Telaah Kebijakan Pengadaan Kebijakan Pengadaan Rumah Murah Di Indonesia Kasus Kota Medan

Jurnal Teknik SI M ET RI K A Vol. 4 No. 2 – Agustus 2005: 365 – 371 369 Pada tahun 1990 terdapat 118.339 unit rumah yang standar, 81.083 yang kondisinya fair serta 48.081 yang sub-standar sehingga total unit stok rumah adalah 247.483 unit. Pada tahun 1997 terdapat 149,821 unit rumah yang standar, 92.847 yang kondisinya fair serta 64.319 yang sub-standar sehingga total unit adalah 306.987 unit. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1990 sebanyak 1.732.035 orang dengan jumlah keluarga 329.065 sehingga terdapat kekurangan unit rumah 81.582 dan pada tahun 1977 jumlah penduduk mencapai 2.014.529 orang dengan jumlah keluarga 402.906 dengan demikian keluarga bertambah sebesar 73.841 antara tahun 1990-1997 dan kekurangan rumah sebanyak 95.919 unit rumah baru, jika ditambah dengan rumah yang sub-standar yang harus di-replacement maka total kekurangan rumah adalah sebesar 160.238 unit pada tahun 1997. Angka di atas hanya menunjukkan jumlah rumah tetapi bukan distribusi, karena seperti disebut sebelumnya terdapat inequality yang sangat tajam. Dari pengalaman pasar tidak mampu melakukan redistribusi yang memihak penduduk berpendapatan rendah. 3.2 Mekanisme Pengadaan Perumahan Sebagai implementasi ideologi yang dianut maka Perusahaan Umum Perumahan Nasional Perum Perumnas dibentuk satu-satunya perusahaan milik negara yang bertugas menyediakan perumahan cost rendah yaitu Perumnas yang pada realitasnya memiliki fungsi ganda adalah, sebagai lembaga yang bertugas menyediakan pelayanan kemanfaatan umum terutamanya perumahan cost rendah sebagai aspek sosial, namun sekaligus harus berfungsi sebagai unit usaha yang diharapkan mendatangkan keuntungan berkebijakankan prinsip pengelolaan yang baik dan benar. Artinya tidak lagi membangun berkebijakankan target yang ditentukan negara tetapi selanjutnya mereka membangun berkebijakankan permintaan pasar 7 . Anggapan bahwa perusahaan ini hanya menyediakan rumah untuk kaki tangan negara, masih terus melekat di sebagian anggota masyarakat Dari uraian di atas jelas tergambar bahwa peran Perumnas sangat ambivalen atau mendua serta tidak tegas, di satu sisi institusi tersebut berperan sebagai pencetak keuntungan yang akan menyulitkan perannya sebagai institusi sosial yang akan membantu masyarakat golongan termiskin yang jelas tidak akan mendatangkan keuntungan dari segi manapun. Sehingga yang dilakukan oleh Perumnas adalah meningkatkan level golongan pendapatan masyarakat yang harus dilayaninya 7 Harian Republika tanggal 22 November Tahun 2000 yaitu golongan menengah yang terbawah, sehingga golongan pendapatan terbawah tetap tidak dijangkau oleh pelayanan institusi ini. Naiknya harga minyak dunia pada tahun 1970- an dan pinjaman yang berlimpah dari IMF International Monetary Funds pada dua dekade berikutnya telah menstimulasi pembangunan fisik di kota-kota besar di Indonesia seperti Medan. Pemerintah pusat melalui Perumnas telah membangun perumahan publik untuk golongan berpendapatan rendah di beberapa lokasi di Medan, sehingga total unit yang dibangun antara tahun 1990-1997 hanya berjumlah 5.000 unit. Karena rumah yang disponsori pemerintah tidak begitu mempengaruhi supply maka jurang antara permintaan dan persediaan, maka pasar perumahan tetap terbuka lebar bagi developer swasta, terutama penyediaan perumahan bagi penduduk berpendapatan menengah ke atas sebanyak 14.030 unit di antara tahun 1990-1997. Dengan demikian pengadaan rumah yang disponsori pemerintah hanya 19.030 unit dari 59.504 unit rumah yang terbangun di antara tahun tersebut. Sehingga pada kenyataannya, bagian terbesar perumahan dibangun oleh penduduk secara individual dan spontan tanpa bantuan pemerintah.

4. Telaah Kebijakan Pengadaan

Perumahan Dari uraian di atas terdapat beberapa fakta yang dapat dijadikan referensi formulasi bagi Kebijakan pengadaan perumahan. Pertama, pada kenyataannya pengadaan perumahan didominasi oleh masyarakat sebagai konsekuensi kebijakan pengadaan perumahan yang diserahkan kepada pasar. Kedua, Pengadaan perumahan yang dikebijakankan kepada pasar tidak pernah mampu menyediakan perumahan secara sempurna atau tidak berhasil menutup jurang antara permintaan dan supply. Nesslein 1988 menegaskan bahwa, bagaimanapun, mereka yang paling antusias tentang penyediaan rumah melalui pasar bebas setuju bahwa penduduk miskin menurut strategi ini tidak akan pernah memiliki pemukiman yang layak 8 , karena pasar perumahan tidak sempurna dan tidak efisien karena tidak memiliki syarat sebagai pasar yang bebas yaitu; pasar akan efisien jika memenuhi tiga hal; pertama, production efficiency, komoditas harus diproduksi dengan biaya seminimum mungkin-sesuatu yang sukar dicapai dan akan membuang sumber daya dengan percuma. Kedua, allocative efficiency, di mana keperluan konsumer dipenuhi se-efektif 8 Nesslein dalam Cua Beng Huat “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” .1997. Routledge. London Kebijakan Pengadaan Rumah Murah di Indonesia…Yanda Zaihifni Ishak, dkk. 370 mungkin - hal yang juga tidak akan terpenuhi. ketiga, dynamic efficiency, di mana perusahaan dengan perencanaan ekonomi, inovasi yang dikembangkan untuk mencapai efisiensi jangka panjang yang hanya dapat terwujud dalam sistem ”free market”. Pasar akan sub-optimal, dan faktanya, perusahaan hanya akan survive karena strategi yang justru tidak efisien. Sebagai tambahan, meskipun pasar berfungsi dengan baik dalan artian ekonomi, tetapi pasar tidak akan efisien secara sosial dalam pengertian sosial yang luas. Pasar tidak membuat alokasi sesuai dengan ”needs” dan selalu menciptakan inequality yang berlanjut. juga akan tercipta kepincangan konsumsi antar- kelompok masyarakat sehingga sekelompok konsumer akan gagal memenuhi kebutuhan standarnya. Dengan seluruh alasan tersebut, terbukti perlunya intervensi negara untuk membuat pasar berfungsi lebih baik 9 . Ketiga, kegagalan yang sama terjadi di negara yang menyerahkan tanggung jawab penyediaan perumahan kepada negara dengan intervensi penuh. Walaupun “housing needs” diinstitusikan sebagai “social right” masalah penyediaan rumah tidak serta merta selesai, tanpa dana yang cukup, penyediaan perumahan tetap masalah. Hal ini, jelas digambarkan oleh Szelenyi 1987 dalam sejarah penyediaan “social house” di negara-negara bekas penganut ekonomi sosialis di Eropa Timur 10 , di mana perumahan secara ideologi dan legal diinstitusikan sebagai “social right” terlihat dengan cepat, bahwa “right” ini tidak dapat diimplementasikan karena secara artifisial, sewa rumah yang ditarik sebagai levy untuk rumah pemerintah sangat tidak proporsional dengan biaya produksi rumah tersebut, sehingga penyediaan perumahan tersebut secara konstan menghisap kering kekayaan nasional, sehingga ditempatkan sebagai “returnless expenditure” yang harus dikurangi diminimalkan 11 . Keempat , penyelesaian masalah perumahan secara permanen dan jangka panjang tidak dapat dipisahkan dari isu nasional complexity of national issues karena berhubung kait dengan national ideology dari suatu negara dan hanya penyelesaian masalah kebijakan penyediaan perumahan housing egara tersebut. 9 James Barlow and Simon Duncan “Success and Failure in Housing Provision European Compared” 1944. Elsevier Science Ltd. England 10 Szelenyi 1987. “Housing inequalities and Occupation Segregation in State Socialist Cities”, International Journal of Urban and Regional Research 11 1. 11 Cua Beng Huat, “Political Legitimacy and Housing Stakeholding in Singapore” 1997, Routledge. London policy perumahan jangka pendek dan temporary yang dapat diisolasi dan diselesaikan secara terpisah tanpa mengintervensi skenario strategi pembangunan ekonomi suatu negara. Kelima, kegagalan pengadaan perumahan yang diserahkan kepada pasar bebas di mana rumah diperlakukan sebagai barang konsumsi di negara kapitalis; dan kegagalan pengadaan perumahan di negara penganut ekonomi eks-sosialis yang secara idelogi menempatkan rumah sebagai hak sosial social right dapat dihindari dengan menginstitusikan pengadaan perumahan oleh negara Universal provision tanpa harus mengeliminasi kemampuan pasar sebagai sebuah disiplin yang harus diikuti oleh konsumer seperti yang dilakukan oleh Singapura 12 , namun harus dilakukan pada kebijakan perumahan pada level nasional. Keenam, kebijakan pengadaan perumahan yang sesuai untuk sebuah negara selalu khas dan spesifik serta unik sehingga setiap negara harus memformulasikan kebijakan yang sesuai dengan ideologi serta karakter n

5. Alternatif Penyelesaian