103 yang dipanen dapat dijadikan uang. Sangat jarang dengan kesadaran sendiri
masyarakat rela menyisihkan sebagian kecil biji untuk dibibitkan. Dari 80 orang responden hanya 3 orang yang membibitkan kedawung dari biji yang mereka
panen sendiri. Alasannya adalah karena pohon kedawung masih banyak di hutan dan bisa tumbuh sendiri secara alami. Rincian hasilnya dapat dilihat pada
Gambar 33 berikut.
Keterangan
No Pernyataan kerelaan berkorban masyarakat untuk konservasi
Skor rata2 Sikap
13
Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng
1,8
-
20
Biji kedawung yang dipanen sendiri selalu ada yang dijadikan bibit. 2,3
-
27
Kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia.
2,3
-
28
Kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija.
1,4
-
29
Kedawung ditanam di lahan pertanian hak milik pribadi masyarakat.
1,4
-
30
Permudaan kedawung di hutan tidak bisa diserahkan kepada alam saja.
2,3
-
31
Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang ditinggalkan di hutan
1,8
-
Rata-rata
1,9
-
+ = sangat suka atau sukasetuju 3,9 ;
-
= tidak suka atau kurang sukasetuju 3,8
Gambar 33. Kerelaan berkorban masyarakat belum ada untuk konservasi kedawung
Masyarakat pendarung tidak ada yang rela memindahkan anakan kedawung yang tumbuh dibawah pohon induknya, kecuali Mbah Setomi.
Walaupun mereka mengetahui bahwa biji kedawung di bawah pohon induknya, tidak akan pernah bisa tumbuh menjadi pohon besar, kecuali dipindahkan jauh
dari pohon induknya. Masyarakat tidak pernah menanam pohon kedawung di lahan pertanian
milik mereka sendiri, karena mereka tahu pohon kedawung yang sudah besar akan banyak mengambil luasan lahan pertanian mereka yang sempit. Hal ini sangat
penting diperhatikan oleh pengelola, bahwa agar berhasil konservasi kedawung memerlukan lahan hutan atau perkebunan yang relatif luas.
Namun begitu, dapat diketahui bahwa masyarakat pendarung kelas umur diatas 40 tahun lebih rela berkorban untuk konservasi kedawung, sehingga
Kerelaan berkorban untuk konservasi : Nihil
13, 20, 27, 28, 29, 30 dan 31
Kerelaan berkorban
masyarakat
104 penyuluhan dan pendampingan tentang konservasi kedawung perlu diprioritaskan
kepada masyarakat kelompok umur muda dibawah 40 tahun. Menurut Quedraogo 1995 nilai-nilai spritual pada masyarakat tradisional
sekitar hutan di Afrika Barat sangat mendorong mereka untuk bersikap dan berperilaku untuk aksi konservasi terhadap sejenis pohon kedawung yang nama
lokalnya nere Parkia biglobosa Jack.. Pohon nere mempunyai fungsi spritual,
dimana batangnya digunakan sebagai simbol dalam cerita populer dan kepercayaan spritual mereka. Daun nere banyak digunakan dalam upacara
keagamaan dan adat, kelahiran, kebangkitan, pemakaman dan pemujaan. Bijinya banyak digunakan untuk ritus dan upacara adat pada hari kelahiran, pesta, hari
memakaman dan bagi waris. Nilai-nilai religius inilah yang telah menjadi stimulus kuat bagi sikap dan perilaku konservasi nere dalam masyarakat
tradisional Afrika Barat. Mereka sudah sejak turun temurun membudidayakan nere dan bahkan pengetahuan mereka mengenai pemanfaatan biji spesies ini
sudah maju sampai kepada proses fermentasi. Walaupun ada tradisi pada masyarakat pendarung yaitu bahwa sebelum
mereka berangkat ke hutan, sehari sebelumnya mereka akan membuat acara syukuran di rumah bersama-sama keluarga dan anggota pendarung agar hasil
panenan yang bisa dibawa pulang banyak. Namun tradisi religius ini tidak menjadi stimulus bagi sikap dan kerelaan berkorban masyarakat pendarung untuk
aksi konservasi. Menurut pengalaman penulis waktu kecil di kampung, kakek dan orang-
orang tua dulu menanam pohon durian dengan niat untuk anak cucunya agar dapat memanen buah durian dimana mereka hanya berharap pahala dari Tuhan.
Begitu juga dari pengalaman masyarakat adat suku Dayak di Kalimantan Barat yang pernah penulis wawancarai pada tahun 2005, bahwa terdapat norma dan
hukum adat yang tidak memperbolehkan menebang pohon sialang tempat bersarang lebah madu, karena madu sangat berguna bagi kehidupan mereka.
Pohon durian untuk anak cucu, pahala dan pohon sialang tempat bersarang lebah madu, merupakan stimulus untuk pembentukan sikap konservasi bagi orang-orang
tua dahulu dan bagi masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan
105 Berdasarkan uraian tersebut ternyata bahwa stimulus manfaat ekonomi dari
kedawung telah mendorong dan menjadi sikap masyarakat pendarung untuk masuk hutan dan memanen buahnya. Namun stimulus manfaat ekonomi ini
belum menjadikan bentuk motivasi dar masyarakat untuk berbuat konservasi terhadap kedawung di hutan alam. Hal ini terjadi karena modal sosial, spritual
dan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat sudah mulai menghilang. Menurut Pranadji 2006 “tata nilai maju” suatu masyarakat yang
berkaitan dengan keberlanjutan adalah masyarakat yang memiliki tata nilai dasar kuat yang merupakan gabungan keseluruhan atau beberapa tata nilai maju yang
sekaligus membentuk nilai composit gabungan masyarakat untuk keberlanjutan. Nilai-nilai religius yang bersifat universal ini, yaitu : 1 rasa malu dan harga diri,
2 kerja keras, 3 rajin dan disiplin, 4 hidup hemat, tidak mubazir dan tidak boros 5 gandrung inovasi, 6 menghargai prestasi,7 berpikir sistematik, 8
empati tinggi, 9 rasional impersional, 10 sabar dan syukur, 11 amanah high trust, dan 12 visi jangka panjang. Nilai-nilai dasar inilah yang mulai melemah,
belum berkelanjutan dan belum terpelihara dan berkembang dalam diri masyarakat. Hal ini terlihat dari sikap dan perilaku mereka antara lain kurang
berempati kepada kedawung, tidak punya visi jangka panjang, tidak gandrung inovasi, kurang sabar dan syukur.
Kondisi ini terjadi, diduga kuat penyebabnya adalah karena adanya intervensi luar yang telah berlangsung lama dalam masyarakat pendarung.
Berkaitan dengan dibatasinya akses masyarakat ke sumberdaya hutan taman nasional yang sudah berlangsung sejak tahun 1929, yaitu sejak ditetapkannya
hutan Meru Betiri menjadi hutan lindung sampai sekarang ini. Faktor hak kepemilikan yang tidak jelas sangat mempengaruhi kerelaan berkorban
masyarakat untuk aksi konservasi. Hal yang berbeda terjadi di masyarakat adat
Pesisir Krui di Lampung yang berhasil melestarikan repong hutan damar mata
kucing secara turun temurun. Keberhasilan ini terjadi, karena hak kepemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya hutannya legal dan jelas.
Faktor yang bersifat psikis dan sudah melekat pada komponen sikap affective dari kebanyakan masyarakat pendarung adalah antara lain masalah
keteladanan dan ketidak keharmonisan hubungan dengan staf taman nasional.
106 Ungkapan kekecewaan dan benci yang direfleksikan oleh tetua masyarakat,
seperti diungkapkan Mbah Setomi. Petugas PA sejak tahun 1972 mulai melarang dan menyita hasil hutan yang masyarakat bawa dari hutan. Mereka dituduh
sebagai tukang ngerusak hutan, tukang membakar hutan, apa saja yang dihasilkan dibawa dari hutan akan dirampas semua. Tetapi kalau sudah berwujud uang,
petugas juga meminta bagian. Pada tahun 1988 boreg-boreg cukong-cukong pencuri kayu kayu jati mulai ada, mereka mendatangi penduduk agar mau
ngempleng mencuri jati dengan diiming-imingi pendapatan tinggi. Sejak itu pencurian kayu jati mulai marak dan terang-terangan, bahkan sampai ada yang
memakai gergaji senso chain saw. Masyarakat menjadi sangat kecewa, karena pelaku tidak ada yang ditangkap, bahkan mereka kerjasama dengan petugas PA,
polisi dan tentara. Akhirnya masyarakat berpikir untuk apa menjaga kelestarian hutan.
8. Kerelaan berkorban pengelola untuk aksi konservasi