Tinjauan Yuridis pos bantuan hukum dilingkungan pengadilan agama

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Jainul Amidin NIM: 107044100235

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan kemudahan, petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umatnya menuju zaman yang beradab dan penuh pencerahan.

Skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama disusun guna memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi dan juga telah membimbing penulis yaitu kepadaYth:

1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH, MA Ketua Program Studi dan ibu Hj. Rosdiana, MA., sebagai Sekertaris Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Afwan faizin, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M Hum, dosen pembimbing yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi penulis untuk menjadi lebih baik.


(6)

v

5. Ibu Umiyati, SH beserta jajaran pegawai Badilag yang telah bersedia membantu penulis, baik dari wawancara maupun memberikan data-data yang diperlukan oleh penulis.

6. Fauzan, SH, MH. Yang menjabat sebagi Kabag Sesbim Mahkamah Agung yang telah bersedia diwawancara untuk mendukung data-data dalam penulisan skripsi penulis.

7. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Program Studi, Kasubag Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini.

8. Ayahanda Azir Mudin dan Ibunda tercinta Siti Maryam atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik moril dan materill, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis. Segala hormat Penulis sembahkan.

9. Teman-teman seperjuangn kelas Peradilan Agama 2007 Tajul Muttaqin, Syawaludin, Ahmad Syadhali, Riki Dian Saputra, Ratna Khuzaemah, Yayah Lutfiah Hamid, Laila Wahdah dan lain-lain yang tidak penulis sebutkan satu-persatu, yang telah banyak sedikitnya membantu, baik moril maupun materil, dan semangat, semoga kesuksesan dan keberhasialan selalu menaungi dan menyertai kita.


(7)

vi

11.Teman-teman Di Bimbel GXM, yang telah membantu penulis dalam memberikan motovasi dan dorongan, sehingga penulis berhasil menyusun skripsi ini sampai selesai.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membacanya, Amin.

Ciputat, 7 Juni 2011


(8)

vi

DAFTAR ISI ……… BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah………. 1

B.Batasan dan Rumusan Masalah……….. 5

C.Tujuan dan Manfaat penelitian………... 7

D.Kerangka Teori………... 8

E. Review Studi Terdahulu………. 11

F. Metode Penelitian…..……… 12

G.Sistematika Penulisan………... 15

BAB II BANTUAN HUKUM A. Pengertian Bantuan Hukum………..………. 18

B. Pengertian Bantuan Hukum Menurut Pendapat Ahli Hukum…………... 20

C. Sejarah Singkat Bantuan Hukum di Indonesia... 25


(9)

vii

B.Tujuan Didikannya Pos Bantuan Hukum….……….……. 37

C.Dasar Hukum Pos Bantuan Hukum………..………. 38

D.Tata Cara dan Syarat Pembentukan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan

Pengadilan Agama………..……. 41

E. Struktur Kepengurusan Pos Bantuan Hukum……… 45

F. Mekanisme Pemberian Jasa Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama.

……….. 46

G.Mekanisme Pengawasan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan

Agama……….. 48

BAB IV TINJAUAN YURIDIS POS BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

A. Sema Sebagai Landasan Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan

Agama ……….... 51

B. Kekuatan Hukum SEMA di Negara Republik Indonesia……….. 53 C. Analisi Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama……... 55


(10)

viii

DAFTAR PUSTAKA……….... 63 LAMPIRAN


(11)

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan salah satu sarana dalam kehidupan yang bertujuan untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat dimana hukum itu berada.1 Kebutuhan akan keadilan merupakan salah satu hak asasi yang harus dilindungi, sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila sila ke-5 yang berbunyi

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD Negara Republik Indonesia pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan Pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.2

Pasal di atas tidak membedakan antara warga Negara yang satu dengan yang lainnya, semua sama didepan hukum dan berhak memperoleh perlindungan hukum termasuk fakir miskin, di dalam pasal 34 UUD 1945 menerangkan bahwa “Negara berkewajiban melindungi fakir miskin sebagai bagian dari warga negaranya”, akan tetapi realitanya masih banyak warga yang ada dibawah garis kemiskinan bahkan hampir semuanya buta akan hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu bagaimana

1

Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Alumni, 1997), cet ke-4, h. 20

2


(12)

menghadapi dan menyelesaikan perkara-perkara dalam kehidupan yang mereka alami, terutama menyangkut masalah perdata mereka.3

Dalam menghadapi situasi ini, maka perlu adanya perombakan strategi pembangunan hukum, karena hukum juga harus bersentuhan dengan kebutuhan rakyat yang kurang mampu, dalam arti bukan membebaskan mereka dari aturan hukum, akan tetapi justru memperkuat rakyat yang akan menentukan masa depan mereka. Ini perlu kembali diefektifkan agar masalah-masalah yang muncul belakangan ini mendapat penyelesaian, sebab bila semua itu tidak ditindak lanjuti dalam bentuk yang nyata, maka konsep-konsep tersebut hanya akan menjadi huruf mati yang tidak mempunyai efektifitas.4

Dengan menjawab situasi yang demikian, Mahkamah Agung tidak henti-hentinya melakukan perubahan dalam upaya meningkatkan pelayanan hukum bagi masyarakat. Setelah kebijakan reformasi birokrasi dan keterbukaan informasi, kini Mahkamah Agung melakukan terobosan baru memberikan bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan yang dipandang tidak mampu secara ekonomi sebagaimana diatur dalam SEMA No. 10 Tahun 2010.5

Bantuan hukum dimaksud adalah pemberian jasa hukum bagi orang yang tidak mampu secara ekonomi dalam berperkara ke pengadilan, meliputi perkara

3

Direktoral Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Bulletin Berkala Hukum & Peradilan, (Jakarta:Direktorat Pembinan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002) h. 42

4

Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), Cet ke- I, h. 10

5


(13)

perdata dan pidana di Peradilan Umum, perkara perdata dan jinayah di Peradilan Agama serta perkara tata usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara.

Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum tersebut diatur didalam lampiran SEMA, dan khusus di lingkungan Peradilan Agama diatur dalam lampiran B SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum Di Lingkungan Peradilan Agama.

Dalam lampiran B Pasal 1 ayat (4) disebutkan, bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (5) dijelaskan, bantuan hukum dalam perkara perdata meliputi pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos Bantuan Hukum.

Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa bantuan hukum dalam perkara perdata dalam lingkungan Peradilan Agama meliputi pelayanan prodeo, penyelenggaraan sidang keliling, dan penyediaan Pos Bantuan Hukum, dengan melihat mayoritas pihak berperkara di Pengadilan adalah masyarakat miskin, dan menurut hasil penelitian PEKKA, Masyarakat yang berperkara di PA berpenghasilan rata-rata Rp 200 ribu perbulan. Padahal secara Nasional, rata-rata biaya berperkara di PA adalah Rp 789.260,- atau empat kali lipat dari pendapatan rata-rata.6

Dengan adanya Posbakum (Pos Bantuan Hukum) yang lahir dari masih banyaknya masyarakat yang masih buta akan hukum dan tidak mampu membayar

6


(14)

pengacara di Peradilan Agama, ini membuktikan bahwa MA benar-benar ingin sekali membantu para masyarakat yang dikatagorikan kedalam masyarakat kalangan kelas bawah atau miskin itu untuk mendapatkan layanan bantuan hukum dari para advokat secara cuma-cuma.

Seperti yang dikatakan oleh Santoso Poedjosoebroto bahwa bantuan hukum adalah bantuan hukum (baik berupa pemberian nasihat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari pada seseorang yang berpekara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar (honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara.7

Dengan lahirnya Pos Bantuan Hukum di Lingkungan PA, menurut peneliti ini merupakan kajian yang menarik untuk dibahas mengingat program ini merupakan program yang sangat baik untuk bisa menolong para pencari keadilan bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar pengacara aatu sekedar konsultasi tentang permasalahan hukum dalam ruang lingkup Peradilan Agama dengan melihat apakah Pos Bantuan Hukum yang tertuang didalam UU No 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 60 C ayat (1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Ayat (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.

7

Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) h. 21


(15)

Kajian ini menarik untuk dibahas karena peraturan yang mengatur mengenai Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama itu masih bersifat SEMA belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pos Bantuan Hukum itu sendiri baik berupa mekanismenya maupun masyarakat yang berhak menerima jasa bantuan ini, dan berhubung program Pos Bantuan Hukum ini adalah program baru dari Mahkamah Agung dalam menegakan keadilan bagi setiap masyarakat, ini perlu dikaji lebih dalam kembali sehingga penerapannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Oleh karena itulah peneliti mengangkat skripsi ini dengan judul Tinjauan Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama (Analisis SEMA NO. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian terhadap skripsi ini lebih terarah, maka dalam hal ini peneliti memberikan batasan masalah yang akan dikaji, yaitu tentang tinjauan yuridis mengenai lahirnya SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum. Khususnya mengenai Pos Bantuan hukum di Lingkungan Pengadilan Agama, dengan memfokuskan penelitan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Badilag (Badan peradilan Agama)


(16)

2. Perumusan Masalah

Melihat masih banyak warga yang ada dibawah garis kemiskinan bahkan hampir semuanya buta akan hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu bagaimana menghadapi dan menyelesaikan perkara-perkara dalam kehidupan yang mereka alami, terutama menyangkut masalah perdata mereka, dan dengan kemiskinan yang menimpanya mereka tidak mampu untuk membayar seorang pengacara untuk sekedar konsultasi ataupun untuk mendampingi.

Dengan melihat realita yang ada maka untuk membantu masyarakat yang tidak mampu dalam mendapatkan keadilannya diddalam hukum Mahkamah Agung membentuk Pos Bantuan Hukum yang tercantum dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 10 tahun 2010 dan sekaligus untuk melengkapi bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu yaitu prodeo dan sidang keliling yang sudah berjalan.

Oleh karena itu untuk memperjelas rumusan di atas, dalam hal ini penulis merumuskan dengan beberpa pertanyaan sebagai berikut:

1. Siapa saja yang berhak mendapatkan jasa bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama?

2. Bagaimana mekanisme pembentukan, pelaksanaan, dan proses mendapatkan jasa bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama?


(17)

3. Bagaimana kedudukan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama ditinjau dari Hukum yang berlaku di Negara Indonesia mengingat dasar hukumnya adalah SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian bantuan Hukum, dan apa tujuan didirikannya?

Dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, diharapkan skripsi ini dapat menjelaskan sesuai dengan judul yang penulis ambil, yaitu Tinjauan Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama (Analisis SEMA NO. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui masyarakat dengan kriteria seperti apa yang boleh mendapatkan layanan bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum yang ada di Lingkungan Peradilan Agama.

b. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan, dan tata cara mendapatkan bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum di lingkungan Peradilan Agama.

c. Untuk mengetahui tujuan dari dirikannya Pos Bantuan Hukum itu sendiri. d. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Pos Bantuan Hukum yang ada

di Lingkungan Peradilan Agama di tinjau hukum yang berlaku di Indonesia


(18)

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:

a. Memberikan penjelasan kepada masyarakat secara tidak langsung akan adanya Pos Bantuan Hukum yang bergerak memberikan jasa bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu di Lingkungan Peradilan Agama. b. Bagi para mahasiswa khususnya dibidang hukum ini memberikan

khazanah keilmuan baru dalam hukum di lingkungan Peradilan Agama c. Bagi para cendikiawan ini juga memberikan khzanah kelimuan baru dalam

memberikan masukan terhadap Pos Pos Bantuan Hukum dengan melihat kelebihan dan kekurangannya terhadap program ini.

D. Kerangka Teori

Banyak para pakar hukum yang mendefinisikan tentang bantuan hukum, Santoso Poedjosoebroto mengungkapkan bahwa bantuan hukum adalah bantuan hukum (baik berupa pemberian nasihat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari pada seseorang yang berpekara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya sehingga ia tidak dapat membayar (honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara.

Crul merumuskan bantuan hukum sebagai “bijstand door deskundigen aan degenen, die hulp behoeven ter realisering van hun rechten, dan wel tot het


(19)

oleh para ahli kepada mereka yang memerlukan perwujudan atau realisasi dari hak-haknya serta untuk memperoleh perlindungan hukum).8

Seorang pengacara terkemuka Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa bantuan hukum disini adalah khusus bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dalam bahasa popular disebut “si miskin”.

Didalam Tri Darma Perguruan Tinggi khususnya dibidang hukum dan kemanusian, bantuan hukum dikaitkan dengan Darma ketiga Perguruan Tinggi yang dilakukan dengan jalan:

a. Memberikan konsultasi hukum serta jasa-jasa lain yang berhubungan dengan hukum.

b. Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat khususnya kepada pencari hukum untuk menjungjung tinggi norma-norma hukum.

c. Memberikan bantuan hukum secara aktif dan langsung secara merata kepada masyarakat khsuusnya kepada pencari hukum.

Dengan melihat bahwa mayoritas pihak berperkara di Pengadilan adalah masyarakat miskin, dan menurut hasil penelitian PEKKA, Masyarakat yang berperkara di PA berpenghasilan rata-rata Rp 200 ribu perbulan. Padahal secara Nasional, rata-rata biaya berperkara di PA adalah Rp 789.260,- atau empat kali lipat dari pendapatan rata-rata.

Sebagaimana yang tertuang didalam UU No 50 tahun 2009 pasal 60 C

8

Soerjono Soekanto, dkk, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) h. 23


(20)

(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap

Kemudian didalam Lampiran B Sema No 10 tahun 2009 mengenai Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama pasal 1 ayat (4) menjelaskan bahwa Bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat. Ayat (5) Bantuan hukum dalam perkara perdata meliputi pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos Bantuan Hukum di pengadilan agama secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu.

Kemudian dalam pasal 17 mengenai Pos Bantuan Hukum dijelaskan bahwa: (1) Jenis jasa hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa

pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan.

(2) Jenis jasa hukum seperti pada ayat (1) di atas dapat diberikan kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon.

(3) Pemberian jasa hukum kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon tidak boleh dilakukan oleh satu orang pemberi bantuan hukum yang sama.


(21)

Sedangkan didalam pasal 18 menerangkan bahwa yang diperbolehkan memberikan jasa hukum dalam Pos Bantuan Hukum pada ayat 1 adalah Advokat, Sarjana Hukum dan Sarjana Syariah, ayat (2) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi, dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

E. Riview Studi Terdahulu

Sebelumnya penulis mendapat kesulitan didalam mendapatkan review tentang bahasan yang sedang penulis bahas didalam skripsi terdahulu, ini dikarenakan program tentang Pos Bantuan Hukum merupakan program baru yang akan terealisasi pada tanggal 1 Maret 2011 nanti.

Oleh karena itu penulis hanya akan mencantumkan artikel-artikel yang sekiranya berkenaan dengan bahasan yang sedang dibahas oleh penulis. Yaitu artikel oleh Drs. H. Suhadak, SH., MH (Ketua Pengadilan Agama Mataram) dengan judul Berperkara Di PA Gratis Kecuali Yang Mampu Sebagai Implementasi Justice For

All”9

Artikel ini hanya berbicara mengenai tentang penjelasan SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai bantuan hukum dalam lingkungan Peradilan Agama yaitu berupa prodeo, sidang keliling dan posbakum (pos bantuan hukum), sedangkan yang dibahas

9

Suhandak, Berperkara Di PA Gratis Kecuali Yang Mampu Sebagai Implementasi Justice For All , artikel diakses pada tanggal 2 Maret 2011 dari www.badilag.net


(22)

oleh penulis adalah tinjauan yuridis SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum khsuusnya Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama,

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk menghasilkan data yang valid adalah sebagai berikut.

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.10

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi analisis, yaitu memberikan deskriftif secara mendalam dengan menggambarkan dan memberikan analisa dari suatu kejadian, dan dalam skripsi ini penulis memberikan analisa sosio yuridis terhadap SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum11

10

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hl. 20

11

Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 36


(23)

2. Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari objek yang diteliti, data ini berupa hasil, wawancara dan analisa penulis terhadap SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum khsuusnya yang berkaitan dengan Pos Bantuan Hukum di lingkungan Peradilan Agama

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadis, buku-buku ilmiah, undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa

a. Wawancara ( Interview ), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12 Dalam hal ini, penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu: Direktur Badilag yang mengurusi Pos Bantuan Hukum, dan Ketua atau wakil Peradilan Agama.

12

Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 ), h. 135


(24)

b. Obeservasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung di Pos bantuan Hukum yang ada di Pengadilan Agama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan c. Dokumentasi yaitu mencari dan melakukan pengumpulan data yang berkaitan

dengan judul yang penulis angkat. d. Analisis

4. Teknik Penulisan

Adapun metode penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta13, dengan beberapa pengecualian:

1. Penulisan ayat Al-Qur‟an tidak perlu dibuatkan catatan kaki, akan tetapi cukup dibuat di akhir kutipan (dalam kurung), nama surat, nomor surat, dan nomor ayat serta dibuatkan terjemahnya. Penulis menggunakan sumber

Al-Qur‟an yang diterbitkan oleh Departemen Agama tahun 2000.

2. Kutipan yang berasal dari buku ejaan yang lama ditulis dengan menggunakan ejaan yang sempurna kecuali nama pengarang.

3. Dalam kepustakaan, Al-Qur‟an dan terjemahnya ditulis pada urutan pertama sebagai tanda penghormatan, sebelum sumber-sumber lainnya.

4. Urutannya berikutnya ditulis berdasarkan alfabetis.

13

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Panduan Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007


(25)

G. Sistematika Penulisan

Di dalam melakukan penyusunan proposal ini penulis memberikan gambaran guna mempermudah pembaca dalam memahami proposal ini, dalam hal ini penulis menyusunnya dalam lima bab. Isi dari proposal ini secara singkat adalah sebagai berikut:

Bab I, berisi mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II,membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan bantuan hukum baik itu ditinjau dari sejarah singkat terhadap adanya bantuan hukum di Indonesia lalu perkembangannya dari masa ke masa lalu sampai saat ini sudah berapa macam bantuan hukum yang diberikan bagi masyarakat khususnya mereka yang tidak mampu dan buta akan hukum serta dalam hal ini bagaimana pandangan ahli hukum terhadap bantuan hukum yang sudah ada yang di berikan khsusnya bagi masyarakat yang buta akan hukum demi terwujudnya justice for all (keadilan bagi semua tanpa pandang bulu) membahas mengenai pengertian SEMA, bagaimana kedudukan SEMA yang dikeluarkan oleh MA, apa yang melatarbelakngi lahirnya SEMA.

Bab III, membahas mengenai pengertian Pos Bantuan Hukum, tujuan dibentuknya POSBAKUM, dasar Hukum yang mendorong terwujudnya POSBAKUM, bagaimana mekanisme pembentukannya serta struktur kepengurusan Pos Bantuan Hukum, dan bagaiman cara seseorang apabila ia ingin mendapatkan


(26)

layanan jasa bantuan, serta bagaiman bentuk pengawasan yang dilakukan noleh Pengadilan Agama dalam mengoptimalkan pelaksanaan POSBAKUM itu sendirii

Bab IV, membahas bagaimana kedudukannya Pos Bantuan Hukum ditinjau dari segi yuridisnya, mengingat dasarnya adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung), dan bagaimana kedudukan SEMA sebagai peraturan yang mengingat institusi Peradilan di Indonesia, dan menganilisis apakah Pos Bantuan Hukum ini sudah sesuai baik dari segi peraturannya, pelaksanaanya, dan kekuatan hukumnya dengan peraturan yang berkaitan dengannya.

Bab V berisi kesimpulan dan saran-saran penulis, penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lain-lain.


(27)

BAB II

BANTUAN HUKUM

A. Pengertian Bantuan Hukum

Persoalan mengenai bantuan hukum dalam artian yang lua yaitu bantuan hukum yang diberikan oleh advokat dan prosecurer dimuka pengadilan, sebenarnya hal seperti ini bukanlah barang baru bagi kita, masalah demikian sebenarnya sudah cukup lama dikaji dalam pembelajaran hukum acara pidana maupun perdata atau dalam hubungannya dengan tugas dan wewenang pengadilan, namun demikian hingga sekarang masalah ini masih tetap menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut baik dalam konteks dengan penegakan hukum mapun hak asasi manusia.

Sedangkan mengenai bantuan hukum sebagai suatu konsep, program dan lembaga yang sekarang ini diperkembangkan oleh Negara kita sebenarnya bukanlah merupkan suatu masalah yang masih baru.

Menurut Adnan Buyung Nasution program bantuan hukum bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta akan hukum adalah hal yang relative baru di Negara berkembang14. Penelitian tentang masaah ini pada saat sekarang masih cukup langka karena pengembangannya lebih banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum.

14

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Negara-negara berkembang( Sebuah Kasus di Indonesia, dalam 5 tahun Lembaga Batuan Hukum, (Jakarta:LBH , 1976) h. 41


(28)

Sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat suatu rumusan yang tepat mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan bantuan hukum itu, secara konvensional dinegara kita sejak dahulu bantuan hukum diartikan sebagai bantuan hukum yang diberikan oleh pembela/pengacara terhadap kliennya baik dalam perkara pidana maupun perdata dimuka persidangan, walaupun istilah ini kurang begitu popular dipergunakan pada masa lampau bagi Negara kita istilah ini baru dipopulerkan sekitar tahun 1964 semenjak dikeluarkannya UU No. 19/1969 yang secara tegas mengatur tentang permasalahan bantuan hukum.

Dalam UUD 1945 tidak dikenal adanya istilah bantuan hukum, akan tetapi dalam konstitusi RIS dan UUD 1950 dapat ditemui dalam perkataan bantuan hukum ini, meskipun demikian mengandung makna yang berbeda dari pada bantuan hukum kita sekarang.

Dalam pasal 7 ayat (4) konstitusi RIS disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan, sedangkan pada pasal 7 ayat (4) UUD 1950 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan yang berkawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya menurut hukum, jadi disini bantuan hukum berarti pertolongan yang diberikan oleh hakim terhadap seseorang yang tertuduh/para pihak dalam suatu perkara yang diadilinya.15

15

Abdurrahman, Aspek-Aspek bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press. 1983) h. 17


(29)

Istilah bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua

istilah yang berbeda yaitu “ Legal Aid” dan Legal Assistance”. Istilah legal Aid

biasanya dipergunakan untuk menunjukan beberap pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa-jasa dibidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam sutau perkara secara cuma-cuma/ gratis khusunya bagi mereka yang tidak mampu sedangkan pengertian legal Asistance dipergunakan untuk menunjukan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, maupun oleh para advokat yang mempergunakan honorarium.

Disamping istilah “Legal Aid dan Legal Assistance” dikenal pula dengan istilah „Legal Service‟ istilah legal service ini kurang tepat jika diterjemahkan dengan

bantuan hukum, akan tetapi akan lebih tepat diartikan dengan pelayanan hukum16

B. Pengertian Bantuan Hukum Menurut Pendapat Ahli Hukum

Menurut Adnan Buyung Nasution bantuan hukum dalam pengertian yang luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum, menuurt Adnan upaya dalam bantun hukum ini mempunyai tiga aspek yang saling berkaitan yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum, aspek pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga agar aturan-aturan itu ditaati dan aspek pendidikan masayarakat agara aturan tersebut dihayati.17

16

Abdurrahman, Masalah Bantuan Hukum di Indonesia, majalah Orientasi No. 3 Th. Ke II (1977)

17


(30)

Menurutnya adalah sangat berbahaya untuk mengandalkan bahwa aturan hukum yang ada sekarang ini sudah sempurna sama sekali dan sudah cukup tangguh untuk melindungi masyarakat yang tidak mampu, terhadap aturan ini perlu dikaji ulang untuk perbaikan maupun penambahan, usaha semacam ini perlu dilakukan secara terus menerus agar aturan hukum dapat mengimbangi dinamika masyarakat.

Aspek kedua tampaknya masih kurang mendapat perhatian dalam kegiatan bantuan hukum, hal ini terjadi terlatarbelakangi oleh faktor kurangnya fasilitas yang dimiliki oleh organisasi bantuan hukum, baik dana maupun tenaga ahli, kegiatan semacam ini membawa konsekuensi organisasi-organisasi bantuan hukum itu melakukan penelitian atau setiudak-tidaknya bekerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian untuk mengetahui keadaan dan kepentingan yang mendesak dari golongan yang tidak mampu ataupun meneliti apakah peraturan hukum yang ada masih perlu dipertahankan, diperbaiki, ditambah atau bahakan diganti sama sekali.

Aspek ketiga besar artian bagi pendidikan masyarakat khususnya untuk membangkitkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak dan kewajibannya.

Dari pemikiran Adnan Buyung diatas dapat menangkap setidak-tidaknya dua hal penting yang berkaitan dengan bantuan hukum dalam pengertian yang luas pertama, ia merupakan suatu gerakan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga akan menyadari hak-hak dan kewajiban mereka sebagai manusia dan sebagai warga negar Republik Indonesia., kedua bantuan juga berarti


(31)

usaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan hukum agar hukum dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan mengikuti perubahan keadaan.18

Pengertian bantuan hukum yang ditetapkan oleh Lokakarya bantuan Hukum Tingkat Nasional 1978 yang menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan hukum dan diberiakan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik secara perorangan maupun kelompok masyarakat yang tidak mampu secara kolektif. Lingkup kegiatannya meliputi pembelaan perwakilan baik diluar maupun didalam pengadilan.

Pada tahun 1976 Simposium Badan Kontak Profesi Hukum Lampung juga merumuskan pengertian bantuan hukum, sebagai pemberian bantuan kepada pencari keadilan yang tidak mampu yang sedang menghadapi kesulitan dibidang hukum diluar maupun dimuka pengadilan.

Pengertian yang agak luas tentang bantuan hukum ini pernah juga disampaikan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) “ pendidikan klinis sebenarnya tidak hany terbatas untuk jurusan pidana maupun perdata untuk akhirnya tampil dimuka pengadilan, tetapi juga untuk jurusan-jurusan lain seperti Jurusan Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Pemerintahan, Hukum Internasional dan lain-lain, yang memungkinkan pemberinan bantuan hukum dluar pengadilan misalnya dalam soal-soal perumahan di kantor urusan perumahan (KUP), atau imigrasi atau departemen kehakiman, bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut urusan Internasional di Departemen Luar Negri bahkan memberikan

18


(32)

bimbingan dan penyuluhan dibidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebagainya.19

Sementara pengertian bantuan bantuan hukum oleh jaksa Agung RI menyatakan bawa bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang penasehat hukum sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaaan pendahuluan atau proses perkaranya dimuka pengadilan. 20

Seminar Pembinaan profesi hukum berpendapat bahwa pengertian bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum diluar pengadilan. Pemberian bantuan hukum didalam pengadilan menimbulakan masalah verpilichte procururstelling yang berarti hak dan kewajiban mendaptkan bantuan hukum. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut dilayani sebagai berikut:

1. Mewajibkan oengadilan untuk menunjukan secara langsung atau melalui organisasi profesi advokat untuk mendampingi/mewakili setiap orang yang berurusan di muka pengadilan.

2. mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum untuk memberikan bantuan hukum tersebut diatas.

Menurut Clerence J Dias. Menyatakan bahwa bantuan hukum “legal aid refers to the provision of the service of the legal profession to eneure that

19

Soeerjono Sekanto, Bantuan Hukum: Suatu tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia, 1983) h. 22

20Ibid


(33)

nonindividual is deprived of the right to recive legal advice or…legal representation

before courts… for lack of financial resources.”

Dapatlah dikatakan disini bahwa yang dimaksud dengan bantuan hukum disini adalah segala bentuk pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak didalam masyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak seorangpun didalam masyarakat yang akan terampas haknya untuk memeroleh nasehat-nasehat hukum yang diperlukan (atau kalau perlu juga untuk memperoleh wakil kuasa yang akan membela kepentingannya dimuka pengadilan ) oleh karena sebab tidak dimilikinya sumber daya finansial yang cukup.21

Meskipun perumusan tentang bantuan hukum yang teelah dikemukakan diatas sifatnya beraneka ragam namun dari kesemuannya itu terdapat beberapa kesamaan prinsip yang secara keseluruhan dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Bantuan hukum adalah merupakan suatu hak jadi bantuan hukum merupakan sesuatu yang dituntut oleh setiap subjek hukum bilamana ia memerlukannya dan pemenuhannya itu merupakan suatu kewajiban

2. Bantuan hukum adalah merupakan suatu pekerjaan yang bersifat professional yang berarti untuk melkukan pekerjaan yang dimaksud diperlukan suatu pendidikan khusus dan keahlian khusus, keahlian yang demikian adalah berupa keterampilan untuk mempergunakan dan menerapakan suatu ketentuan hukum in abstrakto kedalam kasus-kasus tertentu.

21

Bambang Sunggono dan Aries Harrianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Jember: Mandar Maju, 1994) h. 10


(34)

3. Bantuan hukum merupakan sutau pekerjaan pemberian jasa kepada orang yang memerlukannya, jasa tersebut dapat berupa pemikiran atau perbuatan tertentu berupa bantuan dalam mempertahankan hak, memenuhi kewajiban hukum tertentu.

4. Bantuan hukum diberikan untuk semua aspek kehidupan, karena hukum mengatur manusia sejak ia lahir samapi ia meninggal dunia maka bantuan itupun harus diberikan mencangkup seluruh aspek kehidupan tersebut. Pemberian jasa ini dapat dilakukan dalam membantu pembuatan kontrak-kontrak samapi memepertahankan dimuka pengadilan, pemikirn apa yang dilakukan dalam lalu lintas hukum dan sebagainya sehingga sifatnya menjadi sangat luas sekali.

C. Sejarah Singkat Bantuan Hukum di Indonesia

Bantuan Hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak zaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan dianggap sebagai pekerjaan yang mulia khsusnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium.22

Setelah meletusnya Revolusi Prancis yang momumental itu, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridik, dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi masyarakat untuk

22

Abdurrahman, Aspek-Aspek bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press. 1983) h. 30


(35)

mempertahankan kepentingannya dimuka pengadilan, dan hingga awal abad ke 20 kiranya bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa dibidang hukum tanpa suatu imbalan.

Bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tampaknya merupakan hal yang dapat dikatakan relatif baru dinegara-negara berkembang, demikian juga di Indonesia. Bantuan Hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum), semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional, dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia.23

Namun demikian, bantuan hukum sebagai kegiatan pelayanan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan buta hukum dalam decade terakhir ini tampak menunjukan perkembangan yang amat pesat di Indonesia, apalagi sejak PELITA ke III Pemerintah mencanangkan program bantuan hukum sebagai jalur untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan di bidang hukum.

Dalam tulisannya, Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa bantuan hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya.

Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1, perundang-undangan baru dinegeri Belanda tersebut juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan Kehakiman dan

23


(36)

Kebijaksanaan Pengadilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justice) atau lazim disingkat RO.

Mengingat baru dalam peraturan hukum itulah diatur untuk pertama kalinya

“Lembaga Advokat” maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia pada tahun-tahun itu, dan hal itu pun baru terbatas bagi orang-orang Eropa saja di dalam peradilan (Raad van Justice). Sementara itu advokat pertama bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Mertokoesoemo yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang sekitar tahun 1923.24

Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum ini diatur dalam pasal 250 ayat 5 dan 6 HIR/Hukum Acara Pidana Lama (Het Herziene Indoneisiche Reglemen) dengan cangkupan yang terbatas artinya pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda dari pada bangsa Indonesia yang waktu itu lebih popular disebut inladers, disamping itu daya laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup.

Pada masa penjajahan Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari kondisi bantuan hukum yang ada, sekalipun peraturan hukum tentang bantuan hukum yang berlaku pada masa Belanda seperi RO masih tetap diberlakukan, akan tetapi situasi dan kondisi waktu itu tampaknya tidak memungkinkan untuk mengembangkan dan memajukan program bantuan hukum di Indonesia.

24

Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986) h. 7-8


(37)

Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, karena seluruh bangsa sedang mengkosentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa, demikian pula pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.

Dalam periode berikutnya sekitar pada tahun 1950-1959an terjadi perubahan sistem peradilan di Indonesia dengan dihapuskannya secara perlahan-lahan pluralisme dibidang peradilan, hingga ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, demikian pula telah diberlakukan satu hukum acara yaitu HIR.

Pada periode sesudahnya yaitu pada masa kekuasaan Orde Lama (Soekarno) hingga pada tahun 1965, dapat dikatakan bahwa dalam periode ini merupakan saat-saat yang rawan bagi proses penegakan hukum dinegara kita.

Tampilnya babagan Demokrasi Terpimpin dalam pentas politik nasional antara lain tidak terlepas dari munculnya dominasi peran yang dimainan Presiden Soekarno, bantuan hukum (dan juga profesi kepengacaraan) mengalami kemorosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi Negara hukum.

Pada masa itu, hukum tak lebih merupakan „alat revolusi‟ sementara peradilan

tidak lagi bebas karena terlalu banyak dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh tangan eksekutif, yang mencapai puncaknya dengan diundangkannya UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, dimana menurut pasal 19 tersebut telah memberi wewenang kepada Presiden untuk dalam bebrapa hal


(38)

dapat turun atau campur tangan dalam masalah pengadilan, dengan jatuhnya wibawa pengadilan maka tidak aneh kalau harapan dan kepercayaan orang kepada bantuan hukumpun hilang.

Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat munculnya masa Orde Baru (masa pemerintahan Soeharto) dimana puncaknya ditandai dengan digantinya UU No. 19 tahun1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 14 tahun 1970 yang kembali menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan peradilan.

Pada tahun 1953 didirikan biro hukum „Tjandra Naya‟ yang dipimpin oleh

Prof. Ting Swan Tiong, biro hukum ini lebih mengutamakan konsultasi hukum khusus bagi orang Cina, kemudian pada tahun 1963 bertempatan pada tanggal 2 Mei didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya dan pada tahun 1968 berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH)

Di luar kelembagaan bantuan hukum difakultas-fakultas hukum, lembaga bantuan hukum yang melakukan aktifitasnya dengan lingkup yang lebih luas dimulai sejak didirikannya lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1970 dibawah pimpinan Adnan Buyung Nasution.

Pada masa Orde Baru ini masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat, satu contoh yang dapat dikemukakan pada tahun 1979 saja tidak kurang


(39)

dari 57 lembaga bantuan hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum.

Dimasa reformasi Sampai sekarang bantuan hukum mengalami peningkatan yang signifikan bahkan Negara pun secara langsung mendukung dan memfasilitasi kepada para pencari keadilan khususnya mereka yang tidak mampu demi mewujudkan keadilan yang merata melalui institusi pengadilan tertinggi Negara yaitu

Mahkamah Agung sesuai dengan pasal 28 D (1) UUD 1945 “setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Jaminan Negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan, seperti ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 pasal 56 dan 57, Undang-Undang-Undang-Undang 49 tahun 2009 pasal 68 B dan 69 C, Undang No. 50 Tahun 2009 pasal 60 B dan 60 C, Undang-Undang 51 pasal Tahun 2009 pasal 144 C dan 144 D, PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dan SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum yang mana keseluruhan peraturan-peraturan tersebut mengatur tentang hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara.


(40)

D. Jenis- Jenis Bantuan Hukum

Adapun jenis-jenis bantuan hukum yang difasilitasi oleh Negara, dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai Pengawas sekaligus Penyusun dalam membentuk Pedoman Bantuan Hukum sebagaimana yang tertuang didalam SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman Bantuan Hukum bagi Pengadilan Umum, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha, yang dikhusukan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomis dalam mencari keadilan itu terbagi menjadi dua bagian

1. Bantuan hukum di lingkungan Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara, bantuan hukum yang diberikan dalam Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah berupa dibentuknya Pos Bantuan Hukum yang memberikan layanan bantuan hukum oleh Advokat Piket, berupa untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat.25

2. Bantuan hukum di lingkungan Peradilan Agama, dalam hal ini ada tiga bentuk bantuan hukum yang diberikan oleh Pengadilan Agama yaitu:

a. Prodeo adalah proses berperkara di Pengadilan secara cuma-Cuma dengan dibiayai oleh Negara melalui DIPA Pengadilan

25

Lihat pasal 1 ayat (3) Lampiran A, SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.


(41)

b. Sidang Keliling adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap (berkala) atau sewaktu-waktu oleh pengadilan disuatu tempat yang ada didalam wilayah hukumnya tetapi diluar tempat kedudukan pengadilan

c. Pos Bantuan Hukum adalah memberikan layanan bantuan hukum oleh Advokat Piket berupa pemberian informasi tentang bagaimana mendapatkan layanan jasa bantuan hukum, konsultasi, advis, dan pembuatan surat gugatan/permohonan dan khusus di Mahkamah

Syar‟iyah disediakan Advokat pendamping secara cuma-cuma untuk membela kepentingan tersangka/terdakwa dalam hal Terdakwa tidak mampu membiayai sendiri Penasehat Hukumnya.26

26

Lihat pasal 17 ayat (3) dan pasal 25 ayat (1) Lampiran B, SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.


(42)

BAB III

POS BANTUAN HUKUM

DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

A. Pengertian Pos Bantuan Hukum

Seperti yang telah dijelaskan dibab sebelumnya bahwa Negara Indonesia memberikan perhatian yang besar terhadap keadilan bagi masyarakat yang termajinalkan, tidak mampu dan kaum perempuan, dengan memberikan jasa bantuan hukum secara cuma-cuma.

Mahkamah Agung sebagai institusi Peradilan tertinggi di Indonesia membuat SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Prosedur Pemberian Bantuan Hukum yang merupakan implikasi dari peraturan perundang-undang yang memerintahkan kewajiban Negara dalam memberikan jaminan keadilan kepada seluruh masyarakat tanpa pandang bulu, dan khusus bagi masyarakat yang tidak mampu diberikan jasa bantuan hukum secara cuma-cuma, seperti yang dijelaskan dalam pasal 60 B ayat (1) dan (2) UU No. 50 tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU No. 7 tahun 1989 yaitu:

1. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum 2. Negara menanggung biaya perkara bagi para pencari keadilan yang tidak

mampu.

Salah satu jenis bantuan hukum yang berikan oleh Negara adalah dibentuknya Pos Bantuan Hukum di setiap instasnsi peradilan di Indonesia, Pos Bantuan Hukum (Posbakum) adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan baik


(43)

Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum baik kepada Pemohon/Termohon, Penggugat dan Tergugat.

Pada tahun 2011, Peradilan Agama memperoleh anggaran untuk Posbakum sebesar Rp. 4.182.500.000. Anggaran tersebut dialokasikan untuk 46 Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar‟iyah seluruh Indonesia sebagai proyek percontohan (pilot project).27

Dengan anggaran tersebut, 46 pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah

ditargetkan dapat memberikan 11.553 jumlah layanan kepada orang-orang yang tidak mampu. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang, tentunya seiring dengan ditingkatkannya anggaran untuk Pos Bantuan Hukum, semakin banyak jumlah

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah di Indonesia yang mendirikan Posbakum

sehingga semakin banyak jumlah masyarakat miskin yang terbantu dalam mengakses pengadilan.

Perlu diketahui Bagi Pengadilan Negeri anggaran bantuan hukum yang diberikan Negara kepada masyarakat yang tidak mampu adalah sesuai dengan SEMA No. 10 tahun 2010 Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Pengadilan Umum pasal 1 ayat (1) Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum di lingkungan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum,

27

Wahyu Widana, Access to Justice for the Poor; the Badilag Experience, artikel diakses pada tanggal 19 mei 2011 dari www.badilag.net


(44)

Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap.

(Zitting Plaatz).28

Sedangkan di Pengadilan Agama anggaran bantuan hukum diberikan oleh Negara kepada masyarakat yang tidak mampu adalah sesuai dengan SEMA No. 10 tahun 2010 Lampiran B tentang Pedoman Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama pasal 1 ayat (4), (5) dan (6) adalah:

(4) Bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat.

(5) Bantuan hukum dalam perkara perdata meliputi pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos Bantuan Hukum di pengadilan agama secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu. (6) Bantuan hukum dalam perkara jinayat melalui penyediaan Pos Bantuan

Hukum dan Advokat Pendamping di Mahkamah Syar‟iyah secara cuma -cuma bagi masyarakat yang tidak mampu.

Seperti yang sudah diketahui bahwa dalam kenyataanya jenis bantuan hukum Prodeo dan Sidang Keliling itu sudah berjalan sebagaimana mestinya sejak tahun 2010 silam sedangkan Pos Bantuan Hukum baru terealisai pada tahun 2011 dan teralisasi diseluruh Indonesia pada tanggal 1 maret 2011, akan tetapi dalam

28

Lihat Lampiran A. SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman bantuan Hukum Pengadilan Negeri


(45)

pelaksanakanan Pos Bantuan Hukum itu sendiri diinstansi peradilan khususnya Peradilan Agama seperti Pengadilan Agama Jakarta Selatan itu baru diresmikan pada tanggal 15 Maret 2011, Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 29 Maret, Pengadilan Agana Jakarta Barat pada tanggal 22 Maret 2011, Pengadilan Agama Tigaraksa pada tanggal 11 Maret29, Pengadilan Agama Sleman pada tanggal 28 Maret, ini semua dikarenakan bayak proses yang harus dilewati agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan.

Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan misalnya, mereka baru bisa melaksanakan program Pos Bantuan Hukum ini pada tanggal 15 Maret 2011 karena harus melewati proses terlebih dahulu, seperti tanggal 1 Maret 2011 menunggu hasil juklak dari Ketua Muda Urusan Peradilan Agama dan Sekretaris MA, tanggal 11 Maret mengadakan Launching dan sosialiasi kepada masyarakat serta mengadakan proses rekrutmen/seleksi untuk menduduki Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, tanggal 14 Maret 2011 membuat kesepakartan MoU antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan LBH yang telah terpilih, dan tanggal 15 Maret 2011 baru pelaksanaan Pos Bantuan Hukum itu sendiri.30

29

Peremian Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama, diakses dari

www.badilag.net tanggal 21 Mei 2011

30

Hasil Wawancara dengan PANSEK Pengadilan Agama Jakarta Seltan pada tanggal 26 April 2011


(46)

B. Tujuan Dirikannya Pos Bantuan Hukum

Tujuan didirikannya Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama sebenarnya tidak lepas dari perhatian Pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung dalam memberikan keadilan yang merata (justice for all) kepada seluruh rakyat Indonesia.

Melihat masih banyak masyarakat yang tidak mampu atau awam hukum dalam mengajukannya perkaranya ke pengadilan sering kali dihadapkan pada aturan dan bahasa hukum yang kadang terkesan kaku dan procedural, baik dalam tahapan ligitasi maupun non ligitasi semuanya harus dilakuakan sesuai dengan aturan hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak pengadilan padahal bisa jadi karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum.

Menjawab permasalahan seperti itu, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum, dan didalam SEMA tersebut dalam Lampiran A Mengenai Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Di Lingkungan Pengadilan Agama pasal 2 menyatakan bahwa:

Bantuan Hukum bertujuan untuk:

a. Membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomis dalam proses hukum di Pengadilan;

b. Meningkatkan akses terhadap keadilan

c. Meningkatkan kesadaran dan Pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajiban;


(47)

d. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.

Dengan berdirinya Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama, ini membatu kepada mereka yang membutuhkan jasa hukum seperti dalam memberikan informasi, konsultasi, advis, dan pembuatan surat gugatan. Sehingga dengan adanya Pos Bantuan Hukum ini, bisa memberikan akses keadilan bagi mereka yang tidak mampu

“miskin” dan mereka yang tidak mampu dalam membayar jasa advokat.

C. Dasar Hukum Pos Bantuan Hukum

POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum) merupakan bentuk realisasi dari peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, yang menjadi dasar hukumnya adalah:

a. Pasal 28 D (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan secara tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan hukum yang sama dihadapan hukum. b. Pasal 56 dan 57 Undang-Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang menyatakan bahwa: Pasal 56

(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (2) Negara menanggung biaya perkara bagi para pencari keadilan yang tidak


(48)

Pasal 57

(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara

cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan. c. Pasal 60 B dan 60 C Undang-Undang No. 50 tahun 2009 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. (2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak

mampu.

(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan.

Pasal 60 C

(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.


(49)

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Inpres No. 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan, yang

memberikan penekanan pada pentingnya „keadilan bagi semua‟ dalam

mencapai tujuan-tujuan penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang lebih luas, termasuk Tujuan Pembangunan Milenium. Salah satu program yang tercantum dalam Inpres tersebut bertujuan meningkatkan akses hukum untuk perkara-perkara hukum keluarga bagi perempuan miskin dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya.

Dalam Inpres No. 3/2010 tersebut Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM untuk berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dalam menjalankan program Justice for All, terutama dalam pelaksanaan sidang keliling dan fasilitas perkara prodeo.

e. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, dalam SEMA ini Mahkamah Agung mengatur tentang hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan Negara menanggung biaya perkara bagi mereka yang tidak mampu serta pembentukan Pos Bantuan Hukum pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.


(50)

D. Tata Cara dan Syarat Pembentukan Pos Bantuan Hukum Di Lingkungan Peradilan Agama.

Tata-tata cara pembentukan Pos Bantuan Hukum Di Lingkungan Peradilan Agama sebagaimana yang diatur dalam Juklak SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran B, bahwa dalam membentuk Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama, Pengadilan Agama harus sekurang-kurangnya mempersiapkan sarana dan prasarana meliputi, sekurang-sekurang-kurangnya terdiri dari meja, kursi, filling kabinet, komputer.31

Kemudian dalam pembentukannya, harus berdasarkan pada Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setelah sarana dan prasarana serta surat dari Ketua Pengadilan Agama sudah terpenuhi, maka Pengadilan melakukan rekrutmen unduk menduduki posisi di Pos Bantuan Hukum sebagai jasa pemberi hukum kepada para klien nantinya.

Dalam hal ini yang berhak sebagai jasa pemberi hukum sebagaimana yang ditaur dalam SEMA No. 10 tahun 2010 adalah:

1. Advokat

2. Sarjana Hukum, yang menguasai Hukum Islam, dan 3. Sarjana Syariah

31

Lihat pasal 7 JUKLAK SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman Lampirab B Pengadilan Agama


(51)

Dengan ketentuan bahwa si pemberi jasa sebagaimana di atas berasal dari organisasi bantuan hukum dari Asosiasi Profesi Advokat, organisasi bantuan hukum dari Perguruan Tinggi, dan organisasi bantuan hukum dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, mereka juga harus lulus syarat Administrasi, seperti:

1) Syarat-syarat administratif Lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum dari organisasi bantuan hukum dari organisasi profesi advokat adalah:

a. Terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM b. Memiliki kantor dengan alamat yang jelas c. Memiliki struktur kepengurusan yang jelas

d. Berkedudukan di wilayah hukum Pengadilan Agama yang bersangkutan

2) Syarat-syarat lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum dari organisasi bantuan hukum Perguruan Tinggi:

a. Memiliki izin pendirian lembaga bantuan hukum b. Memiliki kantor dengan alamat yang jelas

c. Memiliki struktur kepengurusan yang jelas

d. Berkedudukan di wilayah hukum Pengadilan Agama yang bersangkutan

3) Syarat-syarat lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum dari organisasi bantuan hukum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (pengertian LSM adalah termasuk ormas/masuk dalam pengertian umum) adalah:


(52)

a. Terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM b. Memiliki kantor dengan alamat yang jelas c. Memiliki struktur kepengurusan yang jelas

d. Berkedudukan di wilayah hukum Pengadilan Agama yang bersangkutan

Apabila pemberi jasa bantuan hukum yang akan menduduki Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama sudah sesuai dengan syarat-syarat yang harus harus dipenuhi baik itu bersifat teknis, maupun administrasi, maka Pengadilan dalam hal ini adalah Ketua Pengadilan membuat kontrak kerjasama (MoU) dengan Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Advokat yang lolos seleksi untuk menduduki sebagai advokat piket di Pos Bantuan Hukum dLingkungan Pengadilan sesuai dengan wilayah yuridiksinya.32

Sebagai contoh Pengadilan Agama Jakarta Selatan melakukan kontrak kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum Mandiri dan Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Syariah.

Adapun isi dari MoU kerjasama antara Ketua Pengadilan setempat dengan Lembaga Bantuan Hukum tersebut sekurang-kurangnya terdiri atas:

1. Jenis jasa yang diberikan

2. Jumlah jam layanan dalam pos bakum 3. Prosedur pemberian jasa

4. Jadwal pemberian jasa

32


(53)

5. Sistem pembayaran imbalan jasa

6. Sistem pengawasan dan evaluasi pemberian jasa 7. Sistem pertanggung jawaban keuangan

8. Berakhirnya MoU

Begitu pula kepada Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengadilan Agama/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengambil keputusan dan atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban belanja negara, dalam isi kontraknya (MoU) sekurang-kurangnya terdiri atas:

1. Para Pihak 2. Pokok Pekerjaan 3. Nilai Pekerjaan

4. Jangka Waktu Pelaksanaan 5. Hak dan Kewajiban para pihak

Perlu diketahui pula bahwa dalam isi MoU antara Kepala Pengadilan dengan Organisasasi/Lembaga Bantuan Hukum yang terpilih, Badilag (Badan Peradilan Agama) sama sekali tidak ikut campur, Badilag dalam hal ini hanya mengatur mengenai Dana Anggaran Pos Bantuan Hukum yang merupakan berasal dari DIPA dan membuat aturan-aturan yang harus dipenuhi sebagaimana yang tercantum dalam Juklak SEMA No. 10 tahun 2010 khusus mengenai Lampiran B (Peradilan Agama)

Sebagai contoh Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk tahun 2011 ini mendapatkan dana dari Anggaran DIPA sebesar 160 juta, dan dalam jangka waktu 1


(54)

tahun ini target layanan yang harus diberikan Pengadilan Agama adalah 2600 layanan dengan 1600 jam layanan.33.

E. Struktur Kepengurusan Pos Bantuan Hukum

Secara singkat sturuktur Kepengurusan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) harus meliputi, Dewan Pengawas, Ketua, Sekretaris, Bendahara, Bidang, Litigasi, dan Non Litigasi

Sebagai contoh, Badan Kepengurusan POSBAKUM di PA Tigaraksa34

33

Hasil Wawancara dengan Pansek Pengadilan Agama Jakarta Selatan

34

Peresmian POSBAKUM di PA Tigaraksa, diakses pada tanggal 28 Mei 2011 dari www.pa-tigaraksa.net

Bid. Non Litigasi

Ketua: Syahrudin, SH. Anggota: Walim, SH.

Achmad Bustomi, SH. Suwanto, SH.

Bid. Litigasi

Ketua: Ariyanto, SH. Anggota: H. Suherman, SH

Sugiarto, SH. Dendi Hersal, SH Tarya, SH

Bendahara

Susilo Wardoyo, SH

Sekretaris

Deddy Suryadi, SH. MH

Ketua

Sumardi, SH. MH

Dewan Pengawas


(55)

F. Mekanisme Pemberian Jasa Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama

Pemberian jasa bantuan hukum yang diberikan melalui Pos Bantuan Hukum hanya diperuntukan bagi mereka yang sesuai dengan syarat formil yang tercantum dalam lampiran B SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama, seperti merekaa yang secara ekonomi tidak mampu

„miskin‟ dan mereka yang tidak mampu membayar jasa Advokat terutama perempuan

dan anak-anak serta penyandang distabilitas, sesuai dengan peraturan perundang-undang berlaku.

Adapun Prosedur yang harus dilewati untuk mendapatkan layanan Pos bantuan Hukum adalah sebagai berikut:

1. Bagi mereka yang termasuk orang yang tidak mampu „miskin‟ pertama-tama ia harus mendatangi Bagian Informasi (Information Base) untuk mengisi formulir yang telah disediakan, dengan menyertakan Surat Keterangan Tidak

Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala

Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong atau Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT)

2. Bagi mereka yang yang termasuk kedalam kategori tidak mampu membayar jasa advokat, mereka harus menyertakan Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama.


(56)

3. Setelah mereka mengisi formulir dengan menyertakan surat-surat tersebut, tanpa menunggu waktu yang lama, maka mereka langsung diberikan layanan jasa bantuan hukum sesuai yang telah ditentukan.

4. Bagi mereka yang membutuhkan jasa pembutan surat gugatan/permohonan, petugas piket (advokat piket) membuatkan secara utuh yang kemudian diteruskan ke meja I,

5. Untuk jasa layanan berupa Advokasi seperti pembuatan jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan, petuga Pos bantuan hukum akan langsung meneruskannya ke Majlis Hakim

6. Apabila kedua belah pihak (penggugat dan tergugat/ pemohon dan termohon) sama-sama mengajukan permohonan bantuan hukum, maka tidak dibenarkan bantuan dimaksud dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang sama.


(57)

G. Mekanisme Pengawasan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama

Agar pelaksanaan Pos bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama berjalan sesuai dengan apa yang tercantum dalam SEMA No. 10 Tahun 2010, maka dalam hal perlu ada pengawasan secara intensif terhadap program Pos Bantuan

Para Pihak

Penggugat/Tergugat Pemohon/Termohon

oleh Kepala Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong yang dipersamakan (Gakin/AskekinKKM/Jamkeskas/PHK/BLT) dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT)

2. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama

Majlis Hakim Persidangan Jenis Layanan

1. Konsultasi 2. Pembuatan surat

gugatan/permohonan

Meja I Pendaftaran

Jenis Layanan

Advokasi

1. Pembuatan Jawaban 2. Pembuatan Replik 3. Pembuatan Duplik 4. Pembuatan Kesimpulan


(58)

Hukum ini sehingga dalam perjalananya nanti Pos Bantuan Hukum ini berjalan dengan optimal dan terpadu..

Adapun bentuk pengawasan yang dilakukan adalah;

1. Pengawasan Pos Bantuan Hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan bersama-sama dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum.

2. Ketua Pengadilan Agama bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum.

3. Panitera Pengadilan Agama membuat buku registrasi khusus untuk mengontrol pelaksanaan pemberian bantuan hukum.

4. Pemberi bantuan hukum wajib memberikan laporan tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama tentang telah diberikannya bantuan hukum dengan melampirkan bukti-bukti sebagai berikut:

a. Formulir permohonan dan foto kopi Surat Keterangan Tidak Mampu atau Surat Keterangan Tunjanngan Sosial lainnya, jika ada; dan

b. Pernyataan telah diberikannya bantuan hukum yang ditandatangani oleh pihak pemberi dan penerima bantuan hukum.

5. Kuasa Pengguna Anggaran menyimpan seluruh bukti pengeluaran anggaran sesuai ketentuan.

6. Bendahara pengeluaran melakukan pembukuan setiap transaksi keuangan untuk penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum sesuai ketentuan.

7. Panitera/Sekretaris melaporkan pelaksanaan pos bantuan hukum melalui SMS Gateway dan laporan lainnya sesuai ketentuan.


(59)

8. Badilag (Badan Peradilan Agama) memonitirong secara langsung setiap 3 bulan sekali untuk membahas permasalahan dan perkembangan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama


(60)

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS POS BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

A. SEMA Sebagai Landasan Yuridis Pedoman Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama

Jika kita lihat dari segi yuridiksinya, landasan yuridis Pedoman Pelaksanaan Pos Bantuan Hukum bagi Lingkungan Pengadilan Agama adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 10 tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Mahkamah Agung sebagai Institusi Peradilan tertinggi di Indonesia, berwenang membuat suatu peraturan yang bersifat kebijakan yang isinya mengatur mengenai petunjuk, pedoman, ataupun peringatan dan ia mengikat kepada seluruh isntitusi peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, dan peraturan ini disebut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung.

Dari segi historisnya, sejak tahun 1951-2010 Mahkamah Agung telah mengeluarkan atau menerbitkan SEMA sebanyak 340 dengan rata-rata pertahunnya menerbitkan 5-6 SEMA.35 SEMA pertama kali yang diterbitkan adalah SEMA No. 1 tahun 1951 tanggal 20 Januari 1951 Perihal: Tunggakan Perkara Pada Pengadilan Negeri yang berisi Teguran dan Perintah:

35

Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung dan Pemeriksaan kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika) h. 174


(61)

 Menegur Pengadilan Negeri dan para Hakim diseluruh Indonesia tentang achterstand, yakni tunggakan perkara karena sedikit yang diselesaikan :

 Sehubungan dengan itu, MA memerintahkan dan menuntut supaya setiap Hakim pada Pengadilan Negeri menyelesaikan dan memutus perkara sekurang-kurangnya 60 perkara pidana kejahatan (misdrijven) dalam tiap-tiap bulan.

Kewenangan MA dalam menerbitkan SEMA itu tercantum dalam pasal 131 Undang-Undang N0. 30 tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung Indonesia “ Jika dalam jalan Pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan secara langsung bagaimana soal itu harus

dibicarakan”

Bertitik tolak dari ketentuan pasal diatas, eksistensi SEMA sejak tahun 1950 memiliki landasan (legality) secara konstitusional sehingga isi maupun petunjuk yang digariskan didalamnnya mengikat untuk ditaati dan diterapkan oleh Hakim dan Pengadilan.

Pada saat sekarang, landasan hukum kekuasaan dan kewenangan MA menerbitkan SEMA diatur dalam pasal 32 ayat (4) UU MA yang berbunyi Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran , atau peringatan yang


(62)

Ketentuan ini secara substansial pada prinsipnya sama dengan yang terkadung pada pasal 131 UU No. 3 tahun 1950:36

1. Memberi kekuasaan dan kewenangan kepada MA untuk mengeluarkan dan menerbitkan SEMA

2. Isi yang dituangkan didalamnya dapat berisi petunjuk, teguran atau peringatan maupun perintah

3. Bisa berlaku umum untuk semua Lingkungan Peradilan, tetapi boleh juga diterbitkan SEMA yang hanya berlaku kepada satu Lingkungan Peradilan tertentu.

Dengan demikian secara berkesinambungan sejak tahun 1950 sampai sekarang keberadaan SEMA ditopang oleh ketentuan undang-undang yang semula oleh pasal 131 UU No. 30 tahun 1950 sekarang oleh pasal 32 ayat (4) UU MA.

B. Kekuatan Hukum SEMA di Negara Republik Indonesia

Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam pasal 7 ayat (4) UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwasanya: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Dalam penejelasannya diterangkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang -undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh

36Ibid.


(1)

Jawab : Untuk saat ini baru ada 46 Pengadilan Agama diseluruh Indonesia yang menyediakan Pos Bantuan hukum, dan ke-46 pengadilan Agama tersebut merupakan proyek percontohan Pos Bantuan Hukum, ke -46 Pengadilan Agama tersebut dipilih berdasarkan dari banyaknya perkara yang masuk dan letak geografisnya,

Tanya : Apakah pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma yang direalisasikan oleh Mahkamah Agung dalam Program Pos Bantuan Hukum ini sudah ada sampai pada tingkat kasasi, sesuai dengan pasal 60 C ayat (2) UU No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua UU no. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama?

Jawab : untuk saat ini belum ada sampai ditingkat kasasi, baru ada hanya pada tingkat pertama saja, ini dikarenakan program Pos Bantuan Hukum ini masih baru jadi butuh proses untuk samapi kesana, meskipun demikian Pos Bantuan Hukum untuk kedepannya nanti Insya Allah sudah ada di Tingkat Banding dan Kasasi.

Tanya: Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Badilag terhadap program Pos Bantuan hukum ini?

Jawab: kami dari Badilag hanya memonitoring saja, setipa 3 bulan sekali sedangkan pengawasannya secara langsung itu dilakukan di masing-masing Pengadilan Agama yang menyediakan Pos Bantuan Hukum tersebut.

Tanya: Mengenai bentuk kerjasama antara Pengadilan Agama dengan Organisasi Advokat dalam program Pos Bantuan Hukum yang tercantum dalam sebuah MoU, apakah Badilag dalam hal ininikut serta/terlibat dalam perjanjian tersebut atau tidak?

Jawab: Badilag dalam hal ini tidak terlibat sama sekali/tidak ikut campur tangtan dalam perumusan MoU anatara Pengadilan dengan Organisasi Advokat yang bersangkutan, Badilag hanya memberikan Dana dan aturan-aturan sebagaimana yang tercantum dalam Juklak mengenai Pos Bantuan Hukum., yang menjadi maslahnya adalah dari segi anggaran, mereka para advokat Pos Bantuan Hukum ingin dibayar secara person, padahal hal ini tidak diperkenankan, pembayaran dari anggaran itu diberikan oleh lembaga/organiasai dimana Advokat itu berada.

Tanya: Menurut Ibu, apakah peraturan SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman Pemberian Bantuan Hukum ini sudah sempurna, atau masih perlu ada perbaikan? Jawab: menurut saya masih perlu ada perbaikan khususnya yang berkaitan dengan teknis,


(2)

sempurna, yang menurut saya kurang adalah dalam permasalahan prodeo, prodeo yang tercantum dalam SEMA No. 10 tahun 2010 ini masih ada yang kurang, seharusnnya prodeo ini harus dalam bentuk prodeo murni baik dalam anggrannya maupun teknisnya. Dan perlu diingat juga bahwa, kedepannya mungkin sudah ada UU mengenai Bantuan Hukum, karena RUU mengenai Bantuan Hukum ini sedang digarap di DPR, dan apabila RUU ini sudah jadi maka Bantuan Hukum ini bukan lagi oleh MA baik aturannya, dan administrasinya, melaikan akan alihkan kepada Kementrian Hukum dan Ham, mungkin Mahkamah Agung dalam hal ini Badilag hanya bertugas sebagai pengawasan saja, atau memonitoring. Kepada pengadilan-Pengadilan Agama agar berjalan sesuia dengan aturan yang ada.

Informan,


(3)

HASIL WAWANCARA MENGENAI POS BANTUAN HUKUM DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

Identitas Informan

Nama : Drs. Ach Jufri, SH Jabatan : Panitera/ Sekretaris

Alamat Kantor : Jl. Harsono RM No. 1Ragunan Pasar Minggu Jakarta Selatan (Pengadilan Agama Jakarta Selatan)

Tanya: Dengan melihat begitu bagusnya program POSBAKUM ini dalam mewujudkan justice for all, mengapa realisasi Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan baru terlaksana pada tanggal 15 Maret 2011, tidak seperti Prodeo dan Sidang Keliling yang sudah terlebih dahulu teralisasi?

Jawab: Pelaksanaan realisasi Pos Bantuan Hukum Dilingkungan Peradilan Agama baru terealisasi pada tanggal 15 Maret, itu dikarenakan dalam realisasinya melewati proses terlebih dahulu, pertama Implementasi SEMA No. 10 tahun 2010 baru dikuatkan dengan adanya Juklak dari Ketua Muda Urusan Peradilan Agama dan Sekretaris Mahkamah Agung, pada tanggal 1 Maret 2011, kedua, pada tanggal 11 Maret 2011 kita mengadakan proses rekrutmen/ seleksi untuk menduduki posisi di Pos Bantuan Hukum dan mengadakan sosialisasi kepada masyarakat bahwa di Peradilan Agama kini sudah tersedia Pos Bantuan Hukum, Ketiga, tanggal 14 Maret 2011 kita membuat MoU mengenai Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, keempat, tanggal 15 baru realisasi Pos Bantuan Hukum itu sendiri.

Tanya: Siapa saja yang berhak menerima jasa bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama dan apakah ada kriteria khusus untuk mendapatkannya? Jawab: oh itu sudah jelas, ada kriteria khusus dalam mendapatkan jasa bantuan hukum dari

Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama, sesuai dengan syarat formil yang sudah tertuang didalam SEMA No. 10 tahun 2010 dalam Lampiran B, yaitu, yang berhak mendapatkan jasa bantuan hukum dari POSBAKUM adalah mereka yang


(4)

secara ekonomi tidak mampu “miskin” dan mereka yang tidak mampu membayar jasa advokat.

Tanya: Bagaimana dengan masyarakat yang buta akan hukum, apakah mereka tetap mendapatkan layanan dari POSBAKUM ini?

Jawab: itu tergantung, apakah masyarakat yang buta akan hukum ini termasuk orang yang tidak mampu „miskin‟ atau ia tidak mampu dalam membayar jasa advokat, jikalau ia buta akan hukum akan tetapi mampu membayar jasa advokat, maka ia tidak berhak mendapatkan layanan dari POSBAKUM ini, sebaliknya apabila masyarakat yang buta akan hukum ini masuk ke dalam dua kategori yang sudah disebutkan tadi maka mereka berhak mendapatkan layanan dari POSBAKUM.

Tanya: Lalu bagaimana prosedur administrasi yang harus dilewati kepada mereka yang ingin membutuhkan jasa Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama?

Jawab: Mereka yang membutuhkan jasa Pos Bantuan Hukum diPengadilan Agama, terlebih dahulu harus melapor ke bagian informasi (Information Base) dengan menyertakan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) Jamkesmas, atau surat yang lain yang menerangkan bawah yang bersangkitan termasuk kepada orang yang tidak mampu “miskin” dan menyertakan surat pernyataan secara tertulis dengan alasan tidak mampu membayar Advokat yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan bagi mereka yang tidak mampu membayar jasa advokat.

Tanya: Dalam bentuk apa saja pemberian bantuan hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum Peradilan Agama kepada mereka yang membutuhkannya?

Jawab: Pemberian jasa bantuan hukum yang diberikan oleh POSBAKUM itu berupa pemberian informasi, konsultasi, advis, pembuatan surat gugatan/permohonan dan pendamping khusus dibidang jinayat.

Tanya: Dalam SEMA di jelaskan bahwa yang berhak memberikana jasa bantuan hukum dalam POSBAKUM adalah mereka yang berasal dari Organisasi Bantuan Hukum dari unsure Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi dan LSm yang sudah terdaftar di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kalau boleh tahu, Pengadilan Agama Jakarta Selatan bekerjasama dengan Organisasi bantuan hukum mana saja?

Jawab: Dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Selatan bekerjasama dengan LBH Syariah dan LBH Mandiri


(5)

Tanya: Bagaimana Prosedur kerjasama yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan LBH Syariah dan LBH Mandiri?

Jawab: Prosedur Kerjasama antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan dua LBH tersebut itu berdasarkan pada Mou yang telah kita buat, sesuai dengan Juklak yang sudah ada.

Tanya: Berapa Anggaran Biaya yang dikeluarkan dalam pemberian jasa bantuan hukum untuk Pos Bantuan Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

Jawab: Anggaran yang dikeluarkan untuk biaya POSBAKUM ini untuk Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebesar 160 juta untuk jangka waktu satu tahun , dan anggaran ini berasal dari DIPA yang langsung dari Mahkamah Agung.

Tanya: Dalam jangka satu tahun, berapa target layanan yang harus diberikan oleh POSBAKUM ini di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

Jawab: Target dalam jangka waktu satu tahun itu adalah 2600 layanan dengan 1600 jam layanan.

Tanya: Sampai saat ini, sudah berapa layanan bantuan hukum yang dibantu oleh POSBAKUM Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

Jawab: Yang saya ketahui, sampai saat ini sudah lebih dari 15 layanan bantuan hukum yang diberikan oleh POSBAKUM Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Tanya: Bagaimana bentuk Pengawasan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan terhadap program Pos Bantuan Hukum agar tidak menyalahi dari aturan yang berlaku?

Jawab: Pengawasan yang kami lakukan adalah memantau dan mengawasi secara langsung kegiatan dari POSBAKUM agar tidak menyalahi dari aturan yang usdah ada, dan apabila menyalahi dari aturan yang sudah ada, maka kami akan memberikan sanksi yaitu pemecatan secara sepihak, dan kami bisa langsung melaporkan hal tersebut melalui SMS Gateway langsung ke BADILAG.

Tanya: Bagaimana respon masyarakat dengan adanya program Pos bantuan Hukum ini khusunya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?


(6)

Jawab: Masyarakat sangat antusias sekali apalagi dengan kemajuan teknologi yang mendukung sehingga memudahkan dalam menyebarkan informasi keberbagai lapisan masyarakat,, dengan adanya POSBAKUM ini mereka menjadi terbantu dan tidak takut dalam mengurus permasalahan yang ingin mereka tangani di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Tanya: Menurut pandangan Bapak melihat dari segi yuridisnya, bahwasanya peraturan Pos Bantuan Hukum ini masih bersifat SEMA?apakah perlu ada peraturan baru yang harus mengaturnya?

Jawab: Ya..itu sudah pasti, apalagi sekarang DPR sedang ada pembicaraan mengenai RUU Bantuan Hukum, kalau sudah menjadi Undang-undang jelas ini mempunyai kekuatan di bidang peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-Undangan.

Tanya: Menurut bapak apakah SEMA No. 10 mengenai Bantuan Hukum ini sudah sempurna, atau masih ada perbaikan?

Jawab: Menurut saya sudah cukup jelas dan padat, dalam hal perbaikan mungkin hanya perlu di rubah menjadi Undang-undanga saja.

Informan

Drs. Ach Jufri, SH NIP. 150 264 713


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Pencari Keadilan Tidak Mampu Dalam Perkara Perdata (Studi: Pos Bantuan Hukum Yayasan LBH-PK “Persada” di Peradilan Umum)

6 68 115

Bantuan hukum administratif bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan agama

0 12 130

TINJAUAN YURIDIS TENTANG ITSBAT NIKAH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) Tinjauan Yuridis Tentang Itsbat Nikah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 16

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN WARISAN OLEH Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Warisan Oleh Pengadilan Agama Surakarta.

0 0 13

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Pencari Keadilan Tidak Mampu Dalam Perkara Perdata (Studi: Pos Bantuan Hukum Yayasan LBH-PK “Persada” di Peradilan Umum)

0 0 8

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Pencari Keadilan Tidak Mampu Dalam Perkara Perdata (Studi: Pos Bantuan Hukum Yayasan LBH-PK “Persada” di Peradilan Umum)

0 0 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Pencari Keadilan Tidak Mampu Dalam Perkara Perdata (Studi: Pos Bantuan Hukum Yayasan LBH-PK “Persada” di Peradilan Umum)

0 0 16

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Pencari Keadilan Tidak Mampu Dalam Perkara Perdata (Studi: Pos Bantuan Hukum Yayasan LBH-PK “Persada” di Peradilan Umum)

0 0 29

Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Pencari Keadilan Tidak Mampu Dalam Perkara Perdata (Studi: Pos Bantuan Hukum Yayasan LBH-PK “Persada” di Peradilan Umum)

0 0 5

Eksistensi Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) di Pengadilan Agama Sungguminasa - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 84