Perubahan Koefisien Limpasan (Runoff Coefficient) Di Daerah Aliran Sungai Ular

(1)

PERUBAHAN KOEFISIEN LIMPASAN (RUNOFF

COEFFICIENT) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI ULAR

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian

Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh:

050404015

SAKINAH RAMZA

SUB DEPARTEMEN TEKNIK SUMBERDAYA AIR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas memanfaatkan sumberdaya air demikian besarnya baik bagian hulu maupun hilir. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh.

Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2.

Berdasarkan tata guna lahan DAS Ular tahun 2000 dan 2006, nilai Crata-rata di tiap kecamatan konstan kecuali pada Kec. Galang Kab. Deli Serdang dengan nilai Crata-rata tahun 2000 adalah 0,46604 dan Crata-rata tahun 2006 adalah 0,47775. Kemudian dilakukan prediksi tata guna lahan Kec. Galang Kab. Deli Serdang untuk tahun 2012, 2018, 2024 dan 2030. Perolehan nilai Crata-rata untuk tahun 2012, 2018, 2024, dan 2030 berturut-turut adalah 0,4834; 0,4883: 0,4930 dan 0,4981.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah “Perubahan Koefisien Limpasan (Runoff Coefficient) Di Daerah Aliran Sungai Ular”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng, Bapak Dr. Ir. Ahmad Perwira Mulia, M.Sc, Bapak Ivan Indrawan, ST, selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Ayahanda Zulfikar dan Ibunda Isnah tercinta, yang selalu mendukung, membimbing, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.


(4)

6. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. 7. Abang/ Kakak pegawai Jurusan kak Lince, bg Zul, bg Mail, bg Edi, bg Amin, kak

Dina, dan pegawai Fakultas Teknik USU bg Sadiman, bg Bowo, bg Daus, bg Bukit. Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, dan atas dukungan yang telah diberikan penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2010 Hormat Saya


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1. Umum 1

2. Latar Belakang 2

3. Tujuan dan Manfaat 3

3.1 Tujuan 3

3.2 Manfaat 4

4. Ruang Lingkup Pembahasan 4

5. Pembatasan Masalah 5

6. Sistematika Penulisan 5

7. Metodologi Penelitian 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1. Pendahuluan 8

2.2. Tanggapan Sistem 10


(6)

2.4. Infiltrasi 26

2.5. Evaporasi 29

2.6. Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai 32

2.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 43

3.1 Lokasi Studi Kasus 44

3.2 Pengumpulan Data 50

3.3 Menganalisa Frekuensi Curah Hujan Rata-rata 51

3.4 Menganalisa Debit Banjir 51

BAB IV ANALISA DATA 53

4.1 Perhitungan Koefisien Limpasan Berdasarkan Tata Guna Lahan 53

4.2 Analisa Debit Banjir 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

71 5.1 Kesimpulan

71

5.2 Saran 71


(7)

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas memanfaatkan sumberdaya air demikian besarnya baik bagian hulu maupun hilir. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh.

Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2.

Berdasarkan tata guna lahan DAS Ular tahun 2000 dan 2006, nilai Crata-rata di tiap kecamatan konstan kecuali pada Kec. Galang Kab. Deli Serdang dengan nilai Crata-rata tahun 2000 adalah 0,46604 dan Crata-rata tahun 2006 adalah 0,47775. Kemudian dilakukan prediksi tata guna lahan Kec. Galang Kab. Deli Serdang untuk tahun 2012, 2018, 2024 dan 2030. Perolehan nilai Crata-rata untuk tahun 2012, 2018, 2024, dan 2030 berturut-turut adalah 0,4834; 0,4883: 0,4930 dan 0,4981.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Umum

Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara. Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi → penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah.

Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai-sungai (disebut aliran intra). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah yang disebut dengan limpasan air tanah.


(9)

ialah : uap dari laut dihembus ke daratan (kecuali bagian yang telah jatuh sebagai presipitasi ke laut), jatuh ke daratan sebagai presipitasi (sebagian jatuh langsung ke sungai-sungai dan mengalir langsung ke laut). Sebagian dari hujan atau salju yang jatuh di daratan menguap dan meningkatkan kadar uap di atas daratan. Bagian yang lain mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS di sebelahnya oleh suatu pembagi (divide), atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi. Semua air yang berasal dari daerah yang dikelilingi oleh pembagi tersebut dialirkan melalui titik terendah pembagi, yaitu tepat yang dilalui oleh sungai utama pada DAS yang bersangkutan. Pada umumnya dianggap bahwa aliran air tanah sesuai pula dengan pembagi-pembagi di atas permukaan tanah, tetapi anggapan ini tidaklah selalu benar, dan nyatanya banyak sekali air yang diangkut dari DAS yang satu ke DAS lainnya sebagai air tanah.

II. Latar Belakang

Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, maka sumberdaya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Ketersediaan sumberdaya air yang cenderung menurun tersebut juga dialami beberapa sungai sepanjang Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara. Tuntutan kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat atas memanfaatkan sumberdaya air demikian besarnya baik bagian hulu maupun hilir.


(10)

Hujan yang jatuh pada suatu tata guna lahan akan menguap, meresap dan menjadi aliran/limpasan permukaan. Pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk berbagai penggunaan, akan mempengaruhi besarnya aliran yang terjadi di sungai. Hal ini disebabkan karena perbedaan besarnya bagian hujan yang meresap ke dalam tanah tergantung pada masing-masing tata guna lahan di mana hujan jatuh. Sebagai contoh apabila lahan hutan pada suatu DAS berubah menjadi lahan pemukiman, tentu akan berpengaruh pada jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah. Air hujan yang masuk ke sungai menjadi lebih banyak. Akibatnya kebanjiran akan sering terjadi pada musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Di samping itu, adanya perubahan iklim juga mempengaruhi intensitas curah hujan pada suatu DAS, yang juga akan mempengaruhi limpasan dan debit sungai.

III. Tujuan dan Manfaat

III.1. Tujuan

Tujuan dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui koefisien limpasan pada DAS Ular dengan data debit rata-rata sungai Ular sebagai parameter utama.

2. Mengetahui koefisien limpasan pada DAS Ular dengan parameter utama

adalah data tata guna lahan pada DAS Ular. Kemudian dari hasil yang diperoleh dilakukan prediksi tata guna lahan pada tahun yang akan datang. 3. Berdasarkan nilai koefisien limpasan pada DAS Ular dengan data tata guna

lahan sebagai parameter utama, maka dihitung debit banjir maksimum pada tiap tahun pengamatan.


(11)

III.2. Manfaat

Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan masukan, menambah pengetahuan dan wawasan akan kondisi DAS Ular bagi masyarakat dan pemerintah. Selain itu juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kita sebagai pengguna air mengenai pentingnya mengelola sumberdaya air.

Dan semoga penelitian ini dapat menjadi pedoman atau bahan pertimbangan dalam penerapannya di lapangan.

IV. Ruang Lingkup Pembahasan

Pada tugas akhir ini, penulis akan membahas masalah pada aliran permukaan dengan Rumus Rasional.

Q = C *i *A = 0,00277 C *i *A

Dimana,

Q = Debit banjir maksimum (m3/detik) C = Koefisien limpasan

i = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam) A = Daerah pengaliran (Ha)

Nilai koefisien limpasan C menentukan bagian curah hujan yang akan mengalir sebagai air limpasan. Besar kecilnya nilai C tergantung pada permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menampung air. Nilai yang kecil menunjukkan bahwa sebagian besar air ditampung untuk waktu tertentu. Sementara daerah dengan nilai C besar menunjukkan bahwa hampir semua air hujan akan menjadi air limpasan.


(12)

V. Pembatasan Masalah

Pada tugas akhir ini, penulis membatasi masalah pada:

1. Air hujan yang menginfiltrasi tertahan sebagai kelembaban tanah di mana besarnya jumlah infiltrasi tersebut tergantung pada tata guna lahan.

2. Perhitungan limpasan permukaan hanya memperhitungkan curah hujan yang

terjadi di wilayah tersebut tanpa memperhitungkan curah hujan dari tempat lain

3. Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam satu jangka waktu tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.

4. Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan. 5. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.

VI. Sistematika Penulisan

1. Pendahuluan

Merupakan bingkai studi atau rancangan yang akan dilakukan meliputi tinjauan umum, latar belakang, tujuan dan manfaat, rung lingkup pembahasan dan metodologi penelitian.

2. Tinjauan Pustaka

Merupakan penguraian berbagai literature yang berkaitan dengan penelitian. Di dalamnya termasuk siklus hidrologi, hidrologi sungai dan limpasan (runoff).


(13)

Merupakan penguraian mengenai DAS Ular, yang meliputi deskripsi wilayah, batas administrasi, luas wilayah, kependudukan, klimatologi dan kondisi fisik.

4. Pembahasan

Memaparkan analisa dan hasil perhitungan koefisien limpasan dan debit banjir maksimum dari data-data yang diperoleh.

5. Kesimpulan dan Saran

VII. Metodologi Penelitian

Dalam menganalisa hasil study ini maka penulis mencari bahan-bahan dan data-data yang diperlukan melalui:

1. Mengumpulkan literatur dari beberapa buku yang berkenaan dengan Hidrologi

Pengairan.

2. Mengumpulkan data-data yang diperlukan yaitu data sekunder, yang diperoleh dari instansi terkait dalam pengelolaan DAS Ular.

3. Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap berikut:

• Tahap I :

a. Menentukan hujan harian maksimum rerata untuk tiap-tiap tahun

data.

b. Menghitung koefisien limpasan dengan data debit sungai yang

tersedia.

c. Menghitung perkiraan koefisien limpasan tahun berikutnya dengan menggunakan Regresi Linear.


(14)

• Tahap II:

a) Menghitung luasan tata guna lahan dari data tahun pertama. b) Menghitung luasan tata guna lahan dari data tahun kedua.

c) Menghitung perkiraan tata guna lahan tahun berikutnya dengan

menggunakan Regresi Linear.

d) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna lahan pada data tahun pertama.

e) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna lahan pada data tahun kedua.

f) Menghitung nilai koefisien limpasan gabungan dari luasan tata guna lahan pada data tahun berikutnya.

• Tahap III :

a) Menentukan hujan harian maksimum rerata untuk tiap-tiap tahun

data.

b) Menentukan parameter statistik dari data yang telah diurutkan dari besar ke kecil, yaitu: Mean, Standard Deviation, Coeffisient of

Variation, Coeffisient of Skewness, Coeffisient of kurtosis.

c) Menentukan jenis distribusi yang sesuai berdasarkan parameter

statistik yang ada.

d) Menganalisa Frekuensi dan probabilitas dan melakukan uji

kecocokan dengan paremeter chi-kuadrat.

e) Menghitung intensitas hujan yang diturunkan dari data curah hujan harian. intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empirik menggunakan metode mononobe.


(15)

f) Menghitung debit banjir maksimum dengan menggunakan data koefisien limpasan pada tahap II.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pendahuluan

II.1.1. Batasan

Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredaran dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisikanya dan reaksi dengan lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup. Karena perkembangannya begitu cepat, hidrologi telah menjadi ilmu dasar dari pengelolaan sumberdaya-sumberdaya air yang merupakan pengembangan, distribusi dan penggunaan sumberdaya-sumberdaya air secara terencana. Banyak proyek di dunia (rekayasa air, irigasi, pengendalian banjir, drainase, tenaga air dan lain-lain) dilakukan dengan terlebih dahulu melaksanakan survei kondisi-kondisi hidrologi yang cukup. Survei-survei tersebut meliputi prosedur-prosedur pengumpulan data di lapangan, sampai pemprosesan data dan karena itu menghasilkan data sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan (Seyhan, 1990).

II.1.2. Sejarah Singkat

Manusia, dari semula, telah menyadari pentingnya air bagi dia dan lingkungannya. Ahli filsafat terdahulu memandang air sebagai salah satu dari 4 unsur dasar (api, bumi, udara dan air). Sampai abad ke-16 teka-teki besar adalah mengenai asal muasal air. Konsep daur hidrologi belum disadari. Karena itulah, kondensasi, presipitasi, evaporasi dan infiltrasi belum dapat dikaitkan satu sama lain. Namun, pada abad ke-16 Leonardo da Vinci menuliskan gambaran yang paling awal, dan


(17)

paling tepat tentang daur hidrologi. Bernard Palissy mengusulkan pada abad yang sama satu versi yang diperhalus dari gagasan-gagasan Vinci. Namun, selama 250 tahun versi tersebut adalah tidak masuk akal. Hanya pada abad ke-19 gagasan daur hidrologi diterima dan penelitian-penelitian kuantitatif dipercepat.

Selama tahun 1500-1800 filsafat hidrologi didasarkan atas percobaan dan pengembangan teknik-teknik pengukuran. Pada periode ini, pengukuran curah hujan diperkenalkan di Eropa, mekanisme pita berlobang dikembangkan, table logaritmik dihasilkan, rumus aliran saluran (dari Chezy) disusun, hubungan kecepatan-tekanan (dari Bernoulli) dikembangkan, curah hujan dihubungkan dengan ketinggian tempat, dan lain-lain.

Selama tahun-tahun 1800-1900, penelitian sampai pada era yang lain dan perkembangan yang penting dalam alat-alat penghitung dan model telah dilakukan.

Pada tahun-tahun 1900-1930 (periode empirisme), sebagian besar pekerjaan berdasarkan rumus-rumus empiris. Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya (1930-1950: periode rasionalisasi), dimulailah tahun-tahun keemasan hidrologi yang pertama. Pada tahun 1939, Aitken menghasilkan bentuk komputer digital yang pertama. Pada tahun 1943 Eckert dan Mauchley menghasilkan komputer listrik pertama yang disebut ENIAC. Metode semi-empiris dan hidrolika air tanah diperkenalkan.

II.2. Tanggapan Sistem


(18)

Suatu sistem diberi batasan sebagai kumpulan objek dan subsistem yang disatukan dengan beberapa bentuk interaksi (saling-tindak) yang beraturan. Sebaliknya, subsistem-subsistem terdiri atas komponen-komponen dan/atau peubah-peubah yang semuanya bersama-sama membentuk subsistem yang khusus tersebut, yang berhubungan dengan subsistem lainnya. Bila kita memandang suatu sistem yang mengalir yang dapat diterapkan pada suatu daerah aliran sungai, maka akan tampak bahwa struktur sistem dari sistem ini adalah

MASUKAN → STUKTUR → SISTEM KELUARAN

Daerah aliran sungai yang merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi oleh suatu batas-air topografi dan dengan salah satu cara memberikan sumbangan terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu. Faktor-faktor berikut adalah

1. Faktor iklim 2. Faktor tanah a) Topografi

b) Tanah

c) Geologi

d) Geomorfologi

3. Tata guna lahan

Faktor-faktor tersebut membentuk subsistem dan bertindak sebagai operator di dalam mengubah urutan terjadinya presipitasi secara alami, P(t), menjadi urutan waktu limpasan, Q(t) yang dihasilkan. Keragaman dalam keluaran, dalam hal ini limpasan, tergantung pada saling tindak diantara subsistem-subsistem ini. Tentu saja,


(19)

sutu system secara kuatitatif diberi batasan dengan komponen-komponen atau peubah-peubah. Misalnya, tata guna lahan pada suatu daerah aliran sungai dapat digambarkan dengan peubah-peubah seperti persentase lahan hutan, persentase lahan rumput, persentase lahan yang diusahakan dan lain-lain. Kelompok semua peubah tersebut yang bertindak saling berhubungan satu sama lain mengendalikan kerja subsistem tersebut dan akhirnya juga kenampakan akhir dari presipitasi (masukan) sebagai limpasan (keluaran) setelah melewati beberapa tahapan.

Tanggapan daerah aliran sungai tidak hanya merupakan limpasan saja, melainkan juga erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia. Tiga tanggapan ini juga bersaling tindak antara mereka sendiri di dalam mengendalikan perubahan-perubahan dalam daerah aliran sungai. Dalam suatu analisis sistem (yang mempelajari sifat kesaling-hubungan antar subsistem) di mana limpasan dilihat sebagai suatu keluaran, erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia dapat dihilangkan karena proses-prosesnya sangat lambat.

II.2.2. Tanggapan Daerah Aliran Sungai-Daur Hidrologi

Daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Daur ini dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan, yang pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut untuk sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke atmosfer oleh penguapan (evaporasi) dan


(20)

pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya menembus masuk lebih jauh ke dalam tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi, baik aliran air permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya mengalir ke laut. Namun sejumlah besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan dan pemeluhan sebelum sampai ke laut.

Uraian mengenai daur hidrologi ini merupakan uraian yang benar-benar disederhanakan. Sebagai contoh, air dari sebagian aliran permukaan mungkin berperkolasi menjadi air tanah sedangkan pada kejadian lain, air tanah merupakan sumber aliran sungai (stream flow). Daur hidrologi merupakan peraga yang baik untuk menggambarkan lingkup hidrologi, yang memisahkan antara presipitasi pada daratan dan kembalinya air ke atmosfer atau laut. Daur tersebut juga memperlihatkan empat fase yaitu presipitasi, evaporasi, aliran permukaan dan air tanah.

Pembahasan mengenai daur hidrologi tidak perlu memberikan kesan tentang adanya mekanisme yang kontinu, dimana dari awal sampai akhir air bergerak secara tunak dengan kecepatan konstan. Pergerakan air melalui daur tersebut tidak menentu, baik mengenai waktu maupun daerahnya. Kadang-kadang alam memberikan hujan yang amat deras, yang menyebabkan kapasitas saluran di permukaan tanah menjadi penuh. Pada kesempatan lain mungkin terkihat bahwa mekanisme daur itu berhenti sama sekali, dengan demikian presipitasi dan aliran sungai pun ikut terhenti.

Sebagaimana dapat dilihat dari penjelasan singkat tentang daur hidrologi, tanggapan daerah aliran sungai terhadap presipitasi merupakan keluaran dari saling tindak (interaksi) semua proses ini. Limpasan Nampak pada sistem yang sangat


(21)

kompleks setelah perlintasan presipitasi melalui beberapa langkah penyimpanan dan transfer. Kompleksitas ini meningkat dengan keragaman areal vegetasi, formasi-formasi geologi, kondisi tanah dan di samping ini juga keragaman-keragaman areal dan waktu dari faktor-faktor iklim.

Sumber: Gambar 2.1. Daur Hidologi

II.2.3. Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapatlah dianggap sebagai suatu ekosistem.

Ekositem terdiri atas komponen biotis dan abiots yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem


(22)

tidak ada satu komponen pun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen sistem selalu member pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen ekosistem yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya bila hubungan timbal-balik antar komponen-komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis.

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistic dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupkan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan


(23)

lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas.

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain, dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bhwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

II.3. Hujan

II.3.1. Pengertian Umum

Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater

flow).

Agar terjadi proses pembentukan hujan, maka ada 2 syarat yang harus dipenuhi:


(24)

2. Tersedia sarana, keadaan yang mengangkat udara tersebut ke atas sehingga terjadi kondensasi.

Udara lembab biasanya terjadi karena adanya gerakan udara mendatar, terutama yang berasal dari atas lautan, yang dapat mencapai ribuan kilometer. Terangkatnya udara ke atas dapat terjadi dengan tiga cara:

1. Konvektif, bila terjadinya ketidakseimbangan udara karena panas setempat, dan udara bergerak ke atas dan berlaku proses adiabatik. Hujan yang terjadi disebut hujan konvektif, dan biasanya merupakan hujan dengan intensitas tinggi, dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat, di daerah yang relatif sempit.

2. Hujan siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara panas yang bergerak di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin. Hujan ini biasanya terjadi dengan intensitasnsedang, mencakup daerah yang luas dan berlangsung lama.

3. Hujan orografik, terjadi karena udara bergerak ke atas akibat adanya

pegunungan. Akibatnya, terjadi dua daerah yang disebut daerah hujan dan daerah bayangan hujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat dan ukuran pegunungan.

Terjadinya pembentukan awan, tidak selalu memungkinkan terjadinya hujan. Setidaknya diperlukan waktu, agar awan tersebut tumbuh menjadi awan hujan. Pertumbuhan partikel-partikel awan dari ukuran 1-100 mikron (1 mikron = 10-3mm) menjadi partikel hujan, dengan ukuran lebih dari 1000 mikron (1 mm) memerlukan waktu paling tidak 30 menit sejak pembentukan awan. Akan tetapi proses itu tidak selalu terjadi, karena sangat tergantung dari keadaan atmosfer, pertikel awan tersebut


(25)

dapat teruapkan kembali. Stabilitas udara sangat berpengaruh terhadap pembentukan awan tersebut.

II.3.2. Hujan DAS

Pengukuran yang dilakukan adalah untuk memperoleh data hujan yang terjadi pada satu tempat saja. Akan tetapi dalam analisis umumnya yang diinginkan adalah data hujan rata-rata DAS (catchment rainfall). Untuk menghitung besaran ini dapat ditempuh beberapa cara yang sampai saat ini lazim digunakan, yaitu dengan:

1. Rata-rata Aljabar

Cara hitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini merupakan cara yang paling sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan yang terjadi di dalam DAS homogen dan variasi tahunannya tidak terlalu besar. Keadaan hujan di Indonesia (daerah tropik pada umumnya) sangat bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang (spatial variation) yang sangat besar.

P = (P1 + P2 + … + Pn)

(2.1)

2. Poligon Thiessen

Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi hujan di stasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut diperoleh dengan cara berikut:


(26)

• Semua stasiun yang di dalam (atau di luar) DAS dihubungkan dengan garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. Hendaknya dihindari terbentuknya segitiga dengan sudut sangat tumpul.

• Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis sumbu tersebut membentuk poligon.

• Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu stasiun yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis poligon tersebut (atau dengan batas DAS).

• Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor

koreksinya.

• Selanjutnya hitungan dilakukan sebagai berikut:

Sta Pi Luas FK P =

I P1 A1 α1 α1 P1

II P2 A2 α2 α2 P2

… … … … …

N Pn An αn αn Pn

Dengan: Pi = kedalaman hujan di stasiun i

Ai = luas daerah yang diwakili stasiun i

A = luas DAS total

FK = faktor koreksi, αi =


(27)

P = Pi x FK

(2.2)

Gambar 2.2. Cara Poligon Thiessen

Cara di atas dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang (dianggap) diwakili. Akan tetapi cara ini dipandang belum memuaskan karena pengaruh topografi tidak tampak. Demikian pula apabila salah satu stasiun tidak berfungsi, misalnya rusak atau data tidak benar, masa poligon harus diubah.

3. Isohyet

Cara lain yang diharapkan lebih baik (dengan mencoba memasukkan pengaruh topografi) adalah dengan cara isohyets. Isohyets ini adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan sama pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara hitungan sama dengan yang digunakan dalam cara poligon Thiessen, kecuali dalam penetapan besaran faktok koreksinya. Hujan Pi ditetapkan sebagai hujan rata-rata antara


(28)

dua buah isohyets (atau dengan batas DAS) terhadap luas DAS. Kesulitan yang dijumpai adalah kesulitan dalam setiap kali harus menggambar garis isohyet, dan juga masuknya unsur subjektivitas dalam penggambaran isohyet.

=

(2.3)

Dengan, A1, A2, …, An = luas bagian-bagian antara garis-garis Isohyet

R1, R2, …, Rn= curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1,

A2, …, An

Gambar 2.32. Cara Garis Isohyet

Dalam prakteknya, cara kedua (poligon Thiessen) adalah cara ‘terbaik’ yang paling banyak digunakan dalam anlisis. Selain hitungan-hitungan yang dijelaskan terdahulu, beberapa sifat hujan lain perlu diketahui, seperti,

1. Frekuensi hujan, hubungan antara kedalaman hujan dengan kala-ulang


(29)

2. Hubungan antara kedalaman hujan, luas DAS dan lama-hujan (depth area

duration).

3. Hubungan antara intensitas hujan, lama hujan dan kala-ulang.

II.3.3. Analisis Frekuensi

Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak digunakan dalam hidrologi yaitu:

1. Distribusi normal 2. Distribusi log-normal

3. Distribusi log-Pearson tipe III 4. Distribusi Gumbel

Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data data debit sungai terbukti bahwa sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan distribusi normal. Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan tiga distribusi yang lainnya.

Masing-masing distribusi memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data hidrologi harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat mengundang kesalahan perkiraan yang (dapat) cukup besar, baik ‘overestimated’ maupun ‘underestimated’, keduanya tidak diinginkan. Dengan demikian jelas bahwa pengambilan salah satu distribusi secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan, meskipun dalam praktek harus diakui bahwa besar kemungkinan distribusi tersebut sesuai dengan jenis distribusi tertentu. (Catatan: di Indonesia banyak dilakukan analisis frekuensi dengan menggunakan distribusi Gumbel tanpa pengujian data terlebih dahulu dan tanpa alas an hidrolik yang jelas). Dikhawatirkan


(30)

cara ini akan dianggap sebagai cara ‘rutin’, karena jekas mengandung resiko penyimpangan yang tidak dikehendaki. Dengan pengujian atas data hujan dan debit di Pulau Jawa ditemukan distribusi Gumbel hanya sesuai dengan 75% kasus. Demikian pula distribusi normal. 90% lainnya ternyata mengikuti distribusi log-normal dan log-Pearson tipe III.

Analisis frekuensi atas data hidrologi menurut syarat tertentu untuk data yang bersangkutan, yaitu harus seragam (homogeneous), ‘independent’ dan mewakili (representative). Data yang seragam berarti bahwa data tersebut harus berasal dari populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun pengumpul data yang bersangkutan, baik stasiun hujan maupun hidrometri harus tidak dipindah, DAS tidak berbah menjadi DAS perkotaan (urban cacthment), maupun tidak ada gangguan-gangguan lain yang menyebabkan data yang terkumpul menjadi lain sifatnya. Batasan ‘ independent’ di sini berarti bahwa besaran data ekstrem tidak terjadi lebih dari sekali.

1. Distribusi Normal

Distribusi ini mempunyai ‘ probability density function’ sebagai berikut:

P’(X) = e

(2.4)

Dengan, σ = varian

µ = rata-rata 2. Distribusi Log-Normal

‘Probability density function’ distribusi ini adalah:

P’ x = eksp 2), (µ > 0)


(31)

Dengan = ln ( ) (2.6)

= ln ( )

(2.7)

Besarnya asimetri adalah

γ = (2.8)

dengan 0,5

(2.9)

kurtosis k = (2.10)

3. Distribusi Log-Pearson III

Log Xr = n LogX

n

i

=1 1

(2.11)

Dengan:

Xr = nilai rerata curah hujan

Xi = curah hujan ke-I (mm)

n = banyaknya data pengamatan

Sx =

1 ) 1 ( 1 2 − −

= n LogXr LogX n i (2.12) dengan:


(32)

Sx = standard deviasi

Nilai XT bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah

dimodifikasikan :

Log XT = log Xr + K. log Sx

(2.13)

dengan :

XT = besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun

K = faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan tipe distribusi frekuensi.

4. Distribusi Gumbel

K X =µ+σ.

(2.14)

Dengan µ = Nilai tengah (mean) populasi

σ = Standard deviasi populasi

K = Factor frekwensi

Rumus (2.14) dapat diketahui dengan

sK X

X = +

(2.15) Dengan,

X = nilai tengah sampel


(33)

Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan humus berikut ini :

n s T

S Y Y

K = −

(2.16)

{

}

[

r r

]

T T T

Y =−ln−ln ( −1)/ (2.17)

Dengan,

YT = Reduced variate

Yn = Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n

Sn = Reduced Standard deviation yang tergantung dari besarnya sampel n

II.3.4. Intensitas Hujan

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit. analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau disebabkan oleh karena alatnya tidak ada,


(34)

dapat ditempuh cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishigura.

II.4. Infiltrasi

II.4.1. Pengertian Umum

Air cair yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Ini merupakan bagian yang sangat penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran sungai. Pengertian infiltrasi (infiltration) sering dicampurkan-adukkan untuk kepentingan praktis dengan pengertian perkolasi (percolation). Yang terakhir ini merupakan proses aliran air dalam tanah secara vertical akibat gaya berat. Memang keduanya saling berpengaruh akan tetapi hendaknya secara teoretik pengertian keduanya dibedakan.

Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu kapasitas infiltrasi, dan laju infiltrasi. Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, sedangkan laju infiltrasi adalah laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu. Secara fisik terdapat faktor yang berpengaruh, yaitu :

1. Jenis tanah 2. Kepadatan tanh

3. Kelembaban tanah

4. Tutup tumbuhan ( vegetation cover ) 5. Kemiringan suatu daerah


(35)

7. Menutup areal permukaan tanah ( top soil )

Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi karakteristik yang berbeda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk satu jenis tanah yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda pula. Makin padat suatu kondisi tanah, maka makin kecil pula laju infiltrasinya, begitu juga sebaliknya, makin renggang suatu kondisi butir-butir tanah, maka laju infiltrasinya akan semakin besar pula. Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman diatas permukaan tanah terdapat dua pengaruh, yaitu berfungsi sebagai penghambat aliran di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar, sedangkan yang kedua adalah, sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Maka makin baik tutup tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Kemiringan lahan memberikan pengaruh yang kecil terhadap infiltrasi, walaupun begitu, terdapat perbedaan infiltrasi antara lahan datar dengan lahan miring. Infiltrasi pada lahan datar akan lebih besar daripada lahan miring. Penambahan bahan kimia dalam tanah ada dua jenis. Yang pertama dimaksudkan untuk memperkuat formasi agregat tanah, sehingga struktur tanah menjadi diperbaiki. Akibatnya bukan saja infiltrasi yang meningkat, tetapi juga pergerakan air di dalam tanah (perkolasi). Yang kedua dimaksud untuk melapisi permukaan tanah agar air yang mengalir di atasnya lancar, hal ini biasanya digunakan untuk saluran drainase. Pada kondisi ini infiltrasi bisa


(36)

dikatakan tidak terjadi sama sekali. Apabila permukaan tanah tertutup oleh suatu bahan seperti beton, batako, dan sebagainya, maka areal tanah tersebut tidak bisa berinfiltrasi sama sekali.

II.4.2. Kepentingan Praktis Infiltrasi

1. Berkurangnya banjir 2. Berkurangnya erosi tanah

3. Memberikan air bagi vegetasi dan tanaman 4. Mengisi kembali reservoir air tanah

5. Menyediakan aliran pada sungai pada musim kemarau

II.4.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Infiltrasi

1. Karakteristik hujan 2. Kondisi permukaan tanah 3. Kondisi penutup permukaan 4. Transmisibilitas tanah

5. Karakteristik air yang berinfiltrasi

II.5. Evaporasi

II.5.1. Pengertian Umum

Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Dua unsure utama untuk berlangsungnya evaporasi adalah energi (radiasi) matahari dan ketersediaan air

II.5.2. Unsur Utama Evaporasi

1. Radiasi matahari

Sebagian radiasi gelombang pendek (shortwave radiation) matahari akan diubah menjadi energi panas di dalam tanaman, air dan tanah. Energy panas


(37)

tersebut akan menghangatkan udara di sekitarnya. Panas yang dipakai untuk menghangatkan partikel-partikel berbagai material udara tanpa mengubah bentuk partikel tersebut dinamakan panas tampak (sensible heat). Sebagian dari energi matahari akan diubah menjadi energi mekanik. Energi mekanik ini akan menyebabkan perputaran udara dan uap air di atas permukaan tanah. Keadaan ini akan menyebabkan udara di atas permukaan tanah jenuh, dan dengan demikian, mempertahankan tekanan uap air yang tingi pada permukaan bidang evaporasi.

2. Ketersediaan air

Melibatkan tidak saja jumlah air yang ada, tetapi juga persedian air yang siap untuk terjadinya evaporasi. Permukaan bidang evaporasi yang kasar akan memberikan lajuevaporasi yang lebih tinggi daripada bidang rata karena pada bidang permukaan yang lebih kasar besarnya turbulent meningkat.

II.5.3. Faktor-faktor Penentu Evaporasi

Proses-proses fisika yang menyertai berlangsungnya perubahan dari zat cair menjadi gas berlaku pada kedua proses evaporasi. Oleh karenanya, kondisi fisika yang mempengaruhi laju evaporasi umum terjadi pada kedua proses alamiah tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain:

1. Panas diperlukan untuk berlangsungnya perubahan bentuk dari zat cair ke gas dan secara alamiah matahari menjadi sumber energy panas. Energi panas tak tampak (latent heat) pada proses evaporasi dating sebagai energy panas gelombang pendek (shortwave radiation) dan energy panas gelombang panjang (longwave radiation). Energi panas gelombang pendek merupakan


(38)

sumber energy panas terbesar dan akan mempengaruhi besarnya air yang dapat diuapkan dari permukaan bumi sesuai dengan ketinggian tempat dan musim yang berlangsung. Sedangkan energi panas gelombang panjang adalah panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi ke udara dan bersifat menambah yang telah dihasilkan oleh energi panas gelombang pendek.

2. Suhu udara, permukaan bidang penguapan (air, vegetasi dan tanah) dan

energy panas yang berasal dari matahari adalah factor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menghitung besarnya evaporasi. Makin tinggi suhu udara di atas permukaan bidang penguapan, makin mudah terjadi perubahan bentuk dari zat cair menjadi gas. Dengan demikian, laju evaporasi menjadi lebih besar di daerah tropic daripada daerah beriklim sedang. Perbedaan laju evaporasi yang sama juga dijumpai di daerah tropic pada musim kering dan musim basah.

3. Kapasitas kadar air dalam udara juga dipengaruhi secara langsung oleh tinggi rendahnya suhu di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu tempat ditentukan oleh tekanan uap air, ea, (vapour pressure) yang ada di tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung dari deficit tekanan uap air jenuh, Dvp, (saturated vapour pressure deficit) di udara atau jumlah uap air yang dapat diserap oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Deficit tekanan uap air jenuh adalah beda keadaan antara tekanan uap air jenuh pada permukaan bidang penguapan dan tekanan uap air nyata di udara. Dengan demikian evaporasi lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dimana kondisi udara cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab akibat penguapan dari permukaan laut.


(39)

4. Ketika proses penguapan berlangsung, udara di atas permukaan bidang penguapan secara bertahap menjadi lebih lembab, sampai pada tahap ketika udara menjadi jenuh dan tidak mapu menampung uap air lagi. Pada tahap ini, udara jenuh di atas bidang penguapan tersebut akan berpindah ke tempat lain akibat beda tekanan dan kerapatan udara, dan dengan demikian, proses penguapan air dari bidang penguapan tersebut akan berlangsung secara terus-menerus. Hal ini terjadi karena adanya pergantian udara lembab oleh udara yang lebih kering atau gerakan massa udara dari tempat dengan tekanan udara lebih tinggi ke tempat dengan tekanan udara lebih rendah. Proses perpindahan massa udara seperti itu disebut proses adveksi. Dalam hal ini, peranan kecepatan angin di atas permukaan bidang penguapan merupakan factor penting intuk terjadinya evaporasi. Penguapan air di daerah lapang seharusnya lebih besar dibandingkan daerah dengan banyak naungan karena pada keadaan yang pertama perpindahan udara menjadi lebih bebas.

5. Sifat alamiah bidang permukaan penguapan akan mempengaruhi proses

evaporasi melalui perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaan yang kasar atau tidak beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya proses gesekan. Tetapi, pada tingkat tertentu, permukaan bidang yang kasar juga dapat menimbulkan gerakan angin berputar (turbulent) yang dapat memperbesar evaporasi. Pada bidang permukaan air yang luas, angin kencang juga dapat menimbulkan gelombang air besar dan dapat mempercepat terjadinya evaporasi.

II.6. Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai


(40)

Jika intensitas curah hujan melebihi laju infiltrasi, maka kelebihan air mulai berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan dilampaui (merupakan fungsi depresi permukaan dan gaya tegangan muka), limpasan permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Pada akhirnya, lapisan aliran air ini berkumpul ke dalam aliran air sungai yang diskrit. Dalam artian yang umum, ait yang mengalir pada saluran-saluran yang kecil ini, parit-parit, sungai-sungai dan aliran-aliran merupakan kelebihan curah hujan terhadap evapottanspirasi, cadangan permukaan dan air bawah tanah.

Dalam kepustakaan kata-kata yang berlainan seperti limpasan, aliran sungai, debit sungai digunakan untuk mengartikan sesuatu yang sama. Untuk mengatasi sebagian kesulitan tersebut terminologi berikut digunakan di sini.

1. Limpasan: bagian presipitasi (juga kontribusi permukaan dan bawah

permukaan) yang terdiri atas gerakan gravitasi air dan tampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus.

Kata-kata yang sinonim adalah aliran sungai, debit sungai dan produksi tangkapan.

2. Aliran murni: limpasan yang tidak dipengaruhi oleh pengaliran buatan,

simpanan maupun tindakan manusia lainnya pada atau di atas saluran maupun pada daerah aliran sungai.

3. Limpasan permukaan: bagian limpasan yang melintas di atas permukaan

tanah menuju saluran sungai.

Kata-kata sinonim adalah limpasan di atas lahan.

4. Limpasan bawah permukaan: limpasan ini merupakan sebagian dari limpasan permukaan yang disebabkan oleh bagian presipitasi yang berinfiltrasi ke


(41)

tanah permukaan dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah bagian atas menuju sungai.

Kata-kata sinonim adalah aliran hujan bawah permukaan, aliran bawah permukaan, aliran antara dan perembesan.

5. Limpasan permukaan langsung: bagian limpasan permukaan memasuki

sungai secara langsung setelah curah hujan. Limpasan ini sama dengan: kehilangan presipitasi (= intersepsi + infiltrasi + evaporasi + cadangan permukaan).

Kata-kata sinonim adalah limpasan langsung dan limpasan hujan.

Limpasan permukaan langsung adalah sama dengan hujan efektif jika hanya hujan yang terlibat dalam membentuk limpasan permukaan. Kelebihan presipitasi (atau kelebihan curah hujan) adalah sama dengan kontribusi presipitasi terhadap limpasan permukaan.

II.6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Limpasan

Aliran sungai itu tergantung dari berbagai faktor secara bersamaan. Faktor-faktor tersebut dibagi dalam 2 kelompok, yakni elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik daerah pengaliran.

1. Elemen meteorologi

Faktor-faktor yang terhisab kelompok elemen-elemen meteorologi adalah sebagai berikut:

a) Jenis presipitasi

Pengaruhnya terhadap limpasan sangat berbeda, yang tergantung pada jenis presipitasinya yakni hujan. Jika hujan maka pengaruhnya adalah


(42)

langsung dan hidrograf itu hanya dipengaruhi intensitas curah hujan dan besarnya curah hujan.

b) Intensitas curah hujan

Pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan permukaan tergantung dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan. Akan tetapi, besarnya peningkatan limpasan itu tidak sebanding dengan peningkatan curah hujan lebih, yang disebabkan oleh efek penggenangan di permukaan tanah.

c) Lamanya curah hujan

Di setiap daerah aliran terdapat suatu lamanya curah hujan yang kritis. Jika lamanya curah hujan itu kurang dari lamanya yang kritis, maka lamanya limpasan itu praktis akan sama dan tidak tergantung dari intensitas curah hujan. Jika lamanya curah hujan itu lebih panjang, maka lamanya limpasan permukaan itu juga menjadi lebih panjang. Lamanya curah hujan juga mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi. Untuk curah hujan yang jangka waktunya panjang, limpasan permukaannya akan menjadi lebih besar meskipun intensitasnya adalah relatif sedang.

d) Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran

Jika kondisi-kondisi seperti topografi, tanah dan lain-lain diseluruh daerah pengaliran itu sama dan umpamanya jumlah curah hujan itu sama, maka curah hujan yang distribusinya merata yang mengakibatkan debit puncak yang minimum. Banjir di daerah pengaliran yang besar kadang-kadang


(43)

terjadi oleh curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan sering kali terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun intensitasnya kecil. Sebaliknya, di daerah pengaliran yang kecil, debit puncak maksimum dapat terjadi oleh curah hujan lebat dengan daerah hujan yang sempit.

Mengingat limpasan yang diakibatkan oleh curah hujan itu sangat dipengaruhi oleh distribusi curah hujan, maka untuk skala penunjuk faktor ini digunakan koefisien distribusinya. Distribusi koefisien adalah harga curah hujan maksimum dibagi harga curah hujan rata-rata di daerah pengaliran itu. Jadi curah hujan yang jumlahnya tetap mempunyai debit puncak yang lebih besar yang sesuai dengan koefisien distribusinya yang bertambah besar.

e) Arah pergerakan curah hujan

Umumnya pusat curah ujan itu bergerak. Jadi suatu curah hujan lebat bergerak sepanjang system aliran sungai akan sangat mempengaruhi debit puncak dan lamanya limpasan permukaan.

f) Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah

Jika kadar kelembaban lapisan teratas tanah itu tinggi, maka akan mudah terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi yang kecil. Demikian pula jika kelembaban tanah itu meningkat dan mencapai kapasitas lapangan, maka air infiltrasi akan mencapai permukaan air tanah dan memperbesar aliran air tanah. Selama periode pengurangan kelembaban tanah oleh evapotranspirasi dan lain-lain, suatu curah hujan yang lebat tidak akan mengakibatkan kenaikan permukaan air, karena air hujan yang


(44)

menginfiltrasi itu tertahan sebagai kelembaban tanah. Sebaliknya, jika kelembaban tanah itu sudah meningkat karena curah hujan terdahulu yang cukup besar, maka kadang-kadang curah hujan dengan intensitas yang kecil dapat mengakibatkan kenaikan pemukaan air yang besar dan kadang-kadang dapat mengakibatkan banjir.

g) Kondisi-kondisi meteorologi yang lain

Seperti telah dikemukakan di atas, dari elemen-elemen meteorologi, curah hujan mempunyai pengaruh yang terbesar pada limpasan. Secara tidak langsung, suhu, kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara rata-rata, curah hujan tahunan dan seterusnya yang berhubungan satu dengan yang lain juga mengontrol iklim di daerah itu dan mempengaruhi limpasan.

2. Elemen daerah pengaliran

a) Kondisi penggunaan tanah (Landuse)

Hidrograf sebuah sungai adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi penggunaan tanah dalam daerah pengaliran itu. Daerah hutan yang ditutupi tumbuh-tumbuhan yang lebat adalah sulit mengadakan limpasan permukaan karena kapasitas infiltrasinya yang besar. Jika daerah hutan ini dijadikan daerah pembangunan dan dikosongkan (hutannya ditebang), maka kapasitas infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan tanah. Air hujan akan mudah berkumpul ke sungai-sungai dengan kecepatan yang tinggi yang akhirnya dapat mengakibatkan banjir yang belum pernah dialami terdahulu.


(45)

Jika semua faktor-faktor termasuk besarnya curah hujan, intensitas curah hujan dan lain-lain itu tetap, maka limpasan itu (yang dinyatakan dengan dalamnya air rata-rata) selalu sama, dan tidak tergantung dari luas daerah pengaliran. Berdasarkan asumsi ini, mengingat aliran per satuan luas itu tetap, maka hidrograf itu adalah sebanding dengan luas daerah pengaliran. Akan tetapi sebenarnya, makin besar daerah pengaliran, makin lama limpasan mencapai tempat titik pengukuran. Jadi, panjang dasar hidrograf debit banjir menjadi lebih besar dan debit puncaknya berkurang. Salah satu sebab dari pengurangan debit puncak ialah hubungan antara intensitas curah hujan maksimum yang berbanding terbalik dengan luas daerah hujan. Berdasarkan asumsi tersebut, curah hujan dianggap merata. Akan tetapi mengingat intensitas curah hujan maksimum yang kejadiannya diperkirakan terjadi dalam frekuensi yang tetap menjadi lebih kecil sebanding dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka ada pemikiran bahwa puncak banjir akan menjadi lebih kecil. Seperti telah dikemukakan di atas, debit banjir yang diharapkan per satuan daerah pengaliran itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran, jika karakteristik-karakteristik yang lain itu sama. Tetapi kali ini berbeda karena luas daerah tidak menghasilkan peristiwa yang disebut di atas. Tetapi jika faktor-faktor lain yang berbeda maka akan terjadi perbedaan besar dalam debit banjir.

c) Kondisi topografi dalam daerah pengaliran

Corak, elevasi, gradient, arah, dan lain-lain dari daerah pengaliran mempunyai pengaruh terhadap sungai dan hidrologi daerah pengaliran


(46)

itu. Corak daerah pengaliran adalah faktor bentuk, yakni perbandingan panjang sungai utama terhadap lebar rata-rata daerah pengaliran. Jika factor bentuk menjadi lebih kecil dengan kondisi skla daerah pengaliran yang sama, maka hujan lebat yang merata akan berkurang dengan perbandingan yang sama sehingga sulit akan terjadi banjir. Elevasi daerah pengaliran dan elevasi rata-rata mempunyai hubungan yang penting terhadap suhu dan curah hujan. Demikian pula gradiennya mempunyai hubungan dengan infiltrasi, limpasan permukaan, kelembaban, dan pengisian air tanah. Gradien daerah pengaliran adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi waktu mengalirnya air permukaan, waktu konsentrasi ke sungai dari curah hujan dan mempunyai hubungan langsung terhadap debit banjir. Arah daerah pengaliran itu mempunyai pengaruh terhadap kehilangan evaporasi dan transpirasi karena mempengaruhi kapasitas panas yang diterima dari matahari.

d) Jenis tanah

Mengingat bentuk-bentuk butir tanah, coraknya dan cara mengendapnya adalah faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka karakteristik limpasan itu sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah pengaliran tersebut. Juga bahan-bahan kolodial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi karena bahan-bahan ini mengembang dan menyusut sesuai dengan variasi kadar kelembaban tanah.


(47)

Di samping hal-hal yang dikemukakan di atas, maka faktor-faktor penting lain yang mempengaruhi limpasan adalah karakteristik jaringan sungai, adanya daerah pengaliran yang tidak langsung, drainase buatan dan lain-lain.

II.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris

Digunakan bila terdapat data hidrologi yang cukup banyak variabel yang mempengaruhi debit, sedang rumus-rumus empiris umumnya merupakan korelasi beberapa variabel, maka dengan sendirinya tidak mungkin diperoleh hasil yang dapat dipercaya. Tapi ini dapat memperkirakan harga yang kasar secara cepat.

Adapun rumus empiris yang dikemukakan disini antara lain : Metode Haspers, Melchior, dan Metode Rasional.

a. Metode Haspers

Rumus umum dari debit banjir rancangan adalah

QT= α . β . qT . A

(2.19) Di mana :

QT = Debit banjir maksimum (m3/dt),

α = Koefisien pengaliran,

Β = Koefisien reduksi,

qT = Intensitas hujan untuk periode ulang tertentu (mm)

A = Luas DAS (km2)

b. Metode Melchior

Besarnya debit banjir maksimum dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :


(48)

Qmax = αT . β . rT . A

(2.20) Di mana :

Qmax = Debit banjir maksimum (m3/dt)

αT = Koefisien pengaliran untuk masing-masing periode ulang tertentu

rT = Intensitas hujan rancangan (mm)

A = Luas DPS/ Catchment area (km2)

c. Metode Rasional

Rumus ini adalah rumus yang tertua dan terkenal diantara rumus-rumus empiris. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah pengaliran yang luas. Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut : Q = C *i *A = 0,00277 C *i *A

(2.21)

Di mana :

Q = Debit banjir maksimum (m3/detik)

C = Koefisien limpasan

i = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)

A = Daerah pengaliran (Ha)

Intensitas hujan rancangan menurut Mononobe dinyatakan dengan

I =

(2.22) dimana :


(49)

Rt = Hujan rancangan untuk periode ulang tertentu (mm).

Waktu konsentrasi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

t = 0,0195 * L0,77 * S-0.385 *

(2.23) dimana :

L = panjang sungai (m)

S = kemiringan sungai

Adapun mengenai koefisien limpasan (C) dapat ditentukan harganya berdasarkan tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Nilai Koefisien Limpasan untuk Persamaan Rasional

Tata Guna Lahan C Tata Guna Lahan C

Perkantoran Tanah Pertanian

Daerah pusat kota 0,70-0,95 Ladang Garapan

Daerah sekitar kota 0,50-0,70 Tanah berat tanpa vegetasi 0,30-0,60

Perumahan

Tanah berat dengan

vegetasi 0,20-0,50

Rumah tunggal 0,30-0,50 Berpasir tanpa vegetasi 0,20-0,50 Rumah susun, terpisah 0,40-0,60 Berpasir dengan vegetasi 0,1-0,25

Rumah susun, bersambung 0,60-0,75

Pinggiran kota 0,25-0,40 Padang Rumput

Daerah Industri Tanah berat 0,15-0,45

Kurang padat industri 0,50-0,80 Berpasir 0,05-0,25

Padat industri 0,60-0,90

Hutan 0,05-0,25


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Lokasi Studi Kasus

III.1.1 Deskripsi Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang

Secara kewilayahan, Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang (WS BUP) berada di kawasan pantai timur Provinsi Sumatera Utara dan sebagian kecil berada di bagian tengah Provinsi tersebut. wilayah sungai ini mencakup 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas seluruhnya 6.215,66 km2 (seperti terlihat pada Gambar 3.1). Curah hujan rata-rata mencapai 1.873 mm per tahun. Rata-rata-rata kecepatan udara berkisar 1,10 m/detik dengan tingkat penguapan sebesar 3,47 mm/hari. Suhu udara rerata per bulan berkisar antara 23,7°C sampai 32,2°C. Jumlah penduduk WS BUP pada tahun 2007 sekitar 7,13 juta dengan kepadatan penduduk sebesar 1.147 jiwa/km2. Rincian dari luas DAS di WS BUP dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Daerah Aliran Sungai WS BUP

No Nama DAS Sub DAS Luas (km2)

1 Belawan 417,63

2 Deli

Deli Seruwai Percut Batang Kuwis 459,86 96,44 194,88 160,23

Sub Total 911,40

3 Serdang

Serdang Karang

757,32 81,45

Sub Total 838,77

4 Ular

Ular Baru

1106,67 127,46

Sub Total 1234,14

5 Belutu/Bedagai

Bedagai Sialang Buah

630,15 247,40

Sub Total 877,55

6 Padang Padang

Suka

1104,96 831,22


(51)

Sub Total 1936,18

Total Luas WS BUP 6215,66

Sumber: BWS Sumatera II

Kemiringan lereng di WS BUP dapat diklasifikasikan ke dalam kelas kemiringan sebagai berikut : < 8%, 8-15%, 15-25%, 25-45% dan > 45%. Adapun luasan masing-masing kelas kemiringan lereng pada setiap Sub DAS adalah seperti pada Tabel 3-2.

Tabel 3.2 Kelas Kemiringan Lereng Masing-masing Sub DAS

DAS Sub

DAS

Kelas Kemiringan Lereng (Km2)

Total

< 8% 8 -

15% 15 – 25% 25 – 45% > 45%

Belawan 324,98 92,65 0,00 0,00 0,00 417,63

Deli Deli 348,05 28,61 38,66 44,54 0,00 459,86

Seruwai 96,44 0,00 0,00 0,00 0,00 96,44

Percut 102,37 0,00 20,30 72,21 0,00 194,88

Batang Kuwis

160,23 0,00 0,00 0,00 0,00 160,23

Serdang Serdang 668,69 35,18 25,12 28,33 0,00 757,32

Karang 81,45 0,00 0,00 0,00 0,00 81,45

Ular Ular 570,10 229,95 212,35 94,28 0,00 1106,67

Baru 127,46 0,00 0,00 0,00 0,00 127,46

Belutu Bedagai

Bedagai 585,08 45,06 0,00 0,00 0,00 630,15

Sialang Buah

247,40 0,00 0,00 0,00 0,00 247,40

Padang Padang 840,27 70,32 86,26 108,12 0,00 1104,96

Suka 745,51 36,53 4,85 44,33 0,00 831,22

Sumber: BWS Sumatera II

Keterangan:

< 8% : Datar

8 - 15% : Landai

15 – 25% : Agak Landai

25 – 45% : Curam > 45% : Sangat Curam


(52)

III.1.1.1 Batas Administrasi WS BUP

Secara administratif WS BUP berbatasan dengan:

• Sebelah Utara : Selat Malaka

• Sebelah Timur : Kabupaten Asahan

• Sebelah Selatan : Kabupaten Samosir dan Dairi

• Sebelah Barat : Samudera Hindia

Dan melintasi 4 (empat) kabupaten dan 2 (dua) kota di Provinsi Sumatera Utara yaitu:

• Kabupaten Deli Serdang

• Kabupaten Serdang Bedagai

• Kabupaten Karo

• Kabupaten Simalungun

• Kota Medan

• Kota Tebing Tinggi

Secara detail luas wilayah administrasi WS BUP seperti disajikan pada Tabel 3.3 berikut:

Tabel 3.3 Luas Wilayah Administrasi WS BUP

No Kabupaten/Kota Luas (Km2) Presentase (%)

1 Kabupaten Deli Serdang 2293,42 36,90

2 Kabupaten Serdang Bedagai 1498,76 24,11

3 Kabupaten Karo 128,04 0,20

4 Kabupaten Simalungun 1721,71 27,70

5 Kota Medan 270,25 4,53

6 Kota Tebing Tinggi 303,48 4,88

Total WS BUP 6215,66 100,00

Total Propinsi Sumatera Utara 71680,68 8,84

Sumber: BWS Sumatera II


(53)

Jumlah penduduk di WS BUP pada tahun 2007 sebesar 7,13 juta jiwa yang merupakan sekitar 9,26% dari penduduk Sumatera Utara (yang diperkirakan 12,83 juta). Secara nasional, jumlah penduduk di WS BUP adalah sekitar 3% penduduk Indonesia. Dapat ditihat dari sisi kependudukan, WS BUP merupakan daerah yang memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi, dibandingkan wilayah lain di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tampak pada kepadatan rata-rata di WS BUP sebesar 1.147 jiwa/km2.

Laju pertumbuhan penduduk rerata di WS BUP cenderung meningkat, yaitu 1,62% per tahun. Perkembangan jumlah penduduk selama tiga tahun (2005-2007) disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk WS BUP

No Kabupaten/

Kota

Luas (Km2)

Jumlah Penduduk (Jiwa)

%/thn

2005 2006 2007

1 Kabupaten

Deli Serdang

2293,42 1804,713 1859,680 1909,705 2,87

2 Kabupaten

Serdang Bedagai

1498,76 486,873 492,408 503,001 1,64

3 Kabupaten

Karo

128,04 380,256 388,669 386,045 0,77

4 Kabupaten

Simalungun

1721,71 1682,966 1704,209 1706,319 0,69

5 Kota Medan 270,25 2527,653 2537,995 2602,493 1,48

6 Kota Tebing

Tinggi

303,48 21,134 21,289 21,445 0,73

Total WS BUP Administratif

6215,66 6903,594 7004,249 7129,007 1,62

Total Propinsi Sumatera Utara

71680,68 12326,678 12643,494 12834,371 2,04

Sumber: BWS Sumatera II

Dari Tabel 3.4 diketahui kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Kabupaten Deli Serdang yaitu sebesar 2,87% per tahun. Proporsi penduduk dan persebaran kepadatan penduduk di kabupaten dan kota di WS BUP dapat dilihat pada Tabel 3.5.


(54)

No Kabupaten/Kota Luas (Km2)

Jumlah Penduduk (Jiwa) %/thn

2005 2006 2007

Kabupaten

1 Deli Serdang 2293,42 1804,713 1859,680 1909,705 2,87

2 Serdang Bedagai 1498,76 486,873 492,408 503,001 1,64

3 Karo 128,04 380,256 388,669 386,045 0,73

4 Simalungun 1721,71 1682,966 1704,209 1706,319 0,77

Jumlah 5641,93 2692,975 2762,046 2820,195

Persentase 90,77 42 43 44

Kota

1 Medan 270,25 2527,653 2537,995 2602,493 0,69

2 Tebing Tinggi 303,48 21,134 21,289 21,445 1,48

Jumlah 573,73 4210,619 4242,204 4308,812

Persentase 9,23 61 61 60

Total WS BUP Administratif

6215,66 6903,594 7004,249 7129,007 8,18

Total Propinsi Sumatera Utara

71680,68 12326,678 12643,494 12843,371 2,04

Sumber: BWS Sumatera II

Sedangkan kepadatan dan persebaran penduduk di WS BUP adalah seperti pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Kepadatan dan Persebaran Penduduk di WS BUP Tahun 2007

No Kabupaten/Kota Luas

(Km2)

Penduduk (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/Km2) Persebaran (%)

1 Kabupaten Deli

Serdang

2293,42 1909,705 833 5,06

2 Kabupaten Serdang

Bedagai

1498,76 503,001 336 2,04

3 Kabupaten Karo 128,04 386,045 167 1,02

4 Kabupaten

Simalungun

1721,71 1706,319 224 1,36

5 Kota Medan 270,25 2602,493 6314 38,38

6 Kota Tebing Tinggi 303,48 21,445 8576 52,13

Total WS BUP Administratif

6215,66 7129,007 1147 100,00

Total Propinsi Sumatera Utara

71680,68 12834,371 179 55,55

Sumber: BWS Sumatera II


(55)

paling rendah adalah di Kabupaten Karo yaitu sebesar 167 jiwa/km2. Struktur usia penduduk kabupaten/kota di WS BUP tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Struktur Usia Penduduk Kabupaten/Kota di WS BUP Tahun 2007

No Kabupaten

Kota

Jumlah Penduduk Menurut Usia (Jiwa) Rasio

Beban Tang gungan

0 - 14 15 - 59 65+ Total

1 Kabupaten Deli

Serdang

570.474 1.251.638 87.593 1.909.705 52,58

2 Kabupaten

Serdang Bedagai

193.523 274.344 35.134 503.001 83,35

3 Kabupaten

Karo

910 4.214 16.321 21.445 408,90

4 Kabupaten

Simalungun

190.678 133.204 62.163 386.045 189,82

5 Kota Medan 569.612 1.011.148 125.559 1.706.319 68,75

6 Kota Tebing

Tinggi

161.303 2.431.370 9.820 2.602.493 7,04

Total 1.686.500 5.105.917 336.590 7.129.007 39,62

Sumber: BWS Sumatera II

III.1.1.3 Klimatologi

Data klimatologi meliputi data kelembaban udara, kecepatan angin, lama penyinaran sinar matahari, suhu, dan lain-lain.

WS BUP berada di kawasan Sumatera Utara dengan temperatur tertinggi di bulan Agustus sebesar 36°C dan terendah di bulan Februari sebesar 20.6°C, dengan kelembaban 81% - 89%. Tutupan awan akibat mendung paling banyak terjadi di bulan Januari dan bulan Nopember, yang ditandai rata-rata lama penyinaran matahari masing-masing sebesar 20% dan 38%. Kecepatan angin tertinggi di WS BUP adalah sekitar 2,2 m/detik pada bulan Maret dan terendah 0,40 m/detik pada bulan Oktober.

Kondisi iklim di WS BUP didominasi oleh kecenderungan iklim muson tropis. Pada keadaan normal musim hujan terjadi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dari bulan


(56)

Nopember sampai April, dan musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai Oktober. Adapun curah hujan yang terjadi memiliki variasi yang cukup signifikan.

III.1.2 Kondisi DAS Ular

Sungai Ular bermuara di Selat Malaka pada posisi 30 km di sebelah timur kota Medan, melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang bedagai. DAS Ular berada pada 2º95’’ LU - 3º30’’ LU dan 98º55’’ BT - 98º55’’ BT. Panjang Sungai Ular sekitar 115 km dengan DAS seluas 1.234,14 km2. Kemiringan dasar sungai berkisar antara 1/600 sampai dengan 1/1200 dengan daya tampung sebesar 200 m3/det sampai dengan 600 m3/det.

DAS Ular mempunyai 2 (dua) Sub DAS antara Lain : Ular dan Baru. DAS Ular mempunyal 16 sungai/anak sungai seperti yang terdapat pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8 Anak-Anak Sungai DAS Ular

No Nama Sungai Panjang (km) No Nama Sungai Panjang (km)

1 Banai 25,07 9 S. ULar 90,58

2 B. Putung 18,49 10 B. Karai 48,60

3 S. Buangan 14,52 11 B. Pulung 13,36

4 B. Situri-turi 9,38 12 S. Sibunga-bunga 22,21

5 B. Betupu 3,97 13 S. Baru 11,89

8 B. Birulam 20,65 14 S. Lubuk Dendang 7,38

7 L. Belukum 12,16 15 Kanan Ular 16,25

8 B. Hisam 21,10 16 S. Baungan 9,04

Sumber: BWS Sumatera II

Anak-anak sungai tersebut melintasi beberapa wilayah kabupaten DAS Ular seperti Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Luas daerah tangkapan hujan DAS Ular mencapai 1.234,136 km2 atau sekitar 19,86% dari total Luas WS BUP. Pembagian wilayah administratif DAS Ular dapat dilihat pada Tabel 3.9. Tabel 3.9 Pembagian Wilayah Administrasi DAS Ular


(57)

Nama Kabupaten Nama Kecamatan Luas (Ha)

Simalungun Silau Kahean 8983.521

Simalungun Dolok Silau 23817.557

Simalungun Raya 6635.054

Simalungun Silimakuta 5248.306

Simalungun Purba 11647.405

Total 56331.843

ADM_DELI SERDANG

Nama Kabupaten Nama Kecamatan Luas (Ha)

D. Serdang Pantai Labu 2973.6

D. Serdang Beringin 2718.312

D. Serdang Pagar Merbau 3593.548

D. Serdang Lubuk Pakam 822.158

D. Serdang Galang 2154.924

D. Serdang Bangun Purba 9117.487

D. Serdang STM Hulu 10509.051

D. Serdang Gunung Meriah 7371.678

Total 33534.467

ADM_SERDANG BEDAGAI

Nama Kabupaten Nama Kecamatan Luas (Ha) Serdang Bedagai Pantai Cermin 6646.37 Serdang Bedagai Perbaungan 6312.451


(58)

Serdang Bedagai Galang 4370.828 Serdang Bedagai Kotarih 10419.353

Total 33547.293

Jumlah Keseluruhan 123413.603

DAS Ular termasuk golongan daerah pegunungan di daerah bagian hulu sedangkan di bagian tengah tergolong area perbukitan dengan kemiringan 3,9% - 9,72%. Sebaran tingkat kelerengan lahan dapat dilihat pada gambar 3.1.

Tabel 3.10 Sebaran Tingkat Kemiringan Lahan Kemiringan Lereng

Sub DAS (km2) Ular Baru

< 8% (Datar) 570.1 127.46

8% - 15% (Landai) 229.95 0

15% - 25% (Agak Landai) 212.35 0

25% - 45% (Curam) 94.28 0

> 45% (Sangat Curam) 0 0

Sumber: BWS Sumatera II

III.1.2.1 Kondisi Fisik DAS Ular

DAS ular memiliki karakteristik jenis tanah dan geologi terluas adalah jenis tanah tuna tuffa dengan luasan 74.731,76 ha atau 63 % dan Luas DAS. Tabel 3.11 adalah persentase sebaran karakteristik jenis tanah dan geologi di DAS Ular.


(59)

Sebaran Jenis Tanah dan Geologi Luasan (Ha) % Luasan

Aluuvium 15633.76 13.16

Bruksah formation 2790.47 2.35

Medan formasi 210.04 0.18

Takur-takur simbolon unit 25463.64 21.43

Tona tuffa 74731.76 62.89

Sumber: BWS Sumatera II

III.2 Pengumpulan Data

Merupakan data yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dalam penelitian ini (data sekunder). Adapun data sekunder yang didapat adalah:

1. Dari data Balai Wilayah Sungai Sumatera II yang terdiri atas: data deskripsi wilayah, data administrasi, data kependudukan, data klimatologi dan data fisik.

2. Dari data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan yang terdiri atas data tata guna lahan DAS Ular tahun 2000 dan 2006.

3. Dari data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sampali yang terdiri atas data curah hujan.

III.3 Menganalisa Frekuensi Curah Hujan Rata-rata dan Curah Hujan Efektif Analisa frekuensi curah hujan yang digunakan adalah metode Log Pearson. III.4 Menganalisa Debit Banjir

Metode yang digunakan adalah metode Rasional. Kemudian metode tersebut dikombinasikan dengan metode Log Pearson yang digunakan dalam perhitungan curah hujan.


(60)

Analisa tata guna lahan adalah menentukan prediksi tata guna lahan pada tahun 2010, 2015, 2020, 2025 dan 2030 dengan menggunakan metode Regresi Linier.

III.6 Menganalisa Koefisien Limpasan

Melakukan perbandingan antara data aktual dan data prediksi tata guna lahan yang telah dihitung.

III.7 Menganalisa Perbandingan Debit Banjir

Melakukan perbandingan debit banjir antara data tata guna lahan aktual dengan data prediksi tata guna lahan.


(1)

Tabel 4.21 Debit Banjir Q5 (m3/s)

Kabupaten Kecamatan Q5

2000 2006 2012 2018 2024 2030 Simalungun Silau Kahean 67.4656 67.4656 67.4656 67.4656 67.4656 67.4656 Dolok Silau 91.4974 91.4974 91.4974 91.4974 91.4974 91.4974 Raya 30.6786 30.6786 30.6786 30.6786 30.6786 30.6786 Silimakuta 28.2119 28.2119 28.2119 28.2119 28.2119 28.2119 Purba 51.6829 51.6829 51.6829 51.6829 51.6829 51.6829 D. Serdang Pantai Labu 16.6031 16.6031 16.6031 16.6031 16.6031 16.6031 Beringin 15.2489 15.2489 15.2489 15.2489 15.2489 15.2489 Pagar Merbau 19.6112 19.6112 19.6112 19.6112 19.6112 19.6112 Lubuk Pakam 4.97078 4.97078 4.97078 4.97078 4.97078 4.97078 Galang 10.9777 11.3272 11.4721 11.5972 11.7197 11.8536

Bangun Purba 86.6256 86.6256 86.6256 86.6256 86.6256 86.6256 Bangun Purba 18.734 18.734 18.734 18.734 18.734 18.734 STM Hulu 37.3333 37.3333 37.3333 37.3333 37.3333 37.3333 Gunung Meriah 22.7118 22.7118 22.7118 22.7118 22.7118 22.7118 Serdang

Bedagai Pantai Cermin 36.7449 36.7449 36.7449 36.7449 36.7449 36.7449 Perbaungan 35.7404 35.7404 35.7404 35.7404 35.7404 35.7404 Galang 24.387 24.387 24.387 24.387 24.387 24.387 Kotarih 55.949 55.949 55.949 55.949 55.949 55.949 Total 655.174 655.524 655.668 655.794 655.913 656.05

Tabel 4.22 Debit Banjir Q10 (m3/s)

Kabupaten Kecamatan Q10

2000 2006 1012 2018 1024 2030 Simalungun Silau Kahean 75.2735 75.2735 75.2735 75.2735 75.2735 75.2735 Dolok Silau 102.087 102.087 102.087 102.087 102.087 102.087 Raya 34.2291 34.2291 34.2291 34.2291 34.2291 34.2291 Silimakuta 31.4769 31.4769 31.4769 31.4769 31.4769 31.4769 Purba 57.6643 57.6643 57.6643 57.6643 57.6643 57.6643 D. Serdang Pantai Labu 18.5246 18.5246 18.5246 18.5246 18.5246 18.5246 Beringin 17.0137 17.0137 17.0137 17.0137 17.0137 17.0137 Pagar Merbau 21.8809 21.8809 21.8809 21.8809 21.8809 21.8809 Lubuk Pakam 5.54606 5.54606 5.54606 5.54606 5.54606 5.54606 Galang 12.2481 12.6381 12.7998 12.9393 13.076 13.2255

Bangun Purba 96.6509 96.6509 96.6509 96.6509 96.6509 96.6509 Bangun Purba 20.9021 20.9021 20.9021 20.9021 20.9021 20.9021 STM Hulu 41.6539 41.6539 41.6539 41.6539 41.6539 41.6539


(2)

Gunung Meriah 25.3402 25.3402 25.3402 25.3402 25.3402 25.3402 Serdang

Bedagai Pantai Cermin 40.9975 40.9975 40.9975 40.9975 40.9975 40.9975 Perbaungan 39.8767 39.8767 39.8767 39.8767 39.8767 39.8767 Galang 27.2094 27.2094 27.2094 27.2094 27.2094 27.2094 Kotarih 62.4241 62.4241 62.4241 62.4241 62.4241 62.4241 Total 730.998 731.388 731.55 731.689 731.826 731.975

Tabel 4.22 Debit Banjir Q25 (m3/s)

Kabupaten Kecamatan Q25

2000 2006 2012 2018 2024 2030 Simalungun Silau Kahean 85.9544 85.9544 85.9544 85.9544 85.9544 85.9544 Dolok Silau 116.572 116.572 116.572 116.572 116.572 116.572 Raya 39.0861 39.0861 39.0861 39.0861 39.0861 39.0861 Silimakuta 35.9433 35.9433 35.9433 35.9433 35.9433 35.9433 Purba 65.8465 65.8465 65.8465 65.8465 65.8465 65.8465 D. Serdang Pantai Labu 21.1531 21.1531 21.1531 21.1531 21.1531 21.1531 Beringin 19.4278 19.4278 19.4278 19.4278 19.4278 19.4278 Pagar Merbau 24.9856 24.9856 24.9856 24.9856 24.9856 24.9856 Lubuk Pakam 6.33302 6.33302 6.33302 6.33302 6.33302 6.33302 Galang 13.9861 14.4314 14.616 14.7753 14.9315 15.1021

Bangun Purba 110.365 110.365 110.365 110.365 110.365 110.365 Bangun Purba 23.868 23.868 23.868 23.868 23.868 23.868 STM Hulu 47.5644 47.5644 47.5644 47.5644 47.5644 47.5644 Gunung Meriah 28.9359 28.9359 28.9359 28.9359 28.9359 28.9359 Serdang

Bedagai Pantai Cermin 46.8148 46.8148 46.8148 46.8148 46.8148 46.8148 Perbaungan 45.535 45.535 45.535 45.535 45.535 45.535 Galang 31.0702 31.0702 31.0702 31.0702 31.0702 31.0702 Kotarih 71.2818 71.2818 71.2818 71.2818 71.2818 71.2818 Total 834.723 835.168 835.353 835.512 835.668 835.839

Tabel 4.23 Debit Banjir Q50 (m3/s)

Kabupaten Kecamatan Q50

2000 2006 2012 2018 2024 2030 Simalungun Silau Kahean 94.4552 94.4552 94.4552 94.4552 94.4552 94.4552 Dolok Silau 128.101 128.101 128.101 128.101 128.101 128.101 Raya 42.9516 42.9516 42.9516 42.9516 42.9516 42.9516 Silimakuta 39.4981 39.4981 39.4981 39.4981 39.4981 39.4981


(3)

Beringin 21.3492 21.3492 21.3492 21.3492 21.3492 21.3492 Pagar Merbau 27.4567 27.4567 27.4567 27.4567 27.4567 27.4567 Lubuk Pakam 6.95935 6.95935 6.95935 6.95935 6.95935 6.95935 Galang 15.3693 15.8587 16.0615 16.2366 16.4082 16.5957

Bangun Purba 121.28 121.28 121.28 121.28 121.28 121.28 Bangun Purba 26.2285 26.2285 26.2285 26.2285 26.2285 26.2285 STM Hulu 52.2685 52.2685 52.2685 52.2685 52.2685 52.2685 Gunung Meriah 31.7976 31.7976 31.7976 31.7976 31.7976 31.7976 Serdang

Bedagai Pantai Cermin 51.4447 51.4447 51.4447 51.4447 51.4447 51.4447 Perbaungan 50.0383 50.0383 50.0383 50.0383 50.0383 50.0383 Galang 34.143 34.143 34.143 34.143 34.143 34.143 Kotarih 78.3314 78.3314 78.3314 78.3314 78.3314 78.3314 Total 917.277 917.766 917.969 918.144 918.316 918.503

Tabel 4.24 Debit Banjir Q100 (m3/s)

Kabupaten Kecamatan Q100

2000 2006 2012 2018 2024 2030 Simalungun Silau Kahean 103.463 103.463 103.463 103.463 103.463 103.463 Dolok Silau 140.317 140.317 140.317 140.317 140.317 140.317 Raya 47.0478 47.0478 47.0478 47.0478 47.0478 47.0478 Silimakuta 43.2648 43.2648 43.2648 43.2648 43.2648 43.2648 Purba 79.2592 79.2592 79.2592 79.2592 79.2592 79.2592 D. Serdang Pantai Labu 25.462 25.462 25.462 25.462 25.462 25.462 Beringin 23.3852 23.3852 23.3852 23.3852 23.3852 23.3852 Pagar Merbau 30.0751 30.0751 30.0751 30.0751 30.0751 30.0751 Lubuk Pakam 7.62303 7.62303 7.62303 7.62303 7.62303 7.62303 Galang 16.835 17.371 17.5933 17.785 17.973 18.1784

Bangun Purba 132.846 132.846 132.846 132.846 132.846 132.846 Bangun Purba 28.7298 28.7298 28.7298 28.7298 28.7298 28.7298 STM Hulu 57.2531 57.2531 57.2531 57.2531 57.2531 57.2531 Gunung Meriah 34.83 34.83 34.83 34.83 34.83 34.83 Serdang

Bedagai Pantai Cermin 56.3508 56.3508 56.3508 56.3508 56.3508 56.3508 Perbaungan 54.8103 54.8103 54.8103 54.8103 54.8103 54.8103 Galang 37.3991 37.3991 37.3991 37.3991 37.3991 37.3991 Kotarih 85.8016 85.8016 85.8016 85.8016 85.8016 85.8016 Total 1004.75 1005.29 1005.51 1005.7 1005.89 1006.09


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

1. Dari perhitungan Cgabungan yang telah dilakukan berdasarkan debit sungai Ular rata-rata sebagai parameter utama diperoleh nilai C terendah adalah 0,306033 pada tahun 1995 dan nilai C tertinggi adalah 0,775036 pada tahun 1991.

2. Berdasarkan tata guna lahan DAS Ular tahun 2000 dan 2006, nilai Crata-rata di tiap kecamatan konstan kecuali pada Kec. Galang Kab. Deli Serdang dengan nilai Crata-rata tahun 2000 adalah 0,46604 dan Crata-rata tahun 2006 adalah 0,47775. Kemudian dilakukan prediksi tata guna lahan Kec. Galang Kab. Deli Serdang untuk tahun 2012, 2018, 2024 dan 2030. Perolehan nilai Crata-rata untuk tahun 2012, 2018, 2024, dan 2030 berturut-turut adalah 0,4834; 0,4883: 0,4930 dan 0,4981.

3. Setelah diperoleh nilai C untuk masing-masing luasan lahan, kemudian dihitung debit banjir maksimal Q5, Q10, Q25, Q50 dan Q100 dengan nilai sebagai berikut:


(5)

Berturut-turut untuk tahun 2000, 2006, 2012, 2018, 2024, 2030 adalah 655,174; 655,524; 655,668; 655,794; 655,913; 656,05.

• Q10 (m3/s)

Berturut-turut untuk tahun 2000, 2006, 2012, 2018, 2024, 2030 adalah 730,998; 731,388; 731,55; 731,689; 731,826; 731,975.

• Q25 (m3/s)

Berturut-turut untuk tahun 2000, 2006, 2012, 2018, 2024, 2030 adalah 834,723; 835,168; 835,353; 835,512; 835,668; 835,839.

• Q50 (m3/s)

Berturut-turut untuk tahun 2000, 2006, 2012, 2018, 2024, 2030 adalah 917,277; 917,766; 917,969; 918,144; 918,316; 918,503.

• Q100 (m3/s)

Berturut-turut untuk tahun 2000, 2006, 2012, 2018, 2024, 2030 adalah 1004,75; 1005,29; 1005,51; 1005,7; 1005,89; 1006,09.

V.2 Saran

Pengelolaan suatu DAS hendaknya mengikuti 1 master plan sehingga perubahan tata guna lahan dapat ditelusuri dan dikontrol sehingga dapat meminimalkan kerusakan fisik yang mungkin terjadi baik oleh manusia maupun oleh alam.

• Pengelolaan DAS harus dikoordinasikan dengan berbagai pihak agar tabulasi data (sebagai contoh: data curah hujan dan data tata guna lahan) lebih akurat.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Asdak, Chay., 2004. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

2. Br, Sri Harto., 1993. Analisis Hidrologi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

3. Linsley Ray K., 1985. Teknik Sumber Daya Air Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta.

4. Linsley Ray K., 1986. Teknik Sumber Daya Air Jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta.

5. Linsley Ray K., 1989. Hidrologi Untuk Insinyur. Penerbit Erlangga. Jakarta. 6. Seyhan, Ersin., 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

7. Soemarto, C. D., 1995. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga. Jakarta.

8. Sosrodarsono, Suyono., 1983. Hidrologi Untuk Pengairan. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.

9. Suripin., 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Penerbit Andi. Yogyakarta.