Pengertian Bantuan Hukum TINJAUAN UMUM TENTANG BANTUAN HUKUM

27 hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka Pengadilan”. 8 Kepala Kepolisian Republik Indonesia, memberikan batasan pengertian yang agak luas terhadap bantuan hukum “Pemberian bantuan hukum sebagai pendidikan klinis, sebenarnya tidak hanya terbatas untuk jurusan­jurusan pidana dan perdata untuk akhirnya tampil di depan pengadilan, tetapi juga untuk jurusan­jurusan lain seperti jurusan hukum tata negara, hukum administrasi pemerintahan, hukum internasional dan lain­lainnya yang memungkinkan memberikan bantuan hukum di luar pengadilan misalnya memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang tersangkut dalam soal­soal perumahan di kantor urusan perumahan KUP; bantuan hukum kepada seseorang dalam urusan kewarganegaraan di Imigrasi atau Departemen Kehakiman; bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut dalam urusan internasional di Departemen Luar Negeri; bahkan memberikan bimbingan dan penyuluhan di bidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebagainya”. 9 Sesuai dengan ketentuan Undang­undang nomor 48 Tahun 2009, pasal 56 dan 57, Undang­undang Nomor 49 tahun 2009 pasal 68 B dan 69 C, Undang­ undang Nomor 50 Tahun 2009 pasal 60 B dan 60 C, Undang­undang Nomor 51 8 Jaksa Agung, RI, Pemberian Bantuan Hukum oleh Fakultas Hukum Negeri dan Pelaksana Tugas Peradilan, dalam Pemberian Bantuan Hukum oleh Fakultas Negeri, Jakarta: Departemen Penerangan RI,1976, h. 72. 9 Kepala Kepolisian, RI, Pemberian Bantuan Hukum oleh Fakultas Hukum Negeri dan Pelaksana Tugas Peradilan, dalam Pemberian Bantuan Hukum oleh Fakultas Negeri, Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1976, h.88. 28 Tahun 2009 pasal 144 C dan 144 D yang mengatur tentang hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Dengan dasar itu Mahkamah Agung melakukan terobosan baru memberikan bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan yang dipandang tidak mampu secara ekonomi sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2010. Bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan, dengan pembebasan biaya perkara, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan, perkara pidana maupun perkara jinayat dan biaya sidang ditempat sidang tetap zitting plaatz. Bantuan Hukum menurut Undang­undang Nomor 16 Tentang Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma­cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Pemohon Bantuan Hukum adalah pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Sema No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan. 29 Jadi dapatlah dikatakan disini bahwa bantuan hukum adalah memberikan pelayanan hukum kepada rakyat miskin atau orang­orang yang tidak mampu yang buta hukum, tidak dapat membayar biaya pembela atau pengacara tanpa memandang agama, asal, suku maupun keyakinan politik masing­masing, sehingga meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, terutama hak­haknya sebagai subyek hukum.

C. Tujuan Bantuan Hukum

Bantuan hukum di Indonesia mempunyai tujuan dan ruang lingkup yang lebih luas dan lebih jelas arahnya. Arti dan tujuan program bantuan hukum tersebut tercantum di dalam anggaran Dasar Lembaga Bantuan Hukum, yang artinya adalah sebagai berikut, “Disamping memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkannya, Lembaga Bantuan Hukum berambisi untuk mendidik masyarakat dalam arti yang seluas­luasnya dengan tujuan menumbuhkan dan membina kesadaran akan hak­hak sebagai subyek hukum. Lembaga Bantuan Hukum juga berambisi turut serta mengadakan pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum di segala bidang”. 10 Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa ruang lingkup bantuan hukum di Indonesia mencakup pemberian pelayanan hukum, mengadakan pendidikan hukum, serta mengadakan pembaharuan dan perbaikan pelaksanaan hukum. 10 Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1981, h. 5­6. 30 Di dalam SEMA No 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan hukum. Bantuan hukum bertujuan untuk: 1 Membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomis dalam menjalankan proses hukum di pengadilan; 2 Meningkatkan akses terhadap keadilan; 3 Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajibannya; dan 4 Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan. Tujuan Bantuan Hukum Menuurut UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk: a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggung jawabkan. 31

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Sejarah Pengadilan

Kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta Betawi di tiap­tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari: a. Komandan Distrik sebagai Ketua

b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota

Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut: “Apabila terjadi sengketa antara orang­orang Jawa satu sama lain mengenai soal­soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa­sengketa sejenis yang harus diputus menurut h ukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan­pengadilan biasa”. Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari 32 hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek BW. Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undang­ undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa: “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat­dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan hukum agama serta adat istiadat mereka”. Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan kantor­kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara lain : a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur

b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat

d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat