Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

4 Kehakiman, bahwa lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu diantara lingkungan “Peradilan Khusus” Penyebutan Peradilan Khusus tidaklah dimaksudkan untuk mengistimewakan warga negara yang diadili atau mencari keadilan melalui peradilan­peradilan itu, penamaan itu hanyalah sekedar menunjukkan perbedaan ketiga lingkungan peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum yang mempunyai wewenang yang lebih luas dan umum baik mengenai perdata maupun pidana. Karena luasnya wewenang itu, Peradilan Umum dapat mengadakan kekhususan pula dalam tubuhnya. Dengan berpuncak dan berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung keempat lingkungan peradilan itu melakukan kekuasaan kehakiman dalam negara RI. Dengan demikian, pengadilan­pengadilan Agama dan Tinggi Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah bagian dari peradilan negara dalam sistem peradilan nasional. 6 Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis­ jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Dirangkaikannya kata­ kata “Peradilan Islam” dengan kata­ kata “di Indonesia” adalah karena jenis perkara yang ia boleh mengadilinya tersebut tidaklah mencakup segala macam perkara menurut Peradilan Islam 6 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2010 , Cet ke­ 2, h. 23­24. 5 secara universal. Tegasnya, Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. 7 Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, Pertama, Sumber Hukum Materil; Kedua, Sumber Hukum Formil yang sering disebut Hukum Acara. 8 Peradilan Agama sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanaan kekuasaan kehakiman dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama semakin bertambah. Oleh karena itu, maka tugas­tugas badan Peradilan Agama menjadi meningkat. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha peningkatan jumlah dan kualitas aparatur pengadilan, khususnya hakim, untuk menyelesaikan tugas­tugas peradilan tersebut. Selanjutnya, dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 posisi Peradilan Agama di Indonesia semakin kuat, dan dasar penyelenggaraannya mengacu kepada peraturan perundang­undangan yang unifikatif. Selain itu, dengan perumusan KHI yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, 7 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, Cet ke­ 14, h. 6. 8 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al­Hikmah, 2000, Cet. Pertama, h. 4. 6 maka masalah yang dihadapi oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, yaitu keanekaragaman rujukan dan ketentuan hukum, dapat diatasi. 9 Pada tahun 2006, UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah disahkan oleh DPR RI, dan pada tahun 2009 terjadi perubahan kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989 dengan disahkannya UU No. 50 Tahun 2009. Proses perubahan berjalan lancar tanpa kontroversi. Tanpa ada perdebatan alot baik ditingkatan politisi, akademisi maupun masyarakat umum. Seolah semua mengamini dan meneguhkan akan pentingnya revisi UU tersebut bagi Pengadilan Agama PA pasca satu atap dengan Mahkamah Agung MA. Dengan disahkannya UU nomor 3 tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009, maka secara yuridis formal kelembagaan Peradilan Agama semakin kokoh dan mempuyai kedudukan yang sama dan sejajar dengan tiga lingkungan peradilan lainnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Diberlakukannya UU Nomor 3 tahun 2006 tersebut menandai lahirnya paradigma baru peradilan agama. Paradigma baru itu menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang­ undang ini”. 9 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2004, Cet ke­4, h. 124­125. 7 Kata “perkara tertentu” merupakan perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Penghapusan kata ini dharapkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kewenangan pengadilan agama. 10 Kompetensi relatif setiap Pengadilan Agama dasar hukumnya adalah berpedoman pada ketentuan Undang­undang Hukum Acara Perdata. Landasan untuk menentukan kewenangan relatif Peradilan Agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142 R.Bg. Jo. Pasal 66 dan pasal 73 Undang­ undang N0. 7 Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat 1 HIR, menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum rei”. namun ada beberapa pengecualian, yaitu tercantum dalam pasal 118 ayat 2, ayat 3 dan ayat 4, yaitu: ­ Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat; ­ Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal penggugat; 10 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kecana, 2008, h. 343. 8 ­ Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang tersebut terletak; dan ­ Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut. Kompetensi Absolut, saat ini dengan dikeluarkannya Undang­undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, salah satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga Peradilan Agama pada pasal 49 yang sekarang juga meliputi perkara­perkara dibidang ekonomi syariah. Secara lengkap bidang­ bidang yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama meliputi: a perkawinan; b waris; c wasiat; d hibah; e wakaf; f zakat; g infak; h sedekah; dan i ekonomi syariah. 11 dalam Pasal 60B UU No. 502009 tentang perubahan kedua atas UU No. 71989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Dengan memperhatikan keadaannasib warga negara yang tidak mengetahui hukum apalagi untuk para pencari keadilan yang tidak mampu untuk membayar biaya advokat. Mahkamah Agung melakukan terobosan baru 11 Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:,Kencana, 2006, h. 104­106. 9 memberikan bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan yang dipandang tidak mampu secara ekonomi sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2010. 12 Serta di dalam Pasal 60 c UU No.50 Tahun 2009 juga mengatur bahwa di setiap pengadilan di bentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan tidak mampu secara ekonomi dalam berperkara ke pengadilan, meliputi layanan perkara prodeo, peyelenggaraan sidang keliling, dan penyedian pos bantuan hukum dipengadilan, meliputi perkara di Peradilan Agama, Peradilan Umum serta di Peradilan Tata Usaha Negara, tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum tersebut diatur dalam lampiran SEMA, dan khusus di lingkungan Peradilan Agama diatur dalam lampiran B SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama. Dengan adanya Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama, menurut penulis ini merupakan kajian yang menarik untuk diangkat dan dibahas mengigat program ini sangat baik untuk bisa membantu para pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomi, serta untuk membayar advokat atau sekedar konsultasi tentang permasalahan hukum di Peradilan Agama. Penulis terdorong ingin mengkaji lebih dalam untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan Bantuan Hukum di Peradilan Agama yang didasari oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman 12 www.hukumonline.com201010rakernas MA.html, diakses pada 20 Januari 2013. 10 Bantuan Hukum Lampiran B sebagai bantuan bagi warga negara yang ingin mencari keadilan dan mengetahui hukum lebih khusus warga negara yang tidak mampu di Pengadilan Agama khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Oleh karena itu penulis mengangkat suatu tema yang akan di tulis sebagai bahan skripsi, yaitu dengan judul “Peranan Bantuan Hukum Pasca SEMA No. 10 Tahun 2010 Analisa Efektifitas Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Timur”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian terhadap skripsi ini lebih terarah, maka dalam hal ini penulis memberikan batasan masalah yang akan dikaji, yaitu tentang Efektifitas Implementasi Bantuan Hukum di Peradilan Agama, sesuai SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Khususya mengenai Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur dari tahun 2011 hingga tahun 2012. 2. Perumusan Masalah Dengan memperhatikan keadaan warga negara yang tidak mengetahui hukum apalagi untuk para pencari keadilan yang tidak mampu pada umumnya mereka tidak tahu bagaimana menghadapi dan menyelesaikan perkara­perkara yang mereka hadapi di pengadilan dan tidak mampu untuk membayar biaya pengacara untuk mendampingi ataupun hanya sekedar konsultasi. 11 Dengan melihat realita yang ada, maka rumusan masalah dalam skripsi ini ialah bagaimana pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Agama Jakarta Timur, apakah efektif atau tidak efektif dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat dalam mencari keadilan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, dari tahun 2011 hingga tahun 2012. Dalam hal ini penulis merumuskan dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana Peranan Bantuan Hukum Pasca SEMA No. 10 Tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta Timur? 2. Faktor­faktor apa saja yang menghambat dan yang mendukung terlaksananya bantuan hukum? 3. Bagaimana efektifitas Jasa Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Timur? 4. Bagaimana bantuan hukum menurut Islam berkaitan dengan bantuan hukum di Pengadilan Agama Jakarta Timur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui peranan bantuan hukum pasca SEMA No. 10 Tahun 2010 di Pengadilan Agama Jakarta Timur. 12 b. Untuk mengetahui faktor­faktor yang menghambat dan mendukung terlaksananya bantuan hukum di Lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur. c. Untuk mengetahui efektifitas Jasa Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Timur. d. Untuk mengetahui bantuan hukum menurut Islam berkaitan dengan bantuan hukum di Pengadilan Agama Jakarta timur. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: a. Secara teoritis, diharapkan dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dibidang hukum dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan baru yaitu mengenai bantuan hukum yang terdapat di Pengadilan Agama. b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat akan adanya Bantuan Hukum bagi mereka yang tidak mampu di Lingkungan Peradilan Agama.

D. Review Studi Terdahulu No

Judul Skripsi Pengarang Pokok Pembahasan Perbedaan 13 1 Tinjauan Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan AgamaAnalisis SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Jainul Amidin Mekanisme pembentukan, pelaksanaan Pos Bantuan Hukum di linkungan Peradilan Agama yang ditinjau dari hukum yang berlaku di Negara Indonesia Analisa Efektifitas dan faktor yang menghambat dan mendukung pelaksanaan Bantuan Hukum meliputi Bantuan Hukum Prodeo, Bantuan Hukum Sidang Keliling, dan Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Timur pasca SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang bahasan yang sedang penulis bahas didalam skripsi studi terdahulu, penulis hanya mendapatkan tinjauan kajian terdahulu dari penulis Jainul Amidin. Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta . Yaitu tentang “Tinjauan Yuridis Pos Bantuan Hukum di