Perumusan Masalah Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, karena dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 ini, tidak mengatur batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena itulah Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara terutama hukum acara peradilan tata usaha negara. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki lembaga Constitutional Courts.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, penulis berpendapat bahwa studi terhadap Kewenangan dalam Mahkamah Konstitusi masih belum banyak menjadi perhatian para ahli hukum terutama ahli hukum tata Negara. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia akan terus-menerus berupaya untuk memperbaiki segala hal yang belum sempurna dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan untuk dibahas secara lebih terperinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Konstitusi setelah perubahan UUD 1945? 2. Bagaimana pengaturan putusan ultra petita dalam Hukum Acara pada Pengadilan Umum di Indonesia? Universitas Sumatera Utara 3. Bagaimana akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Ketentuan Beracara di Mahkamah Konstitusi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui yang menjadi dasar legitimasi teori konstitusi dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. b. Untuk mengetahui ketentuan beracara di Pengadilan Umum dan secara khusus ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan uji materil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. c. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Manfaat Penulisan

A. Secara Teoritis Pembahasan terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, diharapkan akan menimbulkan pemahaman dan pengertian bagi pembaca mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan Universitas Sumatera Utara pelaksanaan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, secara teoritis, manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai sumbangan pikiran untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran yang membahas fungsi judicial review terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Selain itu, manfaat penulisan skripsi diharapkan mampu menemukan konsep baru dan argumentasi baru mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. B. Secara Praktis Penulis berharap, semoga hasil penulisan ini bermanfaat bagi semua orang, terutama bagi setiap orang yang berminat untuk mengikuti perkuliahan di fakultas hukum di setiap perguruan tinggi, dan menjadi sumbangan pemikiran ilmiah bagi hukum positif di Indonesia, berkaitan dengan salah satu ciri dari Negara Indonesia, yang demokratis dengan menjunjung tinggi supremasi hukum supremacy of law. Hal ini tidak terlepas dari penempatan Hukum Tata Negara sebagai unsur terpenting dalam sistem hukum Indonesia. Dimana, dengan adanya penulisan skripsi ini, diharapkan mampu memberikan pandangan baru terhadap perubahan sistem ketatanegaraan ketika Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Manfaat lain dari penulisan ini adalah masyarakat diharapkan dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, ketika terdapat produk perundang-undangan yang inkonstitusional Universitas Sumatera Utara dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Mahkamah Konstitusi, dan dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengawasan terhadap perbuatan komponen konstitusi institusi pemerintah.

D. Keaslian Penulisan

Sebelum tulisan ini dimulai, penulis telah terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang penelusuran tersebut, diketahui di Lingkungan Fakultas Hukum USU, penulisan tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia” belum pernah ada. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Kendatipun terdapat tulisan atau skripsi yang menyerupai tulisan ini, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda dengan skripsi ini. Dimana dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk mengarahkan pembahasannya mengenai proses pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan beracara di Lembaga ini, dan dalam implementasi putusan perkara dari Mahkamah Konstitusi ini. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kegagalan dewan konstituante dalam membentuk sebuah undang-undang dasar sebagai pengganti Undang-Undang Dasar 1945 merupakan salah satu penyebab keluarnya Dekrit Presiden, yang merupakan salah satu langkah Universitas Sumatera Utara pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan negara ini dari ketidakjelasan dalam sistem konstitusi. Dengan keluarnya dekrit 5 Juli 1959 tersebut, maka Indonesia memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Setelah pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945, tampaknya masyarakat Indonesia tidak memiliki keinginan untuk mengadakan perubahan, namun ketika tuntutan reformasi bergulir, terdapat sebuah tuntutan untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945, yang terlaksana pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Menurut Sri Soemantri, suatu Undang-Undang Dasar memungkinkan untuk diubah. Hal ini terlihat dari pendapat beliau : “perubahan Undang-Undang Dasar pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan karena pertama, generasi yang hidup saat ini tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Kedua, hukum konstitusi hanyalah salah satu bagian dari hukum tata negara, dan ketiga, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar selalu dapat diubah.” 23 23 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar, Bandung: Penerbit Alumni, 2006, hlm. 272. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Universitas Sumatera Utara Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum keberadaan Negara bangsa yang modern, yang pada dasarnya menguji konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review dapat dilihat sebagai perkembangan yang berlangsung selama 250 tahun sebagai cirri utama Mahkamah Konstitusi, dengan adanya penerimaan yang luas terhadap hal ini, namun ada juga menerima dengan rasa kebencian terhadap lembaga ini. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan judicial review, Indonesia telah memiliki Mahkamah Agung yang juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun, judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang- undang. Sedangkan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan hal diatas, Jimly Asshiddiqie menjelaskan: “Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil maupun materil. Karena itu pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas.” 24 Didalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi lahir untuk menjaga kestabilan sistem pemerintahan serta menjadi penjaga dan 24 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara pelindung bagi konstitusi. Sehingga ketika Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangannya, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi telah muncul sebagai lembaga Negara yang independent dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokrat. 25 Namun dalam menjalankan kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial karena dianggap melampaui batas kewenangan dan melanggar atau memasuki wilayah legislatif. Yaitu, memutuskan melebihi apa yang diminta oleh pemohon atau yang lebih lazim disebut sebagai ultra petita. Ketentuan mengenai larangan ultra petita,dapat dilihat dalam Pasal 178 ayat 2 dan 3 Het Herziene Indonesisch Reglement HIR serta padanannya dalam Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut petitum. Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Namun seperti yang kita ketahui juga, bahwa dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi tidak dikenal ketentuan ultra petita. 25 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta:Rajawali Pers, 2009, hlm. 275. Universitas Sumatera Utara

F. Metode Penelitan