambahan, meskipun pasar berfungsi dengan baik dalan artian ekonomi, tetapi pasar tidak akan efisien secara sosial dalam pengertian sosial yang luas. Pasar tidak membuat alokasi sesuai dengan ”needs” dan selalu menciptakan inequality yang berlanjut. juga akan tercipta kepincangan konsumsi antar-kelompok masyarakat sehingga seantar-kelompok konsumer akan gagal memenuhi kebutuhan standarnya. Dengan seluruh alasan tersebut, terbukti perlunya intervensi negara untuk membuat pasar berfungsi lebih baik9.

Ketiga, kegagalan yang sama terjadi di negara yang menyerahkan tanggung jawab penyediaan perumahan kepada negara dengan intervensi penuh. Walaupun “housing needs” diinstitusikan sebagai “social right” masalah penyediaan rumah tidak serta merta selesai, tanpa dana yang cukup, penyediaan perumahan tetap masalah. Hal ini, jelas digambarkan oleh Szelenyi (1987) dalam sejarah penyediaan “social house” di negara-negara bekas penganut ekonomi sosialis di Eropa Timur10, di mana perumahan secara ideologi dan legal diinstitusikan sebagai “social right” terlihat dengan cepat, bahwa “right” ini tidak dapat diimplementasikan karena secara artifisial, sewa rumah yang ditarik sebagai levy untuk rumah pemerintah sangat tidak proporsional dengan biaya produksi rumah tersebut, sehingga penyediaan perumahan tersebut secara konstan menghisap kering kekayaan nasional, sehingga ditempatkan sebagai “returnless expenditure” yang harus dikurangi diminimalkan11.

Keempat, penyelesaian masalah perumahan

secara permanen dan jangka panjang tidak dapat dipisahkan dari isu nasional (complexity of national issues) karena berhubung kait dengan national ideology dari suatu negara dan hanya penyelesaian masalah kebijakan penyediaan perumahan (housing

egara tersebut.

9

James Barlow and Simon Duncan “Success and Failure in Housing Provision European Compared” 1944. Elsevier Science Ltd. England

10

Szelenyi (1987). “Housing inequalities and Occupation Segregation in State Socialist Cities”, International Journal of Urban and Regional Research 11 (1).

11

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997, Routledge. London

policy) perumahan jangka pendek dan temporary yang dapat diisolasi dan diselesaikan secara terpisah tanpa mengintervensi skenario strategi pembangunan ekonomi suatu negara. Kelima,

kegagalan pengadaan perumahan yang diserahkan kepada pasar bebas di mana rumah diperlakukan sebagai barang konsumsi di negara kapitalis; dan kegagalan pengadaan perumahan di negara penganut ekonomi eks-sosialis yang secara idelogi menempatkan rumah sebagai hak sosial (social right) dapat dihindari dengan menginstitusikan pengadaan perumahan oleh negara (Universal provision) tanpa harus mengeliminasi kemampuan pasar sebagai sebuah disiplin yang harus diikuti oleh konsumer seperti yang dilakukan oleh Singapura12, namun harus dilakukan pada kebijakan perumahan pada level nasional. Keenam, kebijakan pengadaan perumahan yang sesuai untuk sebuah negara selalu khas dan spesifik serta unik sehingga setiap negara harus memformulasikan kebijakan yang sesuai dengan ideologi serta karakter n

5. Alternatif Penyelesaian

Kebijakan pengadaan rumah cost rendah untuk penduduk miskin di perkotaan untuk jangka panjang dan permanen tidak dapat seluruhnya diserahkan kepada pasar seperti yang dianut oleh negara Indonesia secara nasional, sehingga harus diintervensi oleh negara di mana rumah harus didekomodisasi sampai pada tingkat tertentu, namun tetap harus dijaga agar tidak sampai menghapuskan pasar secara keseluruhan. Pengadaan perumahan oleh negara tanpa seperti di negara yang menganut paham kapitalis seperti Singapura telah berhasil menyediakan rumah untuk semua orang, namun pengalaman seperti ini tentunya tidak dapat diterapkan di seluruh tempat karena karakter masing-masing negara yang unik. Untuk menciptakan kebijakan perumahan yang demikian diperlukan komitmen di tingkat nasional yang memerlukan waktu dan dana (time and fund consuming), serta dukungan politik yang sangat besar yang tidak mudah diperoleh, di samping itu pemerintah tidak menganggap penyediaan perumahan sebagai prioritas. Dengan kondisi yang demikian, strategi jangka panjang ini perlu digabung dengan strategi jangka pendek yang pada prinsipnya hanyalah untuk menambah stok perumahan bagi masing-masing golongan pendapatan dengan melakukan penyaringan (filtering process) agar penduduk berpenghasilan

12

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997, Routledge. London


(5)

tinggi tidak mengkonsumsi rumah yang diperuntukkan bagi penduduk berpenghasilan rendah.

Untuk pengadaan perumahan jangka pendek harus disiapkan kebijakan perumahan yang memungkinkan dilakukannya beberapa skema pengadaan perumahan secara simultan sebagai berikut: pertama, pembangunan kota-kota baru, untuk mengalihkan perpindahan penduduk ke inti kota, di samping berperan sebagai zona transisi dalam mengembangkan daerah perdesaan meliputi, pengolahan hasil-hasil pertanian di kota baru, merupakan lokasi industri kecil untuk memasok produk-produk ke daerah perdesaan, pelayanan jasa di kota baru memiliki fungsi penting bagi daerah perdesaan, lapangan kerja di kota baru dapat diciptakan untuk kelebihan tenaga di daerah perdesaan. Kota baru pada umumnya mengikuti prinsip-prinsip kota baru Barat (van Stavereen, 1988) namun sulit diterapkan karena, investasi terbatas dan lebih dari 50% penduduk bekerja di sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi lambat dan tidak merata13. Kedua, pangadaan rumah oleh koperasi untuk melengkapi perumahan yang disediakan oleh masyarakat dengan kemampuan sendiri dengan beberapa keuntungan dalam memberdayakan (enabling) karena koperasi dapat melakukan kontrol internal untuk mencegah spekulasi dan penjualan illegal yang dapat menguntungkan golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi, dengan peraturan intern (by laws) koperasi menjamin harga dan transfer rumah hanya bersirkulasi di antara anggota. Koperasi juga menjamin saving, pengembalian pinjaman untuk biaya tanah dan infrastruktur. Biaya administrasi pinjaman, izin dan konstruksi lebih rendah ketimbang dilakukan secara individu. Tuntutan tanaga profesional yang sangat kritis pada proyek perumahan koperasi secara berangsur-angsur dengan jalan melatih manajer dan pofesional di antara anggota. Mobilisasi dana dari anggota dilakukan jauh sebelum pembangunan dilakukan, demikian juga resources lain seperti tenaga dan manual untuk konstruksi dan infrastruktur. Koperasi dapat merawat perumahan dan lingkungan secara komunal, termasuk perencanaan dan perbaikan lingkungan jangka panjang serta mobilisasi para anggota untuk mengoperasikan fasilitas lingkungan secara kontinu dan

13

Jan den Boer, Kebijaksanaan Pengembangan Pemukiman Baru; Kelayakan Kota Baru di Indonesia. Prosiding Simposium Antar Bangsa, Delft, Netherland, 1989 diselenggerakan oleh TU Delft

berkelanjutan. Ketiga, Usaha Berbasis Rumah Tangga atau “Home Based Enterprises (HBEs)”. Penduduk berpenghasilan rendah, umumnya menempatkan prioritas pertama pada jaminan terhadap pekerjaan dan kontinuitas pendapatan, kemudian menyusul pendidikan, sedang perumahan mungkin ditempatkan sebagai prioritas kesekian, sesudah faktor keamanan dan barang konsumtif. Skala prioritas perumahan akan naik saat pendapatan dan status sosial penduduk membaik atau jika rumah tersebut dapat menaikkan pendapatan karena disewakan atau dijadikan tempat usaha. Berkebijakankan pertimbangan tersebut, maka konsep, perencanaan, dan strategi pengadaan perumahan sebaiknya tidak tertutup hanya sebatas konstruksi rumah dan infrastruktur saja tetapi dikaitkan dan diperluas dengan hal-hal lain yang signifikan seperti kesempatan kerja, aktivitas yang menghasilkan pendapatan, vocational training serta pendidikan. Pendekatan ini memiliki indikator sebagai berikut: penghuni menguasai modal yang aktivitasnya bertumpu pada rumah yang ditempati, yang melibatkan lahan, modal, dan keuntungan lokasi milik penghuni dengan tenaga kerja yang terdiri dari para anggota keluarga. Keempat, Perbaikan Kawasan Stinggan (Slum Improvement atau Kampung Improvement) dilakukan dengan memperbaiki rumah yang sub-standar untuk menambah stok perumahan dengan biaya yang relatif kecil dan tanpa mengubah tatanan masyarakat penduduk sehingga tidak menimbulkan tegangan sosial yang merugikan masyarakat.

Kelima, Peremajaan Kota atau Urban Renewal

untuk kawasan yang tidak lagi menguntungkan untuk direhabilitasi melalui suatu perbaikan (improvement). Peningkatan daya tampung lokasi seperti ini biasanya dilakukan dengan membuat permukiman vertikal bagi menampung penduduk yang dapat menyesuaikan diri secara kultural dengan permukiman berlantai banyak.

6. Kesimpulwan

Negara pusat maupun negara pemerintah tidak menempatkan pengadaan perumahan sebagai prioritas pembangunan, demikian pula masyarakat yang menempatkannya pada prioritas kesekian, sehingga tekanan politik tidak cukup kuat untuk mematangkan situasi yang menuntut perhatian penuh negara atas hal ini.

Pengalaman membuktikan negara kapitalis bahwa yang menganjurkan pasar bebas serta kebebasan individu dan menempatkan rumah sebagai “consumer goods” tidak pernah mampu menyediakan perumahan kepada penduduk berpendapatan rendah, demikian juga intervensi penuh negara sosialis yang mendahulukan


(6)

komunalisme dan menafikan individual serta menempatkan rumah sebagai “public goods” juga tidak akan berhasil dalam pengadaan perumahan. Namun pada negara yang mencoba menggabungkan kedua sistem tersebut untuk mengurangi kelemahan kedua sistem tersebut di atas seperti negara kapitalis yang menganut prinsip “welfare state” seperti beberapa negara di Eropa, serta negara kapitalis yang mengintervensi pasar perumahan seperti Singapura, maka masalah pengadaan perumahan jauh lebih sederhana.

Dengan demikian untuk pengadaan perumahan yang “sustainable” secara jangka panjang diperlukan komitmen dan keberpihakan serta intervensi negara untuk pengadaan perumahan dalam bentuk formulasi kebijakan perumahan yang menkebijakan, suatu hal yang sukar didapat karena prioritas pengadaan perumahan bukan yang utama menurut negara dan penduduk.

Sehingga yang dapat dilakukan saat ini hanya usaha sementara, parsial, dan jangka pendek untuk mengurangi kesenjangan antara permintaan rumah oleh penduduk berpenghasilan rendah dan pengadaan rumah yang diserahkan pada pasar. Usaha sementara ini dibuat dengan anggapan bahwa penyediaan perumahan dapat diisolasi dan dipisahkan dari skenario strategi pembangunan ekonomi nasional di mana fokusnya adalah menambah stok perumahan sebanyak mungkin oleh masyarakat sendiri dengan intervensi yang terbatas dari pemerintah sehingga prinsipnya adalah memberdayakan masyarakat (enabling society) sehingga berperan dalam konteks pasar bebas (public participation), judul usaha seperti ini antara lain adalah: kota baru (new towns), rumah koperasi (cooperative housing), pengadaan rumah dalam konteks berbasis usaha rumah tangga (home based enterprises), perbaikan kawasan stinggan atau perbaikan kampung (slum improvement), peremajaan kota (urban renewal), masing-masing usaha ini dapat dijalankan sendiri atau secara simultan. Namun keberhasilannya sangat tergantung kepada kompatibelnya setiap usaha dengan kultur dan status sosio-ekonomik penduduk.

Daftar Pustaka

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997. Routledge. London

Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997. Routledge. London

Ghani Salleh and Choong Lai Chai, 1997. “Low-Cost Housing: Issues and Problems.” in Cagamas Bhd. Housing the Nation: a definitive study. Kuala Lumpur: Cagamas Bhd.

Harian Republika tanggal 22 November Tahun 2000

James Barlow and Simon Duncan “Success and Failure in Housing Provision European Compared” 1944. Elsevier Science Ltd. England

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 139/KPTS/M/2002 tahun 2002 Nesslein dalam Cua Beng Huat “Political

Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” .1997. Routledge. London

Pokok-pokok Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II seperti tercantum dalam Garis besar haluan negara 1973.

Pokok-pokok kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) VI seperti tercantum dalam Garis Besar Haluan Negara 1988.

Paper Walikota Medan pada Seminar “Tantangan bagi Perkembangan Kota Medan” di Garuda Plaza tahun 2002 didelengerakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Medan. Szelenyi (1987). “Housing inequalities and

Occupation Segregation in State Socialist Cities”, International Journal of Urban and Regional Research 11 (1).

Terdiri dari Pajak Pendapatan Negara (PPN) sebesar 10%, Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 5%, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar nilai jual objek pajak (NJOP)-Rp 30.000.000 x 5%.