Lama pemberian pakan mengandung tepung meniran Phyllanthus niruri dan bawang putih Allium sativum untuk pencegahan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp

(1)

LAMA PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG

TEPUNG MENIRAN

Phyllanthus niruri

DAN BAWANG PUTIH

Allium sativum

UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI

Aeromonas hydrophila

PADA IKAN LELE DUMBO

Clarias

sp.

IIS WIDIANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ABSTRAK

IIS WIDIANI. Lama pemberian pakan mengandung tepung meniran Phyllanthus niruri dan bawang putih Allium sativum untuk pencegahan infeksi bakteri

Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp. Dibimbing oleh

DINAMELLA WAHJUNINGRUM dan SRI NURYATI.

Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) yang disebabkan oleh A. hydrophila menyebabkan wabah penyakit serius pada ikan air tawar salah satunya ikan lele dumbo Clarias sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih yang optimum untuk pencegahan penyakit MAS. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah 3 waktu lama pemberian tepung meniran dan bawang putih yang berbeda, yaitu A (pakan dengan pemberian tepung meniran dan bawang putih selama 21 hari dan diinfeksi 0,1 ml A. hydrophila), B (pakan dengan pemberian tepung meniran dan bawang putih selama 14 hari dan diinfeksi 0,1 ml A. hydrophila), C (pakan dengan pemberian tepung meniran dan bawang putih selama 7 hari dan diinfeksi 0,1 ml A. hydrophila) dan perlakuan kontrol, yaitu K  (tanpa pemberian tepung meniran dan bawang putih, dan disuntik 0,1 ml PBS) dan K  (tanpa pemberian tepung meniran dan bawang putih, dan diinfeksi 0,1 ml A. hydrophila). Perlakuan dilakukan selama 21 hari, pada hari ke-22 dilakukan uji in vivo dengan menyuntikkan A. hydrophila (108 CFU/ml) pada ikan secara intramuskular dan diamati selama 10 hari. Nilai kelangsungan hidup tertinggi diperoleh perlakuan K   100±0,00%, perlakuan A 93,3±11,55%, dan perlakuan B 73,33±30,55%. Sedangkan perlakuan K+ dan C memiliki kelangsungan hidup yang sama yaitu, 26,67±11,55%. Pemberian tepung meniran dan bawang putih selama 21 hari optimum untuk pencegahan penyakit MAS pada ikan lele dumbo.

Kata kunci: A. hydrophila, lele dumbo, bawang putih, meniran

ABSTRACT

IIS WIDIANI. Duration of the application feed contains mixed powders of

Phyllanthus niruri and Allium sativum for the prevention of Aeromonas hydrophila infection in catfish Clarias sp. Supervised by DINAMELLA WAHJUNINGRUM and SRI NURYATI.

Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) caused by Aeromonas hydrophila

induced serious epidemics of disease in freshwater fish one catfish Clarias sp. This research purposed was to determine optimum durations of the application feed contains of mixed powders Pyllanthus niruri and Allium sativum to preventing MAS. Experimental design was Complete Random Design that consist


(3)

application of P. niruri and A. sativum, namely A (feed with P. niruri and A. sativum powder application during 21 days and infected with A. hydrophila 0,1 ml), B (feed with P. niruri and A. sativum powder application during 14 days and infected with A. hydrophila 0,1 ml), C (feed with P. niruri and A. sativum powder application during 7 days and infected with A. hydrophila 0,1 ml), and control, namely K- (without P. niruri and A. sativum powder application and injected with PBS 0,1 ml) and K+ (without P. niruri and A. sativum powder application and infected with A. hydrophila 0,1 ml). The treatments was given for 21 days before challenging test, at 22thday test in vivo carried out by injecting A. hydrophila (108

CFU/ml) into the fish by intramuscular and observed for 10 days. The highest value of survival rate that consist in treatment K⁻ was 100 ± 0.00%, treatment A was 93.3 ± 11.55%, and treatment B was 73.33 ± 30.55%. While treatment K+ and C have the same survival rate that is, 26.67 ± 11.55%. The application P. niruri and A. sativum powder during 21 days was optimum for preventing MAS in catfish.


(4)

LAMA PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG

TEPUNG MENIRAN

Phyllanthus niruri

DAN BAWANG PUTIH

Allium sativum

UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI

Aeromonas hydrophila

PADA IKAN LELE DUMBO

Clarias

sp.

IIS WIDIANI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

LAMA PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG TEPUNG MENIRAN

Phyllanthus niruri DAN BAWANG PUTIH Allium sativum UNTUK

PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

IIS WIDIANI C14070092


(6)

PENGESAHAN

Judul Skripsi : Lama Pemberian Pakan Mengandung Tepung Meniran

Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum

untuk Pencegahan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Nama Mahasiswa : Iis Widiani

Nomor Pokok : C14070092

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dinamella Wahjuningrum Dr. Sri Nuryati

NIP. 19700521 199903 2 001 NIP. 19710606 199512 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Odang Carman NIP. 19591222 198601 1 001


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tema penelitian yang dilakukan dari tanggal 2 Maret 2011 sampai dengan 7 Juni 2011 di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor adalah peran fitofarmaka dalam mengatasi penyakit ikan dengan judul Lama Pemberian Pakan Mengandung Tepung Meniran Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum untuk Pencegahan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.

Banyak bantuan yang telah diberikan berbagai pihak sampai diselesaikannya karya ilmiah ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada: Dr. Dinamella Wahjuningrum dan Dr. Sri Nuryati selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk selalu memberikan bimbingan kepada penulis, Dr. Odang Carman selaku penguji tamu yang telah memberikan masukan, seluruh keluarga besar penulis terutama Ayah, Ibu dan Agus Bilman yang senantiasa memberikan dukungannya, baik moril maupun materil. Terima kasih juga kepada rekan-rekan mahasiswa Departemen Budidaya Perairan, Angkatan 44 khususnya, LKI’ers, Asep El Qusairi, Pak Ranta, Kak Rahman, Kak Rahmat, Kak Karno, Bang Rusli, Kak Fariq dan rekan-rekan semua yang telah membantu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan semua pembaca.

Bogor, Agustus 2011


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 14 Maret 1989 sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Iri Rohmandi dan Ibu Rokayah. Pendidikan sekolah dasar (SDN Haruman III) sampai Sekolah Menengah Atas (SMAN 2 Garut) dari tahun 1995 sampai tahun 2007 di Garut. Penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2007 melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mengambil Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya (TMPB) di Fakultas Peikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).

Selama perkuliahan penulis mengikuti beberapa organisasi yaitu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK periode tahun 2009-2010 menjabat sebagai Staff PPSDM, Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) menjabat sebagai Sekretaris Divisi Kewirausahaaan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK periode 2010-2011 menjabat sebagai Bendahara Umum 2. Penulis pernah melaksanakan magang di Tambak Udang Bakauheni, Bakauheni, Lampung. Penulis pernah menjadi Asisten Metode Statistika 2009 dan Asisten Manajemen Kesehatan Akuakultur 2011. Selain itu penulis juga aktif di organisasi ekstra kampus yaitu Beastudi Etos Bogor Community (BEBC) tahun 2008-2010 dan Himpunan Mahasiswa Garut (HIMAGA). Penulis pernah mendapat beasiswa Beastudi ETOS dan Karya Salemba Empat (KSE). Selain itu penulis juga banyak mengikuti seminar dan pelatihan salah satu diantaranya Seminar Pertanian Nasional 2008, Simposium Bioteknologi Akuakultur III 2010, National Seminar and Workshop of Environmental Health ”Save Our Environment For Indonesian Brigther Future” 2009, dan Pelatihan Mitigasi Bencana oleh Tim GEGANA 2009.

Penulis mempunyai pengalaman kerja sebagai Instructur Smart bidang

Matematika di Primagama Dramaga, Bogor.

Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Lama Pemberian Pakan Mengandung Tepung Meniran

Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum untuk Pencegahan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

II.BAHAN DAN METODE ... 3

2.1Metode Penelitian ... 3

2.1.1 Karakterisasi sifat biokimia dan fisiologi Aeromonas hydrophila ... 3

2.1.2 Uji Postulat Koch ... 3

2.1.3 Regenerasi bakteri uji ... 3

2.1.4 Uji LD50 ... 4

2.1.5 Pembuatan tepung meniran Phyllanthus niruri ... 4

2.1.6 Pembuatan tepung bawang putih Allium sativum ... 5

2.1.7 Pembuatan pakan uji ... 5

2.1.8 Rancangan penelitian ... 5

2.1.9 Persiapan wadah dan ikan uji ... 6

2.1.10 Uji in vivo ... 6

2.2 Parameter Pengamatan ... 8

2.2.1 Kelangsungan hidup ... 8

2.2.2 Respons makan ... 8

2.2.3 Pertumbuhan relatif ... 8

2.2.4 Gejala klinis dan penyembuhan luka ... 8

2.2.5 Pengamatan organ dalam ... 9

2.2.6 Kualitas air ... 9

2.3 Analisis Data ... 9

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

3.1. Hasil ... 10

3.1.1. Identifikasi bakteri uji ... 10

3.1.2. Uji LD50 ... 10

3.1.3. Uji in vivo ... 11

3.1.3.1 Kelangsungan hidup ... 11

3.1.3.2 Respons makan ... 12

3.1.3.3 Pertumbuhan relatif ... 12

3.1.3.4 Gejala klinis dan penyembuhan luka ... 13

3.1.3.5 Pengamatan organ dalam ... 20

3.1.3.6 Kualitas air ... 21


(10)

4.1. Kesimpulan ... 30

4.2. Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Parameter uji sebelum dan sesudah infeksi ... 12

2. Presentase penyembuhan luka ... 19

3. Parameter kualitas air pada akhir perlakuan ... 21


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema uji in vivo ... 7

2. Tagging pada ikan ... 7

3. Ekspresi sel hasil pewarnaan Gram ... 10

4. Morfologi koloni A. hydrophila 1x24 jam pada media TSA ... 10

5. Kelangsungan hidup ikan lele pada akhir perlakuan ... 11

6. Jumlah kematian ikan per hari pasca infeksi ... 11

7. Pertumbuhan relatif ikan lele selama 21 hari sebelum infeksi ... 13

8. Kondisi ikan perlakuan K- tidak ada gejala klinis yang muncul ... 14

9. Radang muncul pada jam ke-7 pasca infeksi pada ikan perlakuan A ulangan 2 tag C3 ... 14

10.Haemoragi muncul pada hari ke-1 pasca infeksi pada ikan perlakuan K+ ulangan 2 tag C1 ... 15

11.Tukak muncul pada hari ke-2 pasca infeksi pada ikan perlakuan B ulangan 3 tag C2 ... 15

12.Hiperemia muncul pada jam ke-7 pasca infeksi pada ikan perlakuan B ulangan 3 tag C3 ... 15

13.Sirip punggung rusak pada hari ke-2 pasca infeksi pada ikan perlakuan C ulangan 3 tag pa ... 15

14.Sirip ekor geripis pada hari ke-6 pasca infeksi pada ikan perlakuan A ulangan 2 tag C3 ... 15

15.Perubahan diameter luka ikan perlakuan K+U1 pi ... 16

16.Perubahan diameter luka ikan perlakuan AU3 pi ... 17

17.Perubahan diameter luka ikan perlakuan BU1 pi ... 18

18.Perubahan diameter luka ikan perlakuan CU1 C2 ... 19

19.Organ dalam ikan lele setiap perlakuan ... 20


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan nilai LD50 ... 34

2. Analisis statistik respons makan ... 35

3. Analisis statistik pertumbuhan relatif ... 36

4. Respons makan ikan pasca infeksi A. hydrophila ... 37


(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan lele merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidayakan karena metode budidayanya mudah. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan ikan lele mempunyai beberapa kelebihan, yaitu dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, mempunyai pertumbuhan yang cepat, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah dan modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah serta mempunyai nilai ekonomis yang tinggi (Anonim, 2003). Konsumsi ikan lele meningkat dari 0,67 kg/kepala pada tahun 2008 menjadi 2,3 kg/kepala pada tahun 2009 (KKP, 2010a).

Penyakit merupakan salah satu ancaman yang sangat membahayakan dalam meningkatkan produksi ikan lele dengan budidaya intensif yang menyebabkan kerugian secara ekonomis. Umumnya penyakit pada ikan lele adalah penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) yang disebabkan oleh infeksi bakteri

Aeromonas hydrophila yang sewaktu-waktu dapat menyerang pada kondisi tertentu (Swann dan White, 1989). Dengan demikian perlu dilakukan pencegahan sebelum ikan positif terinfeksi. Sebelum adanya pelarangan penggunaan antibiotik, pembudidaya umumnya menggunakan berbagai antibiotik untuk menanggulangi penyakit ini, tetapi sekarang penggunaan antibiotik sudah sangat dibatasi.

Alternatif lain yang digunakan untuk pencegahan penyakit pada ikan lele yaitu dengan menggunakan bahan fitofarmaka. Salah satu bahan fitofarmaka yang dapat digunakan yaitu campuran antara meniran Phyllanthus niruri dan bawang putih Allium sativum dalam bentuk tepung yang dicampurkan ke dalam pakan. Bawang putih berperan sebagai antimikroba (Lemar et al., 2005), sedangkan

meniran berperan dalam meningkatkan sistem imun (Suprapto, 2010 dalam

Kurniawan, 2010). Penggunaan campuran meniran dan bawang putih yang dicampur ke dalam pakan dengan cara repelleting untuk mencegah pencegahan penyakit pada ikan lele sudah dilakukan oleh Kurniawan (2010). Namun, lama waktu pemberian yang dilakukan selama 14 hari, diduga belum efektif, karena


(15)

keberhasilan kelangsungan hidup sebesar 60±20%. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pemberian campuran meniran dan bawang putih dalam pakan dengan lama waktu pemberian yang berbeda.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih yang optimum untuk pencegahan penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) pada ikan lele dumbo Clarias sp.


(16)

II.

BAHAN DAN METODE

2.1 Metode Penelitian

2.1.1 Karakterisasi sifat biokimia dan fisiologi Aeromonas hydrophila

Karakterisasi yang dilakukan meliputi pengamatan morfologi koloni secara visual, meliputi warna, elevasi dan tepian sel. Uji yang dilakukan meliputi pewarnaan Gram, uji motilitas, uji O/F, uji katalase, dan uji oksidase. Melalui pewarnaan Gram akan diketahui sifat Gram dan morfologi dari bakteri yang diidentifikasi. Berdasarkan uji biokimia akan diperoleh genus suatu bakteri

dengan mengacu pada identifikasi berdasarkan Bergey’s Mannual of

Determination Bacteriology (Holt et al., 1998 dalam Ayuningtyas, 2008). Karakterisasi dan uji tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa sediaan bakteri yang digunakan merupakan A. hydrophila.

2.1.2 Uji Postulat Koch

Postulat Koch dilakukan untuk menguji virulensi sediaan bakteri A. hydrophila yang ada di Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Bakteri A. hydrophila disuntikkan pada 5 ekor ikan lele. Setelah muncul tanda-tanda penyakit Motil Aeromonad Septicaemia

pada ikan lele, kemudian dilakukan reisolasi bakteri A. hydrophila dari empat ekor ikan lele. Proses reisolasi dilakukan dengan menggoreskan jarum ose pada ginjal dan borok yang terdapat pada ikan lele kemudian dibiakkan di media TSA (Trypticase Soy Agar) dan diinkubasikan selama 24 jam di dalam inkubator. Bakteri yang tumbuh kemudian dimurnikan dengan menumbuhkannya pada media TSA miring. Bakteri hasil reisolasi ini dikarakterisasi kembali dan di uji sifat fisiologis dan biokimianya.

2.1.3 Regenerasi bakteri uji

Bakteri yang diuji diregenerasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Bakteri stok dari kultur primer dibiakkan dalam agar miring yaitu sebanyak satu ose digoreskan ke agar miring dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 27 oC. Sebanyak satu ose bakteri diambil dari biakan terbaru berumur 24 jam dan


(17)

diinokulasikan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 25 ml media media TSB (Trypticase Soy Broth) kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam water bath shaker. Setelah itu dilakukan pengenceran berseri dengan cara bakteri hasil kultur di media TSB diambil 1 ml suspense dan dimasukkan ke dalam Eppendorf dengan menggunakan pipet mikro, kemudian disentrifuse 3000 rpm sekitar 5 menit dan dibuang supernatannya. Endapan yang diperoleh dicuci dengan PBS sebanyak 2x.

Kemudian ke dalam endapan ditambahkan 1 ml PBS dan divorteks sampai

tercampur rata, setelah itu diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam Eppendorf

yang berisi 0,9 ml PBS, dilakukan hal yang sama hingga pengenceran yang diinginkan.

2.1.4 Uji LD50

Letal Dosis 50% (LD50) adalah suatu besaran yang diturunkan secara

statistik, guna menyatakan dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan coba setelah perlakuan (Sulastry, 2009). LD50 dilakukan untuk menentukan tingkat

virulensi bakteri A. hydrophila. Hal ini penting untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang digunakan. Uji LD50 dilakukan dengan menggunakan akuarium

berukuran 35 x 30 x 35 cm sebanyak 5 buah masing-masing untuk perlakuan kepadatan bakteri yang disuntikkan yaitu mulai dari 106 sampai 1010 cfu/ml. Setiap akuarium diisi 5 ekor ikan. Penyuntikkan dilakukan secara intramuscular

sebanyak 0,1 ml/ekor. Pengamatan terhadap jumlah ikan yang mati dan yang masih hidup dilakukan selama 7 hari. Setelah itu dilakukan perhitungan untuk menentukan nilai LD50 (Lampiran 1).

2.1.5 Pembuatan tepung meniran Phyllanthus niruri

Herba meniran diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) Cimanggu, Bogor. Bagian tanaman yang diambil adalah bagian daun. Sebelum digunakan daun meniran dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir, kemudian dikeringudarakan tanpa terkena sinar matahari selama tiga hari. Setelah itu, daun meniran diblender sampai menjadi tepung. Kemudian


(18)

tepung yang dihasilkan disaring dengan saringan halus. Setelah itu disimpan dalam wadah kedap udara hingga saatnya dicampur dalam bahan pakan ikan.

2.1.6 Pembuatan tepung bawang putih Allium sativum

Bawang putih dibuang kulitnya dan diiris tipis-tipis. Kemudian dikeringudarakan tanpa terkena sinar matahari selama enam hari. Setelah itu dikeringkan dalam oven selama satu jam pada suhu 60 oC. Setelah kering, bawang kemudian diblender sampai menjadi tepung. Kemudian tepung yang dihasilkan disaring dengan saringan halus. Setelah itu disimpan dalam wadah kedap udara hingga saatnya dicampur dalam bahan pakan ikan.

2.1.7 Pembuatan pakan uji

Pakan komersil berprotein 30% ditepungkan, kemudian dicampur dengan tepung meniran 0,7% dan bawang putih 1,4% serta ditambahkan vitamin C 0,1% dan diaduk rata. Setelah itu ditambahkan air sebanyak 25% lalu dicetak, kemudian dikeringkan dalam oven sekitar 2 jam pada suhu 60 ⁰C. Pakan disimpan dalam wadah kedap udara. Dosis meniran dan bawang putih yang digunakan diambil dari dosis efektif hasil penelitian Kurniawan (2010).

2.1.8 Rancangan penelitian

Penelitian ini terdiri dari lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Masing-masing perlakuan tersebut adalah:

Perlakuan K- : pakan tanpa pemberian tepung meniran dan bawang putih selama 21 hari, setelah itu disuntik PBS 0,1 ml/ekor

Perlakuan K+ : pakan tanpa pemberian tepung meniran 0,7% dan bawang putih selama 21 hari 1,4%, setelah itu diinfeksi A. hydrophila 0,1 ml/ekor

Perlakuan A : pakan dengan pemberian tepung meniran 0,7% dan bawang putih 1,4% selama 21 hari setelah itu diinfeksi A. hydrophila 0,1 ml/ekor

Perlakuan B : pakan dengan pemberian tepung meniran 0,7% dan bawang putih 1,4% selama 14 hari setelah itu diinfeksi A. hydrophila 0,1


(19)

ml/ekor

Perlakuan C : pakan dengan pemberian tepung meniran 0,7% dan bawang putih 1,4% selama 7 hari setelah itu diinfeksi A. hydrophila 0,1 ml/ekor

2.1.9 Persiapan wadah dan ikan uji

Wadah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu akuarium berukuran 60 x 30 x 35 cm sebanyak 15 unit. Akuarium dicuci bersih dan dikeringkan. Kemudian didisinfeksi dengan CaOCl2 dengan konsentrasi100 ppm selama 24 jam. Setelah

itu diisi air setinggi 15 cm, kemudian didisinfeksi dengan CaOCl2 dengan

konsentrasi 30 ppm selama 24 jam, selanjutnya dinetralisir dengan Na2S2O3.5H2O

15 ppm dan diaerasi kuat. Seluruh sisi akuarium ditutup plastik berwarna hitam untuk menghindari stress pada ikan sehingga ikan lele tidak loncat. Selain itu untuk mencegah ikan loncat, bagian atas akuarium ditutup dengan kain kasa.

Ikan uji yang digunakan memiliki panjang 11,67±0,55 cm dengan bobot 12,44±1,31 gram. Ikan uji diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu di dalam kolam terpal kecil sebelum dimasukkan ke dalam akuarium. Sebelumnya ikan direndam dalam larutan NaCl 30 ppm selama 5 menit untuk membebaskan parasit yang menempel di insang atau permukaan tubuh ikan. Selama proses adaptasi, ikan diberi pakan komersil dengan kadar protein 30% dua kali sehari secara at satiation. Selanjutnya ikan diadaptasikan di dalam akuarium selama dua minggu. Setiap akuarium diisi ikan sebanyak 5 ekor. Selama diadaptasikan dalam akuarium, ikan lele diberi pakan uji dengan FR (Feeding Rate) 3%, dan FF (Feeding Frequency) 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore.

2.1.10 Uji in vivo

Uji in vivo dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama pemberian pakan yang dicampur tepung meniran dan bawang putih terhadap kelangsungan hidup ikan lele. Penyuntikkan A. hydrophila dilakukan setelah pemberian pakan uji selama 21 hari untuk perlakuan A, 14 hari untuk perlakuan B, dan 7 hari untuk perlakuan C. Pada kontrol positif dilakukan penyuntikkan dengan A. hydrophila, sedangkan kontrol negatif hanya disuntik dengan 0,1 ml PBS/ekor (Gambar 1).


(20)

Gambar 1. Skema uji in vivo.

Ikan uji yang berjumlah lima ekor setiap akuarium, masing-masing diberi tanda berbeda, yaitu pada sirip pektoral kanan, pektoral kiri, dan sirip kaudal (Gambar 2). Penandaan pada ikan dilakukan setelah ikan diinfeksi dengan menggunakan besi panas. Penanda ini ditujukan untuk memudahkan pemantauan pertumbuhan dan kondisi masing-masing ikan.

Keterangan :

Pi = sirip pektoral sebelah kiri dilubangi Pa = sirip pektoral sebelah kanan dilubangi C1 = sirip kaudal dilubangi sebanyak 1 lubang C2 = sirip kaudal dilubangi sebanyak 2 lubang C3 = sirip kaudal dilubangi sebanyak 3 lubang


(21)

2.2 Parameter Pengamatan 2.2.1 Kelangsungan hidup

Kelangsungan hidup ikan diamati setiap hari hingga akhir perlakuan. Setiap ikan yang mati dicatat dan diukur panjang serta bobotnya. Perhitungan kelangsungan hidup dilakukan di akhir perlakuan dengan formula sebagai berikut (Effendi, 2004).

Nt

Kelangsungan Hidup = x 100%

No

Keterangan :

Nt = jumlah ikan akhir (ekor) No = jumlah ikan awal (ekor)

2.2.2 Respons makan

Pengamatan respons makan dilakukan dari awal hingga akhir perlakuan. Respons makan diamati saat pemberian pakan dilakukan pada setiap perlakuan. Respons makan dapat diukur dari sisa pakandengan cara mengurangi pakan yang seharusnya diberikan (FR 3%) dengan sisa pakan yang dikumpulkan selama satu hari. Respons makan pasca infeksi juga diamati selama 10 hari.

2.2.3 Pertumbuhan relatif

Bobot ikan ditimbang saat awal, tengah, dan akhir perlakuan sebelum uji tantang dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01. Pertumbuhan relatif ikan dihitung dengan rumus (Afrianto dan Liviawaty, 2005):

wt - wo

Pertumbuhan Relatif = x 100%

wo

Keterangan :

wt = bobot rataan akhir (gram) wo = bobot rataan awal (gram)

2.2.4 Gejala klinis dan penyembuhan luka

Gejala klinis diamati setiap hari setelah ikan diinfeksi dengan A. hydrophila

selama 10 hari. Gejala klinis yang diamati adalah hiperemia (kenaikkan jumlah darah dari sistem sirkulasi), radang (tanda kemerahan pada kulit, kulit


(22)

darah sebagai akibat adanya luka), tukak (rongga terbuka yang terbentuk pada kulit akibat adanya jaringan yang rusak akibat infeksi), dan kondisi sirip.

Rumus yang digunakan untuk perhitungan persentase penyembuhan luka adalah sebagai berikut (Sartika, 2010):

Diameter luka terbesar – Diameter luka terkecil 1

ΔX= x 100% x

Diameter luka terbesar t

Keterangan :

t = lama penyembuhan (hari)

ΔX = penyembuhan luka (%/hari)

2.2.5 Pengamatan organ dalam

Pengamatan organ dalam dilakukan pada akhir perlakuan yang bertujuan untuk mengetahui kelainan yang terjadi antar perlakuan. Pengamatan meliputi perubahan morfologi dan warna organ. Organ dalam yang diamati yaitu ginjal, hati, empedu, dan limpa.

2.2.6 Kualitas air

Parameter kualitas air yang akan diamati meliputi pengukuran suhu, pH, DO (oksigen terlarut) dan TAN (Total Ammonia Nitrogen). Pengukuran parameter kualitas air dilakukan pada awal dan akhir penelitian.

2.3 Analisis data

Percobaan ini dilakukan menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Data dianalisis menggunakan

ANOVA single factor, dan uji lanjut untuk beda nyata menggunakan Uji Duncan. Parameter yang dianalisis statistik secara kuantitatif adalah respons makan dan pertumbuhan relatif, sedangkan parameter yang dianalisis secara deskriptif adalah kelangsungan hidup, gejala klinis, kecepatan penyembuhan luka, morfologi dan warna organ dalam, serta kualitas air.


(23)

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Identifikasi bakteri uji

Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri uji yaitu A. hydrophila

berbentuk batang pendek, bersifat Gram negatif, dan morfologi selnya berwarna merah muda (Gambar 3). Selain itu, bakteri uji juga memiliki morfologi koloni berwarna krem, elevasi cembung, dan tepian halus (Gambar 4). Sifat biokimia dan fisiologi bakteri uji adalah bersifat fermentatif, bersifat motil, dan positif terhadap uji oksidase dan katalase.

Gambar 3. Ekspresi sel hasil Gambar 4. Morfologi koloni

pewarnaan Gram. A. hydrophila 1x24 jam pada media TSA.

3.1.2 Uji LD50

Uji LD50 dilakukan terhadap bakteri yang sudah diidentifikasi sebelumnya.

Pengujian dilakukan dengan menginfeksikan bakteri A. hydrophila dengan kepadatan berbeda pada ikan lele secara intramuscular. Kepadatan bakteri yang digunakan yaitu, dari 106 sampai 1010 cfu/ml. Hasil uji menunjukkan kepadatan bakteri yang menyebabkan kematian 50% dari populasi dalam kurun waktu satu minggu, adalah 108 cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa LD50 bakteri uji adalah


(24)

3.1.3 Uji in vivo

3.1.3.1 Kelangsungan hidup

Kelangsungan hidup ikan dihitung pada akhir pengamatan setelah ikan diinfeksi A. hydrophila. Kelangsungan hidup ikan pada akhir perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.

0 20 40 60 80 100 120

K- K+ A B C

Ke langsungan Hidup (%) Perlakuan 93,33±11,54% 73,33±30,55% 100±0,00% 26,67±11,54% 26,67±11,54% Series1

Keterangan: K- = kontrol negatif, K+= kontrol positif, A = 21 hari, B = 14 hari, C = 7 hari

Gambar 5. Kelangsungan hidup ikan lele pada akhir perlakuan.

Kelangsungan hidup paling tinggi adalah perlakuan K- sebesar

100±0,00%. Sedangkan kelangsungan hidup terendah adalah perlakuan K+ dan perlakuan C (7 hari) sebesar 26,67±11,54%.

0 1 2 3 4 5 6 7

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jumlah Kematian Ikan

(ekor) Hari ke K+ A B C

Keterangan: K+ = kontrol positif, A = 21 hari, B = 14 hari, C = 7 hari

Gambar 6. Jumlah kematian ikan per hari pasca infeksi.

Kematian ikan mulai terjadi pada hari pertama pasca infeksi, yaitu pada ikan uji perlakuan B sebanyak 3 ekor dan perlakuan C sebanyak 1 ekor. Kematian


(25)

tertinggi terjadi pada perlakuan C sebanyak 6 ekor pada hari ke-2. Setelah hari ke 7 hingga hari terakhir pengamatan tidak terjadi kematian ikan.

3.1.3.2 Respons makan

Respons makan ikan diamati sebelum dan sesudah infeksi. Respons makan ikan sebelum infeksi diamati selama 21 hari. Nafsu makan ikan mengalami penurunan ketika ikan diberi pakan uji. Rata-rata ikan perlakuan A, B dan C memerlukan waktu 3-4 hari untuk dapat beradaptasi terhadap pergantian pakan dari pakan komersil ke pakan uji. Setelah beradaptasi, ikan perlakuan A, B, dan C dapat merespons dengan baik pakan yang diberikan. Setelah infeksi, pengamatan respons makan ikan dilakukan selama 10 hari. Respons makan ikan meningkat seiring bertambahnya hari pasca infeksi. Jumlah pakan yang dihabiskan sebelum dan sesudah infeksi pada setiap perlakuan, dan parameter uji lainnya, yaitu kelangsungan hidup dan pertumbuhan relatif dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Parameter uji sebelum dan sesudah infeksi

Parameter Uji

Lama pemberian pakan fitofarmaka (meniran + bawang putih)

Kontrol +

(0 hari) Kontrol – (0 hari) A (21 hari) B (14 hari) C (7 hari) Sebelum infeksi

Konsumsi pakan total (g) 38,61±2,00bc 39,59±0,64c 36,80±0,88abc 35,07±2,35a 35,89±1.86ab

Pertumbuhan relatif (%) 27,43±2,06b 26,80±2,51b 24,69±3.02ab 21,93±0,74a 22,75±0,83a

Kelangsungan hidup (%) 100±0,00 100±0,00 100±0,00 100±0,00 100±0,00

Sesudah infeksi

Konsumsi pakan (g/hari/ekor)

0,22±0,02 0,45±0,01 0,31±0,01 0,20±0,05 0,18±0,01

Kelangsungan hidup (%) 26,67±11,54 100±0,00 93,33±11,54 73,33±30,55 26,67±11,54

3.1.3.3 Pertumbuhan relatif

Berdasarkan hasil uji statistik, pertumbuhan relatif ikan pada perlakuan B (14 hari) dan C (7 hari) berbeda nyata dengan perlakuan K+ dan K-.Pertumbuhan relatif ikan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 7. Hasil uji statistik disajikan di Lampiran 3.


(26)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

K+ K‐ A B C

P e r tumbuhan Re latif (%) Perlakuan

a a 

b  b ab

Pertumbuhan Relatif

Keterangan: K- = kontrol negatif, K+= kontrol positif, A = 21 hari, B = 14 hari, C = 7 hari

Gambar 7. Pertumbuhan relatif ikan lele selama 21 hari sebelum infeksi.

3.1.3.4 Gejala klinis dan penyembuhan luka

Pengamatan gejala klinis pada ikan yang sudah diinfeksi A. hydrophila

dilakukan selama 10 hari pasca infeksi. Gejala klinis yang diamati meliputi hiperemia, radang, haemoragi, tukak, kelengkapan dan kondisi sirip (Gambar 9-14). Secara umum gejala klinis berupa radang mulai muncul pada jam ke-7 pasca infeksi. Radang pada ikan berubah menjadi haemoragi pada jam ke-24. Beberapa ikan tidak mengalami haemoragi, peradangan langsung berubah menjadi tukak.

Ikan uji perlakuan K+ membentuk radang pada jam ke-7 pasca infeksi. Tiga ekor ikan uji belum menunjukkan gejala klinis pada hari ke-1. Selain radang, pada jam ke-7 juga terlihat ada ikan uji yang mengalami hiperemia. Pada hari ke-2 sudah terbentuk haemoragi dan tukak. Selain itu terdapat ikan uji yang mengalami ekor geripis pada hari ke-2. Ikan yang mengalami hiperemia dan ekor geripis tidak dapat sembuh dan akhirnya mati. Kematian ikan sudah terjadi pada hari ke-2 sebanyak empat ekor (Lampiran 5).

Ikan uji perlakuan A (21 hari) mulai menunjukkan gejala klinis berupa radang jam ke-7 pasca infeksi. Radang yang terbentuk cukup besar. Haemoragi muncul pada jam ke-24, sedangkan tukak sudah mulai muncul pada hari ke-2 pasca infeksi. Pada sebagian kecil ikan uji, radang yang terbentuk sembuh tidak membentuk haemoragi maupun tukak (Lampiran 5).

Pada jam ke-7 pasca infeksi ikan uji perlakuan B (14 hari) sudah menunjukkan gejala klinis berupa radang. Tiga ekor ikan belum menunjukkan


(27)

gejala klinis pada jam ke-7. Pada hari ke-1 terbentuk haemoragi pada sebagian ikan. Pada hari ke-1 sudah terjadi kematian ikan sebanyak dua ekor. Tukak mulai terbentuk pada hari ke-2. Pada hari ke-3 satu ekor ikan baru membentuk radang.

Ikan uji perlakuan C (7 hari) menunjukkan gejala klinis berupa radang pada jam ke-7 pasca infeksi. Radang yang terbentuk cukup besar. Pada hari ke-1 radang berubah menjadi haemoragi pada sebagian besar ikan. Sudah terjadi kematian sebanyak satu ekor pada hari ke-1. Pada hari ke-2 kematian yang terjadi meningkat sebanyak 6 ekor. Berbeda dengan perlakuan lainnya, pada perlakuan K- tidak menunjukkan gejala klinis pasca infeksi hingga akhir perlakuan, karena hanya diinjeksi PBS 0,1 ml/ekor (Gambar 8).

Gambar 8. Kondisi ikan perlakuan K-: tidak ada gejala klinis yang muncul.

Gambar 9. Radang muncul pada jam ke-7 pasca infeksi pada ikan perlakuan A ulangan 2 tag C3.


(28)

Gambar 10. Haemoragi muncul pada hari ke-1 pasca infeksi pada ikan perlakuan K+ ulangan 3 tag C1.

Gambar 11. Tukak muncul pada hari ke-2 pasca infeksi pada ikan perlakuan B ulangan 3 tag C2.

Gambar 12. Hiperemia muncul pada jam ke-7 pasca infeksi pada ikan perlakuan B ulangan 3 tag C3.

Gambar 13. Sirip punggung rusak pada hari ke-2 pasca infeksi pada ikan perlakuan C ulangan 3 tag pa.

Gambar 14 Sirip ekor geripis pada hari ke-6 pasca infeksi pada ikan perlakuan A ulangan 2 tag C3.


(29)

Luka yang terbentuk akibat infeksi A. hydrophila akan mengecil bahkan sembuh. Waktu penyembuhan luka pada setiap ikan berbeda-beda tergantung pada diameter luka awal yang terbentuk dan kekebalan tubuh ikan itu sendiri. Perlakuan K+ ulangan 1 (K+U1) tag pi mengalami penyembuhan luka dalam waktu 10 hari dengan luka maksimal yang terbentuk 1 cm (Gambar 15).

a. Luka hari ke-2 perlakuan K+U1 pi 1 cm.

b. Luka hari ke-4 perlakuan K+U1 pi 0,9 cm

c. Luka hari ke-6 perlakuan K+U1 pi 0,7 cm

d. Luka hari ke-10 perlakuan K+U1 pi 0 cm (masih terlihat bekas luka) Gambar 15. Perubahan diameter luka ikan perlakuan K+U1 pi.

Perlakuan A ulangan 3 (AU3) tag C3 membentuk radang maksimal 1 cm, namun luka maksimal yang terbentuk hanya 0,3 cm. Pada hari ke-8 luka sudah menutup, namun masih meninggalkan bekas luka. Perubahan diameter luka perlakuan A ulangan 3 tag C3 dapat dilihat pada Gambar 16.


(30)

a. Radang pada jam ke-7 perlakuan AU3 C3 1 cm.

b. Luka hari ke-2 perlakuan AU3 C3 0,3 cm

c. Luka hari ke-4 perlakuan AU3 C3 0,2 cm

d. Luka hari ke-8 perlakuan AU3 C3 0 cm

Gambar 16. Perubahan diameter luka ikan perlakuan AU3 pi.

Luka maksimal yang terbentuk pada perlakuan B ulangan 1 (BU1) tag pi sebesar 0,8 cm. Luka tersebut sudah mencapai diameter 0,3 cm pada hari ke-8 dan 10 pasca infeksi. Perubahan diameter luka pada perlakuan B ulangan 1 tag pi dapat dilihat pada Gambar 17.


(31)

a. Luka hari ke-2 perlakuan BU1 pi 0,8 cm.

b. Luka hari ke-4 perlakuan BU1 pi 0,7 cm.

c. Luka hari ke-6 perlakuan BU1 pi 0,6 cm.

d. Luka hari ke-10 perlakuan BU1 pi 0,3 cm. Gambar 17. Perubahan diameter luka perlakuan BU1 pi.

Perlakuan C ulangan 1 (CU1) tag C2 dengan diameter luka maksimal 0,9 cm menjadi 0 cm namun masih sedikit meninggalkan bekas pada hari ke-10 pasca infeksi A. hydrophila. Perubahan diameter luka pada perlakuan C ulangan 1 tag


(32)

a. Luka hari ke-2 perlakuan CU1 C2 0,9 cm

b. Luka hari ke-4 perlakuan CU1 C2 0,8 cm

c. Luka hari ke-6 perlakuan CU1 C2 0,6 cm

d. Luka hari ke-10 perlakuan CU1 C2 0 cm Gambar 19. Perubahan diameter luka perlakuan CU1 C2.

Perubahan diameter luka merupakan salah satu indikator dari proses penyembuhan luka. Persentase penyembuhan luka dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase penyembuhan luka

Lama pemberian (hari) Penyembuhan luka (%/hari)

A 15,63±2,08 B 16,67±0,00 C 9,93±2,05

K+ 12,43±6,25


(33)

3.1.3.5 Pengamatan organ dalam

Pengamatan organ dalam dilakukan pada akhir perlakuan setelah dilakukan pengamatan selama 10 hari. Kondisi organ dalam perlakuan K- terlihat normal dengan warna hati merah kecoklatan, empedu hijau kekuningan, limpa merah kehitaman dan ginjal merah tua. Perlakuan K+ memiliki warna hati dan ginjal yang berbeda dengan K- yaitu, warna hati dan ginjal merah pucat. Perlakuan A (21 hari), B (14 hari), dan C (7 hari) memiliki organ dalam yang hampir sama dengan perlakuan K-. Namun, terdapat sedikit perbedaan dengan perlakuan K-, yaitu perlakuan B memiliki warna limpa merah tua, dan perlakuan C memiliki warna ginjal merah pucat. Kondisi organ dalam semua perlakuan pada akhir perlakuan dapat dilihat pada Gambar 19 di bawah ini.

Perlakuan K- Perlakuan K+

Perlakuan A Perlakuan B

Perlakuan C

Gambar 19 Organ dalam ikan lele setiap perlakuan


(34)

3.1.3.6 Kualitas air

Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Parameter utama yang diukur adalah oksigen terlarut (Disolve Oxygen, DO), suhu, pH, dan TAN (Total Ammonia Nitrogen). Oksigen terlarut pada awal perlakuan sebesar 4,64 ppm, suhu awal sebesar 28oC, pH awal sebesar 7,94 dan TAN awal sebesar 0,159. Kualitas air pada akhir perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Parameter kualitas air pada akhir perlakuan.

Parameter Perlakuan Kontrol + (0 hari) Kontrol – (0 hari) A (21 hari) B (14 hari) C

(7 hari) Standar Pustaka

DO (ppm) 4,47 4,44 4,32 0,62 4,41 >3 Amri dan

Khairuman (2006)

pH 6,93 6,95 6,94 6,97 6,82 6,5-9

TAN (ppm) 0,57 0,57 0,53 0,62 0,64 <1 Ilyas et. al.,

(1992) dalam

Kurniawan (2010) 23 24 25 26 27 28 29 30 31

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21

Suhu ( oC) Hari ke Pagi Siang Sore

Gambar 20. Suhu air selama perlakuan.

Kualitas air selama perlakuan masih sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan lele. Kisaran suhu pada pagi hari 25-26 oC, siang hari 27-30 oC, dan sore hari 28-30 oC.

3.2 Pembahasan

Identifikasi terhadap bakteri uji dilakukan untuk memastikan bakteri yang digunakan adalah bakteri A. hydrophila. Hasil pewarnaan Gram dan pengamatan dalam media TSA 1x24 jam menunjukkan bakteri uji memiliki morfologi berbentuk batang pendek, bersifat Gram negatif, warna koloni krem, elevasi


(35)

cembung, dan tepian halus. Hasil uji biokimiawi dan fisiologi menunjukkan bakteri bersifat fermentatif, positif terhadap uji motilitas, oksidase dan katalase. Hasil tersebut sesuai dengan Joseph dan Carnahan (1994) dalam Angka (2005) bahwa karakter isolat yang diidentifikasi adalah A. hydrophila.

Sebelum digunakan untuk uji tantang, dilakukan terlebih dahulu Postulat Koch dan Uji LD50. Postulat Koch bertujuan untuk menguji virulensi bakteri uji.

Selain itu Postulat Koch juga dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri patogen melalui gejala penyakit yang ditimbulkannya (Yulinda et. al, 2010). LD50 adalah

jumlah yang diharapkan dapat menyebabkan kematian pada setengah (50%) dari populasi dari beberapa spesies hewan tertentu, ketika memasuki tubuh hewan dengan rute tertentu (EHSC, 2001). Berdasarkan hasil Uji LD50 konsentrasi

bakteri A. hydrophila yang digunakan adalah 108 cfu/ml. Dalam kurun waktu 7 hari, konsentrasi 108 mampu mematikan ikan sebanyak 66,67% (Lampiran 1).

Perlakuan K- memiliki nilai kelangsungan hidup sebesar 100±0,00% karena hanya diinjeksi PBS. Perlakuan A (21 hari) 93,3±11,55%, dan perlakuan B (14 hari) 73,33±30,55%. Sedangkan perlakuan K+ dan C (7 hari) memiliki nilai kelangsungan hidup yang sama yaitu, 26,67±11,55%. Hal ini menunjukkan pemberian pakan uji selama 21 hari mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan uji. Pemberian pakan uji selama 21 hari merupakan lama pemberian yang optimum untuk mencegah infeksi A. hydrophila. Tingginya kelangsungan hidup ikan perlakuan A dapat disebabkan meniran dan bawang putih yang tepat dosisnya dalam kombinasi ramuan, adanya efek dari kombinasi bahan yang bersifat saling melengkapi, dan lama pemberian pakan uji yang tepat berefek positif terhadap kelangsungan hidup ikan.

Tingginya kelangsungan hidup pada perlakuan A dapat disebabkan antibakteri pada tubuh ikan bekerja dengan baik melawan bakteri sehingga bakteri tidak mampu berkembang biak. Allicin yang terkandung dalam bawang putih

mampu menghambat pertumbuhan atau perkembangbiakkan bakteri A.

hydrophila. Sebagaimana disebutkan oleh Feldberg (1988) aktivitas allicin

berperan sebagai antimikroba dengan menghambat sintesis RNA, meskipun DNA dan sintesis protein juga sebagian terhambat, RNA merupakan target utama


(36)

kurang maka sintesis protein akan sangat terpengaruh. Hal ini akan berpengaruh kepada semua tahapan karena tidak adanya messenger RNA, ribosom RNA dan transfer RNA. Jika asam amino dan protein tidak dapat dihasilkan maka pertumbuhan dan perkembangan organisme tidak akan terjadi karena mereka sangat penting untuk semua bagian struktur sel. Efek utama adalah bilayer fosfolipid dari dinding sel tidak dapat terbentuk dengan benar pada kedua bakteri, Gram positif dan Gram negatif. Semua hal yang berkontribusi terhadap bakteri tidak dapat tumbuh dengan adanya allicin (Durairaj et. al, 2009). Bawang putih selain berfungsi sebagai antimikroba juga berfungsi sebagai perangsang kekebalan tubuh, dapat merangsang sistem makrofag, sel darah putih yang menghancurkan organisme asing dan meningkatkan sel helper (Derrida, 2003 dalam Mathew dan Titus, 2009). Mekanisme kerja dari antibakteri dapat dikelompokkan menjadi (1) menghambat sintesis dinding sel bakteri, (2) menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, (3) menghambat sintesis protein sel bakteri, dan (4) menghambat sintesis asam nukleat (Sufriadi, 2006).

Analisis fitokimia ekstrak meniran menunjukkan adanya alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, karbohidrat dan glikosida (Okloi et al., 2009). Flavonoid merupakan senyawa antikanker dan antioksidan sebagaimana disebutkan oleh Arima et al. (2002) flavonoid merupakan metabolit sekunder mengandung banyak quercetin berfungsi sebagai teraputik, khususnya antibakteria, antiradang, antialergi, antiviral, antitumor, dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembunuh spora dan menghambat produksi enterotoksin.Meniran dikenal sebagai imunostimulan yang baik. Imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat, atau bahan lain yang mampu meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik ikan (Anderson, 1992 dalam Suryati, 2010). Ikan yang diberikan imunostimulan biasanya menunjukkan aktivitas sel fagositik. Imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respons imun spesifik tetapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non-spesifik (Sakai, 1999 dalam Suryati, 2010).

Kelangsungan hidup pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dengan menggunakan bahan fitofarmaka yang sama namun


(37)

dengan metode yang berbeda. Hasil penelitian yang sama dengan metode yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan metode berbeda

Bentuk bahan perlakuan Konsentrasi bahan terbaik Metode pemberian Lama pemberian Kelangsungan hidup Pustaka Ekstrak meniran

dan bawang putih

5 ppt meniran, 20 ppt bawang putih

Penyuntikkan 14 hari 73,33±11,55% Ayuningtyas

(2008) Ekstrak meniran

dan bawang putih

5 ppt meniran, 20 ppt bawang putih

Spray melalui pakan

14 hari 58,33±21,52% Sholikhah

(2009) Tepung meniran

dan bawang putih

2,1% (1:2) Formulasi dalam

pakan

14 hari 60±20% Kurniawan

(2010) Tepung meniran

dan bawang putih

2,1% (1:2) Formulasi dalam

pakan

14 hari 66,67±11,55% Sartika

(2011) Tepung meniran

dan bawang putih

2,1% (1:2) Formulasi dalam

pakan

21 hari 93,33±11,54% Penelitian ini

Kelangsungan hidup yang tinggi pada penelitian ini dapat disebabkan pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih dalam waktu yang lebih lama yang mengakibatkan jumlah pakan uji yang dimakan oleh ikan lebih banyak. Tingginya jumlah pakan uji berbanding lurus dengan jumlah fitofarmaka (meniran dan bawang putih) yang masuk ke dalam tubuh ikan. Semakin banyak meniran dan bawang putih maka zat antibakteri dan zat aktif lain yang terkandung juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustina (2011) semakin banyak volume bahan yang digunakan maka antibakteri yang terkandung juga semakin tinggi. Pemberian pakan uji yang cukup lama juga dapat berpengaruh terhadap penyerapan zat aktif terutama antibakteri oleh tubuh lebih banyak sehingga pembentukan kekebalan tubuh ikan lebih maksimal. Namun pemberian pakan uji yang terlalu berlebihan diduga dapat memberikan pengaruh yang negatif karena dapat bersifat toksik dan berbahaya bagi ikan uji. Metode

repelleting yang digunakan pada penelitian ini lebih praktis dan efektif dibandingkan dengan metode penyuntikkan langsung pada ikan dan metode spray

pada pakan. Metode repelleting lebih memudahkan dalam pemberian pakan pada ikan, selain itu pakan dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama.

Penelitian yang sama dengan Marwa (2010) yaitu pemberian ekstrak bawang putih dalam pakan untuk mencegah penyakit Koi Herves Virus pada ikan mas dengan lama pemberian yang sama yaitu 21 hari menghasilkan nilai kelangsungan hidup yang tinggi yaitu 91,7%. Hal ini menunjukkan bahwa


(38)

pemberian pakan uji selama 21 hari merupakan lama pemberian yang optimum untuk mencegah infeksi A. hydrophila.

Berdasarkan jumlah pakan yang dihabiskan selama perlakuan, perlakuan K- memiliki respons makan terbaik, dengan jumlah pakan yang dihabiskan 39,59±0,64 gram. Jumlah pakan yang dihabiskan pada perlakuan K+ tidak berbeda nyata dengan perlakuan K- yaitu, 38,61±2,00 gram. Perlakuan B (14 hari) memiliki respons makan terendah, dengan jumlah pakan yang dihabiskan 35,07±2,35 gram. Jumlah pakan yang dihabiskan perlakuan A (21 hari) dan C (7 hari), masing-masing 36,80±0,88 dan 35,89±1,86 gram. Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 2), perlakuan A tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan, perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan K- dan K+, dan perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan K-. Jumlah pakan pada perlakuan A, B, dan C tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan perbedaan lama pemberian tepung meniran dan bawang putih dalam pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap respons makan.

Tingginya jumlah pakan yang dihabiskan perlakuan K+ dan K- disebabkan tidak adanya pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih yang membutuhkan proses pengadaptasian dari ikan yang menyebabkan penurunan respons makan pada saat proses pengadaptasian tersebut. Secara umum pada semua perlakuan mengalami peningkatan respons makan setiap harinya, kecuali pada perlakuan A, B, dan C mengalami penurunan pada saat proses pengadaptasian. Perlakuan A, B, dan C rata-rata membutuhkan waktu 3-4 hari untuk dapat beradaptasi terhadap pergantian pakan dari pakan komersil ke pakan uji. Waktu pengadaptasian yang cukup lama tersebut mengakibatkan penurunan jumlah pakan total selama 21 hari perlakuan.

Respons makan pasca infeksi A. hydrophila juga diamati selama 10 hari. Ikan uji pada semua perlakuan mengalami penurunan nafsu makan pasca infeksi. Penurunan nafsu makan tersebut disebabkan ikan stress akibat handling dan penyuntikkan. Penurunan nafsu makan pada perlakuan pasca infeksi A. hydrophila

selain akibat handling dan penyuntikkan juga disebabkan infeksi dari A. hydrophila. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kabata (1985) dalam Abdullah (2008) bahwa salah satu gejala infeksi A. hydrophila adalah nafsu makan yang


(39)

rendah. Ikan lele perlakuan K- memiliki respons makan terbaik pasca infeksi karena hanya diinjeksi PBS. Ikan perlakuan A memiliki respons makan yang lebih baik pasca infeksi dibandingkan ikan lele perlakuan K+, B, dan C. Hal ini dapat disebabkan penurunan nafsu makan akibat infeksi A. hydrophila tidak terjadi berlarut-larut. Hal tersebut terbukti ikan lele perlakuan A sudah mulai merespons dengan cukup baik pakan yang diberikan pada hari ke-4 (Lampiran 4).

Respons makan yang cukup tinggi pada semua perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan relatif ikan. Pertumbuhan relatif paling tinggi terdapat pada perlakuan K+ yaitu sebesar 27,43%±2,06%. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah pakan yang dihabiskan oleh perlakuan K+ yang tinggi. Pertumbuhan relatif perlakuan K- tidak berbeda nyata dengan perlakuan K+, yaitu 26,80±2,51%. Jumlah pakan uji A, B, dan C yang tidak berbeda nyata diikuti dengan pertumbuhan relatif perlakuan A, B dan C yang tidak berbeda nyata pula. Hal ini menunjukkan perbedaan lama pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah pakan dan pertumbuhan relatif. Hal ini juga menunjukkan kombinasi pakan komersil dan pakan uji yang berbeda dalam waktu 21 hari pada perlakuan A, B, dan C tidak mempengaruhi secara beda nyata terhadap jumlah pakan dan pertumbuhan relatif. Dapat disimpulkan pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih dapat diterima sama baiknya dengan pakan komersil oleh ikan uji perlakuan A, B, dan C.

Perlakuan A memiliki pertumbuhan relatif paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan B dan C yaitu sebesar 24,69±3,03%. Tingginya pertumbuhan relatif pada perlakuan A dapat disebabkan jumlah pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih yang dikonsumsi lebih banyak karena pemberiannya lebih lama yaitu 21 hari. Hal ini mengakibatkan jumlah meniran dan bawang putih yang terserap oleh tubuh ikan juga lebih banyak. Pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih dapat meningkatkan pertumbuhan karena kandungan zat anti bakteri (allicin) dalam bawang putih dapat melisiskan racun yang menempel pada dinding usus, sehingga penyerapan zat nutrisi menjadi lebih baik (Agustina, 2011). Flavonoid yang terkandung dalam meniran juga diketahui berfungsi sebagai kontrol pertumbuhan (Robinson, 1991 dalam Rahman, 2003).


(40)

Mekanisme flavonoid sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan diduga berhubungan dengan kemampuannya merangsang kelenjar prosimal pars distalis

mensekresi hormon pertumbuhan (somatotropin) (Abdullah, 2008). Menurut

Zairin (2003) hormon somatotropin mampu merangsang pertumbuhan dan

metabolisme, meningkatkan nafsu makan, mencegah kerusakan hati dan terbukti memiliki sifat imunostimulatori pada sel-sel imuno kompeten serta meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas hemolitik pada serum ikan.

Uji tantang dilakukan dengan menggunakan bakteri yang sudah dipastikan

A. hydrophila dengan kepadatan yang diperoleh pada uji LD50 yaitu 108 cfu/ml.

Uji tantang dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih terhadap kelangsungan hidup ikan lele. Setelah dilakukan uji tantang, muncul gejala klinis pada semua ikan uji, kecuali pada perlakuan K- tidak menunjukkan gejala klinis karena hanya diinjeksi PBS 0,1 ml/ekor. Gejala klinis yang muncul yaitu hiperemia di bagian perut, terbentuknya radang, haemoragi, dan tukak pada tempat bekas suntikan, sirip punggung rusak, dan sirip ekor rusak. Selain itu, ikan terlihat lemah dan nafsu makan menurun. Gejala klinis yang muncul tersebut sesuai dengan gejala klinis yang seharusnya muncul pada ikan yang terinfeksi A. hydrophila. Ikan yang terinfeksi A. hydrophila menunjukkan gejala yaitu kematian mendadak pada ikan yang sehat, kurangnya nafsu makan, kelainan berenang, insang pucat, tukak pada kulit (Swann dan White, 1989), ekor atau sirip membusuk, haemoragi (Cipriano, 2001), sirip ekor, dada, dan perut rusak, ikan lemah, dan pada permukaan tubuh terdapat bagian-bagian yang berwarna merah (Maulina et al, 2006).

Hiperemia adalah kenaikkan jumlah darah dari sistem sirkulasi dan timbulnya hiperemia merupakan mekanisme tubuh untuk manambah nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan jaringan tubuh bila laju metabolisme meningkat saat tubuh mengadakan perlawanan terhadap antigen yang masuk setelah infeksi (Runnels et al, 1965 dalam Abdullah, 2008). Hiperemia dibagian perut terjadi pada ikan lele perlakuan B ulangan 3 tag C4 pada jam ke-7 pasca infeksi. Gejala klinis berupa radang muncul pada jam ke-7 pasca infeksi A. hydrophila. Haemoragi pada sebagian besar ikan uji terbentuk pada hari ke-1 pasca infeksi. Pada hari ke-1 pasca infeksi sudah terjadi kematian ikan, yaitu perlakuan B


(41)

ulangan 3, 2 ekor dan perlakuan C ulangan 2, 1 ekor. Kematian yang sangat cepat tersebut dipastikan akibat infeksi A. hydrophila bukan karena handling ataupun penyuntikkan. Hal tersebut dibuktikan pada jam ke-7 pasca infeksi sudah terbentuk radang. Selain itu, ikan yang terserang A. hydrophila dapat mati secara mendadak. Sebagaimana disebutkan oleh Swann dan White (1989) ikan yang terinfeksi A. hydrophila dapat mengalami kematian mendadak. Kematian ikan tertinggi terjadi pada hari ke-2 pada perlakuan C sebanyak 6 ekor, dan perlakuan K+ sebanyak 4 ekor. Kematian yang tinggi pada perlakuan C dan K+ menunjukkan bakteri A. hydrophila dapat mencapai puncak infeksi cukup maksimal hal tersebut diduga pada perlakuan C bahan antibakteri tidak bekerja dengan maksimal sehingga tidak dapat meningkatkan ketahanan ikan terhadap penyakit infeksi,

sedangkan pada perlakuan K+ tidak ada bahan yang dapat meningkatkan

ketahanan ikan terhadap penyakit infeksi seperti pada perlakuan A, B, dan C. Kematian ikan tidak terjadi lagi dari hari ke-7 sampai hari ke-10 pasca infeksi.

Proses penyembuhan luka pada sebagian ikan uji mulai terjadi pada hari ke-4, dan mengalami penyembuhan pada hari ke-5 sampai hari ke-10 meskipun masih meninggalkan bekas luka. Diameter tukak yang berubah dari besar menjadi kecil merupakan salah satu indikator penyembuhan luka. Persentase penyembuhan luka terbesar dimiliki oleh perlakuan B yaitu sebesar 16,67±0,00%/hari. Persentase penyembuhan luka untuk perlakuan A, C dan K+ berturut-turut 15,63±2,08%/hari, 9,93±2,05%/hari dan 14,43±6,25%/hari. Namun, persentase penyembuhan luka tidak berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup ikan lele, artinya persentase penyembuhan luka yang tinggi belum tentu menghasilkan nilai kelangsungan hidup yang tinggi pula. Luka yang terbentuk mengalami penyembuhan karena adanya kekebalan tubuh alami pada ikan dan kandungan Vitamin C dalam pakan yang dapat berperan dalam penyembuhan luka. Selain itu pada ikan uji perlakuan A, B dan C penyembuhan luka juga disebabkan kandungan meniran dalam pakan uji dapat membantu dalam penyembuhan luka, berfungsi sebagai anti ulcerogenik dan antiamnestic (Okloi et al., 2009)

Ikan uji perlakuan A sebagian besar mengalami peradangan pada jam ke-7 pasca infeksi A. hydrophila. Hari ke-2 pasca infeksi, radang yang muncul tidak berkembang menjadi haemoragi, hanya ikan uji perlakuan A ulangan 2 (AU2) tag


(42)

C1 dan pa, dan ulangan 3 tag C3 yang mengalami fase haemoragi. Perlakuan A mencapai luka maksimal sebesar 0,9 cm. Rata-rata luka yang terbentuk hanya 0,1 cm. Ikan uji perlakuan B sebagian kecil masih memiliki tukak dengan diameter kecil pada hari ke-10. Hal ini disebabkan tukak yang terbentuk cukup besar. Selain itu, terdapat tukak yang baru terbentuk pada hari ke-7 seperti pada ikan perlakuan B ulangan 2 tag C3, sehingga pada hari ke-10 tukak tersebut belum sembuh.

Pengamatan organ dalam dilakukan pada akhir perlakuan. Kondisi organ dalam ikan perlakuan K- yang hanya diinjeksi PBS sedikit berbeda dengan organ dalam perlakuan yang diinfeksi A. hydrophila. Perlakuan K- memiliki kondisi organ dalam yang normal yaitu, warna hati merah kecoklatan, empedu hijau kekuningan, limpa merah kehitaman dan ginjal merah tua. Perlakuan K+ memiliki warna hati dan ginjal yang berbeda dengan K- yaitu, warna hati dan ginjal merah pucat. Perlakuan A (21 hari), B (14 hari), dan C (7 hari) memiliki organ dalam yang hampir sama dengan perlakuan K-. Namun, terdapat sedikit perbedaan dengan perlakuan K-, yaitu perlakuan B memiliki warna limpa merah tua, dan perlakuan C memiliki warna ginjal merah pucat. Menurut Bullock et al. (1971)

dalam Angka (2005) gejala klinis yang ditunjukkan oleh ikan sakit akibat infeksi

A. hydrophila yaitu tukak berwarna merah tua keabuan, radang diginjal, hati berwarna pucat dan kehijauan, dan hemoragi di usus. Menurut Swann dan White (1989) organ dalam yang terpengaruh pada saat ikan terinfeksi A. hydrophila yaitu insang, ginjal, hati, limpa, pankreas, dan rangka otot.

Kualitas air harus diperhatikan karena kualitas air yang buruk dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan uji. Sehingga dikhawatirkan ikan yang mati disebabkan oleh kualitas air yang buruk bukan karena infeksi A. hydrophila. Kualitas air selama pemeliharaan (Tabel 3) tetap terkontrol dan masih sesuai dengan persyaratan hidup ikan lele. Kisaran suhu selama pemeliharaan masih berada dalam kisaran normal untuk ikan lele dumbo yaitu 25-30 oC. Menurut KKP (2010b) benih ikan lele dapat hidup dengan baik pada suhu media pemeliharaan berkisar 26-30 oC. Kisaran toleransi kualitas air untuk ikan lele yaitu, nilai pH 6,5-9 dan nilai DO > 3 ppm (Amri dan Khairuman, 2006), nilai TAN < 1 ppm (Ilyas et al., 1992 dalam Kurniawan, 2010).


(43)

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Kombinasi meniran dan bawang putih efektif untuk mencegah infeksi A. hydrophila. Lama pemberian pakan mengandung tepung meniran dan bawang putih yang optimum untuk mencegah infeksi A. hydrophila yaitu 21 hari dengan nilai kelangsungan hidup 93,33±11,54%

4.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan waktu optimal bahan aktif pada bawang putih dan meniran bertahan dalam pakan, agar dapat ditentukan batas penyimpanan pakan yang sesuai.

                                         


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah W. 2006. Efektivitas Ekstrak Daun Paci-Paci Leucas lavandulaefolia

untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Penyakit MAS Motile

Aeromonad Septicaemia Ditinjau dari Patologi Makro dan Hematologi Ikan Lele Dumbo Clarias sp. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Afrianto E., Liviawaty E. 2005. Pakan Ikan dan Perkembangannya. Kanisius. Yogyakarta.

Agustina L. 2011. Penggunaan Ramuan Herbal sebagai Feed Additif untuk Meningkatkan Performans Broiler. Lokakarya Nasional. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanudin. Makassar.

Amri K., Khairuman S.P. 2006. Budidaya Lele Dumbo secara Intensif. Agromedai Pustaka. Jakarta.

Angka S.L. 2005. Kajian Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. : Patologi, Pencegahan dan Pengobatannya dengan Fitofarmaka. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anonim. 2003. Budidaya Lele. http://www.dkp.go.id. [11 Maret 2009]

Arima H., Ashida H., Danno G. 2002. Rutin-enanched Antibacterial Activities of Flavonoids Against Bacillus cereus and Salmonella enteritidis. Biosci, Biotechnol, Biochem. 66 (5):1009-1014

Ayuningtyas A.K. 2008. Efektivitas Campuran Meniran Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Cipriano R.C. 2001. Aeromonas hydrophila and Motile Aeromonad Septicaemia

of Fish. Fish Disease Leaflet 68, US. Fish and Wildlife Service Division of Fishery Research Washington, D. C. 20240.

Durairaj S., Srinivasan S., Lakshmanaperumalsamy P. 2009. In vitro Antibacterial Activity and Stability of Garlic Extract at Different pH and Temperature. Electronic Journal of Biology. 5(1): 5-10

Effendi, I., 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya, Depok.

EHSC [Environment, Health and Safety Committee]. 2001. LD50 (Lethal Dose


(45)

Feldberg R.S. Chang S.C., Kotik A.N., Nadler M., Neurwirth Z., Sundstrom D.C., Thompson N.H. 1988. In Vitro Mechanisme of Inhibition of Bacteria Cell Growth by Allicin. Antimicrob Agents and Chemotherapy. 32: 1763-1768. KKP [Kementrian Kelautan dan Perikanan]. 2010a. Ibu Ani Ajari Anak Cucu

Gemari Ikan Lele. http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id. [15 Juli 2011].

KKP [Kementrian Kelautan dan Perikanan]. 2010b. Budidaya Lele Dumbo.

http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id. [15 Juli 2011].

Kurniawan D. 2010. Efektivitas Campuran Meniran Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum dalam Pakan untuk Pengendalian Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.[Skripsi] Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lemar K.M., Passa O., Aon M.A. Cortassa S., Muller C.T., Plummer S., O’Rourke B., Llyold D. 2005. Allyl Alcohol and Garlic (Allium sativum) Extract Produce Oxidatif Stress in Candida albicans. Microbiology, 151, 3257–3265.

Marwa K. 2010. Lama Pemberian Ekstrak Bawang Putih Allium sativum yang Optimum pada Pakan untuk Mencegah Penyakit Koi Herves Virus (KHV) pada Ikan Mas Cyprinus carpio. [Skripsi] Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maulina I., Kiki H., Junianto. 2006. Pengaruh Meniran dalam Pakan untuk

Mencegah Infeksi Bakteri Aeromonas sp. pada Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. Bandung.

Mathew, Titus. 2009. Efficacy of Allium sativum (Garlic) Bulbs Extracts on Some Enteric (Pathogenic) Bacteria. New York Science Journal. 2(6), ISSN 1554-0200.

Okoli C.O., Ezike A.C., Akah P.A. Udegbunam S.O., Okoye T.C., Mbanu T.P., Ugwu E. 2009. Studies on Wound Healing and Antiulcer Activities of Extract of Aerial Parts of Phyllanthus niruri L. (Euphorbiaceae). American Journal of Pharmacology and Toxicology. 4 (4): 118-126

Rahman. 2003. Kajian Potensi Anti Fungi dan Ekstrak Seduh Daun Ketapang (Terminalia catappa L.), Daun Sirih (Piper bettle L.), Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.), dan Daun Sambiloto (Andrographis peniculatala) terhadap Pertumbuhan Cendawan Akuatik Aphanomyces sp. secara In Vitro. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(46)

 Sholikhah E.H. 2009. Efektivitas Campuran Meniran Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum dalam Pakan untuk Pengendalian Infeksi Bakteri Aeromonas Hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sartika Y. 2011. Efektivitas Fitofarmaka dalam Pakan untuk Pencegahan Infeksi Bakteri Aeromonas Hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sufriadi A. 2006. Manfaat Daun Kayu Manis (Cinnamomum burmanni) terhadap Khasiat Antioksidan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) selama Penyimpanan. [Skripsi]. Program Studi Biokimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sulastry F. 2009. Uji Toksisitas Akut yang Diukur dengan Penentuan LD50

Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) terhadap Mencit Balb/C. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponogoro. Semarang. Suryati. 2010. Pemberian Kappa-Karaginan untuk Meningkatkan Respons Imun

Non-Spesifik dan Resistensi Penyakit pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Swann, L., White, R.M., 1989. Diagnosis and treatment of Aeromonas hydrophila

Infection of Fish. Aquaculture Extension. Purdue University.

Yulinda A.R., Ilyas S., Kadir T.S. 2008. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning Plus Bakterisida Sintetis atau Nabati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri Terbawa Benih serta Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih Padi. Makalah Seminar. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Zairin M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Peranannya bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 70 hlm.

               


(47)

Lampiran 1. Perhitungan nilai LD50

Kepadatan

bakteri Mati Hidup

Akumulasi

Mati Hidup Rasio kematian %

1010 5 0 14 0 14/14 100

109 5 0 9 0 9/9 100

108 3 2 4 2 4/6 66,67

107 1 4 1 6 1/7 14,29

106 0 5 0 11 0/11 0

Kematian di atas 50% - 50

Selang Proporsi =

Kematian di atas 50% - Kematian di bawah 50% 66,67 – 50

=

66,67 – 14,29

= 0,318

Log Negatif LD50 = - log negatif konsentrasi di atas 50% + selang proporsi

= - log 108 + 0,318

= - 8 + 0,318

= -7,682

Log LD50 = 7,682

LD50 = 107,682


(48)

Lampiran 2. Analisis statistik respons makan

Hipotesis H0 = K- = K+ = A = B = C = 0

H1 = minimal ada 1 perlakuan ≠ 0 Selang kepercayaan 95%

α = 0,05

Perlakuan Deskriptif

Jumlah Rata-rata Standar Deviasi

K+ 3 38.6167 2.00909

K- 3 39.5900 0.64506

A 3 36.8033 0.88596

B 3 35.0667 2.35292

C 3 35.8933 1.86033

Anova

Grup Jumlah kuadrat Df Rata-rata kuadrat F Nilai P

Diantara grup 42.404 4 10.601 3.724 0.042

Dalam grup 28.469 10 2.847

Total 70.873 14

P value < α maka terima H1 dan dilakukan Uji Lanjut dengan Uji Duncan Uji Duncan

Perlakuan Jumlah Kelompok pada galat = 0.05

1 2 3

B 3 35.0667

C 3 35.8933 35.8933

A 3 36.8033 36.8033 36.8033

K+ 3 38.6167 38.6167

K- 3 39.5900

* perlakuan A tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan K+ dan K-, dan perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan K-.

Keterangan: K- = kontrol negatif

K+ = kontrol positif

A = 21 hari B = 14 hari

C = 7 hari

   


(49)

Lampiran 3. Analisis statistik pertumbuhan relatif

Hipotesis H0 = K- = K+ = A = B = C = 0

H1 = minimal ada 1 perlakuan ≠ 0 Selang kepercayaan 95%

α = 0,05

Perlakuan Deskriptif

Jumlah Rata-rata Standar Deviasi

K+ 3 27.4300 2.05643

K- 3 26.8033 2.51246

A 3 24.6933 3.02981

B 3 21.9300 0.74357

C 3 22.7500 0.83018

Anova

Grup Jumlah kuadrat Df Rata-rata kuadrat F Nilai P

Diantara grup 70.050 4 17.513 4.177 0.030

Dalam grup 41.926 10 4.193

Total 111.977 14

P value < α maka terima H1 dan dilakukan Uji Lanjut dengan Uji Duncan Uji Duncan

Perlakuan Jumlah Kelompok pada galat = 0.05

1 2

B 3 21.9300

C 3 22.7500

A 3 24.6933 24.6933

K- 3 26.8033

K+ 3 27.4300

* Perlakuan A tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Perlakuan B dan C berbeda nyata dengan perlakuan K+ dan K-.

Keterangan: K- = kontrol negatif

K+ = kontrol positif

A = 21 hari B = 14 hari

C = 7 hari


(50)

Lampiran 4. Respons makan pasca infeksi A. hydrophila

Perlakuan H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

K+U1 0 0,04 0,12 0,14 0,19 0,22 0,31 0,23 0,31 0,34

K+U2 0 0,11 0,19 0,14 0,23 0,25 0,22 0,29 0,31 0,31

K+U3 0 0,10 0,14 0,27 0,21 0,25 0,23 0,28 0,22 0,22

K-U1 0 0,25 0,36 0,58 0,56 0,50 0,55 0,47 0,48 0,55

K- U2 0 0,19 0,29 0,39 0,44 0,56 0,55 0,50 0,51 0,52

K-U3 0 0,27 0,30 0,38 0,37 0,41 0,56 0,53 0,53 0,56

AU1 0 0,07 0,16 0,25 0,30 0,39 0,38 0,42 0,40 0,40

AU2 0 0,10 0,19 0,22 0,26 0,40 0,33 0,42 0,47 0,53

AU3 0 0,06 0,15 0,27 0,33 0,34 0,38 0,38 0,40 0,45

BU1 0 0,10 0,09 0,07 0,11 0,19 0,25 0,33 0,36 0,38

BU2 0 0,10 0,15 0,11 0,13 0,20 0,23 0,22 0,30 0,33

BU3 0 0,16 0,17 0,19 0,16 0,23 0,19 0,17 0,21 0,20

CU1 0 0,10 0,12 0,17 0,22 0,18 0,22 0,22 0,24 0,22

CU2 0 0,08 0,14 0,15 0,11 0,18 0,21 0,26 0,22 0,25

CU3 0 0,08 0,13 0,12 0,18 0,14 0,21 0,19 0,24 0,22

Keterangan: K- = kontrol negatif K+ = kontrol positif

A = 21 hari B = 14 hari

C = 7 hari

U1 = ulangan 1

U2 = ulangan 2


(51)

Lampiran 6 Gejala klinis setiap perlakuan

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

A1

Pa R 0,5 R 0,5 T 0,2 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

Pi R 0,3 R 0,3 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C1 R 0,3 R 0,5 R 0,5 R 0,3 R 0,1 SBH

C2 NO R 0,2 R 0,3 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C3 R 0,7 R 0,7 R 0,7 R 0,5 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

A2

Pa R 0,7 H 0,8 T 0,9 T 0,8 T 0,8 T 0,7 T 0,6 T 0,4 T 0,3 T 0,2 T 0,2

Pi R 0,6 H 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

C1 R 1 R 1 R 0,7 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C2 NO NO R 0,2 R 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

C3 R 1,1 R 0,7 T 0,6 T 0,6 T 0,6 T 0,5 MATI

A3

Pa R 0,9 R 0,5 R 0,5 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

Pi R 1,5 R 1 R 0,9 R 0,6 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T ,01 SBH

C1 R 1,5 R 1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C2 R 1,1 R 0,8 R 0,5 R 0,5 R 0,5 R 0,3 R 0,1 SBH

C3 R 1 H 0,5 T 0,3 T 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan


(52)

Lanjutan lampiran 6

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

B1 Pa R 0,8 R 0,8 R 0,8 R 0,8 R 0,8 H 0,5 T 0,3 T 0,3 T 0,3 T 0,1 SBH

Pi R 0,7 R 0,7 T 0,8 T 0,8 T 0,7 T 0,6 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3 T 0,3

C1 R 0,8 H 0,6 T 0,6 T 0,4 T 0,3 T 0,3 T 0,2 T 0,1 T 0,1 SBH

C2 NO NO R 0,4 R 0,4 R 0,4 H 0,2 T 0,2 T 0,2 T 0,1 SBH

C3 R 1,7 R 1,2 R 0,8 R 0,5 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

B2 Pa R 1,2 H 1 T 0,8 T 0,7 T 0,7 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3 T 0,1 SBH

Pi NO R 0,5 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 SBH

C1 NO Tubuh

menguning

ekor geripis

ekor geripis

ekor

geripis MATI

B3 Pa R 1,2 MATI

C2 R 1,3 H 0,9 T 0,9 T 0,7 T 0,6 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3 T 0,2 T 0,2

C3 NO NO NO R 1,4 R 1,4 R 1 R 0,6 T 0,6 T 0,6 T 0,5 T 0,4

Pi R 0,2 R 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

C1 R 0,5 H 0,7 T 0,7 MATI

C2 R 1,7 H 1 T 1 T 1 T 1 T 0,9 T 0,7 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3

C3 R 1,5 MATI

Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan


(53)

Lanjutan lampiran 6

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

C1

Pa R 0,9 H 0,9 MATI

Pi R 2 H 1,2 T 0,7 T 0,7 MATI

C1 R 0,9 H 0,9 MATI

C2 H 0,7 H 0,8 T 0,5 T 0,4 T 0,4 T 0,4 T 0,4 T 0,3 T 0,3 T 0,2 SBH

C3 R 0,8 H 0,8 T 0,9 T 0,9 T 0,8 T 0,8 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,2 SBH

C2

Pa R 1,3 MATI

Pi R 1,6 H 1,1 MATI

C1 R 1 H 0,8 MATI

C2 R 0,7 H 0,7 MATI

C3 R 0,7 R 0,7 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C3

Pa putih

diperut

Sirip punggung

geripis

MATI

Pi R 1,2 R 1,2 T 1 T 1 MATI

C1 R 1,3 H 1 MATI

C2 R 0,2 R 0,2 H 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,2 0,1 T 0,1 SBH

C3 R 0,7 R 0,7 H 0,7 T 0,7 MATI

Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan


(54)

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

K+1

Pa R 0,8 H 0,6 T 0,6 T 0,6 MATI

Pi R 1,5 T 1 cm T 1 cm T 1 T 0,9 T 0,8 T 0,7 T 0,6 T 0,4 T 0,2 SBH

C1 Hiperemia

pada perut

Hiperemia

pada perut MATI

C2 Hiperemia

total

Hiperemia

total MATI

C3 R 1,5 R 0,8. T 0,5 T 1 . T 0,5 MATI

K+2

Pa R 0,7 R 0,7 H 0,7 T 0,3 T 0,2 T 0,1 T 0,05 SBH

Pi R 1,3 R 0,9 R 0,5 T 0,3 T 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,1 SBH

C1 NO ekor

geripis

ekor geripis

ekor

geripis MATI

C2 R 0,6 H 0,5 T 0,5 T 0,5 T 0,5 MATI

C3 H H MATI

K+3

Pa NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO

Pi R 0,8 H 0,6 MATI

C1 NO R 1 R 1 MATI

C2 NO R 0,7 H 0,7 T 0,5 T 0,5 MATI

C3 R 1 H 1 cm T 0,8 T 0,8 T 0,8 MATI

Lanjutan lampiran 6

Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan


(1)

Lampiran 3. Analisis statistik pertumbuhan relatif

Hipotesis H

0

= K

-

= K

+

= A = B = C = 0

H1 = minimal ada 1 perlakuan

0

Selang kepercayaan 95%

α

= 0,05

Perlakuan Deskriptif

Jumlah Rata-rata Standar Deviasi

K+ 3 27.4300 2.05643

K- 3 26.8033 2.51246

A 3 24.6933 3.02981

B 3 21.9300 0.74357

C 3 22.7500 0.83018

Anova

Grup Jumlah kuadrat Df Rata-rata kuadrat F Nilai P Diantara grup 70.050 4 17.513 4.177 0.030

Dalam grup 41.926 10 4.193

Total 111.977 14

P value <

α

maka terima H1 dan dilakukan Uji Lanjut dengan Uji Duncan

Uji Duncan

Perlakuan Jumlah Kelompok pada galat = 0.05

1 2

B 3 21.9300 C 3 22.7500

A 3 24.6933 24.6933

K- 3 26.8033

K+ 3 27.4300

* Perlakuan A tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. Perlakuan B dan C

berbeda nyata dengan perlakuan K

+

dan K

-

.

Keterangan: K

-

= kontrol negatif

K

+

= kontrol positif

A = 21 hari

B = 14 hari

C = 7 hari


(2)

37

 

Lampiran 4. Respons makan pasca infeksi

A. hydrophila

Perlakuan H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

K+U1 0 0,04 0,12 0,14 0,19 0,22 0,31 0,23 0,31 0,34

K+U2 0 0,11 0,19 0,14 0,23 0,25 0,22 0,29 0,31 0,31 K+U3 0 0,10 0,14 0,27 0,21 0,25 0,23 0,28 0,22 0,22 K-U1 0 0,25 0,36 0,58 0,56 0,50 0,55 0,47 0,48 0,55 K- U2 0 0,19 0,29 0,39 0,44 0,56 0,55 0,50 0,51 0,52 K-U3 0 0,27 0,30 0,38 0,37 0,41 0,56 0,53 0,53 0,56 AU1 0 0,07 0,16 0,25 0,30 0,39 0,38 0,42 0,40 0,40 AU2 0 0,10 0,19 0,22 0,26 0,40 0,33 0,42 0,47 0,53 AU3 0 0,06 0,15 0,27 0,33 0,34 0,38 0,38 0,40 0,45 BU1 0 0,10 0,09 0,07 0,11 0,19 0,25 0,33 0,36 0,38 BU2 0 0,10 0,15 0,11 0,13 0,20 0,23 0,22 0,30 0,33 BU3 0 0,16 0,17 0,19 0,16 0,23 0,19 0,17 0,21 0,20 CU1 0 0,10 0,12 0,17 0,22 0,18 0,22 0,22 0,24 0,22 CU2 0 0,08 0,14 0,15 0,11 0,18 0,21 0,26 0,22 0,25 CU3 0 0,08 0,13 0,12 0,18 0,14 0,21 0,19 0,24 0,22 Keterangan: K- = kontrol negatif

K+ = kontrol positif A = 21 hari B = 14 hari

C = 7 hari

U1 = ulangan 1

U2 = ulangan 2


(3)

Lampiran 6 Gejala klinis setiap perlakuan

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

A1

Pa R 0,5 R 0,5 T 0,2 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH Pi R 0,3 R 0,3 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C1 R 0,3 R 0,5 R 0,5 R 0,3 R 0,1 SBH

C2 NO R 0,2 R 0,3 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C3 R 0,7 R 0,7 R 0,7 R 0,5 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

A2

Pa R 0,7 H 0,8 T 0,9 T 0,8 T 0,8 T 0,7 T 0,6 T 0,4 T 0,3 T 0,2 T 0,2 Pi R 0,6 H 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

C1 R 1 R 1 R 0,7 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C2 NO NO R 0,2 R 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

C3 R 1,1 R 0,7 T 0,6 T 0,6 T 0,6 T 0,5 MATI

A3

Pa R 0,9 R 0,5 R 0,5 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

Pi R 1,5 R 1 R 0,9 R 0,6 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T ,01 SBH C1 R 1,5 R 1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C2 R 1,1 R 0,8 R 0,5 R 0,5 R 0,5 R 0,3 R 0,1 SBH

C3 R 1 H 0,5 T 0,3 T 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan


(4)

Lanjutan lampiran 6

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

B1 Pa R 0,8 R 0,8 R 0,8 R 0,8 R 0,8 H 0,5 T 0,3 T 0,3 T 0,3 T 0,1 SBH Pi R 0,7 R 0,7 T 0,8 T 0,8 T 0,7 T 0,6 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3 T 0,3 C1 R 0,8 H 0,6 T 0,6 T 0,4 T 0,3 T 0,3 T 0,2 T 0,1 T 0,1 SBH

C2 NO NO R 0,4 R 0,4 R 0,4 H 0,2 T 0,2 T 0,2 T 0,1 SBH

C3 R 1,7 R 1,2 R 0,8 R 0,5 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH

B2 Pa R 1,2 H 1 T 0,8 T 0,7 T 0,7 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3 T 0,1 SBH Pi NO R 0,5 T 0,2 T 0,2 T 0,1 T 0,1 SBH

C1 NO Tubuh

menguning

ekor geripis

ekor geripis

ekor

geripis MATI

B3 Pa R 1,2 MATI

C2 R 1,3 H 0,9 T 0,9 T 0,7 T 0,6 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3 T 0,2 T 0,2

C3 NO NO NO R 1,4 R 1,4 R 1 R 0,6 T 0,6 T 0,6 T 0,5 T 0,4

Pi R 0,2 R 0,2 T 0,1 T 0,1 T 0,05 SBH C1 R 0,5 H 0,7 T 0,7 MATI

C2 R 1,7 H 1 T 1 T 1 T 1 T 0,9 T 0,7 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,3

C3 R 1,5 MATI

Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan

39


(5)

Lanjutan lampiran 6

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

C1

Pa R 0,9 H 0,9 MATI

Pi R 2 H 1,2 T 0,7 T 0,7 MATI

C1 R 0,9 H 0,9 MATI

C2 H 0,7 H 0,8 T 0,5 T 0,4 T 0,4 T 0,4 T 0,4 T 0,3 T 0,3 T 0,2 SBH C3 R 0,8 H 0,8 T 0,9 T 0,9 T 0,8 T 0,8 T 0,6 T 0,5 T 0,4 T 0,2 SBH

C2

Pa R 1,3 MATI

Pi R 1,6 H 1,1 MATI

C1 R 1 H 0,8 MATI

C2 R 0,7 H 0,7 MATI

C3 R 0,7 R 0,7 T 0,1 T 0,1 T 0,1 T 0,1 SBH

C3

Pa putih diperut

Sirip punggung

geripis

MATI

Pi R 1,2 R 1,2 T 1 T 1 MATI

C1 R 1,3 H 1 MATI

C2 R 0,2 R 0,2 H 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,2 0,1 T 0,1 SBH C3 R 0,7 R 0,7 H 0,7 T 0,7 MATI

Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan


(6)

Perlakuan Tag H0 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10

K+1

Pa R 0,8 H 0,6 T 0,6 T 0,6 MATI

Pi R 1,5 T 1 cm T 1 cm T 1 T 0,9 T 0,8 T 0,7 T 0,6 T 0,4 T 0,2 SBH C1 Hiperemia

pada perut

Hiperemia

pada perut MATI

C2 Hiperemia total

Hiperemia

total MATI

C3 R 1,5 R 0,8. T 0,5 T 1 . T 0,5 MATI

K+2

Pa R 0,7 R 0,7 H 0,7 T 0,3 T 0,2 T 0,1 T 0,05 SBH

Pi R 1,3 R 0,9 R 0,5 T 0,3 T 0,3 T 0,2 T 0,2 T 0,1 SBH

C1 NO ekor

geripis

ekor geripis

ekor

geripis MATI

C2 R 0,6 H 0,5 T 0,5 T 0,5 T 0,5 MATI

C3 H H MATI

K+3

Pa NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO NO

Pi R 0,8 H 0,6 MATI

C1 NO R 1 R 1 MATI

C2 NO R 0,7 H 0,7 T 0,5 T 0,5 MATI

C3 R 1 H 1 cm T 0,8 T 0,8 T 0,8 MATI

41

 

Lanjutan lampiran 6

Keterangan:

R = ikan mengalami kelainan klinis berupa radang H = ikan mengalami kelainan klini berupa haemoragi T = ikan mengalami kelainan klinis berupa tukak NO = ikan tidak mengalami kelainan klinis SBH = ikan mengalami penyembuhan


Dokumen yang terkait

Penggunaan Kitosan Untuk Pencegahan Infeksi Aeromonas hydrophila Pada Ikan Lele Dumbo Clarias Sp.

0 11 11

Efektivitas Campuran Meniran Phyllanthus niruri dan Bawang Putih Allium sativum dalam Pakan untuk Pengendalian Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.

1 18 84

Potensi Jeruk Nipis Citrus aurantifolia untuk Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp.

0 28 78

Efektivitas ekstrak lidah buaya Aloe vera untuk pengobatan infeksi Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp. melalui pakan

1 8 67

Efektivitas campuran bubuk meniran Phyllanthu niruri dan bawang putih Allium sativum dalam pakan untuk pengobatan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp.

0 2 54

Efektivitas fitofarmaka dalam pakan untuk pencegahan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo Clarias sp.

1 9 58

Efektivitas Pengendalian Penyakit Bakterial pada Pembesaran Ikan Lele Clarias sp. dengan Pakan yang Mengandung Bawang Putih dan Meniran

3 27 76

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN MENIRAN (Phyllanthus niruri) SECARA SUNTIKAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI BAKTERI (Aeromonas hydrophila) PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) - repository perpustakaan

0 0 16

PENGARUH PEMBERIAN BAWANG PUTIH (Allium sativum) PADA PAKAN SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK MENINGKATKAN RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

0 0 15

PENGARUH PEMBERIAN BAWANG PUTIH (Allium sativum) PADA PAKAN SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK MENINGKATKAN RESPONS IMUN NON SPESIFIK IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) - repository perpustakaan

0 0 6