Kerangka Teori
3. Penghapusan Merek
Tentang penghapusan pendaftaran merek ini diatur dalam Pasal
61 sampai dengan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentnag Merek. Ada dua cara untuk penghapusan pendaftaran merek tersebut, yaitu :
a. Atas prakarsa Direktorat Jenderal HaKI
b. Atas prakarsa sendiri yaitu berdasarkan permintaan pemilik merek yang bersangkutan.
Untuk penghapusan pendaftran merek atas prakarsa sendiri undang-unang tidak menentukan persyaratannya. Tetapi jika dalam perjanjian lisensi ada suatu klausul yang secara tegas menyampingkan adanya persetujuan tersebut maka persetujuan semacam itu tidak perlu dimintakan sebagai syarat kelengkapan untuk penghapusan pendaftaran merek tersebut (OK Saidin, 2010 : 393).
Di samping itu pemerintah juga mengenakan biaya untuk pencatatan penghapusan pendaftaran merek tersebut, dan ini akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Pasal 75).
Penghapusan pendaftaran merek berdasarkan prakarsa Direktorat Jenderal HaKI dapat pula diajukkan oleh pihak ketiga. Pengajuan permintaan tersebut dilakukan dengan gugatan melalui Pengadilan Jakarta Pusat atau Pengadilan Niaga.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa, terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut tidak dapat diajukkan permohonan banding.
Apabila gugatan penghapusan pendaftaran merek tersebut diterima dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka, Direktorat Jenderal HaKI akan melaksanakan penghapusan merek Apabila gugatan penghapusan pendaftaran merek tersebut diterima dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka, Direktorat Jenderal HaKI akan melaksanakan penghapusan merek
Untuk semua penghapusan pendaftaran merek, dilakukan oleh Direktorat Jenderal HaKI dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek, untuk itu harus pula diberikan catatan tentang alasan dan tanggal penghapusan tersebut. Untuk selanjutnya diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya, dengan menyebutkan alasannya dan disertai dengan penegasan bahwa sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek maka Sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Penghapusan hanya dapat dilakukan apabila terdapat bukti yang cukup bahwa merek yang bersangkutan (OK Saidin, 2010 : 394) :
a. Tidak pakai (non use) berturut-turut selama 3 tahun atau lebih dalam perdagangan barang atau jasa terhitung sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir. Namun demikian apabila ada alasan yang kuat, mengapa merek itu tidak digunakan, Direktorat Jenderal HaKI dapat mempertimbangkan untuk tidak dilakukan penghapusan atas merek tersebut.
b. Dipakai untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau tidak sesuai dengan merek yang diatur.
Permintaan penghapusan pendaftaran merek dapat dilakukan seluruhnya atau sebagian jenis barang atau jasa yang termasuk dalam satu kelas permintaan penghapusan itu diajukkan kepada Direktorat Jenderal HaKI untuk kemudian dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
Permintaan penghapusan itu dapat juga terhadap merek yang Permintaan penghapusan itu dapat juga terhadap merek yang
Dengan penghapusan pendaftaran merek tersebut maka berakhirlah perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan (OK Saidin, 2010 : 395).
4. Pengalihan Hak Atas Merek
a. Macam-macam Pengalihan Hak Atas Merek
Hak atas merek merupakan hak khusus yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek terdaftar (Dwi Rezki Sri Astarini, 2009: 56). Karena itu, pihak lain tidak dapat menggunakan merek terdaftar tanpa izin pemiliknya. Pengalihan hak atas merek terdaftar merupakan suatu tindakan pemilik merek mula-mula untuk mengalihkan hak kepemilikannya kepada orang lain. Pasal
40 ayat (1) Undang-Undang Merek 2001 menyatakan hak atas merek terdaftar dapat di alihkan karena:
4) Perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Merek.
Pengalihan hak atas merek terdaftar wajib dimohonkan pencatatannya pada Ditjen Hak Kekayaan Intelektual dengan disertai dokumen yang mendukung. Jika pencatatan tidak dilakukan, pengalihan hak atas merek tidak berakibat hukum kepada pihak ketiga. Hal ini sesuai dengan prinsip kekuatan berlaku terhadap pihak ketiga pada umumnya karena pencatatan dalam suatu daftar umum (Sudargo Gautama, 1992: 6).
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengemukakan bahwa pengalihan hak atas merek terdaftar dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi atau lain- lainnya yang terkait dengan merek bersangkutan. Dalam Pasal ini menyirat kan bahwa goodwill atau nama baik mempunyai nilai tersendiri untuk dapat dialihkan, dan Pasal 42 Undang-Undang yang sama menyatakan bahwa Pencatatan pengalihan hak atas merek terdaftar hanya dapat dilakukan disertai pernyataan tertulis dari penerima pengalihan bahwa atas merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang atau jasa (Dwi Rezki Sri Astarini, 2009: 56).
b. Lisensi Merek
Merek memainkan fungsi yang bernilai untuk mengidentifikasi asal produk dan teknologi. Merek juga diyakini dapat membantu mempererat kesetiaan para pelanggan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa ingatan pelanggan sama efektifnya dengan menarik pelanggan baru (Kamil Idris, Jurnal Wipo: 18). Selain meningkatkan penjualan produk dan mempertahankan kesetiaan pelanggan, merek juga dapat digunakan untuk memperluas dan mengembangkan pasar modal melalui lisensi (Dwi Rezki Sri Astarini, 2009: 57).
Orang yang berminat menggunakan merek milik orang lain yang terdaftar harus terlebih dahulu mengadakan perjanjian lisensi dan mendaftarkannya ke Direktorat Merek.
Secara umum, dalam Black’s Law Dictionary, Lisensi diartikan sebagai yang dikutip dari buku Gunawan Widjaya “the permission by competent authority to do an act which, without such permission would be illegal, a trespass, a tort, or otherwise would not allowable” (Gunawan Widjaja, 2002: 15).
Hal ini mengandung arti bahwa lisensi merupakan bentuk hak untuk melakukan satu maupun serangkaian perbuatan yang diberikan oleh mereka yang berwenang dalam bentuk izin. Tanpa adanya izin, tindakan atau perbuatan tersebut menjadi terlarang, tidak sah dan melawan hukum. Seseorang memilih pemberian lisensi dalam upaya pengembangan usahanya disebabkan oleh factor-faktor tersebut (Gunawan Widjaja, 2002: 15):
1) Menambah sumber daya pengusaha pemberi lisensi (lisensor) secara tidak langsung. Dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada pada penerima lisensi (lisensee), sesungguhnya pemberian lisensi telah mengoptimalkan pengembangan usahanya;
2) Memungkinkan perluasan wilayah secara tidak langsung;
3) Memperluas pasar dari produk hingga dapat menjangkau pasar yang semula berada diluar pangsa pasar lisensor;
4) Mempercepat proses pengembangan usaha bagi industry- industri padat modal dengan menyerahkan sebagia proses melalui teknologi yang dilisensikan;
5) Penyebaran produk juga menjadi lebih mudah dan terfokus pada pasar, karena ada produk-produk tertentu yang akan lebih mudah dipasarkan jika dijual dalam bentuk paket dengan produk lainnya, baik karena sifatnya yang komplementer, suplementer atau pelengkap terhadap suatu produk yang sudah dikenal masyarakat;
6) Pihak lisensor dan lisensee dapat mengurangi tingkat kompetensi hingga pada suatu batas tertentu;
7) Pihak lisensor maupun lisensee dapat melakukan trade off (barter) teknologi. Ini berarti para pihak mempunyai kesempatan untuk mengurangi biaya yang diperlukan untuk memperoleh
8) Memberikan keuntungan dalam bentuk nama besar dan goodwill dan lisensor, sehingga pihak penerima lisensi tidak memerlukan biaya yang besar untuk melakukan promosi atau kegiatan usahanya.
9) Pemberian lisensi memungkinkan lisensor untuk sampai pada batas waktu tertentu melakukan control atas pengelolaan jalannya kegiatan usaha yang dilisensikan tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek pada Pasal 1 Butir 13 menyatakan bahwa:
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam waktu dan syarat tertentu.
Pemberian lisensi terhadap penggunaan merek yang dilisensikan bisa sebagian atau keseluruhan jenis barang dan jasa, dan jangka waktu berlakunya lisensi tidak diperbolehkan lebih lama dari jangka waktu berlakunya pendaftaran merek yang dilisensikan tersebut, sedangkan wilayah berlakunya perjanjian lisensi adalah seluruh Indonesia keceuali hal ini diperjanjikan secara tegas dalam perjanjian.
Perjanjian lisensi tidak boleh atau dilarang membuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya. Contohnya, apabila dalam perjanjian lisensi dimuat Perjanjian lisensi tidak boleh atau dilarang membuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya. Contohnya, apabila dalam perjanjian lisensi dimuat
Perjanjian lisensi tidak menyebabkan pemilik merek terdaftar kehilangan hak untuk menggunakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak lainnya untuk menggunakan merek terdaftar. Pada perjanjian lisensi juga dapat diperjanjikan bahwa penerima lisensi merek terdaftar bisa menberi lisensi lebih lanjut (sub lisensi) kepada pihak lain. Hal ini tercantum pada Pasal
45 Undang-Undang Merek Tahun 2001.
Undang-Undang Merek Tahun 2001 pun memberi perlindungan hukum kepada lisensee yang beritikad baik. Pasal 48 menjelaskan bahwa apabila merek dalam perjanjian lisensi dibatalkan karena sama pada pokoknya atau sama pada keseluruhannya, penerima lisensi tetap berhak menjalankan isi perjanjian lisensi sampai dengan berakhirnya perjanjian lisensi. Konsekuensinya lisensee tidak lagi memberikan royalty kepada lisensor , tetapi memberikan lisensi tersebut kepada pemilik merek yang sah.
Apabila lisensor sudah terlebih dahulu menerima royalty secara sekaligus dari lisensee lisensor tersebut wajib menyerahkan bagian daro royalty yang diterimanya kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian lisensi.
5. Konvensi Internasional Di Bidang Merek
a. Konvensi Paris
Secara keseluruhan konvensi Internasional di bidang merek dimulai pada tahun 1883 dengan ditanda tanganinya The Paris Secara keseluruhan konvensi Internasional di bidang merek dimulai pada tahun 1883 dengan ditanda tanganinya The Paris
Salah satu tujuan Konvensi Paris adalah untuk mencapai unifikasi dibidang Perundang-Undangan merek sedapat mungkin, dengan harapan agar tercipta satu macam hukum tentang merek atau cap dagang yang dapat mengatur soal-soal merek secara seragam di seluruh dunia. Ada 3 (tiga) hal penting yang diatur dalam konvensi Paris ini, yaitu national treatment, yang artinya bahwa setiap negara peserta Konvensi Paris bisa mengklaim Negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan sama dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan merek, priority rights , yaitu hak-hak prioritas yang diberikan kepada setiap warga negara peserta konvensi untuk mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pendaftaran mereknya dinegara peserta konvensi Paris, dan registration yang merupakan harmonisasi secara global sehubungan dengan pendaftaran merek bagi setiap peserta konvensi Paris.
b. Perjanjian Madrid
Perjanjian Internasional lainnya mengenai merek adalah Perjanjian Madrid (Madrid Agreement) tahun 1891 yang direvisi di Stockholm padatahun 1967. Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Perjanjian Madrid ditentukan bahwa Perjanjian Madrid berhubungan dengan perjanjian hak merek dagang melalui Perjanjian Internasional lainnya mengenai merek adalah Perjanjian Madrid (Madrid Agreement) tahun 1891 yang direvisi di Stockholm padatahun 1967. Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Perjanjian Madrid ditentukan bahwa Perjanjian Madrid berhubungan dengan perjanjian hak merek dagang melalui
c. TRIPs-WTO
Perjanjian mengenai pembentukan World Trade Organization (WTO) ditandatangani tanggal 15 April 1994 di Marrakesh sebagai hasil konkret perundingan putaran Uruguay yang dimulai pada tahun 1986. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sistem perdagangan Internasional yang lebih bebas dan adil dengan tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara berkembang. Salah satu topik yang dibahas dalam putaran Uruguay adalah TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects Of Intelectual Property Rights, Including Trade in Counterfiet Goods ) atau aspek dagang yang terkait dengan HKI (Normin Pakpahan, 1998, Vol.3), Sebagai salah satu bagian persetujuan pembentukan WTO, TRIPs telahmemicu perubahan yang sangat fenomenal dalam perkembangan sistem perlindungan HKI di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
standar-standar Internasional tertentu bagi penegakan yang bersifat perintah dan mengharuskan Negara anggota menyediakan perangkat kerja hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual, termasuk didalamnya merek. Setiap negara anggota memiliki kewajiban internasional untuk memasukkan TRIPs kedalam hukum nasional tentang hak kekayaanintelektual. Untuk standar-standar Internasional tertentu bagi penegakan yang bersifat perintah dan mengharuskan Negara anggota menyediakan perangkat kerja hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual, termasuk didalamnya merek. Setiap negara anggota memiliki kewajiban internasional untuk memasukkan TRIPs kedalam hukum nasional tentang hak kekayaanintelektual. Untuk
Secara keseluruhan, TRIPs telah mempengaruhi dan membantu terciptanya suatu kecenderungan yang umum ke arah penyempurnaan perundang-undangan merek. TRIPs berguna sebagai suatu kesempatan positif bagi suatu negara untuk menigkatkan pembangunan ekonomi dan nasional.