Identifikasi Citra Karang Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan: Kasus Family Pocilloporidae

(1)

POCILLOPORIDAE

RONI SALAMBUE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan letak geografis di antara samudera hindia dan samudera pasifik yang memiliki keanekaragaman jenis (biodiversity) laut yang tak terhitung jumlahnya. Salah satunya adalah terumbu karang (coral reefs). Terumbu karang terdiri atas bangunan ribuan karang batu yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan biota laut lainnya yang memiliki banyak fungsi penting bagi lingkungan maupun manusia.

Masalah biodiversity selalu menanyakan ada berapa spesies di suatu area, seperti berapa jenis karang di area tersebut kemudian berapa jenis biota lainnya. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis karang maka diperlukan proses identifikasi dan inventarisasi. Proses ini dilakukan secara kontiniu karena dikhawatirkan keanekaragaman jenis akan berkurang atau hilang karena pemanfaatan yang tidak pada tempatnya, pengelolaan lingkungan yang tidak ramah dan bencana alam. Secara spesifik kerusakan pada karang disebabkan oleh rusaknya fisik akibat pengeboman ikan atau bencana alam, karang dijadikan sumber bahan bangunan atau souvenir (coral mining) dan habitatnya rusak karena polusi atau sampah (Sukarno R 15 Februari 2007, komunikasi pribadi).

Salah satu usaha untuk melestarikan terumbu karang adalah dengan melakukan program konservasi dan monitoring terumbu karang (Donelly & Mous 2002). Pada dasarnya kegiatan monitoring bertujuan untuk menentukan populasi organisme di area karang seperti karang hidup, karang mati, alga dan sebagainya (Kenchington & Hudson dalam Marcos et al. 2005). Sehingga para peneliti dan ilmuwan di bidang kelautan dapat mengambil kesimpulan apakah ekosistem karang baik, rusak atau mati.

Dalam kegiatan monitoring terumbu karang telah memanfaatkan teknologi foto satelit dan foto udara. Untuk mendapatkan korelasi antara citra spektral yang dihasilkan oleh foto satelit dengan informasi sebenarnya seperti distribusi karang hidup digunakan teknik pengolahan citra (image processing) dan pengenalan pola (pattern recognition). Teknik ini digunakan menganalisa citra foto satelit sehingga dapat diketahui citra terumbu karang diantara citra species lainnya (Bradbury et


(3)

al. 1986; Freire 2001). Disamping foto satelit dan foto udara, ilmuwan dan peneliti kelautan juga menggunakan video dan fotografi bawah laut untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi terumbu karang (Suharsono 1996, 2005; Veron 1986).

Pada umumnya peneliti menggunakan dua macam teknik identifikasi yaitu teknik visual (identifikasi langsung) dan teknik struktur karang (identifikasi tidak langsung). Teknik visual dilakukan dengan memperhatikan warna, tekstur dan bentuk koloni karang secara langsung atau citra hasil fotografi. Sementara teknik struktur karang dilakukan dengan memperhatikan bentuk kerangka kapur karang pada karang yang telah mati dengan alat bantu mikroskop dan kaca pembesar. Saat ini trend metode identifikasi adalah teknik visual karena tidak harus mengambil dan mematikan karang yang dapat merusak pertumbuhan karang. Namun teknik visual ini hanya dapat dilakukan oleh peneliti atau ilmuwan yang ahli dan berpengalaman. Sementara itu pada peneliti pemula yang ingin menerapkan teknik visual harus melengkapi diri dengan referensi-referensi yang memadai dan waktu yang relatif lama untuk dapat mengidentifikasi karang dengan teknik ini. Semakin sering seorang peneliti pemula melakukan identifikasi karang maka akan terbentuk secara intuisi pengetahuan tentang karang sehingga waktu yang digunakan untuk mengidentifikasi relatif lebih cepat (Sukarno R 18 Januari 2007, komunikasi pribadi).

Teknik visual adalah teknik yang membutuhkan skill penglihatan dan kemampuan untuk mengklasifikasikan pola yang terbentuk dari warna, tekstur dan bentuk karang. Teknik ini dapat dimodelkan ke dalam teknik statistik yang menjadi basic ilmu pengolahan citra dan pengenalan pola. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan guna mengimplementasikan teknik visual tersebut kedalam sistem komputer yang dapat membantu dan memudahkan para peneliti dalam mengidentifikasi karang dari citra hasil fotografi.

Ada kesulitan yang melekat dalam mengaplikasikan teknik pengolahan citra dan pengenalan pola untuk mengidentifikasi citra karang. Karang memiliki variasi warna, tekstur dan bentuk yang beranekaragam, tidak seperti wajah atau sidik jari yang mempunyai derajat kemiripan yang tinggi dan memiliki ciri yang terdefinisi dengan baik. Karang adalah obyek tiga dimensi yang dapat dilihat berbeda dari


(4)

bermacam-macam perspektif dan skala (Marcos et al. 2005). Menurut Lovell dalam Veron (1986) karang memiliki tiga warna yaitu: (1) warna yang dilihat di dalam air, (2) warna yang dilihat ketika karang diambil dan (3) warna yang dihasilkan dari hasil fotografi.

Beberapa penelitan citra terumbu karang yang menggunakan teknik image processing dan pattern recognition dilakukan oleh Soriano et al. (2001) untuk mengidentifikasi lima jenis obyek dari citra terumbu karang. Marcos et al. (2005) melakukan hal yang sama dengan mengurangi jumlah obyek yang diklasifikasikan menjadi tiga kelompok benthic (organisme bawah laut) dari citra terumbu karang dengan teknik klasifikasi menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) dan two-step classifier.

JST adalah sistem pemroses informasi berbasis komputer yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf manusia. JST dapat dilatih dan melakukan pembelajaran untuk membentuk suatu model referensi berdasarkan pola data yang diberikan (Fausett 1994). JST mampu menyelesaikan persoalan rumit yang sulit atau bahkan tidak mungkin jika diselesaikan dengan menggunakan komputasi konvensional dan memiliki tingkat akurasi pengenalan terhadap pola yang baik.

Pada penelitian ini dilakukan perancangan dan implementasi JST untuk identifikasi citra karang dengan mengektraksi nilai warna, tekstur dan bentuk dari citra karang sebagai parameter input JST. Pengukuran kinerja sistem dilakukan dengan menggunakan parameter konvergensi dan generalisasi.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Menentukan ektraksi ciri (feature extraction) sebagai parameter input yang akan digunakan dalam model JST.

2. Melakukan komparasi antara tiga metode analisa tekstur yang digunakan untuk mengekstraksi nilai tekstur.

3. Mengembangkan prototipe sistem yang dapat mengidentifikasi citra karang dengan teknik JST.


(5)

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini mencakup :

1. Identifikasi citra karang dilakukan pada jenis karang batu (hard coral)

familypocilloporidae.

2. Identifikasi yang dilakukan dibatasi sampai pada tingkat genus. 3. Identifikasi dilakukan berdasarkan citra masing-masing genus karang. 4. Ektraksi ciri dilakukan pada warna, tekstur dan bentuk.

5. Warna yang dijadikan referensi adalah warna citra hasil fotografi. 6. Format citra karang .JPG.

7. Tidak memperhatikan noise citra.

8. Pengembangan model JST dan prototipe sistem menggunakan perangkat lunak MATLAB versi 7.0.1

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sistem ini diharapkan memberikan kontribusi kepada peneliti terumbu karang dalam mengidentifikasi karang dengan lebih cepat dan akurat. 2. Implementasi teknik pengolahan citra pada tahap ekstraksi ciri yaitu

model warna RGB dan HSV untuk warna, tiga metode analisis tekstur untuk tekstur dan momen invarian untuk bentuk.


(6)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Struktur dan Anatomi Karang

Istilah karang mempunyai banyak arti, tapi umumnya berhubungan dengan

order scleractinia, semua karang yang membentuk kapur. Karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatypic coral) dan karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatypic coral). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian reef building corals, sementara kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur yang dikenal dengan non–reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron 1986).

Karang yang hidup di laut tampak terlhat seperti batuan dan tanaman yang memiliki bentuk, ukuran dan warna yang berbeda-beda. Tetapi sebenarnya setiap koloni (bentuk) karang merupakan kumpulan hewan-hewan kecil yang dinamakan polip. Polip adalah makhluk yang sangat sederhana dan termasuk dalam hewan tak bertulang belakang. Polip memiliki sebuah mulut yang dikelililingi oleh tentakel-tentakel yang dapat menyengat. Pada tentakel terdapat sel-sel racun yang digunakan untuk menangkap berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut yang sangat kecil atau disebut plankton sebagai bahan makanan (Sukarno R 18 Januari 2007, komunikasi pribadi).

Menurut Suharsono (1996, 2005) karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada diatas yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga perut. Di dalam rongga perut terdapat semacam usus yang disebut dengan mesentri filamen yang berfungsi sebagai alat pencerna. Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak pada lempeng dasar. Lempengan yang berdiri ini disebut sebagai septa yang tersusun dari bahan anorganik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang.


(7)

Dinding dari polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderm, endoderm dan mesoglea. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel antara lain sel mucus dan sel nematocyst. Endoderm berada dilapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang. Sedangkan mesoglea merupakan jaringan yang ditengah berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan dilapisan luar terdapat sel semacam sel otot. Seluruh permukaan jaringan karang dilengkapi dengan cilia dan flagela. Kedua sel ini berkembang dengan baik di tentakel dan di dalam sel mesenteri. Pada lapisan ektoderm banyak dijumpai sel glandula yang berisi mucus dan sel knidoblast yang berisi sel nematocyts. Nematocyts merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sedangkan sel mucus berfungsi sebagai produsen mucus yang membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat.

Karang mempunyai sistem syaraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Jaringan syaraf yang sederhana ini tersebar baik di ektoderm, endoderm dan mesoglea yang dikoordinasi oleh sel khusus yang disebut sel junction yang bertanggung jawab memberi respon baik mekanis maupun khemis terhadap adanya stimuli cahaya.

Jaringan otot yang sederhana biasanya terdapat diantara jaringan mosoglea yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut sebagai respon perintah jaringan syaraf. Sinyal jaringan itu tidak hanya di dalam satu polip tetapi juga diteruskan ke polip yang lain.

Jaringan mesenterial filamen berfungsi sebagai alat pencernaan yang sebagian besar selnya berisi sel mucus yang berisi enzim untuk mencerna makanan. Lapisan luar dari jaringan mesenteri filamen dilengkapi sel cilia yang halus.

Organ reproduksi karang berkembang diantara mesenteri filamen. Pada saat tertentu organ-organ reproduksi terlihat dan pada waktu yang lain menghilang, terutama untuk jenis karang yang hidup di daerah sub tropis. Untuk karang yang hidup di daerah tropis organ reproduksi ini dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun. Dalam satu polip dapat ditemukan organ betina saja atau jantan saja atau kedua-duanya (hermaprodit).


(8)

Namun karang hermaprodit jarang yang mempunyai tingkat pemasakan antara gonad jantan dan betina matang pada saat yang bersamaan.

Pemberian nama karang adalah berdasar skeleton yang terbuat dari kapur, oleh karena itu pengenalan terminologi skeleton sangat penting artinya. Untuk memperoleh gambaran tentang karang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur polip dan kerangka kapur karang (Suharsono 2005).

Lempeng dasar yang merupakan lempeng yang terletak di dasar sebagai fondasi dari septa yang muncul membentuk struktur yang tegak dan melekat pada dinding yang disebut epitheca (epiteka). Keseluruhan skeleton yang terbentuk dari


(9)

satu polip disebut corallite (koralit), sedangkan keseluruhan skeleton yang dibentuk oleh keseluruhan polip dalam satu individu atau satu koloni disebut

corallum (koralum). Permukaan koralit yang terbuka disebut calyx (kalik). Septa dibedakan menjadi septa utama, kedua, ketiga dan seterusnya tergantung dari besar kecilnya dan posisinya. Septa yang tumbuh hingga mencapai dinding luar dari koralit disebut costae (kosta). Pada dasar sebelah dalam dari septa tertentu sering dilanjutkan suatu struktur yang disebut pali. Struktur yang berada di dasar dan di tengah koralit yang sering merupakan kelanjutan dari septa disebut

columella (kolumela).

Dari cara terbentuknya koralit maka dibedakan menjadi extra tentacular jika koralit yang baru terbentuk di luar koralit yang lama. Intra tentacular jika koralit yang baru terbentuk di dalam koralit yang lama. Cara pembentukan koloni karang yang demikian akhirnya membentuk berbagai bentuk koloni yang dibedakan berdasar konfigurasi koralit.

2.2Sistematika dan Karakteristik Karang

Sistematika klasifikasi karang yang menjadi obyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Sistematika karang (Veron 1986)

Kelas Ordo Sub-Ordo Familia Genus Species Madracis M. Kirbyi

Palauastrea P. Ramosa P. Damicornis P. Eydouxi P. Meandrina P. Verrucosa Pocillopora

P. Woodjonesi S. Caliendrum Seriatopora

S. Hystrix Anthozoa Scleractinia Archaecoenina Pocilloporidae

Stylophora S. Pistillata

Pocilloporidae terdiri dari genus madracis, palauastrea, pocillopora, seriatopora dan stylophora yang semuanya dapat ditemukan di Indonesia. Berikut


(10)

ini adalah karakteristik dari family pocilloporidae dan genus-genusnya (Suharsono 1996, 2005; Veron 1986).

Family Pocilloporidae

• Koloni bercabang atau submasive, ditutupi bintil-bintil disebut verrucosae. • Koralit hampir tenggelam dan kecil.

• Kolumela berkembang dengan baik.

• Septa dua tingkat dan bergabung dengan kolumela. • Diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil.

Genus Madracis

• Koloni merayap berupa lembaran atau membentuk pilar.

• Koralit cerioid (dinding dari koralit yang berdekatan menjadi satu) dengan sudut-sudut membulat dengan kolumela membentuk tonjolan.

• Jumlah septa sepuluh yang masing-masing menyatu dengan kolumela. • Warna cenderung coklat atau hijau.

Gambar 2 Genus madracis.

Genus Palauastrea

• Koloni bercabang. • Koralit membulat.

• Septa menyatu dengan kolumela membentuk tonjolan. • Warna hijau kecoklatan dengan ujung cenderung memutih.


(11)

POCILLOPORIDAE

RONI SALAMBUE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan letak geografis di antara samudera hindia dan samudera pasifik yang memiliki keanekaragaman jenis (biodiversity) laut yang tak terhitung jumlahnya. Salah satunya adalah terumbu karang (coral reefs). Terumbu karang terdiri atas bangunan ribuan karang batu yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan biota laut lainnya yang memiliki banyak fungsi penting bagi lingkungan maupun manusia.

Masalah biodiversity selalu menanyakan ada berapa spesies di suatu area, seperti berapa jenis karang di area tersebut kemudian berapa jenis biota lainnya. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis karang maka diperlukan proses identifikasi dan inventarisasi. Proses ini dilakukan secara kontiniu karena dikhawatirkan keanekaragaman jenis akan berkurang atau hilang karena pemanfaatan yang tidak pada tempatnya, pengelolaan lingkungan yang tidak ramah dan bencana alam. Secara spesifik kerusakan pada karang disebabkan oleh rusaknya fisik akibat pengeboman ikan atau bencana alam, karang dijadikan sumber bahan bangunan atau souvenir (coral mining) dan habitatnya rusak karena polusi atau sampah (Sukarno R 15 Februari 2007, komunikasi pribadi).

Salah satu usaha untuk melestarikan terumbu karang adalah dengan melakukan program konservasi dan monitoring terumbu karang (Donelly & Mous 2002). Pada dasarnya kegiatan monitoring bertujuan untuk menentukan populasi organisme di area karang seperti karang hidup, karang mati, alga dan sebagainya (Kenchington & Hudson dalam Marcos et al. 2005). Sehingga para peneliti dan ilmuwan di bidang kelautan dapat mengambil kesimpulan apakah ekosistem karang baik, rusak atau mati.

Dalam kegiatan monitoring terumbu karang telah memanfaatkan teknologi foto satelit dan foto udara. Untuk mendapatkan korelasi antara citra spektral yang dihasilkan oleh foto satelit dengan informasi sebenarnya seperti distribusi karang hidup digunakan teknik pengolahan citra (image processing) dan pengenalan pola (pattern recognition). Teknik ini digunakan menganalisa citra foto satelit sehingga dapat diketahui citra terumbu karang diantara citra species lainnya (Bradbury et


(13)

al. 1986; Freire 2001). Disamping foto satelit dan foto udara, ilmuwan dan peneliti kelautan juga menggunakan video dan fotografi bawah laut untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi terumbu karang (Suharsono 1996, 2005; Veron 1986).

Pada umumnya peneliti menggunakan dua macam teknik identifikasi yaitu teknik visual (identifikasi langsung) dan teknik struktur karang (identifikasi tidak langsung). Teknik visual dilakukan dengan memperhatikan warna, tekstur dan bentuk koloni karang secara langsung atau citra hasil fotografi. Sementara teknik struktur karang dilakukan dengan memperhatikan bentuk kerangka kapur karang pada karang yang telah mati dengan alat bantu mikroskop dan kaca pembesar. Saat ini trend metode identifikasi adalah teknik visual karena tidak harus mengambil dan mematikan karang yang dapat merusak pertumbuhan karang. Namun teknik visual ini hanya dapat dilakukan oleh peneliti atau ilmuwan yang ahli dan berpengalaman. Sementara itu pada peneliti pemula yang ingin menerapkan teknik visual harus melengkapi diri dengan referensi-referensi yang memadai dan waktu yang relatif lama untuk dapat mengidentifikasi karang dengan teknik ini. Semakin sering seorang peneliti pemula melakukan identifikasi karang maka akan terbentuk secara intuisi pengetahuan tentang karang sehingga waktu yang digunakan untuk mengidentifikasi relatif lebih cepat (Sukarno R 18 Januari 2007, komunikasi pribadi).

Teknik visual adalah teknik yang membutuhkan skill penglihatan dan kemampuan untuk mengklasifikasikan pola yang terbentuk dari warna, tekstur dan bentuk karang. Teknik ini dapat dimodelkan ke dalam teknik statistik yang menjadi basic ilmu pengolahan citra dan pengenalan pola. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan guna mengimplementasikan teknik visual tersebut kedalam sistem komputer yang dapat membantu dan memudahkan para peneliti dalam mengidentifikasi karang dari citra hasil fotografi.

Ada kesulitan yang melekat dalam mengaplikasikan teknik pengolahan citra dan pengenalan pola untuk mengidentifikasi citra karang. Karang memiliki variasi warna, tekstur dan bentuk yang beranekaragam, tidak seperti wajah atau sidik jari yang mempunyai derajat kemiripan yang tinggi dan memiliki ciri yang terdefinisi dengan baik. Karang adalah obyek tiga dimensi yang dapat dilihat berbeda dari


(14)

bermacam-macam perspektif dan skala (Marcos et al. 2005). Menurut Lovell dalam Veron (1986) karang memiliki tiga warna yaitu: (1) warna yang dilihat di dalam air, (2) warna yang dilihat ketika karang diambil dan (3) warna yang dihasilkan dari hasil fotografi.

Beberapa penelitan citra terumbu karang yang menggunakan teknik image processing dan pattern recognition dilakukan oleh Soriano et al. (2001) untuk mengidentifikasi lima jenis obyek dari citra terumbu karang. Marcos et al. (2005) melakukan hal yang sama dengan mengurangi jumlah obyek yang diklasifikasikan menjadi tiga kelompok benthic (organisme bawah laut) dari citra terumbu karang dengan teknik klasifikasi menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) dan two-step classifier.

JST adalah sistem pemroses informasi berbasis komputer yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf manusia. JST dapat dilatih dan melakukan pembelajaran untuk membentuk suatu model referensi berdasarkan pola data yang diberikan (Fausett 1994). JST mampu menyelesaikan persoalan rumit yang sulit atau bahkan tidak mungkin jika diselesaikan dengan menggunakan komputasi konvensional dan memiliki tingkat akurasi pengenalan terhadap pola yang baik.

Pada penelitian ini dilakukan perancangan dan implementasi JST untuk identifikasi citra karang dengan mengektraksi nilai warna, tekstur dan bentuk dari citra karang sebagai parameter input JST. Pengukuran kinerja sistem dilakukan dengan menggunakan parameter konvergensi dan generalisasi.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Menentukan ektraksi ciri (feature extraction) sebagai parameter input yang akan digunakan dalam model JST.

2. Melakukan komparasi antara tiga metode analisa tekstur yang digunakan untuk mengekstraksi nilai tekstur.

3. Mengembangkan prototipe sistem yang dapat mengidentifikasi citra karang dengan teknik JST.


(15)

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini mencakup :

1. Identifikasi citra karang dilakukan pada jenis karang batu (hard coral)

familypocilloporidae.

2. Identifikasi yang dilakukan dibatasi sampai pada tingkat genus. 3. Identifikasi dilakukan berdasarkan citra masing-masing genus karang. 4. Ektraksi ciri dilakukan pada warna, tekstur dan bentuk.

5. Warna yang dijadikan referensi adalah warna citra hasil fotografi. 6. Format citra karang .JPG.

7. Tidak memperhatikan noise citra.

8. Pengembangan model JST dan prototipe sistem menggunakan perangkat lunak MATLAB versi 7.0.1

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sistem ini diharapkan memberikan kontribusi kepada peneliti terumbu karang dalam mengidentifikasi karang dengan lebih cepat dan akurat. 2. Implementasi teknik pengolahan citra pada tahap ekstraksi ciri yaitu

model warna RGB dan HSV untuk warna, tiga metode analisis tekstur untuk tekstur dan momen invarian untuk bentuk.


(16)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Struktur dan Anatomi Karang

Istilah karang mempunyai banyak arti, tapi umumnya berhubungan dengan

order scleractinia, semua karang yang membentuk kapur. Karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatypic coral) dan karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatypic coral). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian reef building corals, sementara kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur yang dikenal dengan non–reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron 1986).

Karang yang hidup di laut tampak terlhat seperti batuan dan tanaman yang memiliki bentuk, ukuran dan warna yang berbeda-beda. Tetapi sebenarnya setiap koloni (bentuk) karang merupakan kumpulan hewan-hewan kecil yang dinamakan polip. Polip adalah makhluk yang sangat sederhana dan termasuk dalam hewan tak bertulang belakang. Polip memiliki sebuah mulut yang dikelililingi oleh tentakel-tentakel yang dapat menyengat. Pada tentakel terdapat sel-sel racun yang digunakan untuk menangkap berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut yang sangat kecil atau disebut plankton sebagai bahan makanan (Sukarno R 18 Januari 2007, komunikasi pribadi).

Menurut Suharsono (1996, 2005) karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada diatas yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga perut. Di dalam rongga perut terdapat semacam usus yang disebut dengan mesentri filamen yang berfungsi sebagai alat pencerna. Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak pada lempeng dasar. Lempengan yang berdiri ini disebut sebagai septa yang tersusun dari bahan anorganik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang.


(17)

Dinding dari polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderm, endoderm dan mesoglea. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel antara lain sel mucus dan sel nematocyst. Endoderm berada dilapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang. Sedangkan mesoglea merupakan jaringan yang ditengah berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan dilapisan luar terdapat sel semacam sel otot. Seluruh permukaan jaringan karang dilengkapi dengan cilia dan flagela. Kedua sel ini berkembang dengan baik di tentakel dan di dalam sel mesenteri. Pada lapisan ektoderm banyak dijumpai sel glandula yang berisi mucus dan sel knidoblast yang berisi sel nematocyts. Nematocyts merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sedangkan sel mucus berfungsi sebagai produsen mucus yang membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat.

Karang mempunyai sistem syaraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Jaringan syaraf yang sederhana ini tersebar baik di ektoderm, endoderm dan mesoglea yang dikoordinasi oleh sel khusus yang disebut sel junction yang bertanggung jawab memberi respon baik mekanis maupun khemis terhadap adanya stimuli cahaya.

Jaringan otot yang sederhana biasanya terdapat diantara jaringan mosoglea yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut sebagai respon perintah jaringan syaraf. Sinyal jaringan itu tidak hanya di dalam satu polip tetapi juga diteruskan ke polip yang lain.

Jaringan mesenterial filamen berfungsi sebagai alat pencernaan yang sebagian besar selnya berisi sel mucus yang berisi enzim untuk mencerna makanan. Lapisan luar dari jaringan mesenteri filamen dilengkapi sel cilia yang halus.

Organ reproduksi karang berkembang diantara mesenteri filamen. Pada saat tertentu organ-organ reproduksi terlihat dan pada waktu yang lain menghilang, terutama untuk jenis karang yang hidup di daerah sub tropis. Untuk karang yang hidup di daerah tropis organ reproduksi ini dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun. Dalam satu polip dapat ditemukan organ betina saja atau jantan saja atau kedua-duanya (hermaprodit).


(18)

Namun karang hermaprodit jarang yang mempunyai tingkat pemasakan antara gonad jantan dan betina matang pada saat yang bersamaan.

Pemberian nama karang adalah berdasar skeleton yang terbuat dari kapur, oleh karena itu pengenalan terminologi skeleton sangat penting artinya. Untuk memperoleh gambaran tentang karang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur polip dan kerangka kapur karang (Suharsono 2005).

Lempeng dasar yang merupakan lempeng yang terletak di dasar sebagai fondasi dari septa yang muncul membentuk struktur yang tegak dan melekat pada dinding yang disebut epitheca (epiteka). Keseluruhan skeleton yang terbentuk dari


(19)

satu polip disebut corallite (koralit), sedangkan keseluruhan skeleton yang dibentuk oleh keseluruhan polip dalam satu individu atau satu koloni disebut

corallum (koralum). Permukaan koralit yang terbuka disebut calyx (kalik). Septa dibedakan menjadi septa utama, kedua, ketiga dan seterusnya tergantung dari besar kecilnya dan posisinya. Septa yang tumbuh hingga mencapai dinding luar dari koralit disebut costae (kosta). Pada dasar sebelah dalam dari septa tertentu sering dilanjutkan suatu struktur yang disebut pali. Struktur yang berada di dasar dan di tengah koralit yang sering merupakan kelanjutan dari septa disebut

columella (kolumela).

Dari cara terbentuknya koralit maka dibedakan menjadi extra tentacular jika koralit yang baru terbentuk di luar koralit yang lama. Intra tentacular jika koralit yang baru terbentuk di dalam koralit yang lama. Cara pembentukan koloni karang yang demikian akhirnya membentuk berbagai bentuk koloni yang dibedakan berdasar konfigurasi koralit.

2.2Sistematika dan Karakteristik Karang

Sistematika klasifikasi karang yang menjadi obyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Sistematika karang (Veron 1986)

Kelas Ordo Sub-Ordo Familia Genus Species Madracis M. Kirbyi

Palauastrea P. Ramosa P. Damicornis P. Eydouxi P. Meandrina P. Verrucosa Pocillopora

P. Woodjonesi S. Caliendrum Seriatopora

S. Hystrix Anthozoa Scleractinia Archaecoenina Pocilloporidae

Stylophora S. Pistillata

Pocilloporidae terdiri dari genus madracis, palauastrea, pocillopora, seriatopora dan stylophora yang semuanya dapat ditemukan di Indonesia. Berikut


(20)

ini adalah karakteristik dari family pocilloporidae dan genus-genusnya (Suharsono 1996, 2005; Veron 1986).

Family Pocilloporidae

• Koloni bercabang atau submasive, ditutupi bintil-bintil disebut verrucosae. • Koralit hampir tenggelam dan kecil.

• Kolumela berkembang dengan baik.

• Septa dua tingkat dan bergabung dengan kolumela. • Diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil.

Genus Madracis

• Koloni merayap berupa lembaran atau membentuk pilar.

• Koralit cerioid (dinding dari koralit yang berdekatan menjadi satu) dengan sudut-sudut membulat dengan kolumela membentuk tonjolan.

• Jumlah septa sepuluh yang masing-masing menyatu dengan kolumela. • Warna cenderung coklat atau hijau.

Gambar 2 Genus madracis.

Genus Palauastrea

• Koloni bercabang. • Koralit membulat.

• Septa menyatu dengan kolumela membentuk tonjolan. • Warna hijau kecoklatan dengan ujung cenderung memutih.


(21)

Gambar 3 Genus palauastrea.

Genus Pocillopora

• Koloni bercabang dan submasive. • Koralit hampir tenggelam. • Septa bersatu dengan kolumela

• Percabangan relatif besar dengan permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae. Hal ini menjadi ciri khas yang membedakannya dari genus yang lain.

Gambar 4 Genus pocillopora.

Genus Seriatopora

• Koloni bercabang dan cabang-cabangnya dapat bersatu. • Koralit tersusun secara seri sepanjang percabangan. • Kolumela berbentuk tonjolan

• Percabangan relatif kecil dan ramping serta saling bersatu dengan ujung runcing.


(22)

Gambar 5 Genus seriatopora.

Genus Stylophora

• Koloni bercabang dengan percabangan tumpul. • Kolumela menonjol dengan septa terlihat jelas. • Diantara koralit ditutupi duri-duri kecil.

Gambar 6 Genus stylophora.

2.3Pengolahan Citra

Defenisi citra menurut kamus Webster adalah suatu representasi, kemiripan atau imitasi dari suatu obyek atau benda (Balza & Kartika 2005). Citra sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra adalah gambar pada bidang dua dimensi dan jika ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontiniu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi, sumber cahaya menerangi obyek, obyek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut, pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat-alat optik sehingga banyangan obyek tersebut terekam (Munir 2004).


(23)

Pengolahan citra (image processing) merupakan bidang yang bersifat multidisiplin, yang terdiri dari banyak aspek, antara lain: fisika, elektronika, matematika, seni, fotografi dan teknologi komputer.

Pengolahan citra memiliki hubungan yang sangat erat dengan disiplin ilmu yang lain seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Jika inputnya citra dan outputnya citra maka termasuk dalam pengolahan citra (image processing). Jika inputnya citra dan outputnya suatu informasi yang merepresentasikan citra tersebut maka dinamakan pengenalan pola (pattern recognition).

Gambar 7 Disiplin ilmu pengolahan citra (Balza & Kartika 2005).

Ada dua macam citra, yaitu citra kontiniu dan citra diskrit. Citra kontiniu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, seperti mata manusia atau kamera analog. Citra diskrit dihasilkan melalui proses digitalisasi terhadap citra kontiniu (Munir 2004).

Pengolahan citra menghasilkan citra baru, termasuk di dalamnya perbaikan citra (image restoration) dan peningkatan kualitas citra (image enhancement). Analisis citra digital menghasilkan suatu keputusan atau suatu data termasuk di dalamnya pengenalan pola.

Operasi pengolahan citra antara lain (Balza & Kartika 2005) :

1. Operasi titik, dimana pengolahan dilakukan pada tiap titik dari citra. 2. Operasi global, dimana karakteristik global (bersifat statistik) dari citra

digunakan untuk memodifikasi nilai setiap titik.

3. Operasi temporal, dimana suatu citra diolah dengan cara dikombinasikan dengan citra lain.

CITRA DESKRIPSI/

INFORMASI Graf ika Komput er

Pengenalan Pola


(24)

4. Operasi geometri, dimana bentuk, ukuran atau orientasi citra dimodifikasi secara geometris.

5. Operasi banyak titik bertetangga, dimana data dari titik-titik yang bersebelahan dengan titik yang ditinjau ikut berperan dalam mengubah nilai.

6. Operasi morfologi, yaitu operasi yang berdasarkan segmen atau bagian dalam citra yang menjadi perhatian.

2.4Representasi Citra Digital

Citra digital adalah sebuah fungsi intensitas cahaya f(x,y) dengan x dan y menunjukkan koordinat spasial dari nilai f pada tiap titik (x,y) menunjukkan kecerahan citra pada titik tersebut (Gonzales & Woods 2002).

Setiap citra digital direpresentasikan dalam bentuk matriks berukuran m x n, dimana m dan n menunjukkan banyaknya elemen baris dan kolom dari matriks tersebut.

1 1 1

1

( , ) ( , )

( , )

( , ) ( , )

n

m m n

f x y f x y

f x y

f x y f x y

⎛ ⎞

⎜ ⎟

⎜ ⎟

=

⎜ ⎟

⎜ ⎟

⎝ ⎠

K K

M O M

M O M

L L

(1)

Dari persamaan 1 terlihat bahwa citra dapat disajikan dalam bentuk matrik. Tiap sel matrik disebut picture element disingkat dengan pixel yang mewakili tingkat keabuan atau intensitas warna. Pada citra digital dengan format 8 bit akan memiliki 256 (28) intensitas warna. Nilai ini berkisar antara 0 sampai dengan 255 dengan nilai 0 menunjukkan intensitas paling gelap dan nilai 255 menunjukkan intensitas paling terang.

2.5Mode Citra

Mode citra yang akan digunakan pada penelitian ini adalah citra warna dan citra grayscale.


(25)

2.5.1 Citra warna (true color)

Pada citra warna, setiap titik mempunyai warna yang spesifik yang merupakan kombinasi dari unsur warna merah, hijau dan biru. Format citra ini sering disebut sebagai citra RGB (red-green-blue).

Dasarnya adalah warna-warna yang diterima oleh mata manusia merupakan hasil kombinasi cahaya dengan panjang gelombang berbeda. Penelitian memperlihatkan bahwa kombinasi warna yang memberikan rentang warna paling lebar adalah warna merah (red), hijau (greeen) dan biru (blue) (Munir 2004).

Jumlah kombinasi warna yang mungkin untuk format citra ini adalah 224 atau lebih dari 16 juta warna dengan demikian bisa dianggap mencakup semua warna yang ada, inilah sebabnya format dinamakan true color (Balza & Kartika 2005).

2.5.2 Citra keabuan (grayscale)

Pada citra grayscale pada umumnya warna yang dipakai adalah antara hitam sebagai warna minimal dan putih sebagai warna maksimal, sehingga warna antaranya adalah abu-abu. Namun pada prakteknya warna yang dipakai tidak terbatas pada warna abu-abu, sebagai contoh dipilih warna minimalnya adalah putih dan warna maksimalnya merah, maka semakin besar nilainya semakin besar pula intensitas warna merahnya. Sehingga format citra ini dapat juga disebut sebagai citra intensitas.

2.6Ekstraksi Ciri

Tujuan ekstraksi ciri (feature extraction) adalah untuk mereduksi data sebenarnya dengan melakukan pengukuran terhadap properti atau ciri tertentu yang membedakan pola masukan (input) satu dengan yang lainnya (Duda et al. 2001). Ciri yang menjadi masukan memiliki karateristik dan dapat mendeskripsikan properti yang relevan dari citra ke dalam ruang ciri (feature space) dalam dimensi D. Pada persamaan dibawah ini pixel dari citra grayscale

ditransformasikan ke dalam ruang vektor (feature vector).

1 2

[ , ,..., D]

X = x x x (2)


(26)

2.6.1 Warna

Menurut Pitas (1993), model warna RGB mengandung tiga komponen warna yaitu merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue) atau disebut juga sebagai warna primer. Model warna RGB didasarkan pada sistem koordinat cartesian

berbentuk kubus. Rentang nilai R, G dan B merupakan representasi semua vektor warna dalam ruang tiga dimensi R-G-B. Model warna RGB merupakan kombinasi dari tiga lapisan warna sehingga menghasilkan satu warna komposit.

Magenta Biru

240º

Cyan Merah

0º Kuning Hijau

120º 1.0 Putih

0.0 Hitam 0.5

(a) RGB (b) HSV Gambar 8 Model warna RGB dan HSV.

Pada Gambar 8 (a) menunjukkan bahwa koordinat awal (0,0,0) adalah warna hitam, dan koordinat (1,1,1) adalah warna putih. Warna abu-abu berada disepanjang garis diagonal antara koordinat (0,0,0) sampai dengan (1,1,1), magenta merupakan hasil campuran antara warna biru dan merah, kuning antara merah dan hijau dan cyan antara biru dan hijau.

Pengambilan nilai feature dari masing-masing unsur warna dilakukan dengan menormalisasi setiap unsur warna dengan persamaan sebagai berikut :

R r

R G B

=

+ + (3)

G g

R G B

=


(27)

B b

R G B

=

+ + (5)

Untuk mendapatkan informasi dari tingkat kecerahan citra maka citra RGB dikonversi ke dalam model warna hue, saturation, value (HSV) (Gambar 8 (b)). Model warna HSV mempunyai tiga atribut warna,yaitu :

Hue berhubungan dengan ragam warna adalah nilai sudut antara vektor warna aktual dan vektor warna referensi.

Saturation berhubungan dengan kecerahan warna adalah persentasi dari pencahayaan ditambah warna referensi.

Value berhubungan dengan intensitas warna.

Untuk menghitung nilai HSV berdasarkan nilai RGB dilakukan dengan persamaan berikut :

(

)

(

)

0 60 G B ;

H R Max

Max Min

⎡ − ⎤

= + =

⎣ ⎦ (6)

(

)

(

)

120 60 B R ;

H G Max

Max Min

⎡ − ⎤

= + =

⎣ ⎦ (7)

(

)

(

)

240 60 R G ;

H B Max

Max Min

⎡ − ⎤

= + =

⎣ ⎦ (8)

(

Max Min

)

S

Max

= (9)

V =Max (10)

dimana Max adalah nilai maksimum dan Min nilai minimum dari citra RGB.

2.6.2 Tekstur

Walaupun tidak ada defenisi formal dari konsep tekstur, tapi secara intuisi tekstur mendeskripsikan karakterisitik permukaan dari sebuah obyek seperti halus, licin, kasar dan sebagainya (Gonzalez and Woods 2002). Tujuan analisa tekstur adalah memperoleh beberapa parameter yang dapat digunakan dalam


(28)

menggolongkan tekstur tertentu. Hasilnya menjadi referensi dalam mendeskripsikan bentuk obyek (Nixon dan Aguado 2002).

Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menganalisa tekstur dari sebuah citra yaitu statistik, struktural dan spektral. Pendekatan statistik menghasilkan karakteristik permukaan citra seperti halus, licin, kasar dan sebagainya. Teknik struktural menghasilkan garis-garis beraturan yang merepresentasikan citra. Teknik spektral berdasarkan spektrum Fourier yang mendeteksi perubahan global dari citra dengan cara mengidentifikasi tingkat keseragaman dan puncak spektrumnya (Gonzalez & Woods 2002).

Pada penelitian ini digunakan pendekatan statistik untuk mengukur nilai tekstur. Dimana umumnya pendekatan statistik mempunyai dua konsep yaitu: first

dan second order spatial statistics (Tuceryan & Jain 1998).

(i) First-order statistics mengukur peluang nilai gray secara random pada citra

grayscale. First-order statistics dapat dihitung dari histogram intensitas pixel pada sebuah citra. Nilai yang dihasilkan hanya pada satu pixel yang diukur dan tidak berpengaruh pada nilai pixel yang bersebelahan dengannya. Rata-rata intensitas pada sebuah citra adalah contoh dari first-order statistic.

(ii) Second-order statistics mengukur peluang nilai dari pasangan pixel yang bersebelahan secara random pada sebuah citra di lokasi dan arah yang random. Propertinya dari pasangan tersebut adalah nilai pixel.

Ada tiga metode analisa tekstur yang digunakan yaitu: statistical moment, gral-level co-occurrence matrix dan local binary patterns.

2.6.2.1 Statistical Moment

Menurut Gonzalez dan Woods (2002) untuk mendapatkan nilai-nilai tekstur dilakukan dengan menghitung momen statistik intensitas histogram dari sebuah citra grayscale. Nilai yang dihitung adalah rata-rata intensitas (mean), standar deviasi, kehalusan permukaan (smoothness), kesimetrisan histogram (third moment), ragam variasi gray level (uniformity) dan keteracakan distribusi (entropy). Untuk menghitung nilai-nilai tersebut dilakukan dengan persamaan berikut:


(29)

Mean

( )

1 0 L i i i

m z p z

− =

=

(11)

Standard deviation

(

( )

)

1 2 2 z

σ = μ (12)

Smoothness

(

2

)

1 1 1 R σ = −

+ (13)

Third Moment

(

) ( )

1 3 3 0 L i i i

z m p z

μ −

=

=

− (14)

Uniformity

( )

1 2 0 L i i

U p z

− =

=

(15)

Entropy

( )

( )

1 2 0 log L i i i

e p z p z

− =

=

(16)

dengan zi = intensitas citra

p = probability

μn = moment ke n.

2.6.2.2 Gray-level Co-occurrence Matrix (GLCM)

Metode GLCM didefenisikan oleh Haralick et al. pada tahun 1973 yang merupakan fungsi kepadatan peluang bersyarat orde kedua yang bertujuan menganalisa pasangan pixel yang bersebelahan secara horizontal (Chandraratne et al. 2003).

Nilai tekstur dihasilkan dengan menghitung nilai threshold global citra grayscale (level), standar deviasi, energy, contrast, homogeneity dan entropy pada citra grayscale. Energy berfungsi untuk mengukur konsentrasi pasangan gray level pada matriks co-occurance, contrast berfungsi untuk mengukur perbedaan lokal dalam citra, homogeneity berfungsi untuk mengukur kehomogenan variasi gray level lokal dalam citra dan entropy berfungsi untuk mengukur keteracakan dari distribusi perbedaan lokal dalam citra. Persamaan untuk menghitung nilai

level dan standard deviasi pada metode ini sama dengan persamaan (11) dan (12) di metode statistical moment. Sementara untuk menghitung nilai energy, contrast,

homogeneity dan entropy dapat dilakukan dengan persamaan berikut (Tuceryan & Jain 1998):


(30)

Energy 2

( )

,

i j

p i j

(17)

Contrast

(

) ( )

2 ,

i j

ij p i j

(18)

Homogeneity

( )

,

1

i j

p i j i j

+ −

(19)

Entropy

( )

, log

(

( )

,

)

i j

p i j p i j

(20)

dengan p = probability

i,j = koordinat pixelcitra grayscale (0…255).

2.6.2.3 Local Binary Patterns (LBP)

Metode LBP dikenalkan oleh Ojala et al. pada tahun 2002 (Ojala et al.

2002). Prinsip kerjanya adalah membandingkan satu pixel (center pixel) dengan delapan pixel disekitarnya. Gambar 9 memperlihatkan ilustrasi dari LBP, pasangan pixel 3 x 3 (Gambar 9(a)) dikodekan kedalam bilangan biner dengan memberi nilai threshold pada center pixel. Pixel yang mempunyai nilai gray lebih besar atau sama dengan center pixel dikodekan dengan nilai 1 dan selain itu dikodekan dengan 0 (Gambar 9(b)). Bilangan biner bernilai 1 dari pasangan pixel

3 x 3 selanjutnya dikalikan dengan bobot binernya (Gambar 9(c)). Hasil perkalian yang diambil adalah nilai biner yang bernilai 1 (Gambar 9(d)). Hasil pejumlahan dari pasangan pixel ini ditandai sebagai center pixel berikutnya dan bernilai

unique. Operasi ini diulang untuk semua pixel dalam frame citra sehingga dihasilkan nilai LBP keseluruhan pada citra.

5 4 3 1 1 1 1 2 4 1 2 4

4 3 1 1 0 128 8 128 0

2 0 3 0 0 1 64 32 16 0 0 16

(a) (b) (c) (d) Gambar 9 Operasi LBP pada dimensi image 3 x 3 pixel.

Dari Gambar 9 bilangan biner yang dihasilkan adalah 11101001 dan selanjutnya dikonversi ke dalam bilangan desimal menjadi 233.


(31)

LBP8riu1 adalah versi LBP yang invarian terhadap rotasi, dimana dasar operasi LBP diaplikasikan pada delapan pixel dari kelompok pasangan secara simetris (Gambar 10(a)). Sembilan nilai LBP yang menunjukkan kesamaan pola (Gambar 10(b)) adalah pola yang berhubungan dengan garis dan titik dalam citra. Pola rotasi lain yang tidak menunjukkan sembilan kesamaan pola dikompres kedalam sepuluh bin intensitas warna (histogram). Histogram inilah yang merepresentasikan nilai ciri tekstur pada sebuah citra (Ojala et al. 2002).

(a) (b) Gambar 10 Pasangan pixel yang invarian terhadap rotasi untuk LBP8riu1.

2.6.3 Bentuk

Deskripsi bentuk adalah bagian yang fundamental dari sebuah obyek. Menurut Kim dan Sung (2000) dalam Mercimek et al. (2005) ada dua jenis deskripsi bentuk yaitu berdasarkan kontur dan keseluruhan. Salah satu metode deskripsi bentuk berdasarkan kontur yang popular adalah momen invarian yang diperkenalkan oleh Hu tahun 1962 (Khotanzad et al. 1990). Dengan metode ini Dudani et al. (1977) berhasil melakukan pengenalan terhadap obyek tiga dimensi yaitu identifikasi citra pesawat terbang (Khotanzad et al. 1990; Mercimek et al. 2005).

Momen invarian merupakan persaman vektor turunan momen orde ketiga (kovarian) yang mengujiindependensi antara peubah x dan y. Pada penelitian ini deskripsi bentuk dilakukan dengan mengelompokkan citra grayscale dalam himpunan vektor momen invarian. Prosesnya dilakukan dengan menghitung momen dan momen pusat citra dengan persamaan sebagai berikut (Sebe & Lew 2000) :


(32)

∑∑

= m n p q

pq x y f(x,y)

ω (21)

∑∑

− −

= m n p q

pq x x y y f x y

c ( ) ( ) ( , ) (22)

dengan ω = momen citra

p, q = orde momen

f = nilai intensitas warna c = momen pusat

x,y = koordinat piksel

y

x, = pusat citra

m, n = jumlah piksel vertikal dan horisontal

Momen pusat ini invarian terhadap translasi citra, sedangkan untuk memperoleh momen yang invarian terhadap rotasi maupun penskalaan, maka momen pusat dinormalisasikan dengan persamaan :

λ η 00 pq pq c c = (23)

dengan : λ =1+(p+q)/2 untuk p+q >= 2,3...

Untuk mendapatkan momen yang invarian baik terhadap translasi, penskalaan maupun rotasi adalah menghitung tujuh vektor momen invarian dengan persamaan sebagai berikut :

1. ϕ12002 (24)

2. ϕ2 =(η20 −η02)2 +4η112 (25)

3. ϕ3 =(η303η12)2 +(3η21−η03)2 (26) 4. ϕ4 =(η3012)2 +(η2103)2 (27) 5. ] ) ( ) ( )[ )( ( ] ) ( ) )[( )( ( 2 03 21 2 12 30 03 21 03 21 2 03 21 2 12 30 12 30 12 30 5 3 3 3 3 η η η η η η η η η η η η η η η η ϕ − − − + − + + − + − − = (28) 6. ) )( ( ] ) ( ) )[( ( 03 21 12 30 11 2 03 21 2 12 30 02 20 6

4η η η η η

η η η η η η ϕ + + + + − + − = (29) 7. ] ) ( ) ( )[ )( ( ] ) ( ) )[( )( ( 2 03 21 2 12 30 03 21 30 12 2 03 21 2 12 30 12 30 03 21 7 3 3 3 3 η η η η η η η η η η η η η η η η ϕ − − + + − + + − + + − = (30)


(33)

dengan ϕ = momen invarian

η = momen pusat normalisasi

1

ϕ dan ϕ2 merupakan representasi momen yang invarian terhadap translasi dan skala, ϕ ϕ36 representasi momen yang invarian terhadap rotasi dan ϕ7 representasi momen yang invarian terhadap ketidaksimetrisan, yang bisa membedakan dua citra identik dalam posisi kebalikan (mirror) (Rickard 1999).

Untuk lebih lengkap daftar ekstraksi ciri dari penelitian ini disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Daftar ekstraksi ciri dari citra karang

Ciri Kelas Ciri

x1 Red Warna

x2 Green Warna

x3 Blue Warna

x4 Hue Warna

x5 Saturation Warna

x6 Value Warna

x7 Mean Statistical moment

x8 Standard Deviation Statistical moment

x9 Smoothness Statistical moment

x10 Third Moment Statistical moment

x11 Uniformity Statistical moment

x12 Entropy Statistical moment

x13 ϕ1 Momen invarian

x14 ϕ2 Momen invarian

x15 ϕ3 Momen invarian

x16 ϕ4 Momen invarian

x17 ϕ5 Momen invarian

x18 ϕ6 Momen invarian


(34)

2.7Jaringan Syaraf Tiruan

Dalam identifikasi karang, pembentukan model referensi karang dan pencocokan pola adalah dua tahapan yang sangat berkaitan. Pembentukan model referensi karang akan membentuk suatu model referensi yang akan digunakan untuk pencocokan pola. Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam pencocokan pola adalah Jaringan Syaraf Tiruan (JST). JST akan melakukan pembelajaran untuk membentuk suatu model referensi, kemudian JST yang telah melakukan pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk pencocokan pola.

JST didefinisikan sebagai sistem komputasi yang didasarkan pada pemodelan syaraf biologi (neuron) melalui pendekatan dari sifat-sifat komputasi biologis (biological computation). JST bisa dibayangkan berupa jaringan dengan elemen pemroses sederhana yang saling terhubung. Seperti pada Gambar 11, elemen pemroses berinteraksi melalui sambungan variabel yang disebut bobot, dan bila diatur secara tepat dapat menghasilkan sifat yang diinginkan (Fausett 1994). Model neuron sederhana disajikan pada Gambar 11.

θ

1

x

2

x

n

x

1

w

2

w

n

w

Gambar 11 Sistem komputasi pemodelan neuron.

Dan pernyataan matematisnya

=

= n

i i i

x

w

f

y

1

θ

(31)

dengan xi = sinyal masukan, i = 1,2,…,n

(n = banyaknya simpul masukan) wi = bobot hubungan atau synapsis

θ = threshold atau bias ƒ(*) = fungsi aktivasi


(35)

Ide dasar JST adalah konsep belajar. Jaringan belajar melakukan generalisasi karakteristik tingkah laku obyek. Jika dilihat dari sudut pandang manusia, hal ini sama seperti bagaimana manusia belajar sesuatu. Manusia mengenal obyek dengan mengatur otak untuk menggolongkan atau melakukan generalisasi terhadap obyek tersebut.

Manusia menyimpan ilmu pengetahuannya ke dalam otak yang berisikan

synapsis, neuron, dan komponen lainnya. JST menyimpan ilmu pengetahuannya dalam nilai bobot sambungan (seperti synapsis dalam otak manusia) dan elemen-elemen (neuron) yang menghasilkan keluaran.

Untuk menyelesaikan permasalahan, JST memerlukan algoritma untuk belajar, yaitu bagaimana konfigurasi JST dapat dilatih untuk mempelajari data

histories yang ada. Dengan pelatihan ini, pengetahuan yang terdapat pada data bisa diketahui dan direpresentasikan dalam bobot sambungannya. Jenis Algoritma belajar yang ada diantaranya (Jang et al. 1997) :

a. Supervised Learning

Algoritma ini diberikan target yang akan dicapai. Contohnya Backpropagation algorithm (algoritma propagasi balik) dan Radial basis function.

b. Unsupervised Learning

Pada Algoritma ini sama sekali tidak disediakan target, misalnya Carpenter-Grossberg Adaptive Resonance Theory (ART), Learning Vector Quantization

(LVQ) dan Competitive Learning Algorithm.

c. Reinforcement Learning

Bentuk khusus dari supervised learning, contohnya Genetic Algorithm (GA).

Propagasi balik (backpropagation) yang merupakan salah satu model JST untuk pencocokan pola (pattern matching), menggunakan arsitektur multi layer perceptron (Gambar 12) dan pelatihan backpropagation. Walaupun JST

backpropagation membutuhkan waktu yang lama untuk pelatihan tetapi bila pelatihan telah selesai dilakukan, JST akan dapat mengenali suatu pola dengan cepat. Beberapa karakteristik dari JST backpropagation adalah sebagai berikut:


(36)

• Jaringan Multi Layer.

JST backpropagation mempunyai lapisan input, lapisan tersembunyi dan lapisan output dan setiap neuron pada satu lapisan menerima input dari semua

neuron pada lapisan sebelumnya.

Gambar 12 Arsitektur jaringan backpropagation. • Fungsi Aktivasi.

Fungsi aktivasi akan menghitung input yang diterima oleh suatu neuron, kemudian neuron tersebut meneruskan hasil dari fungsi aktivasi ke neuron

berikutnya, sehingga fungsi aktivasi berfungsi sebagai penentu kuat lemahnya sinyal yang dikeluarkan oleh suatu neuron. Beberapa fungsi aktivasi yang sering digunakan dalam JST backpropagation adalah :

1. Fungsi sigmoid biner (seperti pada Gambar 13), yaitu fungsi biner yang memiliki rentang 0 s/d 1 dengan fungsi sebagai berikut :

)

exp(

1

1

)

(

x

x

f

+

=

, (32)


(37)

2. Fungsi sigmoid bipolar(seperti pada Gambar 14), yaitu fungsi yang memiliki rentang -1 s/d 1 dengan fungsi sebagai berikut :

1

)

exp(

1

2

)

(

+

=

x

x

f

(33)

Gambar 14 Sigmoid bipolar pada selang [-1,1].

• Algoritma pembelajaran JST backpropagation bersifat iterative dan didesain untuk meminimalkan mean square error (mse) antara output yang dihasilkan dengan output yang diinginkan (target). Dalam Mathworks (2004) mse dapat dihitung dengan :

( )

2

(

)

2

1 1

1 N 1 N

i i i

i i

mse e t a

N = N =

=

=

− (34)

Langkah-langkah algoritma pelatihan JST backpropagation yang diformulasikan oleh Rumelhart, Hinton dan Rosenberg tahun 1986, secara singkat adalah sebagai berikut :

a. Inisialisasi bobot, dapat dilakukan secara acak atau melalui metode Nguyen Widrow

b. Perhitungan nilai aktivasi, tiap neuron menghitung nilai aktivasi dari input yang diterimanya. Pada lapisan input nilai aktivasi adalah fungsi identitas. Pada hidden neuron dan output nilai aktivasi dihitung melalui fungsi aktivasi.

c. Penyesuaian bobot dipengaruhi oleh besarnya nilai kesalahan (error) antara target output dan nilai output jaringan saat ini.


(38)

Untuk mengimplementasikan algoritma pelatihan diatas, JST harus memiliki suatu set data pelatihan. Data pelatihan harus mencakup seluruh jenis pola yang ingin dikenal agar nantinya dapat mengenali seluruh pola yang ada.

Dalam kaitannya dengan sistem identifikasi karang, data pelatihan harus mencakup seluruh spesies. Dalam JST semakin banyak contoh suatu pola dalam pelatihan maka JST akan semakin baik mengenal pola tersebut. Untuk itu akan lebih baik jika tiap citra karang digunakan lebih dari satu kali pengulangan untuk nantinya digunakan dalam pembelajaran JST.

JST akan menerima data input berupa vektor. Jika dimensi vektor terlalu besar maka JST akan bekerja lebih lambat. Dalam identifikasi ini setiap citra digital akan diproses terlebih dahulu dengan teknik ekstraksi ciri sehingga dimensi data akan tereduksi. Dalam pembelajaran seluruh set data pembelajaran akan diproses sehingga JST akan membentuk suatu model referensi bagi seluruh pola-pola yang ada.

2.8Review Riset Terdahulu

Beberapa penelitan yang relevan dilakukan oleh Soriano et al. (2001) yang mengekstraksi warna dan tekstur sebagai parameter input untuk mengidentifikasi lima jenis obyek citra terumbu karang yaitu karang hidup, karang mati, karang mati dengan algae, abiotics dan karang lunak (soft coral). Hasil yang diperoleh tidak cukup baik dimana tingkat pengenalan yang dihasilkan adalah 48%. Dari rekomendasi penelitian dinyatakan bahwa kegagalan ini karena terlalu banyak jenis obyek yang diidentifikasi dan jumlah sample citra tidak sama dengan jumlah distribusi masing-masing jenis.

Berdasarkan hal tersebut Marcos et al. (2005) mengurangi jumlah karang yang diklasifikasi menjadi tiga kelompok benthic pada citra terumbu karang yaitu karang hidup, karang mati dan pasir. Untuk teknik klasifikasi digunakan JST dan

two-step classifier. Hasilnya menunjukkan tingkat pengenalan JST lebih baik dari

two-step classifier, perbandingannya adalah JST 86% dan two-step classifier

79.7% .

Penelitian lain yang relevan dilakukan oleh Blaschko et al. (2005) yang melakukan identifikasi terhadap binatang plankton dengan teknik analisa tekstur


(39)

mengunakan metode statistical moment, GLCM dan LBP8riu1. Untuk mendeskripsikan bentuk dari obyek citra digunakan metode momen invarian dan


(40)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam suatu diagram alir seperti pada Gambar 15.

Mulai

Identifikasi Masalah

Studi Pustaka

Akuisisi Pengetahuan

Pengumpulan Data Citra

JST

Dokumentasi

Selesai Akuisisi Citra Digital

Ekstraksi Ciri

Model Warna Model Tekstur Model Bentuk

Identifikasi

Pembuatan Keputusan Data Training Data Testing

Data Ektraksi Ciri


(41)

Berikut ini akan dijelaskan beberapa tahap yang ada dalam diagram alir pada gambar diatas.

1. Identifikasi masalah

Identifikasi masalah merupakan tahap awal dari penyusunan penelitian ini. Masalah yang diidentifikasi adalah terumbu karang jenis karang keras (hard coral) yang distribusinya terdapat di indonesia.

2. Studi pustaka

Studi pustaka yang dilakukan meliputi pengetahuan jenis dan struktur karang, teknik identifikasi karang, prinsip pengenalan pola (pattern recognition), pengolahan citra (image processing), ektraksi ciri (feature extraction), jaringan syaraf tiruan (JST), pemograman MATLAB serta metode pendukung lainnya.

3. Akuisisi pengetahuan

Akuisisi pengetahuan dilakukan melalui wawancara dengan ahli peneliti utama terumbu karang spesialisasi karang batu (hard coral)1 di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta pada tanggal 18 Januari, 15 Februari, 30 April, 7 Juni 2007. Wawancara ini diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan tentang keilmuan, sistematika dan teknik identifikasi karang.

Dari hasil wawancara diperoleh kesimpulan bahwa teknik identifikasi terbagi atas dua bagian, yaitu teknik visual (identifikasi langsung) dan teknik struktur karang (identifikasi tidak langsung) dan untuk saat ini trendnya lebih diarahkan ke teknik visual karena tidak harus mengambil karang dan mematikan karang sebagai sample identifikasi. Karena masih sedikitnya penelitian identifikasi karang berdasarkan citra maka atas saran dari peneliti utama, identifikasi yang dilakukan dibatasi sampai pada tingkat genus dan

genus karang yang diidentifikasi termasuk dalam family pocilloporidae yang

1


(42)

merupakan pionir di indonesia. Family pocilloporidae ini memiliki lima genus yaitu madracis, palauastrea, pocillopora, seriatopora dan stylophora.

4. Pengumpulan data citra dan Akuisisi citra digital

Berdasarkan hasil akuisisi pengetahuan kemudian dilakukan pengumpulan data citra karang yang akan digunakan untuk pelatihan dan pengujian model yang akan dikembangkan. Data citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diambil dari buku tentang karang (Suharsono 1996, 2005; Veron 1986) dengan menggunakan alat pindai scanner. Sumber data sekunder diperoleh dari Australian Institute of Marine Science di situs www.aims.gov.au dalam format citra JPG.

5. Ekstraksi Ciri

Ekstraksi ciri menggunakan model warna, tiga metode analisa tekstur dan momen invarian. Hasil ekstraksi ciri dikombinasikan menjadi data training

untuk pelatihan JST dan data testing untuk pengujian JST dalam mengidentifikasi genus karang.

6. Jaringan Syaraf Tiruan (JST)

Dalam penelitian ini model JST yang dikembangkan adalah JST

backpropagation dengan arsitektur multilayer perceptron. Pengembangan model JST menggunakan perangkat lunak MATLAB versi 7.0.1.

7. Pembuatan Keputusan

Proses pembuatan keputusan dihasilkan berdasarkan tingkat pengenalan JST dalam mengenali sejumlah pola yang diberikan (generalisasi) yaitu dengan membandingkan pola yang dikenali dengan jumlah seluruh pola yang ada.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dari penelitian ini adalah citra karang family pocilloporidae dan alat yang digunakan adalah:


(43)

1. Komputer PC dengan spesifikasi processor Pentium 4 1.7 GHz, RAM 384 MB, Hard disk 40 GB.

2. Komputer Notebook dengan spesifikasi processor Centrino Core 2 Duo 1.8 GHz, RAM 1 GB, Hard disk 120 GB.

3. Perangkat lunak MATLAB versi 7.0.1.

4. Perangkat lunak pengolahan citra Adobe Photoshop versi 7.0 dan CS. 5. Perangkat lunak Microsoft Excel 2003.

6. Alat pindai (scanner) merk HP tipe PSC 1210.

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2006 hingga Juni 2007 bertempat di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta dan Laboratorium Pascasarjana Departemen Ilmu Komputer FMIPA-IPB.


(44)

BAB 4 DISAIN MODEL

Disain model sistem identifikasi citra karang dirancang sedemikian rupa dengan tujuan untuk memudahkan dalam pengolahan data dan pembuatan aplikasi serta memudahkan pengguna dalam menjalankan aplikasi tersebut. Ilustrasi dari sistem yang dirancang ditampilkan pada Gambar 16.

Sistem yang dirancang terbagi dalam tiga modul yaitu modul ektraksi ciri, modul pelatihan (training) dan modul pengujian (testing) identifikasi. Modul training dan modul testing identifikasi dirancang dalam satu interface. Modul ektraksi ciri dirancang sebagai suatu aplikasi terpisah dari dua modul lainnya. Hasil ektraksi ciri menghasilkan ciri yang direpresentasikan dalam bentuk pola matrik C. Hasilnya disimpan dalam bentuk matrik H dengan dimensi N x D, dimana N adalah jumlah citra pengamatan dan D adalah jumlah ekstraksi ciri.

Ekstraksi Ciri Citra

Data Hasil Ekstraksi Ciri

Pengguna

1 2

m

x x C

x ⎡ ⎤ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ =

⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ ⎦

M

H= ×N D

Antar muka (Interface)

Training Testing dan Identifikasi

Gambar 16 Disain model sistem. 4.1 Data Citra

Data citra yang digunakan di dalam sistem ini adalah citra karang yang termasuk dalam family pocilloporidae. Family ini memiliki 5 genus yaitu madracis, palauastrea, pocillopora, seriatopora dan stylophora. Masing-masing genus memiliki jumlah spesies yang berbeda-beda. Genus madracis memiliki satu spesies yaitu madracis kirbyi, begitu juga dengan genus palauastrea yaitu palauastrea ramosa. Genus pocillopora memiliki variasi spesies yang paling banyak yaitu pocillopora damicornis, pocillopora eydouxi, pocillopora meandrina, pocillopora verrucosa dan pocillopora woodjonesi. Genus seriatopora memiliki


(45)

dua spesies yaitu seriatopora caliendrum dan seriatopora hystrix. Genus stylophora hanya memiliki satu spesies yaitu stylophora pistilata.

Walaupun pada genus pocillopora dan seriatopora memiliki jumlah spesies lebih dari satu, namun pada dasarnya masing-masing spesies memiliki kemiripan satu sama lain dalam karateristik struktur skeletonnya. Seperti pada genus pocillopora, spesies pocillopora damicornis mirip dengan pocillopora meandrina dan pocillopora verrucosa, pocillopora eydouxi mirip dengan pocillopora woodjonesi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara garis besar genus pocillopora hanya memiliki dua struktur citra yang telah merepresentasikan lima spesies yang dimilikinya (Veron 1986). Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai bentuk masing-masing spesies dan struktur citra yang digunakan, dapat dilihat pada Gambar 17 s/d 21.

Gambar 17 Citra spesies madracis kirbyi.


(46)

(a) damicornis (b) meandrina (c) verrucosa

(d) eydouxi (e) woodjonesi

Gambar 19 Citra spesies dari genus pocillopora.

(a) caliendrum (b) hystrix Gambar 20 Citra spesies dari genus seriatopora.


(47)

Gambar 21 Citra spesies stylophora pistilata.

Pengambilan citra dilakukan sebanyak 10 kali perulangan pada 5 genus, sehingga menghasilkan 50 data citra yang digunakan untuk data pelatihan. Sementara pada data uji terdiri dari 25 citra hasil dari 5 kali perulangan. Mekanisme perulangan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengubah-ubah orientasi citra dengan merotasi citra pada sudut 0º, 45º, 60º, 90º, 135º,180º, 200º, 225º, 270º dan 315º.

2. Mengubah-ubah posisi citra. 3. Mengubah-ubah ukuran citra.

Semua mekanisme diatas dilakukan pada sepuluh data pelatihan untuk masing-masing genus. Sedangkan untuk data uji diambil lima citra masing-masing genus secara random dari data pelatihan

Hal ini dimaksudkan agar sistem lebih robust, sehingga pada saat dilakukan identifikasi terhadap genus yang sama tapi memiliki orientasi, posisi dan ukuran citra yang berbeda-beda, sistem masih dapat mengenalinya genus tersebut. Mekanisme perulangan dan struktur citra yang menjadi data pelatihan disajikan pada Gambar 22 dan Tabel 3.


(48)

(a) obyek citra (b) perubahan ukuran

(c) perubahan posisi (d) perubahan orientasi Gambar 22 Perubahan ukuran, posisi dan orientasi citra.

Tabel 3 Struktur ciri citra yang digunakan pada pelatihan No. Ekstraksi Ciri Mode Citra Ukuran

Pixel Jumlah Rotasi

1 Warna RGB 300 x 220 10

0º, 45º, 60º, 90º, 135º,180º, 200º, 225º,

270º dan 315º 2 Tekstur Grayscale 300 x 220 10

0º, 45º, 60º, 90º, 135º,180º, 200º, 225º,

270º dan 315º 3 Tekstur - GLCM Grayscale 300 x 220 10

0º, 45º, 60º, 90º, 135º,180º, 200º, 225º,

270º dan 315º 4 Tekstur - LBP8riu1 Grayscale 300 x 220 10

0º, 45º, 60º, 90º, 135º,180º, 200º, 225º,

270º dan 315º 5 Bentuk Grayscale 300 x 220 10

0º, 45º, 60º, 90º, 135º,180º, 200º, 225º,

270º dan 315º

4.2 Pembentukan Model dan Pencocokan Pola

Pembentukan model dan pencocokan pola dilakukan menggunakan JST

backpropagation dengan arsitektur multi layer perceptron dengan satu hidden layer. Jumlah neuron input sesuai dengan jumlah ekstraksi ciri. Jumlah neuron

pada hidden layer didapat dari hasil trial & error yang terbaik. Jumlah neuron


(49)

Untuk inisialisasi bobot awal digunakan inisialisasi secara random dan fungsi aktivasi yang digunakan adalah sigmoid biner. Penggunaan sigmoid biner sesuai untuk pengenalan dengan selang antara 0 dan 1. Toleransi galat yang digunakan yang menjadi batasan waktu bagi jaringan dalam melakukan pelatihan adalah 10-3 dan 10-4 dan laju pembelajaran (α = learning rate) yang digunakan adalah 0.1. Jumlah epoch maksimal yang ditetapkan adalah 3000 yang diperlukan sebagai kriteria henti jaringan. Satu epoch adalah proses satu kali perulangan untuk melatih semua pasangan data pelatihan (Kusumadewi & Hartati 2006).

Toleransi galat yang cukup kecil diharapkan akan memberikan hasil yang cukup baik. Jika ternyata JST gagal mencapai kekonvergenan maka akan dilakukan penambahan jumlah hidden neuron sampai kekonvergenan tercapai. Jika JST berhasil mencapai kekonvergenan maka akan dilihat generalisasinya dan dilakukan penambahan neuron. Jika ternyata generalisasi yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan generalisasi sebelumnya maka JST telah sampai pada batas optimal. Penambahan kembali hidden neuron tidak akan menambah generalisasi dan hanya akan menambah waktu komputasi. Berikut ini disajikan struktur JST yang digunakan (Tabel 4) dan defenisi target dengan fungsi aktivasi sigmoid biner (Tabel 5).

Tabel 4 Struktur JST untuk identifikasi citra karang

KARAKTERISTIK SPESIFIKASI

Arsitektur 1 lapisan tersembunyi

Neuron input Hasil ekstraksi ciri

Neuronhidden trial & error

Neuron output Jumlah genus karang

Fungsi aktivasi Sigmoid biner

Toleransi galat 10-3 dan 10-4

Laju pembelajaran 0.1

Jumlah epoch maksimum 3000 Sampel pelatihan pada tiap genus karang 10 citra Sampel pengujian pada tiap genus karang 5 citra


(50)

Tabel 5 Definisi target untuk fungsi sigmoid biner pada 5 genus karang

No. Target Representasi

Genus Karang

1 1 0 0 0 0 Madracis

2 0 1 0 0 0 Palauastrea

3 0 0 1 0 0 Pocillopora

4 0 0 0 1 0 Seriatophora

5 0 0 0 0 1 Stylophora

4.3 Algoritma Pelatihan

Algoritma backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai bobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error ini, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan terlebih dulu. Pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan dengan fungsi aktivasi sigmoid biner (Kusumadewi & Hartati 2006).

Gambar 23 memperlihatkan arsitektur jaringan backpropagation, jaringan terdiri dari atas 19 neuron pada lapisan input, dengan input masukan bagi JST adalah warna (RGB-HSV), tekstur (statistical moment) dan bentuk (momen invarian); satu hidden layer dengan neuron h1 ... hn; serta lima neuron pada

lapisan output. Setiap neuron input memiliki bobot yang menghubungkan ke

neuron pada lapisan tersembunyi, b1 adalah bobot bias yang menuju ke neuron -neuron pada hidden layer, b2 menghubungkan hidden layer dengan lapisan output.


(51)

x1 x2 x3 . . . . . . z2 zj G Smoot hness Third Moment Unif ormit y Ent ropy Mean h1 h2 hn b1 b2 y1 y2 . . yk Karang 1 R

St d Deviasi B S H V . . . . . . . . . xi Karang 2 Karang 3 Karang 4 Karang 5 1 ϕ 2 ϕ 3 ϕ 4 ϕ 5 ϕ 6 ϕ 7 ϕ vij wjk z1

Gambar 23Model JST backpropagation dengan arsitektur multilayer perceptron.

Dalam Kusumadewi dan Hartati (2006) algoritma backpropagation adalah sebagai berikut :

• Inisiasi bobot ( ambil bobot awal dengan nilai random yang cukup kecil). • Tetapkan: Maksimum Epoch, Target Error, dan Learning Rate

• Inisialisasi : Epoch = 0.

• Kerjakan langkah-langkah berikut selama (Epoch < Maksimum Epoch) dan (MSE < Target Error):

1. Epoch = Epoch + 1


(52)

Feedforward

a. Tiap-tiap unit input (Xi, i=1,2,3,...,n) menerima sinyal xi dan meneruskan

sinyal tersebut ke semua unit pada lapisan di atasnya (lapisan tersembunyi).

b. Tiap-tiap unit lapisan tersembunyi (Zj, j=1,2,3,...,p) menjumlahkan

sinyal-sinyal input terbobot:

1

_ 1

n

j j i ij

i

z in b x v

=

= +

gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya:

(

_

)

j j

z = f z in

dan kirimkan sinyal tersebut pada kesemua unit pada lapisan atasnya (lapisan output).

c. Tiap-tiap unit output (Yk, k=1,2,3,...,m) menjumlahkan sinyal-sinyal

input terbobot.

1

_ 2

p

k k i jk

i

y in b z w

=

= +

gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya:

(

_

)

k k

y = f y in

dan kirimkan sinyal tersebut pada ke semua unit di lapisan atasnya (lapisan output).

Langkah (b) dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi.

Backpropagation

d. Tiap-tiap unit output (Yk, k=1,2,3,...,m) menerima target pola yang

berhubungan dengan pola input pembelajaran, hitung informasinya error:

(

) (

'

)

2 _

2 2

k k k k

jk k j

k k

t y f y in

d z d δ ϕ β = − = =

kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai wjk):

jk jk

w αϕ


(53)

hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakn untuk memperbaiki nilai b2k):

2k k

b αβ

Δ =

Langkah (d) ini juga dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi, yaitu menghitung informasi error dari suatu lapisan tersembunyi ke lapisan tersembunyi sebelumnya.

e. Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, j=1,2,3,...,p) menjumlahkan delta

inputnya (dari unit-unit yang berada pada lapisan di atasnya):

1

_

m

j k jk

k

in w

δ δ

=

=

kalikan nilai ini dengan turunan fungsi aktivasinya untuk menghitung informasi error:

(

)

'

1 _ _

1

1 1

j j j

ij j j

j j

in f z in x δ δ ϕ δ β δ = = =

kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai vij):

1

ij ij

v αϕ

Δ =

hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai b1j):

1j 1j

b αϕ

Δ =

f. Tiap-tiap unit output (Yk, k=1,2,3,...,m) memperbaiki bias dan bobotnya

(j=0,1,2,...,p):

(

)

(

)

(

)

(

)

2 2 2

jk jk jk

k k k

w baru w lama w

b baru b lama b

= + Δ

= + Δ

Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, j=1,2,3,...,p) memperbaiki bias dan

bobotnya (i=0,1,2,...,n):

(

)

(

)

(

)

(

)

1 1 1

ij ij ij

j j j

v baru v lama v

b baru b lama b

= + Δ

= + Δ


(54)

4.4 Pengukuran Kinerja Sistem

Jaringan yang telah diberi pelatihan kemudian dapat dianalisa kinerjanya yaitu dengan melakukan proses pencocokan pola antara data testing dengan output dari jaringan (Fausset 1994). Algoritmanya adalah sebagai berikut :

1. Inisiasi bobot (ambil bobot hasil pelatihan)

2. Untuk setiap vektor input kerjakan langkah 3 sampai 5 3. For i=1,…,n;

i X

4. For j=1,…,p;

(

)

0 1 _ _ n

j j i ij

i

i j

z in v x v

z f z in

=

= + =

5. For k=1,…,m;

(

)

0 1 _ _ p

k k j jk

j

k k

y in w z w

y f y in

=

= + =

Kinerja sistem diukur dengan menggunakan parameter konvergensi dan generalisasi. Konvergensi adalah tingkat kecepatan jaringan mempelajari pola input yang dinyatakan dalam satuan waktu atau satuan epoch. Generalisasi adalah tingkat pengenalan jaringan dalam mengenali sejumlah pola yang diberikan. Secara matematis generalisasi dapat ditulis sebagai berikut (Hoekstra 1998):

100%

Jumlah pola yang dikenali Generalisasi

Jumlah seluruh pola

= ×

Secara lebih detail Jumlah pola yang dikenali adalah jumlah genus karang yang dikenali dan Jumlah seluruh pola adalah jumlah citra yang digunakan pada penelitian ini.


(55)

4.5 Program Aplikasi

Aplikasi identifikasi citra karang yang telah dirancang, dikemas dalam

interface yang dibangun dengan graphical user interface (GUI) Matlab versi 7.01. Aplikasi tersebut hanya dapat dijalankan di dalam lingkungan perangkat lunak Matlab. Tampilan aplikasi terdiri atas form utama yang berisi form pelatihan, form


(56)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ada tiga tahap utama yang dilakukan pada percobaan ini yaitu ektraksi ciri, pelatihan dan pengujian JST. Percobaan dilakukan dengan mengkombinasikan data hasil ekstraksi ciri yaitu: warna dan tekstur, warna dan bentuk, tekstur dan bentuk dan kombinasi gabungan ketiganya warna, tekstur dan bentuk. Dari percobaan ini akan dilihat ciri mana yang lebih dominan dan signifikan dalam mengidentifikasi citra. Total citra yang digunakan berjumlah 75 dan jumlah karang yang diidentifikasi terdiri dari 5 genus. Citra dibagi dalam dua bagian dimana 50 citra digunakan untuk data pelatihan dan 25 citra untuk pengujian.

4.6 Ekstraksi Ciri

Citra yang digunakan direduksi dimensinya untuk mengurangi waktu komputasi pada sistem. Dimensi citra yang digunakan adalah 220 x 300 pixel

untuk citra potrait dan 300 x 220 pixel untuk citra landscape. Setiap citra dirotasi 0º, 45º, 60º, 90º, 135º,180º, 200º, 225º, 270º dan 315º agar sistem dapat mengenali obyek citra karang dari sudut manapun. Untuk memenuhi kriteria tersebut maka citra diolah secara manual dengan perangkat lunak manipulasi citra.

Pada bagian ekstraksi ciri, citra yang digunakan adalah citra RGB untuk warna dan citra grayscale untuk tekstur dan bentuk. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai tahapan ektraksi ciri berikut ini disajikan 5 citra karang dari masing-masing genus (Gambar 24).


(57)

(d) seriatopora (e) stylophora Gambar 24 Citra warna karang.

Dari citra diatas dihitung nilai warna merah, hijau dan biru (RGB) dan nilai warna hue, saturation dan value (HSV). Nilai warna yang dihasilkan dari dari 5 citra warna (Gambar 24) dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6 Nilai warna RGB dan HSV dari citra karang

madracis palauastrea pocillopora seriatopora stylophora R 105.02 137.35 95.372 131.05 144.46 G 86.489 125.45 98.018 88.027 151.86 B 98.422 127.95 79.167 89.589 173.33 H 0.66335 0.47735 0.30629 0.48825 0.62461 S 0.2417 0.18704 0.2538 0.50606 0.19152 V 0.43028 0.55904 0.39971 0.52061 0.67971

Setelah nilai warna selesai dihitung, tahap selanjutnya adalah menghitung nilai tekstur dan bentuk citra karang. Untuk itu maka citra karang yang berwarna (Gambar 24) dikonversi kedalam bentuk citra grayscale (Gambar 25).


(1)

Judul Tesis : Identifikasi Citra Karang Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan: Kasus Family Pocilloporidae

Nama : Roni Salambue

NIM : G651050114

Disetujui

Komisi Pembimbing

Panji Wasmana, S.Kom, M.Si Rindang Karyadin, ST, M.Kom Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Komputer

Dr. Sugi Guritman Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2006 ini adalah Identifikasi Citra Karang Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan: Kasus Family Pocilloporidae.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Panji Wasmana, S.Kom, M.Si dan Bapak Rindang Karyadin, ST, M.Kom selaku pembimbing, serta Bapak Aziz Kustiyo, S.Si, M.Kom yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. R. Soekarno, MSc dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), Pemerintah Daerah Propinsi Riau dan Universitas Riau. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, abang, kakak, mertua, istri dan putriku, serta seluruh keluarga yang dengan sabar dan penuh pengertian memberi semangat dan dukungan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 30 September 1974 dari ayah H. Abdul Rahman Harahap dan ibu Hj. Hartati M. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan sarjana komputer pada Jurusan Teknik Komputer STMIK YPTK Padang dari tahun 1994 hingga 1999. Tahun 1999 penulis menjadi staf EDP di PT. Bank Panin Tbk, tahun 2000-2002 menjadi staf IT di PT. Monagro Kimia Central Sumatera Region. Semenjak tahun 2003 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Matematika FMIPA Universitas Riau.


(5)

57

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:

1. Dalam melakukan identifikasi citra karang maka ciri yang diekstraksi dari citra adalah warna, tekstur dan bentuk yang menjadi input bagi JST. 2. Tingkat pengenalan pada kombinasi ciri warna, tekstur (statistical moment) dan bentuk lebih baik dari kombinasi ciri lainnya, dimana tingkat identifikasi yang dihasilkan adalah 96% dengan waktu komputasi 10.94 detik. Pada kombinasi ciri warna, tekstur (GLCM) dan bentuk tingkat identifikasi yang dihasilkan adalah 96% dengan waktu komputasi 20.849 detik dan pada kombinasi ciri warna, tekstur (LBP8riu1) dan bentuk dihasilkan tingkat identifikasi yang lebih kecil yaitu 68% dengan waktu komputasi 0.465 detik.

3. Pada penelitian ini dari hasil perbandingan antara tiga metode analisa tekstur pada kombinasi ciri, tekstur dan bentuk memperlihatkan bahwa metode statistical moment memberikan hasil yang bagus. Indikasinya terlihat pada tingkat pengenalan yang dihasilkan pada semua hidden neuron memiliki nilai yang lebih homogen dibandingkan metode GLCM dan LBP8riu1.

4. Dalam mendeskripsikan bentuk obyek, penggunaan metode moment invariant memberi hasil yang bagus karena variabel-variabel yang dihasilkan oleh metode ini tidak terpengaruh terhadap rotasi, translasi dan skala citra.

6.2 Saran

Saran yang dapat dipertimbangkan dan ditindaklanjuti, yaitu: 1. Identifikasi citra karang dapat dilanjutkan pada tingkat spesies.

2. Melakukan perbandingan metode deskripsi bentuk antara moment invarian dengan zernike moment features.

3. Penelitian ini dapat dikatakan sebagai langkah awal yang paling hilir pada obyek citra karang. Penelitian masih dapat dilanjutkan dengan


(6)

58

melakukan identifikasi karang (karang hidup) dari citra hamparan karang dengan terlebih dahulu melakukan segmentasi terhadap obyek citra berdasarkan metode dari hasil penelitan sebelumnya yang dapat membedakan antara karang hidup, karang mati, alga, pasir dan obyek lainnya.