Pengaruh Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat Terhadap Pendapatan Perkapita Delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN

PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PENDAPATAN

PERKAPITA DELAPAN KABUPATEN/KOTA

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

IRIANTO N. SIMANULLANG 097018028/EP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

EK

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N A


(2)

ANALISIS PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN

PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PENDAPATAN

PERKAPITA DELAPAN KABUPATEN/KOTA

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRIANTO N. SIMANULLANG 097018028/EP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PENDAPATAN PERKAPITA DELAPAN KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Irianto N. Simanullang Nomor Pokok : 097018028

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetuji Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Dr. Jonni Manurung, MS Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Sya’ad Afifuddin, M.Ec Anggota : 1. Dr. Jonni Manurung, Ms

2. Dr. HB.Tarmiji, SU 3. Dr. Rahmanta, M.Si


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa yang berjudul :

“ANALISI PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN PEMERINTAH

PUSAT TERHADAP PENDAPATAN PERKAPITA DELAPAN

KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA UTARA”

Adalah benar hasil kerja saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Desember 2011

Irianto N. Simanullang


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat Terhadap Pendapatan Perkapita Delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara. Pada era otonomi daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan yang selama ini masih terpusat atau dekonsentrasi dilimpahkan ke daerah atau desentralisasi kecuali tugas-tugas kewenangan pusat seperti agama,pertahanan,moneter dan lain-lain.

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara, yaitu Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Pakpak Bharat. Variabel dalam penelitian ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai variabel independen dan Pendapatan Perkapita sebagai variabel dependen, untuk menguji variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan digunakan uji F sedangakan untuk menguji secara parsial digunakan uji t.

Hasil pengujian ini membuktikan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positip terhadap pendapatan perkapita baik secara simultan dan parsial hal ini dapat dijelaskan oleh Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9999 hal ini berarti bahwa 99,99 persen variasi variabel dependen pada model diterangkan oleh variabel independen, sedangkan sisanya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar model.

Kata-kata kunci : Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Perkapita.


(7)

ABSTRACT

This study aims to analyze the influence of the Central Government Allocation Fund Balance Against the per capita income of eight regencies / cities in North Sumatra. In the era of regional autonomy since the enactment of Law Number 22 Year 1999 regarding Regional Government the authority for this is still a centralized or de-concentration or decentralization devolved to local areas except the central authority tasks such as religion, defense, monetary and others.

The sample in this study consisted of eight regencies / cities in North Sumatra, namely Sibolga, Central Tapanuli, North Tapanuli, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi and Pakpak Bharat. The variables in this study is the General Allocation Fund (DAU), the Special Allocation Fund (DAK) and DBH (DBH) as independent variables and income per capita as the dependent variable, to test the independent variable on the dependent variable simultaneously sedangakan F test used to test partially used t test

These test results prove that the general allocation fund (DAU), the Special Allocation Fund (DAK) and DBH (DBH) has positive effects on income per capita both simultaneously and this can be partially explained by the coefficient of determination (R2) of 0.9999 it This means that 99.99 percent of the variation in the dependent variable is explained by the model of independent variables, while the remaining 0.01 percent is influenced by other variables outside the model.

Key words: General Allocation Fund (DAU), the Special Allocation Fund (DAK), DBH (DBH) and income per capita.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji yang tidak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul Pengaruh Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat Terhadap Pendapatan Perkapita Delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara. Ada beberapa kendala yang ditemui dalam proses penelitian ini akan tetapi berkat berkat bimbingan, bantuan, masukan maupun kritik dari berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat terwujud untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof.Dr.Ir.A. Rahim Matondang,MSIE Selaku Direktur Sekolah Pasccasarjana Universitas Sumatera Utara

2. Prof.Dr.Sya’ad Afifuddin,M.Ec Selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Dosen Penguji, Dr. Jonni Manurung, MS, Dr. HB.Tarmizi, SU , Dr. Rahmanta, M.Si, Drs. Rahmat Sumanjaya, M.Si yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan sumbangan saran dalam penyelesaian tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah banyak memberi ilmu pengetahuan pada penulis selama Kuliah di Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi kejenjang Prgram S2.

5. Kedua orang tuaku (almarhum) yang telah memberikan motipasi, semangat dan dukungan baik secara maril dalam dalam suka dan duka.


(9)

6. Teristemewa kepada istriku tercinta dan kedua anakku Tulus Leonardo dan Pirton Fanuel Manullang yang telah mengorbankan segalanya agar penulis dapat cepat menyelesaikan pendidikan ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan terutama angkatan XVIII yang telah membantu disaat suka maupun duka.

Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam penulisan ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Desember 2011 Penulis

Irianto N. Simanullang


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : IRIANTO N. SIMANULLANG

2. Tempat/Tanggal lahir : Nainggolan, 26 Desember 1979

3. Jenis Kelamin : Laki laki

4. Status : Menikah

5. Agama : Kristen Protestan

6. Pekerjaan : Pengawai Dinas Pertanian Kab. Humbang

Hasundutan

7. Alamat : Jln. Kompleks Tanah lapang Doloksanggul

8. Nama Istri : Charly Hotnauli Br. Lumban Gaol

9. Anak : 1. Tulus Leonardo Manullang

2. Pirton Fanuel Manullang

10. Nama Ayah : Manombang Manullang (Alm)

Ibu : Robekka Br. Lumban Gaol (Alm)

11.PENDIDIKAN :

a. SD : Negeri I Doloksanggul (lulus Tahun 1993)

b. SMP : Negeri 2 Doloksanggul (lulus Tahun 1995)

c. SMA : Swasta Katolik Trisakti Medan (lulus Tahun 1998)

d. Fakultas : 1. Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Tujuan Penelitian ... 1

1.2. Manfaat Penelitian ... 11

1.3. ... Rumusan Masalah... 11

1.4... Latar Belakang ... 12


(12)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Tinjauan Teori ... 14

2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 14

2.3. ... Dana Perimbangan ... 15

2.3.1... Dana Alokasi Umum (DAU) ... 15

2.3.2... Dana Alokasi Khusus (DAK) ... 16

2.3.3. ... Dana Bagi Hasil (DBH) ... 18

2.4. ... Pendapat an Perkapita ... 20

2.5. ... Hubunga n Realisasi Pendapatan Daerah Dengan Pertumbuhan Ekonomi Daerah ... 24

2.6. ... Tinjauan Peneliti Terdahulu ... 30

2.7. ... Kerangka Konseptual ... 34

2.8. ... Hipotesis ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Ruang Lingkup ... 36

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.4. Defenisi Operasional ... 37


(13)

3.6. Teknik Analisis Data ... 41 3.6.1. ... Pengujia

n secara Outlier ... 41 3.6.2. ... Uji

Asumsi Klasik ... 42 3.6.2.1... Uji

Normalitas ... 42 3.6.2.2... Uji

Multikolinieritas ... 43 3.6.2.3... Uji

Autokorelasi ... 43 3.6.3. ...

Pengujian Hipotesis ... 44 3.6.3.1. ... Uji

Statistik F ... 44 3.6.3.2. ... Uji

Statistik t ... 45

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. Deskripsi Data ... 47 4.1.1. ... Deskripsi

Lokasi ... 47 4.2. ... Perkemb

angan PDRB Perkapita ... 53 4.3. ... Analisis


(14)

4.3.1. Uji Asumsi Klasik ... 56

4.3.1.1. Uji Normalitas ... 56

4.3.1.2. Uji Autokorelasi ... 57

4.3.1.3 . Uji Multkolineritas ... 58

4.3.2. Pengujian Hipotesis ... 58

4.3.2.1. Pengujian Hipotesis dengan Uji F ... 59

4.3.2.2. Pengujian Hipotesis dengan Uji t ... 59

4.3.3. ... Koefisien Determinasi (R2 4.3.4. ... Analisis Data Variabel Bebas ... 61

) ... 60

4.3.5. ... Hasil Persamaan Regresi ... 62

4.3.6. ... Pembaha san Hasil Penelitian ... 67

4.3.7. ... Pengaruh Alokasi dana perimbangan Pemerintah Pusat terhadap daerah khususnya Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pendapatan perkapita di delapan Kabupaten/kota ... 69

4.3.8. ... Pengaruh Alokasi dana perimbangan Pemerintah Pusat terhadap daerah khususnya Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pendapatan perkapita di delapan Kabupaten/kota ... 70

4.3.9. ... Pengaruh Alokasi dana perimbangan Pemerintah Pusat terhadap daerah khususnya Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pendapatan perkapita di delapan Kabupaten/kota ... 72


(15)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1. Kesimpulan ... 73

5.2. Saran ... 74


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Dana Alokasi Umum (Dau) Kabupaten/Kota

di Sumatera Utara 2009 (Juta Rupiah) ... 7

1.2. Perkembangan Dana Alokasi Khusus (Dak) delapan Kabupaten/ Kota Di Sumatera Utara 2009 (Juta Rupiah)... 8

1.3. Perkembangan Dana Bagi Hasil (DBH) delapan Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara 2009 (juta Rupiah) ... 9

3.1. Variabel Penelitian Dan Defenisi Operasional ... 39

4.1. PDRB perkapita atas dasar harga kostan delapan Kabupaten/ kota dan PDRB Propinsi Sumatera Utara dasar harga konstan 2000 tahun 2004-2009 (rupiah) ... 54

4.2. Nilai Residual masing-masing model regressi pengaruh Alokasi Dana Perimbangan pemerintah pusat terhadap Pendapatan Perkapita delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara ... 56

4.3. Uji Autokorelasi Durbin-Watson ... 57

4.4. Matrix Correlation ... 58

4.5. Nilai F Hitung ... 59

4.6. Nilai F Hitung ... 59

4.7. Hasil Analisis Koefisien Determinasi ... 60


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nama Judul Halaman 3.1 Kerangka Konseptual Analisis AlokasiDana Perimbangan Pemerintah Pusat Terhadap Pendapatan Perkapita Delapan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ... 34


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nama Judul Halaman

1 Output Analisis Dengan Menggunakan Program Eviews ... 80

2 Uji Asumsi Klasik ... 82

3 Uji Autokorelasi Durbin- Watson ... 85

4 Peta Administrasi Provinsi Sumatera Utara ... 86

5 Peta Delapan Kabupaten/Kota Variabel Penelitian ... 87

6 Table Of t-Student ... 92


(19)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat Terhadap Pendapatan Perkapita Delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara. Pada era otonomi daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan yang selama ini masih terpusat atau dekonsentrasi dilimpahkan ke daerah atau desentralisasi kecuali tugas-tugas kewenangan pusat seperti agama,pertahanan,moneter dan lain-lain.

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara, yaitu Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Pakpak Bharat. Variabel dalam penelitian ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai variabel independen dan Pendapatan Perkapita sebagai variabel dependen, untuk menguji variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan digunakan uji F sedangakan untuk menguji secara parsial digunakan uji t.

Hasil pengujian ini membuktikan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positip terhadap pendapatan perkapita baik secara simultan dan parsial hal ini dapat dijelaskan oleh Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9999 hal ini berarti bahwa 99,99 persen variasi variabel dependen pada model diterangkan oleh variabel independen, sedangkan sisanya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar model.

Kata-kata kunci : Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Perkapita.


(20)

ABSTRACT

This study aims to analyze the influence of the Central Government Allocation Fund Balance Against the per capita income of eight regencies / cities in North Sumatra. In the era of regional autonomy since the enactment of Law Number 22 Year 1999 regarding Regional Government the authority for this is still a centralized or de-concentration or decentralization devolved to local areas except the central authority tasks such as religion, defense, monetary and others.

The sample in this study consisted of eight regencies / cities in North Sumatra, namely Sibolga, Central Tapanuli, North Tapanuli, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi and Pakpak Bharat. The variables in this study is the General Allocation Fund (DAU), the Special Allocation Fund (DAK) and DBH (DBH) as independent variables and income per capita as the dependent variable, to test the independent variable on the dependent variable simultaneously sedangakan F test used to test partially used t test

These test results prove that the general allocation fund (DAU), the Special Allocation Fund (DAK) and DBH (DBH) has positive effects on income per capita both simultaneously and this can be partially explained by the coefficient of determination (R2) of 0.9999 it This means that 99.99 percent of the variation in the dependent variable is explained by the model of independent variables, while the remaining 0.01 percent is influenced by other variables outside the model.

Key words: General Allocation Fund (DAU), the Special Allocation Fund (DAK), DBH (DBH) and income per capita.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otonomi daerah menunjukkan bahwa, pembangunan daerah merupakan tanggungjawab pemerintah daerah. Pemberian hak otonomi dimaksud untuk memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah agar dapat menggali sumber -sumber keuangan daerah sendiri guna membiayai pelaksanaan pembangunan, sehingga dapat mengoptimalkan sumber daya alam atau menggali potensi-potensi daerah tersebut guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perencanaan pembangunan ekonomi berorientasi pada masalah pertumbuhan ekonomi, hal ini disebabkan karena pada awal pembangunan ekonomi masalah yang paling penting untuk dapat diperbaiki adalah keterbelakangan ekonomi sehingga sangat diharapkan pertumbuhan ekonomi dalam mendorong pencapian tujuan atau perubahan-perubahan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi adalah merupakan indikator yang sangat penting untuk mengetahui dan mengevaluasi hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara khususnya dalam bidang ekonomi. Adanya data pertumbuhan ekonomi akan menunjukkan sejauh mana kinerja pemerintah pada berbagai sektor ekonomi dalam menghasilkan nilai tambah atau pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu.


(22)

Pembangunan daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni pertama pendekatan sentralisasi dan pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralisasi mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh para birokrat di pusat. Sedangkan pendekatan desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan daerah melalui desentralisasi atau otonomi daerah memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) di daerah. Artinya pelaksanaan tugas pemerintah daerah harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka (transparency), dan akuntabilitas

Dalam kelanjutan dan keseimbangan pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini, peranan pemerintah pusat sebagai salah satu pelaku ekonomi cukup besar dan menonjol. Adanya pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan kinerja perekonomian, dan sebaliknya bila negatif berarti menunjukkan adanya penurunan kinerja perekonomian, disamping sebagai pelaku ekonomi lainnya.

(accountability).

Dalam sistem perekonomian suatu negara, baik secara agregat maupun secara regional terdapat 3 (tiga) cakupan ekonomi makro yang menjadi konsep dasar yang perlu selalu mendapat perhatian serius, yaitu pertumbuhan ekonomi, masalah pengangguran, inflasi, serta neraca pembayaran. Pertumbuhan ekonomi berasal dari akumulasi kapital dengan terdapatnya peningkatan yang proporsional antara pendapatan nasional, konsumsi, dan investasi.


(23)

Pelaksanaan otonomi daerah yang mengacu pada Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup pembagian keuangan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.

Dana perimbangan adalah merupakan sumber penerimaan daerah yang berasal dari Anggaran Pendapatan Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sebagai perwujudan desentralisasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam hal menjalankan peran atau fungsi pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk alokasi dana yang sesuai dengan Amanat Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya untuk menciptakan kemandirian daerah dalam pengurusan daerahnya sendiri sebagai daerah otonom dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk mewujudkan kemandirian daerah maka setiap tahunnya Pemerintah Pusat mengalokasikan dana ke daerah-daerah di seluruh Indonesia dalam bentuk Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (DBH) Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil. Dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat merupakan bantuan pemerintah pusat dalam rangka meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar untuk membantu percepatan pembangunan daerah yaitu berupa pelayanan kesehatan, pendidikan, jalan, irigasi dan sarana air minum. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Mardiasmo


(24)

mengatakan bahwa Dana Alokasi khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan-kegiatan ksusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional terutama untuk menwujudkan pelayanan dasar masyarakat.

Hal ini dapat dilihat pada bagian penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan selain DAU pemerintah juga menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sarana untuk menyediakan sarana dan prasana bagi masyarakat. Dalam perencanaan pembangunan suatu daerah, ada beberapa pokok permasalahan yang perlu selalu diperhatikan yaitu :

1.Agar Pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara berkesinambungan

2.Mengupayakan distribusi peningkatan pendapatan masyarakat yang dapat dinikmati secara merata.

Alokasi dana yang merata dan tepat sasaran serta pengelolaan sumber -sumber pendapatan secara optimal, efisien dan efektifitas dalam penggunaan anggaran belanja merupakan hal pokok yang harus selalu diprioritaskan.

Prinsip pemerataan alokasi dana dalam sistem pemerintahan otonomi di Indonesia dewasa ini dilaksanakan dengan adanya sistem transfer pendapatan antar pemerintah dana perimbangan dari Pemerintah Pusat tersebut diharapkan dapat memacu Pemerintah Daerah untuk mencapai kemandiriannya dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.


(25)

Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah.

Secara substansial terdapat 3 (tiga) lingkup pemerintahan dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintahan yang lebih luas cakupannya memberi arahan kepada pemerintahan yang cakupannya lebih sempit. Adanya pemerintahan yang menghasilkan pendapatan pajak atau bukan pajak yang lebih besar mengakibatkan diselenggarakannya sistem bagi hasil, alokasi dana umum hibah atau subsidi antar entitas pemerintah. (KSAP 2005 : 10).

Dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan 2009 jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang disalurkan oleh pemerintah pusat untuk seluruh Propinsi dan Kabupaten/kota seluruh Indonesia berjumlah sebesar Rp. 845.948.169,- Juta. Jumlah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan oleh pemerintah pusat untuk seluruh Propinsi dan Kabupaten/kota seluruh Indonesiaa berjumlah sebesar Rp. 81.222.660,- Juta, sedangkan jumlah Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) yang disalurkan oleh pemerintah pusat untuk seluruh Propinsi dan Kabupaten/kota seluruh Indonesiaa berjumlah sebesar Rp. 280.933.957 juta,- sedangkan untuk propinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu yang sama adalah jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang disalurkan oleh pemerintah pusat untuk propinsi dan Kabupaten di Sumatera Utara


(26)

Rp. 48.364.254 juta,- jumlah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan oleh pemerintah pusat untuk dan Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara berjumlah sebesar Rp. 4.813.805 juta,- sedangkan jumlah Dana Bagi Hasil (DBH) yang disalurkan oleh pemerintah pusat untuk dan Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara berjumlah sebesar Rp. 7.044.995 juta,- oleh karana itu penulis mempertimbangkan letak geografis, potensi dan kondisi perekonomian maka dipilih dan ditentukan beberapa daerah kabupaten/kota yang dianggap lebih mudah untuk dijangkau maka penulis memutuskan delapan kabupaten/kota menjadi sampel penelitian ini.

Menurut Adi dan Ndadari (2008) permasalahan yang terjadi saat ini adalah bahwa pemerintah daerah terlalu mengharapkan alokasi dana perimbangan yang di alokasikan pemerintah pusat setiap tahun untuk membiayai belanja modal dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi daerah, sehingga pemerintah daerah tidak berusaha untuk menciptakan iklim perekonomian guna meningkatkan kemandian daerah tersebut. Hal ini dikarenakan oleh alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat pada periode berikutnya akan lebih besar atau tetap seperti alokasi periode sebelumnya.

Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat. daerah Kabupaten/Kota di wilayah pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang memiliki beberapa kesamaan antara lain :


(27)

1. Letak geografis yang berada pada arah pantai barat Propinsi Sumatera Utara dan memiliki topografi yang relatif sama, yaitu daerah pegunungan, lembah, dataran tinggi dan dataran rendah.

2. Potensi daerah yang relatif sama, dimana lapangan usaha yang dominan adalah sektor pertanian.

Tabel 1.1. Perkembangan Dana Alokasi Umum (DAU) delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara 2009 (juta rupiah)

Nama

Kabupaten/Kota TAHUN PENGAMATAN

Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Sibolga 93,121 101,569 163,031 184,634 209,457 211,212

Tapanuli Tengah 134,817 153,475 226,435 259,019 290,589 292,588 Tapanuli Utara 139,276 149,607 286,227 320,942 338,052 360,547 Toba Samosir 268,127 286,548 471,211 536,778 578,103 247,309 Humbang

Hasundutan

71,368 83,584 199,863 234,493 251,601 260,061

Samosir 0 62,082 184,943 202,774 219,458 234,945

Dairi 131,494 138,511 272,430 304,080 327,408 327,835

Pakpak Bharat 25,942 43,399 127,756 145,900 155,875 162,411

Sumber Data : Tim Koordinasi Penyusunan kebijakan Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi DAK BAPPENAS (TKPKP2E-DAK BAPPENAS) 2009.

Keterangan : 0 = Masih bergabung dengan Kabupaten Induknya

Berdasarkan Tabel 1.1 apabila di perhatikan tabel diatas dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 dapat digambarkan bahwa perkembangan penerimaan Pemerintah Kabupaten/kota yang digambarkan oleh Tabel 1.1 secara umum Dana Alokasi Umum (DAU) yang dikucurkan pemerintah pusat terhadap delapan Kabupaten/kota dari tahun ketahun terjadi peningkatan. Pada tahun 2009 secara rata-rata perkembangan penerimaan pemerintah Sumatera Utara sebesar Rp. 10.046.473,- atau mengalami kenaikan sebesar 3,68 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan penyerapan Dana Alokasi Umum (DAU) di delapan


(28)

Kabupaten/kota tahun 2009 yang paling banyak adalah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten yang sedikit penerima dana alokasi umum adalah Kabupaten Pakpak Bharat.

Tabel 1.2. Perkembangan Dana Alokasi Khusus (DAK) delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara 2009 (juta rupiah) Nama

Kabupaten/Kota Tahun Pengamatan

Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Sibolga 5,380 7,230 9,000 26,739 34,976 37,461

Tapanuli Tengah 8,170 12,390 25,100 37,692 47,840 58,620

Tapanuli Utara 8,630 13,650 28,430 45,213 57,793 60,756

Toba Samosir 7,960 11,610 26,270 55,361 58,321 50,056

Humbang Hasundutan

4,000 9,280 25,580 32,792 39,663 49,257

Samosir 0 8,520 23,670 48,337 55,720 55,797

Dairi 7,480 10,680 30,320 46,832 55,301 48,026

Pakpak Bharat 7,480 8,520 28,840 35,286 41,962 42,341

Sumber Data : Tim Koordinasi Penyusunan kebijakan Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi DAK BAPPENAS (TKPKP2E-DAK BAPPENAS) 2009.

Keterangan : 0 = Masih bergabung dengan Kabupaten Induknya

Berdasarkan Tabel 1.2 apabila di perhatikan tabel diatas dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 dapat digambarkan bahwa perkembangan penerimaan pemerintah Kabupaten/kota yang digambarkan oleh Tabel 1.2 secara umum Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikucurkan pemerintah pusat terhadap delapan Kabupaten/kota dari tahun ketahun terjadi peningkatan. Pada tahun 2009 secara rata-rata perkembangan penerimaan pemerintah Sumatera Utara sebesar Rp. 37,461 (juta),- atau mengalami kenaikan sebesar 6,63 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan penyerapan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2009 yang paling banyak adalah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten yang sedikit penerima dana alokasi umum adalah Kabupaten Pakpak Bharat.


(29)

Tabel 1.3 Perkembangan Dana Bagi Hasil (DBH) delapan Kabupaten/kota di Sumatera Utara 2009 (juta rupiah)

Nama

Kabupaten/Kota Tahun Pengamatan

Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Sibolga 0 14,907 17,874 18,665 20,275 21,492

Tapanuli Tengah 0 18,278 24,644 21,979 24,170 25,991

Tapanuli Utara 0 17,202 19,853 22,509 25,175 32,411

Toba Samosir 0 16,796 18,778 19,821 21,543 21,543

Humbang Hasundutan

0 13,879 18,702 17,644 23,604 23,604

Samosir 0 10,382 13,314 14,430 15,438 15,438

Dairi 0 15,637 22,871 23,600 26,432 26,432

Pakpak Bharat 0 12,834 17,684 16,036 19,133 19,133

Sumber Data : Tim Koordinasi Penyusunan kebijakan Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi DAK BAPPENAS (TKPKP2E-DAK BAPPENAS) 2009.

Berdasarkan Tabel 1.3 apabila di perhatikan tabel diatas dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 dapat digambarkan bahwa perkembangan penerimaan pemerintah Kabupaten/kota yang digambarkan oleh Tabel 1.3 secara umum Dana Bagi Hasil (DBH) yang dikucurkan pemerintah pusat terhadap delapan Kabupaten/kota dari tahun ketahun terjadi peningkatan. Pada tahun 2009 secara rata-rata perkembangan penerimaan pemerintah Sumatera Utara sebesar Rp. 21,492.(juta),- atau mengalami kenaikan sebesar 5,66 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan penyerapan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk delapan Kabupaten/kota tersebut tahun 2009 yang paling banyak adalah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten yang sedikit penerima dana alokasi umum adalah Kabupaten Pakpak Bharat.


(30)

Dana tersebut diatas sebagai perwujudan dekonsenrasi pemerintah pusat dalam pembiayaan pelayanan pemerintah pusat yang diberikan kepada daerah khususnya Propinsi Sumatera Utara. Secara teoritis dana perimbangan yang dialokasikan pemerintah pusat ke pemerintahan daerah ditentukan oleh kapasitas fiscal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiscal (fiscal need) dimana variabelnya terdiri dari atas Produk Domestik Regional (PDRB) dan regional goverment reveneu (RGR) (Kuncoro, 2004) ditambahkan oleh (Segaf, 1999 :15) Dengan menghitung PDRB secara teliti dan akurat baik atas harga berlaku maupun atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai keberhasilan pembangunan di suatu daerah dengan mempelihatkan laju pertumbuhan ekonomi yang mengwakili peningkatan produksi di berbagai sektor lapangan usaha yang ada. Bila kita perhatikan alokasi dana perimbangan yang dikucurkan Pemerintah pusat ke delapan Kabupaten/kota tersebut dari tahun 2004 sampai 2009 berfluktuasi dan bervariasi. Hal ini menjadi suatu fenomena yang sangat menarik sehingga penulis tertarik untuk menganalisis besaran dana perimbangan yang dikucurkan pemerintah pusat terhadap peningkatan pendapatan perkapita mulai tahun 2004 sampai 2009 di delapan Kabupaten/kota.


(31)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan dalam latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pendapatan Perkapita di Daerah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat. 2. Bagaimana pengaruh Dana Alokasi Ksusus (DAK) terhadap Pendapatan

Perkapita di Daerah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

3. Bagaimana pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pendapatan Perkapita di Daerah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pendapatan Perkapita di Daerah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

2. Untuk menganalsis Pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pendapatan Perkapita di Daerah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah Tapanuli Utara,


(32)

Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

3. Untuk menganalisis Pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pendapatan Perkapita di Daerah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan Yaitu :

1. Menambah informasi ilmiah dan wawasan ilmu Peneliti, sebagai pengetahuan atas pemahaman terhadap akuntasi sektor publik

2. Pemerintah Kabupaten/kota, sebagai informasi untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan faktor mana yang memberikan pengaruh paling besar terhadap Pendapatan Perkapita di Daerah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

3. Kegunaan praktis, penelitian ini dapat menghasilkan implikasi yang lebih bernilai untuk para pembuat kebijakan dalam memecahkan permasalahan perekonomian Indonesia dalam bidang fiskal dan kebijakan publik berkaitan dengan desentralisasi fiskal khususnya dana perimbangan keuangan pusat dan daerah.


(33)

4. Kegunaan akademis, sebagai referensi bagi penelitian yang lebih lanjut dan mendalam.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

Penelitian mengenai akuntansi publik di Indonesia sampai saat ini masih terbatas. Dimana salah satu penyebabnya masih terjadinya perubahan-perubahan dalam peraturan perundang-undangan pada sektor publik.

2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan oleh Bendahara Umum Daerah (BUD) yang berasal dari potensi asli daerah yang bersangkutan sesuai kewenangan daerah tersebut. Penerimaan tersebut akan menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan menjadi hak pemerintah daerah serta tidak perlu dibayar kembali. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah berdasarkan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selanjutnya menurut pasal 6 ayat 2 Undang-Undang tersebut di atas, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan


(35)

atau jasa oleh daerah. Saragih (2006) dalam Harianto dan Adi (2007) menyatakan bahwa peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah.

Peningkatan PAD menunjukkan adanya peningkatan partisipasi publik terhadap jalannya pemerintahan di daerah itu BAPPENAS (2003) seperti yang dikutip Adi (2006) melakukan analisis elastisitas PAD terhadap PDRB menunjukkan bahwa setiap terjadi perubahan PDRB akan memberikan dampak yang positip dan signifikan terhadap perubahan PAD.

2.9. Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah penerimaan daerah dalam bentuk pendapatan transfer yaitu pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah yang bersumber dari transfer pemerintah atasan yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan ini meliputi : Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

2.9.1. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dengan terbitnya Peraturan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan antara perimerintah Pusat dan Daerah menyebutkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi Dana Alokasi Umum ini bersifat Block Grant yang berarti penggunaan dana ini diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi


(36)

daerah dimana dasar hukum pengalokasian dana ini sesuai dengan Undang-undang nomor 33 tahun 2003 tentang perimbangan dana antara pusat dan daerah besaran Dana Alokasi Umum (DAU) ini sekurang-kurangnya 26 % dari pendapatan dalam negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Sedangkan proporsi DAU untuk daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan dan kewenangan antara propinsi dan Kabupaten/kota formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiskal gap) yaitu selisih antara kebutuhan. Penyaluran DAU,DAK dan DBH disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah. Hal ini berkaitan dengan perimbangan antara pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan antara pusat dan daerah (Darwanto dan Yustikasari, 2007) lebih lanjut menurut Darwanto dan Yustikasari (2007) hal tersebut menunjukkan terjadinya transper yang cukup signifikan di dalam APBN dari Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana dana tersebut secara leluasa dapat dipergunakan untuk pelaksanaan desentralisasi.

2.9.2. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) ádalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional yang dilaksanakan di tingkat daerah. Kegiatan khusus ini sulit untuk diperkirakan dengan rumus alokasi khusus. DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang


(37)

didistribusikan oleh pernerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang psrnerintah pusat untuk tujuan nasional Kebutuhan khusus alokasi DAK meliputi :

1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak rnempunyai akses yang memadai ke daerah lain.

2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung tiansrnigrasi. 3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir kepulauan

dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang rnemadai.

4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.

5. Pembangunan Jalan, rumah sakit, irigási dan air bersih

DAK disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening Kas Umum Negara ke rekening Kas Umum Daerah, oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai adiministrasi kegiatan, penelitian, pelatihan dan perjalanan dinas. Pembiayaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) ini bisa disamakan dengan belanja pembangunan karena digunakan untuk mendanai peningkatan kwalitas pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasana publik ( Ndadari dan Adi, 2008). Menurut Abdullah dan Halim (2006) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintahan daerah. Menurut Abimayu (2005) yang dikutip oleh Arianto dan Adi (2007) infrastruktur dan sarana prasana yang ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Jika sarana prasana yang memadai di


(38)

daerah itu maka masyarakat akan dapat melaksanakan aktifitas pekerjaan sehinga akan berdampak positip terhadap roda perekonomian sehingga akan berpengaruh pada produktifitas yang semakin meningkat.

2.9.3. Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua (2) jenis, yaitu DBH pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Pola bagi hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan prosentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari:

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB)

3. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak

Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).

4. Sedangkan penerimaan DBH SDA bersumber dari:

Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi


(39)

Pada umumnya setiap daerah memiliki sektor unggulan sendiri-sendiri dalam hal keuangan dan hal ini sangat bergantung pada pemerintah daerah itu sendiri dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang ada. Demikian halnya dalam sistem DBH yang bersumber dari pajak dan SDA. Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) pusat-daerah. Namun, pola bagi hasil tersebut dapat berpotensi mempertajam ketimpangan horisontal (horizontalimbalance) yang dialami antara daerah penghasil dan non penghasil. horisontal tersebut disebabkan karena dalam kenyataannya karakteristik daerah di

Potensi Indonesia sangat beraneka ragam. Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah seperti di Riau, Aceh, Kalimantan Timur dan Papua yang berupa minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang besar namun karena struktur perekonomian mereka telah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan sehingga daerah tersebut menjadi kaya. (Astuti dan Joko, 2005) Hal tersebut sejalan dengan Cristyanto (2005) yang menyatakan bahwa potensi penerimaan daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pajak Penghasilan dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja Berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun anggaran 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi.Ditetapkannya PPh Perorangan


(40)

sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak. Dengan demikian, daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari Pendapatan Asli Daerah selain Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

2.10.Pendapatan Perkapita

PDRB Perkapita merupakan gambaran dari rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. Data statistik ini merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah atau daerah. Adanya peningkatan perekonomian dengan melambatnya perkembangan pertumbuhan penduduk, akan mengakibatkan terjadinya peningkatan PDRB perkapita. PDRB Perkapita diperoleh dari hasil bagi antara PDRB dengan penduduk pertengahan tahun yang bersangkutan. Jadi besarnya PDRB Perkapita tersebut sangat dipengaruhi oleh kedua variabel di atas. Dengan disajikannya PDRB Perkapita seluruh daerah kabupaten/kota, diharapkan dapat membantu para pemakai data dalam melakukan perbandingan, baik antara kabupaten/kota maupun antara satu tahun dengan tahun berikutnya. Daerah yang


(41)

memiliki PDRB Perkapita tinggi, masih berasal dari daerah-daerah potensial yang memiliki lahan perkebunan besar dan juga daerah konsentrasi industri. Tingginya peningkatan PDRB perkapita ternyata belum menunjukkan membaiknya kesejahteraan masyarakat, angka ini masih dipengaruhi oleh banyak faktor yang antara lain tingkat laju inflasi atau naiknya harga barang dan jasa yang sangat tinggi sehingga kurang menggambarkan kenaikan tingkat kesejahteraan secara riil.

Salah satu manfaat dari data PDRB untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian pada satu periode di suatu daerah tertentu. PDRB atas dasar konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar perhitungannya. Selanjutnya menurut Kuncoro (2004), Gaspersz dan Feony (2003) dalam Harianto dan Adi (2007) Indikator pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan Produk Domestik Bruto (PDRB) dianggap tidak selalu tepat karena tidak mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa indikator pendapatan perkapita lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi karena lebih menekankan kemampuan daerah untuk meningkatkan PDRB karena secara simultan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan kesejahteraan seiring dengan laju pertambahan penduduk.

Hukum Wagner merupakan teori mengenai perkembangan persentase

pengeluaran Pemerintah yang semakin besar terhadap Gross National Product (GNP). Wagner mengatakan dalam satu perekonomian apabila pendapatan perkapita


(42)

meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah juga akan meningkat (Mangkoesoebroto, 2001)

1 2

1 2

... n n

GpCt

GpCt GpCt

GpCt

YpCt YpCt YpCt YpCt

− −

− − −

〉 〉 〉 〉 ………...(2.1)

Keterangan :

Gp C = Pengeluaran Pemerintah

YP C = Produk atau pendapatan Nasional Perkapita t = indeks waktu (tahun)

Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidak efisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1997). Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita, dalam hal ini berkaitan output total (Gross Domestic Product) dan jumlah penduduk jadi prosese kenaikan output perkapita harus dianalisa dengan melihat apa yang terjadi dengan output total di satu pihak dan jumlah penduduk di pihak lain Musgrave (1989) mengatakan bahwa pendekatan alternatif penyebab semakin meningkatnya jumlah anggaran pemerintah antara lain adalah : a.Pertumbuhan pendapatan perkapita; oleh karena proporsi antara barang pribadi dan

barang sosial selalu berubah sesuai dengan kenaikan pendapatan perkapita dan bahwa porsi barang-barang sosial selalu mengalami peningkatan hal ini membawa implikasi bahwa kebijakan anggaran yang efesien menghendaki adanya


(43)

peningkatan rasio pembelanjaan pemerintah terhadap Gross National Product (GNP)

b.Perubahan populasi penduduk; perubahan populasi bisa merupakan suatu penentu utama porsi pengeluaran pemerintah. Perubahan tingkat pertumbuhan penduduk menyebabkan perubahan distribusi umur dan kecenderungan ini direfleksikan dalam perubahan pengeluaran seperti kebutuhan pendidikan, fasilitas perumahan, dan sebagainya. Oleh karena itu kebutuhan akan pelayanan umum dipengaruhi pula oleh kaktor-faktor seperti mobilitas penduduk yang dapat mendorong pertumbuhan kota-kota baru dan berakibat peningkatan permintaan fasilitas publik.

Dengan reformasi ini diharapkan anggaran daerah mampu memainkan perannya sebagai instrumen kebijakan dan instrumen manajemen bagi pemerintah daerah. Menurut Jones (1996), sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal


(44)

lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang tidak terlepas dari kebijakan anggaran dengan titik berat pada kebijakan penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi kebijakan penerimaan misalnya, selain upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah juga diharapkan mampu mengelola seluruh pendapatan dan pengeluaran atau belanja daerahnya. Hal ini dapat dinyatakan sebagai suatu prestasi dan merupakan salah satu ukuran kinerja pemerintah daerah tersebut. Ukuran kinerja dari sisi ini dilihat dengan membandingkan antara rencana atau target pendapatan maupun pengeluaran atau belanja daerah untuk berbagai kegiatan dan program dengan realisasinya.

2.11. Hubungan Realisasi Pendapatan Daerah Dengan Pertumbuhan Ekonomi

Daerah

Identitas keseimbangan pendapatan nasional adalah konsumsi (C) ditambah Investasi (I), Pembelian atau Pengeluaran Pemerintah (G), dan Ekspor (X) dikurangi Impor (M) yang dirumuskan dengan persamaan Y = C + I + G + X-M merupakan


(45)

sumber legitimasi pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Banyak pertimbangan yang mendasari pengambilan keputusan dalam mengatur pengeluarannya. Pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijakan pengeluarannya tetapi juga harus memperhitungkan sasaran yang akan menikmati kebijakan tersebut. (Rahmansyah, 2004 : 15).

Pendapat di atas berarti bahwa memperbesar pengeluaran dengan tujuan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan nasional atau memperluas kesempatan kerja adalah kurang memadai, melainkan perlu diperhitungkan siapa yang akan terpekerjakan atau meningkat pendapatannya. Disamping itu pemerintah perlu menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak justru melemahkan pihak swasta.

Menurut Wijaya (2000), pengeluaran pemerintah mempunyai efek pengganda

(multiplier effect) dan merangsang kenaikan pendapatan nasional dan akan menaikkan pendapatan serta produksi secara berganda sepanjang perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) karena ia menaikkan permintaan agregatif didasarkan pada anggapan bahwa pengeluaran pemerintah tidaklah pada proyek-proyek yang dapat menghalangi atau menggantikan investasi sektor swasta.

Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dengan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau


(46)

surplus. Anggaran berfungsi sebagai pernyataan kebijakan publik, sebagai target fiskal yang menggambarkan keseimbangan antara belanja pendapatan dan pembiayaan yang diinginkan, menjadi landasan pengendalian yang memiliki konsekuensi hukum, serta menjadi landasan penilaian kinerja pemerintah. (KSAP, 2005 : 13)

Oleh karena itu, APBN suatu negara atau APBD suatu daerah dapat kita yakini mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap perekonomian khususnya sektor riil. Signifikansi tersebut tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto. Kebijakan fiskal suatu negara merupakan instrumen untuk melaksanakan fungsi stabilitasi, distribusi dan alokasi yang diarahkan pada stimulus pertumbuhan ekonomi dan mendorong penciptaan lapangan kerja. Di Indonesia misalnya, dampak APBN terhadap sektor riil merupakan salah satu indikator yang mengidentifikasikan dampak dari kebijakan fiskal terhadap perekonomian tahun 2008. Dalam kondisi perekonomian yang lesu, kebijakan diarahkan pada stimulus fiskal antara lain melalui pengeluaran pemerintah yang bersifat autonomous yang mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pada saat overheating

ekonomi , intervensi kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah bersifat kontraktif untuk menyeimbangkan permintaan agregat (aggregate demand) dengan penyediaan sumber-sumber daya perekonomian. (BPKP-RI, 2009 : 38).

Meningkatnya pendapatan negara melalui penerimaan dari sumber-sumber pendapatan merupakan suatu hasil kinerja pemerintah mengelola pos-pos penerimaan negara. Demikian juga halnya dengan meningkatnya penyerapan belanja dan


(47)

akuntabilitas keuangan. Penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan berhasilnya program atau kebijakan yang dilakukan pemerintah. Rasio realisasi terhadap pagu anggaran mencerminkan terserapnya anggaran dalam melakukan berbagai program yang telah ditetapkan. Sebaliknya, lambatnya penyerapan anggaran mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi karena eksekusi anggaran memiliki dampak yang sangat besar terhadap perekonomian sesuai dengan efektifitas penggunaan sumber-sumber penerimaan daerah terhadap Anggaran Belanja Daerah (ABD) dimana t1 semakin besar atau sama dengan satu

maka sumber-sumber penerimaan semakin efektif digunakan untuk membiayai belanja daerah, sebaliknya t1

DBH DAK

DAU PAD

ABD

t

t

t

t

4 3

2

1 + +

=

+

sama dengan nol maka sumber-sumber penerimaan daerah semakin tidak efektif digunakan untuk membiayai belanja daerah.

………....2.2

Dimana 0 ≤ t1

PAD ádalah kemampuan otonomi daerah untuk menghasilkan sumber-sumber pendapatan daerah karena PAD langsung dipungut dari masyarakat sehingga PAD tersebut mengurangi dampak positip belanja pemerintahan daerah terhadap aktifitas ekonomi daerah sehingga dapat digambarkan sebagai berikut :

≤ 1 efektifitas penggunaan sumber-sumber penerimaan daerah terhadap anggaran belanja daerah (ABD).

DBH DAK

DAU PAD

ABD

t

t

t

t

4 3

2

1 = + +

− ………….………...……2.3

Dimana ABD dan PAD dinyatakan sebagai rasio pendapatan daerah yakni:

PDRB x t


(48)

Dimana t x PDRB adalah proporsi dari Pendapatan Asli Daerah dari PDRB

PDRB x g

ABD= ……..………2.4 B

Dimana g x PDRB adalah Proporsi dari Anggaran Belanda Daearah terhadap PDRB Dan subtisusi persamaan 2.4B ke persamaan 2.3 akan menghasilkan

DBH DAK DAU PDRB t x PDRB x

g

t

t

t

t

4 3

2

1 = + +

t x g DBH t x g DAK t x g DAU PDRB

t

t

t

t

t

t

1 3 1 3 1 2 − + − + − = ….……….25

Dari persamaan 2.5 ditunjukkan bahwa pengaruh DAU, DAK dan DBH

terhadap PDRB tergantung pada nilai g - t1 x t artinya jika g > t1 x t maka pengaruh

DAU DAK dan DBH terhadap PDRB adalah positip, sebaliknya jika g < t1

Salah satu indikator kinerja keuangan pemerintah dalam bidang anggaran belanja dapat dilihat dari terealisasinya prioritas alokasi anggaran belanja yang selaras dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.

x t maka pengaruh DAU, DAK DAN DBH adalah negatif. Lebih jauh dapat dikatakan jika rasio ABD lebih besar terhadap PDRB lebih besar dari rasio PAD terhadap PDRB dikalikan dengan efektifitas penggunaan PAD untuk ABD maka pengaruh DAU DAK dan DBH terhadap PDRB ádalah positip.

Untuk mencapai percepatan pertumbuhan ekonomi misalnya, pada tahun 2008 pemerintah Indonesia telah menetapkan 6 (enam) prioritas alokasi anggaran (BPKP-RI, 2009 : 25 ) antara lain :


(49)

1. Belanja investasi terutama di bidang infrastruktur dasar untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional;

2. Bantuan sosial, terutama untuk menyediakan pelayanan dasar kepada

masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, dengan memperhatikan rasio anggaran pendidikan sesuai amanat UUD 1945, serta meningkatkan upaya pemerataan;

3. Perbaikan penghasilan dan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan;

4. Peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan;

5. Penyediaan subsidi untuk membantu menstabilkan harga barang dan jasa pada tingkat yang terjangkau masyarakat;

6. Pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang.

Penjelasan dan gambaran sebagaimana diuraikan di atas membuktikan bahwa realisasi pendapatan dan belanja pemerintah daerah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konsep pertumbuhan ekonomi daerah. Di Indonesia dalam tahun 2008, penyerapan anggaran yang cepat, efisien dan efektif telah menjadi salah satu agenda reformasi manajeman keuangan pemerintah. Sejalan dengan agenda tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya optimal dalam rangka mengurangi berbagai hambatan dalam penyerapan anggaran dan meminimisasi kecenderungan penarikan anggaran di akhir tahun (execution skewed towards the end of fiscal year) oleh kementerian negara/lembaga. Salah satu langkah konkrit yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mendelegasikan kekuasaan (relax control) dalam rangka


(50)

eksekusi anggaran dengan memberikan berbagai fleksibilitas terhadap kementerian teknis. Namun demikian, juga mensyaratkan adanya akuntabilitas terhadap penggunaan anggaran tersebut. (BPKP-RI, 2009 : 14 ).

2.12. Tinjauan Peneliti Terdahulu

Beberapa peneliti di Indonesia telah melakukan studi tentang masalah pengelolaan keuangan daerah dengan menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Perkapita sebagai variabel penelitian.

1. Saggaf (1999) menyimpulkan bahwa secara simultan dan parsial terdapat pengaruh yang signifikan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Kota Pekan baru dalam kurun waktu tahun 1989 – 1993. Demikian juga halnya dengan jumlah alokasi APBD secara keseluruhan juga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dalam kurun waktu yang sama.

2. Helmi (2009) menyimpulkan bahwa pendapatan dari sektor pajak dan

pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Riau, dimana PAD dari sektor pertambangan, pertanian dan pariwisata berpengaruh positif terhadap pembentukan PDRB.

3. Fitrianti dan Pratolo (2009), dalam studi tentang pengaruh pendapatan asli daerah dan belanja pembangunan terhadap rasio kemandirian dan pertumbuhan ekonomi menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 – 2007 di


(51)

beberapa kabupaten / kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi terdapat pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli daerah terhadap rasio kemandirian, serta pengaruh signifikan antara belanja pembangunan terhadap rasio kemandirian.

4. Hamzah (2009) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2001 – 2006, PAD dan Dana Perimbangan baik secara langsung maupun tidak langsung tidak berpengaruh secara secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi 38 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur.

5. Rahmansyah (2004) menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 – 2003 pengeluaran pemerintah yang dialokasikan sebagai belanja daerah dalam APBD berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada 11 Propinsi di Indonesia, yaitu Nangroe Aceh Darusalam (NAD), Sumatera Utara, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah dengan tingkat signifikansi yang berbeda-beda.

6. Nurlina (2004) menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 1999 – 2003 anggaran belanja rutin daerah Propinsi Nangroe Aceh Darusalam memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan 99 persen.

7. Saragih (2006) menganalisis pengaruh keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun. Data yang digunakan adalah data sekunder


(52)

yang diperoleh dari berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan Simalungun selama periode tahun 1986-2005. metode analisis yang digunakan adalah OLS. Variable dependent yang digunakan yaitu PDRB berdasarkan harga berlaku sedangkan variable independentnya adalah PAD,DBH,dan DAU kesimpulan yang diperoleh adalah PAD berpengaruh positif dan siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun serta DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Simalungun 8. Simanjuntak (2006) menganalisis pengaruh PAD terhadap pertumbuhan ekonomi

di Kabupaten Labuhan Batu. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series selama kurun waktu 2001-2004. Data yang digunakan bersumber dari Dinas Pendapatan Kabupaten Labuhan Batu (Dispenda). BPS, Departemen Keuangan dan sumber-sumber lainnya seperji jurnal-jurnal serta hasil penelitian. Variabel dependen yang digunakan yaitu PDRB berdasarkan harga berlaku. Variabel independen yang digunakan yaitu PAD,DAU,APBD,Derajat Otonomi Fiskal. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ordinary Least Square. Hasil penelitiannya yaitu PAD dan DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Labuhan Batu serta pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi tahun berjalan di Kabupaten Labuhan Batu.

9. Ramzuhri (2008) Meneliti pengaruh pertumbuhan belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi pada enam (6) Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara


(53)

yaitu, Toba Samosir,Mandailing Natal,Tapanuli Tengah,Tapanuli Selatan,Labuhan Batu dan Asahan. Data realisasi belanja modal yang berasal dari Laporan Realisasi APBD Pemda dari tahun 2001-2006 yang diperoleh dari Bagian keuangan atau Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah pada setiap kabupaten. Data pertumbuhan ekonomi dinyatakan dalam bentuk data tahunan pada tahun anggaran 2001-2006 yang diperoleh dari BPS. Kesimpulan yang diperoleh adalah tidak ada pengaruh pertumbuhan belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi.

10. Wahyuni dan Priyo Hari Adi (2009) meneliti pengaruh pertumbuhan dan kontribusi Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Pemerintah Daerah terhadap Pendapatan Daerah di Kabupaten/Kota se Jawa-Bali. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series selama kurun waktu 2001-2005. Data yang digunakan bersumber dari BPS, Departemen Keuangan dan sumber-sumber lainnya seperji jurnal-jurnal serta hasil penelitian. Variabel dependen yang digunakan yaitu Pendapatan Daerah. Variabel independen yang digunakan yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi hasil Sumber Daya alam (DBH SDA). Hasil penelitiannya yaitu bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) pajak selalu mengalami pertumbuhan positif selama periode pengamatan (2001-2005) namun demikian DBH SDA masih mengalami pertumbuhan yang fluktuatif secara umum.


(54)

2.13. Kerangka Konseptual

Berdasarkan teori dan penjelasan pada bab sebelumnya maka penulis membuat Kerangka konsep untuk dapat menggambarkan ruang lingkup Analisis pengaruh Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat terhadap pertumbuhan ekonomi daerah adalah ditunjukkan oleh gambar 3.1 berikut.

Variabel Independen Varibel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Analisis Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat Terhadap Pendapatan Perkapita delapan Kabupaten/kota di SumateraUtara

Berdasarkan penjelasan literatur dan hasil penelitian sebelumnya peneliti membentuk kerangka konseptual yang mengambarkan hubungan antara variabel dependen dan independen. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu DAU, DAK, DBH yang diduga akan berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap

Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana Bagi Hasil (DBH)

Pendapatan Perkapita Kabupaten/Kota


(55)

variabel dependen yakni Pendapatan Perkapita. Tanda panah menunjukan bahwa masing-masing variabel independen diduga berpengaruh baik secara parsial maupun simultan terhadap variabel dependen.

2.14. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teori, tinjauan peneliti terdahulu serta mengacu pada kerangka konseptual pada gambar 3.1, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bahwa alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap

Pendapatan perkapita di 8 Kabupaten/kota baik secara parsial maupun secara simultan, ceteris paribus.

2. Bahwa alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Pendapatan perkapita 8 Kabupaten/kota baik secara parsial maupun secara simultan, ceteris paribus.

3. Bahwa alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Pendapatan perkapita 8 Kabupaten/kota baik secara parsial maupun secara simultan, ceteris paribus.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Dana Perimbangan Pemerintah Pusat seperti Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pendapatan perkapita di delapan Kabupaten/Kota (PPK) di Sumatera Utara. Metode pengukuran yang digunakan adalah data runtut waktu (time series) dari tahun 2004 sampai dengan 2009

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini di Provinsi Sumatera Utara dengan mengambil sampel 8 Kabupaten/kota yakni: Pemerintah Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi dan Pakpak Bharat dengan mengambil dan mempelajari data sekunder yang didapat dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan setempat, Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara dan instansi terkait lainnya. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juli sampai September 2011.


(57)

3.3. Metode Pengumpulan Data

1. Data yang akan dalam penelitian ini adalah data times series, yaitu data sekunder dalam bentuk data panel (Pooled data) dari 8 Kabupaten/Kota dari Tahun 2004 sampai dengan 2009 data DAU,DAK,DBH diperoleh melalui situs

2. Mengunjungi beberapa daerah-daerah obyek penelitian pada lembaga

pemerintahan daerah yang diyakini memiliki data yang akurat tentang variabel-variabel yang akan diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi yang tidak cukup tersedia pada situs resmi obyek penelitian;

3. Menghimpun berbagai data pengelolaan keuangan, data pertumbuhan ekonomi dan data statistik lainnya sebagai data sekunder dari setiap laporan tahunan objek penelitian dengan teknik dokumentasi dan studi pustaka.

3.4. Defenisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dari variabel yang digunakan dengan ini Peneliti menggunakan 4 (empat) variabel independen yaitu Alokasi Dana Umum (DAU), Alokasi Dana Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) sedangkan variabel dependen adalah Pendapatan Perkápita Kabupaten/Kota (PPKK). Definisi operasional pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

1. DAU merupakan variabel independen yaitu dana yang bersumber APBN yang dialokasikan kepada kabupaten/kota dengan tujuan untuk untuk melaksanakan desentralisasi atau pelayanan dasar pemerintah pusat diperoleh langsung dari situs


(58)

diukur dalam jutaan rupiah

2. DAK merupakan variabel independen yaitu dana yang bersumber APBN yang dialokasikan kepada kabupaten/kota dengan tujuan untuk mendanai kegiatan -kegiatan khusus yang menjadi prioritas nasional diperoleh langsung dari situs menggunakan nilai total DAK non dana reboisasi dan tidak memisahkan DAK untuk alokasi perbidang. Variabel ini diukur dalam jutaan rupiah

3. DBH merupakan variabel independen yaitu dana yang bersumber APBN yang yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam dana ini dialokasikan kepada kabupaten/kota dengan tujuan untuk melaksanakan desentralisasi atau pelayanan dasar diperoleh langsung dari situs dilakukan perhitungan. Penelitian ini menggunakan nilai total DAK non dana reboisasi dan tidak memisahkan DAK untuk alokasi perbidang. Variabel ini diukur dalam jutaan rupiah

4.Pendapatan perkápita merupakan variable dependen yaitu yang menggambarkan dari rata-rata pendapatan yang mungkin diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah dimana data ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah atau daerah. Hasil pembagian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tanpa gas dan minyak dari tiap Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk wilayah tersebut. Dimana data dari


(59)

Jumlah PDRB dan Jumlah Penduduk Kabupaten/kota diperoleh dari Bapan Pusat Statistik.

Berikut ini ádalah defenisi operasional variable yang digunakan oleh peneliti berikut pengukuran.

Tabel 3.1. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

No. Jenis/Nama

Variabel Defenisi Operasional Parameter Skala

1. Variabel Dependen : Pendapatan Perkapita Pendapatan perkapita merupakan gambaran dari rata-rata pendapatan yang meungkin diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun disuatu wilayah atau daerah yang diukur atas dasar harga berlaku tahun 2000, pada tahun tertentu dibagi dengan Jumlah Penduduk.

Pendapatan perkapita

dinyatakan dalam bentuk angka untuk mengukur tingkat kemakmuran stuatu wilayah atau daerah

dimana data penduduk dan PDRB diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara dan instansi terkait lainnya mulai Tahun 2004-2009, dinyatakan dalam (rupiah) Rasio 2. Variabel Idependen : Alokasi Dana Umum Merupakan alokasi angka penerimaan daerah yang bersumber dari Dana Alokasi Umum yang diberikan Pemerintah Pusat

Alokasi Dana Umum (DAU) dalam Jutaan

rupiah. (Rp 000,-) Rasio 3. Variable Independen : Alokasi Dana Khusus (DAK) Merupakan alokasi angka penerimaan daerah yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diberikan Pemerintah Pusat

Alokasi Dana Khusus (DAK) dalam Jutaan

rupiah. (Rp 000,-)


(60)

4. Variable Independen : Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Merupakan alokasi angka penerimaan daerah yang bersumber dari Dana bagi hasil (DBH) yang diberikan Pemerintah Pusat

Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) dalam Jutaan

rupiah. (Rp 000,-)

Rasio

3.5. Metode Analisis

Untuk menguji hipotesis yang dikemukakan maka digunakan analisis regresi linier berganda dengan model regresi dalam penelitian ini adalah :

LOG PPKit = ao + a1 LOG DAKit + a2 LOG DAUit + a3 LOG DBHit Dimana :

I = 8 (delapan) Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Toba Samosir,

Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Dairi, Pakpak bharat)

t = Tahun 2004 sampai dengan 2009

PPKit

a

= Pendapatan Perkapita Kabupaten/Kota. (ribu rupiah)

o =

e

Konstanta

i

a

= efek tetap (fixed effect) masing-masing kabupaten/kota

1, a2, a3, a4 = koefisien variabel

DAK

it

DAU

= Dana Alokasi Khusus Kabupeten/kota (juta rupiah)

it

DAU = Total Dana Alokasi Umum Kabupeten/kota (juta rupiah) = Dana Alokasi Umum Kabupeten/kota (juta rupiah)


(61)

DBHit = Dana Bagi Hasil Kabupeten/kota (juta rupiah)

3.6. Teknik Analisis Data

Pengujian Hipotesisi dalam penelitian ini menggunakan regresi linier dimana analisis ini bermanfaat untuk tujuan peramalan (estimation) yaitu bagaimana variable independen digunakan untuk mengestimasi nilai variable dependen, dimana penelitian ini digunakan untuk menguji Hipótesis tentang pengaruh Dana Perimbangan Pemerintah Pusat dalam hal ini ádalah DAU,DAK,DBH terhadap Pendapatan Perkápita di delapan Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Sumatera Utara. Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka alat untuk menganalisis data menggunakan alat bantu perangkat lunak dengan menggunakan Program Eviews versi 7. Formulasi regresi panel dipergunakan karena secara teoritis variabel terikat yang diteliti memiliki kecenderungan hubungan linier dengan masing-masing variabel bebas. Penggunaan model regresi panel harus memenuhi asumsi klasik, yaitu pengujian dengan cara Outlier, uji normalitas, uji Asumsi Klasik, uji multikolinieritas dan uji autokorelasi.

3.6.4. Pengujian secara Outlier

Menurut Erlina dan Mulyani (2007) uji ini berguna untuk melihat apakah ada data yang outlier, yaitu data yang mempunyai nilai yang sangat menyimpang dari nilai data lainnya. Salah satu penyebab terjadinya distribusi tidak normal karena ada


(62)

yang outlier yaitu karena ada data yang ekstrim yang tidak bias dihindari keberadaannya. Selanjutnya menurut Hair et.al. (1998) dalam Erlina (2008) cara untuk mengatasi data yang outlier dengan cara trimming yaitu dengan cara membuang data yang outlier yang mempunyai nilai absolut skor Z (Standardized score) sama atau melebihi 3

3.6.5. Uji Asumsi Klasik

Pengujian Asumsi Klasik diperlukan sebelum dilakukan pengujian hipotesis, pengujian Asumsi Klasik yang dilakukan yaitu uji normalitas multikolinearitas, autokorelasi.

3.6.5.1. Uji Normalitas

Menurut Santoso (2002 : 214), pengujian normalitas data dapat dilakukan dengan cara melihat diagram pencar (scatter diagram) data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tersebut memenuhi asumsi normalitas. Jika scatter diagram data menyebar jauh dari garis diagonal dan/ atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

Cara lain untuk melihat apakah data telah berdistribusi normal dengan menggunakan

JB-test. adalah dengan melihat angka probability. Apabila angka probability lebih besar dari α, (misalnya 0,05) maka data berdistribusi normal sebaliknya apabila angka probability lebih kecil dari α (misalnya 0,05) maka data tidak berdistribusi normal.


(63)

3.6.5.2. Uji Multikolinieritas

Uji Multikolinieritas merupakan pengujian untuk mengetahui apakah pada model regresi yang digunakan ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Jika hal tersebut ditemukan maka dalam model regresi tersebut terdapat gejala multikolinieritas. Sebaiknya pada model regresi yang digunakan tidak terjadi gejala multikolinieritas. Sebuah model regresi dikatakan terkena gejala multikolinieritas apabila terjadi hubungan linier yang sempurna (mencapai angka 1 atau sangat mendekati 1) di antara beberapa atau semua variabel bebas dari suatu model regresi. (Pratomo, 2007 : 88)

3.6.5.3. Uji Autokorelasi

Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain ( Hanke dan Reitsch, 1998 dalam kuncoro, 2001). Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa faktor pengganggu yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh faktor pengganggu pada pengamatan lainnya. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah uji

d Durbin Watson (uji-DW). Menurut Supriana (2009), mendeteksi autokorelasi melalui uji Durbin-Watson adalah merupakan cara yang paling populer Penentuan ada tidaknya gejala autokorelasi

Kriteria pengambilan keputusan tidak adanya autokorelasi positif maupun autokorelasi negatif adalah apabila dU ≤ d ≤ 4-dU, dengan keputusan bahwa

hipotesis tidak ditolak, dimana d adalah Durbin-Watson hitung. (Manurung, 2004 : 119).


(64)

3.6.6. Pengujian Hipotesis

Untuk mengambil keputusan tentang pengujian hipotesis, apakah hipotesis tidak ditolak atau ditolak, dilakukan pengujian pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, baik secara simultan maupun secara parsial.

3.6.6.1. Uji Statistik F

Uji Statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel

independen yang dimasukan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Kuncoro, 2001 ). Lebih lanjut Kuncoro (2001) menyebutkan uji ini dapat dilakukan dengan membandingkan nilai F- hitung dan nilai F-tabel jika nilai F hitung lebih besar dari nilai F-tabel dapat dikatakan bahwa semua variabel independen secara simultan dan signifikan mempengaruhi variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara F Hitung dengan F Tabel pada taraf kepercayaan/ keyakinan (α) tertentu yang ditentukan sebelumnya dan derajat kebebasan (dk)/degree of freedom (df) untuk pembilang (V1 = k-1) dan untuk penyebut (V2 = n-k) . Nilai F hitung diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

R2

F = / ( k – 1 )

( 1 - R2

Dimana [ k – 1 , n – k ] adalah derajat bebas pada tingkat ά = 5 persen.

) / ( N – k )

Biasanya α untuk ilmu sosial antara 5% - 10%. Dalam penelitian ini penulis menetapkan α = 5 % dan ketentuan diterima atau ditolaknya H0 dan H1 adalah


(65)

H0

simultan dan signifikan terhadap pendapatan perkapita : a = 0 ; artinya variabel DAU,DAK,DBH tidak berpengaruh secara

H

dan signifikan terhadap Pendapatan perkápita

: a ≠ 0 ; artinya variabel DAU,DAK,DBH berpengaruh secara simultan

Jika Nilai F Hitung < F Tabel maka Ho diterima, berarti bahwa variabel bebas secara serempak tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat.

3.6.6.2. Uji Statistik t

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat (Kuncoro 2001). Apabila nilai t-hitung lebih besar dari pada t-tabel dapat disimpulkan bahwa suatu variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen,(Kuncoro 2001). Uji secara parsial dengan menggunakan uji statistik t, yaitu untuk mengetahui apakah variabel bebas secara parsial masing-masing mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. dengan : ( n – k ) adalah derajat bebas pada tingkat α = 5 persen dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut :

Ho : a

berpengaruh terhadap Pendapatan perkápita

= 0, artinya variabel DAU,DAK,DBH secara parsial tidak

H1

terhadap Pendapatan perkápita

: a ≠ 0, artinya variabel DAU,DAK,DBH secara parsial berpengaruh

Jika Nilai t Hitung ≥ t Tabel maka Ho ditolak, berarti bahwa variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat, sebaliknya jika nilai


(66)

t hitung < t tabel maka Ho tidak ditolak, berarti bahwa variabel bebas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Apabila HO

hipotesis penelitian yang dikemukakan sebelumnya adalah tidak ditolak, sebab secara statistik H

ditolak, maka hal ini berarti bahwa Dana perimbangan dari Pemerintah Pusat tersebut diharapkan dapat memacu Pemerintah Daerah untuk mencapai kemandiriannya dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Menurut Brata (2004) dalam Harianto dan Adi (2007) bahwa terdapat dua komponen penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan regional yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini merupakan kontribusi publik kepada pemerintah daerah yang pada akhirnya akan digunakan untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat melalui program pembangunan ekonomi


(67)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1

.

Deskripsi Data 4.3.1. Deskripsi Lokasi

Propinsi Sumatera Utara terletak pada 10-40 Lintang Utara dan 980 -1000 Bujur Timur luas daratan 71.680 Km2

Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Di daerah tengah provinsi berjajar Pengunungan di pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantong-kantong konsentrasi penduduk. Tetapi jumlah hunian penduduk paling padat berada di daerah Timur provinsi ini Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli.

. Propinsi Sumatera Utara pada dasarnya dibagi atas Pesisir Timur Pengunangan Bukit Barisan, Pesisir Barat dan Kepulauan Nias.

Tahun 1950 Provinsi Sumatera Utara dibentuk meliputi sebagian Aceh. Tahun 1956, Aceh dipisahkan menjadi Daerah Otonom dari Provinsi Sumatera Utara dan Pusat pemerintahan Sumatera Utara terletak di kota Medan. Sumatera Utara dibagi


(68)

kepada

Adapun yang dijadikan sampel dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Kota Sibolga

Kota Sibolga adalah sebua

Ibu kotanya ialah

membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk Tapian Nauli dimana Kota Sibolga berada pada ketinggian 0-150 dpl dengan kemiringan lahan yang terletak antara 022 % sampai 40 %. Kota Sibolga saat ini dibagi atas 4 Kecamatan dan 16 Kelurahan. Potensi utama perekonomian bersumber dari perikanan, pariwisata, jasa, perdagangan dan industri maritim. Hasil utama perikanan, antara lain, kerapu, tuna, kakap, kembung, bambangan, layang, sardines, lencam dan teri.

2. Kabupaten Tapanuli Tengah

Kabupaten Tapanuli Tengah adalah sebua

geografis terletak diantara 98 07 – 98 12’ Bujur Timur dan 1 11 – 2 22‘ Lintang Utara. Luas wilayah 2.194,98 Km2 atau 219.498 Ha sedangkan Topografi Kabupaten Tapanuli Tengah sebagian besar berbukit - bukit dengan ketinggian 0 – 1.266 meter di atas permukaan laut. Dari seluruh wilayah Tapanuli Tengah, 43,90% berbukit dan bergelombang.


(1)

Lampiran 3 uji Autokorelasi Durbin-Watson

Weighted Statistics

R-squared 0.999993 Mean dependent var 11.42638

Adjusted R-squared 0.999986 S.D. dependent var 6.562967 S.E. of regression 0.024352 Sum squared resid 0.012454

F-statistic 157.3672 Durbin-Watson stat 2.483270

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.996999 Mean dependent var 8.627878

Adjusted R-squared 0.994428 S.D. dependent var 0.326222 S.E. of regression 0.024352 Sum squared resid 0.012454 Durbin-Watson stat 1.901094


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)