Sanksi Pidana Bagi Pelaku Bestiality

sesuatu yang jahat,dan tabu bagi manusia. Tetapi mengaturnya sesuai dengan fitrahnya . Oleh karena itu Islam sangat menentang segala bentuk penyimpangan seksual, termasuk bestiality penyimpangan seksual dengan binatang

C. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Bestiality

Para ulama telah sepakat tentang keharaman bersetubuh dengan binatang. Akan tetapi masih berbeda pendapat dalam menentukan hukuman bagi orang yang melakukan hal tersebut. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa menyetubuhi binatang tidak dianggap sebagai zina, tetapi merupakan perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman ta’zir. Demikian pula apabila hal tersebut dilakukan oleh seorang wanita terhadap binatang jantan. Seperti kera, atau anjing. 75 Di kalangan Mazhab Syafi’iyah dan Hambali terdapat dua pendapat. Pendapat yang rajih kuat dari pendapat Imam Syafi’i sama dengan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik, sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’i yang kedua, perbuatan tersebut dianggap sebagai zina dan hukumanya adalah hukuman mati. 76 Pendapat ini didasarkan kepada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi: 75 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy al-Islamiy, Juz II, Beirut: Daar Al-Kitab Al- Arabi ,t.th., hal 347 76 Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, Bandung: Asysyamil,1997, cet. Ke-1, hal.128 9 K9 9 ﺏ S 9 CH Q 0 7 8 F 9 F v , ﺱ D 1 : 51 0 9 S ﺏ : 41 R 41 . = : P 6 H ﺏH O O 4 Artinya: “Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Barang siapa yang menyetubuhi binatang maka bunuhlah ia dan bunuhlah pula binatang itu.” HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi 77 Tetapi sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukumanya sama dengan zina. Apabila muhshan maka hukumanya rajam, dan apabila ia ghair muhsan maka hukumanya didera seratus kali ditambah dengan pengasingan selama satu tahun. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Ash-Samit bahwa Rasulullah saw bersabda: ﺥ 0 9 ﺥ 0 9 61 -B 8 wLl ﺱ K K ﺏ B 6 Sﺉ Qﻥ S ﺱ `] `] ﺏ 6 B Sﺉ ,B = i : P , ﺏH O O 4 Artinya: “Ambillah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah memberikan jalan keluar bagi mereka pezina. Jejaka dengan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumanya dera seratus kali dan rajam. Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, a dan Turmudzi. 78 Sedangkan pendapat yang rajih kuat dalam mazhab Syi’ah Zaidiyah,sama dengan pendapat Imam Syafi’i. Sementara pendapat yang marjuh lemah sama dengan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Selanjutnya 77 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Fikr,1993, juz IV, hal.179 78 78 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Fikr,1993, juz III, hal.235 apabila yang melakukan persetubuhan dengan binatang itu seorang wanita maka menurut mazhab Syafi’i dan Hambali hukumanya sama dengan pelaku laki-laki. Adapun menurut sebagian Syafi’iyah, pelaku wanita hanya dikenai hukuman ta’zir. Ali Daud menjelaskan bahwa, bestiality melewati qubul maupun dubur tidak dijatuhi hukuman had menurut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Dzhahiri . 79 Kemudian dijelaskan pula bahwa para ulama empat telah sepakat bahwa pelaku bestiality itu harus di ta’zir oleh hakim dengan sesuatu yang dapat mencegahnya, karena akal yang sehat tidak akan melakukan hal tersebut, sehingga tidak harus diberi pidana had, tetapi cukup diberi ta’zir saja. 80 Para ulama dalam menetapkan bestiality bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah yaitu: 9 ﺏ S 9 QﺽP 8 9 CH Q 0 7 8 F 9 F v ﺱ , D 1 : : ﺕ6B - 9 U 1 SY 41 R 9 D - Fﺏ : ﺕ6B 51 0 9 S ﺏ : 41 R 41 i = : P 6 H -ﺏP Artinya: “Dari Ibnu Abbas R.A. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang mengetahui seseorang melakukan pekerjaan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah yang mengerjainya dan yang dikerjainya. Dan barang siapa yang melihat seseorang melakukan Bestiality, maka bunuhlah ia dan bunuh pula binatangnya. Hadist diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah 81 79 Ali Daud Muhammad Jufal, Al-Taubah wa Asaraha Fi Istiqali al-Hudud fi al-Fiqh al- Islami ,Beirut: Dar al Nahdati al Arabiyah,1989 hal.98 80 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu,Beirut: Dar Al Fikri,1989 juz 6, hal.66 81 Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Fikr,1993, juz IV, hal.181 Menurut Imam Syafi’i bahwa dalam hadits ini menunjukan pengharaman bestiality , dan menunjukan bahwa orang yang menyetubuhi binatang itu adalah hukuman mati. Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad dan Imam Hambali pelakunya cukup dihukum dengan hukuman ta’zir, karena perbuatan itu bukan merupakan perzinaan. Hadits di atas pun menerangkan tentang bagaimanakah hukum binatang itu baik yang halal dikonsumsi dan yang haram dikonsumsi. Ibnu Abbas pernah ditanya “ bagaimanakah hukum binatang itu? Beliau menjawab : Saya tidak mendengar sesuatu hal itu dari Rasulullah saw, akan tetapi menurutnya binatang itu makruh untuk di konsumsi dagingnya setelah di setubuhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah saw : ﺙ6 6 + ﺏ 9 x ﺙ6 6 9 b b- ﺏ S6 + 9 S 9 ﺏ QﺏH 9 9 K9 9 QﺏH S 9 D 1 D ﺱP 8 0 7 8 F 9 , ﺱ : ﺕ6B 51 0 9 S ﺏ : 41 R 41 R ﺏZ S 9 Ckﺵ y D R z- ﺱ D ﺱP 8 0 7 8 F 9 , ﺱ QR 3 2 L; ﺵ K PH D ﺱP 8 0 7 8 F 9 , ﺱ : n CH nk + H 54 ﺏ 61 9 ﺏ { 2 - . Artinya: “Barang siapa mengetahui seseorang yang melakukan bestiality, maka bunuhlah dia dan bunuh pula binatangnya. Ditanyakan kepada sahabat Ibnu Abbas, bagaimanakhah hal binatang yang disetubuhi itu? Sahabat Ibnu Abbas menjawab: saya tidak sedikitpun mendapat penjelasan dari Rasulullah saw dari masalah tersebut. Tetapi saya menduga Rasulullah saw memakruhkan untuk memakan dagingnya dan memenfaatkanya. Amalan- amalan seperti itu betul-betul dilaksanakan. Hadits ini saya tidak ketahui kecuali dari hadits Umar bin Abi Bakar dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw. Kemudian Sofian As-Sauri meriwayatkan dari ‘Ashim dari Abi Ruzaini dari Ibnu Abbas, Ia berkata: “ Siapa yang melakukan bestiality maka tidak ada had baginya. 82 Hadist diriwayatkan oleh Imam Ahmad Para ulama Al-Hadawiyah Syi’ah dan ulama Hanafiah berpendapat bahwa binatang itu makruh dimakan, dan tidak diwajibkan membunuh binatang yang sudah disetubuhi. Menurut Al-Khatabi, hadits ini bertentangan dengan larangan Nabi membunuh binatang, kecuali untuk dimakan. Sedangkan menurut Sayyid Muhammad Syatha Dimyati tidak diwajibkan had terhadap orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang, tetapi diwajibkan atasnya hukuman ta’zir. Sedangkan mengenai binatang yang disetubuhi, tidak diwajibkan membunuhnya apabila binatang tersebut termasuk binatang yang biasa dikonsumsi, karena adanya perbedaan pendapat tentang binatang apa yang dimaksud dengan hadits di atas. 83 Menurut Sayyid Muhammad Syatha Dimyati bahwa binatang yang dimaksud dalam hadits ini adalah binatang yang tidak biasa dikonsumsi oleh manusia, maka binatang tersebut boleh dibunuh. Sedangkan binatang yang biasa dikonsumsi tidak wajib atasnya, tetapi apabila binatang tersebut disembelih, maka boleh memakannya. Dari uraian di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kebanyakan para ulama berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku penyimpangan seksual dengan binatang ialah hukuman ta’zir. 82 Abdul al- Rahman, Majmu’ al-Fatawa Syikh al- Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, Riyad: Dar al- ‘Alam al- Kutub,1991, jld.34, hal.182 83 Sayyid Muhammad Syatha Dimyati, I’anatu al-Thalibin, Semarang: Toha Putra, juz 4, hal.143

D. Pandangan Hukum Islam tentang Bestiality dan Relevansinya dengan