agalactiae 1 agalactiae Ikan Sampel

isolat 1 dan isolat 3 adalah isolat yang tidak berkapsul sedangkan isolat 2, 4 dan 5 dikelompokkan kedalam bakteri berkapsul Tabel 11. Tabel 11 Keterkaitan antara ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinasi Streptococcus agalactiae asal ikan Kriteria Bakteri

S. agalactiae 1

2 3 4 5 Permukaan sel Protein Karbohidrat Protein Karbohidrat Karbohidrat Pertumbuhan pada media soft agar Difus Difus tebal Difus Difus tebal Difus tebal Jumlah rantai Panjang Panjang Pendek Pendek Panjang Pertumbuhan pada media cair Lambat, agak keruh lambat, keruh cepat, jernih tdk ada endapan Cepat, jernih mengendap Lambat, keruh Seperti diketahui sebelumnya, S. agalactiae memiliki kisaran inang yang luas. Menurut Garcia et al. 2008 produksi pigmen, fermentasi D-laktosa dan D- trehalose, pola pertumbuhan pada media soft agar adalah karakteristik fenotipik yang sangat berguna untuk membedakan isolat S. agalactiae yang berasal dari ikan dan sapi. Garcia et al. 2008 menambahkan satu lagi parameter jika ingin lebih lengkap yaitu dengan menggunakan serotipe kapsular. Pada Tabel 12 berikut ini adalah hasil perbandingan karakteristik fenotipik S. agalactiae pada ikan, sapi, manusia dan hewan lainnya. Dari tabel tampak kelima isolat S. agalactiae yang berasal dari ikan, menunjukkan karakteristik yang sama dengan isolat dari sapi berdasarkan hasil penelitian Garcia et al. 2008, Yildirim et al 2002 dan Merl et al. 2003. Tabel 12 Perbandingan karakteristik fenotipik Streptococcus agalactiae pada ikan, sapi, manusia dan hewan lainnya. Karakteristik Isolat

S. agalactiae Ikan Sampel

Garcia et al 2008 Yildirim et al 2002 Merl et al 2003 1 2 3 4 5 ikan sapi Anj kuc man sapi sapi Pigmentasi + - + - + +, - - + + - + Fermentasi laktosa - - + - - +, - + - - + TD Fermentasi trehalosa - - + + + + - TD TD TD TD Tumbuh pd media soft agar difus difus tebal difus difus tebal difus tebal TD TD TD TD difus difus Heamaglutinasi darah kelinci + + - - + TD TD - - + TD Ket: TD; tidak dilakukan pengujian Menurut pendapat Elliot et al. 1990 yang meneliti perbedaan isolat S. agalactiae berdasarkan profil protein sel utuh whole cell menyatakan bahwa isolat dari tikus, ikan dan manusia mempunyai pola protein yang identik, sedangkan isolat dari sapi identik dengan isolat dari manusia tetapi berbeda pola proteinnya terutama antara 30.000-50.000 Da. Kesamaan profil protein sel utuh dari isolat yang berasal dari ikan, manusia dan tikus memperkuat dugaan bahwa mereka mempunyai ancestor kelompok DNA yang sama. Wilkinson et al. 1973 menyatakan jika isolat bakteri tidak berasal dari satu ancestor maka terdapat kemungkinan bakteri tersebut tidak bisa berpindah ke jenis inang yang lain. Sehingga bisa dikatakan jika berasal dari satu ancestor maka terdapat kemungkinan bakteri tersebut dapat saling berpindah di antara inang ikan, manusia dan tikus. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Garcia et al. 2008 yang mencoba menginfeksikan isolat dari sapi ke tilapia, Oreochromis niloticus dan ke ikan Channel catfish, Ictalurus punctatus. Ternyata isolat dari sapi tidak bersifat infeksius pada tilapia dan Channel catfish secara eksperimental di laboratorium, sehingga Garcia et al. 2008 menyimpulkan bahwa isolat dari sapi bukan merupakan sumber infeksi pada ikan. Tetapi, Pereira et al. 2010 menyatakan bahwa strain dari sapi dan manusia dapat menginfeksi ikan nila. Ada lima strain dari isolat manusia yang digunakan Pereira et al. 2010, kelima isolat dapat diisolasi kembali dari otak dan ginjal, sedangkan satu isolat yang dapat menimbulkan gejala klinis dan menyebabkan kematian. Satu strain isolat manusia yaitu 80427 mempunyai tipe PFGE yang sama dengan isolat sapi strain 87159, keduanya dapat menimbulkan gejala klinis melalui inokulasi secara intra peritoneal IP. Tetapi strain yang berasal dari ikan itu sendiri masih jauh lebih ganas dari strain sapi atau manusia. Strain manusia 80427 ternyata juga mampu menginfeksi ikan dan menimbulkan gejala klinis secara eksperimental melalui rute imersi Pereira et al., 2010. Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal yaitu : 1. Kelima isolat S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dari sentra Budidaya Waduk Cirata dan Klaten memiliki persamaan dan perbedaan karakteristik. 2. Persamaan karakteristiknya adalah Gram positif, motilitas negatif, hipurat positif, eskulin dan D-mannitol negatif, fermentatif positif. 3. Perbedaan terletak pada kemampuan hemolitik yaitu satu isolat memiliki kemampuan β-hemolitik yaitu N 14 4. Berdasarkan pengujian fenotipik, derajat hidrofobisitas dan hemaglutinasi dapat dikelompokkan menjadi bakteri yang berkapsul yaitu diduga isolat, N G 3 dan keempat isolat lainnya tidak memiliki kemampuan hemolitik non-hemolitik, kemampuan tumbuh pada media bile salt 40 dan kemampuan menghidrolisis gula. 4 M 2, N 17 O 4 dan isolat NK 1 5 dan bakteri non-kapsul adalah isolat N 3 M 1 dan isolat N 14 Keterkaitan antara perbedaan karakteristik S. agalactiae terhadap sifat patogenisitas dan mekanisme infeksi masing-masing isolat pada ikan nila perlu dilakukan lebih mendalam untuk mengoptimalkan penanggulangan yang nantinya akan dilakukan. G 3, meskipun penelitian yang berkaitan dengan kapsul ini masih harus diteliti lebih lanjut. PATOGENISITAS BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus ABSTRAK Hasil pengujian karakteristik, diketahui bahwa S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila dikelompokkan menjadi dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik. Setelah diuji pada 30 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial sebanyak 0.1 mlekor ternyata bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen dilihat dari kematian, munculnya gejala klinis, perubahan tingkah laku, perubahan patologi anatomi baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Bakteri tipe non-hemolitik menyebabkan kematian setelah 6-24 jam pasca injeksi sedangkan tipe β-hemolitik baru menyebabkan kematian setelah 48 jam, dan setelah 14 hari, sebanyak 48 ikan mati akibat diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik dan 18 ikan yang diinjeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat muncul perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan clear operculum rata-rata muncul setelah 6 jam pasca injeksi dan 12 jam pada ikan nila yang diinjeksikan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Selain perubahan secara makroskopis, perubahan pada mikroskopis juga diamati. Perubahan yang terjadi pada pola renang dan perubahan pada mata, perubahan warna ditandai dengan adanya perubahan histologi organ mata, ginjal dan otak. Kata kunci : hemolitik, patogenisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the effect bacteria characteristic on the pathogenecity of S. agalactiae that infected nile tilapia. Characteristict test showed that this bacteria could be grouped into two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic. After injected intraperitoneal injection 0.1 mLfish into 30 fish weighing 15 g in average, the non- haemolytic demonstrated more virulent. It caused faster mortality, clinical symptoms, severe behavior changes and pathological changes macroscopically and microscopically. Non- haemolytic S. agalactiae caused mortality on 6-24 hours post- injection while β- haemolytic type caused mortality on 48 hours post-injection. On 14 day post injection, non-haemolytic caused 48 mortality and 18 caused β- haemolytic. Changes in clinical symptoms on fish injected with non-haemolytic bacteria appeared faster swimming behavior, response to food, and changes in eyes and clear operculum, that was in average 6 hours post-injection while in fish injected with β- haemolytic type, the changes appeared 12 hours after injection. Besides macroscopic changes, microscopic changes were also observed swimming pattern, changes on eyes, colour changes characterized by histological changes on eyes, kidney and brain. As conclusion, non-haemolytic S. agalactiae was more virulent than β-haemolytic S. agalactiae because the disease signs and the mortality appeared firstly and more severe on fish infected non-haemolytic S. agalactiae fish. Keywords : haemolytic, pathogenicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus Pendahuluan Patogenisitas S. agalactiae pada ikan nila sampai sekarang belum dibahas tuntas, faktor penyebab perbedaan gejala klinis yang muncul dan perjalanan bakteri hingga menyebabkan kematian perlu diamati agar dapat dijadikan acuan dalam upaya pengendalian penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae. Dari hasil pengamatan mengenai karakteristik S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila ditemukan dua tipe bakteri yaitu tipe β-hemolitik dan non- hemolitik, sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mengenai patogenisitas kelima isolat S. agalactiae termasuk didalamnya bakteri bertipe β- hemolitik dan non-hemolitik. Pengamatan terkait tahapan dampak yang disebabkan oleh bakteri selama masa infeksi sampai menyebabkan kematian. Kejadian setelah S. agalactiae masuk ke dalam tubuh inang dapat dilihat salah satunya dengan mengamati gejala yang muncul pada inang, antara lain dari perubahan pola renang, perubahan nafsu makan, perubahan kesehatan melalui pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah serta perubahan pada histologi mata, ginjal dan otak ikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan dampak infeksi S. agalactiae yang berbeda karakter β-hemolitik dan non-hemolitik terhadap ikan nila. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 30 ekor per akuarium dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan adalah lima isolat S. agalactiae Tabel 3 dan sebagai kontrol adalah ikan nila diinjeksi dengan 0.1 ml BHI. Persiapan ikan uji dan kelima bakteri yang digunakan dalam penelitian patogenisitas S. agalactiae ini dijabarkan dalam metodologi umum. Ikan disuntik sebanyak 0.1 ml ekor dengan kepadatan masing-masing isolat bakteri, dan dipelihara selama 14 hari. Parameter yang diukur dan analisa data Dalam pelaksanaan penelitian patogenisitas S. agalactiae dilakukan pengukuran beberapa parameter yaitu perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis, gambaran darah dan patologi klinik darah, pengamatan histopatologi serta pengamatan kematian ikan. Pengamatan parameter dilakukan setiap 1, 3, 6, 12, 24 jam pasca injeksi dan dilanjutkan setiap 24 jam hingga hari ke-14. Cara kerja dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum. Hasil dan Pembahasan 1 Perubahan pola berenang Jika dikaitkan dengan uji ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinasi yang merujuk pada S. agalactiae kapsul dan non kapsul menunjukkan bahwa bakteri yang diduga non kapsul isolat 3 memiliki patogenisitas yang lebih rendah dari bakteri yang diduga berkapsul isolat 2, 4 dan 5 karena dalam tubuh inang bakteri non kapsul akan lebih mudah difagosit oleh sel-sel fagositik sehingga kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dalam tubuh inang juga terbatas, tidak seperti bakteri berkapsul yang permukaan selnya tersusun atas karbohidrat yang hidrofilik sehingga lebih sulit untuk dilisis oleh sel fagosit. Hal inilah yang menyebabkan bakteri berkapsul lebih mudah tumbuh, berkembang dan mengembangkan virulensinya. Perubahan pola renang yang dimunculkan oleh inang yang terinfeksi S. agalactiae yaitu ikan cenderung agresif dengan sirip punggung yang mengembang atau berenang lemah di dasar akuarium. Perubahan terjadi mulai jam ke-6 pasca injeksi yaitu pola renang ikan yang tidak beraturan dan cenderung soliter yaitu berenang terpisah dari kelompok Gambar 9B sedangkan kontrol menunjukkan pola renang yang berkelompok dan teratur Gambar 9A. Ikan uji menunjukkan berenang gasping mengambil udara tepat di bawah permukaan air pada jam ke-12 pasca injeksi. Bakteri tipe non-hemolitik isolat 5 dan isolat 2 lebih cepat menyebabkan perubahan pada pola berenang ikan pada jam ke-12 pasca injeksi ikan cenderung lemah dan diam didasar akuarium sedangkan gejala yang sama baru muncul jam ke- 48 pasca injeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik. Gambar 9 Tingkah laku berenang ikan normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae. A: tingkah laku berenang normal-berkelompok teratur; B: tingkah laku berenang abnormal tidak teratur dan soliter; C: gasping; D: sirip mengembang abnormal dan cara berenang normal tanda panah Gejala khas yang muncul pada infeksi S. agalactiae adalah berenang whirling yang umumnya muncul pada jam ke-120. Tubuh ikan membentuk huruf “C” juga ditemui pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik mulai hari ke-12 hingga hari ke-14 pasca injeksi. Gejala tersebut sesuai dengan gejala yang berhasil diamati oleh Evans et al. 2006 pada ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae sebelum mati seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang whirling, tubuh membentuk huruf ”C”. Perubahan pola renang ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik adalah awal infeksi ikan tampak agresif kemudian pada jam ke-3 pasca injeksi ikan mulai tampak berenang lemah hingga hari ke-5 dan akhirnya ikan berenang whirling. Ikan yang berenang whirling biasanya mati setelah 12 jam. Pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik juga terjadi perubahan pola renang yang sama, hanya saja jumlah ikan yang berenang whirling lebih sedikit. Data secara lengkap hasil pengamatan perubahan pola renang, nafsu makan ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae dijabarkan pada Lampiran 4. Perbedaan gejala yang muncul dapat dikaitkan dengan organ target S. agalactiae mata, otak dan ginjal. Keberadaan bakteri pada organ mata dapat menyebabkan perubahan pada mata opacity, purulens, eksoptalmia dan sebagainya. Keberadaan bakteri pada organ otak dapat menyebabkan ikan berenang abnormal gasping, berenang miring bahkan whirling sedangkan keberadaan bakteri pada ginjal ikan dapat menyebabkan perubahan warna tubuh menjadi lebih hitam. Masing-masing tipe bakteri menyebabkan respon yang berbeda terhadap ikan nila. Baik bakteri tipe β-hemolitik maupun tipe non-hemolitik memiliki karakteristik yang berbeda dalam tubuh inang untuk tumbuh, berkembang dan mengembangkan virulensi. Perubahan tingkah laku ikan yang muncul akibat diinjeksi dengan tipe bakteri non-hemolitik lebih beragam dan lebih cepat muncul dibandingkan dengan ikan yang diinjeksi dengan tipe β-hemolitik. Ini semakin menguatkan data bahwa bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen. 2 Perubahan tingkah laku makan Umumnya respon terhadap pakan pasca injeksi S. agalactiae tampak lemah bahkan ikan uji yang diinfeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik tidak mau makan sejak jam ke-72 pasca injeksi. Respon terhadap pakan ikan uji yang diinjeksi bakteri tipe β-hemolitik terlihat pada jam ke-144 lebih lama dari bakteri tipe non-hemolitik. Pada Gambar 10 tampak, ikan kontrol sehat umumnya dapat mencerna pakan dengan baik A, sedangkan ikan yang terinfeksi S. agalactiae lambat mencerna pakan yang diberikan B. Pada Gambar 10C terlihat organ ikan yang menjadi pucat pasca infeksi S. agalactiae. Gambar 10 Organ dalam ikan nila normal dan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. PA normal; B. lambung ikan nila pencernaan makanan menjadi lambat ditunjukkan dengan tanda panah biru; C. organ dalam ikan nila menjadi pucat tanda panah merah. Waktu pencernaan pakan juga menjadi lebih lama ini ditunjukkan dengan masih utuhnya pakan dalam lambung ikan yang terinfeksi bakteri yang disampling 5 menit setelah pemberian pakan. Hal tersebut dimungkinkan karena terganggunya enzim pencernaan ikan akibat adanya infeksi dalam otak ikan yang mengatur gerak peristaltik usus. Sehingga pencernaan ikan lebih lama dari kondisi normal. Bakteri yang menginfeksi otak ikan mengganggu kerja hipotalamus bagian lateral yang mengatur rasa lapar. Terganggunya sel-sel dalam hipotalamus yang berada dalam telencephalon otak depan akibat adanya S. agalactiae, inilah yang menyebabkan ikan mulai mengalami penurunan nafsu makannya bahkan tidak mau makan pasca injeksi. 3 Perubahan patologi anatomi ikan nila secara makroskopis Pasca diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan nila menunjukkan perubahan makroskopis pada anatomi organ luar mata, operkulum dan kepala dan anatomi organ dalam otak, ginjal berupa perubahan warna dan konsistensinya. Pada Tabel 13 dijabarkan gejala klinis yang terjadi pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Tabel 13 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Patologi anatomi organ luar secara makroskopis Waktu terjadinya pasca injeksi jam non-hemolitik β-hemolitik Garis vertical tubuh menghitam 6 24 Clear operculum 24 72 Mata mengkerut 24 264 Eksoptalmia purulens 96 120 Pendarahan di mata 24 - Ulcer pada kepala 264 - Abses pada perut 336 - “C” shape 288 - Keterangan : - tidak ditemukan adanya gejala Perubahan warna tubuh biasanya terjadi pada jam ke-6 pasca injeksi tipe non-hemolitik dan jam ke- 24 pasca injeksi tipe β-hemolitik. Perubahan pada mata seperti mata mengkerut, pengecilan pupil mata terjadi pada jam ke-24 pasca injeksi bakteri tipe non-hemolitik dan muncul pada hari ke-11 pasca injeksi bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri tipe β-hemolitik lebih lambat menyebabkan munculnya gejala dibandingkan dengan tipe non-hemolitik. Gambar 11 menunjukkan perubahan yang terjadi pada mata ikan yang terinfeksi S. agalactiae. Awal perubahan pada mata yaitu mata mengkerut Gambar 11B kemudian yang terjadi adalah, pupil mata mengecil Gambar 11C- D, kemudian mata seperti berkabutpurulens Gambar 11F hingga sebelah mata dapat hilang Gambar 11E. Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai dengan pendarahan terjadi pada hari ke-4 tipe non-hemolitik dan pada hari ke-5 tipe β-hemolitik. Gambar 11 Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila; A. normal; B. mata mengkerut, C. pupil mata mengecil; D.Opacity kekeruhan mata; E. mata lisis dan F. Purulens mata putih. Pada infeksi S. agalactiae, lateral eksoptalmia lebih sering terjadi dibandingkan dengan bilateral eksoptalmia Gambar 12C-D. Gejala Streptococcosis spesifik pada ikan nila adalah clear operculum dengan berbagai tahapan Gambar 13. Gejala pra clear operculum ditandai dengan munculnya warna semu kuning dengan titik-titik putih di bawah mulut. Clear operculum muncul rata-rata pada jam ke-24 dan disertai pendarahan pada jam ke-24 untuk S. agalactiae tipe non-hemolitik dan jam ke-72 pasca injeksi S. agalactiae tipe β- hemolitik tanpa disertai pendarahan. Gambar 12 adalah perubahan yang terjadi pada mata, yaitu adanya eksoptalmia baik lateral maupun bilateral, serta yang dibarengi dengan adanya pendarahan. Gambar 13 menunjukkan adanya clear operculum pada ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Pada Gambar 14, tampak adanya beberapa perubahan pada tubuh ikan pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Gejala spesifik yang hanya muncul pada ikan nila yang diinjeksi dengan bakteri tipe non-hemolitik yaitu adanya luka ulcer di bagian kepala ikan nila Gambar 14C pada hari ke-8 dan muncul abses Gambar 14D di bagian bekas injeksi yang menjalar hingga perut pada hari ke- 14. Ketiga gejala tersebut tidak tampak pada ikan uji yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik. Gambar 14 Perubahan yang terjadi pada tubuh ikan nila; A. warna tubuh pucat; B E. bibir pucat dan memutih; C. ulcer pada bagian kepala; D. abses pada bagian tubuh; F. tubuh membentuk huruf “C” disertai lateral eksoptalmia. Streptococcosis Streptococcus agalactiae dan S. iniae umumnya ditandai dengan adanya perubahan warna gelap pada garis vertikal ikan nila Gambar 15, Gambar 12 Eksoptalmia pada organ mata ikan nila; A. pendarahan pada mata; B C lateral eksoptalmia, D. bilateral eksoptalmia. Gambar 13 Perubahan yang terjadi pada operkulum ikan nila tanda panah; A. normal; B C clear operculum, D. clear operculum disertai pendarahan. 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 24 168 336 T o tal Le u k os it 1 5 sel m m 3 Waktu Pengamatan jam isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol ini diduga karena bakteri menginfeksi organ ginjal yang berpengaruh terhadap produksi melatonin sebagai pembentuk warna tubuh. Gambar 15 Perubahan warna tubuh ikan yang terinfeksi Streptococcus agalactiae A. garis vertikal tubuh menghitam; B. warna tubuh ikan normal. 4 Gambaran darah Total Leukosit Rataan total leukosit ikan nila selama percobaan cenderung naik mulai 1 jam pertama hingga hari ke-10 pasca injeksi dengan S. agalactiae Gambar 16 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Kenaikan ini berkaitan dengan pertahanan seluler yang meningkat karena adanya infeksi pasca injeksi. Gambar 16 Grafik total leukosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Dari uji statistik, terdapat perbedaan antar perlakuan injeksi dengan kelima isolat dengan kontrol p0.05; sedangkan antar perlakuan isolat bakteri isolat 1–isolat 5 tidak berbeda nyata p0.05. Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae kelima isolat menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila sejak jam ke-4 dan 168 pasca injeksi, setelah 14 hari cenderung kembali normal. 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 Peningkatan dan aktivitas leukosit dapat disebabkan oleh infeksi yang memicu aktivitas pembelahan sel Evenberg et al., 1986 dan Anderson 1974 menyebutkan bahwa perubahan populasi leukosit dapat diamati setelah 7 hari pasca pemaparan. Adanya infeksi S. agalactiae menyebabkan ikan mengirimkan sel leukosit lebih banyak ke areal infeksi sebagai upaya pertahanan. Sel-sel leukosit tersebut bekerja sebagai sel yang memfagosit bakteri yang ada agar tidak dapat berkembang dan menyebarkan virulensi dalam tubuh inang sehingga sering ditemukan jumlah total leukosit mengalami peningkatan pasca infeksi oleh bakteri. Differensial Leukosit Limfosit, Monosit dan Neutrofil Jenis leukosit ikan nila terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil sebagaimana diungkapkan Clem et al., 1985, bahwa leukosit terdiri dari 3 jenis. Namun terkadang juga ditemukan basofil dan eusinofil. Jenis leukosit ikan nila tampak pada Gambar 17, limfosit lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan kedua jenis leukosit lainnya. Gambar 17 Differensial leukosit dan trombosit ikan nila. E: eritrosit, IME: immature eritrosit, T: trombosit, M: monosit, L: limposit dan N: neutrofil. 1 bar = 20 µm Rataan proporsi leukosit ikan nila normal yaitu: limfosit 68-86, monosit 3.9-5.9 dan neutrofil 10-18.1. Rataan porposi jenis leukosit ikan yang diinjeksi bakteri S. agalactiae lebih bervariatif yaitu limfosit 72–81, monosit 4.4–5.3 dan neutrofil 13.5–21.2. Proporsi jenis leukosit antara ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β dan non- hemolitik tidak berbeda nyata. Leukosit pada ikan menurut Fujaya 2004 terdiri atas 7 bentuk yaitu 3 tipe eosinofil granulosit dan masing-masing satu tipe neutrofil granulosit, limfosit, monosit dan trombosit. Neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit kuat. Fagositasi oleh neutrofil dilakukan dengan mendekati partikel yang akan difagositasi dengan cara mengeluarkan pseudopodi ke segala arah sekitar partikel, selanjutnya pseudopodi satu sama lain saling bersatu untuk melakukan fagositasi. Satu neutrofil dapat menfagosit 5 sampai 20 bakteri. Monosit lebih kuat karena dapat menfagosit partikel yang lebih besar. Limfosit tidak bersifat fagositik tetapi berperan dalam pembentukan antibodi.Jumlah monosit ikan yang disuntik dengan S. agalactiae lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan juga terjadi pada sel neutrofil pada jam ke-24 hingga hari ke-5 pasca injeksi. Pada akhir penelitian 336 jam neutrofil dan monosit ditemukan lebih rendah dari kontrol. Jumlah granulosit mengalami penurunan karena adanya pendarahan pada organ ikan ginjal dan mata yang disebabkan oleh granulosit yang keluar dari pembuluh darah dan berada di tempat radang dan jaringan yang rusak untuk mengfagosit antigen yang masuk. Baik granulosit maupun mononuklear dapat menelan bakteri namun makrofag lebih aktif. Makrofag berada di dalam jaringan sebagai pelindung tubuh, juga pemakan bakteri dan sisa debris, sedangkan monosit berada di dalam darah. Bakteri setelah dicerna diubah menjadi bentuk terlarut sehingga dapat dimanfaatkan tubuh, dibuang sebagai hasil limbah atau untuk merangsang respon imun. Jadi pertahanan non spesifik pada ikan fungsinya selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan jaringan yang rusak. Total Eritrosit Menurut Fujaya 2004, jumlah eritrosit pada masing-masing spesies ikan berbeda, tergantung dari aktivitas ikan tersebut. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut Hb yang berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke jaringan. Selain mengedarkan Hb, eritrosit juga mengandung asam karbonat dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan 10 20 30 40 50 60 70 1 3 T o ta l E rit ro sit 1 5 sel m m 3 Waktu Pengamatan jam isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol air, sehingga darah dapat mengedarkan karbondioksida dari jaringan menuju insang. Total eritrosit ikan nila normal berkisar antara 30-39 10 5 selmm 3 sedangkan ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae rataan jumlah eritrosit lebih berfluktuatif yaitu berkisar 12-60 10 5 selmm 3 Dari hasil uji statistik, keseluruhan isolat berbeda nyata nilai total eritrositnya dengan kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae p0.05 pada jam ke-24 hingga jam ke-336. Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada total eritrosit ikan nila secara nyata. . Peningkatan eritrosit terjadi pada jam ke-3 pasca injeksi dan kenaikan berlangsung hingga 24-48 jam pasca injeksi Gambar 18 dan data selengkapnya tertuang pada Lampiran 5. Gambar 18 Grafik total eritrosit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Peningkatan total eritrosit ini menandakan adanya upaya homeostatis pada tubuh ikan infeksi patogen dimana tubuh memproduksi sel darah lebih banyak untuk menggantikan eritrosit yang mengalami lisis akibat adanya infeksi. Penurunan eritrosit mengindikasikan adanya anemia pada ikan yang ditandai adanya pendarahan pada organ ginjal ikan. Keberadaan S. agalactiae yang memproduksi toksin hemolitik yang dapat melisis eritrosit lihat aktivitas hemolitik sehingga rataan eritrosit ikan uji umumnnya menurun atau lebih rendah dari normal hingga hari ke-14 pasca injeksi. 24 168 336 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 24 168 336 H e m at o k ri t Waktu pengamatan jam isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol 5 Patologi klinik darah Hematokrit Rataan kadar hematokrit ikan nila normal berkisar 27.3–37.8 dan kadar hematokrit ikan uji yang diinjeksi S. agalactiae sepanjang penelitian berfluktuasi, nilainya berkisar 15.9–43.15 bakteri tipe non-hemolitik dan 12.9–43.14 bakteri tipe β-hemolitik Gambar 19. Data pengamatan hematokrit ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 19 Grafik hematokrit ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi bakteri mengalami peningkatan yang berbeda nyata nilai hematokrit dengan kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae p0.05 pada jam ke-168 pasca injeksi. Setelah hari ke-14 336 jam kadar hematokrit cenderung kembali mendekati normal. Artinya, keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada hematokrit ikan nila secara nyata, namun setelah 14 hari ikan cenderung kembali normal kecuali isolat 3 dan isolat 5. Kadar hematokrit ini dapat digunakan untuk mengetahui dampak injeksi S. agalactiae, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kondisi kesehatan ikan setelah penginjeksian. Dalam penelitian faktor penyebab stress seperti lingkungan dan penanganan diminimalisir sehingga perubahan hematokrit dapat dipastikan karena adanya infeksi patogen. Peningkatan mulai terjadi jam pertama pasca injeksi hingga jam ke- 24 bakteri tipe β-hemolitik dan jam ke-72 bakteri tipe non-hemolitik. 2 4 6 8 10 12 14 16 18 24 168 336 H e m og lo bi n g Waktu Pengamatan jam isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol Hemoglobin Hb Hemoglobin adalah metalloporphyrin, kombinasi dari haem yang merupakan porphyrin besi dan globin. Pada peristiwa oksigenasi, atom besi dari haem akan berasosiasi dengan satu molekul oksigen. Setiap molekul Hb mengandung 4 molekul haem dan 4 atom besi sehingga dapat mengangkut 4 molekul oksigen Fujaya, 2004. Kadar hemoglobin ikan berkaitan dengan anemia dan jumlah sel darah, peningkatan Hb terjadi karena adanya infeksi yang diikuti adanya penurunan yang sangat cepat. Peningkatan Hb rata-rata ikan yang diinjeksi bakteri tipe non- hemolitik terjadi sejak 1 jam awal pasca injeksi hingga jam ke-6 hingga jam ke-12 kemudian penurunan secara cepat terjadi hingga jam ke-96 hingga jam ke-120. Sedangkan Hb ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe β-hemolitik terjadi kenaikan puncak pada jam ke-6 Gambar 20. Data pengamatan hemoglobin ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 20 Grafik hemoglobin ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Kadar rata-rata Hb ikan nila normal berkisar 10–11.01 g, sedangkan ikan yang diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae berkisar 4–14.4 g. Pada jam ke-24 pasca injeksi, dari uji statistik kelima isolat menyebabkan perubahan pada nilai hemaglobinnya namun perbedaan secara nyata dengan kontrol hanya terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan isolat 1 dan 5. Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah. Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi kestabilan Hb. Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih 20 40 60 80 100 120 140 24 168 336 G luk o sa da ra h m g 100m l Waktu Pengamatan Jam ke- kontrol isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 rendah sehingga menyebabkan lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau berenang lemah. Glukosa Darah Hasil pengukuran glukosa darah ikan nila normal berkisar antara 80.02- 113.21 mg100 ml dan sepanjang percobaan glukosa darah nilainya berfluktuasi Gambar 21. Gambar 21 Grafik glukosa ikan nila pasca diinjeksi Streptococcus agalactiae Peningkatan glukosa darah terjadi sepanjang pengamatan pada kelima isolat. Ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik menunjukkan kadar glukosa berkisar 73.79–121.67 mg100 ml dan yang diinjeksi β-hemolitik berkisar 69.34–129.17 mg100 ml. Data pengamatan glukosa darah ikan nila pasca injeksi S. agalactiae secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari hasil uji statistik glukosa darah ikan nila, peningkatan glukosa darah terjadi 1 jam pasca injeksi di semua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol p0.05, artinya keberadaan infeksi S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada kadar glukosa darah ikan nila secara nyata. Peningkatan glukosa darah ini berkaitan dengan kondisi stress pada ikan yang dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor fisika dan kimia kualitas air, faktor biologi adanya infeksi patogen juga dapat karena penanganan. Glukosa darah ini dapat bersifat imonosupresor pada ikan, hal ini disebabkan karena pada saat kadar glukosa dalam darah tinggi, ginjal bekerja lebih keras untuk menjaga keseimbangan tubuh, pada saat inilah fungsi dan kerja ginjal terganggu termasuk fungsinya sebagai organ yang berperan dalam sistem imun. Saat organ limfoid ini terganggu sistem pertahanan tubuh menjadi menurun sehingga patogen lebih mudah untuk tumbuh, berkembang dan menyebarkan virulensi pada tubuh ikan Anderson, 1990. Evans 2003 mengamati adanya peningkatan kerentanan ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae pada kondisi stress sublethal DO yang ditandai dengan adanya peningkatan glukosa darah. Pada saat ikan mengalami gangguan yang menyebabkan stres, baik karena penanganan, kualitas air maupun infeksi bakteri, maka tubuh ikan akan mengeluarkan tanda atau alarm sebagai indikasi adanya gangguan. Alarm pada ikan antara lain : pertama adanya peningkatan gula darah akibat sekresi hormon dari kelenjar adrenalin. Persediaan gula, seperti glikogen dalam hati dimetabolisme sebagai persediaan energi untuk emergensi. Kedua, osmoregulasi kacau akibat perubahan metabolisme mineral. Ikan air tawar cenderung mengabsorbsi air dari lingkungan over-hydrate, ikan air laut cenderung kehilangan air dari dalam tubuh dehydrate. Kondisi ini perlu energi ekstra untuk memelihara keseimbangan osmoregulasi. Ketiga, pernafasan meningkat, tensi darah meningkat, persediaan eritrosit direlease ke sistem resirkulasi dan keempat, respon inflamasi ditekan oleh hormon dari kelenjar adrenalin Anderson, 1990. 6 Kematian ikan Bakteri S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan kematian yaitu mulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12 pasca injeksi sedangkan isolat β-hemolitik baru pada jam ke-48. Jumlah ikan yang mati pada akhir pengamatan akibat injeksi S. agalactiae non-hemilitik lebih banyak dibandingkan dengan bakteri tipe β-hemolitik. Bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih virulen karena lebih cepat menyebabkan kematian pada ikan nila. Kematian ikan pasca injeksi dengan bakteri S. agalactiae terlihat pada Gambar 22. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 1 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 k e m at ian i k an waktu pengamatan jam isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 kontrol Gambar 22 Kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae Selanjutnya, dari hasil pengukuran Mean Time Death MTD atau rerata waktu kematian ikan uji pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian ikan nila akibat infeksi S. agalactiae tampak pada Tabel 14. Tabel 14 Mean Time Death MTD hasil pengujian patogenisitas S. agalactiae terhadap ikan nila Waktu pengamatan Isolat 1 Isolat 2 Isolat 3 Isolat 4 Isolat 5 Kontrol 1 3 6 2 12 1 24 3 48 3 1 7 72 3 1 2 96 8 1 6 12 120 2 3 2 144 168 8 10 1 3 10 192 1 6 1 3 216 6 5 4 4 1 240 4 1 1 264 1 1 3 1 288 2 1 2 312 3 336 1 1 1 3 1 MTD 149.5 169.9 156 267.7 135.6 - Kelima isolat S. agalactiae menyebabkan kematian yang berbeda pada ikan nila, isolat 4 rata-rata menyebabkan kematian setelah 268 jam setelah infeksi dan ini merupakan waktu terlama dibandingkan dengan keempat isolat lainnya. Sedangkan isolat 5 rata-rata menyebabkan kematian hanya dalam waktu 136 jam setelah infeksi, dan isolat ini menyebabkan kematian paling cepat diantara isolat S. agalactiae lainnya. Dari hasil pengukuran rerata waktu kematian dapat diketahui bahwa S. agalactiae lebih bersifat kronis yaitu tidak langsung menyebabkan kematian namun menyebabkan perubahan pada fisiologis ikan yang terinfeksi terlebih dahulu, tidak seperti bakteri Vibrio alginolyticus yang memiliki nilai MTD 12-28 jam yang dapat dikatagorikan sebagai bakteri akut, dapat menyebabkan kematian secara cepat Murdjani, 2002. 7 Histopatologi Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengevaluasi adanya gangguan pada ikan yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama Adams, 1990. Dengan menggunakan indikator histologik ikan ini, dapat diketahui perubahan yang terjadi pada tubuh ikan baik akibat perubahan kualitas air, penanganan maupun infeksi patogen karena histopatologi merupakan hasil dari adanya perubahan secara biokimia dan fisiologis pada organisme Hinton dan Lauren, 1990. Namun untuk mengamati perubahan histopatologi ini sangat bergantung pada kualitatif pengcahayaan mikroskop pada tiap jaringan yang diamati, kebaruan teknologi analisis seluler dan molekuler. Perubahan yang terjadi pada pada organ mata, otak dan ginjal ikan umumnya hampir sama yang disebabkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. Perubahan mulai dapat dilihat pada hari ke-3 pasca injeksi dan pada hari ke-14 juga masih ditemukan histopatologinya di ketiga organ. Pada jam ke-168, histopatologi hampir ditemukan pada semua perlakuan. Histopatologi yang tampak pada organ mata, otak dan ginjal, tampak pada Tabel 15. Tabel 15 Histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan Streptococcus agalactiae Jam setelah injeksi Organ ikan Mata Otak Ginjal 24 Belum tampak Belum tampak Belum tampak 168 Hipertropi, hyperplasia, pendarahan, degenerasi dan nekrosa bagian choroid Hipertropi, kongesti, degenerasi dan nekrosa pada otak depan, otak tengah dan otak belakang Hipertropi, hemorrhagi, nekrosa di ginjal bagian depan dan belajkang 336 Hipertropi, kongesti pada bagian choroid degenerasi, kongesti di myelencephalon dan cerebellum hemmorhagi, degenerasi dan ginjal depan dan belakang Organ Mata Organ mata ikan nila terdiri dari beberapa lapisan yaitu bagian choroid, retina dan iris yang tampak pada Gambar 23. Gambar 23 Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A mata ikan nila normal: A1 Choroid; A2 Retina; A3 Iris. B. bagian retina mata; B1 pigment epithelium; B2 lapisan photoreceptor; B3 membran pembatas luar; B4 outer nuclear layer; B5 lapisan luar plexiform; B6 lapisan dalam nuclear; B7 lapisan plexiform dalam; B8 lapisan sel ganglion. C. choroid. H hipertropi; hr. hemorrhage; Hp hiperplasi. AC 1 bar=200 µm, B.1 bar=50 µm Perubahan pada mata ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae secara makroskopis tampak adanya eksoptalmia, pengerutan mata, pendarahan dan mata keruh sampai berkabut purulens, opacity. Secara histologi mikroskopis perubahan tampak seperti pada Gambar 23C. Hiperplasi, terjadi pada bagian choroid yaitu adanya penambahan jumlah sel dalam jaringan. Hemorrhagi juga tampak terjadi, ini membuktikan bahwa S. agalactiae bersifat septicemia yang merusak pembuluh darah yang ditandai dengan adanya pendarahan. Hipertropi tampak dengan adanya pembesaran sel, yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri patogen. Hipertropi dan hiperemi terjadi pada bagian choroid ikan yang mengalami eksoptalmia baik lateral maupun bilateral. Bakteri berkembang dalam organ mata, didalam perkembangannya sejalan dengan munculnya sifat virulensinya bakteri menghasilkan eksotoksin salah satunya hemolisin yang merusak bagian choroid mata sehingga menyebabkan mata mengalami perubahan-perubahan tersebut dan tidak ditemukan adanya perubahan pada bagian retina mata. Choroid merupakan bagian dari mata yang mengandung banyak pembuluh darah karena letaknya diantara arteriole dan kapiler yang membentuk rete mirabile. Arteri dan vena saling berdekatan dan sebagai tempat pertukaran darah, ion dan gas antara dinding pembuluh darah sehingga S. agalactiae sebagai bakteri septicemia dengan mudah tumbuh dan berkembang di daerah ini Ferguson, 1989. Adanya hipertropi dan hiperplasi pada bagian choroid menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia dan hemorrhagi bisa tampak secara makroskopis pada mata ikan. Sama halnya dengan Filho et al. 2009 menemukan adanya infiltrasi pada bagian choroid dan periorbital, dan tidak ditemukan kelainan pada bagian retina mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae. Perubahan pada mata eksoptalmia dan purulens mulai tampak pada jam ke-24 pasca injeksi dengan S. agalactiae tipe non hemolitik dan 120 jam pasca injeksi dengan β-hemolitik. Perubahan secara histopatologi juga terdeteksi pada jam tersebut dan perubahan masih ditemukan pada ikan nila hingga hari ke-14 pasca injeksi. Filho et al. 2009 juga masih menemukan perubahan pada histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non- hemolitik hingga hari ke-14 dan tidak ditemukan histopatologinya pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi. Organ Otak Menurut Rahardjo 1985 otak ikan dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu telencephalon, diencephalon, mesencephalon, metencephalon dan myelencephalon. Telencephalon merupakan otak bagian depan sebagai pusat pembauan, syaraf utamanya adalah syaraf olfactory. Di belakang telencephalon terdapat diencephalon yang merupakan komponen penting, terdiri dari tiga bagian yaitu epithalamus, thalamus dan hypothalamus dimana di bagian bawahnya terdapat hypophysa kelenjar pituitary. Mesencephalon otak tengah pada ikan relatif besar dan berfungsi sebagai pusat penglihatan, ada dua bagian terpenting yaitu tektum optikum organ koordinator yang melayani rangsangan penglihatan dan tegmentum merupakan pusat sel-sel motoris. Bagian terpenting dalam metencephalon adalah cerebellum yang fungsi utamanya mengatur keseimbangan tubuh dalam air. Bagian posterior otak ikan adalah myelencephalon, dengan medulla oblongata sebagai komponen utamanya, merupakan pusat untuk menyalurkan rangsang yang keluar melalui syaraf kranial. Setelah diinjeksi dengan S. agalactiae, ikan menunjukkan gejala berenang abnormal miring, berulang dan juga whirling. Ikan yang menunjukkan berenang whirling secara histopatologi pada organ otak cerebellum adanya degenerasi dan nekrosa di bagian kranial, ini biasanya yang menyebabkan meningitis dan encephalitis pada infeksi Edwardsiella ictaluri pada channel catfish dan infeksi Streptococcus iniae pada ikan yellowtails Ferguson, 1989. Selain itu tampak adanya kongesti pembendungan pada pembuluh darah yaitu meningkatnya jumlah darah dalam pembuluh myelencephalon otak belakang, yang ditunjukkan dengan kapiler darah tampak melebar yang penuh berisi eitrosit pada pembuluh kranial Gambar 24D. Hipertropi juga terjadi pada neuron Gambar 24C yaitu adanya peningkatan komponen sel neuron. Gambar 24 Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A. otak belakang myelencephalon normal 1 bar = 20µm B. otak belakang cg: kongesti dan hemorrhagik pada otak, h: hipertropi, 1 bar = 20µm. C D otak cerebellum. c. bagian kranial mengalami vacuolar v 1 bar = 50µm; dg: degenerasi dan nekrosa pada kranial 1 bar = 20µm. Ikan nila yang mengalami whirling pasca injeksi S. agalactiae ditemukan adanya pendarahan pada bagian telencephalon dan cerebellum. Kadang juga ditemukan juga adanya inflamasi dan infiltrasi pada bagian myocardium pada ikan yang diinjeksi dengan S. agalactiae pada hari ke-3, 7 dan 14. Histopatologi pada otak tidak ditemukan lagi pada hari ke-21 dan 28 pasca injeksi Filho et al., 2009. Vakuolisasi terjadi akibat kerusakan sel nekrosis pada bagian kranial dalam cerebellum, selanjutnya sel mengalami kehancuran sehingga tertinggal sebagai ruangan yang kosong pada jaringan otak, diduga sebagai akibat infeksi secara sistemik, yaitu melalui aliran darah kemudian mencapai ke otak dan menimbulkan kerusakan pada jaringan penyusun organ tersebut Gambar 24C.v. Apabila kerusakan terjadi pada syaraf motorik dapat mengakibatkan terganggunya syaraf yang mengontrol pergerakan dan keseimbangan ikan dalam berenang, sehingga terjadi perubahan perilaku gerakan renang ikan menjadi berputar-putar whirling. Vakuolisasi juga ditemukan pada otak ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis yang mengalami whirling akibat infeksi bakteri Vibrio alginolyticus Murdjani, 2002 Organ Ginjal Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae menunjukkan adanya kerusakan struktural, yaitu adanya hipertropi, hemorrhagi dan nekrosa. Pada Gambar 25 tampak perubahan yang terjadi pada ginjal ikan nila pasca diinjeksi dengan S. agalactiae. Gambar 25 Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi Streptococcus agalactiae. A. normal. B, C, D. ginjal yang mengalami perubahan n: degenerasi dan nekrosa, h: hypertropi pada epitelium tubulus ginjal, p: pendarahan. 1 bar = 100 µm A, C, D dan 50 µm B Hipertropi dan pendarahan yang terjadi disebabkan karena S. agalactiae masuk ke dalam ginjal melalui aliran darah dan menginfeksi tubulus ginjal. Infeksi S. agalactiae juga mempengaruhi metabolisme dan proses-proses enzimatis dalam sel, yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosa pada tubulus ginjal. Kondisi ini merusak struktur dan fungsi ginjal, yang n mengakibatkan terganggunya proses-proses fisiologik di dalam tubuh ikan bahkan dapat menyebabkan kematian. Perubahan yang tampak umumnya tidak berbeda dengan perubahan yang terjadi pada mata dan otak, degenerasi dan nekrosa terjadi akibat adanya infeksi bakteri. Pendarahan juga terjadi, sama halnya yang terjadi pada mata, yang menunjukkan bahwa S. agalactiae merusak jaringan dalam organ. Penyebaran bakteri ini ke dalam organ ikan dilakukan melalui darah, S. agalactiae masuk ke dalam aliran darah, dapat tumbuh, berkembang dan menyebar melalui darah sehingga disebut juga sebagai bakteri septicemia. Infiltrasi ditemukan pada ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan S. agalactiae, selain itu tampak juga adanya melanomacrophages pada ginjal ikan yang mengalami perubahan warna menghitam Filho et al., 2009. Nekrosis juga terjadi pada kapsul bowman yang diduga sebagai akibat infeksi bakteri yang mengeluarkan toksin dan dapat merusak sel-sel ginjal. Dengan rusaknya ginjal, akan memudahkan bakteri masuk ke dalam jaringan ginjal dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sama halnya dengan ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis yang terinfeksi bakteri Vibrio alginolyticus pada organ ginjalnya ditemukan adanya nekrosa dan pendarahan, yang diduga akibat toksin yang dikeluarkan bakteri Murdjani, 2002. Perubahan yang terjadi secara mikroskopis antara ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik tidak jauh berbeda. Kedua bakteri menyebabkan perubahan seperti yang terjadi pada organ mata, otak dan ginjal ikan nila. Simpulan Keseluruhan hasil pengamatan pada beberapa parameter yang diamati, diperoleh beberapa simpulan yaitu : 1. Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat secara makroskopis maupun mikroskopis. 2. Infeksi S. agalactiae juga menyebabkan perubahan pada parameter gambaran darah dan patologi klinik darah. 3. Streptococcus agalactiae tipe non hemolitik lebih virulen dibandingkan dengan yang bertipe β-hemolitik dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat dan banyak, perubahan yang terjadi pada pola renang, pola makan dan patologi anatomi secara makroskpis dan mikroskopis juga terjadi lebih cepat pada ikan yang terinfeksi S. agalactiae tipe non hemolitik. Sehingga dari hasil penelitian ini diambil dua tipe bakteri yang memiliki perbedaan secara karakteristik dan tingkat virulensi yang lebih tinggi pada ikan nila dibandingkan dengan isolat lainnya yaitu isolat 5 yang mewakili bakteri tipe non- hemolitik dan isolat 3 tipe β-hemolitik untuk selanjutnya diuji toksisitas extracellular product ECP untuk mengetahui salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae menyebabkan sakit dan atau mati pada ikan nila. TOKSISITAS PRODUK EKSTRASELLULAR ECP Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK DAN NON-HEMOLITIK PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas dari produk ekstrasellular ECP bakteri S. agalactiae kedua tipe β-hemolitik dan non-hemolitik yang menginfeksi ikan nila. Pengujian toksisitas ECP bakteri yang menginfeksi ikan masih terbatas, ini bertujuan untuk mengetahui faktor virulensi S. agalactiae pada ikan nila. Setelah diuji pada 15 ekor ikan nila ukuran 15 g melalui penyuntikan intraperitonial IP sebanyak 0.1 mlekor ternyata ECP baik dari bakteri tipe non- hemolitik dan tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan pada pola renang, nafsu makan, anatomi luar dan dalam baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Produk ekstrasellular bakteri tipe non-hemolitik BHIA 24 jam dan BHI 24 jam dan β-hemolitik BHI 72 jam mulai terjadi 12 jam pasca injeksi dan kematian terus terjadi hingga hari ke-7 pemeliharaan. Produk ekstrasellular S. agalactiae tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan berenang abnormal miring pada jam ke-96 pasca injeksi BHIA 72 jam, dan berlanjut whirling pada hari ke-7. Sedangkan pada ikan nila yang diinjeksi dengan ECP BHI 24 jam bakteri tipe non-hemolitik terjadi pada jam ke-72 pasca injeksi. Perubahan pada mata tampak jelas terlihat adanya opacity, purulens, mata mengkerut, eksoptalmia dan adanya pendarahan pada mata. Setelah dilakukan pengujian dengan SDS-PAGE diketahui bahwa S. agalactiae mengandung protein dengan berat molekul 51.8, 55.8 dan 62.3 kDa pada ECP yang dihasilkan di media BHI dan protein dengan berat molekul berkisar 51.8–69.6 kDa pada media BHIA. ECP Bakteri tipe non hemolitik 72 jam mengandung protein 28.18 ppm pada media BHIA dan 13.64 ppm pada media BHI lebih banyak di bandingkan dengan bakteri β-hemolitik 2.73 ppm pada media BHIA dan 8.18 ppm pada media BHI. Konsentrasi protein dalam ECP menjadi salah satu faktor yang menyebabkan patogenisitas bakteri non-hemolitik lebih tinggi. Dari hasil uji toksisitas ECP S. agalactiae tipe β- hemolitik dan tipe non-hemolitik diketahui bahwa ECP merupakan salah satu faktor virulen yang menyebabkan perubahan gejala klinis dan kematian ikan nila. Kata kunci : ECP, toksisitas, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus ABSTRACT This research aimed to know the Toxicity of extracellular products ECP of Streptococcus agalactiae was tasted in cultured Nile tilapia Oreochromis niloticus. Streptococcus agalactiae had two haemolytic types: β-haemolytic and non-haemolytic type. Toxicity test of ECP to know the virulancy factor of S. agalactiae was still limited. It was found that after tested on 15 fish weighing 15 g through intraperitoneal injection 0.1 mlfish, both bacteria caused changes in swimming pattern, palatability, external and internal anatomy macroscopically and microscopically. Extracellular products of S. agalactiae non-haemolytic type BHIA and BHI 24 h and β-haemolytic type BHI 72 h caused mortality 12 hours after injection and the mortality continued till day 7 th of culture. Whirling happened 96 hours after injection with ECP S. agalactiae β- haemolytic type BHIA 72 h incubation whereas injection with ECP BHI 24 h on 72 h after injection and continued untill day 7 th Keywords : ECP, toxicity, Streptococcus agalactiae, Oreochromis niloticus . Behavior disease signs caused by S. agalactiae occured on eyes. There were opacity, purulens, eye shrink, lateral and bilateral exopthalmia and haemorrhage on infected-fish. Silver staining of sodium dodecyl sulphate-polyacrylamide gels to S. agalactiae revealed that predominant 51.8 – 69.6 kDa bands were present in BHIA ECP fraction. The 69.6 kDa was absent from the BHI ECP. Total protein on non-haemolytic S. agalactiae ECP are 28.18 ppm on BHIA medium and 13.64 ppm on BHI medium. Whereas β-haemolytic S. agalactiae ECP are 2.73 ppm on BHIA medium and 8.18 ppm on BHI medium. Concentration of protein in ECP was one of factor that caused non-haemolytic S. agalactiae more virulent than β-haemolytic type. The conclusion from the research that ECP was virulent factor on β-haemolytic and non-haemolytic S. agalactiae in fish which caused changes in behavior disease signs. Pendahuluan Pengujian patogenisitas S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dan diketahui bahwa tipe non- hemolitik lebih virulen dari tipe β-hemolitik, namun bagian dari S. agalactiae yang bersifat virulen tersebut belum diketahui. Menurut Evans et al. 2002, S. agalactiae tipe β-hemolitik menghasilkan toksin hemolisin sebagai salah satu produk ekstrasellular yang menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih rendah sehingga menyebabkan eritrosit lisis, hal inilah yang diduga sebagai salah satu faktor virulensinya. Untuk memahami kemampuan S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan maka perlu diketahui bagian dari S. agalactiae yang bersifat virulen. Kajian ECP extracellular productproduk ekstrasellular dilakukan untuk melihat kemampuan S. agalactiae menghasilkan eksotoksin serta melihat mekanisme infeksi pada ikan nila. Menurut Williams 2003 bagian yang bersifat virulen pada bakteri Gram positif adalah eksotoksinnya ECP, sebaliknya dengan bakteri Gram negatif, LPS endotoksin bersifat lebih virulen. Penelitian ini meliputi isolasi ECP dan pengujian toksisitas total ECP masing-masing tipe bakteri terhadap ikan nila, dengan melihat perubahan pada tingkah laku ikan secara keseluruhan. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 15 ekor setiap akuarium, dimana setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan adalah dua isolat S. agalactiae yaitu β-hemolitik N 14 G isolat 3 dan isolat non-hemolitik NK 1 Parameter yang diukur dan analisa data isolat 5. Persiapan ikan uji dan kedua tipe bakteri yang digunakan dalam uji toksisitas ECP ini dijabarkan dalam metodologi umum. Dalam pelaksanaan penelitian toksisitas ECP S. agalactiae dilakukan pengukuran beberapa parameter yaitu perubahan pola renang, tingkah laku makan, perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis, gambaran darah dan patologi klinik darah, pengamatan histopatologi serta pengamatan kematian ikan. Cara kerja dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum. Isolasi produk ekstrasellular ECP Isolasi ECP S. agalactiae mengikuti prosedur Suprapto et al. 1995 dengan berbagai modifikasi. Bakteri dikultur dalam media cair BHI dan media padat BHIA. Kultur bakteri diinkubasi selama 24, 48, 72 dan 96 jam pada suhu 28-30 o C. Bakteri yang tumbuh pada media BHI dan media BHIA terlebih dahulu ditambahkan PBS sebanyak 5 ml kemudian dipanen. Slurry berupa suspensi bakteri kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 10000 g selama 30 menit pada suhu 4 o Pengujian toksisitas total ECP terhadap ikan nila C. Supernatan yang dihasilkan disaring dengan filter paper 0.2 µm dan selanjutnya hasil filtrasi digunakan untuk pengujian toksisitas ECP terhadap ikan nila. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan adanya kandungan toksin dalam ECP S. agalactiae yang menyebabkan perubahan gejala klinis dan kematian ikan nila. Selain itu, diketahui biakan bakteri pada media dan lama kultur yang menghasilkan ECP yang bersifat toksik terhadap ikan. Untuk pengujian toksisitas ECP, digunakan semua ECP yang berasal dari hasil isolasi sebelumnya dan dinjeksikan secara IP pada 15 ekor ikan, sebanyak 0.1 mlekor. Ikan dipelihara selama 7 hari dan dilakukan pengamatan kematian ikan, perubahan pola renang dan patologi anatomi organ luar pada jam ke-1, 3, 6, 12, 24, 48,72, 96 hingga hari ke-7. Perubahan nafsu makan diamati setiap 24 jam hingga hari ke-7 pasca injeksi, sedangkan perubahan gambaran darah dan histopatologi diamati pada hari ke- 1, 4 dan 7 pasca injeksi. Untuk memudahkan dalam penulisan, maka dilakukan pengkodean berdasarkan jenis bakteri, media tumbuh dan lama inkubasi ECP yang dihasilkan. Pengkodean ini digunakan dalam keseluruhan data hasil pengamatan Tabel 16. Tabel 16 Pengujian toksisitas ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Perlakuan Tipe bakteri dan media tumbuh Lama inkubasi jam Kode 1 BHI - Kontrol 2 β-hemolitik BHIA 24 3A24 3 β-hemolitik BHIA 48 3A48 4 β-hemolitik BHIA 72 3A72 5 β-hemolitik BHIA 96 3A96 6 β-hemolitik BHI 24 3i24 7 β-hemolitik BHI 48 3i48 8 β-hemolitik BHI 72 3i72 9 β-hemolitik BHI 96 3i96 10 non-hemolitik BHIA 24 5A24 11 non-hemolitik BHIA 48 5A48 12 non-hemolitik BHIA 72 5A72 13 non-hemolitik BHIA 96 5A96 14 non-hemolitik BHI 24 5i24 15 non-hemolitik BHI 48 5i48 16 non-hemolitik BHI 72 5i72 17 non-hemolitik BHI 96 5i96 Fraksinasi protein ECP melalui SDS-PAGE Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fraksi dari protein ECP yang bersifat toksik pada ikan nila. Fraksinasi protein ini dilakukan melalui metode SDS-PAGE Laemmli, 1970 dengan standar protein BM rendah, 10 gel pemisah dan 4 gel penahan komposisi gel dilihat dalam Lampiran 7. Dalam penelitian ini digunakan ECP dari S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non- hemolitik hasil pengujian toksisitas ECP yang menyebabkan kematian ikan terbanyak dan secara terus menerus pasca injeksi ECP yaitu ECP hasil isolasi dari S. agalactiae tipe β-hemolitik yang dikultur di media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi berturut-turut 24 jam dan 72 jam, serta ECP hasil isolasi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik yang dikultur di media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi berturut-turut 96 jam dan 72 jam. Fraksinasi dilakukan melalui SDS-PAGE, gel dirunning dalam 600 ml buffer elektroforesis pH 8.3 mengandung 192 mM glisin + 0.1 SDS + 24.8 mM Tribase Trishidroksiaminometan. Sebelum dimasukan ke dalam sumur, ECP dan marker + buffer sampel rasio 1:1 dicampurkan, kemudian diinkubasi dalam air mendidih selama 1 menit. Buffer sampel mengandung 1 gram SDS, 2 ml gliserol 50, 2 ml bromofenol biru 0.1, 1.25 ml TrisCl 1 M pH 6.8 dan ditambahkan akuades hingga volume menjadi 10 ml, volume marker dan ECP adalah 20 µl. Kondisi elektroforesis adalah 100 mA, 100 volt selama 90–120 menit. Deteksi pita menggunakan metode Silver Staining. Pewarnaan dengan metoda Silver Staining dengan cara gel difiksasi dengan larutan 25 methanol, 12 Asam asetat selama 1 jam, kemudian direndam dalam etanol 50, selama 20 menit. Setelah itu direndam kembali dalam etanol 30, selama 20 menit sebanyak 2 kali. Selanjutnya dienhancer 0.1 gram Na 2 S 2 O 3 5H 2 O dalam 500 ml akuades selama 1 menit, dicuci dengan akuades 20 detik, diulang 3 kali. Kemudian dicelupkan ke dalam larutan silver nitrat 0.4 g AgNO 3 dicampurkan dengan 70 µm formaldehid dalam 200 ml akuades selama 30 menit. Langkah berikutnya adalah dibilas dengan akuades sebanyak 2 kali selama 20 detik dan dicelupkan ke dalam larutan 15 g Na 2 CO 3 Hasil elektroforesis kemudian dianalisis untuk mengetahui berat molekul masing-masing fraksi protein dengan cara setiap band yang terbentuk dibandingkan dengan protein marker. + 120 µl formaldehid. Maka akan terlihat band hitam, saat itulah reaksi dengan larutan fiksasi dihentikan. Pengukuran kadar protein Penentuan kadar protein hasil elektroforesis dilakukan dengan Spektrofotometer pada 595 nm. Sebagai blanko digunakan Bovine Serum Albumin BSA. Sebanyak 100 mg Coomassie Brilliant Blue G-250 dilarutikan ke dalam 50 ml etanol 95. Kemudian ditambahkan 100 ml asam fosfat 85 wv dan diencerkan dengan akuades sampai 1 liter. Selanjutnya larutan disaring dengan kertas saring. Konsentrasi akhir dari setiap pereaksi adalah 0.01 wv Coomassie Brilliant Blue G-250, 4.7 wv etanol, 8.5 wv asam fosfat. Larutan ini akan stabil untuk jangka waktu beberapa bulan, tergantung pada kondisi penyimpanan. Larutan standar harus dibuat segar akan stabil hanya 1 minggu jika disimpan dalam lemari pendingin. Sebagai standar digunakan Bovine Serum Albumin BSA fraksi V, sebanyak 100 mg BSA ditimbang dan dicampur dengan 50 ml akuades atau 0.1 M NaCl. Kemudian didiamkan agar larut dengan sendirinya, pengkocokkan dilakukan secara perlahan untuk menghindari terbentuknya busa. Setelah larut semuanya, dilanjutkan dengan menambahkan akuades sampai 50 ml. Larutan protein diambil masing-masing sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bersih dan terpisah. Pemberian tanda pada setiap tabung reaksi dilakukan untuk memudahkan pekerjaan. Sebanyak 0.1 ml akuades diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebagai blanko 3 blanko. Langkah ini juga dilakukan untuk sampel ECP. Selanjutnya Coomassie Blue ditambahkan ke dalam setiap tabung reaksi, lalu dikocok. Setelah 2 menit, absorbans larutan dapat diukur pada 595 nm, semua pengukuran diusahakan sebelum satu jam. Untuk meng-nol-kan alat gunakan akuades. Semua data pengukuran dikurangi rata-rata blanko, terakhir kurva standar protein dibuat dengan absorbans terkoreksi sebagai ordinat Y dan jumlah protein sebagai absis X, dan konsentrasi sampel yang diberikan dapat ditentukan. Hasil dan Pembahasan 1 Perubahan pola renang Umumnya perubahan pola renang yang terjadi hampir sama dengan pola renang saat diinjeksi dengan bakteri sel utuh Tabel 17. Penginjeksian ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik menyebabkan perubahan berenang abnormal miring pada jam ke-96 pasca injeksi BHIA 72 jam, dan berlanjut whirling pada hari ke- 7. Ikan berenang whirling ditunjukkan pada ikan nila yang diinjeksi dengan ECP BHI 24 jam bakteri tipe non-hemolitik pada jam ke-72 pasca injeksi. Umumnya gejala yang ditunjukkan hampir sama dan seragam baik pada bakteri tipe β- hemolitik maupun bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan di media cair dan media padat. Tabel 17 Perubahan pola renang ikan nila pada uji toksisitas ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Perubahan pola renang jam ke Tipe β-hemolitik Tipe non-hemolitik 3A 3i 5A 5i 24 48 72 96 24 48 72 96 24 48 72 96 24 48 72 96 Berenang lemah 72 72 48 12 48 144 48 72 24 48 48 12 48 48 72 24 Gasping 24 144 168 - - 6 96 168 - - - 48 96 6 - - Berenang lemah - - 168 - - - 168 - 168 144 168 - 72 - 168 - 2 Tingkah laku makan Perubahan tingkah laku makan terjadi hampir pada seluruh ikan yang diinjeksi dengan ECP. Ikan berkurang nafsu makannya sejak 24 jam pertama pasca injeksi, bahkan ikan mulai tidak mau makan setelahnya. Hal ini disebabkan oleh ECP yang masuk dalam otak ikan bagian diencephalon yang terdapat hipotalamus sehingga mengganggu keseimbangan rasa lapar ikan Rahardjo, 1985. Sama halnya dengan penginjeksian dengan bakteri utuh yang menyebabkan ikan berkurang nafsu makannya bahkan tidak mau makan pasca injeksi. 3 Perubahan anatomi organ luar dan organ dalam secara makroskopis Pada pengujian toksisitas ECP S. agalactiae tampak adanya perubahan pada patologi anatomi ikan nila. Perubahan yang tampak pada anatomi organ luar antara bakteri tipe β dan non-hemolitik tidak jauh berbeda Tabel 18. Tabel 18 Patologi anatomi makroskopis organ luar ikan nila pasca diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. Secara makroskopis, organ mata tampak mengalami eksoptalmia yang terjadi pada jam ke-48 2 hari pasca injeksi, lebih cepat dibandingkan dengan injeksi sel utuh dimana eksoptalmia baru terjadi pada jam ke-120 hari ke 5 pasca injeksi pada bakteri tipe β-hemolitik. Sama halnya dengan bakteri tipe non- hemolitik yang mulai tampak eksoptalmia pada jam ke-48. Tidak seperti saat penyuntikan dengan sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih patogen Perubahan patologi anatomi jam ke T ipe β-hemolitik Tipe non-hemolitik 3A 3i 5A 5i 24 48 72 96 24 48 72 96 24 48 72 96 24 48 72 96 Tubuh menghitam 48 72 48 48 72 48 - 72 24 48 72 48 48 96 72 96 Clear operculum - 168 72 72 - - - - 144 96 72 - 72 - - 144 Mata mengkerut - - 72 48 - 72 - - 72 - 72 72 - - - - Lateral eksoptalmia 48 48 72 48 72 96 72 72 96 72 48 - 48 72 72 - Bilateral eksoptalmia - 72 - 96 168 144 96 - 168 - - - - 96 - 96 Opacity 72 72 96 - - 144 144 - - 96 144 48 - 72 - - Purulens 96 - 96 - - 96 72 - - 72 144 144 96 - - 96 Ulcer di kepala 144 - - - 96 96 - 144 72 96 - - - 96 96 72 “C” shape - - - - - - 96 - - - - - - - - - dilihat dari perubahan pada anatomi dan kematian yang lebi h cepat dari tipe β- hemolitik. Penyuntikan ECP yang berasal dari media padat BHIA tampak lebih cepat menyebabkan perubahan anatomi organ luar secara makroskopis dibandingkan dengan media cair BHI. Ini disebabkan karena media padat lebih mendukung pertumbuhan bakteri dalam memproduksi ECP. Sama halnya dengan penginjeksian dengan ECP bakteri Edwardsiella tarda, kematian hanya timbul pada ikan Japanese eel dan flounder yang diinjeksi dengan ECP dari media padat NA, TSA dan BHIA dan tidak ada kematian pada saat diinjeksi dengan ECP dari media cair NB, TSB, BHIB Suprapto, 1995. Ulcer pada kepala ikan nila banyak ditemukan pada penginjeksian dengan ECP S. agalactiae, tidak dengan halnya saat ikan nila diinjeksi dengan bakteri sel utuh, ulcer hanya tampak pada ikan yang diinjeksi dengan bakteri tipe non- hemolitik pada hari ke-8 pasca injeksi. Ulcer terjadi pada ikan yang diinjeksi ECP kedua tipe bakteri di kedua media tumbuh. Ini menandakan bahwa penginjeksian dengan ECP menyebabkan kerusakan sel lebih cepat dibandingkan dengan penginjeksian sel utuh S. agalactiae. Hal ini disebabkan karena ECP langsung beredar ke seluruh tubuh dan mempengaruhi kerja dan metabolisme sel lebih cepat dibandingkan dengan bakteri sel utuh yang harus berkembang dan berada dalam sel yang rusak untuk memproduksi dan mengeluarkan eksotoksinnya Williams, 2003. Beberapa perubahan pada mata ikan nila yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae selama pengamatan terlihat pada Gambar 26. Eksoptalmia yang terjadi pada ikan tampak berbeda Gambar 26 no 9-12, terkadang disertai dengan kekeruhan pada mata opacity. Purulens terjadi dalam beberapa tahapan hingga akhirnya mata menjadi sangat putih dan kornea mata menjadi tidak tampak. Purulens hampir selalu muncul pada keseluruhan ikan yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae kedua tipe. Menurut Evans 2004 gejala yang muncul pada mata ikan yang terinfeksi S. agalactiae adalah opacity dan purulens, namun dapat juga menyebabkan mata lisis. Eksotoksin ECP S. agalactiae menyebar pada mata yang menyebabkan adanya hipertropi, inilah yang menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia dan perubahan lainnya. Hal ini menandakan bahwa ECP S. agalactiae sebagai penyebab timbulnya perubahan pada mata. Gambar 26 Beberapa perubahan pada mata ikan nila pasca injeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae. 1 2: pengerutan mata; 3-9: opacity kekeruhan mata; 10–12: eksoptalmia dan 13-16: purulens mata putih 3 Gambaran darah ikan nila Sama halnya dengan kematian ikan nila yang diinjeksi dengan ECP terjadi lebih cepat dibandingkan dengan saat diinjeksi dengan sel utuh, perubahan gambaran darah juga terjadi relatif lebih cepat. Perbedaan gambaran darah ikan yang diinjeksi dengan ECP kedua tipe S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media BHI dan BHIA dengan lama inkubasi yang berbeda dijabarkan dalam Tabel 19. Sedangkan data pengamatan gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila pasca diinjeksi dengan ECP S. agalactiae kedua tipe dijabarkan pada Lampiran 6. Tabel 19 Gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila yang diinjeksi ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik pada jam ke-168 pasca injeksi Parameter Kode TL 10 5 selmm 3 TE 10 5 selmm 3 He Hb g Glukosa mg100m Non-hemolitik 5i24 1.6±0.01 27±1.0 43.6±4.5 6.8±0.0 81±2.0 5i 48 1.8±0.003 23±2.1 26.9±3.8 6.5±0.1 78±0.4 5i 72 1.9±0.01 26±2.5 25.2±4.3 6.5±0.1 65.9±1.2 5i 96 1.8±0.005 23±2.6 27.3±4.9 6.5±0.1 61.8±2.8 5A24 1.9±0.003 25±2.1 33.6±4.2 6.3±0.1 128.0±2.6 5A 48 1.8±0.003 24±1.0 32.5±4.6 8.9±0.1 110.9±5.3 5A 72 1.6±0.007 26±1.5 33.2±4.6 8.9±0.1 157.6±11.5 5A 96 1.6±0.008 30±1.0 35.2±4.2 7.0±0.1 161.7±14.5 β-hemolitik 3i24 1.5±0.002 23±0.6 37.1±4.5 7.0±0.6 40.5±14.4 3i 48 1.6±0.008 27±0.0 29.2±4.2 6.0±0.0 30.9±4.2 3i 72 1.7±0.004 25±2.1 33.5±4.3 7.5±0.0 26.2±4.1 3i 96 1.8±0.003 24±1.0 45.6±4.8 7.5±0.0 36.8±3.2 3A24 1.9±0.002 28±0.6 22.3±4.3 8.4±0.3 102.6±0.7 3A48 1.9±0.005 22±0.6 26.1±3.3 6.5±0.3 115.9±15.9 3A72 1.8±0.01 22±0.6 35.9±4.6 8.9±0.1 115.4±5.3 3A96 1.6±0.003 19±0.6 33.3±3.9 6.2±0.1 123.0±8.4 Kontrol 1.3±0.005 37±0.6 35.1±3.8 9.0±0.0 114.9±5.5 Ket. : TL= Total leukosit, TE=Total eritrosit, He=Hematokrit, Hb=Hemoglobin Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. Total leukosit Total leukosit cenderung mengalami peningkatan pada 24 jam awal dan mengalami penurunan pada jam ke-96 pasca injeksi. Sama halnya dengan infeksi sel utuh, ECP bakteri juga menyebabkan perubahan total leukosit. Saat adanya infeksi, leukosit sebagai penjaga pertama berperan untuk menghalau sehingga ditemukan adanya total leukosit yang lebih banyak pada areal infeksi. Secara alamiah pada ikan yang terinfeksi patogen akan ditemukan jumlah leukosit yang lebih banyak dari kondisi normal, karena salah satu antisipasi tubuh untuk mencegah perkembangan bakteri dalam tubuh dengan mengirimkan darah lebih banyak ke daerah infeksi. Hasil uji statistik, hanya ikan yang diinjeksi dengan ECP bakteri tipe non hemolitik, lama inkubasi 24 jam 5i24 yang tidak berbeda nyata dengan kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae. Artinya, ECP S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada total leukosit ikan nila secara nyata semenjak jam ke-24. Differensial leukosit Diferensial leukosit diamati selama pengujian toksisitas ECP untuk mengetahui perubahan pada leukosit akibat toksin ECP S. agalactiae. Limfosit ikan yang disuntik dengan ECP S. agalactiae mengalami peningkatan dan berbeda nyata p0.05 pada jam ke-24 pasca injeksi kecuali ikan yang disuntik dengan ECP dari bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHI dengan lama inkubasi 24 jam. Hal ini disebabkan karena toksin ECP bakteri menstimulir produksi limfosit. Jumlah monosit ikan yang disuntik dengan ECP S. agalactiae lebih tinggi namun tidak berbeda nyata p0.05 dengan kontrol tidak seperti saat ikan diinjeksi dengan sel utuh bakteri S. agalactiae. Namun peningkatan terjadi pada sel neutrofil pada jam ke-24 dan jam ke-96 jam pasca injeksi ECP S. agalactiae dan pada akhir penelitian 168 jam neutrofil dan monosit ditemukan lebih rendah dari kontrol. Jumlah granulosit mengalami penurunan karena adanya pendarahan pada organ ikan ginjal dan mata yang disebabkan oleh granulosit yang keluar dari pembuluh darah dan berada di tempat radang dan jaringan yang rusak untuk mengfagosit antigen yang masuk. Baik granulosit maupun mononuklear dapat menelan bakteri namun makrofag lebih aktif. Makrofag berada di dalam jaringan sebagai pelindung tubuh, juga pemakan bakteri dan sisa debris, sedangkan monosit berada di dalam darah. Bakteri setelah dicerna diubah menjadi bentuk terlarut sehingga dapat dimanfaatkan tubuh, dibuang sebagai hasil limbah atau untuk merangsang respon imun. Jadi pertahanan non spesifik pada ikan fungsinya selain untuk mencegah infeksi, membatasi penularan, juga menyingkirkan jaringan yang rusak. Total Eritrosit Sejalan dengan kadar hemoglobin yang menurun, total eritrosit juga terjadi penurunan 96 jam pasca injeksi. Penurunan yaang berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada ikan nila yang diinjeksi dengan ECP yang dihasilkan oleh bakteri β- hemolitik dan non hemolitik. Kerja toksin hemolisin dihasilkan bakteri β- hemolitik menyebabkan sel eritrosit berada dalam cairan yang osmolaritasnya lebih rendah mengalami lisis Dellmann, 1989 sehingga ditemukan jumlah lebih rendah pada 168 jam pasca injeksi. 4 Patologi klinik darah Hematokrit Kadar hematokrit ikan nila yang diinjeksi dengan ECP dari isolat non- hemolitik dan bakteri β-hemolitik mengalami perubahan peningkatan mulai terjadi pada jam ke-96 dan menurun pada jam ke-168. Keberadaan ECP menyebabkan stress pada ikan yang ditandai adanya peningkatan hematokrit. Ini menandakan bahwa keberadaan ECP ini cepat menyebabkan perubahan pada kondisi ikan. Dari hasil uji statistik, semua ikan yang diinjeksi dengan ECP berbeda nyata 96 jam dengan kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan bakteri S. agalactiae p0.05. Artinya, keberadaan ECP S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada hematokrit ikan nila secara nyata. Hemoglobin Penurunan kadar hemoglobin terjadi sangat berbeda nyata dengan kontrol pada 96 jam pasca injeksi di hampir semua ikan yang diinjeksi dengan semua jenis ECP baik yang dihasilkan pada media padat maupun media cair dengan lama inkubasi yang berbeda. Namun penurunan kadar hemoglobin terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP di kedua media yang diinkubasi selama 48 jam. Ini menandakan bahwa benar toksin hemolisin pada bakteri β-hemolitik dan ECP bakteri non-hemolitik menyebabkan perubahan pada hemoglobin ikan. Kadar Hb berkaitan dengan keseimbangan osmolaritas plasma darah. Adanya S. agalactiae yang diduga mengandung toksin hemolisin mempengaruhi kestabilan Hb. Hemolisin ini menyebabkan osmolaritas plasma darah lebih rendah sehingga menyebabkan eritrosit lisis, hal inilah yang diduga sebagai faktor virulensi pada S. agalactiae. Rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau berenang lemah. Uji statistik, semua perlakuan berbeda nyata nilai dengan kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan S. agalactiae p0.05. Artinya, keberadaan ECP S. agalactiae umumnya menyebabkan perubahan pada hemoglobin ikan nila secara nyata semenjak jam ke-24 pasca injeksi ECP. Glukosa darah Glukosa sebagai salah satu parameter yang menunjukkan kondisi stress pada ikan terlihat mengalami peningkatan pada ikan yang diinjeksi dengan ECP bakteri non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHIA dan berbeda nyata dengan kontrol pada jam ke-168. Ini menandakan bahwa ikan mengalami gangguan keseimbangan dalam tubuhnya atau dapat dikatakan ikan menjadi stress. Penginjeksian dengan ECP dari media BHI menyebabkan pada glukosa darah lebih rendah. Data ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih ECP yang akan digunakan sebagai vaksin pada uji selanjutnya. Dari keseluruhan data ditetapkan bahwa vaksin yang akan digunakan adalah bakteri yang ditumbuhkan pada media BHI dengan lama inkubasi 72 jam karena protein yang dikandung pada ECP yang dihasilkan sudah sesuai dengan protein target yang mampu menstimulus kerja sistem imun ikan Pasnik et al., 2005. Selain itu juga, stress atau dampak negatif yang ditimbulkan terhadap ikan mampu diminimalisir sehingga diharapkan ikan yang di vaksin mampu melawan adanya infeksi bakteri S. agalactiae kedua tipe. Peningkatan glukosa yang berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik pada jam ke-96 pasca injeksi. Penurunan glukosa yang berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik pada jam ke-96 pasca injeksi. Peningkatan glukosa terjadi karena adanya infeksi bakteritoksin pada bagian otak hipotalamus yang mengganggu kerja syaraf sympathetic yang berhubungan dengan ginjal depan cromaffin cell untuk membentuk catecholamines. Catecholamins ini salah satunya menyebabkan glukosa plasma meningkat. Andersen et al, 1991 dalam 6 Kematian ikan nila Evans et al, 2004 Pengujian toksisitas ECP ini dilakukan untuk mengetahui apakah ECP S. agalactiae sebagai penyebab kelainan bahkan kematian pada ikan. Dari hasil 20 40 60 80 100 120 140 160 180 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 K em a ti a n K u m u la ti f Jam Pengamatan 5i96 5i72 5i48 5i24 5A96 5A72 5A48 5A24 3i96 3i72 3i48 3i24 3A96 3A72 3A48 3A24 kontrol pengamatan selama 7 hari diketahui kematian yang muncul lebih cepat dibandingkan dengan infeksi sel utuh. Kematian ikan yang diinjeksi ECP S. agalactiae tipe non- hemolitik BHIA 24 jam dan BHI 24 jam dan β-hemolitik BHI 72 jam mulai terjadi 12 jam pasca injeksi dan kematian terus terjadi hingga hari ke-7 pemeliharaan Gambar 27. Gambar 27 Grafik kematian kumulatif ikan nila yang diinjeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. Baik bakteri tipe β dan non-hemolitik menyebabkan kematian ikan nila yang diinjeksi. Artinya ECP dari kedua tipe bakteri yang ditumbuhkan pada media padat dan cair bersifat toksik terhadap ikan. Kematian yang terjadi secara cepat dan banyak dalam waktu 12 jam kemungkinan disebabkan karena adanya beberapa enzim seperti hemolisin, lipase, elastase, gelatinase, chitinase dalam bakteri Austin dan Austin, 2007. Pola ini juga terjadi pada saat penyuntikan dengan ECP Vibrio anguillarum pada ikan rainbow trout Onchorhynchus mykiss dapat mematikan ikan secara cepat Lamas et al., 1994. Hasil pengukuran MTD atau rerata waktu kematian Tabel 20 ikan uji akibat injeksi ECP pada setiap pengujian diketahui bahwa waktu kematian ikan nila akibat ECP dari S. agalactiae tipe β-hemolitik relatif lebih cepat yaitu 20–48 jam dibandingkan dengan ECP dari tipe non-hemolitik yaitu 25-48 jam. Rata-rata kematian sangat cepat ini menunjukkan bahwa memang ECP merupakan salah satu faktor virulensi dari S. agalactiae yang menyebabkan kematian pada ikan nila. Kelima isolat S. agalactiae menyebabkan kematian yang berbeda pada ikan nila. Tabel 20 Mean Time Death MTD ikan nila yang diinjeksi dengan ECP Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik Jenis ECP MTD jam 3A24 34 3A48 19.9 3A72 31.5 3A96 25.5 3i24 35.1 3i48 40 3i72 25.2 3i96 48 5A24 36.9 5A48 33.9 5A72 34.2 5A96 28.4 5i24 25.4 5i48 40 5i72 48 5i96 27.2 Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. 7 Toksisitas ECP S. agalactiae terhadap histopatologi organ mata, otak dan ginjal ikan nila Perubahan histologi dalam jaringan ikan dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengevaluasi dampak stress pada ikan yang perubahannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama Adams, 1990. Untuk melihat virulensi dari ECP S. agalactiae dilakukan pengamatan pada jaringan organ target yaitu mata, otak dan ginjal ikan. Dari hasil pengamatan perubahan mulai tampak pada jam ke-96 hingga jam ke-168 pasca injeksi ECP dan perubahan hampir ditemukan di seluruh perlakuan. Organ Mata Perubahan pada mata ikan nila yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae secara makroskopis tampak adanya beberapa perubahan yaitu: pengerutan retina mata; opacity kekeruhan mata; eksoptalmia dan purulens mata putih. Secara histologi mikroskopis perubahan tampak seperti pada Gambar 28. Gambar 28 Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae. A. mata ikan normal 1 bar =500 µm, B. bagian choroid mata ikan yang diinjeksi ECP mengalami hiperplasi tanda panah 1bar = 100 µm Hiperplasi, terjadi pada bagian choroid yaitu adanya penambahan jumlah sel dalam jaringan. Hiperemi ini tampak pada ikan yang mengalami eksoptalmia baik lateral maupun bilateral. Selaras saat penginjeksian dengan sel utuh S. agalactiae, eksotoksin salah satunya hemolisin langsung menyebar melalui darah dan merusak bagian choroid mata sehingga menyebabkan mata mengalami perubahan-perubahan tersebut. Adanya hiperplasi pada bagian choroid menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia yang tampak secara makroskopis pada mata ikan. Organ Otak Perubahan yang tampak akibat penginjeksian dengan ECP S. agalactiae terhadap otak ikan adalah munculnya nekrosa dan juga hiperemi yaitu pembesaran jaringan karena adanya peningkatan jumlah sel Gambar 29. Kerusakan yang tampak seperti hiperemi, degenerasi dan nekrosa ditemukan pada ikan yang mengalami abnormalitas dalam berenang berenang miring bahkan whirling pasca diinjeksi dengan ECP kedua tipe S. agalactiae. Sama halnya dengan infeksi sel utuh S. agalactiae yang ditemukan adanya nekrosa dan hiperemi pada otak ikan, ECP pun menyebabkan kerusakan yang sama pada otak ikan. Gambar 29 Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae A. Bagian cerebellum otak ikan normal 1 bar =500 µm, B. Bagian cerebellum dan C otak bagian belakang myelencephalon 1bar = 200 µm, D.otak bagian belakang, Hp. Hiperemi, n. degenerasi dan nekrosa 1 bar = 50 µm. Kerusakan jaringan otak yang disebabkan ECP S. agalactiae terjadi lebih cepat karena toksin cepat menyebar melalui darah menuju ke otak dan seluruh tubuh. Perubahan pola renang whirling ditemukan pada hampir seluruh ikan yang diinjeksi dengan semua jenis ECP. Kerusakan otak degenerasi dan nekrosa sudah terjadi sejak hari ke-3 72 jam pasca injeksi dan makin parah setelah 7 hari penginjeksian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa ECP merupakan faktor virulen dari S. agalactiae pada ikan nila. Organ Ginjal Ginjal ikan nila yang diinjeksi dengan ECP S. agalactiae menunjukkan adanya perubahan yang hampir sama dengan saat diinjeksi dengan sel utuh yaitu adanya kerusakan struktural seperti hipertropi dan nekrosa Gambar 30. Gambar 30 Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi ECP Streptococcus agalactiae A. ginjal ikan normal 1 bar =100 µm, B ginjal mengalami nekrosa dan hiperplasi, cg. kongesti. I bar = 100 µm. C. degenerasi yang diikuti dengan pendarahan tanda panah 1bar = 200 µm, D. h. Hipertropi, cg. kongesti Hipertropi disebabkan karena S. agalactiae masuk ke dalam ginjal melalui aliran darah dan menginfeksi tubulus ginjal. Infeksi S. agalactiae juga mempengaruhi metabolisme dan proses-proses enzimatis dalam sel, yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosa pada tubulus. Filho et al. 2009 8 Fraksinasi protein ECP Untuk masuk ketahap selanjutnya yaitu vaksinasi, dipilih ECP dari S. agalactiae yang mampu merespon peningkatan sistem imun terbaik dan juga dilihat ECP yang paling toksik pada ikan nila dengan mengamati kematian secara terus menerus. Pengujian fraksinasi ECP dilakukan dengan menggunakan SDS- PAGE untuk mengetahui protein yang terkandung dalam ECP dan untuk mengetahui jumlah atau banyaknya protein yang dikandung menggunakan elektroforesis. Hasil fraksinasi protein melalui SDS-PAGE diperoleh protein dengan berbagai berat molekul Gambar 31. cg n Gambar 31 Hasil elektroforesis ECP melalui SDS PAGE dengan pewarnaan silver stain. Marker : BS. Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. Hasil ECP S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media dan lama waktu inkubasi yang berbeda memiliki pita protein yang hampir sama. Produk ekstrasellular yang dihasilkan S. agalactiae tipe β-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHIA selama 24 jam memiliki 3 pita protein dan yang ditumbuhkan pada media BHI selama 72 jam memiliki 2 pita protein. Sedangkan ECP yang dihasilkan S. agalactiae tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHIA selama 96 jam memiliki 17 pita protein dan yang ditumbuhkan pada media BHI selama 72 jam memiliki 3 pita protein. Untuk mengetahui berat molekul protein yang terdapat di dalam ECP S. agalactiae kedua tipe bakteri, dilakukan perhitungan pergerakan relatif Rf masing-masing protein Tabel 21, dengan bantuan kurva baku protein standart dan nilai Rf diperoleh persamaan Y = -0.909X + 5.033 Gambar 32. Tabel 21 Hubungan berat molekul protein standar dengan migrasi relatif Rm Protein standar BM Log BM Run Band Rf Phosphorylase 97000 4.98677 5.7 0.6 0.105263 Albumin 66000 4.81954 5.7 1.3 0.22807 Ovalbumin 45000 4.65321 5.7 2.2 0.385965 Carbonic anhydrase 30000 4.47712 5.7 3.2 0.561404 Trypsin inhibitor 20100 4.3932 5.7 4.6 0.807018 α- Lactalbumin 14400 4.15836 5.7 5.7 1 97000 Da 66000 Da 45000 Da 30000 Da 20100 Da 14400 Da y = -0,909x + 5,033 R² = 0,983 1 2 3 4 5 6 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 Log B M Rf Kurva standar LMW Gambar 32 Regresi antara berat molekul protein standar dengan migrasi relatif Rm Perkiraan BM protein pada ECP S. agalactiae berkisar antara 19.2-100.4 kDa, dengan rata-rata BM protein pada sampel ECP adalah 51.8-65.8 kDa. Bakteri S. agalactiae mengandung protein dengan berat molekul 51.8, 55.8 dan 62.3 kDa pada ECP yang dihasilkan di media BHI dan protein dengan berat molekul berkisar 51.8–69.6 kDa pada media BHIA Tabel 22. Tabel 22 Berat molekul protein pada ECP Streptococcus agalactiae kDa ECP S. agalactiae 3A.24 5A.96 3i.72 5i.72 • 65.8 • 100.4 • 43.1 • 62.3 • 62.3 • 60.1 • 93.3 • 40.1 • 55.8 • 55.8 • 55.8 • 83.6 • 35.9 • 51.8 • 77.7 • 32.2 • 69.6 • 29.9 • 62.3 • 24.9 • 55.8 • 20.7 • 51.8 • 19.2 • 48.2 Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. Menurut Pasnik et al. 2005 kandungan protein pada ECP S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 kDa dan yang lebih dominan adalah protein 54 dan 55 kDa. Sehingga dari hasil fraksinasi dipilih ECP dari kedua tipe bakteri yang ditumbuhkan pada media BHI dengan lama inkubasi 48 jam. Penentuan kadar protein hasil elektroelusi yang dibaca berdasarkan standar protein BSA Bovine Serum Albumin seperti disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Konsentrasi protein dalam ECP Streptococcus agalactiae Sampel bakteri 3A.24 5A.96 3i.72 5i.72 Konsentrasi protein ppm 2.73 28.18 8.18 13.64 Keterangan pengkodean merujuk pada Tabel 16. Dengan melihat ketebalan band ini diduga bahwa band yang tebal memiliki peranan yang penting dalam aspek patogenisitas ikan yang diinjeksi dengan ECP. Sebagai sumbu X adalah variable kadar BSA dan sumbu Y adalah hasil bacaan Optical Density OD, diperoleh persamaan Y = 0.001X + 0.008. Persamaan tersebut digunakan untuk menghitung kadar protein hasil elektroelusi. Konsentrasi protein dalam ECP bakteri non-hemolitik 28.18 ppm pada media BHIA dan 13.64 ppm pada media BHI lebih banyak di bandingkan dengan bakteri β-hemolitik 2.73 ppm pada media BHIA dan 8.18 ppm pada media BHI. Konsentrasi protein dalam ECP menjadi salah satu faktor yang menyebabkan patogenisitas bakteri non-hemolitik lebih tinggi. Kematian ikan akibat infeksi bakteri merupakan fenomena yang menarik. Beberapa kajian menunjukkan bahwa ECP diduga menjadi salah satu faktor virulensi bakteri dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian ikan. Produk ekstrasellular sebagai penyebab perubahan gejala kinis dan kematian yang diproduksi oleh bakteri telah dikaji oleh beberapa peneliti terdahulu. Diantaranya adalah ECP yang dihasilkan oleh Aeromonas hydrophila Kawahara dan Nomura, 1990, Edwardsiella tarda Suprapto et al., 1995, Flavobacterium sp. Ototake dan Wakabayashi, 1985, Mycobacterium sp. Chen et al., 1997, Vibrio anguillarum Lamas et al., 1994; Murdjani, 2002. Dari hasil keseluruhan uji coba ternyata ECP bakteri bersifat toksik bagi ikan dan dapat dimanfaatkan sebagai vaksin. Menurut Subowo 1993 penggunaan komponen vaksin yang dimurnikan seperti eksotoksin yang dihasilkan sudah banyak digunakan sebagai imunogen. Namun sebaiknya sebelum digunakan perlu ditawarkan sifat toksiknya dengan cara menambahkan formaldehid yang tidak merusak determinan imunogenik yang dikehendaki. Ekstrasellular Mycobacterium spp. mengandung protein 14–65 kDa yang bersifat toksik terhadap ikan rainbow trout dan Nile tilapia yang diinjeksikan ECP sebanyak 400 µg secara intramuscular. Perbedaan lama inkubasi atau kultur pada media tumbuh berpengaruh terhadap produksi ECP Mycobacterium spp. Chen et al., 1997 dan Suprapto et al. 1995 membandingkan toksisitas produk selular ICC dan produk ekstrasellular ECP bakteri Edwardsiella tarda baik yang virulen maupun yang tidak terhadap ikan Japanese eel dan flounder, hasilnya baik ECP maupun ICC sama-sama menyebabkan kematian pada kedua ikan. Kematian pada ikan Japanese eel hanya terjadi pada percobaan ECP yang ditumbuhkan pada media padat dimana kematian rata-rata terjadi mulai hari ke-4 hingga 9 pasca injeksi. Produk ekstrasellular bakteri Aeromonas hydrophila yang virulen menyebabkan 100 kematian benih lele dalam 18 jam pasca injeksi dan ECP Aeromonas hydrophila yang tidak virulen menyebabkan 100 kematian dalam 96 jam Kawahara dan Nomura, 1990. Sama halnya dengan ECP dari S. agalactiae, yang menyebabkan kematian pada ikan nila mulai 12 jam pasca injeksi. Produksi ECP pada media BHI dan BHIA dan perbedaan lama inkubasi berpengaruh terhadap kematian kumulatif. Kematian ikan yang diinjeksi dengan ECP dari media tumbuh BHIA cenderung lebih banyak dibandingkan dengan ECP yang berasal dari media tumbuh BHI, hal ini disebabkan oleh kemampuan bakteri saat memproduksi ECP, sifat media padat lebih mendukung untuk memproduksi ECP, dan hasil fraksinasinya menunjukkan bahwa jenis dan jumlah protein dalam ECP yang diproduksi pada media padat lebih beragam dan lebih banyak dibandingkan pada bakteri yang ditumbuhkan pada media cair. Simpulan Pengujian toksisitas ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik menghasilkan simpulan sebagai berikut : 1. Produk ekstrasellular merupakan salah satu faktor virulensi S. agalactiae, karena gejala yang muncul pada ikan nila saat diinjeksi dengan ECP sama dengan gejala yang ditemukan pada ikan nila yang diinjeksi dengan sel utuh S. agalactiae. 2. Perubahan pada tingkah laku berenang, nafsu makan, perubahan anatomi organ luar secara makroskopis dan mikroskopis yang diinjeksi ECP tipe β- hemolitik dan tipe non-hemolitik hampir sama. 3. Kematian dan perubahan gejala klinis ikan yang diinjeksi dengan ECP kedua tipe bakteri yang ditumbuhkan pada media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi lebih dari 48 jam cenderung lebih bersifat toksik. 4. Protein yang terkandung di dalam ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non- hemolitik yang ditumbuhkan dalam media padat dan media cair dengan masing-masing masa inkubasi berturut-turut adalah 65.8; 60.1; 55.8 kDa 3A24, 19.2-100.4 kDa 5A96, 62.3; 55.8 kDa 3i72, 62.3; 55.8; 51.8 kDa 5i72 dan konsentrasi ptotal protein di dalam ECP yaitu 2.73 ppm 3A24, 28.18 ppm 5A96, 8.18 ppm 3i72 dan 13.64 ppm 5i72. Hasil fraksinasi menunjukkan bahwa konsentrasi protein ECP tipe non-hemolitik lebih tinggi dari pada tipe β-hemolitik, hal ini yang diduga sebagai salah satu penyebab bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan ECP sebagai vaksin untuk mencegah infeksi Streptococcosis akibat S. agalactiae dan untuk pengujian tersebut dipilih menggunakan dua macam ECP yang dihasilkan oleh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHI lama inkubasi 72 jam. EFIKASI VAKSIN SEL UTUH DAN PRODUK EKSTRASELLULAR BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE β-HEMOLITIK UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus ABSTRAK Dalam penelitian ini dilakukan pengujian mengenai efikasi vaksinasi pada ikan nila Oreochromis niloticus untuk pengendalian penyakit Streptococcosis. Vaksin yang digunakan adalah formalin-killed cells dari sel utuh dan produk ekstrasellular ECP yang mengandung protein 62.3 dan 55.8 kDa dari Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik. Protein dalam ECP bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik terbukti mampu meningkatkan RPS ikan nila yang diuji tantang dengan S agalactiae tipe β-hemolitik 10 3 CFUekor dan tipe non-hemolitik 10 5 Kata kunci : β-hemolitik, S. agalactiae, ECP, sel utuh, vaksinasi CFUekor. Pengujian vaksinasi ini dicobakan pada 15 ekor ikan nila seberat 15 g setiap perlakuan. Relative Percent Survival ikan nila yang divaksinasi dengan sel utuh, ECP, gabungan ECP dan sel utuh terbukti mengalami peningkatan dan berbeda nyata dengan kontrol. Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik memiliki RPS 79 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75 untuk tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe β- hemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik RPS mencapai 62.5 sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik hanya 25. Vaksinasi dengan gabungan sel utuh dan ECP β-hemolitik S. agalactiae melindungi 92 ikan setelah diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 75 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh S. agalactiae tipe β- hemolitik dan ECP tipe non-hemolitik memiliki RPS 79 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 42 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Kesimpulannya adalah vaksin gabungan sel utuh dan ECP β-hemolitik memberikan proteksi terbaik saat ikan nila terinfeksi S. agalactiae kedua tipe. ABSTRACT The effectiveness of a Streptococcus agalactiae vaccine was evaluated in tilapia Oreochromis niloticus for prevention of streptococcal disease. The vaccine was prepared from formalin- killed whole cell and concentrated extracellular products 62.3 and 55.8 kDa of β- haemolytic isolate of S. agalactiae. Vaccination trial was done through intraperitonial injection into fish having mean weight of 15 g. Control negative tilapia were injected with PBS. Fish were vaccinated with whole cell, ECP and mix whole cell and ECP and challenged by IP injection with 10 3 colony- forming units CFUfish of β-haemolytic and 10 5 Keywords : β-haemolytic, S. agalactiae, ECP, whole cell, vaccination CFUfish of non-haemolytic S. agalactiae. Tilapia vaccinated with whole cell had a Relative Percent Survival RPS of 79 IP challenged with β-haemolytic and 75 IP challenged with non-haemolytic. A RPS of 62.5 was observed in tilapia vaccinated IP with ECP β-haemolytic and IP challenged with β-haemolytic and 25 with non-haemolytic . Tilapia vaccinated with mix whole cell and ECP of β-haemolytic had a RPS of 92 IP challenged with β-haemolytic and 75 IP challenged with non- haemolytic. Whereas tilapia vaccinated with mix whole cell non-haemolytic and ECP of β- haemolytic had a RPS 79 in tilapia IP challenged with β-haemolytic and 42 IP challenged with non-haemolytic of S. agalactiae. The highest RPS is formed on vaccination with mix whole-cell and extracellular product vaccine of S. agactiae β-haemolytic type. Pendahuluan Vaksinasi merupakan salah satu cara pengendalian penyakit dalam budidaya ikan. Ada beberapa macam vaksin yang bisa digunakan dalam budidaya ikan antara lain; vaksin sel utuh, vaksin dari komponen sel dan vaksin DNA. Pemilihan vaksin yang digunakan bergantung pada jenis bakteri yang digunakan, kondisi ikan dan kondisi lingkungan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin seperti antigen yang heterogen, imunitas yang relatif rendah dan cara aplikasiya di lapangan Pasaribu et al., 1990. Selain itu, efikasi vaksinasi sangat tergantung pada jenis dan kualitas vaksin, cara vaksinasi Souter, 1984, kondisi ikan Dorson, 1984 dan lingkungan khususnya kualitas air Ellis, 1988. Untuk menyelesaikan masalah Streptococcosis karena S. agalactiae, perlu dilakukan penelitian vaksinasi dengan menggunakan sumber selain sel utuh karena vaksinasi dengan sel utuh belum berhasil. Menurut Golub 1987 kebanyakan imunogen berbentuk sebagai makro molekul protein yang terdiri dari sejumlah besar antigen determinan. Menurut Subowo 1993 penggunaan komponen vaksin seperti eksotoksin yang dihasilkan suatu bakteri sudah banyak digunakan sebagai imunogen, namun sebaiknya sebelum digunakan perlu ditawarkan sifat toksiknya dengan cara menambahkan formaldehid yang tidak merusak determinan imunogenik yang dikehendaki. Hasil fraksinasi protein dalam ECP S. agalactiae melalui SDS-PAGE Laemmli, 1970 pada penelitian sebelumnya diperoleh protein dengan berbagai berat molekul. Protein dalam ECP kedua tipe bakteri hampir sama yaitu 51.8; 55.8 dan 62.3 kDa pada ECP tipe non- hemolitik sedangkan bakteri tipe β- hemolitik terdapat protein 55.8 dan 62.3 serta tidak ditemukan protein dengan berat molekul 51.8 kDa. Menurut Pasnik et al. 2005 kandungan protein pada ECP bakteri S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 kDa dan yang lebih dominan adalah protein 54 dan 55 kDa. Sehingga dibuat vaksin dengan menggunakan ECP tersebut untuk menanggulangi Streptococcosis. Penelitian ini bertujuan mengetahui efikasi vaksin sel utuh, produk ekstrasellular ECP dan gabungan keduanya dari S. agalactiae tipe β-hemolitik, juga gabungan sel utuh tipe β-hemolitik dan ECP non-hemolitik untuk penanggulangan penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae. Diharapkan dari penelitian ini dapat dihasilkan vaksin yang memberikan proteksi terbaik bagi ikan nila dalam mengatasi infeksi S. agalactiae. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 15 ekor setiap akuarium, dimana setiap perlakuan diulang tiga kali. Bakteri yang digunakan untuk dijadikan vaksin adalah isolat β-hemolitik N 14 G dan isolat non-hemolitik NK 1 Persiapan vaksin . Persiapan ikan uji dan bakteri yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan dalam metodologi umum. Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin sel utuh, ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik dan vaksin gabungan antara sel utuh dan ECP tipe β-hemolitik maupun gabungan sel utuh tipe β-hemolitik dan ECP tipe non- hemolitik, yang kesemuannya diinaktivasi dan dinetralisir sifat toksinnya dengan formalin 3 Evans et al., 2004. Masing-masing tipe bakteri dibiakan dalam media brain heart infusion BHI, BD Bacto TM dengan masa inkubasi 72 jam pada suhu 28-30 o C, kemudian media yang sudah ditumbuhi bakteri ditambahkan 3 neutral buffered formalin dan diinkubasi selama 24 jam. Kemudian suspensi disentrifus 10000 g selama 30 menit pada suhu 4 o Untuk mendapatkan vaksin sel utuh, pellet hasil sentrifus dicuci dengan PBS sebanyak dua kali, terakhir ditambahkan PBS sebanyak volume awal biakan bakteri. Sampel vaksin ditanam pada media BHIA, jika bakteri tidak tumbuh dalam waktu 72 jam, vaksin dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya. Sedangkan vaksin ECP diperoleh dengan menyaring supernatan dengan filter saring 0,22 µm. Protein di dalam ECP kemudian dianalisis dengan SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul protein yang terkandung didalamnya. Produk C, pellet dan supernatan akan terpisah. ekstrasellular mengandung protein dengan berat molekul 55.8 dan 62.3 kDa. Untuk pengujian keamanan vaksin ECP, vaksin disuntikan pada lima ekor ikan nila dan dilihat perkembangannya selama 72 jam. Jika hingga jam ke-72 tidak muncul kematian dan gejala Streptococcosis maka vaksin ECP aman untuk digunakan. Vaksin disimpan dalam suhu 4 o Parameter yang diukur C sampai akan digunakan. Untuk mengetahui efikasi dari vaksin yang diberikan, dilakukan pengamatan pada beberapa parameter cara kerja dan analisa data setiap parameter di jabarkan dalam metodologi umum yaitu: • Parameter utama : pengukuran tingkat kelangsungan hidup relatif Relative Per cent SurvivalRPS, • Parameter pendukung antara lain gambaran darah, patologi klinik darah, pengukuran indeks fagositik dan pengukuran titer antibodi. Vaksinasi S. agalactiae tipe β-hemolitik pada ikan nila Tahapan pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe β-hemolitik ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan vaksin sel utuh, ECP dan gabungan antara sel utuh dan ECP dari S. agalactiae tipe β-hemolitik serta vaksin gabungan antara sel utuh β-hemolitik dan ECP non hemolitik dalam mencegah infeksi S. agalactiae. Sumber total ECP yang digunakan adalah hasil dari penelitian uji toksisitas total ECP S. agalactiae sebelumnya. Vaksinasi pada ikan nila, dilakukan dengan menyuntikan beberapa macam vaksin seperti yang disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Perlakuan pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe β- hemolitik Perlakuankode Vaksin Uji tantang 1 Tidak divaksin non 2 Tidak divaksin β-hemolitik 3 sel utuh β-hemolitik β-hemolitik 4 sel utuh β-hemolitik non-hemolitik 5 ECP β-hemolitik β-hemolitik 6 ECP β-hemolitik non-hemolitik 7 50 sel utuh β-hemolitik + 50 ECP β-hemolitik β-hemolitik 8 50 sel utuh β-hemolitik + 50 ECP β-hemolitik non-hemolitik 9 50 sel utuh β-hemolitik + 50 ECP non-hemolitik β-hemolitik 10 50 sel utuh β-hemolitik + 50 ECP non-hemolitik non-hemolitik Masing-masing ikan diinjeksi vaksin sebanyak 0.1 mlekor. Ikan dipelihara selama 10 hari, kemudian setiap perlakuan diuji tantang dengan S. agalactiae kepadatan 10 3 CFUml bakteri β-hemolitik dan 10 5 CFUml bakteri non-hemolitik pada hari ke-11 setelah vaksinasi. Setelah itu ikan dipelihara hingga hari ke-25 14 hari pasca uji tantang. Parameter pendukung diamati pada hari ke-0, 5, 10, 18 dan 25, sedangkan parameter utama RPS diamati diakhir pengamatan hari ke-25. Alur pelaksanaan penelitian efikasi vaksinasi ini dilakukan seperti pada Gambar 33. Keterangan : D 0, 1, 2 : hari ke-0, 1, 2 dan seterusnya Gambar 33 Alur pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe β- hemolitik Hasil dan Pembahasan Vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan sistem imun spesifik ikan nila untuk mencegah infeksi S. agalactiae. Dari hasil pengamatan beberapa parameter imunitas ikan diketahui bahwa vaksinasi dengan menggunakan vaksin sel utuh, ECP maupun gabungan keduanya dari bakteri tipe β-hemolitik, meningkatkan imunitas baik spesifik maupun non spesifik ikan nila. 1 Tingkat kelangsungan hidup relatif Relative Per cent SurvivalRPS Ikan diuji tantang dengan S. agalactiae pada hari ke-11 setelah vaksinasi dan diamati perubahan gejala Streptococcosis perubahan warna tubuh, clear operculum dan eksoptalmia yang muncul dan juga kematian yang terjadi selama 14 hari pasca uji tantang. Kematian ikan yang divaksin dan tidak divaksin terjadi pada 24 jam pasca injeksi, dan terus terjadi hingga hari ke-14, hanya kematian ikan yang tidak divaksin lebih banyak terjadi. Dari tingkat kematian yang terjadi dapat dilihat bahwa perbedaan jenis vaksin yang diberikan berpengaruh terhadap D0 D5 D10 D11 D18 1 D25 Uji tantang Vaksinasi SR, RPS D1 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 1 2 3 4 5 6 7 Ju m lah i k an y an g m at i Hari setelah uji tantang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 tingkat kematian yang terjadi. Kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik selama 14 hari pasca uji tantang tampak pada Gambar 34. Gambar 34 Grafik kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik. Perlakuankode mengikuti Tabel 24. Dari Tabel 25 terlihat bahwa vaksinasi yang dilakukan setelah 14 hari uji tantang terlihat, vaksin dengan menggunakan sel utuh mampu mencegah infeksi dari kedua tipe bakteri. Ini menandakan bahwa bakte ri utuh dari tipe β-hemolitik non kapsul mampu meningkatkan respon imun spesifik dan saat S. agalactiae kedua tipe bakteri menginfeksi antibodi terbentuk untuk mengeliminir bakteri patogen. Hal tersbut disebabkan karena permukaan sel bakteri tipe β-hemolitik lebih banyak tersusun atas protein yang bersifat imunomodulator yang meningkatkan sistem imun baik spesifik maupunnon spesifik. Tabel 25 Tingkat RPS ikan yang divaksin dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik Perlakuan ∑ ikan yang mati RPS 1 2 1 96 24 - 3 4 5 79 6 75 5 6 9 62.5 18 25 7 8 2 92 6 75 9 10 5 79 14 42 Perlakuan kode mengikuti Tabel 24. Perlakuan Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik memiliki RPS 79 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75 untuk tipe non- hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe β-hemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik RPS mencapai 62.5 sedangkan yang di uji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik hanya 25. Vaksinasi dengan gabungan sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik melindungi 92 ikan setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh S. agalactiae tipe β-hemolitik dan ECP tipe non-hemolitik memiliki RPS 79 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 42 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Gabungan vaksin s el utuh β-hemolitik + ECP β-hemolitik lebih baik mencegah infeksi kedua tipe bakteri. Ini menandakan bahwa vaksin yang mengandung ECP dari β-hemolitik mampu mencegah infeksi bakteri β-hemolitik dan non-hemolitik lebih baik dibandingkan dari sel utuh. Pada pengujian di atas terlihat adanya spesific biotype protection terhadap tipe bakteri dari vaksin sel utuh dan ECP yang digunakan. Artinya vaksin sel utuh dan ECP dari β-hemolitik memberikan proteksi pada kedua tipe bakteri infeksi namun proteksi terbaik saat ikan terinfeksi dengan S. agalactiae yang bertipe sama dengan vaksin yang diberikan. 2 Gambaran darah ikan nila Keberhasilan vaksinasi dapat dilihat dari nilai RPS yang dihasilkan. Namun untuk menjawab mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan dari vaksinasi dapat dilihat dari beberapa parameter pendukung seperti total leukosit, diferensial leukosit, total eritrosit, indeks fagositik, titer antibodi, hematokrit, hemaglobin serta glukosa darah ikan. Perubahan pada parameter pendukung efikasi vaksinasi menggunakan vaksin β-hemolitik dijabarkan pada Tabel 26, dan data secara lengkap dijabarkan pada Lampiran 9. Tabel 26 Parameter pendukung efikasi vaksinasi vaksin hemolitik pada hari ke- 14 pasca uji tantang Perlakuan kode Leukosit 10 selmm 5 Limfosit 3 Eritrosit 10 5 selmm IP 3 Antibodi -log 2 He Hb g 1 1.2±0.003 65 ± 5.0 36 ±1.0 8.7±0.6 25.3 ± 0.17 11.67±0.3 2 2.6±0.008 68 ±2.0 24 ±0.0 1.3±0.6 40.5 ± 0.1 7.7±1.2 3 1.7±0.003 82 ±2.0 33 ±1.0 18±1 3 32.4 ± 0.15 10±1 4 1.8±0.002 82 ±1.0 30 ±3.0 19.3±0.6 2 30.3 ± 0.11 12.3±1 5 2.1±0.003 73 ±3.0 27 ±3.0 11.7±0.6 1 24.4 ± 0.11 10.5±0 6 2.2±0.001 67 ±2.0 24 ±0.0 15.3±0.6 25.2 ± 1.0 9.3±0.6 7 1.4±0.002 80 ±3.0 33 ±3.0 22.3±2.1 5 31.7 ± 0.53 11.3±0.6 8 1.5±0.002 80 ±4.0 27 ±0.0 20.3±1.2 4 33 ± 0.35 11.5±0.5 9 1.7±0.004 80 ±2.0 33 ±3.0 24.3±2.1 4 27.4 ± 0.39 12±0 10 1.7±0.006 72 ±2.0 24 ±0.0 19.3±0.6 3 24.6 ± 1.0 9.7±9.7 Keterangan : Perlakuan kode mengikuti Tabel 24. IP = indeks fagositik, He = hematokrit, Hb = hemaglobin Total leukosit Total leukosit sebagai respon seluler, pertahanan non spesifik juga mengalami peningkatan pasca vaksinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik. Respon kekebalan spesifik humoral mediated immunity cellular mediated immunity tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya =adaptive immunity. Fungsi sistem kekebalan non spesifik juga terlibat dalam sistem kekebalan spesifik. Peningkatan total leukosit terjadi secara signifikan pada hari ke-10 disemua perlakuan dan pada hari ke-18 hari ke-7 uji tantang mulai mengalami penurunan. Hal ini diduga saat ada infeksi, total leukosit meningkat untuk memfagosit bakteri infeksi dan setelah 7 hari pasca infeksi, bakteri berhasil difagosit dan tidak mampu untuk tumbuh dan berkembang sehingga ikan banyak yang hidup. Lain halnya dengan ikan kontrol yang tidak divaksin, tidak terdapat peningkatan total leukosit ikan yang diinfeksi sehingga 53 ikan mati karena tidak mampu menghalangi berkembangnya S. agalactiae dalam tubuhnya. Diferensial leukosit Jenis leukosit pasca vaksinasi juga mengalami peningkatan khususnya limfosit. Limfosit berperan sebagai sel memori yang membentuk antibodi. Peningkatan limfosit juga seiring dengan terbentuknya antibodi pada ikan setelah 5-10 hari pasca vaksinasi. Monosit dan neutrofil juga mengalami peningkatan, karena kedua sel ini berperan dalam proses fagositosis. Monosit lebih cenderung mengfagosit partikel-partikel besar sedangkan neutrofil lebih cenderung mengfagosit partikel kecil. Peningkatan mulai terjadi pada hari ke-5 pasca vaksinasi dan saat terjadi infeksi 7 hari pasca uji tantang jumlah ketiga sel tersebut meningkat yang merupakan tanda bahwa ikan melakukan perlawanan terhadap adanya infeksi. Peningkatan sel monosit terjadi pada hari ke-10 pasca vaksinasi, peningkatan terjadi hingga hari ke-18 pasca vaksinasi atau hari ke-7 pasca uji tantang dan berbeda nyata dengan kontrol. Artinya vaksinasi yang diberikan mampu meningkatkan sel monosit sebagai sel fagosit. Peningkatan juga terjadi pada sel neutrofil pada hari ke-5 pasca vaksinasi namun hasilnya tidak berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan yang signifikan dan berbeda nyata dengan kontrol terjadi pada sel limfosit sejak hari ke-10 hingga hari ke-25 pasca vaksinasi dan uji tantang. Keseluruhan data diferensial leukosit menunjukkan bahwa komponen vaksin yang diberikan mampu meningkatan sel-sel pertahanan spesifik dan non spesifik ikan. Total Eritrosit Fluktuasi total eritrosit terjadi hampir di semua perlakuan. Data total eritrosit ini sejalan dengan kadar hemoglobinHb, peningkatan terjadi saat adanya infeksi dan baru mengalami penurunan saat akhir pengamatan Tabel 26. Penurunan eritrosit akibat infeksi tidak terjadi pada ikan yang divaksinasi dengan vaksin sel utuh dan gabungan, hal ini menunjukkan bahwa S. agalactiae tidak mampu tumbuh dan berkembang dalam tubuh inang karena adanya antibodi dan sel-sel fagosit yang mencegah hal tersebut, sehingga toksin yang dikeluarkan tidak sebanyak saat bakteri mampu tumbuh berkembang dan menyebarkan virulensinya. 3 Indeks fagositik Aktivitas sel pada kekebalan non spesifik jika antigen masuk ke dalam tubuh ikan yaitu mempertahankan diri dengan menghancurkan antigen melalui proses fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel fagositik monosit prekursor- prekursor makrofag, dan polymorphonuclear leucocyte neutrofil. Setelah vaksinasi, indeks fagositik mengalami peningkatan pada hari ke- 10 setelah vaksinasi dan peningkatan semua perlakuan semua jenis vaksin berbeda nyata dengan kontrol. Proses fagositosis ini membantu tubuh untuk menghancurkan bakteri penyebab infeksi. Peningkatan indeks fagositik terjadi karena vaksin yang diberikan baik dari sel utuh, ECP maupun penggabungan keduanya ternyata mampu meningkatan komponen respon imunitas non spesifik. Pada fagositosis, antigen dideteksi tanpa pengenalan terlebih dahulu melalui reseptor spesifik, ini merupakan mekanisme bawaan sebelum terjadinya aktivitas sel limfosit-T spesifik maupun terbentuknya antibodi. Sel fagosit menghancurkan antigen melalui tiga tahap yaitu: 1 pelekatan, 2 fagosit dan 3 pencernaan. Pada ikan nila yang divaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe β-hemolitik tampak adanya aktivitas fagositik Gambar 35. Gambar 35 Proses fagositosis dan penghancuran partikel bakteri pada ikan nila yang divaksinasi Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik, 1 bar = 20µm. 1. Sel monosit, 2. pelekatan, 3. Aktivitas membran, 4. permulaan fagositosis, 5 dan 6 penghancuran, 7. Pelepasan dan mengeluarkan hasil fagositosis. Monosit adalah prekursor dari makrofag yang berasal dari jaringan limfoid ikan, meninggalkan sirkulasi dan memulai tugas fagosit di jaringan dengan mengubah menjadi makrofag dan tersebar di jaringan tubuh untuk menghadang invasi patogen. Ketika limfosit bertemu dengan antigen secara alamiah atau diberikan sebelumnya vaksinasi mereka akan mengalami perubahan. Sel B Bursa dirangsang untuk berdeferensiasi menjadi penghasil antibodi sedangkan sel T Thymus berdiferensiasi menjadi limfoblast, membelah, dan melepaskan limfokin dalam membawa cell mediated immune respone. Saat aktivasi, makrofag memiliki kapasitas fagositik lebih kuat dibandingkan neutrofil granulosit, meskipun granulosit berjumlah lebih besar.Proses fagosit terjadi apabila berada dalam jarak dekat dengan antigenantigen harus melekat pada permukaan sel fagosit, sehingga fagosit bergerak menuju sasaran. Mekanisme tersebut terjadi karena dilepaskannya zatmediator tertentu yang disebut faktor leukotaktikkemotaktik dari antigenkomplemen. Hal ini disebabkan karena antigen terlebih dahulu dilapisi oleh Ig atau komplemen opsonisasi, agar lebih mudah ditangkap oleh sel fagosit. Patogen masuk ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom, patogen terperangkap dalam kantong fagosom seolah-olah ditelan untuk dihancurkan, baik dalam proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang ada dalam fagosit Anderson, 1974. Proses fagositosis diawali oleh fase pergerakan kemotaktik, perlekatan adhesiattachment, penelanan ingestion, degranulasi pembunuhan killing. Inisiasi pergerakan karena dilepaskannya zat mediator tertentu yaitu faktor leukotaktikkemotaktik dari antigenneutrofilmakrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi antigen Gambar 36. Proses penempelan hingga penghancuran terlihat dilakukan oleh sel-sel fagosit seperti monosit dan neutrofil. Gambar 36 Proses fagositosis dan penghancuran partikel bakteri Sumber: Roth, 1988. Proses penelanan bakteri terjadi karena fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, membentuk kantung mengelilingi bakteri sehingga terperangkap dalam vakuola fagosom. Fagosom terdiri atas dinding bagian luar fagosit. Granula intraseluler berisi berbagai jenis enzim dan protein lain yang mampu membunuh, bergabung fusi dengan fagosom, terjadi degranulasi dan respiratory burst Roth, 1988. Sel makrofag dan netrofil memiliki mekanisme pertahanan non spesifik melalui proses kemotaksis dan pinositosis. Kemotaksis adalah sel fagosit dipancing oleh molekul untuk melakukan migrasi ke lokasi terjadinya inflamasi, kerusakan jaringan atau reaksi antigen-antibodi immune reactions. Molekul atau induktor kemotaksis dihasilkan patogen atau komponen kekebalan tubuh seperti faktor komplemen. Pinositosis mekanismenya mirip fagositosis, tetapi melalui proses pemasukan partikel antigen yang berukuran jauh lebih kecil daripada yang dilakukan pada proses fagositosis. Fenomena ini ditandai oleh proses pembukaan membran sel membentuk lubang vakuola kecil melalui proses endositosis Roth, 1988. 4 Titer antibodi Antibodi bereaksi spesifik dengan antigen membentuk senyawa kompleks berupa endapan presipitat dan gumpalan aglutinat ditunjukkan melalui uji imunopresipitasi imunodifusi Agar Gel Precipitation Test AGPT atau uji aglutinasi. Antibodi berperan sebagai presipitin dan agglutinin, cara lain antibodi menghalangi efek antigen dengan cara blokade, yaitu bereaksi dengan epitop antigen sehingga antigen tidak mampu mengenal reseptor sel inang menyebabkan kegagalan proses perlekatan antigen pada permukaan sel inang antibodi bertindak sebagai inhibin. Selain itu antibodi untuk mempercepat eliminasi antigen dengan proses opsonisasi antibodi sebagai opsonin. Antigen dalam keadaan teropsonisasi lebih mudah dikenal makrofag dan lebih efektif untuk dihancurkan Anderson, 1974. Selama perlakuan, pengamatan titer antibodi dilakukan pada hari ke-5, 10, 18 dan ke-25 setelah vaksinasi. Hasilnya ikan mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik sejak hari ke-5 vaksinasi. Titer tertinggi dicapai ikan rata-rata pada hari ke-10 pasca vaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin. Titer antibodi tertinggi dihasilkan oleh ikan yang divaksinasai oleh vaksin gabungan antara sel utuh dengan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik. Menurut Subowo 1993 protein merupakan makromolekul yang imunogen yang dapat merangsang limfosit untuk menghasilkan antibodi. Protein dengan berat molekul lebih besar dari 10 kDa biasanya imunogenik. Walaupun demikian, Almendras 2001 menyatakan bahwa hanya daerah-daerah permukaan tertentu dari molekul itu epitop yang menentukan spesifisitas reaksi antigen antibodi dan juga sebagai penentu timbulnya respon imun. Di samping itu, protein dengan berat molekul yang besar diduga mempunyai jumlah epitop yang banyak. Ikan yang divaksin tetap mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe β- hemolitik dan non-hemolitik pada hari ke-25 pasca vaksinasi. Pada akhir pengamatan masih ditemukan adanya antibodi yang terbentuk pada ikan yang divaksinasi, ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh untuk mengeliminasi patogen yang menginfeksi meskipun bakteri yang menginfeksi berbeda tipe dengan jenis bakteri yang dijadikan vaksin. Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi pada permukaan melekat pada antigen asing Antigen atau antibodi kompleks ini diambil oleh sel B dan diproses oleh proteolisis ke peptid sel B lalu menampilkan peptid antigenik pada permukaan molekul MHC kelas II. Kombinasi MHC dan antigen menarik sel T helper yang cocok, yang melepas limfokin dan mengaktifkan sel B. Sel B yang aktif lalu mulai membagi keturunannya sel plasma mengeluarkan jutaan kopi limfa yang mengenali antigen itu. Antibodi tersebut diedarkan pada plasma darah dan limfa, melilit pada patogen dan menandai mereka untuk dihancurkan oleh aktivasi komplemen dan fagosit. Antibodi juga dapat menetralisir tantangan secara langsung dengan melilit toksin bakteri atau dengan mengganggu reseptor yang digunakan virus dan bakteri untuk menginfeksi sel Anderson, 1974. 5 Patologi klinik darah ikan nila Hematokrit He Dari hasil pengamatan, He mengalami peningkatan akibat adanya infeksi bakteri pada ikan yang tidak divaksin, peningkatannya terjadi sangat tinggi hingga hari ke-25 14 hari setelah uji tantang pada kontrol. Peningkatan He pasca uji tantang pada ikan yang divaksinasi juga terjadi namun peningkatannya tidak signifikan, artinya vaksin yang diberikan mampu membantu tubuh ikan untuk mencegah berkembangnya patogen sehingga tidak menyebabkan sakit. Hemoglobin Hb Dengan pemberian vaksin, kadar hemoglobin ikan yang diinfeksi bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik tidak mengalami penurunan yang artinya bakteri belum mampu tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga virulensi toksin hemolisin yang dikeluarkan masih mampu diblokade oleh sistem petahanan spesifik dan non spesifik tubuh. Hasil ini sejalan dengan data kematian ikan bahwa ikan yang divaksin dengan ECP bakteri tipe β-hemolitik mampu melindungi dengan b aik saat infeksi berasal dari bakteri tipe β-hemolitik juga ditandai dengan RPS nya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan infeksi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik. Kadar glukosa darah Perubahan pada kadar glukosa darah akibat vaksinasi dari sel utuh maupun ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik diamati untuk mengetahui dampak vaksinasi terhadap kondisi kesehatan ikan. Hasilnya, vaksinasi tidak menyebabkan perubahan pada keseimbangan tubuh stres dilihat dari peningkatan kadar glukosa pasca vaksinasi yang tidak signifikan dengan kontrol tidak divaksin dan tidak diuji tantang. Sedangkan pasca uji tantang dengan bakteri terjadi peningkatan namun tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun peningkatan glukosa ikan yang tidak divaksinasi akibat injeksi dengan S. agalactiae tipe β- hemolitik lebih tinggi terjadi dibandingkan dengan ikan yang divaksinasi. Dari hasil pengamatan pada hari ke-10 pasca vaksinasi tidak ditemukan adanya peningkatan kadar glukosa darah, menandakan bahwa vaksinasi tidak menyebabkan stress pada ikan. Setelah uji tantang, ikan yang divaksinasi lebih stabil kondisi tubuhnya dilihat dari kadar glukosa darahnya tidak mengalami peningkatan secara signifikan dibandingkan ikan yang diinfeksi dengan S. agalactiae dan tidak divaksinasi. Artinya vaksinasi berpengaruh terhadap status kesehatan ikan. Hal ini ditunjang hasil penelitian Evans et al. 2004 bahwa vaksinasi dapat meminimalisir stress akibat infeksi S. agalactiae pada ikan nila dan membantu memelihara imunitas dan menurunkan mortalitas. 6 Kualitas air wadah budidaya Selama percobaan, pemeliharaan kualitas air juga dilakukan untuk menjaga kondisi air tetap baik sehingga tidak menjadi pemicu stress pada ikan. Data kualitas air percobaan tertuang pada Tabel 27. Secara terperinci terlihat bahwa kualitas air disemua perlakuan tidak berbeda nyata, baik suhu, O 2 terlarut, amoniak TAN dan CO 2 Tabel 27 Kualitas air pada hari ke-25 pasca vaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe β-hemolitik bebas berada dalam kisaran normal sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan artinya perbedaan hasil data kematian, perubahan parameter imunitas dan perubahan gejala lainnya disebabkan karena perbedaan perlakuan bukan karena kualitas air yang berbeda. Parameter Satuan Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Suhu o 27.9 C 27.9 27.7 27.8 27.7 27.6 27.7 27.6 27.6 27.8 O 2 mgl terlarut 3.54 4.41 4.97 3.16 4.36 3.28 4.38 4.51 2.77 1.89 TAN mgl 0.171 0.673 0.079 0.210 0.214 0.238 0.140 0.183 0.380 0.159 CO 2 mgl bebas 3.94 3.94 2.63 3.94 2.63 3.94 2.63 2.63 3.94 2.63 Parameter kualitas air selama penelitian tidak tampak adanya perubahan. Secara keseluruhan nilai kisaran kualitas air masih mendukung untuk kehidupan ikan nila. Dengan demikian, kualitas air bukan merupakan penyebab kematian dan perubahan pada tingkah laku dan perubahan pada anatomi ikan bagian luar dan dalam ikan nila selama penelitian. Simpulan Pengujian efikasi vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe β- hemolitik menghasilkan beberapa simpulan yaitu : 1. Vaksinasi dengan sel utuh, ECP dan gabungan keduanya dari bakteri tipe β- hemolitik mampu meningkatkan respon imunitas spesifik dan non spesifik serta mampu meningkatkan proteksi ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae. 2. Vaksinasi dengan menggunakan gabungan sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik menghasilkan tingkat RPS tertinggi yaitu 92 saat diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan 75 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. 3. Vaksin sel utuh yang digabungkan dengan protein 55.8 dan 62.3 kDa dari ECP tipe β-hemolitik lebih efektif untuk mencegah infeksi S. agalactiae dari kedua tipe dibandingkan dengan vaksin sel utuh sendiri maupun vaksin ECP sendiri. Perlu untuk menguji efikasi dari vaksinasi dengan menggunakan bakteri tipe non-hemolitik bakteri berkapsul, seberapa besar kemampuan dari vaksin sel utuh, ECP dan gabungan keduanya dari tipe non-hemolitik dalam mencegah infeksi S. agalactiae kedua tipe. EFIKASI VAKSIN SEL UTUH DAN PRODUK EKSTRASELLULAR BAKTERI Streptococcus agalactiae TIPE NON-HEMOLITIK UNTUK PENCEGAHAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus ABSTRAK Dalam penelitian ini dilakukan pengujian mengenai efikasi vaksinasi pada ikan nila Oreochromis niloticus untuk pengendalian penyakit Streptococcosis menggunakan vaksin formalin killed cells dari sel utuh dan produk ekstrasellular ECP yang mengandung protein 62.3; 55.8 dan 51.8 kDa dari bakteri Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik dengan tujuan untuk membandingkan efikasinya dengan vaksin yang dibuat dari S. agalactiae tipe β-hemolitik sebelumnya. Protein dalam ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik mampu meningkatkan titer antibodi dan RPS ikan nila yang diuji tantang dengan tipe β-hemolitik 10 3 CFUekor maupun tipe non-hemolitik 10 5 Kata kunci : non-hemolitik, S. agalactiae, ECP, sel utuh, vaksinasi CFUekor. Pengujian vaksinasi ini dicobakan pada ikan nila ukuran 15 g sebanyak 15 ekor setiap akuarium. Relative Percent Survival ikan nila yang divaksinasi dengan sel utuh, ECP mengalami peningkatan walaupun ada spesifik biotipe proteksi. Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki RPS 62.5 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75 untuk tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe non- hemolitik setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik tidak memberikan proteksi kepada ikan nila karena jumlah kematian lebih banyak dari kematian ikan kontrol. Sedangkan yang di uji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik hanya 37. Vaksinasi dengan gabungan sel utuh dan ECP non-hemolitik S. agalactiae melindungi 56 ikan setelah diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 50 saat diuji tantang dengan tipe non- hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik memiliki RPS 87 saat diuji tantang dengan S. agalactiae ti pe β-hemolitik dan hanya 56 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Kesimpulannya adalah efikasi vaksin yang dibuat dari S. agalactiae tipe non-hemolitik memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae namun tidak sebaik dari vaksin tipe β-hemolitik ABSTRACT The effectiveness of a Streptococcus agalactiae vaccine was evaluated in tilapia Oreochromis niloticus for prevention of streptococcal disease with compare between vaccine non-haemolytic S. agalactiae and β-haemolytic type before. The vaccine was prepared from formalin-killed whole cell and concentrated extracellular products 62.3; 55.8 and 51.8 kDa of non-haemolytic isolate of S. agalactiae. Intraperitonial IP vaccine trials was conducted on fish with a mean weights of 15 g. Control negative tilapia were injected with PBS. Fish were vaccinated with whole cell, ECP and mix whole cell and ECP and challenged by IP injection with 10 3 colony- forming units CFUfish of β-haemolytic and 10 5 Keywords : non-haemolytic, S. agalactiae, ECP, whole cell, vaccination CFUfish of non-haemolytic S. agalactiae. Tilapia vaccinated with whole cell of non-haemolytic had a RPS of 62.5 challenged with β-haemolytic and 75 challenged with non-haemolytic. No protection in tilapia vaccinated intraperitoneally with ECP non- haemolytic and challenged with β-haemolytic and 37 with non-haemolytic. Tilapia vaccinated with mix whole cell and ECP of non-haemolytic had a RPS of 56 challenged with β-haemolytic and 50 challenged with non-haemolytic. Whereas tilapia vaccinated with mix whole cell β-haemolytic and ECP of non-haemolytic had a RPS of 87 in tilapia challenged intraperitonelally with β-haemolytic and 56 challenged with non-haemolytic of S. agalactiae. The conclusion is vaccination with S. agalactiae non- haemolytic type give protection on S. agalactiae infection but is more effective β-haemolytic vaccination. Pendahuluan Sheehan et al. 2009 melakukan pengujian efikasi vaksinasi untuk penyakit Streptococcosis pada ikan nila dengan menggunakan dua tipe S. agalactiae yang berbeda. Ternyata hasilnya kurang efektif, vaksinasi bersifat spesifik biotipe proteksi artinya vaksinasi dari tipe β-hemolitik hanya mampu mencegah infeksi dari S. agalactiae dari tipe β-hemolitik saja dan tidak efektif untuk tipe lainnya, begitupun sebaliknya. Pengujian efikasi vaksinasi dengan menggunakan sel utuh dan ECP extracellular product dari S. agalactiae tipe β-hemolitik yang dilakukan sebelumnya mampu memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe dengan tingkat RPS yang berbeda. Dari hasil pengujian tersebut terlihat bahwa vaksin yang menghasilkan RPS tertinggi terjadi pada ikan yang divaksin dengan vaksin gabungan ECP dan sel utuh tipe β-hemolitik, yaitu 92 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe non-hemolitik perlu dilakukan untuk mengetahui efikasi vaksin sel utuh, ECP dan gabungan keduanya yang berasal dari S. agalactiae tipe non-hemolitik serta gabungan ECP tipe β- hemolitik dan sel utuh non-hemolitik untuk penanggulangan penyakit Streptococcosis yang disebabkan oleh S. agalactiae, agar dapat diketahui proteksi terbaik dibandingkan dengan vaksin dari tipe β-hemolitik. Diharapkan dari penelitian ini dapat dihasilkan kandidat vaksin yang memberikan proteksi terbaik bagi ikan nila dalam mengatasi infeksi S. agalactiae. Bahan dan Metode Ikan yang digunakan dalam percobaan ini berjumlah 15 ekor setiap akuarium dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri yang digunakan untuk dijadikan vaksin adalah isolat β-hemolitik N 14 G dan isolat non-hemolitik NK 1 . Persiapan ikan uji dan bakteri yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan dalam metodologi umum. Persiapan vaksin Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin sel utuh, ECP dan gabungan keduanya yang berasal dari S. agalactiae tipe non-hemolitik serta gabungan ECP tipe β-hemolitik dan sel utuh non-hemolitik. Inaktivasi vaksin dilakukan dengan menambahkan formalin 3 Evans et al., 2004. Masing-masing tipe bakteri dibiakan dalam media brain heart infusion BHI, BD Bacto TM dengan masa inkubasi 72 jam pada suhu 28-30 o C, kemudian media yang sudah ditumbuhi bakteri ditambahkan 3 neutral buffered formalin dan diinkubasi selama 24 jam. Kemudian suspensi disentrifus 10000 g selama 30 menit pada suhu 4 o Untuk mendapatkan vaksin sel utuh, pellet hasil sentrifus dicuci dengan PBS sebanyak dua kali, terakhir ditambahkan PBS sebanyak volume awal biakan bakteri. Sampel vaksin ditanam pada media BHIA, jika bakteri tidak tumbuh dalam waktu 72 jam, vaksin dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya. Sedangkan vaksin ECP diperoleh dengan menyaring supernatan dengan filter saring 0.2 µm. Protein dalam ECP kemudian dianalisis dengan SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul protein yang terkandung didalamnya. Protein ECP dari S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki berat protein 51.8; 55.8 dan 62.3 kDa. Untuk pengujian keamanan vaksin ECP, vaksin disuntikan kelima ekor ikan nila dan dilihat perkembangannya selama 72 jam. Jika hingga jam ke-72 tidak muncul kematian dan gejala Streptococcosis maka vaksin ECP aman untuk digunakan. Vaksin yang dibuat disimpan dalam suhu 4 C, pellet dan supernatan akan terpisah. o Parameter yang diukur C sampai akan digunakan. Untuk mengetahui efikasi dari vaksin yang diberikan, dilakukan pengamatan pada beberapa parameter yaitu: • Parameter utama : pengukuran tingkat kelangsungan hidup relatif Relative Per cent SurvivalRPS. • Parameter pendukung : gambaran darah, patologi klinik darah, pengukuran indeks fagositik dan pengukuran titer antibodi. Cara kerja dan analisa data setiap parameter dijabarkan dalam metodologi umum. Vaksinasi bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik pada ikan nila Tahapan pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe non-hemolitik ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan vaksin sel utuh, ECP dan gabungan antara sel utuh dan ECP dari S. agalactiae tipe non-hemolitik serta vaksin gabungan antara sel utuh tipe non- hemolitik dengan ECP β-hemolitik dalam mencegah infeksi S. agalactiae. Sumber ECP yang digunakan adalah hasil dari penelitian uji toksisitas total ECP S. agalactiae sebelumnya. Masing-masing ikan diinjeksi vaksin sebanyak 0.1 mlekor. Ikan dipelihara selama 10 hari, kemudian setiap perlakuan diuji tantang dengan S. agalactiae dengan kepadatan 10 3 CFUml β-hemolitik dan 10 5 Tabel 28 Perlakuan pengujian efikasi vaksinasi Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik CFUml non- hemolitik pada hari ke-11 setelah vaksinasi. Setelah itu ikan dipelihara hingga hari ke-25 14 hari pasca uji tantang. Parameter pendukung diamati pada hari ke-0, 5, 10, 18 dan 25, sedangkan parameter utama RPS diamati diakhir pengamatan hari ke-25. Alur penelitian efikasi vaksin S. agalactiae tipe non-hemolitik sama dengan efikasi vaksin S. agalactiae tipe β-hemolitik, digambarkan seperti pada Gambar 33. Vaksinasi pada ikan nila, dilakukan dengan menyuntikan beberapa macam vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik seperti yang disajikan pada Tabel 28. Perlakuankode Vaksin Uji tantang 1 Tidak divaksin non 2 Tidak divaksin non-hemolitik 3 sel utuh non-hemolitik β-hemolitik 4 sel utuh non-hemolitik non-hemolitik 5 ECP non-hemolitik β-hemolitik 6 ECP non-hemolitik non-hemolitik 7 50 sel utuh non-hemolitik + 50 ECP non-hemolitik β-hemolitik 8 50 sel utuh non-hemolitik + 50 ECP non-hemolitik non-hemolitik 9 50 sel utuh non-hemolitik + 50 ECP β-hemolitik β-hemolitik 10 50 sel utuh non-hemolitik + 50 ECP β-hemolitik non-hemolitik 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 jum la h ik a n y a ng m a ti hari ke-setelah uji tantang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hasil dan Pembahasan 1 Tingkat kelangsungan hidup relatif Relative Per cent SurvivalRPS Dari hasil pengamatan beberapa parameter imunitas ikan diketahui bahwa vaksinasi dengan menggunakan vaksin sel utuh, ECP maupun gabungan keduanya dari S. agalactiae tipe non-hemolitik, kurang memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe atau proteksi tidak sebaik vaksin dari tipe β- hemolitik. Hal tersebut disebabkan karena dinding sel S. agalactiae tipe non- hemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat yang kurang bersifat imunomodulator atau kurang dapat meningkatkan imunitas ikan secara baik dibandingkan protein. Pada Gambar 37 terlihat kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik. Kematian yang tinggi justru pada ikan yang divaksin dengan ECP bakteri tipe non-hemolitik. Gambar 37 Grafik kematian kumulatif ikan nila yang divaksinasi dengan Streptococcus agalactiae tipe non-hemolitik. Perlakuankode mengikuti Tabel 28. Nilai RPS yang dihasilkan pada vaksinasi dengan menggunakan beberapa jenis vaksin terlihat pada Tabel 29. Dari tabel tersebut tampak bahwa kematian ikan tetap terjadi pasca vaksinasi, dan jumlah kematian ikan yang divaksin lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan yang divaksin menggunakan S. agalactiae tipe β-hemolitik. Perlakuan Tabel 29 Tingkat RPS ikan yang divaksin Streptococcus agalactiae tipe non- hemolitik Perlakuan Jumlah ikan yang mati RPS 1 2 87 2 16 - 3 6 62.5 4 4 75 5 22 td 6 10 37 7 7 56 8 8 50 9 2 87 10 7 56 Ket.: td=tidak terditeksi, Perlakuankode mengikuti Tabel 28. Vaksin sel utuh dan ECP non- hemolitik, sama seperti vaksin sel utuh β- hemolitik, juga memberikan proteksi lebih baik pada infeksi dari S. agalactiae yang setipe dengan vaksin. Dari tingkat kematian yang terjadi dapat dilihat bahwa perbedaan jenis vaksin yang diberikan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan tubuh. Vaksin dari sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki RPS 62.5 saat diuji tantang dengan tipe β-hemolitik 75 yang diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Ikan yang divaksin dengan ECP tipe non-hemolitik setelah diuji tantang dengan tipe β-hemolitik tidak memberikan proteksi karena kematian yang terjadi lebih tinggi dari kematian ikan yang tidak divaksin dan diinjeksi dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik. Sedangkan yang diuji tantang dengan tipe non- hemolitik RPS hanya 37. Artinya vaksinasi memberikan proteksi terhadap infeksi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik namun belum optimal Tabel 29. Vaksinasi dengan gabungan sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe non- hemolitik melindungi 56 ikan setelah diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan hanya 50 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan vaksinasi dengan gabungan antara sel utuh tipe non- hemolitik dan ECP tipe β-hemolitik memiliki RPS 87 saat diuji tantang dengan tipe β-hemolitik dan hanya 56 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik Tabel 29. Dari data di atas dapat diketahui bahwa vaksin terbaik adalah vaksin gabungan tipe non- hemolitik dengan β-hemolitik. Artinya penggunaan vaksin dari tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae tidak sebaik vaksin dari tipe β-hemolitik. Sedangkan jika digabung dengan tipe β- hemolitik memberikan proteksi yang lebih baik dibandingkan vaksin non- hemolitik sendiri. Lambatnya peningkatan respon imunitas pada ikan yang divaksinasi dengan sel utuh, ECP maupun gabungan keduanya dari S. agalactiae tipe non- hemolitik diduga disebabkan karena kapsul yang menyelubungi sel bakteri. Permukaan bakteri yang lebih banyak tersusun atas karbohidrat menyebabkan sulitnya menempel pada sel-sel dalam tubuh sehingga respon yang dimunculkan kepada inang juga menjadi lambat. Ikan yang mati kebanyakan adalah ikan yang mengalami perubahan baik pada tingkah laku berenang maupun adanya perubahan pada anatomi bagian luar dan dalam, berupa perubahan mata eksoptalmia, purulens, opacity, garis vertikal menghitam. Produk ekstrasellular S. agalactiae tipe non-hemolitik terdiri dari protein 51.8; 55,8 dan 62.8 kDa. Menurut Pasnik et al. 2005 kandungan protein pada ECP S. agalactiae yang digunakan sebagai vaksin pada ikan berkisar antara 47-75 kDa dan yang lebih dominan adalah protein 54 dan 55 kDa. Dilihat dari kadar protein yang terkandung dalam ECP tipe non-hemolitik sebenarnya hampir sama dengan ECP dari tipe β-hemolitik dan Pasnik et al. 2005, namun hasilnya kurang baik, hal ini dimungkinkan karena adanya protein 51.8 kDa yang kurang imunogenik terhadap ikan nila, namun ini masih perlu diuji lebih lanjut. Seperti yang diungkapkan Sheehan et al. 2009 bahwa vaksin S. agalactiae yang diberikan hanya mampu bereaksi pada infeksi bakteri yang setipe dengan tipe bakteri vaksin yang diberikan specific biotype protection. Dari Tabel 29 terlihat adanya specific biotype protection, bahwa vaksin dari tipe non-hemolitik sel utuh dan ECP memberikan proteksi lebih baik pada infeksi S. agalactiae tipe non-hemolitik. Selain itu, vaksinasi yang dilakukan setelah 14 hari uji tantang terlihat kurang meningkatkan komponen-komponen imunitas ikan baik spesifik maupun non spesifik. Ini menandakan bahwa bakteri utuh dari tipe non-hemolitik berkapsul kurang mampu meningkatkan respon imun spesifik maupun non spesifik sehingga saat S. agalactiae kedua tipe bakteri menginfeksi tubuh kurang mampu memberikan proteksi. 2 Gambaran darah ikan nila Parameter pendukung seperti gambaran darah dan patologi klinik darah diamati untuk mengetahui efikasi dari vaksinasi yang dilakukan, selain itu juga untuk membandingkan efikasinya dengan vaksin dari S. agalactiae tipe β- hemolitik yang sudah dilakukan sebelumnya. Parameter pendukung dijabarkan pada Tabel 30 di bawah ini dan data secara lengkap dijabarkan pada Lampiran 10. Tabel 30 Parameter pendukung efikasi vaksinasi vaksin non-hemolitik pada hari ke-14 pasca uji tantang Perlakuan Leukosit 10 selmm 5 Limfosit 3 Eritrosit 10 selmm 5 IP 3 Antibodi -log 2 He Hb g 1 1.3±0.005 75±2.5 34±0.6 9±1 25.3±0.3 12±0 2 2.8±0.002 68±3.0 24±1 14±2 43.3±0.4 8±1 3 1.3±0.001 79±1.0 30±2 20±1 2 32.3±0.3 10.7±0.6 4 1.3±0.001 82±1.0 33±2.5 24±1 2 29.3±1.1 11±1 5 2.3±0.009 73±3.0 25±0.6 12±0 24.3±0.4 7.3±0.6 6 1.8±0.005 67±2.0 26±2.1 20±3 1 30.3±0.4 8.7±0.6 7 1.6±0.003 81±1.0 30±2 17±0 2 29.3±0.7 9.3±0.6 8 1.8±0.005 75±1.0 29±1.2 16±1 2 29.6±1.4 9±0 9 1.3±0.001 80±3.0 31±1.5 26±0 3 28.9±1.1 10.3±0.6 10 1.5±0.001 81±1.0 29±1 17±1 3 26.3±0.3 9.9±0.1 Keterangan : Perlakuankode mengikuti Tabel 28. IP = indeks fagositik. He = hematokrit. Hb = hemaglobin Total leukosit Total leukosit sebagai respon seluler pertahanan non spesifik juga mengalami peningkatan pasca vaksinasi dengan bakteri tipe non-hemolitik. Peningkatan total leukosit terjadi secara signifikan pada hari ke-10 disemua perlakuan dan berbeda nyata dengan kontrol. Tidak seperti ikan kontrol yang tidak divaksin, peningkatan total leukosit ikan tidak setinggi ikan yang divaksin sehingga 46 ikan mati karena tidak mampu menghalangi berkembangnya S. agalactiae dalam tubuh. Hal ini diduga saat ada infeksi total leukosit meningkat untuk memfagosit bakteri infeksi dan setelah 7 hari pasca infeksi, bakteri berhasil difagosit dan tidak mampu untuk tumbuh dan berkembang sehingga ikan banyak yang mampu hidup. Memasuki hari ke-7 pasca uji tantang masih mengalami peningkatan dan hari ke-14 pasca uji tantang, total leukosit mulai turun namun tetap berbeda nyata dengan kontrol, ini menandakan bahwa infeksi bakteri mulai berkurang dan juga leukosit berada dalam jaringan yang terinfeksi untuk memfagosit bakteri. Dengan meningkatnya total leukosit akibat vaksinasi yang diberikan, menunjukkan bahwa vaksin dari sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik sebenarnya mampu menstimulus peningkatan sel-sel imunitas non spesifik ikan. Peningkatan total leukosit terjadi pada ikan yang tidak divaksinasi diakhir pengamatan. Hal ini dikarenakan bakteri masih belum berhasil dieliminir oleh tubuh sehingga tubuh masih memproduksi sel-sel leukosit, untuk memfagosit bakteri infeksi. Hampir sama halnya dengan ikan yang divaksinasi dengan vaksin dari tipe tipe non-hemolitik masih ditemukan adanya peningkatan. Hal ini menandakan bahwa leukosit belum seutuhnya mampu menghambat pertumbuhan dari bakteri patogen sehingga tubuh masih memproduksi leukosit untuk terus membunuh infeksi patogen sel-sel imunitas belum mampu mengeliminasi bakteri secara optimal. Deferensial leukosit Jenis leukosit pasca vaksinasi juga mengalami peningkatan namun khususnya limfosit yang berbeda nyata dengan kontrol pada hari ke-10. Memasuki hari ke-14 uji tantang masih ditemukan adanya kenaikan namun tidak berbeda nyata dengan kontrol perlakuan 2. Artinya vaksin yang diberikan sebenarnya mampu meningkatkan sel-sel darah putih. Titer antibodi terbentuk mulai hari ke-5 hingga hari ke-25 pasca vaksinasi. Namun titer antibodi yang terbentuk tidak sebanyak saat vaksinasi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik. Monosit meningkat pada hari ke-5 pasca vaksinasi namun tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan neutrofil mengalami peningkatan hingga hari ke- 18 pasca vaksinasi dan berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang mampu membantu meningkatan sel-sel imunitas non spesifik khususnya monosit sebaik vaksin dari S. agalactiae tipe β-hemolitik mampu menstimulus peningkatan monosit dan neutrofil secara bersamaan. Hal ini dapat disebabkan karena permukaan sel bakteri S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat yang kurang bersifat imunogenik. Total Eritrosit Jumlah total eritrosit ikan uji terlihat pada Tabel 30. Fluktuasi total eritrosit terjadi hampir di semua perlakuan. Data total eritrosit ini sejalan dengan kadar Hb, peningkatan terjadi saat adanya infeksi dan mengalami penurunan pada hari ke-7 pasca uji tantang, hal ini menunjukkan bahwa S. agalactiae masih mampu mengembangkan virulensinya dengan menghasilkan toksin hemolisin salah satunya dalam tubuh inang sehingga menyebabkan eritrosit lisis. Artinya. sel-sel fagosit dan antibodi belum mampu secara optimal memberikan proteksi terhadap keberadaan patogen dalam tubuh ikan. 3 Indeks fagositik Setelah vaksinasi, indeks fagositik tampak mengalami peningkatan namun indeks fagositik yang dihasilkan oleh ikan yang divaksin dengan ECP bakteri tipe non hemolitik tidak berbeda nyata dengan kontrol perlakuan 2. Vaksin ECP dan gabungan sel utuh dan ECP lebih mampu meningkatkan indeks fagositik pada hari ke-18 pasca uji tantang. Peningkatan indeks fagositik juga tidak sebanyak saat vaksinasi dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik. Meskipun peningkatan terjadi, namun tidak cukup untuk melawan adanya infeksi dari S. agalactiae karena hanya neutrofil yang meningkat secara nyata akibat vaksinasi, sehingga proteksi terhadap infeksi juga masih kurang masih ditemukan banyak ikan yang mati. 4 Titer antibodi Hasil pengamatan pada titer antibodi, ikan mampu memproduksi antibodi saat diuji aglutinasi dengan bakteri tipe β-hemolitik dan non-hemolitik sejak hari ke-5 vaksinasi. Titer tertinggi dicapai ikan rata-rata pada hari ke-10 pasca vaksinasi namun tidak sebesar saat vaksinasi dengan tipe β-hemolitik. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai jenis vaksin yang diberikan sebenarnya mampu membantu tubuh meningkatkan titer antibodi. Peningkatan titer antibodi yang tidak sebesar saat vaksinasi dengan tipe β- hemolitik sejalan dengan hasil total leukosit, limfosit dan indeks fagositik, bahwa vaksin dari sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang mampu menstimulus peningkatan komponen imunitas spesifik dan non spesifik ikan. 5 Patologi klinik darah ikan nila Hematokrit He Dari hasil pengamatan, He ikan kontrol positif tidak divaksin tapi diuji tantang dengan S. agalactiae tipe non-hemolitik mengalami peningkatan dan peningkatannya berbeda nyata dengan ikan yang divaksin. Hal tersebut disebabkan akibat adanya infeksi bakteri, peningkatannya terjadi sangat tinggi hingga hari ke-25 14 hari setelah uji tantang. Peningkatan He pasca uji tantang pada ikan yang divaksinasi juga terjadi namun peningkatannya hingga hari ke-7 pasca uji tantang dan peningkatan terus terjadi hingga hari ke-14 pasca uji tantang Perlakuan 8. Vaksinasi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik belum mampu memberikan proteksi terhadap ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae, artinya vaksin yang diberikan belum mampu membantu tubuh ikan untuk mencegah berkembangnya patogen secara optimal. Hemoglobin Hb Dengan pemberian vaksin, kadar hemoglobin ikan yang diinfeksi oleh S. agalactiae tipe non-hemolitik mengalami peningkatan awal infeksi dan mengalami penurunan pada hari ke-14 pasca uji tantang khususnya vaksinasi dengan ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik perlakuan 6 dan perlakuan 7 sel utuh + ECP tipe non-hemolitik. Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin dari tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi pada ikan terhadap infeksi S. agalactiae tipe non- hemolitik maupun tipe β-hemolitik. Dengan pemberian vaksin gabungan antara sel utuh non-hemolitik dan ECP β-hemolitik, kadar hemaglobin ikan diinfeksi oleh S. agalactiae tipe β- hemolitik tidak mengalami penurunan yang drastis artinya bakteri belum mampu tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga virulensi toksin hemolisin yang dikeluarkan masih mampu dihalau oleh sistem pertahanan spesifik dan non spesifik tubuh. Hasil ini sejalan dengan data kematian ikan bahwa ikan yang divaksin dengan gabungan tersebut mampu mencegah infeksi berasal dari bakteri tipe β-hemolitik dengan baik ditandai dengan RPS-nya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan infeksi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik. Glukosa darah Perubahan pada kadar glukosa darah akibat vaksinasi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik diamati untuk mengetahui dampak vaksinasi terhadap kondisi kesehatan ikan. Hasilnya, vaksinasi tidak menyebabkan perubahan pada keseimbangan tubuh stress dilihat dari peningkatan kadar glukosa pasca vaksinasi yang tidak signifikan dengan kontrol terutama pemberian vaksin sel utuh maupun gabungan sel utuh dan ECP. Sedangkan pasca uji tantang terjadi peningkatan hingga hari ke-14 pasca uji tantang pada ikan yang tidak divaksinasi tetapi diinjeksi dengan tipe non-hemolitik perlakuan 2 dan juga ikan yang divaksin dengan ECP dan diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Hal ini menandakan bahwa infeksi S. agalactiae mengganggu kesehatan ikan ditandai masih adanya peningkatan glukosa meskipun pada ikan yang divaksinasi. Dari hasil pengamatan pada hari ke-25 masih ditemukan peningkatan kadar glukosa darah, hal ini menandakan adanya infeksi bakteri. Secara keseluruhan vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe non-hemolitik belum efektif untuk mencegah infeksi dari kedua tipe S. agalactiae. 6 Kualitas air wadah budidaya Selama percobaan, pemeliharaan kualitas air juga dilakukan untuk menjaga tetap baik sehingga tidak menjadi pemicu stress pada ikan. Data kualitas air percobaan dijabarkan pada Tabel 31. Secara terperinci terlihat bahwa kualitas air disemua perlakuan tidak berbeda nyata baik suhu, O 2 terlarut, amoniak TAN dan CO 2 bebas berada dalam kisaran normal sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan artinya perbedaan hasil data kematian, perubahan parameter imunitas dan perubahan gejala lainnya disebabkan karena perbedaan perlakuan bukan karena kualitas air yang berbeda. Parameter kualitas air setelah penelitian tidak tampak adanya perubahan. Secara keseluruhan nilai kisaran kualitas air masih mendukung untuk kehidupan ikan nila. Dengan demikian, kualitas air bukan merupakan penyebab kematian dan perubahan pada parameter pendukung gambaran darah dan patologi klinik darah ikan nila selama penelitian. Tabel 31 Kualitas air pada hari ke-25 pasca vaksinasi dengan Streptococcus agalctiae tipe non-hemolitik Parameter Satuan Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Suhu o 27.7 C 27.2 27.3 27.4 27.4 27.1 27.6 27.7 27.3 27.5 O 2 mgl terlarut 5.14 5.96 5.25 5.21 3.80 3.90 5.27 5.40 4.60 4.48 TAN mgl 0.079 0.133 0.062 0.141 0.515 0.298 0.105 0.138 0.179 0.116 CO 2 mgl bebas 1.46 3.92 3.92 3.92 3.92 3.92 3.92 3.92 3.92 3.92 Simpulan Pengujian efikasi vaksinasi S. agalactiae tipe non-hemolitik yang telah dilakukan menghasilkan beberapa simpulan, yaitu : 1. Kandungan protein dalam ECP S. agalactiae tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media BHI selama 72 jam memiliki berat molekul 62.3; 55.8 dan 51.8 kDa dapat dijadikan vaksin namun respon yang dimunculkan terhadap respon imunitas spesifik dan non spesifik lambat dibandingkan dengan jenis vaksin dari S. agalactiae tipe β-hemolitik. 2. Dari tingkat RPS dapat dilihat bahwa perbedaan jenis vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik yang diberikan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan tubuh. Vaksin sel utuh tipe non-hemolitik memberikan proteksi pada kedua tipe bakteri namun bersifat spesifik biotipe proteksi dan proteksi yang diberikan tidak sebaik vaksin sel utuh dari tipe β-hemolitik. Vaksin ECP tipe non-hemolitik tidak memberikan proteksi terhadap infeksi S. agalactiae kedua tipe. Vaksinasi gabungan sel utuh dan ECP tipe non-hemolitik memberikan poteksi kurang dari 60 pada kedua tipe bakteri. 3. Vaksin yang memberikan proteksi terbaik dari tipe non-hemolitik adalah vaksin gabungan sel utuh tipe non-hemolitik dan ECP tipe β-hemolitik. 4. Vaksin dari S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi pada infeksi S. agalactiae kedua tipe, tidak sebaik vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe β-hemolitik. PEMBAHASAN UMUM Bakteri S. agalactiae yang menyerang ikan nila dikelompokan menjadi 2 kelompok berdasarkan kemampuannya melisis darah yaitu tipe β-hemolitik dan non-hemolitik sama seperti yang ditemukan oleh Sheehan et al. 2009. Perbedaan keduanya yaitu bakteri β-hemolitik mampu melisis eritrosit dengan sempurna yang ditunjukkan dengan adanya zona bening pada media agar darah. Sedangkan bakteri non-hemolitik tidak mampu melisis eritrosit sehingga tidak terbentuk zona pada media agar darah. Bakteri tipe β-hemolitik Isolat N 14 G dan tipe non-hemolitik Isolat N 3 M, N 4 M, N 17 O, NK 1 memiliki karekteristik morfologi yang hampir sama yaitu pada pengujian motilitas, oksidatif-fermentatif, katalase, tumbuh dalam NaCl 6,5, hidrolisis aesculin dan D-mannitol. Perbedaan terletak pada pertumbuhan dalam bile salt 40. Bakteri tipe β- hemolitik dapat tumbuh baik pada media bile salt 40 namun bakteri tipe non- hemolitik umumnya tidak tumbuh. Uji karakteristik dasar S. agalactiae adalah bahwa harus memenuhi 4 kriteria dasar yaitu: termasuk Gram positif, aeskulin dan hidrolisis D-mannitol negatif dan hipurat positif. Perbedaan keduanya juga terletak pada kemampuan menghidrolisis berbagai macam gula. Dari hasil pengamatan, bakteri tipe β-hemolitik isolat N 14 G memiliki kemampuan menghidrolisis gula lebih banyak termasuk arabinose, sorbitol, lactose, trehalose dan starch, sedangkan bakteri tipe non-hemolitik isolat N 3 M, N 4 M, N 17 O dan NK 1 Dari pengujian ekspresi fenotip, derajat hidrofobisitas dan aktivitas hemaglutinin yang dilakukan, S. agalactiae dikelompokkan dalam tipe berkapsul dan non-kapsul. Kelima isolat S. agalactiae pada ikan diduga ada yang memiliki kapsul dan ada juga yang tidak berkapsul, jika dilihat berdasarkan pengujian fenotipik, derajat hidrofobisitas dan kemampuan hemaglutinin bakteri yang memiliki rantai pendek, permukaan selnya lebih banyak tersusun atas protein bakteri mampu didegradasi oleh larutan ammonium sulfat konsentrasi rendah yaitu 0.2-1.6 M, pertumbuhan jernih dan terdapat endapan dalam media cair umumnya hanya sedikit menghidrolisis gula. Sama halnya dengan pengamatan yang dilakukan oleh Sheehan et al. 2009 dimana S. agalactiae tipe β-hemolitik mampu menghidrolisis gula lebih banyak. dapat dikelompokkan kedalam bakteri tidak berkapsul isolat 3 dan bakteri yang berantai panjang, permukaan selnya lebih banyak tersusun atas karbohidrat bakteri hanya mampu didegradasi oleh larutan ammonium sulfat konsentrasi tinggi 1.6 M, pertumbuhan keruh dalam media cair dapat dikelompokkan ke dalam bakteri berkapsul isolat 2,4,5 sedangkan isolat 1 masih diperlukan penelitian lebih lanjut namun kecenderungan dapat dikelompokkan kedalam bakteri tidak berkapsul. Perbedaan karakteristik ternyata berkaitan dengan patogenisitasnya terhadap inang. Dari hasil pengamatan keseluruhan gejala tingkah laku dan perubahan pada anatomi organ luar secara makroskopis yang muncul pasca injeksi menunjukkan bahwa S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih virulen perubahan lebih cepat terjadi dan gejala yang muncul lebih banyak dibandingkan dengan tipe β-hemolitik, selain itu kematian ikan pasca injeksi dengan bakteri terlihat bahwa S. agalactiae tipe non hemolitik lebih cepat menyebabkan kematian yaitu mulai pada jam ke-8 pa sca injeksi sedangkan isolat β-hemolitik baru pada jam ke- 48. Jumlah ikan yang mati pada hari ke-14 akibat injeksi S. agalactiae non- hemolitik 53.3 lebih banyak dibandingkan dengan bakteri tipe β-hemolitik 48.3. Hal tersebut disebabkan karena S. agalactiae tipe non-hemolitik memiliki kapsul pada permukaan selnya tersusun lebih banyak karbohidrat sehingga sulit untuk dicerna atau difagosit oleh sel fagositik, sehingga lebih mudah untuk berkembang dan menyebarkan virulensi dalam tubuh inang. Selain itu kandungan protein yang dimungkinkan sebagai toksin dan enzim hasil dari SDS-PAGE dalam S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak jumlah dan jenisnya. Pengujian toksisitas ECP dari kedua tipe bakteri menunjukkan hasil yang hampir sama, baik ECP bakteri tipe β-hemolitik maupun non-hemolitik keduanya menyebabkan kematian pada ikan nila pada jam ke-12 pasca injeksi. Kematian pada hari ke-7 pasca injeksi mencapai 60 pada penginjeksian ECP dari bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan pada media padat BHIA. Perubahan pola renang whirling umumnya terjadi pada ikan yang diinjeksi dengan ECP non- hemolitik disemua perlakuan. Sedangkan ikan yang diinjeksi dengan ECP β- hemolitik hanya terjadi pada ECP yang ditumbuhkan pada media BHIA dan BHI dengan lama inkubasi 72 jam. Hal ini dimungkinkan karena ada proses kematangan sel, bakteri dapat memproduksi ECP terbanyak saat pertumbuhan maksimal Pasnic et al., 2005. Pengujian toksisitas menunjukkan bahwa lama inkubasi 48 jam lebih banyak menyebabkan kematian dikedua tipe bakteri. Bakteri tipe non-hemolitik yang ditumbuhkan dalam media padat BHIA lebih banyak menghasilkan ECP 28.18 ppm dibandingkan dengan yang tumbuh pada media BHI 13.64 ppm. Hal ini disebabkan karena selain nutrisi yang terkandung dalam media padat lebih mendukung pertumbuhan, media padat menjadi tempat yang baik untuk bakteri menempel seperti dalam inang. Sedangkan bakteri tipe β- hemolitik yang ditumbuhkan dalam media cair dengan lama inkubasi 72 jam lebih banyak mengandung protein dalam ECP-nya 8.18 ppm dan 2.73 ppm saat bakteri ditumbuhkan dalam media padat dengan lama inkubasi 24 jam. Secara keseluruhan ada keterkaitan antara tipe bakteri, media tumbuh dan lama inkubasi terhadap produksi ECP S. agalactiae. Semakin lama masa inkubasi 48 jam semakin banyak jumlah dan jenis ECP yang dihasilkan sehingga toksisitanya lebih tinggi. Pemanfaatan protein bakteri sebagai vaksin sudah banyak dilakukan pemanfaatan supernatan bakteri Aeromonas hydrophila sebagai vaksin oleh Murtiningsih 2003, menghasilkan rata-rata sintasan 66.7-100 dibandingkan kontrol yang hanya 12.5. Vaksin sel utuh, ECP 3 kDa dari satu isolat S. agalactiae dengan cara perendaman baru menghasilkan sintasan 34 Evan et al., 2004. Pemanfaatan ekstrak protein S. difficile 1 isolat dengan cara injeksi, kematianannya hanya 8 sedangkan kontrol 100. Penggunaan ECP sebagai sumber vaksin dilakukan baik dari isolat tipe β-hemolitik maupun non-hemolitik. Hasilnya, vaksin jenis sel utuh , ECP dan gabungan keduanya dari satu isolat β- hemolitik mampu meningkatkan sel-sel imunitas ikan nila baik spesifik maupun non spesifik dan nilai RPS tertinggi terjadi pada ikan yang divaksin dengan vaksin jenis gabungan ECP dan sel utuh, yaitu 92 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan 75 saat diuji tantang dengan tipe non- hemolitik. Peningkatan titer antibodi juga terlihat pada ikan yang diinjeksi dengan semua jenis vaksin dari bakteri tipe β-hemolitik. Keberhasilan ini disebabkan karena bakteri tipe ini permukaan selnya lebih banyak tersusun atas protein yang mudah untuk menempel dan diuraikan oleh sel-sel imunitas ikan, sehingga cepat meningkatkan kerja sel-sel pertahanan sel fagosit dan sel limfosit sebagai pembentuk antibodi. Selin itu juga, protein bersifat imunogenik yang dapat meningkatkan respon imun pada ikan. Vaksin dari S. agalactiae tipe β- hemolitik mampu meningkatkan imunitas spesifik dan non spesifik dengan baik disebabkan karena bakteri tipe ini permukaan selnya lebih banyak tersusun atas protein yang bersifat imunomodulator. Sedangkan karbohidrat, lemak dan vitamin kurang berperan sebagai imunomodulator kecuali berikatan dengan protein lipopolysakarida. Vaksinasi dengan menggunakan sel utuh maupun ECP dari S. agalactiae tipe non-hemolitik juga dilakukan dan hasilnya tidak sebaik saat vaksinasi menggunakan bakteri S. agalactiae tipe β-hemolitik. Nilai RPS terbaik dicapai saat vaksinasi dengan menggunakan jenis vaksin gabungan sel utuh S. agalactiae tipe non-hemolitik dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik yaitu 87 saat diuji tantang dengan S. agalactiae tipe β-hemolitik dan hanya 56 saat diuji tantang dengan tipe non-hemolitik. Sedangkan jenis vaksin yang lain nilai RPSnya bervariasi. Dari hasil pengujian efikasi vaksinasi memperlihatkan bahwa ada kemampuan spesifik dari vaksin saat membantu mencegah infeksi patogen. Ini terlihat bahwa baik vaksin sel utuh maupun ECP lebih besar melindungi tubuh ikan saat terinfeksi S. agalactiae yang setipe dengan vaksin yang diberikan. Permukaan S. agalactiae tipe non-hemolitik lebih banyak tersusun atas karbohidrat. Karbohidrat kurang imonogenik terhadap ikan dibandingkan dengan protein, namun jika digabungkan antar karbohidrat, protein dan lemak akan menjadi bahan yang lebih imunogenik dibandingkan karbohidrat itu sendiri. Itu lah salah satu faktor yang menyebabkan vaksinasi yang dilakukan dengan menggunakan S. agalactiae tipe non-hemolitik kurang memberikan proteksi yang baik terhadap ikan nila. Secara keseluruhan vaksinasi dengan menggunakan S. agalactiae tipe non- hemolitik belum efektif untuk mencegah infeksi S. agalactiae dari kedua tipe. Perbandingan efikasi vaksinasi kedua tipe bakteri dapat dilihat dari parameter pendukungnya Tabel 32. Tabel 32 Parameter pendukung efikasi vaksin Streptococcus agalactiae tipe β- hemolitik dan non hemolitik Parameter Hemolitik Non-hemolitik Gambaran darah : Total Leukosit • Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Hari ke 7 pasca uji tantang sudah mengalami penurunan • Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Hari ke 7 pasca uji tantang masih mengalami peningkatan Total Eritrosit • Penurunan akibat uji tantang tidak terjadi secara signifikan • Ada penurunan total leukosit pada hari ke 14 setelah uji tantang Differensial leukosit • Hari ke 5 pasca vaksinasi mengalami peningkatan hingga hari ke 7 pasca uji tantang • Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan hingga hari ke 14 pasca uji tantang Indeks fagositik • Hari ke 10 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Peningkatan tidak berbeda nyata dengan kontrol Titer antibody • Hari ke 5 pasca vaksinasi mengalami peningkatan • Mencapai 11 -log 2 • Hari ke 5 pasca vaksinasi mengalami peningkatan pada hari ke 10 • Mencapa 5-6 -log 2 pada hari ke 10 Patologi klinik darah : Hematokrit • Peningkatan tidak signifikan dan berbeda sangat nyata dengan kontrol positif pada hari ke 14 pasca uji tantang • Peningkatan terus terjadi hingga hari ke 14 pasca uji tantang Hemoglobin • Setelah uji tantang tidak mengalami penurunan • Terjadi peningkatan awal infeksi dan mengalami penurunan pada hari ke 14 pasca uji tantang Glukosa darah • Vaksinasi tidak menyebabkan peningkatan dan pasca uji tantang juga tidak menyebabkan peningkatan • Pada hari ke 14 pasca uji tantang masih ditemukan peningkatan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keseluruhan penelitian yang mencakup lima tahapan yaitu 1 Pengujian Karakteristik Bakteri Streptococcus agalactiae yang Menginfeksi Ikan Nila Oreochromis niloticus; 2 Pengujian Patogenisitas Bakteri Streptococcus agalactiae T ipe β-hemolitik dan Non-hemolitik pada Ikan Nila Oreochromis niloticus; 3 Toksisitas Produk Ekstrasellular ECP Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila Oreochromis niloticus; 4 Efikasi Sel Utuh dan Produk Ekstrasellular Bakteri Streptococcus agalactiae T ipe β-hemolitik Sebagai Vaksin untuk Pengendalian Streptococcosis pada Ikan Nila Oreochromis niloticus dan 5 Efikasi Sel Utuh dan Produk Ekstrasellular Bakteri Streptococcus agalactiae Tipe Non-Hemolitik Sebagai Vaksin untuk Pengendalian Streptococcosis pada Ikan Nila Oreochromis niloticus menghasilkan beberapa simpulan yang dapat menjawab beberapa permasalahan mengenai S. agalactiae yang menyerang ikan selama ini. Beberapa simpulan tersebut antara lain : 1. Bakteri S. agalactiae yang menginfeksi ikan khususnya ikan nila ada dua tipe yaitu tipe β-hemolitik isolat 3 dan non hemolitik isolat 1, 2, 4 dan 5. Bakteri tipe non-hemolitik lebih banyak ditemukan menginfeksi ikan nila. Perbedaan kedua tipe bakteri tersebut dapat dikaitkan dengan keberadaan kapsul pada permukaan selnya. Bakteri tipe β-hemolitik cenderung permukaannya tersusun atas protein yang termasuk bakteri non-kapsul. Sedangkan bakteri isolat 2, 4, 5 cenderung permukaan selnya lebih banyak tersusun atas karbohidrat yang dapat dikelompokkan kedalam tipe berkapsul. 2. Perbedaan karakteristik pada S. agalactiae yaitu tipe β-hemolitik dan non- hemolitik berpengaruh terhadap patogenisitasnya. Bakteri tipe non-hemolitik lebih virulen, dilihat dari waktu dan jumlah kematian yang disebabkan lebih cepat dan lebih banyak. Selain itu waktu munculnya gejala Streptococcosis whirling juga lebih cepat yaitu 96 jam pasca injeksi dan 120 jam pasca injeksi bakteri tipe β-hemolitik. 3. Salah satu faktor virulen S agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik adalah ECP. Penginjeksian ECP dari kedua tipe bakteri menyebabkan kematian pada jam ke-12 pasca injeksi. Gejala Streptococcosis yang muncul seperti eksoptalmia, opacity, purulens dan whirling sama dengan gejala yang muncul saat penginjeksian dengan sel utuh S. agalactiae kedua tipe. Hasil SDS-PAGE menunjukkan jumlah dan jenis protein yang terkandung dalam bakteri tipe non-hemolitik lebih banyak. Inilah yang diduga sebagai salah satu penyebab tingginya virulensi pada tipe non-hemolitik. 4. Vaksinasi gabungan antara sel utuh dengan ECP dari S. agalactiae tipe β- hemolitik mampu meningkatkan respon imunitas spesifik dan non spesifik serta mampu memberikan proteksi terbaik kepada ikan nila terhadap infeksi S. agalactiae bertipe β-hemolitik maupun non-hemolitik, jika dibandingkan dengan vaksin sel utuh, ECP dari isolat tunggal β-hemolitik atau non- hemolitik, juga lebih baik dari vaksin gabungan dengan tipe non-hemolitik. Saran Vaksin yang potensial untuk mencegah infeksi S. agalactiae kedua tipe yaitu β-hemolitik dan non-hemolitik telah dihasilkan dalam penelitian ini. Namun masih perlu dilakukan beberapa penelitian lanjutan yang berkaitan dengan vaksin S. agalactiae ini, antara lain : 1. Pengamatan mengenai durasi, cara penyimpanan dan kemungkinan penggabungan dengan adjuvant. 2. Perlu dikaji lebih lanjut untuk vaksinasi dengan cara perendaman dalam aplikasi di lapangan dengan menggunakan komposisi vaksin terbaik dari hasil penelitian ini. 3. Melakukan pengujian efikasi vaksin hasil terbaik dengan melakukan uji tantang dengan S. agalactiae bivalen gabungan antara tipe β-hemolitik dan non-hemolitik. 4. Penelitian vaksinasi dengan menggunakan protein rekombinan dari ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik yang kemungkinan dapat memberikan level protektif lebih baik dari vaksin gabungan sel utuh dan ECP S. agalactiae tipe β-hemolitik. DAFTAR PUSTAKA Adam, SM. 1990. Status and use of biological indicator for evaluating the effect of stress on fish. A.Fish.Society Symposium 8: 1-8 Alcaide, EE., Sanjuan, F. de la Gandara, A Garcia-Gomez. 2000. Susceptibility of amberjack Seriola dumerili to bacterial fish pathogens. Bull.Eur. Assoc. Fish Pathol. 20:153-156. Almendras, JME. 2001. Immunity and biological methods of disease prevention and control. In: Health management in aquaculture. G.D. Liopo, C.R. Lavilla and E.R. Cruz-Lacierda Eds.. Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center, Philippines:111-136. Anderson, DP. 1974. Fish immunology. Hongkong: TFH Publication Ltd. pp 182 Anderson, DP., AK Siwicki. 1995. Basic hematology and serology for fish health programs. Paper presented in second symposium on diseases in Asian Aquaculture “Aquatic Animal Health and the Environment”. Phuket, Thailand. 25 – 29 th Anderson, DP.1990. immunological indicators : Effects of environmental stress on immun protection and disease outbreaks. A.Fis. society Symposium 8 : 38-50 October 1993. 17 hal Austin B., DA Austin. 2007. Bacterial fish pathogens. Fourth Edition. New York: Praxis Publishing Ltd. pp 552 Baya AM et al. 1990. Association of Streptococcus sp. with fish mortalities in the Chesapeak Bay and its tributaries. Journal of Fish Diseases 13: 251-253. Bercovier, H., C Ghittino, A Elder. 1997. Immunization with bacterial antigens: infections with streptococci and related organism. Dev. Biol. Stand. 90: 153–160. Berridge, BR., H Bercovier, PF Frlier. 2001. Streptococcus agalactiae and Streptococcus difficile 16 S-23S intergenic rDNA: genetic homogeneity and spesies-specific PCR. Vet.Microbiol. 78: 165-173 Blaxhall, PC., KW Daisley. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. J. Fish Biol. 5: 577-581 Bohnsack, CJ et al. 2004. Serotype III Streptococcus agalactiae from bovine milk and human neonatal infections. Emerging Infectious Diseases 10: 1412- 1419. Bonar, CJ., RA Wagner. 2003. A third report of “golf ball disease” in an Amazon river dolphin Inia geoffrensis associated with Streptococcus iniae. J. of Zoo and Wildlife Medicine 34: 296-301. Bromaga, ES., A Thomas, L Owens. 1999. Streptococcus iniae, a bacterial infection in barramundi, Lates calcarifer. Dis. Aquat. Org. 36: 177-181. Bullock, GL. 1971. Diseases of fishes. Book 2A: Bacterial diseases of fishes. TFH Pub. Nepture pp. 42-50. Chen, SC et al. 2002. Lactococcus garvieae, a cause of disease in grey mullet, Mugil cephalus L., in Taiwan. J. Fish Dis. 25: 727-732. Chen, SC., A Adams, RH Richards. 1997. Extracellular products from Mycobacterium spp. in fish. J. of Fish Diseases 20: 19–25 Christie, R., NE Atkins, EA Munch-Petersen. 1994. A note on lytic phenomenon shown by group B streptococci. The Australian J. of Biol. and Med. Science 22: 197-200 Clem, LW., E Faulman, NW Miller, C Ellsaesser, CJ Lobb, MA Cuchens. 1985. Monocytes as accessory cells in fish immune respones. Developmental and comparative immunology 9: 803 – 809 Courtney, HS., DL Hasty, I Ofek. 1990. Hydrophobicity of group A streptococci and its relationship to adhesion of streptococci to host cells. In Microbial Cell surface hydrophobicity Edited by R.J. Doyle and Mel Rosenberg. Washington USA: American Society for Microbiology pp. 361-386 Craig WA. 1998. Choosing an antibiotic on the basis of pharmacodynamics. Ear NoseThroat J. 77:7-11. Dellmann, HD. 1989. Veterinary histology. Penerjemah: Hartono R. Universitas Indonesia Press pp. 297. Dorson, M. 1984. Applied immunology of fish. Symposium of Fish Vaccination. O.I.E. Fish Diseases Commission. Paris: 39-74. Duguid, JP., IPW Smith, G Dempster and PN Edmunds. 1955. Nonflagellar filamentous appendages “fimbriae” and haemagglutinating activity in bacterium coli. J.Pathol.Bacteriol., 70:335-348. Elder A, A Horovitez, H Bercovier. 1997. Development and efficacy of a vaccine against Streptococcus iniae infection in farmed rainbow trout. Vet. Immunol. Immunopathol. 56: 175-183. Elder A, Y Bejerano, A Livoff, A Horovitcz, H Bercovier. 1994. Experimental streptococcal meningo-encephalitis in cultured fish. Vet. Microbial. 43: 33-40. Elder, A., C Ghittino. 1999. Lactococcus garvieae and Streptococcus iniae infections in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss: similar but different diseases. Dis.Aquat. Org. 36: 227-231. Elliott, JA., RR Racklam, CB Richter. 1990. Whole-cell protein patterns of nonhemolytic group B, type Ib, streptococci isolate from humans, mice, cattle frog, and fish. J. of Clinical microbiology 28: 628-630. Ellis AE. 1988. Fish vaccination. Academic Press Ltd. London: pp 255. Ellis, AE. 1989. The immunology of teleosts. In : Robert, RJ. Ed. Fish Pathology. Bailiere Tindal. London. pp. 135 – 152. Evans, JJ et al. 2002. Characterization of beta-haemolytic group B Streptococcus agalactiae in cultured seabream, Sparus auratus L., and wild mullet, Liza klunzingeri day, in Kuwait. J. Fish Dis. 25: 505-513. Evans, JJ. 2003. Effects of sublethal dissolved oxygen stress on blood glucose and susceptibility to Streptococcus agalactiae in nile tilapia Oreochromis niloticus. Journal of Aquatic Animal Health 15: 202-208 Evans, JJ., DJ Pasnik, PH Klesius, S Al-Ablani. 2006b. First report of Streptococcus agalactiae and Lactococcus garviae from a wild bottlenose dolphin Tursiops truncatus. Journal of Aquatic Animal Health 18: 212- 216 Evans, JJ., PH Klesius, CA Shoemaker. 2006a. An overview of Streptococcus in warmwater fish. Aquac. Health Int. 7: 10-14. Evans, JJ., Phillip, Craig AS. 2004. Efficiency of Streptococcus agalactiae group B vaccine in tilapia Oreochromis niloticus by intraperitoneal and bath immersion administration. Vaccine 22: 3769-3773 Evenberg, D., de Graaff D, Fleuren W, van Muiswinkel WB. 1986. Blood changes in carp Cyprinus carpio induced by ulcerative Aeromonas salmonicida infections. Vet. Immunol. Immunopathol., 12: 321-330. Fange, R. 1982. A comperative study of lymphomieloid tissue in fish. Developmental and comperative immunology Supplement 2: 23 – 33. Ferguson, HW. 1989. Systemic pathology of fish. Lowa State University Press: Ames. pp 263 Filho CI, EE Muller, LG Pretto-Giordano, Ana Paula FRL. Bracarense. 2009. Histological findings of experimental Streptococcus agalactiae infection in nile tilapias Oreochromis niloticus. Braz J Vet Pathol, 21: 12-15 Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Penerbit Rineka Cipta. 179 hal. Garcia, JC., PH Klesius, JJ Evans, CA Shoemaker. 2008. Non-infectivity of cattle Streptococcus agalactiae in Nile tilapia, Oreochromis niloticus and channel catfish, Ictalurus punctatus. Aquaculture 281:151-154. Golub, ES. 1987. Immunology a synthesis. Sinauer Associates, Inc. Sunderland- Massachusetts. pp 551. Gottschalk M., Lebrun A., Jacquest M., Higgins R. 1990. Hemagglutination properties of Streptococci suis. J Clin.Microbiol. 28: 2156-2158. Hinton, DE and DJ Lauren. 1990. Integrative histopathological approaches to detecting effects of environmental stressors of fishes. American Fisheries Society Symposium, 8:51-66 Ilstrup, DM. 1990. Statistical methods in microbiology. Clin. Microbiol. Rev. 3: 219-226. Isaacon, RE. 1985. Pilus Adhesin in: Sevage, D.C and Fletcher, M Ed. Bacterial Adhesin Mechanishm and Physiological Significance. New York: Plenum Publishing Corp. 307-336 Jawetz, E., Melnick, JL and Adelberg, EA. 1982. Microbiology for Medicine. 14th ed. Lange Medical Publications. Los Altos. California. pp 258 Joklik, WK., Willett HP., Amos DB., Wilfert CM. 1992. Zinsser microbiology. 20 th Kamiso, HN. 1996. Vibriosis pada ikan dan alternatif cara penanggulangannya. J. Perikanan UGM GMU J.Fish Sci. 1 1: 78 – 86 ed. Appleton and Lange. California. 401-413. Kane, JA., AE Rabkin, WW Karakawa. 1975. Demostration of the capsular antigens of bovine group B streptococci by serum method. J.Clin. Microbiol. 2: 35-41 Kawahara, E and S Nomura. 1990. Lethality and immunogenicity of Aeromonas salmonicida extracellular products to salmonids in R. Hirano and I. Hanyu Eds, Proc. Of The Second Asian Fisheries Forum, Tokyo Japan, 17-22 April 1989. 671-674 Kawamura, Y et al. 2005. Hight genetic similarity of Streptococcus agalactiae and Streptococcus difficilis: S. dificilis Elder et al.1995 is a later synonym of S. agalactiae Lehmann and Neumann 1896 Approved List 1980, Int. J. Syst Evol Microbiol. 55: 961-965 Klesius, PH., JJ Evans, CA Shoemaker. 2007. The macrophage chemotactic of S. agalactiae and S. iniae extracellular products ECP. Fish and Shellfish Immunology 22: 443-450 Kurl, DN., Haataja S., Finne J. 1989. Hemagglutination Activities in Streptococcus suis. Infect.Immun. 57: 384-389. Laemmli, UK. 1970. Cleavage of structural protein during assembly of the head of bacteriophage T4. Nature, 227: 680-685. Lamas, J., Y Santos, D Bruno, AE Toranzo and R Anadon. 1994. A comparison of pathological changes caused by Vibrio anguillarum and its extracellular products in rainbow trout Onchorhynchus mykiss. J. of Fish Pathology, 29 2:79-89. Lammler, C., IWT Wibawan. 1993. Relation between Capsular Sialylation and Various Properties of a Group B Streptococcus of Serotype III. XII Lancefield Ins. Symp. On streptococci and streptococcal Dis. St. Petersburg, Russia. Lehninger, AL. 1990. Principles of Biochemistry. Cet. ke-2. Penterjemah: M. Thena- widjaja. Penerbit Erlangga, Jakarta. Lindahl, G., M Stalhammar-Carlemalm, T Areschoug. 2005. Surface proteins of Streptococcus agalactiae and related proteins in other bacterial pathogens. Clinical Microbiology 18: 102-127. Ljungh, A., S Hjerten, T Wadstrom. 1985. High surface hidrophobicity of aggregating Staphylococcus aereus strain isolate from human infections studied with Salt Aggregation Test. Infect. Immun., 47: 522-526 Lusiastuti, AM. 2009. Potensi imunogenik sel utuh whole cell Streptococcus agalactiae yang diinaktivasi dengan formalin untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila Oreochromis niloticus. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan : 1-16 Lusiastuti, AM., Gardenia L, Mufidah T, Aryati Y. 2009. First Report of Streptococcus agalactiae of Tilapia Oreochromis niloticus from Cirata Reservoir of West Java. Indonesia Aquaculture Journal, in press. Mata, AI., MM Blanco, L Dominguez, JF Fernandez-Garayzabal, A Gibello. 2003. Development of a PCR assay for Streptococcus iniae based on the lactate oxidase lctO gene with potential diagnostic value. Vet. Microbiol., 46:225-229 Merl, K., A Abdulmawjood, C Lammler, M Zschuck. 2003. Determination of epidemiological relationships of Streptococcus agalactiae isolated from bovine mastitis. FEMS Microbiol. Lett. 226 1: 87-92. Mueller M, De la Pena A, Derendorf H. Issues in pharmacokinetics and pharmacodynamics of anti-infective agents: kill curves versus MIC. Antimicrobial agents and chemotherapy 2004;48:369-77. Murdjani, M. 2002. Identifikasi dan patologi bakteri Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis [Desertasi]. Malang: Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya. Muzquiz, JL. et al. 1999. Pathogenicity of streptococcosis in rainbow trout Oncorhynchus mykiss: dependence on age of diseased fish. Bull. Eur. Assoc. Fish Pathol. 19: 114-119. NCCLSNational Committee of Clinical Laboratory Standards. 1998. Performance standards for antimicrobial disc susceptibility tests. Pproved Standard ASM-2, Villanova, PA. Vol. 14, No. 16: pp 64 Newton, JC., PL Triche. 1993. Electrophoretic and immunochemical characterization of lipopolysaccharide of Edwardsiella ictaluri from channel catfish. Journal of Aquatic Animal Health 5:246–253. Newton, JC.,WT Blevins, GR Wilt, LG Wolfe. 1990. Outer membrane protein profiles of Edwardsiella ictaluri from fish. American J. of Veterinary Research 51 2: 211–215. Ototake, M and H Wakabayashi. 1985. Characteristics of extracellular products of Flavobacterium sp., a pathogen of bacterial gill diseases. J. of Fish pathology, 202:167-171. Pasaribu, FH., N Dalimunthe dan M Poeloengan. 1990. Pengobatan dan pencegahan penyakit ikan bercak merah. Prosiding Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang 16-18 Januari. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian: 143-152. Pasnik DJ et al. 2005, Antigenicity of Streptococcus agalactiae extracellular products and vaccine efficacy. Journal of Fish Diseases 28: 205–212 Pelczar, MJ., ESC Chan, NR Krieg. 1986. Microbiology. 5 th Pereira, UP et al. 2010. Genotyping of Streptococcus agalactiae strains isolated from fish, human dan cattle and their virulence potential in Nile tilapia. J. Veterinary Microbiology 140:186 – 192. Ed. McGraw-Hill Book Company. 687-702. Plumb, JA., JH Schachte, JL Gaines, W Peltier, B Carroll. 1974. Streptococcus sp. from marine fishes along the Alabama and Northwest Florida coast of the Gulf of Mexico. Transactions of the American Fisheries Society 103: 358- 361. Purwaningsih, Uni. 2009. Potensi imunogenik sel utuh whole cell Streptococcus agalactiae yang diinaktivasi melalui proses pemanasan untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila Oreochromis niloticus. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan : 1-8 Rahadjo, MF. 1985. Ichtyologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor : 45-60 Rasheed, V and JA Plumb. 1984. Pathogenicity of a non-haemolytic group B Streptococcus sp. in gulf killifish, Fundulus grandis Baird and Girard. Aquaculture 37: 97-105. Rijkers, GT. 1982. Kinetic of humoral and cellular immune reactions in fish. Developmental and Coperative Immunology supplement 2: 93– 100 Roth, JA. 1988. Virulence mechanism of bacterial pathogens. American Society for Microbiology, USA. pp 317 RUMAResponsible Use of Medicines in Agriculture Alliance. 2006. Responsible use of vaccines and vaccination in fish production. National Office of Animal Health NOAH. pp 24 Salati F. 1988. Vaccination against Edwardsiella tarda. Dalam : Fish Vaccination. New York: Ellis Academic Press. 135 – 151 Santos, YS et al. 1992. Comparison of the extracellular biological activities of Vibrio anguillurum and Aeromonus hydrophila. Aquaculture 07: 259-270 Sheehan Brian et al. 2009. Streptococcal diseases in farmed tilapia. Aquaculture Asia pacific vol. 5 No. 6:26-29 Sirirat, T., J Intuseth, J Chanphong, K Thompson, S Chinabut, A Adams. 1999. Characterisation of Aeromonas hydrophila Extracellular Products with Reference to Toxicity, Virulence, Protein Profiles and Antigenicity. Asian Fisheries Science 12: 371-379 Skalka, B., Smola J, Pillich J. 1979. A simple method of detecting staphylococcal hemolysin. Zb Bakteriol Hyg I Abt Org A 245: 283-286. SNIStandar Nasional Indonesia. 2009. Metode identifikasi bakteri pada ikan secara konvensional–Bagian 3 : Streptococcus iniae dan Streptococcus agalactiae. Badan Standardisasi NasionalBSN. SNI 7545.3:2009. 12 hal Souter, BW. 1984. Immunization with vaccines. Departement of Fish an Ocean. Winnipeg. Mannitoba: 111-117. Suanyuk, N., Fanrong Kong, Danny Ko, Gwendolyn LG, Kidchakan Supamattaya. 2008. Occurrence of rare genotypes of Streptococcus agalactiae in cultured red tilapia Oreochromis sp. and Nile Tilapia O. niloticus in Thailand-Relationship to human isolates?. Aquaculture 284:35-40. Subowo. 1993. Imunobiologi Klinik. Penerbit Angkasa. Bandung: 265 hal. Suprapto, H., T Nakai, K Muroga. 1995. Toxicity of Extracellular Product and Intracellular Components of Edwardsiella tarda in Japanese Eel and Flounder. J. Aquat. Anim. Health, 7 4: 292-297. Taukhid. 2009. Efektivitas pemberian vaksin Streptococcus spp. Pada benih ikan nila Oreochromis niloticus melalui teknik perendaman untuk pencegahan penyakit Streptococcosis. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Pusat Riset Perikanan Budidaya Depertemen Kelautan dan Perikanan: 15 hal. Todar, K. 2002. Staphylococcus, J. Bacteriology, University of Wisconsinmadison Departement of Bacteriology. pp 330. Utama, IH., Kendran AAS., Wibawan IWT., Pasaribu FH., Wahyuni. 2000. Aktivitas hemaglutinasi isolat Streptococcus agalactiae pada berbagai sel darah merah hewan dan manusia. Media Veteriner vol. 7 No 2 : 5-8 Utama, IH., NR Rejeki, IM Sukada, IWT Wibawan. 1997. Isolat Streptococcus agalactiae asal sapi penderita mastitis subklinis : II. Hidrofobisitas permukaan sel isolat. Media Veteriner 43: 9-15. Wahyuni. 1998. Peran hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam proses adesi pada sel epitel ambing sapi perah. Tesis Pascasarjana, FKHIPB,Bogor Volk, WA dan Wheeler, MF. 1993, Mikrobiologi Dasar, Jilid I, Ed ke-5, Erlangga, Jakarta Wedemeyer, GA., WT Yasutake. 1977. Clinical methods for the assessment of the effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S. Fish and Wildlife Service. US depert. Of the Interior. J. Fish and Wildlife Service 89: 1 – 17 Wibawan, IWT., C Laemmler. 1992. Relationship between group B streptococcal serotypes and cell surface hydrophobicity. J. Vet. Med. B39: 376-382 Wibawan, IWT., Laemmler C, Seleim RS, Pasaribu FH. 1993. A hemagglutinating adhesin of group B Streptococci isolate from cases of bovine mastitis mediates an adherence to HeLa cells. J. Gen. Microbiol. 139: 2173-2178 Wibawan, IWT., Laemmler, Seleim, Pasaribu FH. 1992. Role of hydrophobic surface proteins in mediating adherence of group B streptococci to epithelial cells. J. Gen. Microbiol. 138: 1237-1242. Wilkinson, HW., LG Thacker, RR Facklam. 1973. Nonhemolytic Group B Streptococci of Human, Bovine, and Ichthyic Origin. American Society for Microbiology 7 3: 496-498 Williams, ML., Azadi P, Lawrence ML. 2003. Comparison of cellular and extracellular products expressed by virulent and attenuated strains of Edwardsiella ictaluri. Journal of Aquatic Animal Health 15: 264 - 273 Wren, BW. 1992. Bacterial enterotoxin interactions in molecular biology of bacterial infections, current status and future prospective. Eds. C.E. Hormaeche, C.W. Penn and C.I. Smith. Cambridge University Press. 127-148. Yildirim, AO., C Lammler, R Weiss, P Kopp. 2002. Pheno- and genotypic properties of Streptococci of serological group B of canine and feline origin. FEMS Microbiol. Lett. 2122: 187-192. Zappuli, V., S Mazzariol, L Cavicchiolo, C Petterino, L Bargelloni, M Castagnaro. 2005. Fatal necrotizing fascitis and myositis in a captive common bottlenose dolphin Tursiops truncatus associated with Streptococcus agalactiae. J Vet Diagn. Invest. 17 6: 617-622. Zlotkin, A., A Elder, C Ghittino, H Bercovier. 1998. Identification of Lactococcus garvieae by PCR. J. Clin. Microbial 36: 983-985. LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Metode Pengukuran Gambaran Darah dan Patologi Klinik Darah Gambaran darah 1. Kadar hemoglobin metode Sahli dengan Sahlinometer Wedemeyer dan Yasutake, 1977.  Isi tabung sahlinometer dengan larutan HCl 0.1 N sampai angka 10 garis skala paling bawah pada tabung sahlinometer;  Tempatkan tabung tersebut diantara 2 tabung dengan warna standar;  Ambil darah ikan dari tabung eppendorf dengan pipet sahli sebanyak 0.02 ml;  Bersihkan ujung pipet, masukkan darah ke dalam tabung Sahli dan diamkan 3 menit;  Tambahkan akuades dengan pipet tetes sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan gelas pengaduk sampai warnanya tepat sama dengan warna standar;  Kadar hemoglobin dinyatakan dalam . 2. Kadar hematokrit metode Anderson dan Siwicki 1993  Sampel darah dimasukkan dalam tabung mikrohematokrit sampai kira-kira 45 bagian tabung, sumbat ujungnya bertanda merah dengan kretoseal;  Sentrifus dengan sentrifus hematokrit selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm;  Kadar He dinyatakan sebagai volume padatan sel darah. 3. Total leukosit metode Blaxhall dan Daisley 1973  Sampel darah dihisap dengan pipet sampai skala 0.5 pipet yang digunakan adalah pipet khusus pengukuran leukosit, dilanjutkan dengan menghisap larutan Turk’s sampai skala 11, goyangkan pipet agar bercampur homogen;  Buang tetesan pertama, tetesan berikutnya dimasukkan ke dalam hemasitometer dan tutup dengan kaca penutup;  Perhitungan dilakukan pada 5 kotak besar hemasitometer;  Jumlah lekosit = jumlah sel lekosit terhitung X 50 selmm 4. Diferensial leukosit metode Blaxhall dan Daisley 1973 3  Buat sediaan ulas darah, keringkan di udara, fiksasi dengan methanol 5 menit;  Bilas dengan akuades, keringkan, warnai dengan pewarna Giemsa 15 menit;  Cuci dengan air mengalir dan keringkan di atas kertas tissu;  Hitung jenis-jenis lekosit sampai berjumlah 100 sel. 5. Total eritrosit metode Blaxhall dan Daisley 1973  Sampel darah dihisap dengan pipet bersekala sampai 0.5, selanjutnya hisap larutan Hayem sampai skala 101, goyangkan agar bercampur homogen;  Buang tetesan pertama, berikutnya diteteskan ke dalam hemasitometer dan tutup dengan kaca penutup;  Perhitungan dilakukan pada 5 kotak kecil hemasitometer;  Jumlah eritrosit = jumlah eritrosit terhitung X 10 4 selmm 6. Indeks fagositik metode Anderson dan Siwicki 1995. 3 Mengambil s ebanyak 50 μl darah dimasukkan ke dalam Effendorf, di tambahkan 50 μl suspensi Staphylococcus aerus dalam PBS 10 7 7. Titer antibodi selml, dihomogenkan dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit. Membuat sediaan ulas dan dikeringudarakan. Dilanjutkan dengan mengfiksasi dengan metanol selama 5 menit dan dikeringkan, diwarnai dengan cara merendam kedalam pewarna Giemsa selama 15 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tissue, selanjutnya diamati dan dihitung jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 sel fagosit yang teramati. Persiapan Serum : serum darah ikan diambil dengan cara mengambil darah pada vena caudalis dan ditampung dalam eppendorf, kemudian disentrifugasi pada 3000 rpm selama 3 menit. Setelah serum terpisah dari sel darah, serum dipisahkan dan diinkubasi pada suhu 44 o C selama 20 menit untuk mengaktifkan kmplemen Sakai, 1987. Serum selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator pada suhu 4 o Pengukuran titer antibodi dilakukan dengan mengambil larutan PBS sebanyak 25 µl dan dimasukan ke dalam mikroplate pada lubang 1 sampai 12, selanjutnya dimasukan serum darah pada lubang 1 sebanyak 25 µl kemudian dilakukan pengenceran bertingkat hingga lubang ke 11. Bakterin sebanyak 25 µl dimasukkan ke dalam lubang 1 sampai 12, campuran dihomogenkan dengan C untuk pengamatan titer antibodi. cara menggoyangkan mikroplate secara perlahan. Selanjutnya disimpan selama 2 jam dalam inkubator pada suhu 37 o C, dilanjutkan dengan menyimpan ke dalam refrigerator 4 o Tabel Pembacaan titer antibodi C semalaman, titer antibodi ditentukan dari lubang terakhir yang masih ditemukan reaksi aglutinasi. Nomor lubang pengamatan n Pengenceran serum Titer antibodi -log 2 1 2 11 12 1 : 4 1 : 8 1 : 4096 2 3 12 Kontrol

8. Kadar glukosa darah