kegiatan-kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya danatau kegiatan lainnya yang
bermanfaat. 7
Jika terpidana gagal untuk memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya dalam menjalankan pidana kerja
sosial tanpa alasan sah, maka terpidana diperintahkan: a
Mengulangi seluruhnya atau sebagian pidana kerja sosial tersebut, atau
b Menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara
yang digantikan oleh pidana kerja sosial tersebut, atau c
Membayar seluruhnya atau sebagian pidana denda yang tidak dibayar yang digantikan denga pidana kerja
sosial tersebut, atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar.
2.4 Perumusan Delik Culpa
Menurut Wirjono, 1989:67 arti kata culpa ialah kesalahan pada umumnya , tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu
suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja,
terjadi. Undang-undang tidak memberi definisi apakah culpa kelalaian itu.
Hanya Memori Penjelasan Memorie van Toelichting mengatakan, bahwa
culpa terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Hamzah, 2008:125.
Sering dipandang suatu bentuk kelalaian culpa terlalu ringan untuk diancam dengan pidana, cukup dicari sarana lain daripada pidana. Di situ
benar-benar pidana itu dipandang sebagai obat terakhir ultimum remedium. Misalnya perbuatan karena salahnya menyebabkan rusaknya barang orang lain.
Dalam hal ini cukup dengan tuntutan perdata sesuai pasal 1365 BW. Lain halnya misalnya dalam hal yang bersifat khusus, misalnya karena salahnya
culpa menyebabkan rusaknya bangunan kereta api, telepon, atau listrik. Syarat utama dapat dipidananya seseorang ialah adanya kesalahan orang
itu. Kesalahan disini mempunyai arti seluas-luasnya, ialah dapat dicelanya perbuatan tersebut. Ini meliputi adanya perbuatan yang bersifat melawan
hukum, kemampuan bertanggung jawab dari si-pembuat, serta hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya kesengajaan atau kealpaan. Sudarto,
1990:123. Ada beberapa sarjana yang merumuskan syarat-syarat untuk adanya
kealpaan, karena KUHP sendiri tidak memberikan definisi yang tegas mengenai kealpaan. Beberapa syarat kealpaan dari para sarjana yang diambil
dari buku Asas-asas Hukum Pidana, Moeljatno, 2008:217 : Van hamel mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu:
1 Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Mengenai ini ada dua kemungkinan, yaitu:
- Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena
perbuatannya , padahal pandangan itu kemudian ternyata tidak benar. -
Terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.
2 Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum,
yaitu tidak mengadakan penelitian, kebijaksanaan, kemahiran, atau usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan-keadaan yang tertentu atau dalam
caranya melakukan perbuatan. Simons tentang ini mengatakan : “isi kealpaan adalah tidak adanya
penghati-hati di samping dapat diduga-duganya akan timbul akibat”. Jadi kira-kira sama dengan Van Hammel di atas. Ini memang dua syarat
yang menunjukkan bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda- benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat, bahwa
dia kurang memperhatikan akan larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam menyatakan adanya kealpaan pada seseorang harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik atau psychis. Untuk menentukan
kealpaan seseorang, Sudarto dalam bukunya hukum pidana I menjabarkan tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-
sungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umumnya apabila
ada dalam situasi yang sama dengan si pembuat itu.
“Orang pada umumnya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya. Ia harus orang biasa,
seorang ahli biasa. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati- hati yang cukup besar, jadi harus ada culpa lata kealpaan berat yang
menimbulkan kerugian atau bahkan merenggut nyawa orang lain dan bukannya culpa levis kealpaan yang sangat ringan.
Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah
hakim. Hakimlah yang harus menilai sesuatu perbuatan in concreto dengan ukuran norma penghati-hati dan penduga-duga, seraya memperhitungkan di
dalamnya segala keadaan dan keadaan si pembuat. Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari si pembuat dapat
digunakan ukuran apakah ia “ada kewajiban untuk berbuat lain” , kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan undang-undang atau dari luar undang-undang,
ialah dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan,
maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa. Undang-undang mewajibkan seorang untuk melakukan suatu atau untuk
tidak melakukan sesuatu. Misalnya dalam peraturan lalu lintas “ada ketentuan bahwa di persimpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu, maka
kendaraan dari kiri harus didahulukan”. Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain daripada yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu
mengakibatkan tabrakan, sehingga orang lain luka-luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaanya mengakibatkan orang luka berat Pasal 360 ayat 1
KUHP. Di luar Undang-undang pun ada aturan-aturan, ialah berupa kebiasaan atau
kepatutan dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus diindahkan oleh seseorang. Misalnya ada orang yang tetap menghidupkan mesin mobil ketika
mengisi bensin dan mengakibatkan kebakaran, maka ia sedikitnya dinyatakan telah karena kealpaannya mengakibatkan hal tersebut dan dapat dipidana.
Sebaliknya apa yang dilakukan oleh terdakwa dapat diterima oleh masyarakat, bahkan mungkin sesuai dengan hukum, maka tidaklah ada
persoalan apakah ada culpa atau tidak. Dalam hal ini perbuatannya tidak bersifat melawan hukum. Sudarto, 1990:125-127.
2.5 Sejarah dan Pengertian Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana 2.5.1 Pengertian Korporasi