13
tersebut terdapat banyak perubahan di Indonesia, baik secara politik, musik, dan teknologi. Hal tersebut baik secara sadar atau tidak sadar juga akan
mempengaruhi pola dan gaya hidup masyarakat Indonesia.
2.2 Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian meliputi kajian makna, bahasa dan kebudayaan, serta teori musik dangdut
2.2.1 Kajian Makna
Teori yang akan dibahas dalam kajian makna adalah konsep makna, faktor logika dan emotif dalam makna, deiksis, hubungan makna dengan konteks, dan gaya
bahasa.
2.2.1.1 Konsep Makna
Hurford dkk 2007:1 mengatakan bahwa semantics is the study of meaning in language. Hurford juga menegaskan bahwa untuk mengetahui konsep makna,
maka dibutuhkan pemahaman mengenai sense, proposition, dan meaning. Sense Hurford dkk, 2007:29 itu makna atau arti yang bisa ditangkap oleh pengguna
bahasa, bersifat abstraksi, sehingga pengguna bahasa bisa membandingkan makna tiap ekspresi bahasa. Proposition menurut Hurford dkk 2007:20 adalah bagian
dari makna tuturan kalimat deklaratif yang mendeskripsikan beberapa pernyataan tentang sesuatu berdasarkan fakta. Meaning Hurford dkk, 2007:3 adalah
maksud, yaitu apa yang dimaksud oleh seorang penutur dalam susunannya. Ullman 2009:68 membedakan pengertian makna secara referensial dan
operasional kontekstual. Istilah yang lebih praktis dalam menggambarkan konsep makna secara referensial, yaitu name, sense, dan thingreferen. Name
14
nama adalah bentuk fonetis sesuatu kata, bunyi-bunyi yang membentuk kata, termasuk unsur-unsur akustik lain seperti aksen. Sense adalah informasi yang
dibawa oleh nama untuk disampaikan kepada pendengar, sedangkan thing referen adalah unsur nonbahasa yang dibicarakan. Secara keseluruhan makna
adalah hubungan timbal balik antara name nama dengan sense. Pengertian
makna secara
operasional kontekstual
dipaparkan Wittgenstein dalam Ullman 2009:77. Ia mengatakan makna sebuah kata adalah
penggunaannya dalam bahasa. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa makna suatu kata hanya bisa dicapai dengan mempelajari penggunaannya
2.2.1.2 Faktor Logika dan Emotif dalam Makna
Ullman 2009:157 mengatakan bahwa bahasa itu tidak hanya wahana komunikasi, melainkan juga alat untuk mengekspresikan emosi dan untuk
menggunakan emosi itu “memengaruhi” orang lain. Tentu saja kita bisa mengemukakan bahwa kedua unsur itu, komunikatif ataupun emotif harus ada
pada setiap ujaran meskipun salah satu unsur itu mungkin sepenuhnya lebih dominan. Ullman 2009:158 menyebutkan tentang sumber yang mempengaruhi
makna emotif suatu kata disebut dengan overtone emotif. Overtone emotif meliputi faktor konteks, slogan, derivasi emotif, elemen evaluasi, dan nilai emotif.
Faktor konteks, setiap kata termasuk kata yang paling umum dalam konteks tertentu mungkin dikelilingi oleh unsur emotif, misalnya kata tembok.
Tembok secara leksikal diartikan sebagai „dinding dari bata atau batako‟, namun akan berbeda makna jika kata tembok diaplikasikan dalam kalimat Ia terjerat di
balik ratusan tembok yang berkeretak dalam panas. Kata tembok dalam kalimat
15
tersebut bisa menjadi lambang keterkungkungan baik secara fisik maupun moral Ullman, 2009:161.
Slogan sering terjadi suatu kata dan slogan politik begitu banyak dibebani emosi tertentu sehingga emosi inilah yang mendesak makna objektifnya. Sejarah
kata reformasi adalah suatu peringatan terhadap perubahan mengenai sosial politik yang terjadi di zaman Soeharto Ullman, 2009:161.
Derivasi emotif, ada sufiks tertentu yang menambahkan nada emotif atau nilai rasa terhadap makna suatu stem atau bentuk dasarnya, misalnya dalam
bahasa Jawa akhiran –an sering dipakai untuk menunjukkan kesan „merendahkan‟
seperti kata murah –murahan „sangat murah seperti tidak ada harganya‟, seperti
dalam bentukan barang murahan, wanita murahan, bahkan kata kampungan yang mempunyai konotasi „merendahkan‟ Ullman, 2009:162.
Elemen evaluasi, beberapa kata mengandung suatu elemen evaluasi yang berada di atas atau mengatasi makna utamanya. Contoh dalam bahasa Indonesia
ragam kolokial frase nggak lucu sering dipakai untuk mengacu kepada perilaku orang yang „tidak masuk akal‟, „tidak pantas;tidak layak‟.
Nilai emotif digunakan untuk menilai sifat atau keadaan seseorang atau benda, misalnya nomina tunawisma akan berbeda nilai rasanya dengan kata
gelandangan. Asosiasi yang terdapat di antara keduanya menimbulkan makna emotif.
2.2.1.3 Deiksis