Dinamika Pengelolaan Taman Nasional Komodo

MUHAMAD IKSAN

Diterbitkan oleh:

Friederich-Naumann-Stiftung für die Freiheit

DINAMIKA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KOMODO: Kajian dan Diskusi Kebijakan untuk Merumuskan

Rekomendasi-Rekomendasi Mendatang

MUHAMAD IKSAN

DINAMIKA TAMAN NASIONAL KOMODO: Kajian dan Diskusi Kebijakan Untuk Merumuskan Rekomendasi-Rekomendasi Mendatang

©Muhamad Iksan

ISBN

Supervisi Penerbitan Ingo Batavia Hauter Desain Cover dan Tata Letak Indra Kusuma

Cetakan Pertama November 2016

Diterbitkan atas kerjasama

Friedrich Naumann Stiftung

Jl. Kertanegara No. 51, Kebayoran Baru Jakarta 12110 Indonesia Tel: (62-21) 725 60 12/13 Fax: (62-21) 727 995 39 E-Mail: jakarta@fnst.org Website: www.fnf-indonesia.org

Dan

Freedom Institute

Website: freedom-institute.org E-Mail: office@freedom-institute.org

Ringkasan

• Perubahan iklim sebagai fenomena global membutuhkan kesepahaman antara

beragam pemangku kepentingan. Pemahaman bersama menjadi pintu masuk dalam isu lingkungan hidup yang bertalian dengan banyak aspek dalam perikehidupan manusia. Kehadiran Taman Nasional, dalam kajian ini yang menjadi contoh kasus yaitu Taman Nasional Komodo memilik beragam manfaat konservasi, selain juga eksternalitas positif bagi pengembangan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar.

• Indonesia telah banyak mengadopsi dan memiliki regulasi terkait pengelolaan

Taman Nasional dan Kawasan Konservasi. Secara faktual, praktek kebijakan dan implementasi regulasi menyangkut pengelolaan Taman Nasional serta Kawasan Konservasi masih belum maksimal dan kerapkali menghadapi kebuntuan.

• Ekowisata memiliki potensi yang menjanjikan untuk menyediakan akses bagi warga masyarakat guna memperoleh manfaat positif keberadaan Taman Nasional. Masalah kemiskinan dapat dicarikan solusinya melalui ekowisata. Namun kita perlu mewaspadai dan memahami dinamika pengelolaan Taman Nasional, khususnya menyangkut aspek antropologis warga yang berdomisili di Taman Nasional.

• Secara teoritis dan empiris, model tata kelola sumber daya bersama (governing

the commons) serta pelembagaan hak kepemilikan kepada masyakat lokal akan memberikan peluang bagi penerapan prinsip-prinsip kebebasan dan kemajuan.

• Strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dipilih pemerintah, dari teori

pilihan publik melalui model birokrasi Niskanen dan model pemburu rente (rent seeking) Tullock, memberikan wawasan mendasar bahwa kita perlu waspada dengan kegagalan pemerintah, yang kerap dilibatkan secara sadar guna memperbaiki kegagalan pasar. Internalisasi eksternalitas dalam isu perubahan iklim dan lingkungan perlu melibatkan beragam pemangku kepentingan sehingga suara (voice) warga bisa terdengar dan diperjuangkan. Perlu pula dicantumkan bahwa teori pilihan publik tidak berarti kita bisa hidup tanpa pemerintahan (anarchy). Wawasan dari teori pilihan publik justru mewaspadai persoalan mendasar dari intervensi pemerintah.

• Adanya sinergi maupun koordinasi yang mantap antara kalangan pemerintah

pusat dan pemerintah daerah dengan masyarakat yang berdomisili di kawasan Taman Nasional sebagai solusi optimal pengelolaan sumber daya milik bersama di dalam Taman Nasional. Sinergi dan koordinasi adalah dua kata yang mudah disebutkan, namun kerapkali implementasi di lapangan tidak mudah. Maka pusat dan pemerintah daerah dengan masyarakat yang berdomisili di kawasan Taman Nasional sebagai solusi optimal pengelolaan sumber daya milik bersama di dalam Taman Nasional. Sinergi dan koordinasi adalah dua kata yang mudah disebutkan, namun kerapkali implementasi di lapangan tidak mudah. Maka

• Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, mempunyai instrumen politik anggaran yang sepatutnya berpihak kepada pengelolaan kawasan konservasi demi kesinambungan pembangunan berkelanjutan. Masa pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi saja sudah tidak bisa dilanjutkan, bila kita mengingikan anak dan cucu serta keturunan kita merasakan dan menjumpai sumber daya hayati seperti yang ada sekarang. Tanpa keberpihakan dalam bentuk politik anggaran, kehadiran pemerintah tidak banyak artinya bagi pembangunan berkelanjutan.

Daftar Tabel, Gambar dan Kotak

Tabel

Tabel 1 Perkembangan pendekatan kawasan konservasi dari masa ke masa Tabel 2 Indeks Hak Kepemilikan Indonesia Tabel 3 Peraturan Pengaturan Taman Nasional Tabel 4 Pendidikan di Manggarai Barat Tabel 5 Estimasi Biaya Wisatawan

Gambar

Gambar 1 PDB per kapita Provinsi Gambar 2 Human Development Index Provinsi Gambar 3 Empat Tipe Jenis Barang Gambar 4 Lokasi Taman Nasional Komodo dan Wilayah Kabupaten Manggarai

Daftar Kotak

Kotak 1 Perkembangan pendekatan kawasan konservasi di Indonesia Kotak 2 Tata Kelola Common Pool Resources (CPR) Kotak 3 Aplikasi Pilihan Publik (public choice) dalam Pengelolaan Lingkungan Kotak 4 Apa selanjutnya untuk ekowisata TN Komodo

Bab I

Pendahuluan

Latar Belakang

Keberadaan Taman Nasional (TN) memiliki fungsi dan peran strategis bagi kelangsungan pembangunan berkelanjutan. Berbagai studi maupun kajian telah banyak dilakukan oleh peneliti maupun aktivis lingkungan diantaranya: Yani Saloh (2015), Moeliono et al (2010), Karl Brandt (2003), dan lain sebagainya. Fungsi TN sebagai bagian dari kawasan konservasi – merupakan bagian dari hutan- yang berperan sebagai penyedia jasa lingkungan.

Jasa lingkungan dapat didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem hutan, dimana manfaatnya dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung (Saloh, 2015). Jasa lingkungan telah menjadi fokus kajian global yang dimotori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai tahun 2001. Inisiatif ini juga melibatkan lebih dari 1,300 dari seluruh dunia. Tujuan utama Millenium Ecosystem Assesment (MEA) sebagai instrumen analisis konsekuensi perubahan ekosistem terhadap kesejahteraan manusia, dan selanjutnya meletakkan basis keilmuan untuk melakukan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Dalam suatu lapoan MEA (2005) menekankan pentingnya keanekaragaman hayati menjadi fondasi yang memungkinkan adanya jasa lingkungan (Napitupulu, 2010).

Saat ini kita mempunyai 51 (lima puluh satu) buah TN yang tersebar diberbagai kepulauan Nusantara mulai dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. TN ditetapkan guna melindungi ekosistem asli dengan pengelolaanya berada di Balai Taman Nasional, penyelenggaraan serta pengelolaan TN dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) level provinsi. UPT-UPT ini bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Studi ini berfokus pada pengelolaan TN Komodo dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: pertama, TN Komodo merupakan salah satu dari lima TN pertama yang digagas pemerintah pada tahun 1980an bersama dengan TN Gunung Leuser, TN Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, TN Baluran serta TN Komodo dengan luas kawasan total mencapai 1,4 juta Hektar. Sejarahnya yang panjang memberikan dinamika tersendiri bagi generasi penerus untuk dapat dipelajari. Kedua, predikat yang disandang Taman Nasional kebanggaan NTT ini juga cukup mentereng mulai dari The New Seven Wonder of Nature Studi ini berfokus pada pengelolaan TN Komodo dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: pertama, TN Komodo merupakan salah satu dari lima TN pertama yang digagas pemerintah pada tahun 1980an bersama dengan TN Gunung Leuser, TN Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, TN Baluran serta TN Komodo dengan luas kawasan total mencapai 1,4 juta Hektar. Sejarahnya yang panjang memberikan dinamika tersendiri bagi generasi penerus untuk dapat dipelajari. Kedua, predikat yang disandang Taman Nasional kebanggaan NTT ini juga cukup mentereng mulai dari The New Seven Wonder of Nature

Bangsa untuk Saintifik, Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO). TN Komodo bersama dengan TN Lorentz, TN Ujung Kulon, serta Hutan Hujan Tropis Sumatera menjadi Situs

Warisan Dunia 2 yang membanggakan. Menurut UNESCO dalam studi kasusnya sebagian besar situs-situs warisan dunia

tersebut kini terancam kelangsungannya oleh masifnya perubahan iklim. Perubahan iklim telah terasa saat ini juga di masa depan bagi situs warisan dunia. Guna menjaga kelangsungannya pemahaman dampak perubahan iklim melalui apa yang dinamakan dengan Nilai Universal Terkemuka (Oustanding Universal Value) diharapkan mampu memberi solusi yang efektif. Dokumen dan studi terkait perubahan iklim dan situs

warisan dunia dapat kita akses pada tautan berikut 3 . Ketiga, Taman Nasional di wilayah Kabupaten Manggarai Barat juga sebagai cagar

biospher yang memiliki keunikan tersendiri. Bersama dengan TN Cibodas, TN Lore Lindu, TN Tanjung Puting, TN Gunung Leuser, TN Siberut dan cagar biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu di Riau. Cagar biosfer didefinisikan sebagai kawasan konservasi ekosistem daratan

atau pesisir yang diakui oleh Program MAB - UNESCO 4 (Man and The Biosphere Programme –United Nations Education Social and Cultural Organization) untuk

mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Berdasarkan ketiga pertimbangan pokok inilah, pada hemat penulis, TN Komodo

patut dikaji dan dibahas lebih mendalam menyangkut dinamika pengelolaannya. Moeliono et al (2010:3) mengemukakan pengelolaan TN di Indonesia menghadapi beragam permasalahan krusial diantaranya kebijakan penetapan TN, ketidakpastian hukum, tumpang tindihnya aturan, sampai dengan problematika sosial budaya. Lebih mendalam, Yani Saloh (2015) menunjukkan dalam contoh kasus Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Saloh menceritakan bagaimana dalam kawasan TN Betung Kerihun, marak penambangan liar selain daripada sulitnya infrastruktur seperti jalan membuat suku asli Dayak di sana menjadi sangat terisolasi dan tertinggal dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah terdekat lainnya.

Walaupun demikian, Taman Nasional Komodo juga tercatat sebagai contoh nyata inisiatif manajemen kolaboratif yang mampu mengandeng organisasi global The Nature Conservancy (TNC), termasuk dalam konservasi wilayah maritim, menjadi contoh keberhasilan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan (Rili Djohani, 2009 dalam Cribb dan Ford (eds), 2009). Sejak tahun 1995, TN Komodo telah memperoleh

1 http://www.kompasiana.com/yudhaheka/taman-nasional-komodo-resmi-menjadi-the-new-seven-wonders- of-nature_5510820f8133115a3bbc6496

2 http://whc.unesco.org/en/statesparties/id 3 http://whc.unesco.org/en/climatechange/ 4 https://alamendah.org/2010/12/29/cagar-biosfer-di-indonesia/ 2 http://whc.unesco.org/en/statesparties/id 3 http://whc.unesco.org/en/climatechange/ 4 https://alamendah.org/2010/12/29/cagar-biosfer-di-indonesia/

Pada periode yang sama, Dirjen PHKA dengan dukungan TNC telah berhasil membuat rencana pengembangan Taman Nasional untuk jangka waktu 25 tahun (Djohani, 2009). Dokumen ini dihasilkan melalui konsultasi yang intensif dengan para pemangku kepentingan, studi sosioekonomi, serta survei ekologis. Dokumen ini pula yang menjadi basis kerangka hukum bagi penggunaan sumber daya yang berada didalam Taman Nasional. Sumber daya dimaksud mencakup zona alam bebas (wilderness zone), zona turisme (tourism zone), dan zona perikanan terbuka (pelagic fishery zone). Tujuan akhir dari adanya dokumen rencana pengembangan TN Komodo adalah perlindungan bagi biodiversitas, termasuk Naga Komodo dan stok cadangan ikan tangkap bagi keberlanjutan pengelolaan usaha perikanan di wilayah sekitar. Cara yang ditempuh melalui upaya mengurangi ancaman terhadap wilayah sumber daya maupun konflik dengan berbagai aktivitas yang tidak menunjang tujuan tersebut (Djohani, 2009).

Rumusan masalah

Yando Zakaria (2012) dalam presentasi berjudul “Kemiskinan, Budaya, dan Perekonomian Rakyat dalam Bisnis Keajaiban Komodo” menyatakan masalah kemiskinan yang mendera warga desa di Pulau Komodo maupun wilayah pesisir pantai dikarenakan semakin menyempitnya ruang gerak ekonomi masyarakat yang tinggal di Pulau. Disamping semakin derasnya migrasi nelayan pendatang karena alasan potensi sumber daya yang bersifat moneter/uang cukup intens, sehingga membawa tekanan pada lingkungan. Sementara itu, sektor usaha masyarakat selain sektor ekstraktif penangkapan ikan masih belum berkembang dengan optimal, misalnya: seni ukir, usaha rumahan abon ikan maupun jasa pemandu wisata (ranger).

Secara umum, persoalan kemiskinan bukan hanya mendera nelayan yang berasal dari Pulau Komodo saja. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih belum melepaskan diri dari kemiskinan warganya. Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, tercatat sebagai Provinsi termiskin berdasarkan ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dalam Dollar Amerika (USD). PDB per kapita NTT jauh dibawah PDB per kapita Indonesia yang mencapai 3.000 USD per tahun. PDB per kapita NTT sedikit lebih baik dari Maluku dan Maluku Utara seperti tergambar pada Gambar 1 di bawah ini

Sumber: Biro Pusat Statistik

Dari aspek pembangunan manusia yang diukur melalui indeks pembangunan manusia (Human Development Index - HDI), provinsi NTT juga belum mencatatkan prestasi yang menggembirakan. NTT tercatat sebagai salah satu dari sepuluh Provinsi dengan HDI terendah yaitu 66,6 untuk tahun 2010. HDI NTT sedikit di atas Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Papua seperti disajikan pada Gambar 2 berikut:

Sumber: Biro Pusat Statistik

Cerita-cerita yang menyedihkan tentang kondisi NTT yang terbelakang masih panjang daftarnya bila kita ingin menyigi lebih mendalam, dari sisi tingkat pengangguran, tingkat elektrifikasi Rumah Tangga, serta proporsi Rumah Tangga yang masih menggunakan kayu untuk memasak. Pertanyaannya kemudian, mengapa warga NTT masih belum lepas dari belenggu kemiskinan?

Kuncinya terletak pada ketiadaan akses dan kapasitas untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi yang produktif. Seperti diuraikan Kusumanto dan Satria

(2011) dalam Zakaria (2012) dimana karakteristik ekonomi berbasis usaha nelayan yaitu: (i). ketidakpastian yang tinggi karena tangkapan ikan sangat tergantung pada musin sehingga pola perolehan hasil tangkap menjadi tidak menentu. (ii). Hubungan sosial ekonomi yang memiliki pola patron-klien sehingga surplus atau keuntungan lebih banyak pada pihak patron. (iii). Kebijakan dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat yang tidak mendukung.

Karl Brandt (2003) melakukan studi antropologis tentang mengapa kebudayaan masyarakat kampung komodo terancam. Ia mengajukan hipotesis penelitian dimana perlindungan terhadap Komodo menjadi prioritas ketimbang menyejahterakan komunitas. Sesuatu situasi yang sangat berbeda dari kebanyakan wilayah Indonesia lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajikan rumusan masalah: bagaimana dinamika pengelolaan Taman Nasional Komodo yang terfokus pada dua hal sebagai berikut: Pertama, tentang kondisi kemiskinan warga dan potensi ekowisata berbasis masyarakat. Hal yang menyangkut isu pertama juga apakah terjadi konflik perebutan sumber daya antara masyarakat dengan pihak penguasa wilayah setempat sebagai otoritas pemerintahan lokal. Kedua, tentang kebijakan anggaran dari pemerintah melalui aparat terkait guna melakukan strategi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Hal yang dibahas dari isu kedua ini menyangkut sejauhmana anggaran didesain, diimplementasikan, dan dievaluasi guna mencapai tujuan dan rencana awal.

Metode Kajian

Makalah ini menggunakan metode studi literatur yang memanfaatkan studi-studi maupun kajian-kajian sebelumnya. Analisa data menggunakan metode deskriptif yaitu: penulis menarasikan temuan studi, data kuantitatif serta kualitatif, maupun hasil penelitian guna menjawab dua masalah pokok dalam rumusan masalah di atas. Beberapa literatur yang digunakan secara intensif diantaranya: (1). hasil riset Karl Brandt tahun 2003 dari Fakultas Asian Studies Australian National University (ANU-Australia), (2). Laporan studi lembaga Paramadina Public Policy Institute (2012) tentang penelitian dan pengembangan kebijakan publik Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat. (3). Laporan studi lembaga Indonesia Budget Center (IBC, 2015) tentang Efektivitas Anggaran Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Ditjen PHKA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dokumen pendukung yang dipergunakan antara lain: (i). Yani Saloh (2015) Kajian Kebijakan Taman Nasional: Tantangan Konservasi, Peluang Ekonomi dan Menjaga Stabilitas Iklim, (ii). makalah presentasi R. Yando Zakaria tahun 2012 untuk Yayasan Komodo Kita tentang Kemiskinan, Budaya dan Perekonomian Rakyat dalam Bisnis Keajaiban Komodo, serta sumber-sumber lainnya seperti Moira Moeliono et al (2010) dari

Center for International Forestry Research, Arianto Patunru dan Anthea Haryoko (2015), R David Simson (2016) PERC Policy Series No.55, dan James Salzman (2010) PERC Policy Series No.48. Beberapa bab dalam buku: Indonesia beyond the water’s edge: Managing an Archipelagic State oleh Robert Cribb dan Michele Ford (eds) tahun 2009 dan Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim oleh Iwan Jaya Azis, Lydia M Napitupulu, Arianto A Patunru dan Budi P Resosudarmo (eds) tahun 2010 memperkaya wawasan dan khazanah literatur penulis guna memperoleh perspektif yang lebih luas serta komprehensif dalam menganalisis dinamika pengelolaan Taman Nasional di wilayah Manggarai Barat ini.

Bab 2

Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka, penulis menyajikan telaah literatur yang terdiri atas beberapa sub-bab antara lain: Pertama, penulis mengulas konsep seputar Taman Nasional, Kawasan Konservasi dan Perkembangan berisikan sejarah singkat beserta paradigma yang melatarbelakangi kehadiran Taman Nasional beserta Kawasan konservasi. Selain itu akan disajikan kriteria penunjukan Taman Nasional, dinamika ekspansi penetapan Taman Nasional dari masa Orde Baru sampai saat ini.

Kedua, tinjauan pustaka mengelaborasi tentang konsep eksternalitas, internalisasi eksternalitas, empat tipe barang (four types of goods), barang sumber daya bersama (common pool resources - CPR) serta prinsip liberal dalam pengelolaan sumber daya bersama menjadi sub-bab selanjutnya. Prinsip Liberal yang dimaksud ialah peran dan fungsi hak kepemilikan (property rights) serta kondisi umum penerapan konsep property rights di Indonesia menggunakan indeks hak kepemilikan. Prinsip liberal selanjutnya yaitu keterlibatan beragam pemangku kepentingan yang memungkinkan terjadinya check and balance dalam pengambilan kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam.

Ketiga, Sub-bab akan mengulas beberapa aspek terkait perubahan iklim serta bagaimana strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam konteks keberadaan Taman Nasional. Hal lain yang dibahas dalam sub-bab ketiga adalah ekowisata sebagai salah satu jasa lingkungan (ecosytem services), termasuk implikasi ekonomi dari penerapan ekowisata berbasis komunitas.

Keempat, penulis menegulas regulasi serta kebijakan yang berlaku dalam pengelolaan Taman Nasional. Peraturan yang dibahas mulai dari tataran Undang-Undang sampai peraturan teknis berupa Peraturan Menteri. Pembahasan soal regulasi serta kebijakan teknis guna memperoleh deskripsi rule of the game pengelolaan Taman Nasional dari waktu ke waktu.

Taman Nasional, Kawasan Konservasi dan Perkembangannya

Tujuan utama Pemerintah menetapkan Taman Nasional serta Kawasan Konservasi lainnya – tercatat sebagai aset umum Pemerintah- adalah pelestarian keanekaragaman hayati dan pengembangan jasa lingkungan. Taman Nasional sebagai bagian dari kawasan konservasi tempat terbaik menyaksikan keanekaragaman, keunikan beserta keindahan flora juga fauna yang endemik, dilindungi dan khas wilayah nusantara. Misalnya TN

Gunung Halimun Salak memiliki vegetasi pegunungan khas Jawa Barat, serta habiat bagi burung elang jawa juga lutung jawa. Sementara TN Kutai merupakan representasi hutan dataran rendah khas Kalimantan Timur yang kaya akan jenis dipterokarpa seperti meranti serta juga tempat tinggal bagi Orang Utan (Moeliono et al, 2010).

Taman Nasional-Taman Nasional kita telah banyak memperoleh pengakuan dari dunia internasional, dalam paper ini misalnya, TN Komodo mendapat predikat New 7 Wonder, World Heritage Site, dan Cagar Biospher (Saloh, 2015). Lebih dari sekedar pengakuan, kita mungkin telah sama-sama mengetahui potensi ekonomi dan kesehatan yang berasal dari tanaman obat hasil hutan. Menurut Saloh (2015:17-18), sebagian besar obat hasil hutan untuk industri yang berada di Pulau Jawa diperoleh dari Taman Nasional Meru Betiri dan KPH Saradan Madium. Adapun potensi tanaman obat yang berada di TN Meru Betiri mencakup 239 jenis tanaman obat yang tergolong dalam 78 famili, sangat memadai untuk mendukung industri obat tradisional di Pulau Jawa.

Walaupun demikian, kewaspadaan perlu terus dijaga dalam melihat potensi Taman Nasional ini. Meski potensi sosio-ekonomis Taman Nasional tinggi, tidak lantas bisa kita eksplotasi secara berlebihan. Dampaknya eksploitasi masif ialah yang kita kenal

dengan the tragedy of the commons 5 . Karena hutan, danau, daerah aliran sungai, serta kawasan konservasi umumnya tidak dimiliki secara pribadi, maka tidak ada pihak yang

bertanggung jawab terhadap kesinambungannya. Berbeda dari kepemilikan pribadi (private property) dimana pemilik akan menjaga keberlangsungan sumber daya yang Ia milik untuk masa sekarang dan selanjutnya. Pembahasan lebih detail tentang tragedy of commons pada sub-bab kedua tinjauan pustaka ini.

Sejarah pembentukan taman nasional diinisiasi oleh terbitnya Undang-Undang Monumen Alam (cagar alam) melalui Lembar Negara no.278 tertanggal 18 Maret 1916, hal ini menjadi dasar bagi Gubernur Jenderal Belanda guna menunjuk dan menetapkan kawasan. Kita tentu mengenal cagal alam di Bengkulu (bengkulen) dalam rangka perlindungan bunga bangkai (rafflesia arnoldi). Cagar alam Leuser juga telah ditetapkan sebelum Indonesia Merdeka tahun 1934.

Perkembangan pendekatan yang dipilih Pemerintah mulai dari konservasi berbasis ekosistem dan spesies kunci (flagship species) pada era 1970-an, munculnya paradigma fortress conservation yang mengadopsi pendekatan pengamanan (security approach) di dekade 1980-an. Sementara itu, era 1990-an sampai sekarang pendekatan konservasi baru mulai diterapkan pada beberapa TN di Indonesia. Catatan terpentingnya pada

5 Garrett Hardin tercatat sebagai orang yang pertama menggunakan konsep the tragedy of the common, lihat Garrett Hardin (1968), “The tragedy of the commons,” Science 162 no.3859: 1243-1248. Hardin

mengusulkan alternatif terhadap tragedi common ini dengan privatisasi common dan/atau mendefinisikan hak kepemilikan atas common tersebut.

pendekatan ini yakni kehadiran lembaga konservasi internasional seperti World Wide Fund, The Nature Conservancy (TNC), dan Conservation International (CI), dengan memperoleh dukungan pendanaan dari lembaga donor internasional semisal Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan USAID (United State Agency for International Development) (IBC, 2015). Jumlah kawasan konservasi secara langsung mengalami peningkatan, dari lima TN menjadi 51 TN. Moeliono et al (2010:) menandaskan bahwa:

Ekspansi kawasan konservasi di Indonesia bukanlah semata-mata inisiatif pemerintah, melainkan sangatlah dipengaruhi oleh tumbuhnya kesadaran lingkungan masyarakat dunia, menguatnya agenda konservasi di tingkat global, dan meningkatnya komitmen lembaga pendanaan internasional untuk mendukung konservasi SDA.

Kata kunci yang dari penjelasan peneliti CIFOR di atas kini pemerintah bukan pelaku utama upaya konservasi, melainkan sedikit banyaknya dipengaruhi oleh institusi global (pemain global konservasi) serta pula lembaga donor internasional. Kompleksitas muncul dari jarangnya dilibatkannya semua pemangku kepentingan yang berada dalam kawasan konservasi, padahal mereka telah menjadi bagian dari kawasan itu sendiri melalui adat dan kebudayaan mereka sendiri.

Tantangan lain selain absennya pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan, berubah-ubahnya pengertian kawasan konservasi pada tataran regulasi perundangan. Misalnya UU 5/1990 menyatakan kawasan konservasi merupakan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sementara Surat Keputusan Dirjen PHKA 129/1996 memperluas definisi kawasan konservasi menjadi KSA, KPA, taman berburu dan hutan lindung. Apakah tidak konsistensi definisi ini disengaja? Penulis tidak dapat menjawabnya. Penulis hanya dapat menduga inkonsistensi ini tidak dimaksudkan demikian karena sifat UU yang umum sementara peraturan turunan sangat sempit.

Kotak 1 Perkembangan pendekatan kawasan konservasi di Indonesia

Cagar alam Pancoran Mas di Depok Jawa Barat tercatat sebagai cagar alam peninggalan zaman penjajahan Belanda, sayangnya sangat terbengkalai dan terpuruk (Saloh, 2015; Moeliono et al, 2010). Cerita dibalik Pancoran Mas berawal dari hibah dari Cornelis Castelein, partikelir/swasta Belanda, dengan tujuan mempertahankan keaslian hutan belantara di Depok serta fungsinya sebagai resapan air. Ekspansi dari masa ke masa kawasan konservasi telah dilakukan pemerintah sesuai perkembangan kesadaran global dunia menyangkut lingkungan, penyelamatan Sumber Daya Alam yang langka dan pendekatan yang ditempuh Pemerintah RI. Tabel 1 merangkum perkembangan pendekatan kawasan konservasi dari masa ke masa.

Dekade Pendekatan Dominan Peristiwa/Kejadian sebagai (Pemerintah) dan Regulasi

Faktor Pendorong (Global)

Pendukung

Akhir • Konservasi berbasis • Pemerintah membutuhkan waktu 12 tahun 1970-an

ekosistem dan spesies untuk ratifikasi CITES 1978 melalui UU 5/1990 kunci

tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem • Indonesia meratifikasi CITES (Convention on International Trade of

Endangered Species of Wild Fauna and Flora)

1980-an • Fortress conservation • Model adopsi TN Yellowstone, Amerika Serikat • Dirjen PHPA di Dephut

• Strategi pelestarian dunia, Indonesia bersama terbentuk

Brazil, Kolombia, Meksiko, Zaire beserta • Kemeneg

Tanzania dikukuhkan sebagai Negeri Maha Pembangunan dan LH

Anekaragam (megadiversity country) menjadi Kemeneg LH

• Kongres TN dan Kawasan Lindung Sedunia di Bali, 1982, Indonesia memulai mengembangkan gerakan konservasi nasional dengan deklarasi 11 TN

• Kongres kehutanan sedunia ke-8 di Jakarta dengan tema hutan bagi masyarakat (forrest

for people)

1990-an - • Kerjasama internasional • Kongres Kehutanan sedunia ke-9 di Meksiko sekarang

dan konservasi baru penekanan pada konservasi lingkungan melalui serta mobilisasi dana

penghijauan

internasional • Kongres TN dan Kawasan Lindung se-Dunia ke-4 • UU 5/1990 tentang

di Caracas dengan tema park for life serta Konservasi SDA Hayati

ratifikasi biodiversity

dan Ekosistem • Simposium Albani 1997 sebagai kelanjutan • UU 41/1999 mengganti

Kongres Caracas mengidentifikasi empat hal UU Pokok Kehutanan

perubahan besar dalam pengelolaan TN dan 5/1967

kawasan lindung: (1). Perubahan titik pandang • UU pengesahan KK dari konsepsi kepulauan menjadi jaringan Konvensi PBB tentang

kerja; (2). KK menjadi pertimbangan utama Keanekaragaman

dalam perumusan kebijakan publik; (3). KK Hayati 5/1994

dapat dikelola masyarakat, untuk dan bersama • UU 23/1997 tentang

masyarakat; (4). Membangun kapasita Pengelolaan LH

berkesinambungan untuk pencapaian standar • PP 68/1998 tentang KSA

pengelolaan

dan KPA Sumber: IBC (2015); Moeliono et al (2010); Saloh (2015) diolah kembali

Boleh dikatakan semakin tahun upaya keras Pemerintah bersama pelaku lingkungan global semakin ekspansif dan menelurkan konsep terbaru dalam pengelolaan sumber daya ini. Tentu saja secara kuantitas, kawasan TN bertambah walaupun tantangan internal (berasal dari dalam organisasi TN) maupun tantangan eksternal (berasal dari faktor luar) masih tetap ada.

Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional meliputi (Saloh, 2015:12-13): (1). memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; (2). memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; (3). mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan (4). merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional meliputi (Saloh, 2015:12-13): (1). memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; (2). memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; (3). mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan (4). merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya

1. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; misalnya : tempat penelitian, uji coba, pengamatan fenomena alam, dll

2. Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; misalnya : tempat praktek lapang, perkemahan, out bond, ekowisata, dll

3. Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam; misalnya :pemanfaatan air untuk industri air kemasan, obyek wisata alam, pembangkit listrik (mikrohidro/pikohidro), dll

4. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; misalnya : penangkaran rusa, buaya, anggrek, obat-obatan, dll

5. Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; misalnya : kebun benih, bibit, perbanyakan biji, dll. pemanfaatan tradisional.

6. Pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.

Adapun menyangkut mekanisme pemanfaatan bersama pihak ketiga maka terlebih dahulu membangun kesepahaman/kesepakatan/kolaborasi dengan pengelola Taman Nasional dalam rangka pemanfaatan potensi kawasan. Kebijakan ini sesuai regulasi Kementerian Kehutanan melalui Permenhut nomor P19/ Menhut/2004. Sementara itu, terhadap masyarakat di sekitar TN dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat telah dilakukan melalui: pertama, pengembangan desa konservasi; kedua, pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam; serta ketiga, fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.

Eksternalitas, Sumber Daya Milik Bersama serta Prinsip Liberal dalam pengelolaan CPR

Dalam displin ilmu ekonomi, eksternalitas menjadi konsep terpenting dalam memahami fenomena/isu menyangkut lingkungan. Eksternalitas adalah dampak tindakan ekonomi seseorang atau satu pihak terhadap orang atau pihak lain tanpa disertai aliran kompensasi. Eksternalitas menyebabkan perbedaan persepsi akan biaya dari sudut pandang individu versus sudut pandang sosial (masyarakat). Masalah sungai atau lingkungan hidup yang tercemar karena pabrik membuang limbah hasil produksi secara eksesif tanpa proses pengolahan limbah yang handal, menjadi contoh eksternalitas. Dalam hal ini, eksternalitas negatif yaitu tidak diperhitungkannya biaya kerusakan lingkungan akibat polusi yang ditimbulkan melalui proses produksi oleh pemilik pabrik.

Bagaimana solusi terhadap eksternalitas negatif? Caranya pemilik pabrik harus memperhitungkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam keputusan bisnisnya, misalnya dengan mengharuskan membayar sejumlah pajak atas limbah yang Bagaimana solusi terhadap eksternalitas negatif? Caranya pemilik pabrik harus memperhitungkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam keputusan bisnisnya, misalnya dengan mengharuskan membayar sejumlah pajak atas limbah yang

Beberapa penjelasan dari para ahli atas definisi eksternalitas sebagai berikut: pertama, eksternalitas sebagai kasus ketika tindakan satu pelaku ekonomi berdampak pada utilitas atau fungsi produksi pelaku ekonomi lainnya, tanpa pihak lain tersebut ikut andil dalam pengambilan keputusan atas tindakan tersebut (Just el al, 2004). Kedua, eksternalitas sebagai kerugian (atau manfaat) yang dialami suatu individu/perusahaan akibat kegiatan yang dilakukan oleh individu/perusahaan lain, namun individu/perusahaan yang menderita kerugian (atau memperoleh manfaat) tidak dibayar (atau tidak membayar) atas dampak yang mereka rasakan (Stiglitz, 2000). Ketiga, eksternalitas sebagai tindakan produsen atau konsumen yang mempengaruhi (menimbulkan efek terhadap) konsumen atau produsen lain, tapi tidak diperhitungkan dalam pembentukan harga (Pyndick, 2005).

Dari ketiga konsep Just el al (2004), Stiglitz (2000), dan Pyndick (2005) ada tiga hal yang menjadi karakteristik eksternalitas, yaitu:

Ketiga •Ada pelaku ekonomi yang

Pertama

Kedua

•Tidak ada aliran kompensasi secara riil terkena dampak

•Pihak yang terkena dampak

yang menyertai dampak aktivitas pelaku lainnya.

(baik dampak positif

maupun negatif) tidak ikut

tersebut (baik berupa

menentukan, atau

pemberian ganti rugi bila

mengambil keputusan,

dampaknya negatif, atau

tentang aktivitas yang akan

pembayaran kompensasi

berdampak pada dirinya

bila dampaknya positif).

tersebut.

Sumber: Hartono, Yusuf, dan Resosudarmo (2010:53) Selain konsep eksternalitas, dalam bagian ini, penulis memperkenalkan pula empat tipe

barang (goods) yang diidentifikasi oleh ilmu ekonomi berdasarkan sifat kemampuan untuk dikecualikan (excludability) serta sifat kompetisi dalam mengonsumsinya (rivalary in competition) sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3 di bawah ini:

• Barang privat (private good) adalah barang yang untuk mengonsumsinya perlu saling bersaing antar pelaku ekonomi (high rivalary in consumption), disamping sifatnya dapat mengesampingkan dengan mudah pelaku ekonomi yang tidak membelinya (high excludability). Misalnya: es krim di musim panas, donat dan kopi hangat dan lain sebagainya.

• Barang klub (club good) adalah barang yang untuk mengonsumsinya tidak perlu saling bersaing antar pelaku ekonomi (low rivalary in consumption), sementara sifatnya dapat mengesampingkan dengan mudah bagi pelaku ekonomi yang tidak berkontribusi (high excludability). Misalnya: jasa perpustakaan bagi mahasiswa di satu universitas, tersedianya lift bagi pengunjung mal, dan lain sebagainya.

• Barang Sumber Daya Bersama (common resources) merupakan barang yang untuk mengonsumsinya perlu saling bersaing antar pelaku ekonomi (high rivalary in consumption), sedangkan sifatnya tidak dapat mengesampingkan dengan mudah pelaku ekonomi yang tidak mengeluarkan biaya (low excludability). Misalnya: irigasi bagi petani, danau dimana pemancing bisa memancing ikan, dan lain sebagainya.

• Barang publik (public goods) merupakan barang yang untuk mengonsumsinya tidak perlu saling bersaing (low rivalary in consumption), sementara sifatnya tidak dapat mengesampingkan dengan pelaku ekonomi lainnya juga tidak mudah. Misalnya: pertahanan keamanan suatu negara, pemadam kebakaran (fire fighters), dan lain sebagainya.

Keberadaan taman nasional dan kawasan konservasi termasuk dalam contoh barang sumber daya bersama atau lebih dikenal dengan Common-Pool Resources (CPR). Dengan dua sifat utamanya pertama, tingginya tingkat kompetisi antara pelaku ekonomi untuk mengonsumsinya dan kedua, rendahnya excludability dari Taman Nasional bagi pelaku ekonomi yang ingin mengonsumsinya. Dengan bahasa yang sederhana, orang yang ingin menikmati fasilitas Taman Nasional Komodo perlu mengeluarkan sejumlah uang untuk tiket masuk (high rivalary in consumption) dan tidak mudah mengeluarkan orang yang tidak membayar tikat masuk (low excludability) misalnya bagi penduduk asli di sekitar kawasan Taman Nasional.

Karena sulitnya mengesampingkan pihak yang boleh mengonsumsi sumber daya bersama (CPR) dan barang publik (public goods) menimbulkan dampak yang disebut Karena sulitnya mengesampingkan pihak yang boleh mengonsumsi sumber daya bersama (CPR) dan barang publik (public goods) menimbulkan dampak yang disebut

Kiesling (2016) memberikan pandangan yang intuitif, dalam menggunakan dua konsepsi tragedy of commons serta social costs, Elinor Ostrom memandang kontinum dari barang privat dan CPR. Ketimbang melakukan kategorisasi barang privat murni dan barang sumber daya bersama murni, maka ada baiknya kita mulai menganggap private goods serta common-pool resources sebagai kontinum dengan gradasi mulai dari barang privat murni hingga barang sumber daya bersama murni.

Kotak 2 Tata Kelola Common Pool Resources (CPR)

Metode pengambilan keputusan secara koletif, kontrol oleh publik, diskusi dan mekanisme-mekanisme untuk resolusi konflik, pembukaan bidang-bidang keahlian baru, dan interkoneksi-semua ini adalah kriteria untuk tata kelola sumber daya milik bersama seperti yang didefinisikan oleh Elinor Ostrom. Melalui studi antropologis di lapangan, Ostrom – peraih Nobel Ekonomi tahun 2009- menunjukkan bahwa negara maupun pasar tidak akan bisa menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan penggunaan sumber daya milik bersama.Dalam bukunya yang berjudul Governing the Commons, berdasarkan observasi atas keberagaman solusi empiris, Ostrom menunjukkan bahwa peraturan mengenai eksploitasi sumber daya milik bersama mungkin dilakukan asalkan penduduk lokal diikut sertakan dalam prosesnya.

Dari sistem irigasi di Filipina sampai perikanan di Sri Langka dan akuifer di California, banyak studi yang dilakukan oleh Elinor Ostrom menunjukkan bahwa strategi lokal tentang organisasi-diri, kerjasama, dan pertukaran informasi adalah hal-hal yang memungkinkan eksploitasi kolaboratif sumber daya milik bersama terjadi tanpa menghabiskannya.Kesulitan-kesulitan muncul ketika aturan-aturan lokal ini bertentangan dengan para pemilik luar –misalnya, perusahaan-perusahaan yang memompa air dari aquifer dan gagal menyadari status sumber daya tersebut atau para nelayan industri yang menghancurkan nelayan-nelayan lokal. Delapan prinsip tata kelola CPR:

Prinsip kesatu

•Ditentukannya batas-batas dengan jelas (secara efektif tidak menyertakan pihak eksternal yang

tidak berhak) Prinsip kedua •Adanya aturan-aturan mengenai provisi sumber daya milik bersama yang diadaptasi ke kondisi lokal Prinsip ketiga •Pengaturan kolektif yang memungkinkan sebagian besar pemilik sumber daya berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan Prinsip keempat

•Monitoring efektif yang dilakukan pihak-pihak yang merupakan bagian dari pemilik/bertanggung

jawab kepada pemilik sumber daya Prinsip kelima •Adanya sanksi dalam skala berjenjang untuk pemilik sumber daya yang melanggar aturan komunitas Prinsip keenam •Mekanisme resolusi konflik yang murah dan mudah diakses. Prinsip ketujuh •Komunitas memiliki kemampuan menentukan sendiri yang diakui oleh otoritas ditingkat yang lebih tinggi Prinsip kedelapan

•Dalam kasus sumber daya milik bersama yang lebih besar, adanya organisasi berlapis yang terdiri

atas perusahaan-perusahaan, dengan lokal CPR di tingkat paling dasar

Sumber: Agnes Sinai (2002: 150), Tata Kelola Air di Paris, Jakarta: Gramedia

Disamping gagasan Elinor Ostrom tentang tata kelola sumber daya milik bersama sebagai pendekatan liberal dalam pengelolaan lingkungan, konsep liberal lain yang juga perlu diketengahkan adalah penting dan mendesaknya hak kepemilikan (property rights) dalam perlindungan terhadap lingkungan. Hernando De Soto (2014) seperti dikutip oleh Patunru dan Haryoko (2015) menyatakan bahwa pendekatan hak kepemilikan dalam perlindungan lingkungan berdasarkan kepercayaan adanya korelasi kuat antara hak kepemilikan yang terjamin (secure property rights), pertumbuhan ekonomi lokal, dan perlindungan lingkungan.

Hak kepemilikan yang tidak terjamin (unsecure property rights) menjadi penyebab utama bagi banyak individu, perusahaan-perusahaan serta juga berbagai komunitas untuk eksploitasi sumber daya demi keuntungan jangka pendek. Dalam rangka mengukur indeks hak kepemilikan, lembaga aliansi hak kepemilikan internasional secara rutin mengeluarkan indeks hak kepemilikan suatu negara yang diukur melalui 3 kategori utama yaitu: (1). Lingkungan hukum dan politik. (2). Hak kepemilikan fisik dan (3). Hak kepemilikan Intelektual.

Tabel 2 di bawah ini merupakan ilustrasi Indeks Hak Kepemilikan Indonesia untuk tahun 2016 sebagai berikut:

Peringkat di Kawasan Keseluruhan

Skor Peringkat Global

5.0 67 dari 128 negara 13 dari 20 negara Lingkungan Hukum dan Politik 4.4

70 dari 128 negara 12 dari 20 negara

Hak kepemilikan fisik

6.5 36 dari 128 negara 9 dari 20 negara

Hak kepemilikan intelektual

4.2 98 dari 128 negara 15 dari 20 negara

Sumber: http://internationalpropertyrightsindex.org/country?s=indonesia

Berdasarkan tabel tersebut maka ruang untuk perbaikan skor indeks hak kepemilikan Indonesia masih sangat terbuka lebar. Hasil korelasi antara perlindungan terhadap hak kepemilikan dan tingkat pembangunan ekonomi sangat jelas dimana negara-negara maju secara ekonomi memliki indeks hak kepemilikan juga yang tinggi. Negara di kawasan Asia dan Pasifik misalnya Singapura memiliki skor 8,1, Jepang mempunyai skor 8,1, Hongkong memiliki skor 7,8. Begitu pula sebaliknya negara yang tidak terlindungi hak kepemilikannya umumnya negara yang masih tertinggal dalam pembangunan ekonomi. Misalnya di kawasan Asia-Pasifik: Myanmar (2,8), Banglades (2,8), dan Pakistan (3,7).

Dari paparan di atas, dua pendekatan liberal terhadap barang sumber daya milik bersama (common pool resources) – dalam makalah ini adalah kawasan konservasi Taman Nasional- ialah melalui tata kelola CPR yang diajukan oleh Elinor Ostrom dan memastikan hak kepemilikan terjamin dengan dua asumsi terpenting: pertama, pelaku-pelaku ekonomi mencari keuntungan individual serta kesejahterannya masing-masing. Kedua, hanya melalui hak pemilikan yang terjamin dapat membuat individu-individu mengalihkan perhatian keuntungan jangka pendek menjadi keuntungan jangka panjang yang berasal dari sumber daya alam.

Filosof klasik dari masa pencerahan (scotish enlightment) David Hume, seperti dikutip oleh Kiesling (2016:64), mendefinisikan hak kepemilikian sebagai pranata (institusi) mencakup tiga elemen sekaligus: (i). Kepemilikan yang stabil/ajeg. (ii). Dapat dipindahtangankan melalui persetujuan bersama. (iii). Kinerja yang sesuai dengan janji. Permasalahannya kemudian adalah bila hak kepemilikan tidak mudah didefinisikan oleh para pihak. Misalnya hutan sebagai kawasan konservasi selaku sumber daya milik bersama dan barang publik. Dalam standar buku teks ekonomi, kondisi ini dikenal dengan kegagalan pasar (market failure) yang dapat disebabkan oleh adanya eksternalitas, masifnya monopoli, hadirnya informasi asimetris serta barang publik.

Dalam literatur ekonomi kesejahteraan (welfare economics), kegagalan pasar “dapat” dikoreksi dengan tindakan afirmatif dari pemerintah. Pemerintah secara konstitusi merupakan pihak luar yang diberikan mandat untuk mengoreksi kegagalan pasar. Pemerintah mempunyai instrumen yang bersifat memaksa misalnya melalui pajak, maupun sumber daya yang masif melalui birokrasi, serta memiliki legalitas konstitusional guna memberikan kesejahteraan umum/bersama. Sayangnya pemerintah juga berpotensi menyebabkan kegagalan pemerintah (government failure) yang dampaknya sama merusaknya dengan kegagalan pasar (market failure).

Kotak 3 Aplikasi Pilihan Publik (public choice) dalam Pengelolaan Lingkungan

Pilihan publik atau public choice secara sederhana menerapkan pendekatan ekonomi ke dalam institusi politik yang relevan. Asumsi dasar dalam ekonomi seperti manusia merupakan agen yang bersifat rasional (rational agent) serta akan bertindak untuk maksimalisasi manfaat pribadi (maximizing utility) dengan minimalisasi biaya yang harus ia keluarkan (cost efficiency). Secara singkat, setiap manusia akan berhitung untung dan rugi dari setiap tindakannya.

Adapun asumsi dasar pilihan publik terhadap pemerintah pada hakikatnya, pemerintah bukan pelaku ekonomi yang serba tahu (omniscient), pelaku ekonomi yang motifnya mulia (benevolent) serta bukan pelaku ekonomi yang bersifat memaksa dan diktatorial (dictatorship). Pemerintah seperti individu memiliki kepentingan personal yang ingin dikejar (self-interest). Dari keempat asumsi dasar pemerintah ini omniscient, benevolent, dictarorship serta self-interest maka adalah sikap bergantung yang berlebihan terhadap campur tangan pemerintah dapat memberikan solusi maksimal hanyalah angan-angan belaka.

Dua kata kunci yang dibahas intensif oleh mazhab pilihan publik adalah perilaku memburu rente (rent-seeking) dan kelompok kepentingan (interest group). Perilaku atau tindakan berburu rente dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak guna mendapat manfaat tertentu melalui upaya mempengaruhi pembuat keputusan politik (Tullock, 2005). Sedangkan kelompok kepentingan (interest group) didefinisikan sebagai kelompok tertenu diluar pengambil keputusan politik yang membawa dan memperjuangkan kepentingan tersebut secara terorganisasi (Tullock, 2005).

Analisis pilihan publik atas regulasi terkait lingkungan merupakan refleksi keputusan dan interaksi dinamis antar berbagai pelaku kebijakan misalnya ilmuwan, politisi, penggiat lingkungan hidup, serta birokrat. Selain empat pelaku tersebut terdapat pula kelompok kepentingan yang berdedikasi kepada isu-isu lingkungan seperti organisasi internasional seperti TNC, WWF, CI juga organisasi lokal seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), serta kelompok penggiat lingkungan lainnya. Kelompok kepentingan membawa dinamika tersendiri dalam diskusi kebijakan melalui pertimbangan ekonomi-politik, hukum, sosial dan politik sebagai “bahan baku” bagi perdebatan yang hidul dan bernas dalam proses pengambilan kebijakan. Dua pilihan yang umumnya ditempuh dalam membuat kebijakan terkait lingkungan diilustrasikan melalui gambar berikut:

Aturan Sederhana

• Aturan sederhana misalnya pelaku

(Simple Rules)

polusi dituntut membayar kompensasi kepada pihak terkena dampak

• Kontrol dan Perintah misalnya

Kontrol dan Perintah (Command and

regulasi tertentu yang

Control)

memerintahkan dan melakukan

Sumber: Oktavinanda (2012), Tullock, Seldon and Brady (2002), Tullock (2005) diolah kembali

Taman Nasional sebagai Jasa Ekosistem serta Perubahan Iklim

Jasa lingkungan ialah jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem hutan, yang manfaatnya dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung, yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia maupun lingkungan. Newcome et al (2005) membagi jasa lingkungan secara lebih praktis dalam tujuh kategori umum sebagai berikut:

1. Jasa yang menghasilkan material goods atau barang.

2. Jasa filtrasi dan detoksifikasi (purification and detocsification) antara lain filtrasi dan purifikasi udara, air, tanah.

3. Jasa pendauran (cycling process), misalnya pendauran unsur hara, penyerapan karbon, pembentukan tanah.

4. Jasa regulasi dan stabilisasi (regulation and stabilization), seperti kontrol hama dan penyakit, regulasi iklim, pencegahan erosi dan abrasi, regulasi sumber daya air.

5. Jasa penyediaan habitat (habitat provision), termasuk tempat berlindung dan tempat tinggal bagi manusia, flora, fauna, dan sumber daya genetika.

6. Jasa regenasi dan produksi (regenation and production), contohnya biomassa untuk makanan, polinasi, distribusi benih.

7. Informasi (information and life-fulfilling), seperti peran dalam kegiatan rekreasi, budaya, spiritual, dan keagamaan.

Sementara itu, kategori lain dari Millenium Ecosystem Assessment pada tahun 2005 membagi jasa lingkungan menjadi empat sebagai berikut (Salzman, 2010:2-3):

Kesatu

Kedua

Ketiga

Keempat

jasa daya dukung bagi misalnya makanan,

jasa lainnya seperti air bersih dan fiber

Jasa penyedia

jasa regulasi

jasa budaya yang

lingkungan seperti

memberikan

kontrol hama, erosi,

kepuasan nonmateri

pembentukan tanah

filtrasi air

dari ekosistem

dan fotosintesis

Keberadaan Taman Nasional berdasarkan kategori Newcome serta MEA di atas, termasuk ke dalam jasa ekosistem informasi (Newcome) serta jasa ekosistem budaya (MEA). Hal ini dimungkinkan bagi wisatawan yang datang mengunjungi TN dapat mempelajari seluk beluk tentang binatang langka Naga Komodo serta mengenal kebudayaan orang Komodo khususnya serta budaya flores pada umumnya. Bahkan, wisatawan bisa berfoto dengan hewan langka tersebut guna memberikan bukti kongkrit telah berkunjung ke Pulau Komodo bagi teman dan handai taulan yang tidak ikut berkunjung ke Pulau itu.

Konsep ekowisata yang saat ini tengah berkembang pesat dan diyakini dapat menjadi solusi untuk mengkompromikan upaya konservasi dan pemanfaatannya secara lebih berkelanjutan (Saloh, 2005). Melalui ekowisata dapat membantu promosi wisata alam berkelanjutan dengan pelibatan komunitas lokal, serta diyakini menjadi jalan untuk menyeimbangkan pendapatan ekonomi lokal tanpa harus mengorbankan fungsi alamiah kawasan konservasi sebagai pendukung ekosistem. Didalam ekowisata tentu saja akan melibatkan masyarakat lokal beserta budaya yang ada didalamnya, untuk masa depan yang lebih berkelanjutan. Daya tarik ekowisata adalah adanya kesempatan untuk berinteraksi lebih dalam, saling belajar, dan berkomunikasi dengan masyarakat lokal, sembari menikmati alam dan budaya lokal.

Tentang Perubahan Iklim

Indonesia telah lama dikenal sebagai paru-paru dunia, selain Brazil, namun berada pada tingkatan terendah dalam pengelolaan hutan, baik dari sisi konservasi maupun pelestarian. Penyebab rendahnya pengelolaan hutan disebabkan keterbatasan manajemen pemerintah didalam mengelola hutan, yang hingga saat ini masih menjadi tantangan utama pemerintah. Pandangan keterbatasan manajemen pemerintah berpandangan bahwa peran aktif pemerintah seharusnya dapat lebih termanifestasi dalam anggaran pendapatan dan belanja publik. Selain itu, keberlangsungan pembangunan sudah sepatutnya mempertimbangkan kelangsungan hutan yang memiliki peran besar tidak saja secara ekonomi, namun juga sosial, budaya, ekologis, dan menjaga stabilitas iklim global (Saloh, 2015:38).

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Implementasi Program Dinamika Kelompok Terhada Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur

10 166 162

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Lembaga Kantor Berita Nasional Antar Biro Jawa Barat

0 59 1

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17