Faktor-Faktor Penyebab Penghapusan Merek Terdaftar Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

A. Faktor-Faktor Penyebab Penghapusan Merek Terdaftar Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Pengaturan mengenai Penghapusan Merek terdaftar yang berlaku sekarang diatur dalam Bab VIII mengenai Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek dari Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 untuk bagian Penghapusan. Sedangkan, bagian pembatalan mulai dari Pasal 68 sampai dengan Pasal 72. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, disebutkan pula 3 (tiga) pihak yang dapat menghapuskan merek.

Merek yang terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dapat dihapus (invalidation) dari Daftar Umum Merek. Menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, penghapusan pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI atau berdasarkan permohonan pemilik merek yang bersangkutan. Kemudian Pasal

63 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, menyatakan bahwa penghapusan pendaftaran Merek dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Jakarta Pusat atau Pengadilan Niaga dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, menyatakan bahwa penghapusan pendaftaran merek kolektif dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga. Dengan demikian, berdasarkan Pasal-pasal 61, 63, dan 67 ini, terdapat tiga cara penghapusan merek terdaftar, yaitu: pertama, atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI; kedua, oleh pemilik merek sendiri dan ketiga, adanya gugatan oleh pihak ketiga.

Direktorat Jenderal HKI atas prakarsanya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, dapat melakukan penghapusan pendaftaran merek terdaftar jika :

1. Merek tidak digunakan (non use) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau

Direktorat Jenderal HKI. Pemakaian terakhir adalah penggunaan merek tersebut pada produksi barang atau jasa yang diperdagangkan. Saat pemakaian terakhir tersebut dihitung dari tanggal terakhir pemakaian sekalipun setelah itu barang yang bersangkutan masih beredar di masyarakat, atau

2. Merek digunakan untuk jenis barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar. Ketidaksesuaian dalam penggunaan meliputi pula ketidaksesuaian dalam bentuk penulisan kata atau huruf atau ketidaksesuaian dalam penggunaan warna yang berbeda.

Ketentuan Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek memuat pengecualian terhadap tidak digunakannya merek selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, apabila disebabkan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Terdapatnya larangan impor;

2. Terdapatnya larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; dan

3. Terdapatnya larangan yang serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Namun, menurut pendapat penulis suatu merek dapat dihapuskan jika suatu merek tersebut melanggar asas hukum khusus. Asas hukum khusus merupakan asas hukum yang ada dalam bidang tertentu saja, maksudnya asas ini belum tentu dapat dicari dalam bidang hukum yang lain. Berikut akan dicari asas hukum khusus mengenai peniruan merek yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek :

1. Asas Iktikad Tidak Baik Adanya asas ini memiliki arti bahwa setiap pemohon pendaftaran merek harus mendaftarkan dengan dilandasai iktikad baik. Iktikad baik disini diartikan sebagai ketiadaan niat untuk meniru, membonceng, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya. Asas ini memang telah tampak tersirat secara gamblang pada ketentuan Pasal 4 dengan adanya keharusan pemilik merek untuk memiliki iktikad baik ketika mendaftarkan merek miliknya. Apabila pemohon dinilai tidak memiliki iktikad tidak baik maka mereknya tidak dapat didaftarkan dan menjadi penilai dalam hal ini merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Hukum dan HAM cq. Direktorat Jenderal HKI cq. Direktorat Merek.

Asas ini secara tidak langung mengatakan bahwa Direktorat Merek diberi kewenangan untuk menentukan apakah pemohon pendaftar merek mempunyai iktikad baik atau tidak. Apabila pemohon pendaftar merek tidak mempunyai iktikad baik maka merek yang dimohonkan pendaftarannya tidak dapat didaftarkan. Dengan demikian merek yang sudah terdaftar di dalam Daftar Umum Merek pada saat didaftarkan dinilai mempunyai iktikad baik oleh Direktorat Merek.

2. Asas Perlindungan Merek Terdaftar Bersumber dari kalimat dapat dilihat bahwa asas ini mengandung makna bahwa merek yang dapat perlindungan secara hukum adalah merek terdaftar. Hal ini sesuai dengan asas dalam pendaftaran merek yang digunakan di Indonesia yaitu asas konstitutif (first to file). Dalam hal peniruan merek hal ini berarti merek dapat perlindungan dari pihak lain apabila sudah terdaftar sebelumnya. Jika hal ini dikaitkan dengan pengertian merek, dapat dimaknai bahwa perlindungan hukum ini diberikan terbatas pada tanda yang berupa gambar, nama, kata, dan seterusnya yang didaftarkan. Dengan demikian berlaku sebaliknya, apabila suatu tanda tidak didaftarkan maka tidak dapat dimintakan

Perlu diperhatikan bahwa perlindungan merek terdaftar ini diberikan untuk barang dan/atau jasa dalam kategori barang dalam kelas yang sama. Menggunakan kalimat yang berbeda, apabila merek memiliki persamaan dengan merek yang telah terdaftar terlebih dahulu namun berada dalam kelas barang yang berbeda maka merek tersebut masih dimungkinkan untuk didaftarkan.

3. Asas Persamaan dan Ketidaksamaan Berbicara mengenai asas persamaan berarti berbicara mengenai sesuatu yang tidak dikehendaki berkaitan dengan merek. Sebab salah satu unsur dari merek adalah adanya daya pembeda. Artinya merek harus diharuskan memiliki ketidaksamaan dengan merek yang lain. Hal yang demikian adalah kondisi ideal yang diharapkan oleh pembentuk Undang- Undang. Namun demikian hal yang ideal ini pada kenyataannya tidak terjadi sehingga muncullah peniruan merek. Berbicara mengenai peniruan merek berarti berbicara mengenai usaha untuk menyamar agar seolah-olah sama dengan merek lain yang sukses dalam pemasaran. Usaha menyamar merupakan usaha agar diri terlihat sama dengan lingkungannya, dalam hal ini dengan merek lain. Pengertian yang demikian menurut Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentan Merek digolongkan dalam memiliki persamaan pada pokoknya. Pengertian pada pokoknya menurut Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah ditulis di atas, menjadi catatan mengenai persamaan pada pokoknya dikaitkan dengan peniruan merek dijelaskan sebagai berikut. Peniruan merek merupakan usaha menyamar agar sama dengan lingkungannya, dengan demikian peniruan merek selalu berlangsung dalam kategori barang dan/atau jasa yang sama. Sementara pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek hanya memungkinkan peniruan dimasukkan dalam pengertian persamaan pada pokoknya. Hal ini mengandung akibat bahwa peniruan merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek jika diterapkan pada merek yang telah terdaftar terlebih 3. Asas Persamaan dan Ketidaksamaan Berbicara mengenai asas persamaan berarti berbicara mengenai sesuatu yang tidak dikehendaki berkaitan dengan merek. Sebab salah satu unsur dari merek adalah adanya daya pembeda. Artinya merek harus diharuskan memiliki ketidaksamaan dengan merek yang lain. Hal yang demikian adalah kondisi ideal yang diharapkan oleh pembentuk Undang- Undang. Namun demikian hal yang ideal ini pada kenyataannya tidak terjadi sehingga muncullah peniruan merek. Berbicara mengenai peniruan merek berarti berbicara mengenai usaha untuk menyamar agar seolah-olah sama dengan merek lain yang sukses dalam pemasaran. Usaha menyamar merupakan usaha agar diri terlihat sama dengan lingkungannya, dalam hal ini dengan merek lain. Pengertian yang demikian menurut Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentan Merek digolongkan dalam memiliki persamaan pada pokoknya. Pengertian pada pokoknya menurut Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah ditulis di atas, menjadi catatan mengenai persamaan pada pokoknya dikaitkan dengan peniruan merek dijelaskan sebagai berikut. Peniruan merek merupakan usaha menyamar agar sama dengan lingkungannya, dengan demikian peniruan merek selalu berlangsung dalam kategori barang dan/atau jasa yang sama. Sementara pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek hanya memungkinkan peniruan dimasukkan dalam pengertian persamaan pada pokoknya. Hal ini mengandung akibat bahwa peniruan merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek jika diterapkan pada merek yang telah terdaftar terlebih

Asas persamaan dan ketidaksamaan juga mengandung arti bahwa persamaan merek dimungkinkan diterapkan pada merek barang dan/atau jasa yang tidak terkenal. Selain itu juga dimungkin untuk diterapkan pada merek barang dan/atau jasa yang termasuk merek terkenal namun tidak termasuk dalam kategori barang sejenis atau dalam kelas barang yang sama. Hal ini dimungkinkan sebab belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur, dengan demikian terjadi kekosongan hukum sehingga apabila terjadi masalah terkait dalam hal ini hakim harus mengisi kekosongan tersebut.

Pemilik merek terdaftar telah mengusahakan mereknya eksis dalam masyarakat melalui berbagai cara dengan investasi dan strategi tertentu. Oleh karena itu pihak tidak mempunyai andil dalam usaha itu tidak berhak untuk menikmati hasil yang didapatkan. Hal ini juga termasuk dalam hal peniruan merek, merek yang sukses dalam pemasaran merupakan tindakan ingin ikut menikmati hasil dalam tuaian dari sesuatu yang ditabur. Menggunakan kacamata Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, tindakan yang demikian termasuk dikategorikan dalam tindakannya yang memiliki iktikad tidak baik.

Penghapusan pendaftaran merek dilakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI dengan tidak mengurangi kesempatan bagi pemilik merek yang dihapuskan guna mempertahankan haknya.

Pemilik merek dapat mengajukan keberatan atas keputusan penghapusan pendaftaran merek kepada Pengadilan Niaga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Pasal 63 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 63 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI juga dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Keberatan terhadap keputusan penghapusan merek terdaftar ini dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga.

Pemilik atau kuasanya dapat pula mengajukan permohonan penghapusan pendaftaran merek secara tertulis, baik sebagian atau seluruh jenis barang dan/atau jasa kepada Direktorat Jenderal HKI. Direktorat Jenderal HKI akan mencatat penghapusan pendaftaran merek dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

Tetapi untuk penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa sendiri Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, tidak menentukan persyaratannya. Tetapi jika dalam perjanjian lisensi ada suatu klausul yang secara tegas menyampingkan adanya persetujuan tersebut maka persetujuan semacam itu tidak perlu dimintakan sebagai syarat kelengkapan untuk penghapusan pendaftaran merek tersebut.

Di samping itu pemerintah juga mengenakan biaya untuk pencatatan penghapusan pendaftaran merek tersebut, dan ini akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 75).

Bagaimana cara penghapusan pendaftaran merek, Pasal 65 Undang- Bagaimana cara penghapusan pendaftaran merek, Pasal 65 Undang-

Mengenai penghapusan pendaftaran merek kolektif, Pasal 66 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001, menyatakan bahwa Direktorat Jenderal HKI dapat menghapus pendaftaran merek kolektif atas dasar:

1. Permohonan sendiri dari pemilik merek kolektif dengan persetujuan tertulis semua pemakai merek kolektif;

2. Bukti yang cukup bahwa merek kolektif tersebut tidak dipakai selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak tanggal pendaftarannya atau pemakaian terakhir kecuali apabila alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal HKI;

3. Bukti yang cukup bahwa merek kolektif digunakan untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya; atau

4. Bukti yang cukup bahwa merek kolektif tersebut tidak digunakan sesuai dengan peraturan penggunaan merek kolektif.

Berdasarkan salah satu alasan tersebut Direktorat Jenderal HaKI dapat menghapus pendaftaran merek kolektif. Penghapusannya juga dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Di samping itu, pihak ketiga juga dalam mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga guna menghapus pendaftaran merek kolektif berdasarkan salah satu alasan di atas.

Berikut contoh kasus-kasus yang berkaitan dengan penghapusan pendaftaran merek kepada Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut:

3. Kasus Penghapusan Merek yang Tidak Digunakan 3 (Tiga) Tahun Berturut-Turut.

a. Kasus Penghapusan Pendaftaran Merek SINKO Antara Sinko Kogyo Kabushiki Kaisha (Penggugat) Melawan Pemerintah Republik Indonesia Cq. Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Cq. Direktorat Jenderal Hak

Kekayaan Intelektual Cq. Direktorat Merek (Tergugat) (Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 03/Merek/PN.Niaga.JKT.PST. tanggal 11 Februari 2002 Jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 K/N/Haki/2002 tanggal

5 Juni 2002 Jo Putusan Peninjauan Kembali No. 02 PK/N/Haki/2002 tanggal 19 Februari 2003). Dalam kasus gugatan penghapusan merek terdaftar Sinko, Sinko Kogyo Kabushiki Kaisha atau Sinko Kogyo Co., Ltd. adalah sebuah perseroan yang didirikan menurut Hukum Jepang yang memproduksi produk Pendingin Udara (Air Conditioner/AC) dengan merek dagang Sinko. Sinko dapat dikatakan sebagai merek terkenal karena selain terdaftar di Jepang, juga telah terdaftar di Australia, Kamboja, Cina, Korea, Malaysia, Taiwan, Thailand, dan Vietnam (lihat putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 03/Merek/PN/Niaga.JKT.PST.).

Di Indonesia, Sinko terdaftar pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, cq. Direktorat Merek dengan No. 317184 dan mendapat perlindungan selama 10 tahun dalam jangka waktu sampai dengan tanggal 24 November 2002. Namun, karena alasann adanya informasi tidak dipergunakannya merek dagang Sinko di Indonesia tanggal 29 Agustus 2001 merek dagang Sinko dihapus dan dicoret dari Di Indonesia, Sinko terdaftar pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, cq. Direktorat Merek dengan No. 317184 dan mendapat perlindungan selama 10 tahun dalam jangka waktu sampai dengan tanggal 24 November 2002. Namun, karena alasann adanya informasi tidak dipergunakannya merek dagang Sinko di Indonesia tanggal 29 Agustus 2001 merek dagang Sinko dihapus dan dicoret dari

Pihak Sinko amat berkeberatan dan dirugikan dengan penghapusan yang dilakukan oleh Direktorat Merek karena pihak Sinko masih menggunakan merek tersebut untuk perdagangan. Atas dasar itulah, pihak Sinko mengajukan gugatan pembatalan penghapusan merek ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada petitumnya antara lain mengabulkan gugatan Penggugat yaitu pihak Sinko dan menghukum Tergugat pihak Direktorat Merek untuk mendaftarkan kembali merek dagang Sinko dalam Daftar Umum Merek.

Dalam jawabannya, Direktorat Merek sebagai Tergugat mendalihkan bahwa pertimbangan yang dilakukan oleh Tergugat sampai akhirnya merek tersebut dihapuskan adalah sebagai berikut:

1) Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahuh 2001 tentang Merek, menyebutkan:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.

Dari pasal ini tersirat bahwa selain mengutamakan kepentingan umum, juga mempertimbangkan sisi perekonomian bangsa. Dengan demikian, walaupun secara hukum suatu merek telah mendapat perlindungan hukum, tetapi tidak dapat meninggalkan nilai ekonomisnya begitu saja dan harus digunakan dalam kegiatan produksi dan perdagangan.

2) Tergugat telah melakukan survey persurat terlebih dahulu dengan

Perdagangan Kota Jakarta Timur, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika serta ke pemilik merek terdaftar itu sendiri.

3) Tergugat memberi waktu kepada pihak Sinko untuk memperlihatkan produk barang merek Sinko yang beredar di pasaran, tetapi pihak Sinko hanya dapat memperlihatkan barang bukti berupa surat tanpa dapat menghadirkan barang bukti berupa Air Conditioner dengan merek Sinko.

4) Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Tergugat sebagai instansi yang melakukan pendaftaran merek, menghapus merek Sinko dari Daftar Umum Merek.

Dalam Perkara ini, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan Permohonan Penggugat yaitu pihak Sinko dan menghukum Tergugat untuk mendaftarkan kembali merek dagang Sinko dalam Daftar Umum Merek. Alasan yang dikemukakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara ringkas adalah sebagai berikut:

1) Setelah meneliti data-data yang diminta oleh Tergugat dengan instansi terkait, ternyata tidak menyangkut penggunaan merek Sinko oleh Penggugat dalam perdagangan barang, tetapi lebih menitikberatkan pada izin usaha Penggugat;

2) Memang benar Tergugat secara aktif mencari bukti-bukti sebelum menghapuskan merek Sinko, tetapi Tergugat seharusnya mendengar dan memberi kesempatan kepada Penggugat untuk membela diri;

3) Dalam kurun waktu antara tahun 1966 sampai dengan tahun 2001 Penggugat masih tetap memasarkan barang-barang produksinya di Indonesia, hal ini juga didukung oleh produk AC Sentral sebagai

4) Terbukti bahwa Penggugat masih menggunakan merek Sinko untuk produknya dalam perdagangan di Indonesia dan juga terbukti bahwa Penggugat masih memproduksi barang-barang berupa AC dengan merek Sinko;

5) Terungkapnya alasan non use yang didalilkan Tergugat disebabkan Penggugat telah memberi lisensi kepada perusahaan di Singapura sebagai pemegang hak tunggal untuk memproduksi dan menjual unit-unit produk merek Sinko untuk wilayah ASEAN, dan Singapura tersebut menyepakati pendirian PT. Sinko Industries Indonesia dengan perusahaan di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Hal ini berarti tindakan Perusahaan Singapura untuk memohon kepada Tergugat atas investigasi non use merek Penggugat dilandasi keinginan yang lebih baik.

Pandangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga itu merupakan hal yang logis. Penggugat juga dapat meyakinkan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta bahwa Penggugat masih memasarkan barang-barang produksinya dengan menggunakan merek Sinko berdasarkan transaksi yang dilakukan oleh Penggugat dan konsumennya, serta Penggugat juga berhasil memperlihatkan barang bukti berupa AC dan suku cadangnya.

Alasan Tergugat yang menyatakan bahwa pendaftaran merek yang sifatnya hanya untuk didaftar tanpa pernah dipergunakan dalam kegiatan produksi dan perdagangan, memang dapat menghalangi iklim tumbuhnya perekonomian bangsa dan secara nyata akan berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia memang tepat. Namun, dalam menghapuskan pendaftaran merek, Direktorat Merek seharusnya memberi kesempatan kepada pemilik merek yang mereknya akan dihapus untuk melakukan hak jawabnya.

Dari fakta di persidangan terungkap bahwa Penggugat tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk melakukan hak jawabnya.

Penggugat juga diketahui mempunyai perjanjian lisensi dengan perusahaan di Singapura sebagai penerima lisensi untuk memproduksi dan menjual unit-unit merek Sinko untuk wilayah ASEAN, yang kemudian oleh perusahaan di Singapura di adakan perjanjian lisensi lebih lanjut kepada perusahaan di Indonesia yaitu PT. Sinko Industries. Walaupun penerima lisensi dapat memberi lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga yang dalam hal ini PT. Sinko Industries Indonesia berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, tetapi hal tersebut harus diperjanjikan terlebih dahulu antara lisensor dan lisensee .

Karena itu, adanya informasi dari pihak ketiga yang memohon Tergugat untuk melakukan investigasi non use merek Penggugat, dilandasi oleh suatu keinginan dari pihak ketiga untuk menggunakan merek Sinko yang telah terdaftar atas nama Penggugat sebagai barang- barang produksi PT. Sinko Industries Indonesia. Keinginan ini tentu saja didasarkan atas iktikad yang tidak baik. Undang-Undang Merek sendiri tidak melindungi seseorang yang tidak berhak atau yang beritikad tidak baik dalam pendaftaran merek (Imam Sjahputra Dkk, 1997 : 27). Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 dinyatakan bahwa:

“Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukkan oleh pemohon yang beritikad tidak baik”.

Pihak Tergugat kemudian mengajukkan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 21 Februari 2002, tetapi memori kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 4 Maret 2002 sehingga permohonan Pihak Tergugat kemudian mengajukkan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 21 Februari 2002, tetapi memori kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 4 Maret 2002 sehingga permohonan

“Pemohon kasasi telah harus menyampaikan memori kasasi kepada Panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”.

Telatnya pengajuan memori kasasi oleh pemohon kasasi bisa dikatakan bahwa permohonan kasasi yang dimohonkan harus disertai dengan dimasukkannya memori kasasi kepada Panitera paling lambat 7 hari sejak permohonan kasasi didaftarkan. Hal ini memperlihatkan bahwa Kantor Direktorat Merekpun bisa lalai dalam menerapkan undang-undang dari merek itu sendiri.

Atas putusan kasasi Mahkamah Agung, Direktorat Merek mengajukkan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Alasan-alasan yang diajukan oleh Direktorat Merek selaku pemohon Peninjauan Kembali pada pokoknya adalah (Lihat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 PK/N/HaKI/2002) :

1) Majelis Hakim tingkat kasasi telah salah menerapkan hukum yang diberlakukan untuk perhitungan tenggang waktu mengajukan memori kasasi dengan berpedoman pada Pasal 83 ayat (3) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001, karena apabila dicermati, ketentuan Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 sebenarnya tidak mengatur mengenai penghapusan merek terdaftar, tetapi hanya mengatur mengenai gugatan pembatalan merek, sehingga mengenai tata cara pengajuan kasasi dan memori kasasi dalam hal keberatan terhadap penghapusan merek tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;

2) Terdapat kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata, karena majelis hakim tingkat kasasi tidak memahami ketentuan hukum tentang penghapusan merek.

Majelis hakim tingkat kasasi tidak dapat membenarkan keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi karena tidak terdapatnya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari majelis hakim tingkat kasasi. Sehingga, permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Direktorat Merek tidak beralasan dan harus ditolak.

Penulis tidak sependapat dengan keputusan putusan Peninjauan Kembali yang menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali yaitu pihak Direktorat Merek, karena alasan-alasan yang dikemukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali sungguh sangat jelas tersirat bahwa penerapan Pasal 83 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tentang perhitungan tenggang waktu mengajukan memori kasasi tidak tepat diterapkan pada kasus ini yang merupakan kasus penggugatan pembatalan penghapusan merek seperti yang penulis akan kemukakan kembali sebagai berikut:

Pasal 83 ayat (3), berbunyi: “Pemohon kasasi sudah harus menyampaikan memori kasasi

kepada panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Kembali pada Pasal 83 ayat (1) seperti bunyi perintah ayat (3), berbunyi:

“Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal “Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal

Kembali pada Pasal 82 mengikuti bunyi Pasal 83 ayat (1), berbunyi:

“Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (8) hanya dapat diajukan kasasi”.

Sedangkan bunyi Pasal 80 ayat (8) seperti bunyi Pasal 82, berbunyi:

“Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung”.

Jelas kenapa Penulis tidak sependapat dengan putusan Peninjauan Kembali No. 02 PK/N/Haki/2002 yang menolak alasan Pemohon Peninjauan Kembali yang beranggapan Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah khilaf dan melakukan kekeliruan yang nyata, sehingga Majelis Hakim Tingkat Kasasi sungguh tidak cerdas dalam pemahamam ketentuan tentang penghapusan merek.

Untuk kedepan alangkah baiknya jika didalam Undang-Undang Merek terdapat ketentuan yang jelas mengenai jangka waktu hak jawab yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar yang mereknya dicurigai tidak digunakan atau non use, agar sedapat mungkin meminimalisasi adanya gugatan pembatalan penghapusan merek terdaftar yang dilakukan oleh Direktorat Merek.

b. Kasus Penghapusan Pendaftaran Merek DAVIDOFF Antara Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH (Penggugat) Melawan NV.

Tanggal 28 Januari 2003 Jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 012 K/N/HaKI/2003 Tanggal 13 Juni 2003 Jo Putusan Peninjauan Kembali No. 012 PK/N/HaKI/2003 Tanggal 22 Desember 2003).

Dalam kasus gugatan penghapusan merek Davidoff, Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH, adalah sebuah perseroan yang didirikan menurut Undang-undang Negara Jerman merupakan pemegang lisensi merek Davidoff yang memproduksi produk rokok. Davidoff dapat dikatakan sebagai merek terkenal dan sukses di Asia (Lihat Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 54/Merek/2003/PN.Niaga.JKT.PST.).

Di Indonesia, Davidoff telah mengajukan permintaan pendaftaran merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektua, cq. Direktorat Merek dengan No. Agenda DOO 2002 13092, 13230, No. Agenda DOO 2002 13091 13229 dan No. Agenda DOO 2002 20578 20803, semuanya untuk kelas barang 34. Namun, karena alasan adanya informasi telah dipergunakannya merek dagang Davidoff oleh Tergugat di Indonesia menjadi penghalang untuk pelaksanaan perjanjian lisensi untuk menggunakan merek Davidoff dan kerja sama penanaman modal/investasi sebagai tujuan utama dari Penggugat untuk memperluas bidang usahanya di Indonesia setelah sukses di Asia.

Pihak Tergugat diketahui tidak menggunakan merek Davidoff selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan minimal sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir. Bahwa, apabila merek tidak digunakan dalam perdagangan barang dan/atau jasa, maka merek terdaftar tersebut dapat dihapuskan dari Daftar Umum Merek atar Prakarsa Direktorat Jenderal atau berdasarkan gugatan pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) huruf

a Jo. Pasal 63 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Pihak Penggugat dalam hal ini bertindak sebagai pihak ketiga yang memiliki iktikad baik dan kepentingan untuk menggunakan merek Davidoff tersebut yaitu sebagai pemegang lisensi sebagaimana termaksud dalam uraian diatas, dan karenanya berhak untuk mengajukan gugatan penghapusan pendaftaran merek berdasarkan Pasal 63 Jo Pasal 61 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 terhadap merek Davidoff dalam kelas barang 34 di bawah Daftar No. 276068, 304906, 304907 atas nama Tergugat yang telah tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

Bahwa Penggugat telah meminta bantuan pihak ketiga (perusahaan NFO Indonesia) sebagai pihak yang netral untuk melakukan penelitian pasar (market survey) diberbagai kota besar di Indonesia untuk memeriksa apakah merek Davidoff untuk jenis barang yang termasuk dalam kelas 34 atas nama Tergugat beredar di Pasaran. NFO Indonesia pun mempunyai hasil dari market survey yang mereka lakukan menunjukan bahwa tidak diketemukannya produk-produk rokok dengan merek Davidoff yang diproduksi oleh Tergugat, namun yang ditemukan adalah merek Davidoff produksi dari Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH/Penggugat.

Selain melakukan market survey, NFO Indonesia juga melakukan penelitian grosir (whosaler survey) di 10 (sepuluh) toko- toko grosir di Jakarta dan 10 (sepulu) toko-toko grosir di Medan untuk memeriksa apakah ada rokok-rokok dengan merek Davidoff yang diproduksi oleh Tergugat, namun yang didapat selalu produksi dari Penggugat.

Dalam hal ini NFO Indonesia hanyalah sebagai pihak yang netral guna untuk keperluan mendapatkan informasi yang dapat dipercaya bahwa Tergugat telah tidak menggunakan dan/atau menjual produk rokok-rokok dengan merek Davidoff setidak-tidaknya selama 3

(tiga) tahun berturut-turut dala perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

Selain melakukan market survey dan whosaler survey yang dilakukan oleh NFO Indonesia, Penggugat juga melakukan penyelidikan (investigation) melalui Mainguard Security Service (S) Pte. Ltd., suatu perusahaan yang berpengalaman untuk melakukan penyelidikan di Pematang Siantar yang merupakan kedudukan hukum dari Tergugat. Penyelidikan tersebut menghasilkan Tergugat tidak menggunakan merek Davidoff untuk barang jenis rokok-rokok.

AC Nielsen, suatu perusahaan agensi di bidang penelitian pasar (market survey) yang dikenal secara internasional pun dikerahkan untuk melakukan audit menyatakan bahwa di indonesia dari tahun 1999-2001 tidak ditemukan produk-produk rokok dengan merek Davidoff dipasaran yang diproduksi oleh Tergugat.

Bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh semua pihak ketiga sebagai pihak netral menghasilkan kesimpulan bahwa merek Davidoff dan variasinya atas nama Tergugat tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.

Di samping itu juga Penggugat mencari informasi di Kantor Bea & Cukai mengenai pembelian pita cukai/bandrol, didapatkan informasi bahwa meskipun telah membayar pita cukai belum dapat dipastikan bahwa perusahaan memproduksi barang-barang tersebut. Pembayaran pita cukai hanyalah pembayaran pajak ke Kantor Bea & Cukai dan bukan jaminan perusahaan memproduksi barang-barang dan/atau menggunakan merek tersebut.

Dalam jawabannya, NV. Sumatra Tobacco Trading Company sebagai Tergugat mengajukan Eksepsi dan Rekonpensi untuk mempertahankan Hak Atas Merek Davidoff yang dia miliki. Dalam Eksepsinya Tergugat berdalih:

1) Bahwa penggugat mengajukan gugatan ini dalam kedudukannya selaku pemegang lisensi (licensee) dari Davidoff & Cie S.A. selaku pemberi lisensi (licensor);

2) Bahwa menurut Pasal 43 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, perjanjian lisensinya lainnya dapat diberikan oleh pemilik merek yang terdaftar dan baru mengikat pihak ketiga setelah dicatat pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual;

3) Bahwa Davidoff & Cie S.A. tidak memiliki pendaftaran merek Davidoff di Indonesia dan peraturan pelaksanaan mengenai pencatatan perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud dalam pasal

49 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 belum dikeluarkan, sehingga dapat dipastikan perjanjian lisensi antara Davidoff & Cie S.A. dengan Penggugat belum dicatat pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual;

4) Bahwa dengan demikian, maka yang mempunyai hak penggugat (vorderingsrecht) dalam perkara ini adalah Davidoff dan Cie S.A.

Sedangkan dalam Rekonpensi pihak Tergugat menggugat:

1) Tergugat merupakan pemilik atas merek dagang Davidoff yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di bawah No. 276068 (perpanjangan dari No. 146541), 304906 (perpanjangan dari 180556) dan 304907 (perpanjangan dari 174130) untuk jenis barang rokok yang telah dan masih digunakan dalam perdagangan di Indonesia;

2) Bahwa Davidoff & Cie S.A./Zino Davidoff S.A. selaku licensor dari Penggugat telah mengajukaan gugatan pembatalan atas merek- merek tersebut sebanyak 3 (tiga) kali ke Penagdilan Niaga Jakarta yang semuanya telah memperoleh putusan Mahkamah Agung;

3) Tergugat berhak menuntut agar pemakaian merek Davidoff dinyatakan secara tegas dalam amar putusan Pengadilan dan Penggugat serta licensornya dinyatakan beritikad buruk.

Dalam perkara ini, putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 54/Merek/2002/PN.Niaga.JKT.PST. tanggal

28 Januari 2002, menolak gugatan Penggugat dalam konpensi sedangkan gugatan dalam rekonpensi dinyatakan tidak dapat diterima.

Pihak Penggugat kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga No. 54/Merek/2002/PN.Niaga.JKT.PST. tanggal 28 Januari 2002.

Atas putusan kasasi Mahkamah Agung, pihak NV. Sumatra Tobacco Trading Company mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Alasan-alasan yang diajukan oleh pihak Pemohon Peninjauan Kembali pada pokoknya adalah (Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 12 K/N/HaKI/2003):

1) Majelis hakim tingkat kasasi telah membatalkan putusan judex facti dan menyatakan judex facti salah menerapkan hukum, namun tanpa menunjuk dimana letak kesalahan penerapan hukumnya. Berpedoman pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana sudah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahhun 1985 tentang Mahkamah Agung, karena telah bertindak sebagai judex facti dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo, yakni memeriksan dan menilai surat-surat bukti yang menurut hukum merupakan wewenang judex facti;

2) Majelis hakim tingkat kasasi telah mengambil alih pertimbangan 2) Majelis hakim tingkat kasasi telah mengambil alih pertimbangan

a) Menurut Pasal 43 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2001 tentang Merek, suatu perjanjian lisensi hanya dapat diberikan oleh pemilik merek yang terdaftar dan baru mengikat pihak ketiga;

b) Pihak Davidoff & Cie S.A. bukan pemilik merek Davidoff yang terdaftar di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan mengenai perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud Pasal 49 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek belum dikeluarkan;

c) Pihak yang mempunyai hak menggugat (voorderingsrecht) dalam perkara ini adalah Davidoff & Cie. S.A. sendiri selaku pihak yang mengklaim kepemilikan merek-merek yang digugat;

d) Pihak Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH tidak mempunyai hak menggugat karena kedudukannya selaku pemegang lisensi belum dicatat pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan keberatan yang diajukan oleh pemohon Peninjauan Kembali karena tidak terdapatnya kesalahan atau kekhilafan yang nyata dari majelis hakim tingkat kasasi. Sehingga, permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak NV. Sumatra Tobacco Trading Company tidak beralasan dan harus ditolak.

Penulis tidak sependapat dengan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali, karena alasan-alasan

sangat jelas tersirat bahwa pihak Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH selaku pemegang lisensi dari pihak Davidoff & Cie S.A. yang tidak memiliki pendaftaran merek Davidoff di Indonesia dan peraturan mengenai peraturan pelaksanaan pencatatan perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 belum dikeluarkan, sehingga dapat dikatakan perjanjian lisensi antara Davidoff & Cie S.A. dengan Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH belum tercantum di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Dengan demikian, maka yang mempunyai hak Penggugat dalan perkara ini adalah Davidoff & Cie S.A. selaku pihak yang ingin mengklaim kepemilikan merek Davidoff yang akan digugat.

Pada Pasal 43 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2001 tentang Merek, perjanjian lisensinya dapat diberikan oleh pemilik merek yang terdaftar dan baru mengikat pihak ketiga setelah dicatat pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Sedangkan, pihak Davidoff & Cie S.A. baru mengajukan pendaftaran yang belum melalui pemeriksaan subtantif.

Alangkah baiknya di aturan lisensi pada undang-undang merek diperbaiki untuk undang-undang merek selanjutnya, bahwa pihak ketiga apakah harus diatur di undang-undang atau cukup perjanjian antar licensee dengan licensor saja agar jelas pihak mana yang berhak melakukan gugatan sebagai pihak ketiga.

Walaupun penulis mengharapkan adanya perbaikan pada aturan lisensi untuk materi Undang-Undang Merek selanjutnya, tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 tentang tidak mengatur aturan tentang

mengerti aturan hukum saja masih melakukan pendaftaran terhadap suatu merek walaupun merek tersebut belum sepenuhnya terdaftar didalam Daftar Umum Merek. Menurut penulis, pihak NV. Sumatra Tobacco Trading Company merupakan pihak yang mengerti hukum tetapi mereka memang sengaja mencari celah kesalahan pada aturan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek untuk melakukan suatu kecurangan untuk menyerobot ketenaran merek Davidoff milik Davidoff & Cie S.A. yang sudah dilisensikan pada pihak Remtsma Cigarettenfabriken GmbH walaupun belum dilakukan pendaftaran dan pencatatan atas lisensi merek di Direktorat Merek Direktorat Jenderal HKI, karena undang-undang yang sekarang ini hanya mengintruksikan lisensi hanya dapat dilakukan pencatatan pada pemilik merek yang sudah terdaftar.

4. Kasus Penghapusan Merek yang Tidak Sesuai dengan Jenis Barang atau Jasa yang Dimohonkan Pendaftarannya. Kasus Merek Top 1 + Lukisan Melawan Merek Megatop + 1 + New

Formula (Putusan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 02/Merek/2003/PN.Niaga.JKT.PST. tanggal 24 Maret 2003 Jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16 K/N/HaKI/2003 tanggal 1 September 2003 Jo Putusan Peninjauan Kembali No. 14 PK/N/HaKI/2003 tanggal 6 Januari 2004).

Kasus ini berawal dari PT. Topindo Atlas Asia sebagai pemilik merek TOP 1 dan lukisannya yang telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan Nomor 504089 tertanggal 4 April 2002 untuk jenis barang minyak pelumas untuk motor yang masuk dalam kelas 4. Kemudian diketahui pula bahwa telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, merek kata MEGATOP yang terdaftar dengan Nomor 411000 Kasus ini berawal dari PT. Topindo Atlas Asia sebagai pemilik merek TOP 1 dan lukisannya yang telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan Nomor 504089 tertanggal 4 April 2002 untuk jenis barang minyak pelumas untuk motor yang masuk dalam kelas 4. Kemudian diketahui pula bahwa telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, merek kata MEGATOP yang terdaftar dengan Nomor 411000

Berdasarkan data-data hasil monitoring dipasaran yang diperoleh pihak PT. Topindo Atlas, diketemukan fakta bahwa PT. Lumasindo Perkasa yang hanya mendaftarkan mereknya dengan kata MEGATOP dengan tulisan kata MEGATOP dalam elips, 1 kata New Formula dalam angka 1 dan lukisan serta menggunakan unsure warna merah dan kuning yang hampir sama dengan merek yang didaftarkan oleh TOP 1.

Dengan beredarnya produk oli merek TOP 1 dan MEGATOP yang serupa di pasaran, telah menimbulkan persepsi yang keliru di kalangan konsumen yang beranggapan bahwa oli merek MEGATOP adalah produk TOP 1. Hal ini merupakan upaya pendomplengan merek yang dilakukan PT. Lumasindo Perkasa terhadap merek milik PT. Topindo Atlas. Atas dasar itulah, PT. Topindo Atlas menggugat penghapusan merek MEGATOP yang dalam kegiatan produksi barangnya menambahkan kata

1 dalam elips serta menggunakan unsure merah dan kuning.

Atas dasar itulah PT. Topindo Atlas selaku Penggugat menggugat PT. Lumasindo Perkasa selaku Tergugat untuk menghapuskan pendaftaran merek MEGATOP yang tidak sesuai dengan yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Hal ini sesuai dengan Pasal 61 ayat (2) huruf b tentang penghapusan pendaftaran merek yang dapat dilakukan apabila merek tersebut digunakan untuk jenis barang yang tidak sesuai dengan jenis barang yang dimohonkan pendaftarannya. Penggugat juga menggugat Direktorat Merek sebagai Turut Tergugat karena Direktorat Merek sebagai instansi yang melaksanakan pendaftaran merek yang dapat menghapus merek dari Daftar Umum Merek.

Dalam jawabannya, Tergugat menyatakan bahwa:

1) Logo angka satu berikut kata MEGATOP mempunyai tujuan sebagai tanda kualitas produk juga telah dilindungi secara hukum sebagai logo seni dalam hak cipta;

2) Tergugat membedakan antara unsur merek dan mana yang menjadi kemasan dan unsur seni logo, dan menyatakan bahwa Penggugat mencampuradukkan antara merek dan kemasan.

Pertimbangan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta dalam memutus kasus ini adalah meskipun gugatan yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual dapat digabungkan dalam satu gugatan, tetapi dalam perkara ini selain tidak dituntut dalam gugatan juga didasarkan atas Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Pengadilan Niaga baru berwenang mengadili Hak Cipta pada bulan Juli 2003 (vide Pasal 78 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002). Berdasarkan pertimbangan majelis hakim diatas, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan yang diajukan oleh Penggugat.

Penggugat yang tidak puas dengan keputusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Oleh, Mahkamah Agung, kasasi Penggugat dikabulkan karena dalam pertimbangan Mahkamah Agung, merek yang digunakan oleh Termohon Kasasi dengan penambahan unsur angka 1 dengan tulisan kata MEGATOP dalam elips dan 1 serta kata New Formula, walaupun sudah terdaftar sebagai jenis ciptaan seni logo, tetapi tidak dapat digunakan oleh Termohon Kasasi pada produk barangnya sehingga merupakan merek dari barang tersebut (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16 K/N/HaKI/2003).

Penulis sependapat dengan Putusan Mahkamah Agung, karena memang penggunaan kata MEGATOP dengan penambahan angka 1 dengan tulisan kata MEGATOP dalama elips dan angka 1 serta kata New Formula sudah tidak sesuai antara yang terdaftar di Direktorat Merek dengan yang dipergunakan di dalam kegiatan perdagangan. Hal ini tentu saja dapat dijadikan alasan penghapusan merek sesuai dengan Pasal 61 Penulis sependapat dengan Putusan Mahkamah Agung, karena memang penggunaan kata MEGATOP dengan penambahan angka 1 dengan tulisan kata MEGATOP dalama elips dan angka 1 serta kata New Formula sudah tidak sesuai antara yang terdaftar di Direktorat Merek dengan yang dipergunakan di dalam kegiatan perdagangan. Hal ini tentu saja dapat dijadikan alasan penghapusan merek sesuai dengan Pasal 61

Pada kasus ini pihak PT. Lumasindo Indo Perkasa sebagai pemilik Merek MEGATOP menurut hemat penulis terbukti melakukan pelanggaran terhadap asas iktikad baik sebagai pelaku usaha yang menginginkan suatu ketenaran merek dengan instan dengan cara mendompleng ketenaran pada merek TOP 1 milik PT. Topindo Atlas Asia. Selain melanggar asas iktikad baik pihak PT. Lumasindo Indo Perkasa juga melakukan pelanggaran terhadap asas siapa yang tidak bekerja maka janganlah dia makan, seolah-olah penulis ibaratkan PT. Lumasindo Indo Perkasa merupakan pihak yang tidak tahu diri karena tidak mau berusaha untuk melakukan pemasaran untuk mereknya agar bisa dikenal masyarakat, tetapi melakukan kecurangan dengan mendompleng ketenaran merek lain sehingga PT. Lumasindo Indo Perkasa tidak layak menikmati atau memakan hasil dari produksi barangnya yang laku dipasaran yang terindikasi tindakan yang curang.