Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kota Medan, Studi Kasus: Kecamatan Medan Belawan

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG

WILAYAH PESISIR KOTA MEDAN STUDI KASUS

KECAMATAN MEDAN BELAWAN

TESIS

Oleh

NINA AYULI

097003013/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA


(2)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG

WILAYAH PESISIR KOTA MEDAN STUDI KASUS

KECAMATAN MEDAN BELAWAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NINA AYULI

097003013/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR KOTA MEDAN, STUDI KASUS KECAMATAN MEDAN BELAWAN

Nama Mahasiswa : Nina Ayuli Nomor Pokok : 097003013

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc. Ph.D) Ketua

(Ir. Jeluddin Daud, M.Eng) (Dr. Ir. Rahmanta, M.Si) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE)(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc. Ph.D Anggota : 1. Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

2. Dr. Ir. Rahmanta, M.Si 3. Ir. Supriadi, MS


(5)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR DI KOTA MEDAN STUDI KASUS: KECAMATAN MEDAN BELAWAN

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di 6 (Enam) kelurahan di Kecamatan Medan Belawan yaitu: Kelurahan Belawan I,Belawan II, Bahagia, Bahari, Bagan Deli dan Sicanang. Pemanfaatan ruang wilayah pesisir kecamatan Medan Belawan sejalan dengan semakin tinggi nya peningkatan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Namun, banyaknya aktivitas ekonomi yang telah berkembang di wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan dapat menyebabkan pemanfaatan yang tidak efektif dan efisien ditinjau dari aspek keruangan dan daya dukung sumberdaya yang ada sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan ruang. Oleh karenanya penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengevaluasi kesesuaian lahan wilayah pesisir, 2) Menganalisis faktor penyebab terjadinya konflik pemanfaatan ruang, 3)Mengetahui persepsi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penentuan penggunaan lahan, 4)Menentukan prioritas penggunaan lahan, dan 5)Memberikan rekomendasi sebagai dasar pertimbangan pemberian kebijakan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey dengan Data Sekunder diperoleh melalui hasil kuesioner dan wawancara yang mengambil ±10 responden sedangkan Data Primer diperoleh penelusuran pustaka dan instansi-instansi yang ter kait. Analisis data dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis dan Analisis Hirarki Proses (AHP).

Dari hasil analisis evaluasi Kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS) di wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan, maka untuk penggunaan lahan tambak yang Sangat Sesuai dapat ditetapkan di kelurahan sicanang seluas 1.234, 74 Ha dan bahari seluas 208,5 Ha, sedangkan penggunaan lahan untuk industri yang sangat sesuai Belawan I seluas 281,83 Ha dan Belawan II seluas 315,28 Ha dan penggunaan lahan untuk permukiman dan indutri yang sangat sesuai di kelurahan Belawan I dan Belawan II termasuk dalam kategori sangat sesuai. Sedangkan berdasarkan dari hasil analisis AHP terhadap konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara industri dan permukiman di keluarahan Belawan I dan Belawan II maka penentuan prioritas penggunaan lahan untuk industri dan terhadap konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara industri, permukiman, dan tambak di sicanang dan bahagia maka penentuan prioritas penggunaan lahan untuk tambak.

Berdasarkan dari hasil analisis yang telah dilakukan maka saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah perlu adanya dilakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah, karena adanya konflik antar penggunaan lahan dan diperlukannya sosialisasi terhadap masyarakat sebagai persiapan semakin berkembangnya sektor industri dalam menuju perkembangan ekonomi global, dengan cara peningkatan tingkat pendidikan masyarakat.


(6)

ANALYSIS POLICY THE USE OF COASTAL AREAS IN MEDAN: STUDY CASE MEDAN BELAWAN SUB-DISTRICT

ABSTRACT

This research was conducted in six villages in Medan Belawan sub-district: Belawan I, Belawan II, Bahagia, Bahari, Bagan Deli, and Sicanang. The use of coastal areas in Medan Belawan sub-district in line with the economic growth of those areas. However, the economic activities caused inefficiency and ineffective spaces and population carrying capacity. Therefore, the purposes of this research were: 1) to evaluate the suitability coastal areas, 2) to analyze factors caused conflicts the use of coastal areas, 3) to know the government, private, community perceptions in the use of coastal areas, 4) to determine priority in the use of coastal areas, 5) to give recommendations to the policy maker.

The method used in this research was survey with secondary data obtained from questionnaires and interviews that taken ± 10 respondents, meanwhile primary data obtained from literature study and related agencies. The data analyzed using geographic information system and Process

The result of land suitability using geographic information system in Medan Belawan coastal areas showed that the land use suitable for fishpond 1.234, 74 Ha in Sicanang, and 208,5 Ha in Bahari, land use suitable for industry 281,83 Ha in Belawan I, and 315,28 Ha in Belawan II, and land use suitable for homes and industry were in Belawan I and Belawan II. The Process

Hierarchy Analysis

Based on the research result, the suggestion can be drawn were a spatial plan revision, and socialization of the importance of regional development by increasing the education level of the community.

Hierarchy Analysis on the conflict in using land for industry and homes in Belawan I and Belawan II showed that the land was suitable for industry, and conflict in using the land for homes, fishpond, industry in Sicanang and Bahagia showed that the land was suitable for fishpond.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur bagi ALLAH Rabb alam semesta yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya bagi penulis. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjunan dan tauladan kita, Muhammad Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

Tesis ini berjudul “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kota Medan, Studi Kasus: Kecamatan Medan Belawan”. Maksud dari tesis ini adalah untuk untuk melengkapi kewajiban dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pedesaan (PWD) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian Tesis ini berkat adanya bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc. Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Rahmanta, M.Si dan Bapak Ir. Jeluddin Daud, M.Eng, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang meskipun sangat sibuk dengan tugas-tugasnya namun tetap berusaha meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan petunjuk, nasehat dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE, selaku Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Bapak Ir. Supriadi, MS dan Drs. Rujiman, MA selaku Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan tesis ini.

4. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala keikhlasannya dalam memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.


(8)

5. Dan yang Terutama kepada Ayahanda Ir. Jeluddin Daud, M.Eng dan Ibunda Rita Astima yang sejak awal telah menanamkan semangat tidak kenal lelah dalam menuntut ilmu, memberikan limpahan kasih sayang, mendo’akan, memberikan motivasi dan pengertian baik moril dan materil yang tidak putus-putusnya.

6. Kakak- kakak ku (Wilridha, Ainun, Qbunk, Vera), Abang-abang ku (Dodi, Alan, Moriki, Ite) dan Adik-adik ku (Iman, ghani, Leo, Si “Biru”) terima kasih buat bantuan, celotehan dan semangat nya.

7. Special Thx: Abangda Efendi Pane dan Syaiful Daulay yang selalu setia membantu dan memberikan masukan dalam pengerjaan Tesis ini.

8. Seluruh mahasiswa PWD Angkatan 2009 dan staf administrasi atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu namanya yang turut serta membatu dalam penyelesaian tesis ini hingga dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

“Tiada Gading Yang Tak Retak”, demikian juga dengan penelitian ini tentu tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat berterima kasih atas seluruh saran dan kritik dari berbagai pihak yang berkenan, sehingga tugas akhir ini akan lebih sempurna dan karena nya dapat bermanfaat.

Medan, Agustus 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan pada tanggal 1 Juni 1982, putri kelima dari tujuh bersaudara pasangan dari Ir. H Jeluddin Daud, M.Eng dengan Hj. Rita Astima. Pendidikan Sekolah Dasar di SD IKAL Medan dan tamat pada tahun 1994, Sekolah Pendidikan Menengah Pertama di SMPN 1 Medan dan tamat pada tahun 1997 serta Sekolah Pendidikan Menengah Atas di SMU 2 Medan diselesaikan pada tahun 2000.

Pada tahun 2000 melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Bandung pada Fakultas Teknik jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota/Planologi. Penulis pada Februari 2009 memperoleh gelar Sarjana setelah mempertahankan skripsi yang berjudul “Komparasi Preferensi Bermukim Penghuni Kompleks Perumahan di Wilayah Utara dan Selatan di Kota Medan”.

Di awal 2010 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, sebagai Staf Fasilitasi Penyiapan Lahan.

Sejak tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Magister Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan pada tanggal 18 Agustus 2011 penulis mempertahankan tesis dengan judul “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kota Medan, Studi Kasus: Kecamatan Medan Belawan”.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir ... 7

2.2. Tata Ruang Wilayah Pesisir... ……. 8

2.3. Pemanfaatan Ruang ... 9

2.4. Proses Hirarki Analitik (AHP) ... 12


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Metode Pendekatan ... 17

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 21

3.4. Metode Pemilihan Responden ... 22

3.5. Metode Analisis ... 22

3.5.1. Metode Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 22

3.5.2. Metode Proses Hirarki Analitik (AHP) ... 27

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... 38

4.1. Wilayah Studi Kecamatan Medan Belawan ... 38

4.1.1. Letak Geografis ... 38

4.1.2. Kemiringan Tanah ... 40

4.1.3. Iklim ... 42

4.1.4. Kedalaman Efektif Tanah... 42

4.1.5. Jenis Tanah ... 44

4.2. Kependudukan ... 44

4.3. Ekonomi Penduduk ... 45

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 47

5.1.1. Tambak ... 49

5.1.2. Industri ... 50


(12)

5.1.4. Konservasi ... 56

5.2. Konflik Pemanfaatan Ruang ... 58

5.2.1. Konflik antara Industri dan Permukimn………. 60

5.2.2. Konflik antara Industri, Tambak dan Permukiman ... 64

5.3. Analisis Kebijakan ... 6

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

6.1. Kesimpulan ... 74

6.2. Saran ... 75


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Matriks Kesesuaian Lahan ……… 25 3.2. Pembobotan dan Pengharkatan Kesesuaian Lahan untuk

Tambak, Industri, Pemukiman dan Konservasi ……… 26 3.3. Faktor dan Aspek Penentuan Prioritas Penggunaan Lahan ….. 30 3.4. Skala Banding Secara Berpasangan ……….. 36 4.1. Luas Wilayah per Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan

Tahun 2010 ……… 40 4.2. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk per Kelurahan

Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009 ……….. 44 4.3. Persentase Penduduk Menurut Sumber Mata Pencaharian

Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009 ………. 45 5.1. Matriks Parameter Kesesuaian Lahan per Kelurahan

Kecamatan Medan Belawan ………. 49 5.2. Kesesuaian dan Eksisting Lahan untuk Tambak, Industri,

Permukiman dan Konservasi ………. 56 5.3. Hasil Pendapat Stakeholder Pertimbangan Aspek Konflik-1… 60 5.4. Hasil Pendapat Stakeholder Pertimbangan Faktor yang

Berpengaruh Konflik-1 ………. 61 5.5. Analisa Pendapat Stakeholder pada Penentuan Prioritas

Penggunaan Lahan dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah

Pesisir ……… 63 5.6. Hasil Pendapat Stakeholder Pertimbangan Aspek Konflik-2 .. 65 5.7. Hasil Pendapat Stakeholder Pertimbangan Faktor yang

Berpengaruh Konflik-2 ………. 65 5.8. Hasil Pendapat Stakeholder pada Penentuan Prioritas

Penggunaan Lahan dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

3.1. Diagram Kerangka Pikir ………... 20

3.2. Hirarki Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir ……… 34

4.1. Peta Wilayah Administrasi Kecamatan Medan Belawan ………. 49

4.2. Peta Kelerengan Kecamatan Medan Belawan ……….. 41

4.3. Peta Kedalaman Efektif Tanah …………... 43

4.4. Peta Jenis Tanah ………... 46

5.1. Peta Tambak ………...………. 52

5.2. Peta Industri ……….. 53

5.3. Peta Permukiman ……….. 55

5.4. Peta Konservasi ………. 57

5.5. Hasil Analisis Konflik Kegiatan Industri dan Permukiman ………. 64 5.6. Hasil Analisis Konflik Kegiatan Industri, Permukiman, dan Tambak …. 68


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner ………... 78

2 Tabulasi Data Kuesioner - AHP ……… 87

3 Hasil Perhitungan Manual Ahp …..………... 88

4 Luas Area Kesesuaian Lahan ……… 89

5 Dokumentasi ……….. 99


(16)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR DI KOTA MEDAN STUDI KASUS: KECAMATAN MEDAN BELAWAN

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di 6 (Enam) kelurahan di Kecamatan Medan Belawan yaitu: Kelurahan Belawan I,Belawan II, Bahagia, Bahari, Bagan Deli dan Sicanang. Pemanfaatan ruang wilayah pesisir kecamatan Medan Belawan sejalan dengan semakin tinggi nya peningkatan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Namun, banyaknya aktivitas ekonomi yang telah berkembang di wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan dapat menyebabkan pemanfaatan yang tidak efektif dan efisien ditinjau dari aspek keruangan dan daya dukung sumberdaya yang ada sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan ruang. Oleh karenanya penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengevaluasi kesesuaian lahan wilayah pesisir, 2) Menganalisis faktor penyebab terjadinya konflik pemanfaatan ruang, 3)Mengetahui persepsi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penentuan penggunaan lahan, 4)Menentukan prioritas penggunaan lahan, dan 5)Memberikan rekomendasi sebagai dasar pertimbangan pemberian kebijakan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey dengan Data Sekunder diperoleh melalui hasil kuesioner dan wawancara yang mengambil ±10 responden sedangkan Data Primer diperoleh penelusuran pustaka dan instansi-instansi yang ter kait. Analisis data dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis dan Analisis Hirarki Proses (AHP).

Dari hasil analisis evaluasi Kesesuaian lahan dengan Sistem Informasi Geografis (GIS) di wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan, maka untuk penggunaan lahan tambak yang Sangat Sesuai dapat ditetapkan di kelurahan sicanang seluas 1.234, 74 Ha dan bahari seluas 208,5 Ha, sedangkan penggunaan lahan untuk industri yang sangat sesuai Belawan I seluas 281,83 Ha dan Belawan II seluas 315,28 Ha dan penggunaan lahan untuk permukiman dan indutri yang sangat sesuai di kelurahan Belawan I dan Belawan II termasuk dalam kategori sangat sesuai. Sedangkan berdasarkan dari hasil analisis AHP terhadap konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara industri dan permukiman di keluarahan Belawan I dan Belawan II maka penentuan prioritas penggunaan lahan untuk industri dan terhadap konflik pemanfaatan ruang yang terjadi antara industri, permukiman, dan tambak di sicanang dan bahagia maka penentuan prioritas penggunaan lahan untuk tambak.

Berdasarkan dari hasil analisis yang telah dilakukan maka saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah perlu adanya dilakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah, karena adanya konflik antar penggunaan lahan dan diperlukannya sosialisasi terhadap masyarakat sebagai persiapan semakin berkembangnya sektor industri dalam menuju perkembangan ekonomi global, dengan cara peningkatan tingkat pendidikan masyarakat.


(17)

ANALYSIS POLICY THE USE OF COASTAL AREAS IN MEDAN: STUDY CASE MEDAN BELAWAN SUB-DISTRICT

ABSTRACT

This research was conducted in six villages in Medan Belawan sub-district: Belawan I, Belawan II, Bahagia, Bahari, Bagan Deli, and Sicanang. The use of coastal areas in Medan Belawan sub-district in line with the economic growth of those areas. However, the economic activities caused inefficiency and ineffective spaces and population carrying capacity. Therefore, the purposes of this research were: 1) to evaluate the suitability coastal areas, 2) to analyze factors caused conflicts the use of coastal areas, 3) to know the government, private, community perceptions in the use of coastal areas, 4) to determine priority in the use of coastal areas, 5) to give recommendations to the policy maker.

The method used in this research was survey with secondary data obtained from questionnaires and interviews that taken ± 10 respondents, meanwhile primary data obtained from literature study and related agencies. The data analyzed using geographic information system and Process

The result of land suitability using geographic information system in Medan Belawan coastal areas showed that the land use suitable for fishpond 1.234, 74 Ha in Sicanang, and 208,5 Ha in Bahari, land use suitable for industry 281,83 Ha in Belawan I, and 315,28 Ha in Belawan II, and land use suitable for homes and industry were in Belawan I and Belawan II. The Process

Hierarchy Analysis

Based on the research result, the suggestion can be drawn were a spatial plan revision, and socialization of the importance of regional development by increasing the education level of the community.

Hierarchy Analysis on the conflict in using land for industry and homes in Belawan I and Belawan II showed that the land was suitable for industry, and conflict in using the land for homes, fishpond, industry in Sicanang and Bahagia showed that the land was suitable for fishpond.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia. Wilayah kepulauan Indonesia sangat luas, luas daratannya adalah 1,92 Juta Km2, dan luas perairan nusantara dan laut teritorial adalah 3,1 Juta Km2 dan luas perairan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) adalah 2,7 Juta Km2

Pesisir merupakan wilayah yang dinamis dan rawan. Kedinamisan wilayah pesisir disebabkan oleh karena wilayah tersebut merupakan pertemuan dua ekosistem,

yaitu ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Wilayah pesisir mengandung potensi sumberdaya yang besar, baik hayati maupun non hayati termasuk jasa-jasa lingkungan.

dan memiliki panjang garis pantai 80.791 km atau setara dengan 43.670 mil (Statistik Benua Maritim

Indonesia), yang tersebar memanjang di sekitar garis khatulistiwa (equator) bagai

permata zamrud yang sangat indah. Dengan kondisi dan potensi kelautan yang demikian besar menyebabkan wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai

Negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral


(19)

Sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut itu merupakan aset yang mempunyai arti strategis yang sangat besar dan bersifat menjanjikan (prospektif)

untuk masa depan. Konsekwensi dari dinamika wilayah pesisir yang berpotensi menyebabkan manusia untuk datang dan berinteraksi dengan ekosistem pesisir

lainnya. Interaksi manusia dengan lingkungan pesisir menyebabkan terjadi kerawanan-kerawanan karena aktivitas tersebut membutuhkan ruang dan sumberdaya.

Pemanfaatan sumberdaya daratan mendapat perhatian lebih besar karena sumber daya penduduk bermukim (berada) di daratan, hal ini didukung oleh fakta yang menunjukkan bahwa tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukm di kawasan pesisir (DKP, 2002). Daratan tidak dapat dipisahkan dengan lautan (perairan). Sumberdaya di lautan (perairan) dimanfaatkan pula untuk memenuhi kebutuhan manusia (misalnya komoditas perikanan laut, kayu bakau dan lainnya). Orientasi pemanfaatan sumberdaya diarahkan selain kedaratan harus pula diarahkan ke lautan/perairan. Pembangunan yang dilaksanakan selama ini masih terkonsentrasi di daratan, sehingga mengakibatkan tekanan kegiatan pembangunan di darat akan semakin tinggi oleh proses pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dalam kondisi demikian, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan daratan

(daya dukung lahan) untuk menghasilkan bahan kebutuhan masyarakat di masa mendatang akan melebihi luas daratan yang relatif tetap.


(20)

Karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan merupakan alternatif yang tepat bagi pembangunan nasional lebih lanjut, dan dapat menjadi salah satu tumpuan harapan kebutuhan masyarakat di masa mendatang.

Dalam hal pengelolaan kawasan pesisir, pemerintah juga merupakan pihak

yang berkepentingan. Pemerintah memiliki peran yang menentukan dalam perencanaan pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan. Sampai saat ini, arah

pemanfaatan sumber daya dan ruang di wilayah pesisir sering kali tidak terarah dan

tidak terkendali dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu hal penting yang merupakan kebutuhan mendasar adalah suatu pengaturan (perencanaan) ruang wilayah pesisir yang baik, yaitu suatu perencanaan ruang yang program-programnya dapat diimplementasikan, dapat diterima oleh masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalah pokok dalam perencanaan tata ruang terletak pada metode penyusunan rencana tata ruang yang kemudian dapat berlanjut pada pemanfaatan dan pengendalian tata ruang itu sendiri.

Arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Medan 2010 – 2030 menginginkan pengembangan kawasan Utara yang berwawasan lingkungan/konservasi dan estetika, yaitu dengan menerapkan konsep waterfront city, penguatan ekosistem bakau (hutan bakau dan penanaman bakau dalam petak tambak), penataan ruang terbuka hijau dan zona hijau (buffer zone), khususnya kecamatan medan belawan yang memiliki sebesar 1.029 Ha kawasan pantai berhutan bakau (Hutan Mangrove) sebagai kawasan lindung.


(21)

Kecamatan Medan Belawan yang berada di kawasan Utara kota Medan merupakan salah satu kawasan pesisir yang berada di kota Medan Propinsi Sumatera

Utara yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan instansi terkait lainnya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal ini didukung dengan adanya pelabuhan belawan yang merupakan pelabuhan terbesar di pulau Sumatera. Pelabuhan Belawan merupakan pintu gerbang transportasi laut di Sumatera Utara dan diproyeksikan sebagai pelabuhan internasional.

Pemanfaatan ruang wilayah pesisir kecamatan Medan Belawan sejalan dengan

semakin tinggi nya peningkatan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Namun, banyaknya aktivitas ekonomi yang telah berkembang di wilayah pesisir Kecamatan

Medan Belawan dapat menyebabkan pemanfaatan yang tidak efektif dan efisien ditinjau dari aspek keruangan dan daya dukung sumberdaya yang ada sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan ruang.

Konflik pembangunan dan penggunaan lahan yang tidak efektif dan efisien dapat berpotensi menimbulkan masalah-masalah tata ruang, meliputi:

a. Terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan terjadinya alih fungsi lahan (konversi).

b. Rencana tata ruang yang ada masih bersifat parsial berdasarkan kebutuhan sektor dan belum terintegrasi, serta hanya terbatas pada wilayah daratan dan belum mempertimbangankan kondisi sosial budaya masyarakat.

c. Rencana tata ruang belum memenuhi kegiatan masyarakat yang ditunjukkan dengan banyaknya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang.


(22)

d. Belum adanya tata ruang wilayah pesisir yang dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan bagi praktisi perencana di daerah.

Untuk itu perlu adanya suatu analisis kebijakan yang dapat memberikan masukan (input) sebagai dasar/bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan

(pemerintah) dalam pemanfaatan ruang dan penetapan kawasan yang optimal dan proporsional bagi berbagai pengguna lahan (stakeholders) yang berkepentingan.

Sehingga akan tercipta suatu perubahan pola pikir dan pola tindak dari pihak pemerintah untuk dapat mengadakan berbagai perubahan dan penyempurnaan dalam

membuat kebijakan dan menerbitkan aturan yang mendukung pola pengelolaan kawasan pesisir yang dikembangkan secara terpadu. Tanpa dukungan kebijakan dan

peraturan pemerintah, maka sistem pengelolaan yang dihasilkan tidak akan memiliki kekuatan hukum sehingga akan dengan mudah diubah/diganti oleh berbagai pihak yang ingin mengambil keuntungan sesaat (Savitri dan Khazali,1999).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka diperlukan suatu studi mengenai “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kota Medan, Studi Kasus: Kecamatan Medan Belawan” untuk dapat melihat permasalahannya sebagai berikut:

a. Apakah pemanfaatan ruang yang ada telah sesuai dengan kesesuaian lahannya? b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang?

c. Bagaimana persepsi pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap konflik penggunaan lahan yang terjadi


(23)

d. Kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang yang terjadi?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengevaluasi kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir.

b. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

c. Mengetahui persepsi pemerinah, swasta dan masyarakat dalam penentuan penggunaan lahan

d. Menentukan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan wilayah pesisir.

e. Memberikan rekomendasi sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah dan juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam penentuan kebijakan penyusunan rencana tata ruang

wilayah pesisir, dan sebagai acuan teknik dalam menetapkan suatu kawasan dan pemanfaatan ruang serta pengendaliannya.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir

Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota dan

Kabupaten akan menjadi pedoman untuk perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang guna mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan pembangunan di daratan, wilayah pesisir dan lautan.

Esensi tata ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah rencana tata ruang, pedoman pemanfaatan ruang, dan cara pengendalian pemanfaatan

ruang (pasal 32,33, dan 34 UU Nomor 26/2007). Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan perumusan penggunaan ruang secara optimal dengan orientasi

produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan. Perencanaan tata ruang wilayah mengarahkan dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi serta indikasi program dan kegiatan pembangunan.

Perumusan kebijakan tersebut didalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan wilayah pesisir adalah perlunya perencanaan tata ruang berdasarkan

fungsi utama kawasan yang meliputi: (1) Kawasan non budidaya (kawasan lindung/konservasi), misalnya: suaka alam, konservasi hutan mangrove, taman nasional, taman wisata alam dan kawasan budidaya, misalnya: kawasan industry, kawasan permukiman, kawasan pertanian dan (2) Kawasan budidaya perikanan.


(25)

2.2 Tata Ruang Wilayah Pesisir

Selama masa orde baru, kebijakan pembangunan nasional lebih banyak diarahkan pada pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya yang ada di daratan. Kebijakan yang lebih berorientasi ke daratan ini mengakibatkan kurangnya perhatian pada wilayah pesisir dan lautan. Hal ini dapat dilihat dengan hampir tidak adanya daerah atau wilayah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir (RTRWP). Di samping itu, batasan wilayah pesisir hingga saat ini masih menjadi perdebatan bagi

para pakar pesisir di Indonesia, sehingga sering mengakibatkan kesulitan dalam penyusunan RTRWP.

Tata ruang wilayah pesisir adalah pengaturan penggunaan lahan wilayah pesisir melalui pengelompokan penggunaan lahan ke dalam unit-unit yang homogeny ditinjau dari keseragaman fisik, non fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan.

Menurut Dahuri et al. (1996) wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan dan lautan. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti pasang-surut, angin laut dan intrusi air laut. Sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan, seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi

oleh kegiatan-kegiatan manusia didaratan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus pantai


(26)

(cross-shore). Secara implisit definisi diatas menyatakan bahwa pembangunan wilayah pesisir harus dilakukan secara integrated. Pembangunan wilayah pesisir tidak boleh dilakukan secara parsial apalagi berorientasi sektoral seperti yang telah dilakukan selama ini.

Pembangunan yang lebih berorientasi sektoral, yang dilaksanakan lebih dari enam pelita yang lalu, kurang memperhatikan segi kesesuaian (sustability) dan keharmonisan (compatibility) ruang. Sehingga tidak jarang terjadi konflik spasial dalam pemanfaat ruang dan sumberdaya alam antar sektor. Selain itu, pembangunan yang berorientasi sektoral juga berkontribusi pada ketimpangan pembangunan antar kawasan, baik antar daerah maupun antar kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan

secara fungsional. Ketidakserasian pembangunan antar sektor dan ketimpangan pembangunan antar kawasan menyebabkan arah pembangunan daerah menjadi

kurang berdaya guna dan berhasil guna (Ditjen P3K DKP,2000). Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya konsep tata ruang wilayah pesisir yang dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholders.

2.3 Pemanfaatan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan strategi dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun aspek-aspek pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan rang mempunyai batasan yang ditegaskan dalam Undang Undang Nomor: 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


(27)

Beberapa hal yang terkait dengan pemanfaatan ruang tercantum dalam pasal 32,33, dan 34 Undang Undang Nomor: 26 Tahun 2007, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Pasal 32:

1. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya.

2. Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik pemanfaatan rang secara vertical maupun pemanfaatan ruang didalam bumi.

3. Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) termasuk jabaran dari indikasi program utama yang termuat didalam rencana tata ruang wilayah.

4. Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.

5. Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah administratif sekitarnya.

6. Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan standar pelayanan minimal dalam penyediaan sarana dan prasarana.


(28)

Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.Hak prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah dimaksudkan agar pemerintah dapat menguasai tanah pada ruang yang berfungsi lindung untuk menjamin bahwa ruang tersebut tetap memiliki fngsi lindung.

Pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan pembangunan adalah merupakan suatu pengambilan keputusan yang sangat penting, apabila dikaitkan dengan lingkungan hidup. Hal tersebut disebabkan bahwa menentukan apa yang dilakukan

oleh penduduk dengan dan pada tanah dimana penduduk tersebut merupakan bagian yang tidak mudah terlepas dari padanya. Selain dari pada itu pola penggunaan tanah di suatu wilayah adalah merupakan suatu ruangan sebagai hasil gabungan antara aktivitas manusia sesuai dengan tingkat teknologi, jenis usaha, kondisi fisik, jumlah dan keinginan manusia yang ada di wilayah tersebut.

Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan:

1. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis. Dalam rangka pelaksanaannya ditetapkan kawasan budi daya yang dikendalikan dan kawasan budi daya yang di dorong pengembangannya.

2. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis. Program sektoral dalam pemanfaatan ruang


(29)

mencakup pula program pemulihan kawasan pertambangan setelah berakhirnya masa penambangan agar tingkat kesejahteraan masyarakat dan kondisi lingkungan hidup tidak mengalami penurunan.

3. Pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.

Perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.

1. Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.

3. Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan

oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

4. Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan kerugian yang layak.


(30)

2.4 Proses Hirarki Analitik (AHP)

Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Bahasa Indonesia disebut dengan

istilah Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analisis Jenjang Keputusan (AJK), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

Proses Hirarki Analitik (AHP) pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternative. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pasa situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman ataupun intuisi.

AHP ini juga banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang

dimiliki pemain dalam situasi konflik (Saaty, 1993).

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambil keputusan.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah (Saaty, 1993):


(31)

1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur.

2. AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan komplek.

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. AHP member suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.

6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 8. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem

dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representif dari penilaian yang berbeda-beda.

10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.


(32)

2.5 Analisa Kebijakan

Kebijakan adalah suatu keputusan yang diikuti langkah langkah tindakan pelaksanaan yang bersasaran mencapai tujuan yang dimaksudkan, Bullock et.al., (1983), sementara pendapat lain menyatakan bahwa kebijakan adalah apapun yang terpilih, termasuk keputusan untuk tidak melakukan sesuatu, Dye (1978).

Menurut Jan Tinbergen (1987), ada dua unsur pokok dalam kebijakan yaitu: Pertama tujuan kebijakan (policy objectives) merefleksikan nilai-nilai yang ingin diwujudkan, dan Kedua peralatan untuk mencapai tujuan (policy instrument) dapat berupa ketentuan, persyaratan untuk pelaksana, serta prosedur. Kemudian ada tiga strata kebijakan pokok yang sejajar dengan hirarki organisasi yaitu:

1. Kebijakan strategis diputuskan oleh top management 2. Kebijakan manajerial diputuskan oleh middle management 3. Kebijakan operasional dilakukan oleh pelaksana

Pelaku (orang atau organisasi) yang terlibat dalam kegiatan kebijakan atau stakeholder secara keseluruhan ada tiga kelompok yaitu:

1. Pembuat policy (perumus dan pemutus) kebijakan 2. Pelaksana keputusan kebijakan

3. Sasaran keputusan kebijakan Analisa kebijakan mencakup:

1) Determinasi kebijakan: adalah analisis yang berkaitan dengan cara pembuat kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat.


(33)

2) Isi kebijakan: analisis ini mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan bagaimana ia berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya, atau analisis ini bisa juga didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai/teoritis yang mencoba memberikan kritik terhadap kebijakan.

3) Advokasi kebijakan: berupa riset dan argument yang dimaksudkan untuk mempengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau diluar pemerintahan.

4) Informasi kebijakan: sebentuk analisis yang dimaksudkan untuk member informasi

bagi aktivitas pembuatan kebijakan. Bisa berbentuk anjuran atau riset eksternal/internal yang terperinci tentang aspek kualitatif dan judgemental dari suatu kebijakan.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pendekatan

Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir dan lautan, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah untuk sektor kelautan, maka dalam mencapai pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, tampaknya hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Hal ini dikarenakan terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antar kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas, cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya.

Pertambahan jumlah penduduk yang terus-menerus dan peningkatan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di Kecamatan Medan Belawan itu mendorong peningkatan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Hal ini menjadikan

pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan juga meningkat dan semakin intensif.

Peningkatan pemanfaatan ruang ini dapat mengakibatkan degradasi lingkungan wilayah pesisir dan terjadinya perubahan pada suatu ekosistem pesisir yang cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Pada prinsipnya pengelolaan wilayah pesisir berkenaan dengan faktor lingkungan ekologis, lingkungan ekonomi dan lingkungan sosial yang saling berkaitan dan diatur melalui


(35)

hukum, aturan lokal dan tradisi. Timbulnya masalah dalam pengelolaan tersebut antara lain karena ketiga faktor tersebut tidak berjalan secara harmonis.

Esensi tata ruang menurut Undang-undang Nomor: 26 Tahun 2007 adalah Rencana Tata Ruang, Pedoman Pemanfaatan Ruang dan Cara Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang diatur dalam pasal 13, 15 dan 17 UU No.26 Tahun 2007.

Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan perumusan pemanfaatan /penggunaan ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.

Perumusan-perumusan kebijakan tersebut di dalam pelaksanaan pembangunan

dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautan belum secara tajam digariskan berdasarkan ketentuan hukum misalnya: Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri

dan sebagainya. Sejauh ini belum dapat diidentifikasi persyaratan teknis dan pemanfaatan ruang yang bersifat umum atau dapat dipakai secara nasional yang ditetapkan dalam suatu peraturan, kecuali tentang penetapan Kawasan Lindung yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor: 32 Tahun 1990 dan secara parsial tentang penetapan hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

837/kpts/UM/II/1980. Sedangkan undang-undang Nomor: 5 Tahun 84 Tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman dan Peraturan perundang-undang lainnya masih bersifat sektoral dan belum operasional.

Peraturan dan perundangan-undangan yang bersifat sektoral dan belum operasional tersebut dapat menyebakan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang,


(36)

karena masing-masing stakeholders, baik pemerintah: dalam hal ini lembaga/instansi, maupun pihak swasta dan masyarakat berusaha memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir seoptimal mungkin sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Dalam mempelajari konflik pemanfaatan ruang dilakukan pendekatan analisis spasial dan analisis konflik. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan metode

Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengevaluasi lahan sehingga diperoleh kesesuaian lahan. Sedangkan analisis konflik dilakukan dengan pendekatan Proses

Hirarki Analitik (AHP),akan dapat ditentukan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang yang optimal. Berdasarkan hasil kedua analisis tersebut dapat memberikan rekomendasi sebagai landasan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan. Diagram Kerangka Berpikir dapat dilihat pada Gambar 3.1 sebagai berikut:


(37)

TIDAK IYA

Gambar 3.1. Diagram Kerangka Pikir Kondisi &

Potensi Wilayah

Kebijakan Pengelolaan Wilayah

Permasalahan

Penataan Ruang Wilayah Pesisir

Perencanaan Tata Ruang

Pemanfaatan Ruang

Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Penyimpangan Pemanfaatan

Konflik Pemanfaatan Ruang

ANALISIS SPASIAL

Kesesuaian Lahan

ANALISIS KONFLIK

Prioritas Kegiatan

REKOMENDA SI

Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Yang Optimal


(38)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian terletak di wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan terdiri atas 6 kelurahan, yaitu: Bagan deli, Belawan I, Belawan II, Bahari, Bahagia dan Sicanang (Gambar 2). Luas wilayah pesisir yang merupakan daerah studi/penelitian adalah sekitar 26,25 Km2.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.

1) Data primer diperoleh melalui survey secara langsung di wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan dengan melakukan kegiatan lapangan yang meliputi:

1. Kegiatan observasi lapangan untuk mengamati keadaan wilayah, jenis-jenis penggunaan tanah yang ada serta permasalahan dilapangan.

2. Kegiatan wawancara dengan menggunakan kuesioner, yang dilakukan terhadap responden yang berkaitan dengan materi penelitian yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.

2) Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka dari berbagai sumber yang relevan dan data sekunder juga diperoleh dari: Kantor BPS, BPN, Dinas Pertanian, Perikanan, Perindustrian, Bappeda dan instansi lainnya yang terkait serta data-data lain yang diperlukan.


(39)

3.4 Metode Pemilihan Responden

Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah faktor/pengguna lahan (stakeholders) terdiri dari Pemerintah, swasta dan masyarakat yang mempengaruhi pengambilan kebijakan pemanfaatan ruang baik langsung maupun tidak langsung.

Pemilihan responden dalam AHP, diperoleh dengan melakukan kegiatan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan terhadap ± 10 (sepuluh) responden, terdiri dari pejabat/staf dari lembaga-lembaga pemerintah yang terkait atau responden yang memiliki keahlian khusus (pakar), responden yang terlibat langsung, atau responden yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan terkait dengan pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kecamatan Medan Belawan.

3.5 Metode Analisis

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan alat analisis, yaitu:

3.5.1 Metode Sistem Informasi Geografis (SIG)

Pemanfaatan ruang wilayah pesisir secara teknis dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan sedemikian rupa, sehingga pemanfaatan ruang tersebut memiliki konteks yang jelas dalam wacana pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip prinsip pemanfaatan ruang suatu wilayah dapat


(40)

dilihat sebagai dasar pemikiran paling dasar yang digunakan untuk melakukan/menentukan kawasan dalam penggunaan tanah sesuai dengan kepentingan

berbagai pihak (stakeholders), sedangkan kawasan itu sendiri pada dasarnya adalah penentuan peruntukkan suatu wilayah dengan memperhatikan kepentingan– kepentingan sosial ekonomi dan ekologis bagi berbagai pihak (stakeholders) yang berkompeten secara berimbang. Dalam wacana pembangunan yang berkelanjutan, maka prinsip yang digunakan dalam pemanfaatan ruang adalah mempertemukan dimensi kepentingan–kepentingan sosial-ekonomis dengan dimensi ekologis sehingga

kedua dimensi tersebut dapat diakomodir secara proposional dan kepentingan pembangunan jangka panjang dapat terjamin.

1) Penyusunan Peta Kawasan

Peta Kawasan disusun berdasarkan hasil dari ketika melakukan pemantauan langsung dilapangan dan hasil konfirmasi serta data-data sekunder dari Pemerintah Kota Medan yang diperoleh dalam bentuk peta kawasan kondisi saat ini yang

menggambarkan penggunaan kawasan sekarang dan peruntukkan kawasan sekarang.

Data yang digunakan dalam penyusunan peta kawasan pada dasarnya terdiri dari dua kategori, yaitu: data spasial dan dan data alfanumerik. Data spasial berupa data grafis peta dan alfanumerik berupa data tabular. Data spasial yang digunakan berasal dari peta topografi sebagai peta dasarnya dan peta-peta tematik (peta tata guna lahan, peta kemiringan/lereng, peta ketinggian, peta kedalaman efektif tanah, peta jenis tanah dan peta ketersediaan air).


(41)

Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis, sehingga informasi spasialnya dapat diketahui yaitu:

1. Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan atau konservasi, atau kawasan mana saja yang dijadikan sebagai kawasan lindung. 2. Kegiatan penggunaan kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang

tidak diperbolehkan.

3. Konflik yang terjadi antara:

i. Kesesuaian kawasan dengan peruntukkannya ii. Penggunaan lahan dengan peruntukkannya

iii. Keharmonisan spasial dengan kawasan-kawasan lain disekitarnya

Hasil penyusunan peta kawasan yang telah sesuai dengan peruntukkan yang seharusnya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan sekarang, misalnya: suatu kawasan yang seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan perikanan namun pada kenyataannya digunakan sebagai kawasan industri.

2) Penyusunan Matriks Kesesuaian Lahan

Adapun kriteria yang digunakan dalam penyusunan matriks kesesuaian masing-masing penggunaan lahan yang dapat digunakan sebagai acuan di setiap peruntukan lahan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut:


(42)

Tabel 3.1. Matriks Kesesuaian Lahan

Kriteria

Peruntukkan Lahan

Industri Tambak Pertanian Permukiman Konservasi Pantai

Kemiringan 2 – 8% 0 – 2% 2 – 8% >2 % 0 – 2%

Ketinggian 5 – 15 m 0 – 5 m 5 – 15 m >5 m <5 m

Jenis Tanah Segala jenis tanah Alluvial pantai Alluvial, Alluvial hidromorfik kelabu. Segala jenis tanah Alluvial pantai

Ketersediaan Air Air tawar potensi sedang (10 – 15

liter/detik) – tinggi ( >15 liter/detik) Air payau (jarak dari sungai 0- 2.000 m) Air tawar potensi sedang – tinggi atau pada akuifer produktivitas sedang - tinggi

Air tawar kecil – tinggi atau pada akuifer produktivitas kecil - tinggi

Air payau dan air asin permeabilita s

Lokasi < 500 m

dari sarana dan prasarana jalan Tidak jauh dari pantai antara 200 – 4.000 m

- <500 m dari

sarana dan prasarana jalan

<200 m dari garis pantai

Kedalaman Efektif Tanah

30 – 60 cm - > 30 cm - -

Daerah Tidak

tergenang

Tergenang Periodik

- Tidak

tergenang

Tergenang Periodik

Sumber: Dalam Sugiarti, 2000

3) Pembobotan (Weighting), dan Pengharkatan (Scoring)

Pembobotan pada setiap faktor pembatas/parameter ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukkan. Besarnya pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan, sebagai contoh: kemiringan/kelerangan mempunyai bobot yang lebih tinggi untuk


(43)

Pemberian nilai (scoring) ditujukan untuk menilai beberapa faktor pembatas/parameter/kriteria terhadap suatu evaluasi kesesuaian. Pembobotan

(weighting) dan pemberian nilai (scoring) untuk masing-masing penggunaan lahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2. Pembobotan dan Pengharkatan Kesesuaian Lahan untuk Tambak, Industri, Permukiman, dan Konservasi

No Parameter Harkat Tambak Industri Permukiman Konservasi

B N B N B N B N

1 Kemiringan Lereng

- 0 – 8 - 8 – 15 - 15 – 25 - 25 – 40 - >40

5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 0,8 4 3,2 2,4 1,6 0,8 0,8 4 3,2 2,4 1,6 0,8 2 Ketinggian

- 0 – 5 m - 5 – 15 m - 15 – 30 m - 30 – 45 m - > 45 m

5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 0,8 4 3,2 2,4 1,6 0,8 0,8 4 3,2 2,4 1,6 0,8 3 Ketersediaan Air

- Sangat Tinggi - Tinggi - Cukup Tinggi - Kurang - Sangat Kurang

5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 0,8 4 3,2 2,4 1,6 0,8 4 Kedalaman Efektif

Tanah - < 25 - 25 – 50 - 50 – 75 - > 75

4 3 2 1 1,0 4 3 2 1 0,8 3,2 2,4 1,6 0,8 0,8 3,2 2,4 1,6 0,8 0,8 3,2 2,4 1,6 0,8 5 Rawan Banjir

- Tidak Pernah - Jarang

- Kadang-kadang - Sering

- Sering Sekali

5 4 3 2 1 1,0 5 4 3 2 1 0,8 4 3,2 2,4 1,6 0,8 1,0 4 3,2 2,4 1,6 0,8 0,8 4 3,2 2,4 1,6 0,8

Sumber: Hasil analisis, 2011


(44)

Dari penilaian metode pengharkatan tersebut akan diperoleh nilai dimana berdasarkan nilai tersebut akan diketahui kelas kesesuaiannya. Pembagian selang kesesuaian dilakukan berdasarkan selisih nilai terbesar dikurangi nilai terkecil. Oleh karenanya dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi dalam 3 kelas, yang didefinisikan sebagai berikut:

1. Kelas S1 (25 – 17): Sangat Sesuai (Highly Suitable), yaitu:

Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut. 2. Kelas S2 (17 – 9): Sesuai (Suitable), yaitu:

Lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh.

3. Kelas N (9 – 1):Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable), yaitu

Lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih memungkinkan untuk dapat diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat pengetahuan/teknologi yang lebih tinggi.

3.5.2 Metode Proses Hirarki Analitik (AHP)

Pada umumnya permasalahan yang sering timbul dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah ketidakseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan/kepentingan


(45)

masing-masing komponen yang terlibat. Dalam kasus pemanfaatan ruang wilayah pesisir, masyarakat setempat menghendekai dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebaliknya pihak swasta menghendaki untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada untuk memperoleh keuntungan sebesar-sebesarnya. Demikian pula hubungan antara masyarakat setempat, swasta dan pemerintah, dalam hal ini masyarakat dan swasta

menghendaki ketersediaan lahan/ruang untuk berproduksi sesuai dengan kepentingannya, akan tetapi sebaliknya pihak pemerintah menghendaki pemanfaatan

ruang tersebut sesuai dengan rencana umum tata ruang kota yang sudak ditetapkan. Dengan adanya beda kepentingan dari beberapa pihak tersebut akan menimbulkan konflik pemanfaatan ruang. Disisi lain ketiga pihak tersebut mempunyai kepentingan yang sama, yaitu: bersama-sama menghendaki pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir yang berkelanjutan (sustainable).

Selanjutnya untuk dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya yang sustainable

tersebut perlu ditentukan titik keseimbangan, dimana semua pihak mendapatkan keuntungan secara proposional dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan

analisis kebijakan yang menghasilkan suatu kebijakan yang dapat digunakan sebagai

dasar bagi pengambil keputusan untuk menetapkan suatu kebijakan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kecamatan Medan Belawan.

Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif.

Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia, dengan hirarki suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan kedalam kelompok-kelompoknya. Kemudian kelompok-kelompok


(46)

tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Permadi, 1992). Dalam pemilihan prioritas, AHP mampu menangkap secara rasional persepsi manusia dan mampu mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible) kedalam aturan yang biasa, sehingga bisa dibandingkan.

Adapun langkah-langkah analisis data agar dapat menganalisis konflik pemanfaatan ruang dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kecamatan Medan Belawan adalah sebagai berikut:

Dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (Kadarsyah Suryadi dan Ali Ramdhani, 1998):

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. Dalam tahap ini kita berusaha menentukan masalah yang akan kita pecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang ada kita coba tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah tersebut. Untuk memecahkan konflik yang terjadi

dan solusi yang diinginkan didalam menentukan prioritas kegiatan pada kawasan konflik penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang optimal,

maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dalam mengambil suatu kebijakan yang terdiri dari 4 (empat) aspek pertimbangan.

Adapun faktor-faktor dari keempat aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.3 sebagai berikut:


(47)

Tabel 3.3. Faktor dan Aspek Penentuan Prioritas Penggunaan Lahan

Aspek Industri Tambak Permukiman

Ekonomi • Meningkatkan Pendapatan

• Eksploitasi Sumberdaya

• Menumbuhkan sektor informal

• Meningkatkan Pendapatan

• Eksploitasi Sumberdaya

Menumbuhkan sektor informal

Lingkungan • Pencemaran

• Degradasi Linkungan

• Ketersediaan Lahan

• Ketersediaan Lahan

• Pencemaran

• Ketersediaan Lahan

Sosial • Penyerapan Tenaga kerja • Penyerapan

tenaga Kerja

• Adat dan kebiasaan turun temurun

• Pencemaran

• Degradasi Linkungan

• Ketersediaan Lahan

Teknologi • Transfer Teknologi (Meningkatkan Tenaga kerja terampil.

Aspek Ekonomi, mempengaruhi keputusan akan pemilihan/penentuan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan. Kriteria dari aspek ini dijabarkan menjadi 3 faktor yang mungkin terjadi, yaitu sebagai berikut:

a. Pendapatan (Income)

Kegiatan industri akan menghasilkan pendapatan (income) bagi masyarakat setempat dan penanaman investasi merupakan aset yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah. Begitu pula dengan kegiatan pertambakan, juga memberikan pendapatan bagi masyarakat setempat


(48)

meskipun kontribusinya tidak sebesar dan seluas yang diberikan oleh kegiatan industri.

b. Eksploitasi Sumberdaya

Dengan adanya kegiatan industri diharapkan dapat menggali potensi daerah dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada secara optimal dan efisien agar tercapai pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable).

c. Sektor Informal

Dengan adanya kegiatan industri dan permukiman disuatu daerah akan menumbuhkan sektor informal dapat berupa usaha dibidang perdagangan, jasa

dan transportasi yang sangat menunjang perekonomian penduduk setempat. Aspek lingkungan, pertimbangan aspek lingkungan dalam menentukan prioritas kegiatan akan menunjang pemanfaatan sumberdaya yang optimal dan sustainable. Adapun kriteria dari aspek lingkungan dapat dijabarkan menjadi 3 faktor yang mungkin terjadi, yaitu sebagai berikut:

a. Pencemaran

Proses industri dalam kegiatan industri menghasilkan limbah industri yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, apabila tidak dilakukan pengelolaan limbah secara benar terlebih dahulu, sehingga limbah yang dibuang ke saluran, sungai atau laut tidak melebihi batas ambient. Begitu pula dengan kegiatan permukiman juga menghasilkan limbah domestik.


(49)

b. Ketersediaan Lahan

Ketersediaan lahan untuk pengembangan kegiatan industri, pertambakan, dan permukiman harus mengacu pada rencana tata ruang yang ada dan sesuai dengan kesesuaian lahan agar tidak terjadi konflik dalam pemanfaatan ruang. Aspek sosial, pertimbangan aspek sosial dalam menentukan prioritas kegiatan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan aspek-aspek lainnya dalam menentukan kebijakan, karena kebijakan tersebut akan berdampak positif dan dapat diterima serta mendapat respons dari masyarakat apabila masyarakat ikut serta menikmati dan merasa memiliki hasil dari suatu kebijakan. Kriteria dari aspek sosial dapat dijabarkan menjadi 3 faktor yang mungkin terjadi, yaitu sebagai berikut:

a. Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja yang besar pada kegiatan industri akan berimplikasi pada pemanfaatan sumber daya manusia setempat, sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Begitu pula dengan kegiatan pertambakkan dapat menyerap tenaga kerja, meskipun tidak sebesar pada kegiatan industri. Sedangkan kegiatan permukiman merupakan sumber kegiatan tenaga kerja yang sangat dibutuhkan oleh kegiatan industri dan pertambakkan.


(50)

b. Adat Istiadat dan Kebiasaan Turun Temurun

Kegiatan pertambakan yang diusahakan masyarakat merupakan adat istiadat dan usaha yang turun temurun, karena sebagian besar lahan pertambakkan yang dimiliki masyarakat adalah harta warisan dari leluhurnya.

Aspek Teknologi, pertimbangan aspek teknologi dalam penentuan prioritas kegiatan/penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang sebagai dasar menetapkan

suatu kebijakan adalah karena perkembangan teknologi sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah, sehingga menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang ahli dan trampil.

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan utama. Setelah menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria yang cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika mungkin diperlukan). Penyusunan struktur hirarki di wilayah pesisir kecamatan Medan Belawan adalah sebagai berikut:


(51)

Gambar 3.2. Hirarki Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir

PENENTUAN PRIORITAS

KEGIATAN (PENGGUNAAN

EKONOMI LINGKUNGA

N

SOSIAL TEKNOLOGI

Pendapatan

Eksplotasi Sumberdaya

Sektor Informal

Pencemaran

Degradasi

Ketersediaan Lahan

Tenaga Kerja

Adat & Kebiasaan

Transfer Teknologi

INDUSTRI TAMBAK PERMUKIMA

N

Level 1 Tujua

n

Level 2 ASPE

Level 3

Kriteria

Level 4 Prioritas/ Kebijakan


(52)

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya.

4.

Matriks yang digunakan bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat untuk kerangka konsistensi, mendapatkan informasi lain yang mungkin dibutuhkan dengan semua perbandingan yang mungkin dan mampu menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk perubahan pertimbangan. Pendekatan dengan matriks mencerminkan aspek ganda dalam prioritas yaitu mendominasi dan didominasi. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hirarki misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5. Melakukan perbandingan berpasangan.

Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Hasil perbandingan dari

masing-masing elemen akan berupa angka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam

matriks dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas


(53)

antar elemen. Hasil perbandingan tersebut diisikan pada sel yang bersesuaian

dengan elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan perbandingan berpasangan dan maknanya yang diperkenalkan oleh Saaty bisa dilihat pada Tabel 3.4 berikut:

Tabel 3.4. Skala Banding Secara Berpasangan Tingkat

Kepentingan

Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama

pentingnya

Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting dari pada elemen lainnya

Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen disbanding

elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting

dari pada elemen lainnya

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding

elemen yang lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih penting

dari elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih

penting dari pada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat

penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan

Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan

dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya

bila dibandingkan i Sumber: Saaty Thomas, 1993

5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya

6.

, jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi.

7.

Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.

Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai mencapai tujuan.


(54)

Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan

untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mensdapatkan rata-rata.

8. Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan adalah yang mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati

valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10%.


(55)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1. Wilayah Studi Kecamatan Medan Belawan 4.1.1 Letak Geografis

Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu kecamatan di Kota Medan dengan luas wilayah 21,82 Km2

Sebelah Utara : Selat Malaka

dengan rasio luas wilayah adalah 8,52% terhadap luas wilayah Kota Medan. Kecamatan Medan Belawan berbatasan dengan:

Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Labuhan Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang

Secara geografis wilayah Kecamatan Medan Belawan terletak antara 03o 48’ Lintang Utara dan 98o 42’ Bujur Timur. Daerah ini terletak pada ketinggian 3 m di atas permukaan laut, dengan keadaan iklim dipengaruhi oleh angin laut dengan kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi. Suhu rata-rata 21o C – 32o

Wilayah pemerintahan Kecamatan Medan Belawan meliputi 6 kelurahan dengan luas wilayah setiap Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.1.


(56)

(57)

Tabel 4.1. Luas Wilayah per Kelurahan di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2010

No. Kelurahan Luas (Km2) %

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Belawan Pulau Secanang Belawan Bahagia Belawan Bahari Belawan II Bagan Deli Belawan I 15,10 0,54 1,03 1,75 2,30 1,10 69,20 2,47 4,72 8,02 10,54 5,04

Medan Belawan 21,82 100

Sumber: Kecamatan Medan Belawan Dalam Angka, Tahun 2010

Pada Tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa Kelurahan Belawan Pulau Secanang memiliki luas wilayah terbesar di Kecamatan Medan Belawan yaitu 15,10 Km2 (69,20%). Kemudian diikuti dengan Kelurahan Bagan Deli seluas 2,3 Km2 (10,54%), Kelurahan Belawan II 1,75 Km2 (8,02%), Kelurahan Belawan I seluas 1,10 Km2 (5,04%), Kelurahan Belawan Bahari II 1,03 Km2 (4,72%), dan Kelurahan Belawan Bahagia 0,54 Km2

4.1.2 Kemiringan Tanah

(2,47%).

Kemiringan tanah merupakan sudut yang dibentuk oleh permukaan tanah dengan bidang horizontal dan dinyatakan dalam persen. Daerah dengan tingkat lereng 0 – 8% banyak dijumpai di wilayah perkotaan dengan kondisi relatif datar. Untuk wilayah dengan lereng 0 - 8% sebagian besar di daerah pantai yang pada umumnya

baik untuk jenis kegiatn pertambakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(58)

(59)

4.1.3 Iklim

Kondisi iklim suatu daerah sangat ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan dan saat terjadinya hujan. Kedua faktor tersebut menentukan keberlangsungan mata rantai siklus air. Dengan demikian hubungan antara curah hujan dan waktu hujan dapat mengetahui kapan air tersedia cukup dan kapan tidak cukup untuk suatu pertumbuhan tanaman. Curah hujan rata-rata di kecamatan Medan Belawan adalah 3.000 mm/tahun.

4.1.4 Kedalaman Efektif Tanah

Kedalaman efektif tanah adalah untuk mengidentifikasi tebal tipisnya tanah dari permukaan tanah sampai pada lapisan dimana perakaran tanaman tidak dapat menembusnya atau lapisan bahan induk. Dengan diketahuinya tingkat kedalaman tanah ini diidentifikasi kesuburan tanah atau kesesuaian lahan untuk komoditi tanaman tertentu. Secara garis besar klasifikasi kedalaman efektif tanah di Kecamatan

Medan Belawan, yaitu dengan tingkat kedalaman efektif tanah 50 – 75 cm, meliputi 85% dari luas wilayah, dimana tanah ini cukup baik untuk tanaman semusim (berakar dangkal) tetapi kurang baik untuk tanaman keras (tanaman tahunan). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.3.


(60)

(61)

4.1.5 Jenis Tanah

Jenis tanah di Kecamatan Medan Belawan 90% berjenis tanah Hydraquents

dan Sufaquents ini berada di belahan utara, timur dan selatan kecamatan Medan Belawan dan 10% berjenis tanah Tropaquepts, Fluvaqurnts, dan Tropohernist yang

berada di belahan barat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.4.

4.2. Kependudukan

Jumlah penduduk Kecamatan Medan Belawan hingga akhir tahun 2009 berjumlah 96.700 orang yang dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk per Kelurahan Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009

No. Kelurahan

Jumlah Penduduk

(Orang)

Kepadatan Penduduk

per Km2 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Belawan Pulau Secanang Belawan Bahagia Belawan Bahari Belawan II Bagan Deli Belawan I 13.935 13.040 10.663 23.751 13.863 21.448 923 24.148 10.352 13.572 6,027 19.498 Medan Belawan 96.700 4.432 Sumber: Kecamatan Medan Belawan Dalam Angka, 2010

Pada Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa Kelurahan Belawan Bahagia memiliki kepadatan penduduk yang paling tinggi yaitu 24.148 orang/Km2, diikuti dengan Kelurahan Belawan I dengan kepadatan penduduk 19.498 orang/Km2 dan Kelurahan Belawan II dengan kepadatan penduduk 13.572 orang/Km2, selanjutnya


(62)

Kelurahan Belawan Bahari dengan kepadatan penduduk 10.352 orang/Km2 dan Kelurahan Bagan Deli dengan kepadatan penduduk 6.027 orang/Km2. Sedangkan Kelurahan Belawan Pulau Secanang memiliki kepadatan penduduk yang sangat dibandingkan kelurahan lain di Kecamatan Medan Belawan dengan kepadatan penduduk 923 orang/ Km2. Berdasarkan angka tersebut, kepadatan penduduk sudah

cukup tinggi karena di atas 100 orang/Km2.

4.3. Ekonomi Penduduk

Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Medan Belawan yang paling dominan adalah bekerja di sektor pegawai swasta/buruh, yaitu mencapai 28,22%, diikuti sektor lain seperti nelayan 20,61% dan perdagangan 13,92%, pegawai negeri

4,39 %, pensiunan 1,79%, ABRI 1,78%. Perlu dicermati mata pencaharian di Kecamatan Medan Belawan lainnya mencapai 29,29% dan petani tidak ada. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Persentase Penduduk Menurut Sumber Mata Pencaharian Kecamatan Medan Belawan Tahun 2009

No. Mata Pencaharian Jumlah (Orang) %

1. 2. 3. 4. 5. 6 7 8 Petani Nelayan Pedagang Pegawai Negeri ABRI Pegawai Swasta/Buruh Pensiunan Lainnya 0 5.238 3.540 1.117 453 7.176 455 7449 0 20,61 13,92 4,39 1,78 28,22 1,79 29,29

Jumlah 25.428 100


(63)

(64)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan

Setiap jenis penggunaan lahan dianalisis kesesuaiannya berdasarkan kriteria dan persyaratan penggunaan lahan. Penggunaan lahan untuk industri, tambak, sawah permukiman dan konservasi di wilayah pesisir diidentifikasi secara terpisah dengan mempertimbangkan masing-masing faktor/parameter pembatas. Parameter atau faktor

pembatas dapat ditambah atau dikurangi. Hal ini terjadi apabila pihak analisis menghendaki atau menilai faktor pembatasnya masih kurang atau berlebih. Dengan

demikian hasil klasifikasi tersebut belum menjadi batasan yang mutlak bagi suatu peruntukan penggunaan lahan tertentu. Hal yang penting pada klasifikasi ini adalah

tata cara bagaimana suatu faktor pembatas (parameter) bagi suatu peruntukan penggunaan lahan disusun dalam pembobotan, scoring dan kelas.

Berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan tersusun 3 (tiga) kelas kesesuaian, yaitu : Sangat Sesuai (S1), Sesuai (S2), dan Tidak Sesuai (N1). Pemberian bobot setiap parameter berdasarkan pada tingkat kepentingan suatu peruntukan penggunaan lahan. Besar pembobotan ditentukan terbesar 1,0 dan terkecil

0,8.

Pemberian nilai (scoring) pada setiap parameter berdasarkan pada tingkat

kesesuaian dari tiap kelas yang ada pada tiap paremeternya. Pemberian nilai/pengharkatan dapat juga berdasarkan pengaruh dari tiap kelas yang ada pada tiap


(65)

paremeternya. Besar nilai ditetapkan skor tertinggi 24 dan terendah 5. Pemberian kelas pada setiap faktor pembatas/parameter adalah berdasarkan pada besar skor yang diperoleh. Skor tertinggi akan mendapatkan kelas 1, berikutnya kelas 2 dan seterusnya sampai pada skor terendah mendapatkan kelas 3.

Analisis kesesuaian lahan wilayah pesisir kecamatan Medan Belawan difokuskan kepada penggunaan lahan untuk Tambak, Industri, Permukiman, dan

Konservasi.Maksud dari analisis ini adalah untuk menilai lahan wilayah pesisir Kecamatan Medan Belawan, apakah secara fisik sesuai bagi

peruntukkan-peruntukkan dimaksud. Apabila sesuai, perlu juga diketahui dimana saja lokasi peruntukkan lahan tersebut.

Analisis kesesuaian lahan dilakukan pada 6 (enam) kelurahan di Kecamatan Medan Belawan, yaitu: Kelurahan Belawan I, Belawan II, Bahagia, Bahari, Sicanang, dan Bagan Deli. Berdasarkan hasil analisis spasial diperoleh parameter yang digunakan dalam analisis kesesuaian lahan di Tabel 5.1. Dan dengan menggunakan pendekatan SIG dibantu perangkat lunak Arclnfo 3.5 dengan metode overlay diperoleh hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk masing-masing penggunaan lahan akan dibahas secara rinci sebagai berikut:


(66)

Tabel 5.1. Matriks Parameter Kesesuaian Lahan per Kelurahan Kecamatan

Medan Belawan Sumber: Hasil Analisis, 2011

5.1.1 Tambak

Berdasarkan hasil analisis spasial pendekatan SIG dengan metode tumpang susun (overlay), tambak dalam pengertian penggunaan lahan yang dimanfaatkan untuk pengembangan pertambakan atau budidaya ikan lainnya, maka diperoleh lahan yang Sangat Sesuai untuk tambak berada di kelurahan Sicanang seluas 1.533,74 Ha dan Kelurahan Bahari seluas 113,51Ha. Sementara lahan yang Sesuai untuk tambak

Parameter Kelurahan

Belawan I Belawan II Sicanang Bahagia Bahari Bagan Deli

Kemiringan 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 %

Ketinggian 3 – 8 m 2 – 8 m 0 – 5 m 0 – 2 m 0 – 4 m Jenis Tanah Hydraquents,

Sufaquents Hydraquents, Sufaquents Hydraquents, Sufaquents, Tropaquepts, Fluvaqurnts, Tropohernist Hydraquents, Sufaquents, Tropaquepts, Fluvaqurnts, Tropohernist Hydraquents, Sufaquents Hydraquents, Sufaquents Ketersediaan Air Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Kedalaman Efektif Tanah

50-75 50-75 >75 50-75 50-75 50-75

Curah Hujan 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm

Rawan Banjir Tidak Tidak Banjir Banjir Banjir

Parameter Kelurahan

Belawan I Belawan II Sicanang Bahagia Bahari Bagan Deli

Kemiringan 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 % 0 -8 %

Ketinggian 3 – 8 m 2 – 8 m 0 – 5 m 0 – 2 m 0 – 4 m Jenis Tanah Hydraquents,

Sufaquents Hydraquents, Sufaquents Hydraquents, Sufaquents, Tropaquepts, Fluvaqurnts, Tropohernist Hydraquents, Sufaquents, Tropaquepts, Fluvaqurnts, Tropohernist Hydraquents, Sufaquents Hydraquents, Sufaquents Ketersediaan Air Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Akuifer Produktivitas tinggi Kedalaman Efektif Tanah

50-75 50-75 >75 50-75 50-75 50-75

Curah Hujan 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm 3.000 mm


(67)

berada di kelurahan Bahagia seluas 71,06 Ha dan Bagan Deli, sedangkan lahan yang tidak sesuai untuk tambak tersebar di kelurahan, Belawan I dan Belawan II.

Jika dilihat kondisi existing landuse untuk tambak di wilayah penelitian terkonsentrasi di kelurahan Sicanang. Sedangkan kelurahan Bahagia dan Bagan Deli pemanfaaan lahan nya lebih terfokus kepada permukiman. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.1

5.1.2. Industri

Berdasarkan hasil analisis spasial pendekatan SIG dengan metode overlay, industri dalam pengertian penggunaan lahan yang dimanfaatkan untuk pengembangan industri, baik industri individual, berikat, maupun pergudangan, baik yang berdampak penting maupun berdampak tidak penting, maka kesesuaian lahan untuk industri pada kategori kelas Sangat Sesuai berada pada Kelurahan Belawan I seluas 122,83 Ha dan Belawan II seluas 208,37 Ha, sementara untuk kelas Sesuai berada pada Kelurahan

Bagan Deli dan Kelurahan Bahagia dan dan kelas Tidak Sesuai pada Kelurahan Sicanang dan Kelurahan Bahari. Hasil analisis untuk lahan industri di Kecamatan Medan Belawan menunjukkan kesesuaian lahan untuk industri tersebar hampir di seluruh kelurahan di Kecamatan Medan Belawan. Namun demikian, kondisi

existing pemanfaatan lahan untuk industri masih terfokus di Kelurahan Belawan I dan

Belawan II. Padahal untuk meningkatkan perekonomian wilayah pesisir Kecamatan

Medan Belawan maka masih dapat memanfaatkan Kelurahan Bagan Deli dan Sicanang untuk sebagai lokasi Industri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada


(68)

(69)

(70)

5.1.3. Permukiman

Berdasarkan hasil analisis spasial pendekatan SIG dengan metode overlay,

pemukiman dalam pengertian penggunaan lahan yang dimanfaatkan untuk pengembangan permukiman, baik perumahan, sarana dan prasarana umum, perdagangan, perkantoran dan fungsional lainnya yang terkait dengan kehidupan dalam suatu permukiman.

Dengan kondisi lahan yang ada di wilayah penelitian, banyak sekali lahan yang dapat dijadikan sebagai kawasan permukiman, maka kesesuaian lahan untuk permukiman yang berada pada kelas Sangat Sesuai berada pada Kelurahan Belawan I seluas 122,83 Ha, Belawan II seluas 208, 37 Ha, dan Bahari seluas 113, 51 Ha, sedangkan pada kategori kelas Sesuai berada pada Kelurahan Bahagia dan Bagan Deli dan untuk kelas Tidak Sesuai pada Kelurahan Sicanang.

Berdasarkan hasil analisis tersebut maka kesesuaian lahan untuk permukiman

hampir tidak diperoleh kendala yang berarti dalam hal penempatan daerah permukiman, karena lahan dengan klasifikasi Sangat Sesuai dan Sesuai yang tersedia

cukup banyak. Jika dilihat dari existing landuse nya maka lahan untuk permukiman yang dimanfaatkan terkonsentrasi Belawan I, Belawan II, Bahagia dan Bahari. Ini dikarenakan pengembangan kawasan permukiman tersebar mengikuti pola pengembangan jalan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.3.


(71)

(1)

Lampiran 5. Dokumentasi

Kawasan Permukiman di Kecamatan Medan Belawan


(2)

Kawasan Industri di Kecamatan Medan Belawan

Pintu Gerbang Masuk ke Pelabuhan


(3)

(4)

Lampiran 6. Peta Kesesuaian Lahan dan Eksisting


(5)

(6)