MUHAMAD IKSAN

Regulasi Pengelolaan Taman Nasional

Pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan dalam bentuk regulasi guna meberikan landasan hukum bagi pengelolaan Taman Nasional, melalui sistem zonasi. Adapun pedoman zonasi taman nasional merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN meliputi zona di bawah ini:

Zona inti

Zona khusus

Zona rimba

Zona Taman

budaya dan Zona religi,

rehabilitasi Zona

tradisional Zona

Sumber: Moeliono et al (2010: 12), Merentas Kebuntuan: Konsep dan panduan pengembangan zona khusus

bagi Taman Nasional di Indonesia. Bogor: CIFOR

Peraturan yang menyangkut pengelolaan Taman Nasional bervariasi mulai dari Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri Kehutanan, Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun Peraturan Daerah. Tabel 3 merangkum peraturan menyangkut pengelolaan TN:

No Peraturan Rincian Peraturan Perundangan

1. Undang-Undang • UU 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya • UU 41/1999 tentang Kehutanan • UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Bab 3 • UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Jasa

Lingkungan • UU 10/2009 tentang Kepariwisataan

• UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga Sejahtera • UU 26/2007 tentang Penataan Ruang • UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air • UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan

2. Peraturan Pemerintah

• PP 28/1985 tentang Perlindungan Hutan • PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan.

• PP 26/2008 tentang RTRWN • PP 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru • PP 27/1999 tentang Analisis AMDAL • PP 22/2007 tentang Pengembangan ekowisata • PP 36/2010 tentang Pengusahaan pariwisata alam di SM, TN, THR

dan TWA • PP 28/2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. 3. Keputusan Presiden • Keppres 43/1978 tentang Ratifkasi CITES (Keppres)

• Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung • Keppres 48/1991 tentang Ratifikasi Ramsar

4. Peraturan Menteri • P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi pengelolaan kawasan Kehutanan (Permenhut)

suaka alam dan kawasan pelestarian alam • P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan pertama atas Kepmen Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002 tentang pedoman zonasi Taman Nasional

• P.03/Menhut-II/2007 tentang pembentukan Unit Pelaksana Teknis

Balai Taman Nasional • P.11/Menhut-II/2007 tentang pembagian rayon TN, THR dan TWA • P.49/Menhut-II/2010 tentang Pengusaha pariwisata alam di SM,

TN, THR, TWA • No.689/Kpts-II/1989 tentang Perijinan usaha di zona pemanfaatan • No.878/Kpts-II/1992 tentang Tarif masuk ke TN, THW dan TL • No.446/Kpts-II/1996 tentang Tata cara permohonan, pemberian

izin dan pencabutan izin pengusaha pariwisata alam 5. Keputusan Dirjen PHKA

• No.59/Kpts/DJ-VI/1993 tentang Pedoman penyusunan rencana

pengelolaan TN • No.129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pengelolaan KSA, KPA, TB dan HL 6. Peraturan Daerah

• No.5/2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

Sumber: Yani Saloh (2015: 4-6), Kajian Kebijakan Taman Nasional: Tantangan Konservasi, Peluang Ekonomi dan Menjaga Stabilitas Iklim

Beberapa catatan dari regulasi pengelolaan TN diantaranya: pertama, secara kerangka hukum pengelolaan keanekaragaman hayati dalam kawasan konservasi, pemanfaatan ruang yang terpadu dan selaras, serta mengedepakan kesejahteraan masyarakat telah cukup memadai. Hal ini dapat dibuktikan melalui kelengkapan peraturan dari level UU hingga peraturan daerah serta yang bersifat operasional seperti Keputusan Dirjen maupun Peraturan Menteri Kehutanan. Kedua, peluang bagi masyarakat dan pihak lainnya untuk berkontribusi dan kolaborasi melakukan pengelolaan kawasan suaka alam serta pelestarian alam, dengan otoritas pengelolaan Taman Nasional tetap berada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan peluang kolaborasi dan kontribusi para pihak diharapkan membawa kemaslahatan bersama. Namun demikian, implementasi peraturan perundangan tidak dapat memenuhi seluruh aspirasi masyarakat, terutama di era desentralisasi ini dimana kekuatan memaksa dari negara dan aparatnya tidak lagi dominan.

Bab 3

Diskusi Kebijakan

Dalam diskusi kebijakan, penulis menyajikan pembahasan makalah ini yang terdiri atas beberapa sub-bab antara lain: pertama, lokasi TN Komodo dan kondisi geografis serta demografis Kabupaten Manggarai Barat. Kedua, potensi ekowisata TN Komodo dalam penyediaan kesempatan berusaha bagi warga Kabupaten Manggarai Barat. Pada sub-bab kedua juga penulis memotret kondisi kemiskinan yang dialami wilayah Pulau Komodo. Ketiga, dinamika pengelolaan TN Komodo yang dikaji dari sisi konflik antara warga dengan pengelola TN Komodo, perspektif historis serta pendekatan liberal terhadap pengelolaan sumber daya milik bersama dipergunakan dalam membahas dinamika pengelolaan Taman Nasional tersebut. Keempat, politik anggaran Dirjen PHKA Kementerian LH dan Kehutanan dalam kaitannya dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, menggunakan perspektif public choice.

Lokasi TN Komodo, Kondisi Geografis dan Demografis Kabupaten Manggarai Barat

Taman Nasional Komodo berada di Pulau Komodo berada di wilayah Kabupaten Manggarai Barat. TN terdiri atas tiga pulau besar: Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar serta beberapa pulau kecil. Wilayah daratan meliputi luas 603 km persegi dan luas wilayah total seluas 1817 km persegi. Kabupaten Manggarai Barat terdiri atas 10 kecamatan yaitu: Kecamatan Komodo, Boleng, Sano Nggoang, Mbeliling, Lembor, Welak, Lembor Selatan, Kuwus, Ndoso, dan Macang Pacar. Kabupaten Manggarai Barat memiliki luas daratan mencapai 2.947,50 km persegi, yang terdiri dari daratan Flores dan beberapa pulau besar seperti Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Longgos serta beberapa pulau kecil lainnya.

Kabupaten Mangarai Barat adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Manggarai berdasarkan Undang Undang No. 8 Tahun 2003. Luas wilayah Kabupaten Manggarai Barat adalah 9.450 km² yang terdiri dari wilayah daratan seluas 2.947,50 km² dan wilayah lautan 6.052,50 km persegi (RPJMD 2011 - 2015:9). Dari keseluruhan wilayah daratan tersebut, baru 39.771 ha atau 13,5% wilayah yang digunakan. Penggunaan wilayah sebagian besar untuk tegalan/ladang 8,6%, sawah 3,88%, perkebunan 0,75%, dan pemukiman 0,27%.

Beberapa data faktual yang telah dibahas sebelumnya tentang tingkat kemiskinan di NTT 23% urutan ke-5 di Indonesia. Sedangkan tingkat kemiskinan di Kabupaten

Manggarai Barat 22%. Beberapa desa di sekitar kawasan wisata memiliki banyak warga yang miskin dengan lingkungan yang kumuh (PPPI, 2012). Kabupaten Manggarai Barat memiliki banyak lokasi yang berpotensi. Paling tidak sebanyak 23 lokasi obyek wisata telah diidentifikasi oleh Pemda. Dari 23 lokasi tersebut terdapat 12 obyek wisata yang telah dipromosikan oleh para pelaku pariwisata. Kedua belas obyek wisata ini adalah Taman Nasional Komodo, Lokasi Menyelam (Diving), Pulau Bidadari, Pulau Seraya, dan Pulau Kanawa. Obyek wisata yang sedang dimulai promosi wisatanya yaitu: Gunung Lime Stone, Danau Kawah Vulkanik, Gua Ular, Kampung Tradisional, Air Terjun Cunca Rami, Canyon Cunca Wulang, serta berbagai hiking maupun trekking lainnya.

Karakteristik dari obyek wisata di Manggarai Barat sayangnya masih didominasi oleh belum mempunyai citra merek yang kuat di kalangan wisatawan domestik apa lagi wisatawan internasional. Di samping itu, pengemasan dan paket wisata yang unik masih terbatas untuk TN Komodo, yang memang terdapat Naga Komodo tinggal didalamnya. Lama kunjungan yang masih singkat serta faktor pendorong wisatawan kembali (repetisi), akses menuju lokasi wisata, dan fasilitas yang masih minim.

Gambar 4 di bawah ini mengilustrasikan lokasi Taman Nasional Komodo beserta wilayah Kabupaten Manggarai lainnya.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Komodo

6 Adapun tipe-tipe Zonasi yang beada di Taman Nasional Komodo sebagai berikut:

Zona Inti, zona ini memiliki luas 34.311 Ha dan merupakan zona yang mutlak dilindungi, di dalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian

6 https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Komodo

Zona Rimba, zona ini memiliki luas 66.921,08 Ha merupakan zona yang di dalamnya tidak diperbolehkan adanya aktivitas manusia sebagaimana pada zona inti kecuali kegiatan wisata alam terbatas.

Zona Perlindungan Bahari, zona ini memiliki luas 36.308 Ha adalah daerah dari garis pantai sampai 500 m ke arah luar dari garis isodepth 20 m sekeliling bats karang dan pulau, kecuali pada zona pemanfaatan tradisional bahari. Pada zona ini tidak boleh dilakukan kegiatan pengambilan hasil laut, seperti halnya pada zona inti kecuali kegiatan wisata alam terbatas.

Zona Pemanfaatan Wisata Daratan, zona ini memiliki luas 824 Ha dan diperuntukkan secara intensif hanya bagi wisata alam daratan.

Zona Pemanfatan Wisata Bahari, zona ini memiliki luas 1.584 Ha dan diperuntukkan secara intensif bagi wisata alam perairan.

Zona Pemanfaatan Tradisional Daratan, zona ini memiliki luas 879 Ha, zona yang dapat dilakukan kegiatan untuk mengakomodasi kebutuhan dasar penduduk asli dalam kawasan dengan izin hak khusus pemanfaatan oleh Kepala Balai TN. Komodo.

Zona Pemanfaatan Tradisional Bahari, zona ini memiliki luas 17.308 Ha, zona yang dapat dilakukan kegiatan untuk mengakomodasi kebutuhan dasar penduduk asli dalam kawasan dengan izin hak khusus pemanfaatan oleh Kepala Balai TN. Komodo. Pada zona ini dapat dilakukan pengambilan hasil laut dengan alat yang ramah lingkungan (pancing, bagan, huhate, dan paying).

Zona Khusus Permukiman, zona ini memiliki luas 298 Ha, zona untuk bermukim hanya bagi penduduk asli dengan peraturan tertentu dari kepala Balai TN. Komodo bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.

Zona Khusus Pelagis, zona ini memiliki luas 59.601 hektare. Pada zona ini dapat dilakukan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan hasil laut lainnya yang tidak dilindungi dengan alat yang amah lingkungan (pancing, bagan, huhate, dan payang) serta kegiatan wisata/ rekreasi.

Posisi geografis Kabupaten Manggarai Barat berbatasan dengan wilayah daratan/laut sebagai berikut: (i). Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, (ii). Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Sawu, (iii). Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sape, (iv). Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Manggarai. Adapun kondisi demografis menyangkut agama yaitu banyaknya pemeluk agama menurut agama di Kabupaten Manggarai Barat (2015) yaitu:

Kristen Katolik

Kristen Protestan

Sumber: BPS (2016) Manggarai Barat dalam Angka

Selain data demografis agama, penulis menyajikan pula jumlah sekolah, Guru dan Murid menurut Tingkatan Pendidikan di Kabupaten Manggarai, data yang tersedia untuk tahun 2013 pada tabel 4 Pendidikan di Manggarai Barat sebagai berikut:

Rata-

Rata-

Rata Tingkat Pendidikan

Taman Kanak-

10 179 Dasar/MI

15 221 Umum/MTS

4 SMTA Umum

SMA/MA Negeri

SMA/MA Swasta

SMK Negeri

SMK Pelayaran 1 10 30 10 30

Sumber : Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Manggarai Barat

Potensi Ekowisata TN Komodo dan Kendala-Kendalanya

Dalam diskusi tentang ekowisata Taman Nasional Komodo tidak bisa dilepaskan dari kondisi pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Sebelum pariwisata berbasis kawasan konservasi Taman Nasional Komodo dikenal banyak wisatawan.

Keberadaan warga Manggarai pada dasarnya adalah petani. Setidaknya terdapat ada 3 kegiatan penduduk asal Manggarai Barat ini: pertama, mereka mengerjakan lahan ladang atau sawah (yang sudah dikenal sejak Abad 15); Kedua, mereka berburu (termasuk mencari ikan dalam waktu-waktu yang memungkinkan; dan ketiga, mereka beternak (Deki, 2011 dalam Zakaria, 2012).

Saat ini, kegiatan pertanian penduduk Manggarai telah pula berkembang ke arah pengusahan tanaman perdagangan (tanaman tahunan), produk utamanya adalah kemiri dan kopi. Sementara itu aktivitas mencari ikan bagi Orang Manggarai yang tinggal di daerah pesisir bukanlah kegiatan ekonomi utama mereka. Aktivitas sebagai nelayan – sebagaimana yang terjadi di desa-desa yang ada di pulau-pulau dan desa-desa pesisir- justru lebih banyak dilakukan oleh penduduk migran yang berasal dari Makassar, Ende, Bima, dan Bajo.

Sementara itu, di Pulau Komodo yang dihuni oleh orang Komodo dan Naga Komodo. Orang Komodo merupakan keturunan dari Orang Manggarai dengan Orang Bima yang menetap di Pulau Komodo. Sejarah lisan menyebutkan bahwa Pasir Panjang di Pulau Rinca, pendahulu pendatang dari Pulau Solor, yang menetap di Pulau Rinca setelah pulang dari Perang Aceh (akhir Abad 18), yang kemudian beranak-pinak setelah memperistri seorang perempuan asal Pulau Komodo (Orang Komodo).

Selain itu, terdapat pula Papagarang, pendatang berasal-usul dari Suku Bajo dengan tradisi semacam sasi masih hidup. Sedangkan Warloka (dan Mesa) adalah dominan suku Bima. Saat ini, di berbagai pulau terdapat penduduk yang berasal dari Bima (mayoritas), Bugis, Makasar, dan Selayar. Kegiatan ekonomi utama adalah nelayan yang mencari ikan di pantai dan lepas pantai.

Daya tarik utama Taman Nasional Komodo yaitu adanya reptil raksasa purba Naga Komodo (latin: Varanus komodoensis). Disamping itu juga keaslian dan kekhasan alamnya, khususnya panorama Savana dan Panorama bawah laut. Kesemuanya merupakan daya tarik pendukung yang potensial. Selain atraksi Naga Komodo di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, telah mulai pula wisata bahari misalnya, memancing , snorkeling , diving , kano , bersampan . Sedangkan di daratan, potensi wisata alam yang bisa dilakukan adalah pengamatan satwa, hiking , dan berkemah. Mengunjungi Taman Nasional Komodo dan menikmati pemandangan alam yang sangat menawan merupakan pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mempunyai visi pembangunan ekonomi berbasis pariwisata, sehingga sektor pariwisata menjadi sumber utama pendapatan asli daerah di masa mendatang. Berdasarkan dokumen Rencana pengembangan pariwisata NTT, Kawasan Pengembangan Pariwisata di kawasan Flores Barat telah dibuat empat klaster sebagai berikut:

1. Kawasan pengembangan pariwisata A meliputi obyek wisata di Labuan Bajo dan kecamatan-kecamatan lainnya dengan pusat pengembangan di Labuan Bajo.

2. Kawasan pengembangan pariwisata B meliputi obyek wisata di Ruteng dan sekitarnya dengan pusat pengembangan berada di Ruteng. Ruteng adalah pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai.

3. Kawasan pengembangan pariwisata C meliputi obyek wisata yang terletak di Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya. Kawasan C merupakan kawasan pengembangan wisata yang relatif terbatas.

4. Kawasan pengembangan pariwisata D meliputi obyek wisata di Bajawa dan sekitarnya, termasuk Tanjung 17 Pulau di Kecamatan Riung dengan pusat pengembangan di Bajawa. Guna menyukseskan klaster kawasan wisata NTT, khususnya Manggarai Barat dan

Manggarai maka disusunlah dokymen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang berisikan prioritas pembangunan yang akan dilakukan selama tahun 2011 - 2015 7

adalah:

1. Meningkatkan jumlah obyek wisata pantai (Wisata Bahari) sebagai potensi wisata andalan dengan meningkatkan minat investor lokal, dalam negeri maupun investor asing.

2. Meningkatkan minat masyarakat terhadap obyek wisata heritage (legenda) atau obyek wisata yang memiliki kekhususan tertentu seperti obyek wisata komodo dengan meningkatkan promosi wisata dan nilai tambah obyek wisata.

3. Menjaga kelestarian obyek wisata dengan mengembangkan ekowisata, agrowisata, wisata kuliner, dan obyek wisata budaya local.

4. Membangun dan memelihara infrastruktur penunjang pengembangan pariwisata seperti prasasrana jalan menuju obyek wisata sarana kebersihan lingkungan seperti tempat-tempat pembuangan sampah, arana pengangkutan sampah dan drainase yang baik sehingga tercipta suasana lingkungan yang indah, bersih, dan sehat.

Berdasarkan hasil kunjungan lapangan yang menjadi inti aktivitas riset PPPI tahun 2015 masih ditemui beragam k endala pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, Labuan Bajo antara lain (PPPI, 2012) sebagai berikut: pertama, belum ditemukan branding yang kuat dan intensif untuk dometik maupun internasional. Kedua, belum ditemukan pengemasan dan promo paket wisata yang unik dibanding obyek wisata lainnya (kecuali Komodo). Ketiga, belum ditemukan pemicu untuk meningkatkan lama kunjungan dan repetisi kunjungan wisata. Keempat, masih banyak kesulitan akses menuju lokasi wisata. Kelima, fasilitas pendukung pariwisata belum disiapkan dengan baik

Hal yang menyangkut fasilitas pendukung ekowisata belum disiapkan dengan baik memberikan dampak negatif, padahal telah terdapat dalam salah satu dari empat prioritas pembangunan dalam dokumen RPJMD 2010-2015. Dua gambar di bawah ini

7 Dokumen RPJMD sampai tahun 2015 berdasarkan hasil studi PPPI (2012). Saat ini tahun 2016 telah ada dokumen RPJMD yang baru.

memberikan ilustrasi kendala fasilitas pendukung ekowisata yang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Fasilitas pendukung belum tersedia dengan baik Sampah organik masih ditemukan di sekitar pantai mempersulit akses menuju lokasi wisata

yang menjadi obyek wisata

Dua gambar di atas adalah ilustrasi kendala faktual bagi pengembangan ekowisata disamping upaya pengembangan pariwisata yang belum maksimal. Adanya disparitas atau kesenjangan antara kawasan klaster C dan klaster A, perkembangan kawasan TN Komodo belum diikuti perkembangan kawasan lainnya di Labuan Bajo. Menurut observasi Yando Zakaria, penasehat bidang sosial budaya dan pemberdayaan masyarakat untuk Yayasan Komodo kita, masyarakat belum memperoleh efek pengganda dari pariwisata dikarenakan beragam penyebab diantaranya: kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan alam masih rendah, kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah anorganik tidak pada tempatnya yang mengonfirmasi temuan observasi lapangan PPPI.

Paparan Zakaria juga memaparkan bahwa keterkaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan sektor pariwisata masih relatif sangat tipis dalam arti jasa ekowisata belum dapat dimaksimalkan sesuai konsep ideal yang kerap menjadi contoh baik (best practice). Disamping jubga rendahnya kapasitas penduduk yang masih belum terangkat dari masalah struktural seperti pendidikan dan kemiskinan serta masih minimnya keberadaan dan kontribusi pengusaha lokal.

Hasil studi PPPI lain yang juga berguna disajikan ialah efek pengganda dari ekowisata Taman Nasional Komodo bagi perekonomian Kabupaten Manggarai Barat. Tabel 5 di bawah ini menjadikan estimasi biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk mengunjungi Labuan Bajo dan mengunjugi Taman Nasional Komodo.

Pengeluaran

Nilai (Rp)

Penerima

Charter Kapal/Boat

Pemilik

Tiket Pesawat

Transport Dalam Kota

Tour Guide

Kontribusi hanya 2%

Total Estimasi 5,680,000 Pengeluaran

Sumber: Hasil riset Paramadina Public Policy Institute (2012)

Bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan pelaku ekonomi wisata TN Komodo perlu mendesain model pembayaran jasa ekowisata yang lebih sesuai (proper). Bisa kita bayangkan kontribusi yang dikeluarkan wisatawan hanya 2% dari total pengeluaran untuk berwisata ke Taman Nasional serta wilayah lain di Labuan Bajo.

Salzman (2010) mengemukakan acap kali jasa ekosistem misalnya ekowisata tidak dinilai secara tepat, sehingga tidak ada insentif untuk memperbaiki kualitas infrastruktur pendukung. Agar wisatawan tetap tertarik untuk mengunjugi Labuan Bajo dan TN Komodo bila retribusi Taman Nasional dan Pemerintah Daerah dinaikkan, maka perlu dilakukan survei berbasis wisatawan. Survei dan riset dapat bertanya keinginan untuk membayar (willingness to pay) wisatawan terhadap jasa ekowisata yang lebih sesuai.. Disamping memperbaiki struktur biaya secara alamiah penting dilakukan ialah mendorong dan menumbuhkan pengusaha menengah kecil bidang jasa penginapan, transportasi, makanan-minuman, dan cinderamata agar dapat menurunkan biaya-biaya lainnya dengan kompetisi dan persaingan usaha yang sehat.

Kotak 4 Apa selanjutnya untuk ekowisata TN Komodo

Secara berturut-turut beragam kegiatan promosi pariwisata digelar, antara lain penyelenggaraan Sail Komodo (2013) yang menelan anggaran sekitar 3,7 triliun dan penyelenggaraan Tour de Flores dengan anggaran sebesar 32 miliar. Ditambah perbaikan bandara udara senilai 191 miliar disertai penambahan jumlah maskapai, landasan pacu yang diperpanjang, dan jam terbang yang diperlama, dan menfasilitasi peningkatan jumlah kapal pesiar yang datang ke Labuan Bajo meningkat. Semua kegiatan itu difasilitasi pejabat dan pemimpin daerah (Afioma, 2016).

Jumlah kunjungan wisatawan ke TN Komodo terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012 sebanyak 31.365 orang. Terdiri dari Wisman 26.631 orang, Wisnus 4.284 orang, lokal 450 orang. Tahun 2011 berjumlah 41.443 orang. Terdiri dari Wisman 36.011 orang, Wisnus 5.432 orang dan tidak ada data untuk tamu lokal. Pada tahun 2010 jumlah pengunjung sebanyak 41.117 orang. Data Jumlah kunjungan wisatawan ke TN Komodo terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012 sebanyak 31.365 orang. Terdiri dari Wisman 26.631 orang, Wisnus 4.284 orang, lokal 450 orang. Tahun 2011 berjumlah 41.443 orang. Terdiri dari Wisman 36.011 orang, Wisnus 5.432 orang dan tidak ada data untuk tamu lokal. Pada tahun 2010 jumlah pengunjung sebanyak 41.117 orang. Data

Usulan langkah ke depan untuk ekowisata di Taman Nasional Komodo, beberapa aktivitas usulan melalui:

• Branding pada lokasi dan obyek unik • Gabungan paket wisata serta aktivitas klaster lebih kongkrit

Ekowisata Komodo ke Depan

• Kegiatan budaya dan

kesenian sebagai bagian paket ekowisata

• Usaha Kecil dan Menengah penopang

lebih banyak

Selain langkah-langkah di atas, perlu dipersiapkan untuk mendesain klaster wisata tidak hanya Taman Nasional Komodo dan Labuan Bajo, klaster pertama meliputi Bali, Lombok, Komodo dan Flores. Klaster kedua meliputi Makassar, Toraja, Wakatobi, Komodo, dan Flores.

Sumber: Hasil Riset Lapangan Paramadina Public Policy Institute (2012) diolah kembali penulis

Pada bagian ketiga diskusi kebijakan, penulis memaparkan dinamika pengelolaan Taman Nasional Komodo guna memberikan perspektif yang lebih luas, kompleksitas memajukan ekowisata di kawasan konservasi. Tidak mudah memperoleh materi dan bahan diskusi, riset Karl Bradnt di tahun 2003 dan laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) disajikan sebagai narasi dinamika pengelolaan kawasan konservasi. Bagian ketiga adalah realitas faktual dari pengelolaan Taman Nasional dengan segenap dinamika dan perilaku para pihak didalamnya.

Dinamika Pengelolaan TN Komodo

Pada bagian ini dibahas dinamika pengelolaan TN Komodo yang telah mulai beroperasi sejak 1980. Sedikit mengulas keunikan Taman Nasional komodo terletak di Pada bagian ini dibahas dinamika pengelolaan TN Komodo yang telah mulai beroperasi sejak 1980. Sedikit mengulas keunikan Taman Nasional komodo terletak di

pilihan antara privatisasi maupun nasionalisasi commons 9 , bukanlah kebijakan yang bisa ditempuh. Privatisasi bermakna menyerahkan pengelolaan sumber daya milik bersama

kepada pasar atau swasta sama berbahayanya dengan nasionalisasi sumber daya yang bermakna campur tangan negara yang dominan.

Dinamika pengelolaan TN sebagai sumber daya bersama dapat kita potret melalui studi walhi mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.

Pada laporan walhi yang berjudul “Taman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak Boleh Lagi Mencari Ikan” beberapa temuan kunci diantaranya: Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan "favorit" bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (Labuan bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa melayang, 3 orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak

kekerasan dari aparat dan data terakhir 9 nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003 10 . Selain data dari situs tersebut, penulis tidak mendapatkan data terkini tindak kekerasan

atau konflik antara aparat dengan nelayan setempat. Adapun data BPS Kabupaten Manggarai Barat tidak merinci detail “cerita” tindak kekerasan.

Adanya larangan melakukan aktivitas nelayan di wilayah TNK telah menjadikan masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan, alasan pelarangan yang selalu didengungkan oleh pihak berwenang adalah karena penggunaan destructive fishing oleh nelayan. Sayangnya solusinya kemudian adalah penutupan akses rakyat atas sumber kehidupannya.

TNC pun merekomendasikan untuk dilakukan perubahan pola kerja masyarakat seperti menjadi pengrajin, melakukan penangkaran ikan dan lain-lain. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat di wilayah Pulau Komodo sebagai nelayan, tidaklah mudah untuk melakukan perubahan yang sifatnya kultural sebagaimana dinyatakan pula dalam studi-studi lain misalnya laporan penelitian antropologis Brandt (2003) dan Zakaria (2012).

8 https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Komodo 9 Lihat Kiesling (2016:65-67), Responsibility and the Environment dalam Tom G Palmer (eds) (2016), State

Control or Self-Control? You Decide, Ottawa: Jameson Book, Inc. 10 http://selviariayu.blogspot.co.id/

Brandt (2003:12) menarasikan sejak tahun 2000 ketika The Nature Conservancy (TNC) selaku lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Amerika Serikat, tergolong LSM lingkungan besar di negeri Paman Sam, bersama investor asal Malaysia, Feisol Hasim, telah mendapat kepastian sebagai pemegang lisensi pengelolaan Taman Nasional untuk kurun waktu 25 tahun. TNC sendiri seperti disebutkan dalam situs Taman Nasional Komodo ( http://www.komodonationalpark.org/ ) tidak dapat memperoleh konsensi pengelolaan kawasan konservasi, kecuali membentuk perusahaan dengan pemegang saham dari Indonesia berbentuk usaha patungan (joint venture). Banyak hal lain yang terklarifikasi menyangkut TNC, apa yang dilakukan dan ingin dicapai dengan keberadaanya di TN Komodo, konsesi yang diberikan, usaha patungan, serta manajemen kolaboratif.

Keterbukaan informasi dari TNC perlu diapresiasi namun transparansi informasi kerap tidak menghasilkan akuntabilitas dan masih ada pihak yang “kalah” dalam menatakelola sumber daya milik bersama ini. Di satu sisi penulis cukup dapat memahami perkembangan pendekatan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi tidak dapat dilepaskan dari kehadiran aktor lingkungan global. Di sisi lain, tidak dapat dihindari potensi benturan sosial baik antar masyarakat di dalam kawasan maupun dengan masyarakat luar kawasan. Dari aspek budaya juga telah terjadi intervensi, seperti pemisahan Komodo dengan masyarakat.

Bagi Brandt, kebudayaan orang kampung Komodo (telah) dihambat oleh peraturan UNESCO dan TNC. Sejak Pulau Komodo menjadi bagian warisan alam dunia, pohon tidak bisa dipotong. Semula, orang kampung Komodo makan bubur dari pohon sagu dan membangun rumahnya dari pohon. Perkembangan jumlah manusia penduduk Pulau Komodo memang pesat mulai tahun 1958, tahun1994, hingga tahun 2000.

Sikap saling tidak percaya sangat mendominasi antara misi TNC yang dikenal dengan collaborative management. Idealnya collaborative management dilakukan dalam koridor partisipatif, berkelanjutan, transparan dan yang terpenting lagi adalah menjadikan masyarakat sebagai subyek.

Sikap xenophobia dan curiga terhadap orang asing (TNC dan perusahaan patungan PT Putri Naga Komodo) dimana indikasi ini dapat jelas terlihat penilaian terhadap proposal TNC yang akan menjadikan TN Komodo sebagai "lahan konsesi" yang dikelola secara eksklusif. Padahal sejauh penulis baca tidak demikian. Keberatan juga menyangkut format kolaborasi yang diusung TNC dan aparatur Balai TN dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagai satuan kerja Dirjen PHKA di lapangan, tidak lebih dari model privatisasi kawasan konservasi, apalagi secara terang-terangan TNC juga telah menggandeng pengusaha yang akan berkolaborasi dalam usaha ekowisata. Di atas kertas, manajemen kolaboratif merupakan aplikasi dari governing the commons namun delapan prinsip tata kelola sumber daya milik bersama dari Elinor Ostrom sepertinya masih jauh dari harapan.

Kendala penerapan delapan prinsip tersebut bermuara pada sikap para pihak yang dikotomis dalam memandang masalah lingkungan. Acap kali, aktor para penggiat Kendala penerapan delapan prinsip tersebut bermuara pada sikap para pihak yang dikotomis dalam memandang masalah lingkungan. Acap kali, aktor para penggiat

Pelajaran dari tata keloa air di Paris memberikan catatan terpenting bahwa keputusan politik untuk mengakhiri kontrak “privatisasi” air yang sudah berjalan selama

25 tahun. Pemerintah Kota Paris melakukan transformasi besar di berbagai bidang seperti teknis, ekonomi, sosial, dan budaya (Agnes Sinai, 2002). Tanpa kerjasama dan konsensus para pihak mustahil transformasi besar itu terjadi.

Politik Anggaran Berdasarkan Teori Pilihan Publik

Dalam melakukan penilaian terhadap politik anggaran Dirjen PHKA Kementerian LH dan Kehutanan berdasarkan riset Indonesia Budget Center (IBC, 2015). Dokumentasi riset “Merahnya Anggaran Hijau” merupakan riset yang bersifat evaluatif terhadap pengelolaan anggaran pada sektor Konservasi SDA dan Ekosistem pada Dirjen PHKA Kementrian LH dan Kehutanan. Fokus peneliti anggaran diarahkan kepada efktifitas pengelolaan keuangannya, proses penganggarannya dan pemetaan permasalahan pada pengelolaannya melalui pendekatan “Penganggaran Berbasis Kinerja”.

Kegiatan riset lembaga IBC dilakukan pada pengelolaan anggaran di Taman Nasional di bawah naungan Dirjen PHKA dengan mengambil isu yang berkaitan dengan tiga program: pertama, pencegahan kebakaran; kedua, program penyelesaian konflik; dan ketiga, program pemberdayaan masyarakat.

Penulis perlu memperjelas yang dimaksud politik anggaran yaitu implementasi kebijakan pemerintah melalui instrumen keuangan negara (anggaran pendapatan dan belanja) guna mencapai sasaran yang telah dirancang sebelumnya. Sistem keuangan negara kita menganut tiga pilar penganggaran yaitu: (1). Adanya penganggaran terpadu atau unified budget. (2). Penerapan kerangka pengeluaran bersifat jangka menengah sehingga program pembangunan disusun secara bertahap dan prudent. (3). Penganggaran berbasis kinerja dimana salah satu prinsip pentingnya uang mengikuti fungsi, fungsi mengikuti struktur (money follow function, function follows by structure).

Dari sisi teori kebijakan publik, birokrasi memperoleh perhatian tersendiri dalam evolusi pemikiran teoritis maupun aplikasi empirisnya (Tullock, Seldon, Grady, 2002). Niskanen (1973) tercatat sebagai ekonom generasi pertama dari teori pilihan publik yang mempelajari birokrasi. Melalui model-nya Niskanen mempostulasikan birokrasi seperti Dari sisi teori kebijakan publik, birokrasi memperoleh perhatian tersendiri dalam evolusi pemikiran teoritis maupun aplikasi empirisnya (Tullock, Seldon, Grady, 2002). Niskanen (1973) tercatat sebagai ekonom generasi pertama dari teori pilihan publik yang mempelajari birokrasi. Melalui model-nya Niskanen mempostulasikan birokrasi seperti

Berkaca dari model budget maximization, kita bisa analisis keberadaan Ditjen PHKA di bawah unit Kementerian LH dan Kehutanan. Selaku satu-satunya unit kerja yang memperoleh mandat guna melaksanakan usaha perlindungan hutan serta konservasi alam di Indonesia, bagi IBC, sewajarnya memperoleh dukungan anggarang yang cukup untuk mengelola kawasan konservasi. IBC (2015) mencatat tren pagu anggaran dan realisasi anggaran mengalami kenaikan selama kurun waktu tahun 2010-2015 (sedikit menurun di tahun 2014). Persentase kenaikan mencapai 6,24% sampai 42,55% per tahun. Menarik untuk dicatat bahwa meski alokasi anggaran trennya terus meningkat. Namun dari sisi alokasi dibandingkan dengan jangkauan luas area konservasi di bawah kendali Ditjen PHKA hanya sebesar Rp. 63,524,000 per hektar.

Hal lain yang perlu dicatat juga alokasi anggaran tidak seluruhnya dibelanjakan pada kegiatan teknis guna melindungi kawasan konservasi dari beragam ancaman serta meningkatkan pemanfaatan kawasan konservasi bagi kesejahteraan rakyat di wilayah konservasi (IBC, 2015). Studi IBC juga menemukan bahwa dari enam keluaran program

yang ditetapkan sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) 11 Ditjen PHKA di tahun 2014 hanya tiga indikator yang melampau targetnya. Tiga keluaran program yang tidak melampau

target sebagai berikut:

i. Penurunan konflik dan tekanan pada kawasan taman nasional dan kawasan

konservasi lainnya;

ii. Penurunan titik panas (hot spot) di Kalimantan, Sumatera, dan Selawesi;

iii. Terbangunnya persiapan sistem pengolahan Badan Layanan Umum di Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Hutan dan Konservasi alam.

Bagi IBC, tidak tercapainya beberapa keluaran yang telah ditetapkan sebelumnya mengakibatkan penurunan efektifitas pencapaian kinerja menurut IKU. Ditambah lagi, ada faktor eksternal di luar Kementerian LH dan Kehutanan misalnya fenomena El Nino tahun 2014, tiga kandidat satuan kerja Badan Layanan Umum (BLU) yang diajukan tidak memenuhi persyaratan teknis, dan proses penyelesaian kasus Tindak Pidana Kehutanan yang kompleks sehingga berlarut-larut (IBC, 2015:27).

Reformasi keuangan publik yang diinisiasi melalui reformasi keuangan negara sejak tahun 2003 ialah kerangka logis (logical framework) agar anggaran semakin mencerminkan kinerja birokrasi. Teori pilihan publik justru mempunyai asumsi dasar yang berbeda dari reformasi keuangan publik. Dari teori maupun aplikasi pilihan publik, kegagalan pemerintah (government failure) tidak serta merta memberikan solusi

11 IKU merupakan target pencapaian kinerja untuk level Direktorat Jenderal Eselon 1, sementara IKK atau Indikator Kinerja Kegiatan ialah target pencapaian kinerja untuk level Direktorat Eselon 2 11 IKU merupakan target pencapaian kinerja untuk level Direktorat Jenderal Eselon 1, sementara IKK atau Indikator Kinerja Kegiatan ialah target pencapaian kinerja untuk level Direktorat Eselon 2

Bab 4

Penutup

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dan saran dari kajian Dinamika Pengelolaan Taman Nasional Komodo sebagai berikut:

1) Perubahan iklim sebagai fenomena global membutuhkan kesepahaman antara beragam pemangku kepentingan. Pemahaman bersama menjadi pintu masuk dalam isu lingkungan hidup yang bertalian dengan banyak aspek dalam perikehidupan manusia. Kehadiran Taman Nasional Komodo memilik beragam manfaat konservasi, selain juga eksternalitas positif bagi pengembangan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar. Indonesia telah banyak mengadopsi dan memiliki regulasi terkait pengelolaan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi. Secara faktual, prakter kebijakan dan implementasi regulasi- regulasi tersebut masih belum maksimal dan menghadapi kebuntuan.

2) Ekowisata memiliki potensi yang menjanjikan untuk menyediakan akses bagi warga masyarakat guna memperoleh manfaat positif keberadaan Taman Nasional. Isu kemiskinan dapat dicarikan solusinya melalui ekowisata. Namun kita perlu mewaspadai dan memahami dinamika pengelolaan Taman Nasional, khususnya menyangkut sisi antropologis warga yang berdomisili di Taman Nasional. Secara teoritis dan empiris, model tata kelola sumber daya bersama (governing the commons) serta pelembagaan hak kepemilikan kepada masyakat lokal menerapkan prinsip-prinsip kebebasan dan kemajuan.

3) Apapun strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dipilih pemerintah, teori pilihan publik melalui model birokrasi Niskanen dan model pemburu rente (rent seeking) Tullock memberikan wawasan mendasar bahwa kita perlu waspada dengan kegagalan pemerintah, yang kerap diundang secara sadar, guna memperbaiki kegagalan pasar. Internalisasi eksternalitas dalam isu perubahan iklim dan lingkungan perlu melibatkan beragam pemangku kepentingan sehingga suara (voice) warga bisa terdengar dan diperjuangkan. Perlu pula dicantumkan bahwa teori pilihan publik tidak berarti kita bisa hidup tanpa pemerintahan (anarchy). Wawasan pilihan publik justru mewaspadai persoalan mendasar dari intervensi pemerintah.

4) Perlunya sinergi maupun koordinasi yang mantap antara kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan masyarakat yang berdomisili di kawasan Taman Nasional sebagai solusi optimal pengelolaan sumber daya milik bersama di 4) Perlunya sinergi maupun koordinasi yang mantap antara kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan masyarakat yang berdomisili di kawasan Taman Nasional sebagai solusi optimal pengelolaan sumber daya milik bersama di

5) Pemerintah mempunyai instrumen politik anggaran yang sepatutnya berpihak

kepada pengelolaan kawasan konservasi demi kesinambungan pembangunan berkelanjutan. Masa pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi saja sudah tidak bisa dilanjutkan, bila kita mengingikan anak dan cucu serta keturunan kita merasakan dan menjumpai sumber daya hayati seperti yang ada sekarang. Tanpa keberpihakan dalam bentuk politik anggaran, kehadiran pemerintah tidak banyak artinya bagi pembangunan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

1. Agnes Sinai (2002), Tata Kelola Air di Paris. Jakarta, Gramedia.

2. Arianto Patunru dan Anthea Haryoko (2015), Reducing Deforestation by Strengthening Communal Property Rights. Kuala Lumpur, CIPS dan SEANET.

3. BPS Kabupaten Manggarai Barat (2015), Manggarai Barat Dalam Angka.

4. Daniel Murdiyarso (2010), Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke Meja Perundingan. Dalam Prisma Vol.29, No.2, April 2010.

5. Djoni Hartono, Arief A Yusuf, dan Budi Resosudarmo (2010), Konsep Dasar Persoalan Eksternalitas, dalam Iwan Jaya Azis, Lydia M Napitupulu, Arianto A Patunru dan Budi P Resosudarmo (eds) (2010), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta, Gramedia.

6. Elinor Ostrom (1990), Governing the common. New York, Cambridge University Press.

7. Fabby Tumiwa (2010), Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini, Kertas Kebijakan, Jakarta, Freiderich Naumann Stiftung.

8. Gordon Tullock, Arthur Seldon, dan Gordon L Brady (2002), Government Failure: A Premier in Public Choice. Washington DC, Cato Institute.

9. Gordon Tullock (2005), Rent-Seeking Society, Selected Works of Gordon Tullock volume 5. Indianapolis, Liberty Fund.

10. Indonesia Budget Center (2015), Merahnya Anggaran Hijau: Efektifitas Anggaran Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Ditjen PHKA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.

11. Iwan Jaya Azis, Lydia M Napitupulu, Arianto A Patunru dan Budi P Resosudarmo (eds) (2010), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta, Gramedia.

12. James Salzman (2010), Designing Payments For Ecosystem Services, PERC Policy Series No.48.

13. Karl Brandt (2003), Mengapa Kebudayaan Masyarakat Kampung Komodo Terancam. Fakultas Asian Studies, Australian National University, Australia.

14. Lynne Kiesling (2016), Responsibility and the Environment. Dalam Tom G Palmer (eds) (2016), State Control or Self-Control? You Decide, Ottawa, Jameson Book, Inc.

15. Moira Moeliono et al (2010), Merentas Kebuntuan: Konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi Taman Nasional di Indonesia. Bogor, Center for International Forestry Research.

16. Newcome et al (2005), The economic, social, and ecological value of ecosystem services: a literature review, dalam Iwan Jaya Azis, Lydia M Napitupulu, Arianto A Patunru dan Budi P Resosudarmo (eds) (2010), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta, Gramedia.

17. Paramadina Public Policy Institute (2012), Penelitian dan pengembangan kebijakan publik Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat. Jakarta, Tidak dipublikasikan.

18. Pramudya A.Oktavinanda (2012), Public Choice Theory dan Aplikasi dalam Sistem Legilasi Indonesia. Diunduh dari http://www.pramoctavy.com/

19. R. Yando Zakaria tahun (2012), Kemiskinan, Budaya dan Perekonomian Rakyat dalam Bisnis Keajaiban Komodo untuk Yayasan Komodo Kita. Jakarta, Tidak dipublikasikan.

20. R David Simson (2016), Ecosystem Services: What are the Public Policy Implications? PERC Policy Series No.55.

21. Robert Cribb dan Michele Ford (eds) (2009), Indonesia beyond the water’s edge: Managing an Archipelagic State. Singapura, ISEAS.

22. Yani Saloh (2015), Kajian Kebijakan Taman Nasional: Tantangan Konservasi, Peluang Ekonomi dan Menjaga Stabilitas Iklim. Jakarta, FNF dan Freedom Institute.

Profil Penulis

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah Pemuda. Selain aktivisme YFN, Iksan juga berprofesi sebagai seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelumnya,

Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.

Iksan bisa dihubungi melalui email mh.iksan@suarakebebasan.org dan twitter @mh_ikhsan

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Implementasi Program Dinamika Kelompok Terhada Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur

10 166 162

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Lembaga Kantor Berita Nasional Antar Biro Jawa Barat

0 59 1

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17