Hubungan Makna dengan Konteks

19 pronominal yang dapat membedakan status yang dileksikalkan menurut Moeliono dalam Djadjasudarma, 1993:44-45. a Aku, yang digunakan dapat corak bahasa keakraban kalau pembicara tidak mengutamakan faktor ketakziman. Dalam corak bahasa ini tidak terdapat „jarak psikologis‟ antara pembicara dengan yang diajak bicara. Kata aku dan saya berbeda, karena saya tak bermarkah unmarked sedangkan kata aku bermarkah keintiman marked intimacy. b Kita, yang tidak sengaja mengacu kepada orang pertama jamak, tetapi juga dapat digunakan untuk mengacu orang pertama tunggal. Kita dirasa menimbulkan perasaan solidaritas di antara kelompok yang senasib dan sebaya, sedangkan kami dirasakan terlalu besar jarak psikologisnya terhadap yang diajak bicara.

2.2.1.4 Hubungan Makna dengan Konteks

Telah disinggung sebelumnya mengenai makna dalam konteks, Ullman 2009:59 membahas kontek verbal dan situasi. Konteks verbal tidak terbatas pada apa yang mendahului dan mengikuti sesuatu kata saja, melainkan dapat meliputi keseluruhan wacanna, dan kadang-kadang sebuah buku, di mana kata itu berada. Konteks situasi menurut Malinowski tidak hanya berarti situasi yang sebenarnya tempat ujaran terjadi, tetapi juga menyangkut keseluruhan latar belakang budaya di mana peristiwa tutur itu muncul. Lebih lanjut Malinowski menyebutkan konsep tentang konteks itu harus menembus ikatan-ikatan yang hanya bersifat kebahasaan dan harus diteruskan kepada analisis terhadap kondisi umum yang memayungi ketika bahasa itu dituturkan. Untuk memahami konteks 20 lebih lanjut, maka dibutuhkan maksud yang jelas mengenai suatu kata atau kalimat yang diujarkan. Kajian yang membahas mengenai study of speaker meaning akan dibahas dalam subbab pragmatik. 2.2.1.4.1 Pragmatik Yule 1996:3 menyebutkan bahwa pragmatik adalah kajian tentang makna maksud yang dikemukakan oleh pembicara atau penulis dan diinterpretasikan oleh pendengar atau pembaca. Ada empat definisi pragmatik menurut Yule 1996:3, yaitu 1 pragmatik sebagai ilmu tentang maksud pembicara study of speaker meaning, 2 pragmatik sebagai kajian tentang konteks makna study of contextual meaning, 3 pragmatik sebagai kajian tentang bagaimana cara berkomunikasi study of how more gets communicated than is said, 4 pragmatik mengkaji hubungan kekerabatan melalui ekspresi yang digunakan dalam ujaran the study of the expression of relative distance. Salah satu kajian pragmatik yang dibahas dalam penelitian ini adalah tindak tutur speech act. Tindak tutur dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan maksud dalam tuturan lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi. Maksud suatu lagu diperlukan untuk menganalisis konteks dari suatu lagu. Yule 1996:48 mengatakan tiga jenis tindak tutur yang meliputi lokusi locution, ilokusi ilocution, dan perlokusi perlocution. Lokusi merupakan bagian mendasar dari tindak tutur atau yang memproduksi makna linguistik berdasarkan makna strukutural dan tidak mempunyai tujuan ujaran.. Ilokusi dilakukan melalui tuturan yang komunikatif dan mempunyai maksud. Tuturan ilokusi bisa berupa pernyataan, perintah, atau pertanyaan, sedangkan perlokusi adalah maksud yang 21 ditangkap oleh pendengar. Perlokusi bisa berupa tindakan timbal balik dari pendengar atau hanya berupa makna yang dipahami oleh pendengar.

2.2.2 Bahasa dan Kebudayaan

Koentjaraningrat 1983:182 menjabarkan pengertian kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan akibat proses fisiologi atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Koentjaraingrat 1983:182 juga menjelaskan bahwa tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh manusia seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua kaki juga menjadi tindakan kebudayaan. Bahasa dan budaya bagai dua sisi koin, tidak bisa dipisahkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Masinambouw dalam Chaer, 2010:165. Ia menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Lebih lanjut Chaer 2010:166 menjelaskan mengenai dula hal yang perlu dicatat mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif. Pertama, bahasa dan kebudayaan merupakan fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat, sehingga tidak dapat sipisahkan. Kedua, yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Worf yang disebut relativitas bahasa. Intisari dari hipotesis mereka adalah bahwa