Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisme, industrialisme dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang hyperkompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma hukum, atau berbuat semau sendiri dari kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain. Masalah-masalah sosial pada zaman modern yang dianggap sebagai sosiopatik atau sakit secara sosial, dan secara populer kita kenal sebagai penyakit masyarakat itu merupakan struktur dan totalitas sistem sosial. Dengan kata lain, penyakit masyarakat yang demikian merupakan produk sampingan, atau merupakan konsekuensi yang tidak di harapkan dari sistem sosio-kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala sendiri. Pada zaman modern sekarang ini, orang menyebut pula adanya banyak deviasi atau penyimpangan tingkah laku yaitu menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri umum rakyat banyak. Selanjutnya, orang menyatakan tingkah laku menyimpang itu sebagai diferensiasi. Diferensiasi dalam tingkah laku umum yang berbeda dan menyimpang dari ciri- ciri karakteristik umum, dan bertentangan dengan hukum atau peraturan legal. 2 Adapun pengertian Masalah sosial adalah : 1. Semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat istiadat masyarakat dan adat istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama 2. Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar warga masyarakat sebagai pengganggu, tidak dikehendaki , berbahaya dan merugikan banyak orang. 1 Jelaslah bahwa adat istiadat dan kebudayaan ini mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakatnya. Maka, tingkah laku yang dianggap sebagai tidak cocok, melanggar norma dan adat istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum dianggap sebagai masalah sosial. 2 Indonesia adalah Negara yang penuh atau kaya akan kebudayaan yang beragam dan suku-suku yang beragam pula. Tetapi masyarakat Indonesia hanya bertumpu satu pusat saja untuk mencari nafkah dan mengadu nasib. Contohnya saja seperti di Jakarta ini, banyak orang-orang yang berbeda-beda suku datang ke kota Jakarta ini untuk mengadu nasib, mereka berfikir bahwa di Jakarta mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan nilai ekonomi yang tinggi. Tetapi kenyataannya mereka yang tidak memiliki skill dan kemampuan mereka hanya jadi orang gelandangan yang tidak mempunyai tempat tinggal. Inilah yang meresahkan masyarakat. Mereka yang jadi gelandangan bisa menjadi orang bengis atau jahat 1 . Kartini kartono, Patologi Sosial, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, h. 1. 2 . Ibid., h. 2. 3 seperti perampok, pencuri, penjambret dan lain sebagainya ini dikarenakan mereka tidak mempunyai lapangan pekerjaan. Mereka-mereka yang membuat orang takut akan keamanan dikota Jakarta ini, mungkin tidak hanya itu masalah-masalah sosial yang ada di Jakarta ini. Contoh lain adalah banyak orang-orang miskin yang ada di Jakarta ini, itu dikarenakan mereka pindah dari desa ke kota, dan mereka tidak mempunyai tempat tinggal. Maka mereka berprofesi sebagai pemulung dan bertempat tinggal di kolong jembatan. Pemerintah adalah yang paling berperan dalam masalah-masalah sosial seperti ini, sehingga masalah-masalah sosial ini bisa diatasi dengan baik, tentunya dengan bantuan para penyuluh yang ada. Dengan bantuan penyuluh ini diharapkan dapat menyeleksi mana masyarakat yang patut untuk dibantu oleh pemerintah. Situasi dan kondisi sosial atau sosio-kultural yang repetitif selalu berulang-ulang dan terus menerus, akan mengkondisionisasi dan mempererat deviasi-deviasi, sehingga kumulatif bertimbun, bertumpuk sifatnya. Deviasi kumulatif demikian bisa menjelma menjadi “disorganisasi sosial” atau “disintegrasi sosial.” Khususnya apabila deviasi ini berlangsung pada bagian terbesar dari populasi atau anggota masyarakat pada umumnya. Peristiwa ini disebut pula sebagai deviasi kumulatif ini adalah korupsi. Pada umumnya deviasi situasional yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik kultural, yaitu produk dari periode-periode dengan banyak konflik kultural konflik budayakultural ini dapat diartikan sebagai : 4 a. Konflik antara individu dengan Masyarakat; b. Konflik antara nilai-nilai dan praktik-praktik dari dua atau lebih kelompok-kelompok sosial; dan c. Konflik-konflik introfeksi yang berlangsung dalam diri seorang yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai-nilai dan norma- norma yang bertentangan. 3 Anak jalanan juga merupakan masalah sosial, dimana keberadaan mereka sering dirasakan sangat tidak menyenangkan oleh banyak orang. Di mata masyarakat keberadaan anak jalanan hingga kini masih dianggap sebagai bagian dari masalah sosial yang harus disingkirkan . Hal ini sesuai dengan definisi masalah, masalah sosial itu sendiri menurut Harton dan Leslie 1982, adalah “suatu kondisi yang dirasakan banyak orang tidak menyenangkan serta menurut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektif. Masalah sosial berbeda dengan masalah individual. Masalah individual dapat diatasi secara individual. Tetapi masalah sosial hanya dapat diatasi melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat multidimensional dan menyangkut banyak orang”. 4 Anak jalanan merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan penanganan secara cepat dan tepat. Jumlah anak jalanan kian hari kian bertambah seiring dengan semakin berlarutnya krisis ekonomi, tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini di Indonesia. Pada tahun 2002 berdasarkan 3 . Ibid., h. 21. 4 . Edy Suharto, Membangun Masyarakat Memeberdayakan Rakyat, Bandung : PT Refika Aditama, 2005, h. 83. 5 data dinas bina mental dan kesejahteraan sosial. Pemerintah propinsi DKI Jakarta, jumlah anak jalanan mencapai 8.158 jiwa, terdiri dari 1.795 anak di Jakarta Barat, 1.833 anak di Jakarta Pusat, 1.532 anak di Jakarta Selatan, 2.296 anak di Jakarta Timur, dan 652 anak di Jakarta Utara 5 . Sementara itu pada tahun 2004, jumlah anak jalanan di Indonesia berdasarkan data yang di kumpulkan oleh Badan Pusat Statistik BPS, tercatat 154.861 anak. 6 Inilah yang salah satunya disebabkan karena arus Urbanisasi yang terus menerus berlangsung di wilayah DKI Jakarta pada umumnya dan wilayah Jakarta Selatan khususnya. menyebabkan ketidak seimbangan tenaga kerja dengan lapangan kerja yang tersedia dan ketidak seimbangan penduduk dengan daya dukung fasilitas perkotaan. Kualitas dan kuantitas sumber daya pendatang yang tidak mempunyai latar belakang suatu keahlian tertentu kurang sesuai dengan kebutuhan pengembangan kota. 7 Tenaga kerja kita yang berpendidikan rendah low level saat ini memprihatinkan kualitasnya. Rata-rata mereka hanya mengandalkan lapangan kerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia TKI, yang bekerja di luar negeri. Sedangkan TKI sendiri di nilai juga tidak mempunyai daya saing yang cukup memadai, karena tidak cukup dibekali dengan keterampilan. 8 5 . Pada hari ini, Mari Dengar Suara Anak Jalanan, artikel diakses pada 30 Mei 2008 dari http:www.kompas.comkompas-cetak030723 utama. 6 . Sander Diki Zulkarnaen, Perberdayaan Keluarga Sebagai Basis Utama Dalam Pembinaan Anak Jalanan, Artikel diakses pada 8 Agustus 2009 dari http:www.kpai.go.iddockeluarga basis utama.doc. 7 . Bento. www.mediajakartaselatan.com. 15 Agutus 2009. 8 . Wakrimba Thamrin, Kebijakan Otoda dan Dampak Bagi Buruh dan BPPD, Majalah Nakertnas. XXIV 04 September 2004. 6 Peningkatan kualitas sumber daya manusia pilihan mempunyai arti strategis bagi bangsa Indonesia, karena proses pembangunan nasional harus berlangsung, berkesinambungan mengharuskan adanya sumber daya manusia yang berkualitas. Di samping itu sumber daya manusia yang berkualitas akan memungkinkan bangsa Indonesia merebut keunggulan kompetitif atas bangsa- bangsa di dunia. Semakin kompleks spesialisasi dalam pekerjaan, ketrampilan kerja dan kesempatan yang ada sangat terbatas sedangkan pertumbuhan angkatan kerja dan kesempatan yang ada sangat terbatas, sedangkan pertumbuhan angkatan kerja terus bertambah akan menimbulkan dampak bertambah pengangguran. Maka profesi penyuluh sosial ini sangat dibutuhkan oleh lembaga Departemen Sosial DEPSOS, dikarenakan sangat membantu lembaga tersebut guna membantu menyelesaikan masalah-masalah sosial dan cara menanganinya. Bertolak dari fenomena di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih dalam tentang penyuluh sosial di Indonesia, maka penulis melakukan penelitian yang dimanifestasikan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Profesi Penyuluh Sosial di Jakarta : Prospek, Peluang, dan Tantangan Study Kasus Kementrian Sosial RI ”.

B. Batasan dan Perumusan Masalah