128 stimulus alamiah, seperti yang diungkapkan dan ditemukan dalam penelitian
disertasi ini Lampiran 15.
3. Titik temu pengelolaan taman nasional dengan kepentingan masyarakat
Berdasarkan analisis kandungan visi, misi, strategi kebijakan, tujuan, sasaran, kegiatan dan tugas pokok pengelola yang disebutkan di atas, maka dapat
diringkas hasil analisis secara keseluruhan seperti pada Tabel 20 berikut : Tabel 20. Analisis kandungan visi, misi, strategi, tujuan, sasaran, kegiatan dan
tugas pokok pengelola dengan tri-stimulus amar konservasi
Kebijakan pengelolaan Stimulus
alamiah Stimulus
manfaat Stimulus religius
1. Visi Ada
Ada Tidak jelas
2. Misi Ada
Tidak jelas Tidak jelas
3. Strategi Ada
Tidak ada Tidak jelas
4. Tujuan Tidak jelas
Tidak ada Tidak jelas
5. Sasaran Tidak jelas
Tidak ada Tidak jelas
6. Kegiatan Tidak jelas
Tidak jelas Tidak jelas
7. Tugas pokok pengelola Tidak jelas
Tidak jelas Tidak jelas
Pengalaman lapangan dari penelitian ini memberikan pembelajaran yang berharga, bahwa ternyata ada perbedaan visi antara masyarakat sekitar hutan
dengan pengelola taman nasional yang harus dipertemukan menjadi visi bersama. Kalau tidak akan sulit terwujudnya konservasi hutan taman nasional, yang pada
akhirnya akan berdampak negatif kepada masyarakat lokal dan terjadinya kerusakan lingkungan.
Titik temu ini belum bertemu, karena masyarakat terkendala dengan hak akses ke sumberdaya alam hayati, sedangkan pengelola terkendala dengan
peraturan perundangan yang berlaku, termasuk kurangnya kapasitas SDM pengelola untuk memahami dan mengimplementasikan materi peraturan
perundangan yang berlaku. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat hutan dan pengelola
taman nasional memiliki agenda yang sangat berbeda terhadap taman nasional sehingga harus dibuat síntesis teori dan paradigma baru agar menjadi suatu
kebijakan pengelolaan taman nasional yang disepakati semua pihak, terutama dengan masyarakat lokal.
129 Masyarakat hutan yang masih miskin materi maupun pengetahuan saat ini
berpikir dan menyikapi sumberdaya hutan sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hidup keluarganya. Agenda masyarakat hutan
hampir selalu dimulai dengan kebutuhan untuk melindungi dan melegalisasi hak akan sumberdaya hutan termasuk lahan rehabilitasi yang mereka garap untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan untuk pemanfaatan mereka sendiri. Mereka menekankan pada pentingnya mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dari sumberdaya hutan dan termasuk lahan rehabilitasi. Mereka mengharapkan kepastian hukum akan hak memanen hasil tanaman pokok yang mereka tanam di
lahan rehabilitasi. Mereka menjadikan dokumentasi sejarah yang mereka buat melalui kegiatan rehabilitasi sebagai jaminan agar bisa tetap memanfaatkan
sumberdaya hutan yang mereka bangun secara lestari. Berikut ini beberapa pernyataan yang muncul di masyarakat yang menunjukkan hubungan tidak
harmonis dengan pengelola :
1 Kami tahu bahwa dengan program agroforestri kami masyarakat Timur Sawah tidak lagi keluar masuk hutan untuk mencari
berbagai jenis tumbuhan obat. Kami merasa telah terentaskan dari cap negatif sebagai masyarakat yang berada di bibir hutan.
2 Seringnya kami masuk keluar hutan menjadikan posisi kami di mata petugas pengelola tidak lebih dari seorang pesakitan yang
serba salah dan kami selalu menjadi target operasi para penjaga hutan.
3 Kami selalu menjadi pihak yang dipersalahkan. Kami selalu menjadi ajang olokan sebagai masyarakat yang tidak mengerti apa
itu kelestarian, apa itu keanekaragaman hayati dan sebagainya.
Dipihak pengelola taman nasional memiliki agenda yang seringkali dimulai dengan kepentingan untuk melindungi kawasan taman nasional yang
terlarang bagi masyarakat berdasarkan pemahaman dan implementasi peraturan perundangan yang berlaku, sesuai dengan paradigma pengelolaan yang
konservatif. Apabila pengelola melibatkan masyarakat lokal dalam rencana kerjanya, pengelola cenderung memandang masyarakat tersebut tidak lebih
sebagai suatu sarana yang memungkinkan untuk mencapai tujuan konservatif, bukan melihat masyarakat itu sebagai subjek dan tujuan konservasi itu sendiri
yang harus diwujudkan kesejahteraannya. Dari hasil penelitian ternyata bahwa program kegiatan pengelolaan yang
selama ini sangat sedikit yang berkaitan dengan kepentingan peningkatan
130 kesejahteraan masyarakat dan peningkatan nilai tambah kedawung stimulus
manfaat maupun yang berkaitan dengan konservasi potensi stimulus alamiah. Pemahaman pengelola terhadap substansi peraturan perundangan yang berlaku
yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan taman nasional sangatlah minim.
Paradigma baru pengelolaan taman nasional ádalah bagaimana sintesa kedua hal di atas, yaitu memposisikan masyarakat hutan
sebagai subjek konservasi taman nasional. Sedangkan pengelola dan akademisi perguruan tinggi memfasilitasi masyarakat hutan untuk mewujudkan
kesejahteraan dirinya sendiri melalui pelestarian pemanfaatan sumberdaya keanekaragaman hayati taman nasional. Hal ini semua merupakan prasyarat
terwujudnya konservasi taman nasional yang berkelanjutan. Sebagai contoh adalah perlu segera disempurnakannya konsep rehabilitasi lahan hutan oleh
masyarakat, termasuk aspek legalitas yang menjamin hak-hak dan kewajiban masyarakat, sehingga penguatan dan pengembangan kapasitas masyarakat
terbangun dengan wajar sesuai juga dengan pengetahuan yang mereka miliki. Pendekatan yang lazim dipakai membangun dan mengelola taman nasional
serta hutan-hutan negara, cenderung mengakibatkan konflik sumberdaya yang tidak terelakkan, terutama dengan masyarakat lokal. Taman nasional merupakan
kawasan yang relatif luas, dimana penguasa tertinggi di sebuah negara awalnya mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau melenyapkan sesegera
mungkin pemukiman penduduk dalam seluruh wilayah dan memberlakukan penghargaan lebih tinggi kepada nilai-nilai unsur-unsur biologi, ekologi,
geomorfologi, atau estetis yang membentuk pembangunannya, ketimbang manusia masyarakat lokalnya. Konsep ini memunculkan pandangan, bahwa
wilayah-wilayah bernilai tinggi bagi negara secara keseluruhan hanya dapat dikelola untuk melindungi sumberdaya hayati secara baik, apabila penduduk tidak
menghuni atau jauh dari wilayah itu McNeely, 1992. Praktek pengelolaan taman nasional selama beberapa dekade ini,
menggunakan “sistem nilai” konservasi alam di Indonesia berupa “pengawetan dan perlindungan hutan” yang menekan sekecil mungkin interaksi hutan dengan
aktivitas masyarakat. Berarti pula secara tidak disadari melepaskan “sistem nilai” kearifan dan kepentingan masyarakat lokal terhadap hutan. Padahal “sistem nilai”
131 hutan dalam masyarakat lokal ini telah melekat dan mentradisi sudah secara turun
temurun sebagai sumber dan bagian dari kehidupannya dan sekaligus telah terbangun suatu kearifan lokal yang justru dapat mendukung ke arah terwujudnya
konservasi hutan itu sendiri. Sistem nilai ini kalau diuraikan ternyata mengandung dan sangat berkaitan dengan konsep “tri-stimulus amar konservasi”.
Sebagai contoh dapat dilihat pada sistem nilai dan kearifan tradisional masyarakat lokal yang berkembang dalam masyarakat adat berikut praktek
pengelolaan hutan lestari yang dilakukannya Hardjodarsono et.al., 1986 , seperti 1 Perkebunan tengkawang Shorea stenoptera di Kalimantan Barat ditemukan
sudah ada oleh Prof. De Vriese ketika melakukan perjalanan dinas tahun 1857; 2 Hutan rakyat kayu pertukangan jati, tembesu, merawan di Palembang diketahui
telah ada pada tahun 1932, ditemukan oleh C.N.A.de Voogd; 3 Perkebunan kemenyan Styrax benzoin di Palembang yang telah ada pada zaman Pemerintah
Hindia Belanda tahun 1885, ekspor kemenyan dari Palembang antara tahun 1885- 1889 yang diperkirakan sebenyak 668 ton per tahun; dan 4 Hutan damar mata
kucing Shorea javanica milik rakyat Krui, telah lama ada dan pada tahun 1937 ditemukan oleh Ir. F.W. Rappard pada saat mengumpulkan bahan untuk
herbarium famili Dipterocarpaceae. Contoh-contoh ini merupakan wujud nyata bentuk-bentuk aksi konservasi sumberdaya hayati tumbuhan hutan yang
berkembang atas inisiatif masyarakat lokal secara mandiri berlandaskan kepada nilai-nilai dan pengetahuan tradisional yang berkembang di kalangan mereka
sendiri, jauh dari campur tangan pemerintah jajahan Hindia Belanda waktu itu. Hal inilah dikemukakan Awang 2005 bahwa siapapun yang mengelola
hutan publik hendaknya mau mempelajari tradisi-tradisi kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian upaya-upaya dapat lebih bijak demi
untuk kepentingan perlindungan kehidupan dalam arti yang lebih luas dalam memaknai keberadaan hutan di tengah masyarakat.
Hutan merupakan satu aset yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hutan memberi banyak barang, jasa dan kepuasan batin kepada manusia,
terutama bagi masyarakat sekitar hutan itu sendiri, yaitu berupa kelompok- kelompok masyarakat kecil dan unik, seperti contohnya masyarakat pendarung
tumbuhan obat di TNMB.
132
VII. SINTESIS PENYELESAIAN MASALAH
Sintesis penyelesaian akar masalah berdasarkan temuan dari penelitian ini dikelompokkan melalui dua pendekaan, yaitu pendekatan dengan 1 membangun
sikap masyarakat pro-konservasi; serta 2 perbaikan dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan. Kedua pendekatan sintesis penyelesaian akar masalah ini
menggunakan konsep “tri-stimulus amar konservasi. Membangun sikap masyarakat pro konservasi, yaitu melalui 1
membangun sikap “tri-stimulus amar konservasi; 2 menjadikan nilai religius sebagai stimulus kuat untuk membangun sikap; dan 3 menyambungkan dan
mengembangkan pengetahuan tradisional masyarakat menjadi pengetahuan modern, yaitu yang bersifat adaptif terhadap perkembangan terkini. Perbaikan
dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan dilakukan dengan pendekatan : 1 peraturan perundangan yang terkait; 2 aspek legalitas pendarung sebagai
kelompok masyarakat pelestari; 3 pengembangan tetelan sebagai hutan kebun kedawung; 4 peningkatan kapasitas dan kinerja SDM pengelola; 5 membangun
kemitraan industri jamu dengan masyarakat; dan 6 membangun image stimulus tumbuhan obat kedawung. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
A. Membangun Sikap Pro-konservasi
Tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal
keberadaannya di muka bumi. Ini merupakan prasyarat terwujudnya konservasi, kemandirian dan kesejahteraan suatu “masyarakat kecil” hutan yang
berkelanjutan. Masyarakat kecil yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat pendarung tumbuhan obat di TNMB dari kelompok generasi tua
seperti Mbah Setomi, Mbah Na’am dan Mbah Rogayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Barber, Johnson dan Hafild 1999, bahwa masyarakat dengan hubungan
yang beragam, ganda dan dalam waktu panjang dengan hutan lebih cenderung menghargai keutuhan jangka panjang seluruh ekosistem dibanding dengan
masyarakat yang hubungannya terbatas pada satu atau dua sasaran sempit, seperti pengambilan kayu atau penambangan.