Sikap Masyarakat Dan Konservasi Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri

(1)

SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI

Suatu Analisis Kedawung (

Parkia timoriana

(DC) Merr.)

Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat,

Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri

ERVIZAL AMZU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRACT

ERVIZAL AMZU. Community Attitude and Conservation, An Analysis on Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) As Medicinal Plant Stimulus to the Community, Case in Meru Betiri National Park. Under supervision of KURNIA SOFYAN, LILIK BUDI PRASETYO and HARIADI KARTODIHARDJO.

Ten years of direct experience in Meru Betiri National Park (MBNP) had shown that the community attitude and conservation was one united action. Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) conservation in the natural forest of MBNP was not going well and there were no natural regeneration of kedawung for over the last 10 years.

This research studied the root of conservation problem viewed from the relation of attitude and conservation action taking shape in the field, through the study of the attitude of pendarung community to kedawung stimulus in the natural forest. Pendarung is small community in MBNP, which had conducted non-timber forest products collection for generations, one of which is kedawung.

Ideal conservation attitude toward kedawung is the motivation of crystallization of kedawung stimulus to the attitude components of cognitive,

affective and behavior/overt action. The research assessed the attitude and behavior of community and manager by conducting interview to the statements of kedawung stimulus to conservation. The stimulus being assessed were divided into three groups, which were natural stimulus (mainly stimulus related to rarity, population characteristics and regeneration, ecological function), benefit stimulus (economic and medicinal), and religious stimulus (spiritual values, ethics, culture which encourage the willingness to sacrifice for conservation).

Result of the research had obviously shown that the conservation of kedawung did not happen in the field. The root of the problem was because the three group of stimulus had not simultaneously become the stimulant to the attitude and conservation action of the community and manager. There were also no willingness to sacrifice for conservation action, both in the community and the manager. Kedawung stimulus strongly responded by the community were only the benefit stimulus (economic value) and natural stimulus (ecological function value). However, the stimulus had not encouraged the attitude and action of the community to conservation of kedawung.

The solution to the problem root of this research findings were to build the attitude of community and manager with the concept of tri-stimulus amar konservasi and to revise national park management policies, particularly regulation, and to improve the capacity and performance of human resources.

Prerequisite of the realization of conservation in the real world was the creation of the attitude of community and manager strongly encouraged by tri-stimulus amar konservasi, which was the crystallization or intact union of natural stimulus, benefit stimulus, and religious stimulus.

The implication of the research to the national park and biodiversity management was that the concept of tri-stimulus amar konservasi is the tool and gate to conduct management policies revision, started from regulation up to the substantial of management activity in the field.

Key Words : stimulus, attitude, amar, pendarung community, conservation, kedawung, national park


(3)

ABSTRAK

ERVIZAL AMZU. Sikap Masyarakat dan Konservasi, Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri. Dibimbing oleh KURNIA SOFYAN, LILIK BUDI PRASETYO DAN HARIADI KARTODIHARDJO.

Pengalaman langsung (direct experience) 10 tahun di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), menunjukkan bahwa sikap masyarakat dan konservasi merupakan satu kesatuan aksi. Konservasi kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) di hutan alam TNMB tidak berjalan dengan baik dan tidak terjadinya regenerasi kedawung secara alami selama lebih dari 10 tahun terakhir.

Penelitian disertasi ini mengkaji akar permasalahan konservasi yang ditinjau dari kaitan sikap dan aksi konservasi yang terwujud di lapangan melalui kajian sikap masyarakat pendarung terhadap stimulus kedawung yang terjadi di hutan alam. Masyarakat pendarung merupakan masyarakat kecil di TNMB yang telah melakukan secara turun temurun kegiatan pengambilan hasil hutan non-kayu, diantaranya spesies kedawung.

Sikap konservasi terhadap kedawung yang ideal adalah merupakan dorongan dari kristalisasi stimulus kedawung terhadap komponen sikap cognitive, affective dan

behavior/overt action. Penelitian ini menguji sikap dan perilaku masyarakat dan pengelola dengan cara wawancara terhadap pernyataan-pernyataan stimulus kedawung untuk konservasi. Stimulus yang diujikan terdiri dari tiga kelompok, yaitu stimulus

alamiah (terutama stimulus yang berkaitan dengan kelangkaan, karakteristik populasi dan regenerasi, fungsi ekologis), stimulus manfaat (ekonomi dan obat) dan stimulus

religius (nilai-nilai spritual, etika, budaya yang mendorong terjadinya kerelaan berkorban untuk konservasi).

Hasil penelitian secara nyata menunjukkan bahwa konservasi kedawung tidak terwujud di lapangan. Akar permasalahannya adalah karena ketiga kelompok stimulus kedawung tidak secara simultan menjadi pendorong terhadap sikap dan aksi konservasi masyarakat maupun pengelola. Begitu juga tidak terjadi kerelaan berkorban untuk aksi konservasi pada masyarakat pendarung maupun pada pengelola. Stimulus kedawung yang direspon kuat oleh masyarakat hanyalah stimulus manfaat (nilai ekonomi) dan stimulus alamiah (nilai fungsi ekologis). Namun ternyata stimulus ini tidak mendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi terhadap kedawung.

Penyelesaian akar permasalahan dari temuan penelitian ini adalah membangun sikap masyarakat dan pengelola dengan konsep tri-stimulus amar konservasi dan memperbaiki kebijakan pengelolaan taman nasional terutama merevisi peraturan-perundangan serta meningkatkan kapasitas dan kinerja SDM pengelola.

Prasyarat terwujudnya konservasi di kehidupan dunia nyata adalah terciptanya sikap masyarakat dan sikap pengelola yang didorong kuat oleh tri-stimulus amar konservasi, yaitu kristalisasi atau kesatuan utuh dari stimulus alamiah, stimulus

manfaat dan stimulus religius.

Implikasi dari penelitian ini bagi pengelolaan taman nasional dan sumberdaya keanekaragaman hayati adalah bahwa konsep tri-stimulus amar konservasi merupakan

alat dan pintu masuk untuk melakukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan, yaitu mulai dari peraturan perundangan sampai kepada substansi kegiatan pengelolaan di lapangan

Kata kunci : stimulus, sikap, amar, masyarakat pendarung, pengelola, konservasi, kedawung, taman nasional


(4)

SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI

Suatu Analisis Kedawung (

Parkia timoriana

(DC) Merr.)

Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat,

Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri

ERVIZAL AMZU

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul : SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI

Suatu Analisis Kedawung (

Parkia timoriana

(DC) Merr.)

Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat,

Kasus di Taman Nasional Meru Betiri

Nama Mahasiswa : Ervizal Amzu

Nomor Pokok : E 061030021

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Menyetujui :

Komisi Pemimbing

Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan

Ketua

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Anggota

Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MScF Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal ujian : 3 September 2007 Tanggal lulus :


(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul :

SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI : Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri, merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Doktor pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2007


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

                           

SABAQA’L MUFARRIDUN

 (Al Hadist) 


(9)

x

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW. Hanya dengan izin dan rahmat-Nya penelitian ini dapat diselesaikan dengan judul “SIKAP MASYARAKAT DAN KONSERVASI :

Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional

Meru Betiri yang hasilnya dituangkan dalam tulisan disertasi ini.

Pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan, selaku ketua komisi pembimbing; Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberikan banyak bimbingan, saran, kritikan dan semangat yang hangat untuk penyelesaian tulisan ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ali M.A. Rachman, MA yang banyak memberikan inspirasi dan sekaligus sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. sebagai Wakil Dekan Fakultas Kehutanan IPB yang memimpin sidang dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. yang mewakili Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada ujian tertutup, atas saran dan kesediaannya membantu penulis untuk memperbaiki tulisan ini.

3. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka serta atas saran dan kesediaannya membantu penulis untuk memperbaiki tulisan ini.

4. Dr. Herwasono Soedjito, sebagai penguji luar komisi luar IPB pada ujian terbuka dan atas sarannya untuk perbaikan tulisan ini.

5. Rektor IPB yang telah memberikan tugas belajar dan kesempatan penulis untuk melanjutkan program Doktor.

6. Dekan Fakultas Kehutanan IPB yang telah memberikan tugas belajar dan kesempatan penulis untuk melanjutkan program Doktor di IPB, sekaligus mewakili Rektor IPB sebagai ketua sidang ujian terbuka.

7. Ketua Departemen Konservasi Sumnberdaya Hutan dan Ekowisata IPB Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F yang telah memberikan tugas belajar, kesempatan dan dukungan moril dan materil kepada penulis untuk menyelesaikan program Doktor di IPB.

8. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan Doktor pada SPs-IPB.

9. Direktorat Pendidikan Tinggi, DIKNAS-RI yang telah memberikan dukungan beasiswa program doktor melalui proyek BPPS.

10.Kawan-kawan di Laboratorium Konservasi Tumbuhan : Prof. Dr. Ir. Ali M.A. Rachman; Dr. Ir. Agus Hikmat; Ir. Siswoyo, Msi.; Ir. Edhi Sandra, M.Si; Pak Mingan; Minah, dan Santa yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan disertasi ini.


(10)

x 11.Semua kawan-kawan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata IPB yang telah banyak memberikan dukungan, kritikan dan inspirasi kepada penulis.

12.Kepala dan staf TN. Meru Betiri Ir. Nadzrun Jamil. Masyarakat Pendarung

kedawung yang banyak membantu penulis di lapangan, terutama Mbah Setomi dan Mbah Rogayah. Kawan-kawan dari LSM-KAIL : Mas Ir. Kaswinto, Mas Kirman dan isteri, Mas Halim dan isteri, Mas Budi, Mas Nur Hadi dan Mas Suparno. Juga kepada semua mahasiswa-mahasiswa yang penulis bimbing penelitiannya di TNMB mulai tahun 1993 sampai tahun 2007: Mujenah, Nana, Mirwan, Baihaki, Albert, Sofyan, Sari, Sihotang, Dewi H., Aji, Yanie, Dewi dan Joko yang telah ikut membantu dalam pengumpulan data di lapangan.

13.Bapak-bapak di IWF : Prof. Dr. Rubini (alm); Ir. Soedjadi Hartono; Prof. Dr. Abdul Bari; Prof.Dr. Kasijan Romimohtarto (alm) ; Prof.Dr. Dedi Sudarma; Drs. Djoko Setiono; Drs. Ismu S. Suwelo; Sukandi SH; dan ibu Dr. Sri Murni Soenarno, MS yang telah memberikan dukungan dan semangat.

14.Kepada teman-teman dari Puslitbang Biologi LIPI dan Kebun Raya Bogor, Dr. Y. Mogea, Dr. Irawati, Dr. Didik, serta Direktur LATIN Ir. Arif Aliadi yang telah bersedia hadir dalam ujian terbuka.

15.Kepada semua teman dan kolega yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu secara materi dan non-materi yang memungkinkan penulis menyelesaikan studi dan penelitian ini. Hanya Allah SWT. saja yang dapat membalasnya.

Penulis menyampaikan penghargaan kepada isteri Hj. Nurluklu’in Maknun dan anak-anak tercinta (Mahzhous, Putri, Zaiemah, Louayy, Rabbani, Rahmat dan Ahmad), serta Ibunda Hj. Zuraida, Ibu mertua Hj. Siti Musrifah dan kakak-kakak, adik-adik, kakak-kakak ipar dan adik-adik ipar yang telah memberikan pengertian, semangat dan dorongan.

Akhirnya izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan secara khusus yang setulus-tulusnya kepada kedua Maha Guru yang telah banyak membimbing hidup penulis hampir 30 tahun terakhir ini, yaitu YML Al Arif Billah Al Hafidz Mawlana Syeikhul Akbar Al Mufarridun Al Haji Muhammad Makmun dan

Mawlana Syeikh Al Haji DM. Asy’ari Al Hakiem,

Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, saran-saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca diterima dengan senang hati. Khususnya kepada para peneliti muda dan calon-calon doktor, penulis mengharapkan dapat meneruskan, mengembangkan dan menyempurnakan hasil-hasil penelitian ini, sehingga dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan IPTEKS konservasi keanekaragaman hayati di masa kini dan masa mendatang. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Amiiiin.

Bogor, September 2007 Penulis,

Ervizal AMZU


(11)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dabo Singkep (Riau), 18 Juni 1959 sebagai anak ke-3 dari 7 bersaudara dari Bapak Amir Muhammad (almarhum) dan Ibu Hj. Zuraida. Pendidikan dasar dan menengah pertama diselesaikan di Bukittinggi pada tahun 1974. Kemudian dilanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Bukittinggi dan selesai pada tahun 1977 akhir. Selanjutnya pada awal tahun 1978 penulis diterima menjadi mahasiswa undangan di tingkat persiapan bersama IPB. Akhir tahun 1978 penulis memilih masuk Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 1981 penulis menjadi mahasiswa angkatan pertama Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan lulus menjadi sarjana kehutanan dalam bidang konservasi sumberdaya hutan pada tahun 1983.

Pada tahun 1984 penulis mulai bekerja menjadi asisten dosen di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Pada tahun 1985 diangkat menjadi PNS di Jurusan yang sama. Pada tahun 1986-1989 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Ditjen Dikti dan lulus pada tahun 1989.

Pada tahun 1990 penulis ikut mendirikan Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia (POKJANASTOI) di Bogor.

Sejak tahun 2000 penulis menjabat Kepala Laboratorium Konservasi Tumbuhan dengan jabatan Lektor Kepala dibidang konservasi tumbuhan.

Penulis pernah menjadi mahasiswa pada Program Doktor Pascasarjana UI bidang studi konservasi biologi selama 2 semester (1997/1998).

Penulis menikah dengan Hj. Nurluklu’in Maknun dan dikaruniai 5 orang anak bernama Mahzhuzh Al Mutawally, Putri Syahierah, Zaiemah Asy-Syifa’, Lou-ayy Al Farouqi dan Syawkat Ar Rabbani.


(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR SINGKATAN…..………... i

ABSTRAK….……… ii

ABSTRACT ..………... iii

SURAT PERNYATAAN..……… v

RIWAYAT HIDUP ………. viii

PRAKATA……… ix

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR GAMBAR ……….. xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvii

I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Permasalahan……….. 6

C. Fokus Penelitian ………... 7

D. Tujuan Penelitian………... 8

E. Manfaat Penelitian …..……… 9

II. METODOLOGI PENELITIAN ………. A. Kerangka Pemikiran ………. 10 10 1. Teori hubungan stimulus dan sikap ……… 2. Hubungan sistem nilai dengan stimulus ... 3. Aliran informasi dalam ekosistem sebagai stimulus ……….. 4. Stimulus, sikap dan konservasi ………….……….. 10 12 15 17 5. Hipotesis penelitian………. 21

B. Metoda ……… 23

1. Lokasi dan waktu penelitian ……… 24

2. Data yang dikumpulkan ……….. 25

3. Teknik pengumpulan data……… 26

4. Pengukuran sikap ………... 27

5. Tahapan penelitian ………..………... 29

6. Stimulus kedawung ……… ………… 30

7. Pengolahan dan analisis data ……….. 34

III. PROFIL TAMAN NASIONAL MERU BETIRI ………. 35

A. Sejarah Kawasan ………. 35

B. Letak dan Luas ……… 36

C. Topografi ……… 1. Kelas ketinggian ……… 37 37 D. 2. Kelas lereng ………... Tipe Iklim dan Hidrologi ……… 38 38 E. Penutupan Vegetasi ……… 39

F. Potensi Fauna ……….. 40

G. Sejarah Lahan Tetelan di Zona Rehabilitasi……..……….. 41


(13)

xii

IV. PROFIL MASYARAKAT ………... 43

A. Masyarakat Umum ………... 1. Jumlah penduduk ……….. 43 43 B. 2. Tingkat pendidikan ……… 3. Penggunaan lahan ……….. 4. Perekonomian desa ……… 5. Budaya masyarakat ……… Sejarah Masyarakat Pendarung………... 44 44 45 45 46 C. Karakteristik Masyarakat Pendarung Kedawung ….………. 49

V. PROFIL KEDAWUNG ... 51

A. Botani ………. 51

1. Morfologi ………. 51

2. Distribusi geografis ……….. 52

3. Ekologi ………. 52

B. Status Konservasi Kedawung…. ……… 54

1. Populasi ……….. 54

2. Kondisi regenerasi ……….. 55

3. Produksi biji kedawung ……….. 57

4. Penyebar biji ………... 58

5. Penyebaran spasial……….. 58

C. Status Kedawung dengan Tumbuhan Obat Lainnya……….. 65

1. Habitus………….. ………. 65

2. Khasiat ……… ……….. 65

3. Kekariban dengan spesies lain ………..……….. 66

D. Nilai Manfaat Kedawung……… 67

1. Kegunaan untuk obat……….. 67

2. Kandungan kimia………. 69

3. Nilai ekonomi ……….. 71

VI. PERMASALAHAN KONSERVASI……….. 73

A. Sikap dan Aksi Konservasi……….. 73

1. Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap masyarakat……….. 75

2. Ketidak-terkaitan stimulus dengan sikap pengelola………. 85

3. Bias stimulus terhadap sikap masyarakat dan pengelola... 90

4. Ketidak-sejalanan stimulus dengan aksi masyarakat... 91

5. Ketidak-sejalanan stimulus dengan aksi pengelola ... 99

6. Bias stimulus terhadap aksi masyarakat dan pengelola... 101

7. Kerelaan berkorban masyarakat …………... 102

8. Kerelaan berkorban pengelola…………... 106

9. Perbedaan pengalaman masyarakat dengan pengelola... 108

10. Ketidak-sejalanan stimulus terhadap sikap dan aksi ... 111

B. Ketidak-berlanjutan Pengetahuan Lokal ……… 114

1. Alih generasi dan intervensi informasi global ……… 116

2. Keanekaragaman hayati yang tinggi ……….……….. 117


(14)

xiii

C. Masalah Kebijakan Pengelolaan……….. 121

1. Peraturan perundangan………. 121

2. Kegiatan pengelolaan………... 123

VII. VIII. SINTESIS PENYELESAIAN MASALAH ……… A. Membangun Sikap Pro-konservasi ……..………... 1. Membangun sikap “tri-timulus amar konservasi” ………. 2. Menjadikan nilai religius sebagai stimulus kuat sikap konservasi.. 3. Menyambungkan dan mengembangkan pengetahuan tradisional .. B. Kebijakan Pengelolaan ……… 1. Peraturan perundangan ……… 2. Aspek legalitas pendarung sebagai kelompok masyarakat pelestari 3. Pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung …………. 4. Peningkatan kapasitas dan kinerja SDM pengelola ……….. 5. Membangun kemitraan industri jamu dengan masyarakat ……….. 6. Membangun image stimulus tumbuhan obat kedawung …………. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI……….. 132 132 133 136 141 144 144 145 148 152 153 154 157 A. Kesimpulan……….. 157

B. Implikasi……….. 159

1. Teori……….. 159

2. Kebijakan ……….. 160

DAFTAR PUSTAKA ……….. 162

LAMPIRAN ………. 169


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Beberapa contoh informasi kejadian alam sebagai stimulus ………….. 16 2. Rumusan pernyataan stimulus, aksi dan kerelaan berkorban untuk

konservasi kedawung yang diuji terhadap sikap masyarakat ………….. 31 3. Jumlah penduduk desa sekitar kawasan TNMB ……….. 43 4. Tingkat pendidikan masyarakat desa sekitar kawasan TNMB ………… 44 5. Pola penggunaan lahan di desa sekitar kawasan TNMB ………. 44 6. Jenis mata pencaharian penduduk desa sekita kawasan TNMB ……….. 45 7. Karakteristik masyarakat pendarung kedawung ……….. 50 8. Kondisi anakan kedawung yang tumbuh di bawah pohon induknya ….. 55 9. Kondisi diameter batang, tinggi, diameter tajuk, dugaan jumlah biji,

tanah, tumbuhan bawah dan dipanen atau tidak ……….. 56 10. Kelimpahan populasi kedawung antara bagian Barat dan bagian Timur

kawasan TNMB ………..……. 61

11. Jumlah spesies tumbuhan obat di TNMB berdasarkan habitus ……….. 65 12. Macam penyakit yang dapat diobati dengan spesies tumbuhan obat ..… 66 13. Sembilan tumbuhan obat yang sering dijumpai bersama kedawung ….. 67 14. Harga jual biji kedawung berdasarkan mata rantai perdagangannya ... 72 15. Keterkaitan stimulus dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola ….. 74 16. Perbedaan pengalaman pendarung dengan pengelola tentang kedawung 108 17. Hasil analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi dengan

peraturan perundangan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan…… 122 18. Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan tahun 1998-2004 dan

keterkaitannya dengan tri-stimulus amar konservasi ………... 124 19. Kegiatan pengelolaan sedang dan akan dilakukan tahun 2005-2009 dan

keterkaitannya dengan tri-stimulus amar konservasi ………... 126 20. Analisis kandungan keterkaitan visi, misi, strategi, tujuan, sasaran,

kegiatan dan tugas pokok pengelola dengan tri-stimulus amar


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema konsep stimulus dan sikap ... 10

2. Sistem nilai ... 14

3. Aliran informasi dalam ekosistem masyarakat tradisional ... 15

4. Hubungan sinyal kedawung, informasi kelangkaan, stimulus bagi sikap dan informasi untuk aksi konservasi ... 19

5. Diagram tahap penelitian ... 30

6. Peta lokasi TNMB ... 36

7. Histogram kondisi populasi kedawung berdasarkan kelas diameter ... 54

8. Kelimpahan kedawung berdasar penyebaran pada kelas ketinggian ... 59

9. Kelimpahan kedawung berdasar penyebaran pada kelas kemiringan …. 59 10. Kelimpahan pohon kedawung berdasarkan jarak dengan sungai………. 60

11. Frekuensi kedawung ditemukan berdasarkan kelas luas bidang dasar pada 129 plot pengamatan ... 61

12. Peta penyebaran spesial kedawung dan peta habitat potensial ... 62

13. Kelimpahan kedawung berdasarkan kelas jarak dengan kampung ... 63

14. Fungsi multi guna kedawung dalam masyarakat Afrika Barat ... 70

15. Keterkaitan sikap masyarakat terhadap stimulus manfaat ekonomi... 76

16. Alat dan bahan patek (a), pendarung sedang memanjat pohon (b), dan bekas patek yang tertancap di pohon kedawung (c). ... 77

17. Sikap masyarakat terhadap stimulus nilai manfaat obat ... 79

18. Sikap masyarakat terhadap stimulus tentang kelangkaan kedawung ... 81

19. Sikap masyarakat yang terkait stimulus fungsi ekologis kedawung ... 82

20. Bentuk tajuk pohon kedawung dilihat dari kejauhan ... 84

21. Sikap pengelola yang terkait dengan stimulus manfaat ekonomi ... 86

22. Sikap pengelola terhadap nilai manfaat obat ... 88

23. Sikap pengelola terhadap kondisi populasi dan regenerasi kedawung... 89

24. Sikap pengelola terhadap nilai manfaat ekologis ... 90

25. Stimulus terkait dan bias dengan sikap pendarung dan pengelola ... 91

26. Aksi masyarakat untuk konservasi kedawung ... 92

27. Percabangan utama pohon kedawung yang dipotong masyarakat pada waktu memanen buah kedawung... 95

28. Pertumbuhan pohon kedawung yang kerdil, sejak ditanam tahun 1994 dengan jarak tanam yang rapat 6x5 m ... 97

29. Pohon kedawung umur 3 tahun dan umur 12 tahun ……… 98

30. Pohon kedawung berumur 10 tahun ... 99

31. Aksi pengelola tidak sejalan dengan harapan konservasi ... 100

32. Bias pemahaman stimulus, tidak sejalan dengan aksi pendarung dan aksi pengelola untuk konservasi kedawung ... 102

33. Kerelaan berkorban masyarakat belum ada untuk konservasi ... 103

34. Kerelaan berkorban pengelola untuk konservasi belum terjadi ... 107

35. Bias pemahaman stimulus, sikap dan aksi pendarung atau pengelola untuk konservasi tidak berjalan simultan ... 112

36. Bagan ketidak-sejalanan stimulus dengan sikap dan aksi pendarung dan pengelola untuk konservasi kedawung ... 113


(17)

37. Biji kedawung yang diolah menjadi ”camilan biji kedawung” yang gurih dijual pedagang asongan di Probolinggo (a); Dadawa makanan

khas masyarakat Afrika yang terbuat dari biji Parkia biglobosa (b) ... 115

38. Sketsa areal hutan alam yang dibabat dan diganti menjadi tanaman jati prosesnya mulai 1955 sampai 1967, kemudian tahun 2000 dijadikan areal rehabilitasi ... 121

39. Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi” ... 134

40. Kristalisasi “tri-stimulus amar konservasi” ... 135

41. Sistem bagan keempat komponen religius ... 141


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai rata-rata, standar deviasi, modus dan median skor sikap

masyarakat ……… 169

2. Nilai rata-rata, Standar deviasi, modus dan median skor sikap

pengelola ……….. 170

3. Analsis Kandungan Hasil Wawancara Mendalam Kepada 10

Responden ……… 171

4. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap

masyarakat berdasarkan kels umur dengan menggunakan SPSS ... 177 5. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap

masyarakat berdasarkan etnis dengan menggunakan SPSS ... 178 6. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap

masyarakat berdasarkan tigkat pendidikan menggunakan SPSS ... 179 7. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap

masyarakat berdasarkan umur mulai mengenal kedawung dengan

menggunakan SPSS ... 180 8. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap

masyarakat berdasarkan anak dari pemanen kedawung dengan

menggunakan SPSS ... 181 9. Rincian hasil analisis ragam satu arah (oneway anova) sikap

masyarakat berdasarkan lama pengalaman menggunakan SPSS ... 182 10. Korelasi antara sikap konservasi masyarakat dengan umur dan lama

pengalaman memanen kedawung berdasarkan Uji Pearson Correlation... 183 11. Spesies pohon yang hidup berdekatan dengan pohon kedawung di

TNMB ... 184 12. Analisis kedawung substansi: visi, misi, strtegi kebijakan dan tujuan

Pengelolaan TNMB terhadap konservasi dan kesejahteraan masyarakat... 185 13. Analisi kandungan tri-stimulus amar konservasi dengan peraturan

perundangan yang terkait dengan kebajikan pengelolaan taman

nasional dan serta peran serta masyarakat ... 187 14. Analisis kandungan tri-stimulus amar konservasi kegiatan pengelolaan

TNMB yang telah dilakukan pada tahun 1998-2004 ... 196 15. Kegiatan pengelolaan yang sedang dan akan dilakukan tahun

2005-2009, berkaitan dengan tri-stimulus amar konservasi ... 198 16. Sejarah Ringkas Perkembangan Desa Curahnongko (konsorsium

FAHUTAN IPB-LATIN, 1995) ... 200 17. Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar TNMB ... 202 18. Kedawung di Afrika Barat... 204


(19)

DAFTAR SINGKATAN

AMAR = Alamiah, manfaat dan religius IPB = Institut Pertanian Bogor

LATIN = Lembaga Alam Tropika Indonesia

LSM KAIL = Lembaga Swadaya Masyarakat Konservasi Alam Indonesia Lestari lbds = luas bidang dasar

mdpl = meter dari permukaan laut MBNP = Meru Betiri National Park PA = Pelestarian Alam

SDM = Sumber Daya Manusia TNMB = Taman Nasional Meru Betiri WWF = World Wide Fund For Nature


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada akhir millenium kedua dan di awal millenium ketiga ini agaknya merupakan puncak teratas atau titik kulminasi peradaban manusia terhadap hutan yang terburuk semenjak sejarah manusia ada di muka bumi ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sudah sangat canggih pada masyarakat global, namun tidak diikuti dengan perkembangan sikap manusia yang terpuji terhadap alam, khususnya kepada hutan alam, bahkan menghasilkan nilai kemanusiaan yang mungkin terendah selama sejarah dunia berkembang.

Kemajuan pesat IPTEK menimbulkan kontra-produktif terhadap kelestarian dan rusaknya sumberdaya alam hayati yang menjadi modal dasar bagi kehidupan di bumi ini. Kerusakan dan pengurangan kawasan hutan di dunia telah terjadi dimana-mana, yaitu di awali dari kerusakan hutan di Amerika Utara, Amerika Serikat, Eropah, bekas wilayah Uni Soviet dan lain-lain. Kemudian dalam waktu 50 tahun terakhir ini telah terjadi kerusakan dan penyempitan kawasan hutan tropika dunia yang masih tersisa secara drastis pada hutan hujan tropika Amerika di Brazilia, hutan tropika Afrika di Zaire dan hutan tropika Malaesiana di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Papua (Barber, Johnson dan Hafild, 1999; Meffe dan Carroll, 1994).

Hutan tropika menjadi suatu masalah politik atas berbagai alasan. Hutan tropika memuat 50 hingga 90 persen keanekaragaman hayati planet ini (Reid dan Miller, 1989). Hutan ini menjadi hunian berjuta-juta penduduk asli, suku dan penduduk tradisional lainnya yang menggantungkan nafkah mereka pada hutan dan juga dalam hal tertentu menggantungkan kelangsungan kebudayaannya (Durning, 1992; Myers, 1989). Saat ini secara global, hutan tropika sedang menciut jauh lebih cepat daripada hutan di wilayah iklim sedang (Dudley, 1992 dan WRI, 1992).

Begitu juga kerusakan hutan alam yang terjadi di Indonesia, direfleksikan dari angka kerusakan hutan alam di Indonesia mencapai 59,63 juta hektar. Kawasan hutan alam yang rusak terdiri dari hutan konservasi mencapai 4,69 juta


(21)

2 hektar, hutan lindung mencapai 10,52 juta hektar dan hutan alam produksi mencapai 44,42 juta hektar (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).

Tanggapan-tanggapan resmi tentang kondisi hutan dunia yang memburuk dalam dekade terakhir ini berupa upaya-upaya internasional, seperti dibentuknya Rencana Langkah-langkah Hutan Tropika(Tropical Forestry Action Plan, TFAP) dan Organisasi Internasional Kayu Tropika (International Tropical Timber Organisation, ITTO) dan peningkatan pesat rencana langkah-langkah nasional, strategi, program dan proyek. Namun, kesehatan hutan dunia terus memburuk dan juga sangat mengancam terjadinya pemanasan global. Pendekatan pengelolaan hutan yang sempit berdasarkan ilmu kehutanan tidak dapat menembus kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan sosial yang pada umumnya menentukan masa depan hutan itu (Barber, Johnson dan Hafild, 1999). Selama ini pendekatan pengelolaan kawasan hutan konservasi sangatlah sempit, yaitu berdasarkan ilmu konservasi konvensional yang terfokus pada aspek bio-ekologi, dan tidak memasukkan aspek-aspek ekonomi, politik dan sosio-budaya menjadi satu kesatuan pengelolaan.

Selanjutnya Barber, Johnson dan Hafild (1999) menyatakan, bahwa ada tiga rangkaian masalah tentang pandangan yang lebih luas terhadap krisis hutan dan memahami hambatan-hambatan struktural utama tentang pengelolaan kawasan hutan berkelanjutan dalam abad ke-21, yaitu pada 3 rangkaian masalah : (1) tata laksana hak milik hutan, (2) pembagian kerugian dan keuntungan pengelolaan dan penggunaan kawasan hutan, dan (3) proses politik untuk menetapkan kebijakan kehutanan.

Untuk mengetahui akar permasalahan yang termasuk pada rangkaian masalah di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat grass root, lokal, tajam tetapi bersifat holistik yang mencakup interaksi hutan dengan masyarakat kecil sekitar hutan.

Harris dan Hillman (1989) menyatakan bahwa tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Sayangnya pengetahuan, pengalaman dan budaya ini tak dapat berkelanjutan karena adanya terjadi proses intervensi yang mengakibatkan kehidupan saat ini kehilangan arah,


(22)

3 terjadi pemutusan kelanjutan evolusi genetik tersebut dan tidak dipahami lagi oleh generasi muda.

Berdasarkan pengalaman langsung (direct experience) selama lebih dari 10 tahun di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dalam melakukan kegiatan program konservasi tumbuhan obat kedawung bersama masyarakat, membuktikan bahwa konservasi taman nasional belum berhasil terwujud di lapangan sesuai dengan tujuan ideal suatu taman nasional (Konsorsium FAHUTAN IPB – LATIN, 2001). Berdasarkan pengalaman tersebut di atas diyakini konservasi hutan secara nyata di lapangan sangat berkaitan dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola.

Konservasi kedawung di hutan alam TNMB tidak berjalan dengan baik, hal ini ditunjukkan oleh tidak terjadinya regenerasi kedawung secara alami selama lebih 10 tahun terakhir. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 1993 sampai tahun 2006 di kawasan TNMB tentang kondisi populasi kedawung hanya ditunjukkan oleh 3 individu anakan dan 136 individu pohon dewasa, sedangkan individu tingkat pancang dan tingkat tiang sama sekali tidak ada. Ini sangat beda dengan pohon bendo (Artocarpus elasticus Rein ex. Bl.)) yang melimpah di TNMB pada berbagai tingkat anakan sampai tingkat pohon.

Begitu juga kedawung yang ditanam bersama dan oleh masyarakat pada tahun 1994 sebanyak 1870 bibit di demplot rehabilitasi seluas 7 hektar saat ini pertumbuhannya sangat lambat dan kerdil, karena ditanam dengan jarak tanam yang rapat, yaitu 5 m x 6 m. Penjarangan selama ini tidak pernah dilakukan karena terkendala dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Kedawung dalam skala nasional termasuk satu diantara 30 spesies tumbuhan obat langka Indonesia dengan status kelangkaan dan ancaman jarang, populasinya di Indonesia menurun, bahkan dirasakan mulai jarang dijumpai di habitat aslinya. Biji kedawung sangat sukar berkecambah tanpa perlakuan, sedangkan persentase perkecambahannya di alam sangat kecil (Wiriadinata, 1992). Proses regenerasi kedawung dapat dipastikan secara alami di hutan alam terjadi dengan sangat lambat. Sehingga kalau tidak ada intervensi kebijakan dan campur tangan manusia dalam pengembang-biakannya dapat dipastikan akan punah.


(23)

4 Fakta di lapangan membuktikan bahwa pohon kedawung yang ditanam oleh pengelola dan masyarakat (didampingi oleh konsorsium IPB-LATIN) pada tahun 1989 sampai 1994 di blok Wonowiri, saat ini pohon kedawung telah berumur sekitar 13-18 tahun dan tidak satu pohonpun yang berhasil berbuah.

Hasil-hasil penelitian mengenai aspek bioekologi dan kelangkaannya yang dilakukan di TNMB sampai 2006, diketahui bahwa kedawung adalah termasuk spesies pohon hutan yang besar dengan tajuk (canopy) strata A (strata tajuk tertinggi), bersifat intoleran (tidak suka naungan), sehingga regenerasinya secara alami di hutan tropika primer sangat sulit terjadi. Hal ini ditunjukkan dengan sulitnya menjumpai individu pohon remajanya di habitat hutan alam. Pohon ini hidupnya soliter dengan sesamanya, tetapi hidup berdampingan dan menaungi berbagai spesies tumbuhan lainnya, yang terdiri beraneka bentuk habitus pohon, liana, perdu maupun tumbuhan bawah (Mirwan, 1994; Dewi, 1999; Rinekso, 2000; Winara, 2001; Zuhud et.al, 2003; Subastian, 2007).

Pola penyebaran spasial kedawung di kawasan TNMB bagian barat lebih bersifat mengelompok dibanding dengan pola penyebaran spasialnya pada kawasan bagian timur (Subastian, 2007). Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat pendarung1) diduga berpengaruh terhadap konservasi kedawung di TNMB, yaitu fenomena ini diduga adanya pengaruh masyarakat pendarung

dulunya dalam pola penyebaran biji kedawung di hutan alam.

Berdasarkan manfaatnya kedawung merupakan salah satu spesies tumbuhan obat yang dikenal sebagai obat penyakit pencernaan (perut kembung). Biji kedawung merupakan kelompok 10 bahan baku yang terbanyak dibutuhkan industri jamu di Jawa (Mujenah, 1993; Sandra dan Kemala, 1994; Purwandari, 2001). Kedawung di TNMB merupakan pohon tumbuhan obat yang bernilai ekonomi bagi masyarakat pendarung, yaitu sebagai sumber mata pencaharian pada saat musim kemarau dan paceklik.

Berdasarkan keterangan di atas, pohon kedawung baik secara bioekologis maupun secara sosio-ekonomi masyarakat merupakan spesies penting di TNMB dan spesies ini sedang menuju kelangkaan. Hal inilah yang menjadi stimulus

_______________________________________________________________ 1 )

Istilah digunakan untuk kelompok masyarakat yang mengambil hasil hutan non kayu, biasanya mereka bermalam di hutan 2-5 hari.


(24)

5 memilih spesies kedawung sebagai salah satu spesies tanaman pokok untuk dikembangkan di lahan rehabilitasi.

Penelitian disertasi ini mengkaji akar permasalahan konservasi yang ditinjau dari kaitan sikap dan aksi konservasi masyarakat dan pengelola yang terwujud di lapangan. Penelitian ini dilakukan melalui kajian kasus tentang sikap masyarakat pendarung terhadap sinyal dan stimulus kedawung (Parkia timoriana

(DC) Merr.) yang terjadi di hutan alam. Masyarakat pendarung merupakan

masyarakat kecil di TNMB yang melakukan kegiatan pengambilan hasil hutan non-kayu, antara lain terhadap spesies tumbuhan pohon obat kedawung. Kegiatan masyarakat pendarung ini di TNMB sudah berlangsung secara turun temurun lebih dari 50 tahun yang lalu.

Penelitian ini juga menggunakan pengalaman dan data dari hasil kegiatan domestikasi dan budidaya kedawung di lahan rehabilitasi tetelan2) yang dilakukan sejak tahun 1993 bersama dan oleh masyarakat sekitar TNMB.

Selama ini tidak ditemukan penelitian mengenai sinyal, stimulus atau informasi karakteristik bioekologi suatu spesies yang dikaitkan dengan sikap masyarakat untuk kegiatan konservasinya. Walaupun sudah banyak penelitian yang mengaitkan konservasi dengan sikap masyarakat, namun penelitian mengenai sikap masyarakat dan konservasi yang dikaitkan dengan stimulus tumbuhan tidak ditemukan.

Suatu spesies tumbuhan yang banyak berinteraksi dengan manusia dalam jangka waktu yang panjang, diyakini konservasi dan bioekologinya banyak terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Konservasi atau keberlanjutan suatu spesies dapat terjadi apabila sikap dan perilaku manusia tersebut sesuai dengan kebutuhan hidup spesies itu di alam. Artinya konservasi kedawung dapat berlangsung apabila sinyal dari kedawung di alam yang menginformasikan kelangkaan dapat ditangkap dan dipahami oleh masyarakat maupun pengelola menjadi stimulus atau pendorong sikap masyarakat maupun sikap pengelola untuk aksi konservasinya.

Pengertian stimulus adalah sinyal, fenomena dan informasi yang diperlihatkan oleh kedawung yang dapat dipahami dan menjadi pendorong atau perangsang masyarakat untuk bersikap dan berperilaku konservasi. Seperti halnya

_______________________________________________________________ 2)


(25)

6 dalam masyarakat Afrika Barat nilai kedawung ini telah menjadi stimulus bagi sikap dan aksi konservasi masyarakat lokalnya (Hall, Tomlinson, Oni, Buchy dan Aebischer, 1997; Quedraogo, 1995; Shao, 2002).

Kelompok masyarakat kecil yang dipilih untuk diteliti adalah masyarakat

pendarung kedawung, karena mereka inilah orang yang paling dekat dan paling banyak berinteraksi dengan kedawung selama ini.

Penelitian ini dilakukan secara bertahap, yaitu terdiri dari penelitian pendahuluan dalam bentuk klarifikasi dan verifikasi hasil-hasil penelitian tentang karakteristik bioekologi kedawung kepada beberapa tokoh masyarakat pendarung dan pengelola. Hal ini bertujuan terutama untuk merumuskan pernyataan-pernyataan stimulus kedawung dan pernyataan-pernyataan aksi konservasi yang disesuaikan dengan bahasa dan pengalaman masyarakat, sehingga dapat dijadikan sebagai alat ukur sikap yang valid. Selanjutnya dilakukan penelitian wawancara langsung secara sensus untuk menguji sikap masyarakat pendarung dan sikap pengelola dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang telah disusun seperti yang disebutkan di atas. Sehingga dari hasil penelitian ini dapat diketahui sejauh mana stimulus kedawung ini menjadi sikap dan aksi masyarakat untuk konservasinya

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diungkapkan di atas dapat dikemukakan rumusan permasalahan penelitian secara umum, dalam bentuk pertanyaan penelitian, sebagai berikut : “Mengapa sampai saat ini belum terwujud cita-cita ideal taman nasional dalam kenyataan, yaitu terpeliharanya potensi keanekaragaman hayati alamiah dan asli dari suatu ekosistem hutan primer dan sekaligus bermanfaat dan dimanfaatkan sebesar besarnya secara berkelanjutan bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat ?

Apa dan mengapa tujuan ideal taman nasional belum terwujud, penulis mencoba mengaktualisasikan dengan kasus konservasi kedawung. Khususnya lagi fokus penelitian ini adalah yang berhubungan dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola taman nasional terhadap stimulus kedawung untuk aksi


(26)

7 konservasi. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini merupakan rincian permasalahan yang diharapkan dapat diperoleh jawaban yang tajam dari penelitian, yaitu : 1. Apakah sikap masyarakat berkaitan erat dengan stimulus kedawung yang telah

dan sedang terjadi di kawasan taman nasional ?

2. Apakah sikap pengelola taman nasional berkaitan erat dengan stimulus

kedawung yang telah dan sedang terjadi di kawasan taman nasional ?

3. Apakah sikap masyarakat dan sikap pengelola berkaitan erat atau bias dengan

stimulus kedawung guna keberlanjutan konservasi di habitat alaminya ? 4. Apakah keterkaitan stimulus kedawung dan aksi konservasi oleh masyarakat

berjalan simultan ?

5. Apakah keterkaitan stimulus kedawung dan aksi konservasi oleh pengelola berjalan simultan ?

6. Apakah terjadi bias pemahaman stimulus kedawung dengan aksi konservasi oleh masyarakat dan pengelola ?

7. Apakah sikap dan aksi konservasi oleh masyarakat dilandasi kesediaan-kerelaan berkorban ?

8. Apakah sikap dan aksi konservasi oleh pengelola dilandasi kesediaan-kerelaan berkorban ?

9. Apakah ada perbedaan pengalaman antara masyarakat dengan pengelola ? 10.Apakah masyarakat dan atau maupun pengelola memahami bahwa stimulus

kedawung, sikap dan aksi konservasi itu seharusnya dilaksanakan simultan ?

C. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah mengetahui secara mendalam dan rinci tentang sikap masyarakat dan sikap pengelola terhadap stimulus kedawung yang sedang berlangsung saat ini di kawasan TNMB. Masyarakat yang dimaksud terdiri dari individu-individu masyarakat pendarung yang sudah berpengalaman dan berulang-ulang selama lebih 10 tahun berinteraksi dengan pohon kedawung, terutama dalam kegiatan pengambilan buahnya di hutan taman nasional. Berdasarkan alasan atau argumen di atas, maka ditetapkan asumsi penelitian ini bahwa masyarakat pendarung kedawung merupakan kelompok masyarakat yang


(27)

8 paling bisa menangkap sinyal menjadi stimulus untuk mendorong sikap dan aksi konservasi kedawung di TNMB.

D. Tujuan Penelitian

Mengetahui faktor-faktor pendorong berupa stimulus apa saja yang terkait kuat dengan sikap masyarakat maupun pengelola secara aktual di lapangan. Sekaligus mengetahui dan memastikan kelompok stimulus kuat (evoking stimulus) apa saja yang seharusnya menjadi pendorong dan perangsang sikap masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi, sehingga terwujud tujuan ideal taman nasional seperti apa yang telah disebutkan dalam permasalahan di atas.

Penelitian ini dilakukan dan didekati dengan contoh kasus konservasi kedawung di TNMB, melalui perumusan tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui stimulus kedawungapa saja yang terkait dengan sikap masyarakat 2. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang terkait dengan sikap pengelola 3. Mengetahui keterkaitan stimulus kedawung antara sikap masyarakat dengan

sikap pengelola untuk konservasi

4. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang terkait dengan aksi masyarakat untuk konservasi

5. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang terkait dengan aksi pengelola untuk konservasi

6. Mengetahui stimulus kedawung apa saja yang bias dengan aksi masyarakat dan aksi pengelola untuk konservasi

7. Mengetahui sikap yang terkait dengan kerelaan berkorban masyarakat untuk aksi konservasi.

8. Mengetahui sikap yang terkait dengan kerelaan berkorban pengelola untuk aksi konservasi

9. Mengetahui perbedaan pengalaman dalam sikap dan aksi konservasi antara masyarakat dan pengelola

10.Mengetahui ketidak sejalanan stimulus kedawung dengan sikap dan aksi konservasi antara masyarakat dan pengelola.


(28)

9

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini menghasilkan rumusan akar permasalahan dan sekaligus sintesis penyelesaian masalah bagi pengelolaan kawasan konservasi taman nasional ditinjau dari sikap masyarakat dan implikasi konservasinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai alat (tool) untuk membantu penyelesaian masalah pengelolaan untuk mendukung terwujudnya tujuan ideal taman nasional atau bentuk kawasan hutan konservasi lainnya.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat menjadi “pintu masuk” bagi penyusunan, perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundangan sampai kepada program aksi di lapangan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan hutan konservasi maupun kawasan hutan lainnya.


(29)

II. METODOLOGI PENELITIAN

A.

Kerangka Pemikiran

1. Teori hubungan stimulus dan sikap

Menurut Rosenberg dan Hovland (1960), sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat, menunjukkan bentuk, arah, dan sifat yang merupakan dorongan, respon dan refleksi dari stimulus. Sikap berisikan komponen berupa

cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan behavioral /

overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak).

Berikut ini dikemukakan skema konsep sikap menurut Rosenberg dan Hovland (1960) dalam bukunya berjudul “ Attitude Organization and Change” :

Gambar 1. Skema konsep stimulus dan sikap

Menurut Rosenberg (1960) dan Krech, Crutchfield & Ballachey (1962), pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor dari luar berupa stimulus. Individu menanggapi lingkungan luarnya bersifat selektif, ini berarti bahwa apa yang datang dari luar tidak semuanya begitu saja diterima, tetapi individu mengadakan seleksi mana yang akan diterima, mana yang akan ditolak atau tidak direspon, yaitu tidak menjadi stimulus. Hal ini berkaitan erat dengan apa yang telah ada dalam komponen cognitive dan affective pada diri individu dalam menanggapi stimulus dari luar. Hal ini akan menentukan apakah sesuatu stimulus dapat diterima atau tidak, karena itu faktor individu justru merupakan faktor penentu.

Stimulus (individuals, situations, social issues, social groups, and other “attitude objects”)

Attitudes

Affective: Sympathetic nervous responses Verbal statement of affective

Cognitive: Perceptual responses Verbal statement of beliefs

Behavior: Overt actions (tand to act) Verbal statement concerning behavior Measurable Independent

variables

Intervening variables


(30)

11 Rosenberg (1960) mengemukakan teori “affetive-cognitive consistency” dalam hal sikap (attitudes), teori ini kadang disebut dengan teori “dua faktor”. Teori ini memusatkan perhatian pada hubungan komponen cognitive dan komponen affective. Komponen affective berhubungan dengan bagaimana perasaan yang timbul pada seseorang yang menyertai sikapnya, dapat positif tetapi juga dapat negatif terhadap stimulus. Bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap stimulus, maka ini berarti adanya hubungan pula dengan nilai-nilai positif yang lain yang berhubungan dengan stimulus tersebut, demikian juga dengan sikap yang negatif. Ini berarti menurut Rosenberg (1960), bahwa komponen affective akan selalu berhubungan dengan komponen cognitive dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten. Ini berarti pula bahwa bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap sesuatu stimulus, maka indeks

cognitive-nyajuga akan tinggi, demikian sebaliknya.

Suatu hal yang penting dalam penerapan teori Rosenberg (1960) ialah dalam kaitannya dengan perubahan sikap. Karena hubungan komponen affective

dengan komponen cognitive konsisten, maka bila komponen affective berubah maka komponen cognitive-nya juga akan berubah. Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu komponen cognitive-nya, hingga akhirnya komponen affective-nya akan berubah. Dalam rangka pengubahan sikap, Rosenberg (1960) mencoba mengubah komponen affective terlebih dahulu dan dengan berubahnya komponen affective akan berubah pula komponen cognitive -nya, yang akhirnya akan berubah pula sikapnya.

Jadi pada dasarnya komponen sikap cognitive (objektif) adalah berupa rasionalitas yang didasarkan pada pengalaman sendiri atau pengetahuan yang menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk perilakunya. Komponen sikap affective (subjektif) cenderung membangkitkan emosional baik suka maupun sedih atau tidak suka terhadap suatu stimulus yang merangsang untuk berbuat atau bertindak. Komponen sikap yang ketiga behavioral/overt action

adalah kecenderungan bertindak nyata yang merupakan operasional dan kristalisasi komponen cognitive dan affective.


(31)

12 2. Hubungan sistem nilai dengan stimulus

Pengertian cognitive dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan stimulus, melainkan juga mencakup beliefs atau kepercayaan tentang hubungan antara stimulus itu dengan

sistem nilai yang ada dalam diri individu (Rosenberg, 1960; dan Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962).

Pemahaman tentang sistem nilai dalam suatu masyarakat tradisional atau masyarakat kecil sekitar hutan yang relevan dengan penelitian ini antara lain:

Nilai ekonomi. Nilai ini berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai, baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat. Kehadiran nilai ini mendorong manusia bersikap realistik, baik menentukan tujuannya maupun dalam menentukan standar tingkat kepuasan yang ingin diperoleh. Nilai ini relatif mudah diamati dan diukur sehingga sering dikaitkan “harga” padanya (Siagian, 2004). Nilai varietas tanaman tradisional seperti tumbuhan dan hewan yang kurang dikenal akan tetapi mempunyai nilai nutrisi atau tumbuhan obat yang dipanen dari hidupan liar ternyata dapat menyediakan basis ekonomi yang penting bagi masyarakat membantu mereka untuk menyangga dan menopang hidupnya di kala rawan pangan (Soedjito dan Sukara, 2006).

Nilai sosio-budaya. Manusia adalah makhluk sosial, setiap individu sangat mendambakan penerimaan yang ikhlas oleh orang lain terhadap keberadaannya. Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini akan tetapi, dikelilingi oleh komunitas dan alam semesta sekitarnya. Manusia harus memelihara hubungan baik dengan sesamanya, cinta kepada sesama, cinta dan rela berkorban untuk hak-hak generasi mendatang, mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi, bersifat harmoni dalam interaksi dengan orang lain dan lingkungan alam. Hal ini merupakan contoh nilai-nilai sosial-budaya yang penting. Nilai sosial-budaya sangat perlu ditanamkan, dikembangkan dan dipupuk dalam kehidupan berkelompok dan bermasyarakat karena akan memperlancar segala usaha dan kebersamaan dalam komunitas, untuk mencapai tujuan bersama (Siagian, 2004 dan Fathoni, 2006). Contoh manfaat sosio-budaya dalam masyarakat adat adalah


(32)

13 sistem spritual dan kepercayaan masyarakat yang terpusat pada konsep sifat keramat, seperti hutan keramat dan lansekap keramat yang dapat berperan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati (Soedjito dan Sukara, 2006).

Nilai sosio-ekologi. Manusia hidup sangat tergantung kepada keberlanjutan sediaan sumberdaya alam dalam jangka panjang. Manusia secara fisik biologis merupakan bagian dari ekosistem alam di bumi ini. Manusia tidak dapat hidup tanpa terpeliharanya sistem lingkungan alam yang sehat dan berkelanjutan, seperti terpeliharanya fungsi ekosistem hutan untuk stabilisasi fungsi-fungsi hidrologis,

daur oksigen, perlindungan kesuburan tanah dan longsor, menjaga stabilitas iklim, perlindungan sumberdaya keanekaragaman hayati, menjaga kesimbangan lingkungan, dan lain-lain. Kesemua ini merupakan contoh nilai-nilai ekologis yang sangat penting bagi keberlanjutan hidup manusia sepanjang masa. Nilai ekologis ini sangat erat hubungannya dan saling mendukung dengan nilai-nilai sosial, yang merupakan motivator untuk melakukan aksi bersama mencapai tujuannya, seperti halnya tujuan konservasi (McNeely, 1992). Cara bagaimana masyarakat melestarikan dan memanipulasi kekompleksan keanekaragaman hayati dan ekosistem memberi kontribusi kepada ketahanan ekosistem dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam menanggulangi perubahan lingkungan (Soedjito dan Sukara, 2006).

Nilai religius. Nilai-nilai religius menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata-mata berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya (Siagian, 2004). Nilai-nilai religius inilah merupakan motivator utama dalam sejarah kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi

stimulus yang efektif dalam membangun sikap dan perilaku manusia di zaman itu. Begitu juga nilai-nilai religius agama Shinto yang merupakan kepercayaan rakyat Jepang kepada Kaisar Keramat Keturunan Dewa, dapat dipergunakan oleh


(33)

14 para pemimpin Jepang sebagai energi stimulus untuk melaksanakan pembangunan atas nama Kaisar yang keramat. Unsur-unsur ajaran Shinto itu terjalin langsung ke dalam kehidupan kekeluargaan dan kehidupan sehari-hari orang Jepang, sehingga menjadi jaminan partisipasi sepenuhnya dari setiap individu rakyat Jepang dalam pembangunan. Nilai ini pula yang menjadi motivasi utama bagi perilaku orang Jepang setelah perang dunia kedua berakhir dalam membangun negaranya (Koentjaraningrat, 1974 dan Siagian, 2004).

Keterputusan suatu “sistem nilai” yang sudah mengakar di masyarakat secara turun temurun dengan “sistem nilai” baru yang diterapkan, seperti yang dibahas dalam “teori sistem nilai” yang dikemukan oleh Ndraha (2003), akan menimbulkan discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion. Sesuatu yang terpenting mungkin bukan yang terbaik, sementara yang terbaik belum tentu yang paling benar. Jadi yang ideal adalah, jika suatu hal merupakan yang terpenting, terbaik, dan juga terbenar. Kombinasi dari berbagai kategori nilai terpenting, terbaik dan terbenar pada skala masing-masing itulah yang membentuk sistem nilai dan titik temu. Ndraha (2005) mengemukakan, bahwa suatu nilai terputus atau tidak bertemu karena nilai tersebut tidak berada atau lepas dari sistem nilainya. Misalnya bangunan sistem nilai N dengan menggunakan tiga sumbu dengan nilai skala (X,Y dan Z) : penting (nilai-guna), baik (nilai-etika/moral), dan benar (nilai-fakta). Sistem nilai N tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini :

(Sumber: Ndraha, 2005)

Gambar 2. Sistem nilai

Salah

(X) Benar (nilai fakta) Penting (nilai guna)

(Y)

Buruk

Tak Penting(nilai guna) (Z)


(34)

15 Gambar di atas dapat dibuat suatu “sistem nilai kedawung” yang direfleksikan dari stimulus, yaitu N= f(X,Y,Z). Sumbu Y “penting” adalah stimulus kedawung berupa nilai-guna/manfaat kedawung, sumbu X “baik” adalah stimulus kedawung berupa nilai-etik, moral, kerelaan, sikap atau perilaku untuk konservasi, dan sumbu Z “benar” adalah stimulus kedawung berupa nilai-fakta bioekologi dan kondisi populasi/regenerasi untuk terwujudnya konservasi. Walaupun sistem nilai dapat berubah, dan nilai N di dalam sistempun dapat berubah, namun N harus selalu berada di dalam ruang sistem sumbu X, Y dan Z, yaitu dalam gambar ruang pada skala garis kontinu, bukan berada dalam gambar ruang garis putus-putus. Apabila nilai terlepas dari sistemnya, maka terjadi keterputusan nilai, sehingga terjadilah discontinuity, inconsistency, disparity dan

distortion terhadap konservasi kedawung.

3. Aliran informasi dalam ekosistem sebagai stimulus

Menurut Rachman (1996), masyarakat tradisional menggunakan informasi alam sebagai pedoman utama untuk melakukan aksi atau tindakan dalam kehidupan mereka berinteraksi dengan lingkungan habitat alami. Pakar antropologi pertanian IPB yang pernah menjadi murid dari Terry A. Rambo yang disebutkan di atas menggambarkan aliran informasi dalam suatu ekosistem masyarakat tradisional sebagai berikut :

(Sumber : Rachman, 1996)

Gambar 3. Aliran informasi dalam ekosistem masyarakat tradisional

Selanjutnya Rachman (1996) mengemukakan di dalam masyarakat tradisional terjadi tukar menukar informasi antara sistem sosial masyarakat dengan ekosistemnya, yaitu antara lain berupa :

a. Input dari ekosistem ke sistem sosial masyarakat. Input ini antara lain dapat berbentuk informasi (misal: suara, penglihatan/visual).

b. Input dari sistem sosial masyarakat ke ekosistem. Input informasi yang diperoleh sistem sosial masyarakat dapat menghasilkan informasi baru sebagai input terhadap ekosistem, misalnya informasi untuk aksi konservasi.

Energi dan materi

Sinyal Stimulus

Ditangkap pikiran masyarakat

Keputusan

Aksi atau tindakan


(35)

16 Berikut dikemukakan beberapa contoh informasi tentang sinyal-sinyal alam yang ditangkap oleh kelompok individu atau kelompok masyarakat menjadi stimulus bagi sikap dan selanjutnya menjadi informasi untuk bertindak atau beraksi.

Tabel 1. Beberapa contoh informasi kejadian alam sebagai stimulus

Sumber Informasi untuk stimulus (variabel bebas)

Kelompok yg dituju

Makna informasi jadi stimulus bagi sikap

Informasi untuk bertindak

(variabel tak bebas)

1. Suara monyet Pemburu Kehadiran monyet Dekati, jerat atau tembak 2. Cahaya merah terang di langit

saat matahari terbenam

Pelaut Besok hari akan cerah dan baik

Berangkat untuk melaut

3. Banyak binatang mengungsi turun dari gunung

Masyarakat sekitar gunung

Gunung segera akan meletus

Segera mengungsi menjauhi gunung ke tempat aman 4. Air laut di pantai surut drastis

dan banyak ikan terdampar

Masyarakat pinggir pantai

Bencana tsunami segera akan terjadi

Segera berlari menjauhi pantai ke tempat aman 5. Buah kedawung menghitam di

Pohonnya

Masyarakat pendarung buah kedawung

Buah kedawung masak dan siap dipanen

Segera memanen buah kedawung

6. Di hutan alam taman nasional hanya ada pohon-pohon kedawung berdiameter besar.

Pengelola dan masyarakat pendarung kedawung

Proses regenerasi terhambat atau terputus, pohon kedawung akan menjadi langka dan bahkan punah

Lakukan segera pengayaan atau penanaman pohon kedawung di hutan alamtaman nasional

Pada Tabel 1 di atas dapat dipahami bahwa suatu sinyal adalah mengandung informasi, apabila informasi tersebut dapat dipahami dan disadari oleh kelompok yang dituju, maka sinyal akan menjadi stimulus dan akan mendorong menjadi sikap. Selanjutnya stimulus-sikap kemudian akan memberikan informasi untuk bertindak atau beraksi. Kalau semua proses ini dapat terjadi dan berlangsung baik dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, maka barulah tindakan atau aksi yang diinginkan sesuai dengan bentuk, arah dan sifat stimulus akan dapat terwujud dengan baik.

Contoh yang baik dan mudah dipahami adalah seperti terjadi pada peristiwa bencana alam Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Aceh yang telah menimbulkan banyak korban nyawa manusia. Sebelum Tsunami, terjadi gempa kuat yang berpusat di dasar laut, sesaat kemudian muncul dua fenomena atau sinyal alam sekaligus, yaitu air laut surut seketika dan banyak ikan terdampar. Dua sinyal alam yang terjadi sekaligus ini, tidak lain adalah merupakan dua variabel bebas yang merupakan informasi dari alam. Informasi

tersebut mendorong dan merangsang sikap dan aksi masyarakat (variabel tak bebas). Masyarakat umumnya berlari mendekati laut berebut memungut ikan


(36)

17 yang terdampar, bukannya informasi ini menjadi stimulus bagi masyarakat untuk segera lari menjauhi pantai! Akhirnya mereka banyak menjadi korban tsunami. 4. Stimulus, sikap dan aksi konservasi

Menurut Harris dan Hillman (1989) dalam buku yang disuntingnya “Foraging and Farming, The Evolution of Plant Expoitation”. Buku ini merupakan himpunan makalah hasil kongres Anthropology dan Archaeology, dimana lebih dari 850 ilmuwan peserta dari 70 negara dunia dalam “One World Archaeology” di London bulan September 1986. Buku ini mengungkapkan bahwa tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Namun sayangnya pengetahuan, pengalaman dan budaya ini tak dapat berkelanjutan karena terjadi suatu proses intervensi yang mengakibatkan kehidupan terkini kehilangan arah yang memutuskan kelanjutan evolusi genetik tersebut dan tidak dipahami lagi oleh masyarakat generasi muda.

Salah satu kegagalan manusia dalam berinteraksi dengan alam tumbuhan adalah karena manusia tidak memahami kedudukan serta makna rahasia alam tumbuhan dan hewan serta habitatnya dalam rangka kepentingan untuk keberlanjutan hidup manusia itu sendiri (Tompkinn dan Bird, 2004). Kunci dari pemaknaan tersebut antara lain adalah mengenal sinyal-sinyal dan fenomena-fenomena, yang merupakan informasi kebenaran dari alam yang tersebar di alam tumbuhan, hewan dan habitatnya. Informasi itu semua, semestinya dapat menyatu padu dan mengkristal menjadi stimulus sikap dan menjadi informasi untuk aksi konservasi dan harmoni terhadap dunia tumbuhan dan habitatnya. Hal ini dapat terwujud dengan prasyarat adanya kerelaan berkorban untuk konservasi dan hendaknya merupakan sekaligus sebagai wujud pertanggung-jawaban setiap individu manusia kepada alam itu sendiri dan kepada Sang Pencipta.

Penelitian ini memfokuskan kepada masalah stimulus kedawung yang dapat mendorong dan terkait erat dengan sikap masyarakat pendarung maupun sikap pengelola untuk aksi konservasi kedawung.

Sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat dan menunjukkan bentuk, arah, dan sifat sebagai refleksi dari nilai-nilai yang dimiliki satu-kesatuan


(37)

18 masyarakat (society as a whole). Sikap ini berisikan komponen setidak-tidaknya berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective

(emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak). Jadi sikap itu merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang mengenai objek yang disertai adanya pikiran dan perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau bertindak dalam cara tertentu yang dipilihnya (Rosenberg dan Hovland, 1960; Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962) .

Pengertian “stimulus” dalam penelitian ini adalah “sinyal”, “fenomena” atau “gejala”, yang diperlihatkan oleh komponen ekosistem hutan yang dapat menjadi perangsang masyarakat untuk bersikap terhadap sesuatu. Khusus dalam penelitian ini, yang dimaksud adalah sinyal yang diinformasikan atau ditunjukkan oleh pohon kedawung yang dapat menjadi stimulus bagi sikap masyarakat untuk aksi konservasinya. Sinyal baru dapat menjadi stimulus apabila dapat ditangkap dan dipahami oleh komponen sikap (cognitive dan affective).

Pada dasarnya komponen sikap terdiri dari objektif (cognitive) berupa rasionalitas yang didasarkan pengalaman sendiri atau pengetahuan yang menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk sikapnya. Keadaan seperti ini bisa terjadi pada pengelola maupun anggota masyarakat. Komponen sikap juga bersifat subjektif (affective) yang cenderung membangkitkan emosional baik sedih atau gembira, suka maupun tidak suka terhadap suatu stimulus yang merangsang untuk berbuat atau bertindak konservasi. Apabila keadaan seperti ini berlanjut tanpa terjadi dialog yang melibatkan komponen sikap lainnya (cognitive) bisa meghasilkan bentuk, sifat maupun arah sikap yang berbeda dari konservasi. Komponen sikap yang ketiga, yaitu kecenderungan bertindak nyata (overt action) yang mungkin mengarah kepada bentuk, sifat dan arah yang memperkuat konservasi atau malahan sebaliknya memperlemah atau bahkan menolak.

Keterkaitan stimulus-sikap akan memungkinkan terjadinya keterkaitan yang erat dengan aksi konservasi. Hal itu karena ada asumsi bahwa sifat bioekologi dan manfaat akan dirasakan oleh masyarakat secara ekonomi, ekologi maupun sosial-budaya. Tetapi sebaliknya keterkaitan stimulus-sikap, memungkinkan pula putusnya keberlanjutan konservasi, sebagai contoh stimulus


(1)

hutan, kita (mbah Setomi dkk.) dituduh sebagai tukang ngrusak hutan, tukang mbakar hutan, apa saja yang kita hasilkan dari hutan akan dirampas semua, kalau sudah berwujud uang, mereka juga masih minta bagian.

1973 Kesenian reog sudah punah. Pesawat TV mulai masuk

1975 Alat transportasi dokar punah diganti dengan kenderaan bermotor roda dua dan roda empat 1976 Penyerahan kawasan hutan jati Perhutani untuk perluasan kawasan Suaka Margasatwa 1977 Mulai ada tradisi tahlilan, dzibaan, barzanji dan arisan. Pendirian masjid di kampung Timur

Sawah yang merupakan hasil swadaya murni masyarakat.

1980 Orang saat itu beramai-ramai mencari dan menebang kayu Gaharu, terutama di di Tumpak Gondel, Tapen, Growong, Pondok Jati, dll. Pacar Gunung mulai susah ditemukan, yang banyak tinggal kayu putihan saja, yaitu Bendoh, Bindung dan Rawu.

1982 Suaka Margasatwa Meru Betiri diperluas menjadi 58.000 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 529/Kpts/Um/7/1982tanggal 21 Juli 1982. Kemudian pada tanggal 14 Oktober 1982 berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor : 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 Suaka Margasatwa Meru Betiri dinyatakan sebagai ”Calon” Taman Nasional Meru Betiri.

1985 Mulai ada Puskesmas di Curahnongko. Berdirinya Posyandu. Ada KKN gelombang I dari Universitas Jember

1986 Salah seorang putra desa ada yang meneruskan ke perguruan tinggi.

1988 Boreg-boreg kayu Jati mulai ada, yang mendatangi penduduk agar mau ngempleng jati dengan iming-imingi pendapatan tinggi. Sejak itu pencurian kayu jati mulai marak dan terang-terangan, bahkan sampai ada yang memakai gergaji senso (chain saw) segala. Tetapi tidak ada yang ditangkap, mungkin mereka kerjasama dengan petugas PA, polisi dan tentara (mbah Setomi).

1989 Kerusakan Alas Meru benar-benar terasa, saat itu terjadi pengambilan bambu secara besar-besaran guna memnuhi kebutuhan pabrik Sumpit dan untuk Sajen. Setiap hari bertruk-truk bambu di bawa keluar, padahal kalau untuk Sumpit yang bisa dipakai hanya pangkal dan tengah batang, setengah pucuk ke atas harus dibuang, sehingga mengering dan mudah terbakar. 1990 Kampung Andongrejo mulai memisahkan diri dari desa Curahnongko menjadi desa Andongrejo 1991 Terjadi banjir yang merobohkan jembatan dan menghancurkan satu rumah penduduk.

Dibentuknya “Mitra Jaya” organisasi pemuda yang aktif dalam olahraga.

Sampai tahun ini tidak pernah ada pembinaan atau penyuluhan dari petugas PA maupun Perhutani, sehingga masyarakat tidak pernah berhubungan dengan PA, kecuali jika ketemu saat membawa hasil dari hutan. Jadi pembinaan tidak ada, kalau cegatan setiap hari ada, soalnya PA sudah hafal jalan-jalan orang mencari madu, kedawung, kluwek, joho dan lain-lain. Sehingga mereka tinggal menunggu dijalan saja.

1992 Mahasiswa S1 IPB Mujenah melakukan penelitian mengenai “Interaksi Masyarakat dengan Tumbuhan Obat di Taman Nasional Meru Betiri”. Penelitian ini melakukan wawancara dengan masyarakat pendarung tumbuhan obat dari dukuh Timur Sawah Desa Andongrejo dan dari desa Curahnongko, pada waktu itu ada 4 jenis tumbuhan obat yang banyak dipanen masyarakat dari hutan, yaitu buah Kedawung, buah Pakem, buah Kemukus dan buah Joho Lawe.

1994 Pembangunan Demplot rehabilitasi seluas 7 ha oleh 43 KK masyarakat dari kampung Timur Sawah, yang didampingi oleh Konsorsium IPB-LATIN dengan ketua kelompoknya Mbah Setomi. Penanaman tanaman pokok dimulai pada bulan September dengan jenis pohon kedawung, pakem, kemiri, trembesi dan tumbuhan obat bukan pohon berupa cabejawa dan pule pandak.

1995 Panen Jagung pertama masyarakat di demplot 7 ha. lahan rehabilitasi.

Kelompok TOGA Sari Hutani dan Sumber Waras mulai memproduksi berbagai jamu instan, seperti instan temulawak, temu mangga, teh lampes, pule pandak dll. TOGA Sumber Waras mulai dikenal dengan produknya instan ”Morus alba” yang telah banyak menyembuhkan penderita sakit asam urat.

1997 Status “Balai Taman Nasional Meru Betiri” ditetapkan dengan keluarnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 seluas 58.000 ha.

1998 Mulai terjadi penebangan jati besar-besaran di areal terluar kawasan Taman Nasional Meru Betiri, sepanjang desa Curahnongko, Sanenrejo dan Curahtakir

1999 Mulai dilakukan program rehabilitasi lahan bersama masyarakat di zona rehabilitasi seluas sekitar 2500 ha dengan pendampingan yang dilakukan oleh Konsorsium IPB-LATIN

2001 Kegiatan pendampingan masyarakat rehabilitasi diteruskan oleh LSM KAIL, LSM masyarakat lokal yang difasilitasi pembentukannya oleh Konsorsium IPB-LATIN.


(2)

202

Lampiran 17. Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar TNMB

a. Jumlah penyebaran dan kepadatan penduduk desa sekitar kawasan TNMB

No. Desa Luas (km2) Jumlah Penduduk Jumlah (jiwa) Kepadatan

(jiwa/km2)

Laki-laki Perempuan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo 283,4 262,8 6,2 77,9 88,9 48,4 51,3 51,5 2.883 2.667 4.294 5.633 2.871 4.629 7.792 4.442 2.832 2.828 4.437 5.303 2.977 4.893 8.158 4.659 5.716 5.495 8.731 10.936 5.848 9.522 15.953 9.101 20,17 20,91 1412 140,45 65,75 196,69 311,04 176,86 9. 10. 11. Kab.Banyuwangi Sarongan Kandangan Kebonrejo 27,0 18,1 83,2 2.931 4.175 4.466 2.992 4.384 4.650 5.923 8.559 9.116 219,36 473,82 109,60

Jumlah 998,70 46.783 48.113 94.900 1748,77

Sumber : Monografi Desa, 2005

b. Tingkat pendidikan masyarakat desa sekitar kawasan TNMB

No. Desa

Tingkat Pendidikan (orang)

Jumlah Belum/ Tidak sekolah Belum Tamat SD Tamat SD/ Sederajat Tamat SLTP/ Sederajat Tamat SLTA/ Sederajat Tamat Akademi/ PT 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo 2.350 2.934 801 2.735 2.704 756 945 684 341 9 1.025 1.258 960 4.568 3.556 4.723 2.314 2.230 5.302 2.442 1.734 1.037 1.393 1.421 324 190 809 3.203 289 157 468 167 296 36 763 1.270 159 4 265 204 41 11 31 27 13 - 14 2 5.716 5.495 8.731 10.936 5.859 6.522 6.627 7.199 9. 10. 11. Kab.Banyuwangi Sarongan Kandangan Kebonrejo 496 768 889 990 1.134 2.177 2.908 1.351 2.142 1.702 901 1.560 1.212 8 47 32 5.923 8.559 7.745 Sumber : Monografi Desa Tahun 2005

c. Pola penggunaan lahan di desa sekitar kawasan TNMB

No. Desa Jumlah KK

Jenis dan luas penggunaan lahan (Ha)

Ha/ KK Sawah Bangunan/

Halaman

Tambak/ Kolam

Kebun

Rakyat Tegal Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo 1.716 1.311 2.558 3.367 1.633 3.321 5.863 2.817 60,27 60,17 - 234,00 175,65 15,00 103,00 150,00 105,20 33,51 127,20 139,00 89,20 73,00 190,00 112,00 - - - - - - 2,00 1,00 - 2,50 - - - - - - 153,42 170,02 248,37 177,18 267,17 1.874 468,00 639,00 318,89 266,20 375,57 550,18 532,02 1.962,00 763,00 902,00 0,186 0,203 0,147 0,163 0,326 0,591 0,130 0,320 1. 2. 3. Kab. B.wangi Sarongan Kandangan Kebonrejo 1.473 2.598 3.274 278,60 350,00 220,00 225,34 225,00 1.899,77 - - - - - - 185,75 128,00 158,12 689,69 703,00 2.277,89 0,468 0,271 0,696


(3)

Lampiran 17 (Lanjutan)

d. Jenis mata pencaharian penduduk desa sekitar kawasan TNMB

No Desa

Jenis Mata Pencaharian Penduduk (orang)

Jum- lah Petani

Peda-gang

PNS/ ABRI

Pertu-kangan

Nela-yan Jasa

Lain-lain Pemilik Buruh

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Kab. Jember Curahnongko Andongrejo Wonoasri Curahtakir Sanenrejo Mulyorejo Pace Sidomulyo

1.540 1.230 3.786 1.136 1.808 304 661 260

1.211 1.269 2.177 657 1.906 1.693 3.335 1.410

42 280 447 280 308 153 177 210

54 10 46 47 43 32 52 67

0216 301 166 71 109 26 40 39

- 53 - - - - - -

35 5 17 38 8 29 25 30

203 1.664 398 1.291 143 1.084 1.573 80

3.301 4.812 7.031 3.520 4.325 3.321 5.863 2.817 9.

10 11

Kab.B.wangi Sarongan Kandangan Kebonrejo

982 3.148 614

1.102 1.438 2.995

39 109 94

112 45 42

19 35 -

235 3 -

16 20 4

896 176 2.075

3.401 4.974 5.824 Sumber : Monografi Desa Tahun 2005


(4)

204

Lampiran 18. Kedawung di Africa Barat

Guinea, Fouta Djallon

Thierno Maadjou Bah and Mamadou Mouctar Sow


(5)

Lampiran 18 (Lanjutan).

Thierno Maadjou Bah, born in 1944, and Mamadou Mouctar Sow, born in 1952, are both originally from the Futah Djallon region (Mali-Guinea). They belong to the Peulh ethnic group and come from farming families of average means who own vegetable plots, banana plantations or small farms based on agriculture and animals. During early childhood they witnessed the exploitative policies of the colonial administration, which forced their parents to give the state all their harvested crops (rubber, néré, pepper) and animal produce (milk, eggs, livestock and so on). They were profoundly affected by that difficult period of distressing poverty. Their family upbringing made them aware of their socio-economic and cultural environment and they soon recognized the vital importance of the néré tree (Parkia biglobosa) on account of its pharmacological qualities and numerous food uses. Many parts of the tree are used, from roots to leaves, bark, flowers and seeds (a traditional basic seasoning ingredient called soumbara is obtained from the latter). With the hope of one day being able to contribute to improving the rural population’s difficult living conditions, Thierno and Mamadou finished their studies, one of them in agricultural economics and the other in agriculture. They always remained aware of the importance of conservation and became the main coordinators of a plan to protect the néré tree, a symbol of biodiversity and survival for the peoples of Futah Djallon. Thierno Maadjou Bah received a scholarship to study journalism in the German Democratic Republic (Diploma in Advanced Studies from Karl Marx University) after obtaining his Master’s degree in Conakry. He specialized in economics and also undertook a work experience program at Radio Berlin International. After returning to Guinea in 1973, Thierno Maadjou was taken on as a staff writer at the Ministry of Information, but to escape the repression of the regime, asked to be transferred to the Ministry of Rural Development at Labé. This was finally an opportunity to get involved in agriculture and communication in a rural area. The economist was transformed into a farmer and set up, amongst other things, composting projects which relieved the town of Labé of organic waste disposal problems. In addition he was organizer of a scheme to spread cultivation of potatoes, maize, beans and manioc without using chemical fertilizers or pesticides, which resulted in increased yields being obtained. In 1990 Thierno Maadjou was appointed manager of the radio station Radio Rurale de la Moyenne Guinée and inspired the first programs which broadcast on how to farm using modern methods, at the same time educating about conservation of the environment and preventing fires on the savanna. He also energetically campaigned against the use of néré wood as a fuel in brick ovens. Mamadou Mouctar Sow, studied agronomy at the University of Conakry after completing his High School diploma in agriculture and animal husbandry. From 1975 al 1979 he continued his studies at the University of Santa Clara in Cuba, where he graduated in Animal Husbandry. After returning to Guinea he worked at the Research Center of the Ministry of Fisheries and Animal Husbandry (Bureau d'Etudes du ministère de la Pêche et de l'Elevage), with the job of studying feed for ruminant animals. He then moved to the Agricultural Farm of Kolaboui (Ferme Agricole de Kolaboui) located at Boké where he had the task of solving problems connected with feeding poultry and pigs and improving the protein level of animal feed in general. He experimented with various locally available products, including the yellow néré powder. He is a researcher in the field of animal nutrition, a member of the Comité National Ramsar (for the protection of endangered species) and carries out experiments together with farmers into the protection of trees and plants used as forage and the néré tree.

The néré tree

Parkia Biglobosa is a tree that can reach 20 meters in height, grows in sandy soils, has an umbrella-shaped crown and slightly curved, pod-umbrella-shaped fruit. This tree is now threatened by indiscriminate felling for firewood or deforestation by farmers seeking land for planting. The néré tree has outstanding value as a food as well as pharmacological properties. The flesh of the fruit is rich in carbohydrates (80%), minerals (calcium, phosphorus) and vitamins (A and C). Its seeds — rich in protein, fats and carbohydrates — are used as a condiment and seasoning and, in the past were used as a substitute for coffee. Various parts of the tree, well-known for its properties as a diuretic, laxative and vermifuge, are used to treat illnesses such as dysentery, intestinal parasitosis, bronchitis, asthma, ulcers, rickets, toothache, sore throat and dermatitis - as well as for dyeing material. The dried seeds are used as forage for animals, while when boiled, fermented and ground to a paste (soumbara), they constitute the basic seasoning ingredient for the local cuisine, and have a fundamental role in nutrition thanks to their high content of protein, vitamins of the B group, minerals and oligoelements. In addition to its other merits, this tree is also able to improve the quality of the land.

The soumbara, symbol of the struggle against consumerism

Soumbara is a food ingredient based on néré seeds which are first fermented and then roasted, ground and sieved. The resulting paste is kneaded and divided into small balls. It is a high-protein, nutritious and


(6)

206

Lampiran 18

(Lanjutan).

high-energy substance. Guinea is the third poorest country in the world despite having abundant agricultural and food resources. Biodiversity in the area is still almost undisturbed and the people have a natural tendency to preserve their traditions. Unfortunately, however, poverty and the hard struggle for survival, with an added economic pressure from foreign multinational companies, are causing some traditional locally grown food produce to disappear. This is a further setback to the farming community whose existence is inseparably connected to these products. In particular Nestlé, the producer of Maggi stock cubes, is causing significant problems. Maggi cubes have penetrated the market all over Guinea. They are sold at very low prices and are available to everyone, so the consumption of soumbara has dropped dramatically. But the choice of Maggi cubes is certainly not brought about by questions of price. Although very cheap, it is not competitive with the traditional seasoning ingredient and it is social and cultural factors which are involved. In order to promote Maggi stock cubes, Nestlé has adopted various 'tactical' campaigns supported by substantial publicity: every day, radio, local television and newspapers plug publicity messages translated into the

three national languages; at weekly markets, girls equipped with megaphones shout slogans advertising Maggi cubes and to be more persuasive, hand out T-shirts and bags. The best salesgirls are rewarded with a trip to Mecca! Nestlé also makes small donations for the building of schools, health clinics and mosques. Opinion polls have recently been conducted on the local population. Although consumption of Maggi cubes has increased (there are cubes for every taste and they are the in-thing) at the expense of soumbara, even for making traditional rice-based dishes like lafidi or foutti, in other cases rural people continue to use both soumbara and other more natural

and cheaper traditional seasoning ingredients. As a rule, however, it mainly seems to be old people who use it, as it is considered a food 'for poor people', while Maggi cubes are 'modern'. Due to the dominating position of Maggi, the economy of rural communities is changing. Women who used to collect néré fruit and make soumbara, have had to start growing vegetables, since they had no guarantee of selling soumbara, but this earns them much less money than soumbara used to when it was widely used in the community.

Saving the neré and soumbara

From the moment they first met, the two technical experts realized they were on the same wavelength and felt passionately about the same problems. A tradition of the Peulh people is for members of the same family to gather and discuss their plans for farming. It was during one of these family meetings that Bah and Sow met and while looking round the fields discovered that all the large trees had been cut down, including neré trees which were protected by everyone in their village. They began to think about this problem and also talked about it on the radio in programs dealing with agriculture and ecology. In 1996 they set up a reforestation program, aiming to protect trees that were valuable both for humans, such as the neré, and for animals, such as figs. Figs produce a very small fruit in Guinea due to the lack of water; the fruit is dried, ground and then added to other forage. More than 3,000 trees growing in fields of the cereal crop fonio, or acha (Digitaria exilis), have been saved and protected in the last five years. The project covers an area of about 10 hectares in the district of Ley Miro, in the prefecture of Pita. A further 100 hectares in the same region have been declared a protected area. They have also founded a NGO, AJEVODET, Association des Jeunes Volontaires pour le Développement de Timbi (Association of young volunteers for the development of Timbi). Timbi is the flat zone in the region of Futah Djallon, and a tree nursery has been set up in this zone with 20,000 saplings planted. Bah and Sow have

concurrently carried out education and information programs on soumbara. In the course of the last two years, they have met all the women’s organizations interested in processing neré seeds into soumbara and selling it. Thanks to this program of information and education, soumbara production has recovered and as many as seven groups of women are once more involved in this traditional work: during the year 2000 they put seven tonnes of neré seeds onto the market, some of it already

Slow Food Award motivations

In isolation and without resources, Mamadou e Thierno have created a project that protects and revives a basic feature of the culture, traditions and economy of a country ranked third poorest in the world, in opposition to the capitalist model of a multinational such as Nestlé.

The Slow Food Award will assist the two men to escape the isolation in which they have worked so far and will enable them to develop further projects.


Dokumen yang terkait

Beberapa Aspek Ekologi Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr) di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur

0 7 63

Status Rizobwm Dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (Cma) Pada Kedawung (Parkia Timoriana (Dc.) Merr.) Di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur

0 16 58

Sikap masyarakat dan konservasi suatu analisis kedawung sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, kasus di Taman Nasioal Meru Betiri

0 3 224

Pengetahuan Masyarakat Dan Konservasi Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.) Di Taman Nasional Meru Betiri

0 10 61

Bioecological of kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) medicinal plant in natural forest Meru Betiri National Park

0 18 9

Sikap Masyarakat Dan Konservasi Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus Di Taman Nasional Meru Betiri

1 53 458

Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Kesesuaian Habitat Kedawung (Parkia timoriana (D.C) merr) di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur

0 14 87

Sikap masyarakat dan konservasi suatu analisis kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, kasus di Taman Nasioal Meru Betiri

0 9 385

Community’s Attitudes and Conservation: An Analysis of of Kedawung (Parkia timoriana (DC.) Merr.), Stimulus of Medicinal Plant for the Community, Case in Meru Betiri National Park

0 12 11

PEMANFAATAN TuMBuHAN OBAT OlEH MASYARAkAT DI SEkITAR TAMAN NASIONAl MERu BETIRI Utilization of medicinal plants by people around of Meru Betiri National Park

0 0 10