4. Operasi geometri, dimana bentuk, ukuran atau orientasi citra dimodifikasi secara geometris.
5. Operasi banyak titik bertetangga, dimana data dari titik-titik yang bersebelahan dengan titik yang ditinjau ikut berperan dalam mengubah
nilai. 6. Operasi morfologi, yaitu operasi yang berdasarkan segmen atau bagian
dalam citra yang menjadi perhatian.
2.4 Representasi Citra Digital
Citra digital adalah sebuah fungsi intensitas cahaya fx,y dengan x dan y menunjukkan koordinat spasial dari nilai f pada tiap titik x,y menunjukkan
kecerahan citra pada titik tersebut Gonzales Woods 2002.
Setiap citra digital direpresentasikan dalam bentuk matriks berukuran m x n, dimana m dan n menunjukkan banyaknya elemen baris dan kolom dari matriks
tersebut.
1 1
1
1
, ,
, ,
,
n
m m
n
f x y f x y
f x y f x
y f x
y ⎛
⎞ ⎜
⎟ ⎜
⎟ =
⎜ ⎟
⎜ ⎟
⎜ ⎟
⎝ ⎠
K K M
O M
M O
M L L
1
Dari persamaan 1 terlihat bahwa citra dapat disajikan dalam bentuk matrik. Tiap sel matrik disebut picture element disingkat dengan pixel yang mewakili
tingkat keabuan atau intensitas warna. Pada citra digital dengan format 8 bit akan memiliki 256 2
8
intensitas warna. Nilai ini berkisar antara 0 sampai dengan 255 dengan nilai 0 menunjukkan intensitas paling gelap dan nilai 255 menunjukkan
intensitas paling terang.
2.5 Mode Citra
Mode citra yang akan digunakan pada penelitian ini adalah citra warna dan citra grayscale.
2.5.1 Citra warna true color
Pada citra warna, setiap titik mempunyai warna yang spesifik yang merupakan kombinasi dari unsur warna merah, hijau dan biru. Format citra ini
sering disebut sebagai citra RGB red-green-blue. Dasarnya adalah warna-warna yang diterima oleh mata manusia merupakan
hasil kombinasi cahaya dengan panjang gelombang berbeda. Penelitian memperlihatkan bahwa kombinasi warna yang memberikan rentang warna paling
lebar adalah warna merah red, hijau greeen dan biru blue Munir 2004. Jumlah kombinasi warna yang mungkin untuk format citra ini adalah 224
atau lebih dari 16 juta warna dengan demikian bisa dianggap mencakup semua warna yang ada, inilah sebabnya format dinamakan true color Balza Kartika
2005. 2.5.2 Citra keabuan
grayscale
Pada citra grayscale pada umumnya warna yang dipakai adalah antara hitam sebagai warna minimal dan putih sebagai warna maksimal, sehingga warna
antaranya adalah abu-abu. Namun pada prakteknya warna yang dipakai tidak terbatas pada warna abu-abu, sebagai contoh dipilih warna minimalnya adalah
putih dan warna maksimalnya merah, maka semakin besar nilainya semakin besar pula intensitas warna merahnya. Sehingga format citra ini dapat juga disebut
sebagai citra intensitas.
2.6 Ekstraksi Ciri
Tujuan ekstraksi ciri feature extraction adalah untuk mereduksi data sebenarnya dengan melakukan pengukuran terhadap properti atau ciri tertentu
yang membedakan pola masukan input satu dengan yang lainnya Duda et al. 2001. Ciri yang menjadi masukan memiliki karateristik dan dapat
mendeskripsikan properti yang relevan dari citra ke dalam ruang ciri feature space dalam dimensi D. Pada persamaan dibawah ini pixel dari citra grayscale
ditransformasikan ke dalam ruang vektor feature vector.
1 2
[ , ,...,
]
D
X x x
x =
2 dimana
i
x adalah vektor ciri dan D adalah dimensi dari vektor ciri.
2.6.1 Warna
Menurut Pitas 1993, model warna RGB mengandung tiga komponen warna yaitu merah Red, hijau Green dan biru Blue atau disebut juga sebagai
warna primer. Model warna RGB didasarkan pada sistem koordinat cartesian berbentuk kubus. Rentang nilai R, G dan B merupakan representasi semua vektor
warna dalam ruang tiga dimensi R-G-B. Model warna RGB merupakan kombinasi dari tiga lapisan warna sehingga menghasilkan satu warna komposit.
Magenta Biru
240º Cyan
Merah 0º
Kuning Hijau
120º 1.0
Putih
0.0 Hitam
0.5
a RGB b HSV
Gambar 8 Model warna RGB dan HSV. Pada Gambar 8 a menunjukkan bahwa koordinat awal 0,0,0 adalah
warna hitam, dan koordinat 1,1,1 adalah warna putih. Warna abu-abu berada disepanjang garis diagonal antara koordinat 0,0,0 sampai dengan 1,1,1,
magenta merupakan hasil campuran antara warna biru dan merah, kuning antara merah dan hijau dan cyan antara biru dan hijau.
Pengambilan nilai feature dari masing-masing unsur warna dilakukan dengan menormalisasi setiap unsur warna dengan persamaan sebagai berikut :
R r
R G B
= + +
3 G
g R G
B =
+ + 4
B b
R G B
= + +
5
Untuk mendapatkan informasi dari tingkat kecerahan citra maka citra RGB dikonversi ke dalam model warna hue, saturation, value HSV Gambar 8 b.
Model warna HSV mempunyai tiga atribut warna,yaitu : • Hue berhubungan dengan ragam warna adalah nilai sudut antara vektor warna
aktual dan vektor warna referensi. • Saturation berhubungan dengan kecerahan warna adalah persentasi dari
pencahayaan ditambah warna referensi. • Value berhubungan dengan intensitas warna.
Untuk menghitung nilai HSV berdasarkan nilai RGB dilakukan dengan persamaan berikut :
0 60 ;
G B
H R
Max Max
Min ⎡
⎤ −
= + =
⎢ ⎥
− ⎣
⎦ 6
120 60 ;
B R
H G
Max Max
Min ⎡
⎤ −
= +
= ⎢
⎥ −
⎣ ⎦
7
240 60 ;
R G H
B Max
Max Min
⎡ ⎤
− =
+ =
⎢ ⎥
− ⎣
⎦ 8
Max Min
S Max
− =
9 V
Max =
10 dimana Max adalah nilai maksimum dan Min nilai minimum dari citra RGB.
2.6.2 Tekstur
Walaupun tidak ada defenisi formal dari konsep tekstur, tapi secara intuisi tekstur mendeskripsikan karakterisitik permukaan dari sebuah obyek seperti halus,
licin, kasar dan sebagainya Gonzalez and Woods 2002. Tujuan analisa tekstur adalah memperoleh beberapa parameter yang dapat digunakan dalam
menggolongkan tekstur tertentu. Hasilnya menjadi referensi dalam mendeskripsikan bentuk obyek Nixon dan Aguado 2002.
Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menganalisa tekstur dari sebuah citra yaitu statistik, struktural dan spektral. Pendekatan statistik menghasilkan
karakteristik permukaan citra seperti halus, licin, kasar dan sebagainya. Teknik struktural menghasilkan garis-garis beraturan yang merepresentasikan citra.
Teknik spektral berdasarkan spektrum Fourier yang mendeteksi perubahan global dari citra dengan cara mengidentifikasi tingkat keseragaman dan puncak
spektrumnya Gonzalez Woods 2002. Pada penelitian ini digunakan pendekatan statistik untuk mengukur nilai
tekstur. Dimana umumnya pendekatan statistik mempunyai dua konsep yaitu: first dan second order spatial statistics Tuceryan Jain 1998.
i First-order statistics mengukur peluang nilai gray secara random pada citra grayscale. First-order statistics dapat dihitung dari histogram intensitas pixel pada
sebuah citra. Nilai yang dihasilkan hanya pada satu pixel yang diukur dan tidak berpengaruh pada nilai pixel yang bersebelahan dengannya. Rata-rata intensitas
pada sebuah citra adalah contoh dari first-order statistic. ii Second-order statistics mengukur peluang nilai dari pasangan pixel yang
bersebelahan secara random pada sebuah citra di lokasi dan arah yang random. Propertinya dari pasangan tersebut adalah nilai pixel.
Ada tiga metode analisa tekstur yang digunakan yaitu: statistical moment, gral-level co-occurrence matrix dan local binary patterns.
2.6.2.1 Statistical Moment
Menurut Gonzalez dan Woods 2002 untuk mendapatkan nilai-nilai tekstur dilakukan dengan menghitung momen statistik intensitas histogram dari sebuah
citra grayscale. Nilai yang dihitung adalah rata-rata intensitas mean, standar deviasi, kehalusan permukaan smoothness, kesimetrisan histogram third
moment, ragam variasi gray level uniformity dan keteracakan distribusi entropy. Untuk menghitung nilai-nilai tersebut dilakukan dengan persamaan
berikut:
Mean
1 L
i i
i
m z p z
− =
=
∑
11 Standard deviation
1 2
2
z σ
μ =
12 Smoothness
2
1 1
1 R
σ = −
+ 13
Third Moment
1 3
3 L
i i
i
z m p z
μ
− =
= −
∑
14 Uniformity
1 2
L i
i
U p
z
− =
=
∑
15 Entropy
1 2
log
L i
i i
e p z
p z
− =
=
∑
16 dengan
z
i
= intensitas citra p = probability
μ
n
= moment ke n.
2.6.2.2 Gray-level Co-occurrence Matrix GLCM
Metode GLCM didefenisikan oleh Haralick et al. pada tahun 1973 yang merupakan fungsi kepadatan peluang bersyarat orde kedua yang bertujuan
menganalisa pasangan pixel yang bersebelahan secara horizontal Chandraratne et al. 2003.
Nilai tekstur dihasilkan dengan menghitung nilai threshold global citra grayscale level, standar deviasi, energy, contrast, homogeneity dan entropy pada
citra grayscale. Energy berfungsi untuk mengukur konsentrasi pasangan gray level pada matriks co-occurance, contrast berfungsi untuk mengukur perbedaan
lokal dalam citra, homogeneity berfungsi untuk mengukur kehomogenan variasi gray level lokal dalam citra dan entropy berfungsi untuk mengukur keteracakan
dari distribusi perbedaan lokal dalam citra. Persamaan untuk menghitung nilai level dan standard deviasi pada metode ini sama dengan persamaan 11 dan 12
di metode statistical moment. Sementara untuk menghitung nilai energy, contrast, homogeneity dan entropy dapat dilakukan dengan persamaan berikut Tuceryan
Jain 1998:
Energy
2
,
i j
p i j
∑
17 Contrast
2
,
i j
i j
p i j −
∑
18 Homogeneity
, 1
i j
p i j i
j + −
∑
19 Entropy
, log
,
i j
p i j p i j
∑
20 dengan
p = probability i,j = koordinat pixel citra grayscale 0…255.
2.6.2.3 Local Binary Patterns LBP
Metode LBP dikenalkan oleh Ojala et al. pada tahun 2002 Ojala et al. 2002. Prinsip kerjanya adalah membandingkan satu pixel center pixel dengan
delapan pixel disekitarnya. Gambar 9 memperlihatkan ilustrasi dari LBP, pasangan pixel 3 x 3 Gambar 9a dikodekan kedalam bilangan biner dengan
memberi nilai threshold pada center pixel. Pixel yang mempunyai nilai gray lebih besar atau sama dengan center pixel dikodekan dengan nilai 1 dan selain itu
dikodekan dengan 0 Gambar 9b. Bilangan biner bernilai 1 dari pasangan pixel 3 x 3 selanjutnya dikalikan dengan bobot binernya Gambar 9c. Hasil perkalian
yang diambil adalah nilai biner yang bernilai 1 Gambar 9d. Hasil pejumlahan dari pasangan pixel ini ditandai sebagai center pixel berikutnya dan bernilai
unique. Operasi ini diulang untuk semua pixel dalam frame citra sehingga dihasilkan nilai LBP keseluruhan pada citra.
5 4 3 1 1 1 1 2 4 1 2 4 4 3 1 1 0 128
8 128 0 2 0 3 0 0 1 64 32
16 0 0 16 a b c d
Gambar 9 Operasi LBP pada dimensi image 3 x 3 pixel. Dari Gambar 9 bilangan biner yang dihasilkan adalah 11101001 dan
selanjutnya dikonversi ke dalam bilangan desimal menjadi 233.
LBP8riu1 adalah versi LBP yang invarian terhadap rotasi, dimana dasar operasi LBP diaplikasikan pada delapan pixel dari kelompok pasangan secara
simetris Gambar 10a. Sembilan nilai LBP yang menunjukkan kesamaan pola Gambar 10b adalah pola yang berhubungan dengan garis dan titik dalam citra.
Pola rotasi lain yang tidak menunjukkan sembilan kesamaan pola dikompres kedalam sepuluh bin intensitas warna histogram. Histogram inilah yang
merepresentasikan nilai ciri tekstur pada sebuah citra Ojala et al. 2002.
a b Gambar 10 Pasangan pixel yang invarian terhadap rotasi untuk LBP8riu1.
2.6.3 Bentuk
Deskripsi bentuk adalah bagian yang fundamental dari sebuah obyek. Menurut Kim dan Sung 2000 dalam Mercimek et al. 2005 ada dua jenis
deskripsi bentuk yaitu berdasarkan kontur dan keseluruhan. Salah satu metode deskripsi bentuk berdasarkan kontur yang popular adalah momen invarian yang
diperkenalkan oleh Hu tahun 1962 Khotanzad et al. 1990. Dengan metode ini Dudani et al. 1977 berhasil melakukan pengenalan terhadap obyek tiga dimensi
yaitu identifikasi citra pesawat terbang Khotanzad et al. 1990; Mercimek et al. 2005.
Momen invarian merupakan persaman vektor turunan momen orde ketiga kovarian yang menguji independensi antara peubah x dan y. Pada penelitian ini
deskripsi bentuk dilakukan dengan mengelompokkan citra grayscale dalam himpunan vektor momen invarian. Prosesnya dilakukan dengan menghitung
momen dan momen pusat citra dengan persamaan sebagai berikut Sebe Lew 2000 :
∑∑
=
m n
q p
pq
y x
f y
x ,
ω
21
∑∑
− −
=
m n
q p
pq
y x
f y
y x
x c
, 22
dengan ω =
momen citra
p, q =
orde momen
f = nilai intensitas warna
c = momen pusat x, y = koordinat piksel
y x, = pusat citra
m, n = jumlah piksel vertikal dan horisontal Momen pusat ini invarian terhadap translasi citra, sedangkan untuk
memperoleh momen yang invarian terhadap rotasi maupun penskalaan, maka momen pusat dinormalisasikan dengan persamaan :
λ
η
00 pq
pq
c c
=
23
dengan : 2
q p
1 +
+ =
λ untuk p+q = 2,3......
Untuk mendapatkan momen yang invarian baik terhadap translasi, penskalaan maupun rotasi adalah menghitung tujuh vektor momen invarian
dengan persamaan sebagai berikut : 1.
02 20
1
η η
ϕ +
= 24
2.
2 11
2 02
20 2
4 η
η η
ϕ +
− =
25 3.
2 03
21 2
12 30
3
3 3
η η
η η
ϕ −
+ −
= 26
4.
2 03
21 2
12 30
4
η η
η η
ϕ +
+ +
= 27
5. ]
[ ]
[
2 03
21 2
12 30
03 21
03 21
2 03
21 2
12 30
12 30
12 30
5
3 3
3 3
η η
η η
η η
η η
η η
η η
η η
η η
ϕ −
− −
+ −
+ +
− +
− −
= 28
6. ]
[
03 21
12 30
11 2
03 21
2 12
30 02
20 6
4 η
η η
η η
η η
η η
η η
ϕ +
+ +
+ −
+ −
= 29
7. ]
[ ]
[
2 03
21 2
12 30
03 21
30 12
2 03
21 2
12 30
12 30
03 21
7
3 3
3 3
η η
η η
η η
η η
η η
η η
η η
η η
ϕ −
− +
+ −
+ +
− +
+ −
= 30
dengan ϕ = momen invarian
η = momen pusat normalisasi
1
ϕ
dan
2
ϕ
merupakan representasi momen yang invarian terhadap translasi dan skala,
3
6
ϕ ϕ −
representasi momen yang invarian terhadap rotasi dan
7
ϕ
representasi momen yang invarian terhadap ketidaksimetrisan, yang bisa membedakan dua citra identik dalam posisi kebalikan mirror Rickard 1999.
Untuk lebih lengkap daftar ekstraksi ciri dari penelitian ini disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Daftar ekstraksi ciri dari citra karang Ciri
Kelas Ciri x
1
Red Warna
x
2
Green Warna
x
3
Blue Warna
x
4
Hue Warna
x
5
Saturation Warna
x
6
Value Warna
x
7
Mean Statistical moment
x
8
Standard Deviation
Statistical moment x
9
Smoothness Statistical moment x
10
Third Moment
Statistical moment x
11
Uniformity Statistical moment
x
12
Entropy Statistical moment
x
13
1
ϕ Momen invarian
x
14
2
ϕ Momen invarian
x
15
3
ϕ Momen invarian
x
16
4
ϕ Momen invarian
x
17
5
ϕ Momen invarian
x
18
6
ϕ Momen invarian
x
19
7
ϕ Momen invarian
2.7 Jaringan Syaraf Tiruan
Dalam identifikasi karang, pembentukan model referensi karang dan pencocokan pola adalah dua tahapan yang sangat berkaitan. Pembentukan model
referensi karang akan membentuk suatu model referensi yang akan digunakan untuk pencocokan pola. Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam
pencocokan pola adalah Jaringan Syaraf Tiruan JST. JST akan melakukan pembelajaran untuk membentuk suatu model referensi, kemudian JST yang telah
melakukan pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk pencocokan pola. JST didefinisikan sebagai sistem komputasi yang didasarkan pada
pemodelan syaraf biologi neuron melalui pendekatan dari sifat-sifat komputasi biologis biological computation. JST bisa dibayangkan berupa jaringan dengan
elemen pemroses sederhana yang saling terhubung. Seperti pada Gambar 11, elemen pemroses berinteraksi melalui sambungan variabel yang disebut bobot,
dan bila diatur secara tepat dapat menghasilkan sifat yang diinginkan Fausett 1994. Model neuron sederhana disajikan pada Gambar 11.
∑
θ
1
x
2
x
n
x
1
w
2
w
n
w
Gambar 11 Sistem komputasi pemodelan neuron. Dan pernyataan matematisnya
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛
− =
∑
= n
i i
i
x w
f y
1
θ
31 dengan
x
i
= sinyal masukan, i = 1,2,…,n n = banyaknya simpul masukan
w
i
= bobot hubungan atau synapsis θ
= threshold atau bias ƒ =
fungsi aktivasi
y = sinyal keluaran dari neuron
Ide dasar JST adalah konsep belajar. Jaringan belajar melakukan generalisasi karakteristik tingkah laku obyek. Jika dilihat dari sudut pandang
manusia, hal ini sama seperti bagaimana manusia belajar sesuatu. Manusia mengenal obyek dengan mengatur otak untuk menggolongkan atau melakukan
generalisasi terhadap obyek tersebut. Manusia menyimpan ilmu pengetahuannya ke dalam otak yang berisikan
synapsis, neuron, dan komponen lainnya. JST menyimpan ilmu pengetahuannya dalam nilai bobot sambungan seperti synapsis dalam otak manusia dan elemen-
elemen neuron yang menghasilkan keluaran. Untuk menyelesaikan permasalahan, JST memerlukan algoritma untuk
belajar, yaitu bagaimana konfigurasi JST dapat dilatih untuk mempelajari data histories yang ada. Dengan pelatihan ini, pengetahuan yang terdapat pada data
bisa diketahui dan direpresentasikan dalam bobot sambungannya. Jenis Algoritma belajar yang ada diantaranya Jang et al. 1997 :
a. Supervised Learning
Algoritma ini diberikan target yang akan dicapai. Contohnya Backpropagation algorithm algoritma propagasi balik dan Radial basis function.
b. Unsupervised Learning
Pada Algoritma ini sama sekali tidak disediakan target, misalnya Carpenter- Grossberg Adaptive Resonance Theory ART, Learning Vector Quantization
LVQ dan Competitive Learning Algorithm. c.
Reinforcement Learning Bentuk khusus dari supervised learning, contohnya Genetic Algorithm GA.
Propagasi balik backpropagation yang merupakan salah satu model JST untuk pencocokan pola pattern matching, menggunakan arsitektur multi layer
perceptron Gambar 12 dan pelatihan backpropagation. Walaupun JST backpropagation membutuhkan waktu yang lama untuk pelatihan tetapi bila
pelatihan telah selesai dilakukan, JST akan dapat mengenali suatu pola dengan cepat. Beberapa karakteristik dari JST backpropagation adalah sebagai berikut:
• Jaringan Multi Layer. JST backpropagation mempunyai lapisan input, lapisan tersembunyi dan
lapisan output dan setiap neuron pada satu lapisan menerima input dari semua neuron pada lapisan sebelumnya.
Gambar 12 Arsitektur jaringan backpropagation. • Fungsi Aktivasi.
Fungsi aktivasi akan menghitung input yang diterima oleh suatu neuron, kemudian neuron tersebut meneruskan hasil dari fungsi aktivasi ke neuron
berikutnya, sehingga fungsi aktivasi berfungsi sebagai penentu kuat lemahnya sinyal yang dikeluarkan oleh suatu neuron. Beberapa fungsi aktivasi yang
sering digunakan dalam JST backpropagation adalah : 1.
Fungsi sigmoid biner seperti pada Gambar 13, yaitu fungsi biner yang memiliki rentang 0 sd 1 dengan fungsi sebagai berikut :
exp 1
1 x
x f
− +
=
, 32
Gambar 13 Sigmoid biner pada selang [0,1]
.
2. Fungsi sigmoid bipolarseperti pada Gambar 14, yaitu fungsi yang memiliki rentang -1 sd 1 dengan fungsi sebagai berikut :
1 exp
1 2
− −
+ =
x x
f
33
Gambar 14 Sigmoid bipolar pada selang [-1,1]. • Algoritma pembelajaran JST backpropagation bersifat iterative dan didesain
untuk meminimalkan mean square error mse antara output yang dihasilkan dengan output yang diinginkan target. Dalam Mathworks 2004 mse dapat
dihitung dengan :
2 2
1 1
1 1
N N
i i
i i
i
mse e
t a
N N
= =
= =
−
∑ ∑
34
Langkah-langkah algoritma pelatihan JST backpropagation yang diformulasikan oleh Rumelhart, Hinton dan Rosenberg tahun 1986, secara
singkat adalah sebagai berikut : a. Inisialisasi bobot, dapat dilakukan secara acak atau melalui metode Nguyen
Widrow b. Perhitungan nilai aktivasi, tiap neuron menghitung nilai aktivasi dari input
yang diterimanya. Pada lapisan input nilai aktivasi adalah fungsi identitas. Pada hidden neuron dan output nilai aktivasi dihitung melalui fungsi
aktivasi. c. Penyesuaian bobot dipengaruhi oleh besarnya nilai kesalahan error antara
target output dan nilai output jaringan saat ini. d. Iterasi akan terus dilakukan sampai kriteria error tertentu dipenuhi.
Untuk mengimplementasikan algoritma pelatihan diatas, JST harus memiliki suatu set data pelatihan. Data pelatihan harus mencakup seluruh jenis
pola yang ingin dikenal agar nantinya dapat mengenali seluruh pola yang ada. Dalam kaitannya dengan sistem identifikasi karang, data pelatihan harus
mencakup seluruh spesies. Dalam JST semakin banyak contoh suatu pola dalam pelatihan maka JST akan semakin baik mengenal pola tersebut. Untuk itu akan
lebih baik jika tiap citra karang digunakan lebih dari satu kali pengulangan untuk nantinya digunakan dalam pembelajaran JST.
JST akan menerima data input berupa vektor. Jika dimensi vektor terlalu besar maka JST akan bekerja lebih lambat. Dalam identifikasi ini setiap citra
digital akan diproses terlebih dahulu dengan teknik ekstraksi ciri sehingga dimensi data akan tereduksi. Dalam pembelajaran seluruh set data pembelajaran akan
diproses sehingga JST akan membentuk suatu model referensi bagi seluruh pola- pola yang ada.
2.8 Review Riset Terdahulu